Abstrak
Paradigma Islam moderat atau Islam washatiyyah, sering kali masih menjadi
perbincangan di kalangan umat muslim. Bahkan tak jarang, para cendikiawan juga sering
berselisih mengenai paradigma ini. Pemikiran yang sering kali identik dengan pemikiran
islam jalan tengah atau jalan damai ini sering kali dituduh sebagai gerakan neo khawarij
atau gerakan liberalis islam gaya baru. Akan tetapi opini-opini tersebut belum bisa
dipastikan kebenarannya, disamping karena terlalu subjektif dalam menilai sesuatu, opini
tersebut bisa saja adalah senjata untuk memecah belah umat muslim menjadi berkotak-
kotak. Oleh karenanya tujuan dari penulisan kami ini adalah untuk meneliti lebih lanjut
mengenai islam washatiyyah dan bisa lebih memahami paradigma pemikiran ini.
Metodologi penelitian ini menggunakan metodologi kepustakaan dan kajian literasi Islam
klasik maupun modern yaitu dari Al-Qur’an, As-Sunnah, kitab-kitab klasik dan modern
dari para Ulama dan Fuqaha yang kompeten dibidangnya. Kami menggunakan
pendekatan Hans Georg Gadamer untuk lebih memahami konteks daripada islam
moderat. Adapun hasil dari penelitian ini adalah kami menemukan beberapa persepektif
mengenai islam moderat, baik dari Kitab suci, maupun para tokoh islam terkemuka dan
juga karakteristik khusus mengenai pemikiran islam moderat ini.
Kata Kunci: Moderasi, Islam, Washatiyyah, Toleransi, Perspektif
PENDAHULUAN
Dewasa ini, umat muslim sering kali ditimpa oleh banyak sekali cobaan, baik dari
eksternal seperti rongrongan dari bangsa barat maupun dari internal seperti perang pemikiran.
Menurut salah satu alumni Al-Azhar terkemuka yaitu Dr. Muhammad Ali, umat muslim zaman
sekarang sering kali dibuat bingung karena banyaknya pemikiran-pemikiran dalam agama Islam
yang sering kali bertolak belakang dengan ajaran-ajaran asli Islam. 1 Seperti misalnya pemikiran
ekstrmisme Islam yang menganggap semua orang yang berseberangan dengan mereka adalah
kafir dan semua orang kafir halal darahnya untuk ditumpahkan. Atau pemikiran Islam liberal
yang beranggapan bahwa semua orang berhak memilih jalan hidupnya, termasuk dalam
1
Achmad Satori Ismail, Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan lil ‘Alamin (Jakarta: Pustaka Ikadi, 2008), hlm
14.
kepercayaan dan orientasi seksualnya. Yang tentu saja keduanya sangat bertolak belakang
dengan ajaran-ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Hal ini tentu merupakan sebuah ironi, karena jika kita menelisik sejarah, Islam adalah
agama yang berhasil menciptakan kemajuan dan mengolah paradigma pemikiran umat manusia
menjadi lebih beradab. Dalam ajarannya tidak hanya mengajarkan cinta kasih ataupun beribadah,
melainkan Islam juga adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan baik dari tata
pemerintah hingga jual beli.Oleh karenanya tidak bisa dipungkiri bahwa islam bisa dikatakan
agama terbaik. Tidak hanya menurut kalangan muslim saja, melainkan kalangan non muslim pun
berpendapat demikian. Salah satunya adalah George Bernard Shaw dalam bukunya The Genuine
Islam menyebutkan bahwa islam adalah agama yang mampu mengatasi segala kegundahan
manusia dan Islam adalah agama yang akan selalu kompatibel dalam setiap zaman. 2Menurut
Shaw, kehebatan Islam sebagai agama yang kompatibel tidak lepas dari peran sang pembawa
risalah agama tersebut yaitu Nabi Muhammad Saw, seorang utusan Tuhan yang dalam
menyampaikan risalahnya mengajarkan dengan sopan dan lembut. Selain sebagai pembawa
risalah, Nabi Muhammad Saw juga merupakan seorang yang tegas dan selalu mengajarkan para
pengikutnya untuk tidak terlalu berlebihan dalam beribadah dan dalam bersosialisasi. Hal
demikianlah yang menjadi dasar dari pondasi salah satu paradigma islam, yaitu islam moderat.
Islam moderat atau islam washatiyyah adalah sebuah paradigma pemikiran islam yang
menurut tokoh-tokoh islam seperti Imam Ghazali dan Imam Syatibi sebenarnya sudah diajarkan
oleh Nabi Muhammad melalui lisan dan perbuatannya. Namun gagasan ini digaungkan kembali
oleh Dr. Yusuf Qardhawi pada tahun 2000 an. Dr. Yusuf Qardhawi menggaungkan kembali
gagasan pemikiran dengan nafas yang baru karena melihat banyaknya aliran pemikiran islam
yang saling memusuhi hanya karena masalah perbedaan pendapat. Islam moderat sendiri,
menurut beliau sebenarnya bukan aliran baru dalam Islam, melainkan mengembalikan kembali
nilai-nilai islam yang diajarkan oleh Rasulullah, yaitu berpegang kepada Al-Qur’an-hadits-ijma’
akan tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai toleransi yang diajarkan Rasulullah. 3 Tidak condong
kepada aliran ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Dan juga menurut profesor Quraisy Shihab,
pemikiran islam moderat sangat cocok apabila digunakan dalam beragama maupun bernegara. 4
2
Ahmad Fatih Syuhud, Ahlussunnah Wal Jamaah, Islam Wasatiyah, Tasamuh, Cinta Damai (Malang: Pustaka Al
Khoirat, 2019), hlm.109.
3
Yusuf Al Qardhawi, Fiqh al-Wasthiyyah al-Islamiyah wa Al-Tajdid (Kairo: Markaz at-Tiba’ah, 2009), hlm.30.
4
Iffaty Zamimah, “Moderatisme Islam Dalam Konteks Keindonesiaan,” Jurnal Al-Fanar 1, no. 1 (2018), hlm 25.
Dikarenakan menurut beliau, walaupun pemikiran islam moderat memang cangkupan utamanya
adalah agama, akan tetapi bisa juga mencakup dalam sosial budaya dan politik, karena salah satu
karakteristik dari Islam moderat adalah bersifat universal.
Karena banyaknya perbedaan pendapat mengenai Islam moderat di zaman sekarang, hal
itu menyebabkan banyak kebingungan umat muslim mengenai Islam moderat atau washatiyyah.
Maka kami merumuskan beberapa pertanyaan mengenai Islam moderat, tentang bagaimana
karakteristik Islam moderat menurut ulama? bagaimana Al-Qur’an dan hadits menyikapi
paradigma Islam moderat atau washatiyyah ini?, bagaimana pula pendapat para tokoh Islam
mengenai Islam moderat?, Dan bagaimana perkembangan islam moderat di tanah air? Adapun
metodologi yang kami gunakan adalah metode kepustakaan, yaitu dengan menggunakan kajian
literasi klasik islam maupun kajian literasi modern islam, dengan menggunakan pendekatan
5
Mohammad Salik, Nahdlatul Ulama Dan Gagasan Moderasi Islam (Malang: Literindo Berkah Jaya, 2020), hlm.
15.
6
Joko Prasetyo, “Moderasi Agama Itu Pesanan Musuh Islam untuk Memperlemah Kaum Muslim,”
https://mediaumat.news/moderasi-agama-itu-pesanan-musuh-islam-untuk-memperlemah-kaum-muslim/, 2020.
7
Duriana, “Pemikiran Politik Turki Usmani Hingga Masa Modern,” Dialektika 11, no. 2 (2018): 54–65.
8
Alamul Huda, “Epistemologi Gerakan Liberalis , Fundamentalis , Dan,” Jurnal Syariah dan Hukum 2, no. 2 (2010),
hlm. 180.
Georg Gadamer. Yaitu dengan menafsirkan sebuah teks dengan melihat dari konteks teks
tersebut dan bagaimana kontekstualisasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih
dalam paradigma Islam moderat baik dalam konteks maupun prakteknya dan menjawab
kegelisahan umat di zaman sekarang mengenai islam moderat, agar tidak terjadi kesalahan
penafsiran mengenai islam moderat.
9
Abdurrahman Al-Sudais, Bulughul Amal fi Tahqiq al-Wasthiyah wa al-I’tidal (Riyadh: Madar al-Wathan li al-
Nasyar, 2017).
moderat juga mencakup permasalahan seperti politik, ekonomi, dan rumah tangga. Dan inilah
(menurut kami) bentuk islam yang sebenarnya, yaitu mencakup kepada segala aspek kehidupan
tidak hanya ibadah dan akidah semata.
Selain itu, adapula pendapat Dr.Muchlis Hanafi mengenai islam moderat. Beliau
menjelaskan bahwa ada enam ciri seseorang dapat dikatakan memiliki sifat moderat dalam
beragama. Pertama, memahami realitas (fiqh fil waqi), yaitu memahami bahwa dunia selalu
berubah dan tidak terpaku dalam masa lalu, oleh karenanya seseorang moderat tidak pernah
menolak mentah-mentah akan perubahan zaman. Kedua, memahami fiqh prioritas (fiqh al-
auliyah), yaitu mengerti mana yang harus diutamakan terlebih dahulu dan bijaksana dalam
mengambil keputusan. Ketiga, memberikan kemudahan dalam beragama (baik kepada yang
seagama ataupun yang berlainan). Keempat, memahami teks Al-Qur’an secara komperehesif dan
tidak hanya sepotong saja. Kelima, bersikap toleran dan menghargai satu sama lain. Keenam,
memahami sunatullah dalam penciptaan, maksudnya menahami bahwa semua hal didunia ini
butuh proses dan tidak bisa langsung terjadi.
10
Muhammad Ali Ash Shalaby, “Al-Washathiyah fil Qur’an Al-Karim” (Muassasah Iqro’, 2007),hlm 16-25.
Pertama). Washatan bermakna adil, bijaksana, terpilih (QS. Al-Baqarah [2]:143). Kedua).
Wushto bermakna paling baik dan tengah (QS. Al-Baqarah [2]:238). Ketiga). Awsath bermakna
paling bijaksana (QS. Al-Qalam [68]: 28). Kelima). Wasath bermakna tengah (QS. al-‘Adiyat
[100]: 5). Dari keempat lafadz washatiyyah atau yang sewazannya, bisa disimpulkan bahwa
makna washatiyyah jika menurut Al-Qur’an adalah yang terbaik, ideal, dan lurus (ditengah), jika
ditilik dari sisi tafsir Al-Qur’an. Sementara untuk nilai moderat dalam islam juga banyak sekali
tertuang dalam islam, salah satunya ada dalam Al-Maidah ayat 77.
ُقْل َيا َأْهَل اْلِكَتاِب اَل َتْغ ُلوا ِفي ِد يِنُك ْم َغْيَر اْلَح ِّق َو اَل َتَّتِبُعوا َأْهَو اَء َقْو ٍم َقْد َض ُّلوا ِم ن َقْبُل َو َأَض ُّلوا َك ِثيًرا َو َض ُّلوا َعن َس َو اِء الَّسِبيِل
(Katakanlah, "Hai Ahli Kitab!) para pemeluk agama Yahudi dan agama Nasrani (Janganlah
kamu berlebih-lebihan) janganlah kamu melampaui batas (dalam agamamu) secara berlebih-
lebihan (dengan cara tidak benar) yaitu dengan cara merendahkan Nabi Isa atau kamu
mengangkatnya secara berlebihan dari apa yang seharusnya (dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya sebelum kedatangan Nabi Muhammad)
mengikuti cara berlebih-lebihan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu mereka (dan
mereka telah menyesatkan kebanyakan) manusia (dan mereka tersesat dari jalan yang lurus."
Q.S Al-Maidah [5]: 77
Menurut Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan karena pada
zaman dulu ada seorang ahli kitab yang berlebihan dalam beribadah dengan memuja Nabi Isa
As, yang menyebabkan ia dan para pengikutnya tersesat dalam agama, dan hal inilah mengapa
dalam surah ini umat islam dilarang untuk berlebihan dalam beribadah 11. Yang tentu saja, hal ini
serupa dengan nilai-nilai islam moderat, yaitu tidak condong ke arah manapun dan tetap berada
di tengah. Selain itu, masih banyak pula ayat-ayat Al-Qur’an yang sebenarnya bernilai moderat.
Seperti perintah untuk berdakwah dengan lemah lembut (QS. An-Nahl [16]: 125), larangan
berbuat dzalim kepada kafir dzimmi (Q.S Al-Mumtahanah [60]: 8-9), anjuran berbuat baik
kepada sesama manusia (QS. Al-Qoshoh [28]:77), anjuran saling menghormati kepada sesama
manusia (QS. Al-Baqarah [2]: 111-113 dan QS. Al-Hujurat [49]: 13), larangan memperolok
suatu kaum dan berburuk sangka (QS. Al-Hujurat [49]: 11-12), dan masih banyak lagi nilai-nilai
moderasi islam yang tertuang dalam Al-Qur’an. Yang menunjukan bahwa islam moderat sudah
sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Al-Qur’an.
11
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), hlm.237.
Islam Moderat Dalam Telaah Hadits
Berbeda dengan Al-Qur’an yang tidak secara gamblang dan eksplisit dalam menjelaskan
washatiyyah. Dalam hadits dijelaskan apa itu makna washatiyyah, karena memang fungsi dari
hadits, selain sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas atau bayan dari ayat Al-
Qur’an. Seperti hadits dibawah ini yang menjelaskan makna dari surah Al-Baqarah ayat 143.
َح َّد َثَنا ُم وَس ى ْبُن ِإْس َم اِع يَل َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلَو اِحِد ْبُن ِز َياٍد َح َّد َثَنا اَأْلْع َم ُش َع ْن َأِبي َص اِلٍح َع ْن َأِبي َسِع يٍد َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه
َو َس َّلَم َيِج يُء ُنوٌح َو ُأَّم ُتُه َفَيُقوُل ُهَّللا َتَع اَلى َهْل َبَّلْغ َت َفَيُقوُل َنَعْم َأْي َر ِّب َفَيُقوُل ُأِلَّمِتِه َهْل َبَّلَغ ُك ْم َفَيُقوُلوَن اَل َم ا َج اَء َنا ِم ْن َنِبٍّي َفَيُقوُل
ِلُنوٍح َم ْن َيْش َهُد َلَك َفَيُقوُل ُمَحَّم ٌد َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ُأَّم ُتُه َفَنْش َهُد َأَّنُه َقْد َبَّلَغ َو ُهَو َقْو ُلُه َج َّل ِذ ْك ُر ُه) َو َك َذ ِلَك َجَع ْلَناُك ْم ُأَّم ًة َو َس ًطا
ِلَتُك وُنوا ُش َهَداَء َع َلى الَّناِس ( َو اْلَو َس ُط اْلَع ْد ُل
Telah bercerita kepada kami Musa bin Isma'il telah bercerita kepada kami 'Abdul Wahid bin
Ziyad telah bercerita kepada kami Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Sa'id berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:"(Pada hari qiyamat) Nabi Nuh dan
ummatnya datang lalu Allah Ta'ala berfirman: "Apakah kamu telah menyampaikan (ajaran)?"
Nuh menjawab: "Sudah, wahai Rabbku". Kemudian Allah bertanya kepada ummatnya: "Apakah
benar dia telah menyampaikan kepada kalian?" Mereka menjawab: "Tidak. Tidak ada seorang
Nabi pun yang datang kepada kami". Lalu Allah berfirman kepada Nuh: "Siapa yang menjadi
saksi atasmu?" Nabi Nuh berkata: "Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan ummatnya."
Maka kami pun bersaksi bahwa Nabi Nuh telah menyampaikan risalah yang diembannya
kepada ummatnya. Begitulah seperti yang difirmankan Allah Yang Maha Tinggi (Dan
demikianlah kami telah menjadikan kalian sebagai ummat pertengahan untuk menjadi saksi atas
manusia) (QS. Al-Baqarah: 143). Al-Washathu maksudnya adalah Al-'Adl (adil). (H.R Bukhari,
No:3091)
Dalam hadits diatas, Nabi Muhammad Saw dengan jelas memaknai kata washatan
dengan makna adil. Jadi bisa disimpulkan bahwa umat islam disebut sebagai umat yang
(seharusnya) adil. Maksud dari umat yang adil disini adalah umat yang mampu menempatkan
sesuatu sesuai pada tempatnya, menyikapi sesuatu sesuai dengan porsinya dan kedaaanya.
Sehingga Allah melengkapi surat Al-Baqarah: 143 di atas, setelah menyebut wasathan dengan
“agar kalian menjadi saksi-saksi bagi manusia”. Dalam ilmu fiqih syarat seorang saksi bisa
diterima kesaksiannya adalah adil dan jujur. Jadi bisa disimpulkan bahwa adil, jujur dan
konsisten sangat tepat untuk makna ayat ini, sesuai dengan tafsir dari Nabi saw terhadap ayat ini,
yaitu keadilan.12 Sementara untuk hadits-hadits yang memiliki nilai-nilai moderat bisa dikatakan
sangat banyak sekali diantaranya: hadits tentang larangan berlebihan dalam agama (H.R Ahmad,
No. 3078), hadits tentang larangan melakukan ibadah wishol (H.R Ahmad, No.8342), hadits
tentang larangan membunuh kafir mu’ahad (H.R Ibnu Majah, No.2676), hadits yang
menjelaskan bahwa agama itu mudah (H.R Bukhari, No.38), hadits tentang buruknya kaum yang
berlebihan dalam agama (H.R Ibnu Majah, No. 89), hadits tentang anjuran konsisten dalam
agama (H.R Bukhari, No.41), Hadits mengenai toleransi (H.R Ahmad, No.2003). Dan masih
banyak lagi hadits-hadits yang memiliki nilai islam moderat.
Jika kita dapat simpulkan, sebenarnya gagasan islam washatiyyah (islam moderat) sendiri
sebenaranya adalah gagasan islam yang sudah lama ada jauh sebelum abad ke-19, bahkan jika
bisa dibilang pemikiran islam washatiyyah adalah pemikiran Nabi Muhammad Saw dan para
sahabatnya. Mengapa bisa begitu? Karena pada hakikatnya islam washatiyyah atau islam
moderat adalah pemikiran islam yang memerintahkan kita untuk tidak mengikuti ajaran non
muslim akan tetapi kita juga dilarang untuk menyakit non muslim. Hal ini tentu senada dengan
ayat Al-Qur’an maupun hadits yang menyebutkan kita tidak boleh ikut-ikutan mengikuti ajaran
non muslim dan juga dilarang untuk menyakiti mereka, dan inilah yang kita sebut sebagai
toleransi.
12
Muhammad Khairan Arif, “Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al-Qur’an, As-Sunnah Serta Pandangan
Para Ulama Dan Fuqaha,” Al-Risalah 11, no. 1 (2020), hlm. 27
Sama seperti sebelumnya, walaupun para sahabat tidak secara langsung mengatakan
islam moderat akan tetapi pendapat mereka dapat tercermin dari prilaku ataupun pendapat
mereka. Karena jika kita menilai secara objektif maupun subjektif, para sahabat nabi sebenarnya
menyetujui pemikiran ini, diantaranya adalah Sahabat Abu Bakr dan Sahabat Umar Ibn Khattab.
Sahabat Abdullah Ibn Abi Quhafah, atau yang lebih masyhur dikenal Sahabat Abu Bakr Ra,
adalah salah satu sahabar Nabi yang paling dekat dengan Nabi dan termasuk 10 sahabat yang
dijamin masuk surga. Selain itu, beliau juga sering dijuluki sebagai sahabat Nabi yang paling
moderat. Hal ini bisa dibuktitkan dari banyaknya keputusan beliau yang sering mengambil jalan
damai ketimbang jalan kekerasan, walau demikian sahabat Abu Bakr juga merupakan orang
yang tegas dan konsisten, hal ini bisa dilihat ketika beliau memerintahkan perajuritnya untuk
memerangu kaum yang mengikuti nabi palsu (Musalaimah Al-Kadzab) dan kaum yang enggan
membayar zakat13. Selain itu beliau pula lah yang paling bersikap rasional diantara para sahabat
yang sedang bersedih karena wafatnya Nabi Muhammad Saw, beliaulah yang menyadarkan
sahabat Umar Ibn Khattab yang ketika itu masih terguncang ketika Nabi wafat.14
Sementara Sahabat Umar Ibn Khattab adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang
paling dekat dengan Nabi. Dalam kacamata awam, sahabat Umar sering dipandang sebagai salah
satu sahabat yang paling keras wataknya dan paling konservatif dibandingkan sahabat yang
lainnya. Akan tetapi setelah kami telusuri, sahabat Umar tetap mempunyai nilai-nilai moderat
dalam mengambil keputusan. Salah satu keputusan terkenal beliau yang paling moderat adalah
beliau menjamin keselamatan umat nasrani dan yahudi ketika peristiwa pembebasan
Yerussalem.15 Beliau juga pernah melarang seseorang ketika ingin melakukan ibadah washal
(ibadah terus menerus), dikarenakan orang tersebut mempunyai tanggungan anak dan istri, dan
lebih jika orang tersebut melakukan ibadah secukupnya dan mencari rezeki untuk menafkahi
anak dan istrinya.16 Sebenarnya selain kedua sahabat diatas, masih banyak sahabat Nabi yang
bersikap moderat, seperti Sahabat Utsman Ibn Affan, Sahabat Ali Ibn Abi Thalib, Sahabat
Abdullah Ibn Umar, dan masih banyak lagi.
Islam Moderat Dalam Pandangan Ulama Salaf
13
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 97.
14
Sihabuddin Afroni, “Makna Ghuluw : Benih Ekstrimisme Beragama,” Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1,
no. 1 (2016), hlm.81.
15
“Kisah Khalifah Umar Lindungi Kaum Nasrani saat Pembebasan Yerusalem,” diakses 5 April 2021,
https://islam.nu.or.id/post/read/114544/kisah-khalifah-umar-lindungi-kaum-nasrani-saat-pembebasan-yerusalem.
16
Afroni, “Makna Ghuluw : Benih Ekstrimisme Beragama.”, hlm.80.
Setelah kita mengetahui islam moderat dari persepektif sahabat, sekarang kita akan
membahas Islam moderat dalam perspektif ulama salaf. Karena tidak lengkap rasanya bila tidak
mengemukakkan secara khsusus pandangan ulama Salaf dan Khalaf (yang akan kita bahas di sub
bab berikutnya) tentang islam moderat atau wasathiyah ini, sehingga secara epistimologi islam
moderat secara konseptaualisasi dan definisi telah final dan tidak dapat ditolak oleh narasi
apapun baik berdasarkan nash-nash Islam maupun logika. Sebenarnya ulama pada zaman salaf
kebanyakan dari mereka menyetujui bahkan mendukung nilai-nilai islam moderat, diantara dari
mereka adalah Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,
Imam Ghazali ketika membahas Bab Zuhud, Imam Ghazali menuliskan “bahwa para sahabat
tidak bekerja di dunia untuk dunia tapi untuk agama, para sahabat tidak menerima dan menolak
dunia secara keseluruhan atau secara mutlak. Sehingga mereka tidak ekstrem dalam menolak dan
menerima, tapi mereka bersikap antara keduanya secara seimbang, itulah keadilan dan
pertengahan antara dua sisi yang berbeda dan inilah sikap yang paling dicintai oleh Allah swt. 17”
Yang mana tentu saja pemikiran ini adalah asas daripada pemikiran islam moderat, yaitu
pemikiran islam yang lurus dan tidak berlebihan.
Kemudian ada Imam As-Syatiby, beliau adalah salah satu ulama masyhur dalam bidang
maqasid. Beliau mewajibkan seseorang untuk berpikiran moderat dalam agama, menurut beliau
“Bila seandainya penetapan hukum syara’ terdapat kecenderungan keluar dan menyeleweng dari
manhaj moderat, kepada salah satu dari dua kutub yang saling bertentangan, yaitu kutub ekstrim
kanan dan ekstrim kiri, maka penetapan hukum atau fatwa, segera dikembalikan kepada
karakternya atau manhajnya yang moderat.”18 Jadi menurut Imam Syatibi kewajiban mengikuti
manhaj moderat bukan sekedar mengikuti secara pasif berdasarkan dalil-dalil dari nash-nash Al-
Qur’an dan As- Sunnah, akan tetapi wasathiyah adalah standar dan patron abadi dan bersifat
tetap serta mutlak, sehingga kapan terjadi penyelewengan fatwa atau ijtihad fiqhiyah terkait
syari’at Islam dalam kasus-kasus atau produk-produk hukum Islam, maka harus dikembalikan,
yang mana tentu saja pendapat ini, bukan hanya memuji atau menganjurkan seseorang untuk
berpikiran moderat dalam beragama, melainkan mewajibkannya jua.
DAFTAR RUJUKAN
Afroni, Sihabuddin. “Makna Ghuluw : Benih Ekstrimisme Beragama.” Jurnal Ilmiah Agama dan
Sosial Budaya 1, no. 1 (2016).
Arif, Muhammad Khairan. “Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al-Qur’an, As-
Sunnah Serta Pandangan Para Ulama Dan Fuqaha.” Al-Risalah 11, no. 1 (2020): 22–43.
https://doi.org/10.34005/alrisalah.v11i1.592.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013.
Ash Shalaby, Muhammad Ali. “Al-Washathiyah fil Qur’an Al-Karim.” Muassasah Iqro’, 2007.
“Ba’asyir: Amerika dan Australia Bersekongkol Rekayasa Tuduhan Terorisme.” Diakses 3 April
2021. https://www.voaindonesia.com/a/abu-bakar-bashir-diadili-atas-tuduhan-terorisme-
116802743/90174.html.
Duriana. “Pemikiran Politik Turki Usmani Hingga Masa Modern.” Dialektika 11, no. 2 (2018):
54–65.
Huda, Alamul. “Epistemologi Gerakan Liberalis , Fundamentalis , Dan.” Jurnal Syariah dan
Hukum 2, no. 2 (2010).
Ibn Taimiyah, Ahmad. Majmu’ah Al-Fatawa Li Syaikhil Islam Ahmad bin Taimiyah. Manshurah:
Dar Al-Wafa, 2005.
Ismail, Achmad Satori. Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Jakarta: Pustaka
Ikadi, 2008.
“Kisah Khalifah Umar Lindungi Kaum Nasrani saat Pembebasan Yerusalem.” Diakses 5 April
2021. https://islam.nu.or.id/post/read/114544/kisah-khalifah-umar-lindungi-kaum-nasrani-
saat-pembebasan-yerusalem.
Prasetyo, Joko. “Moderasi Agama Itu Pesanan Musuh Islam untuk Memperlemah Kaum
Muslim.” https://mediaumat.news/moderasi-agama-itu-pesanan-musuh-islam-untuk-
memperlemah-kaum-muslim/, 2020.
Qardhawi, Yusuf Al. Fiqh al-Wasthiyyah al-Islamiyah wa Al-Tajdid. Kairo: Markaz at-Tiba’ah,
2009.
Salik, Mohammad. Nahdlatul Ulama Dan Gagasan Moderasi Islam. Malang: Literindo Berkah
Jaya, 2020.
Syuhud, Ahmad Fatih. Ahlussunnah Wal Jamaah, Islam Wasatiyah, Tasamuh, Cinta Damai.
Malang: Pustaka Al Khoirat, 2019.
Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. “Ensiklopedia Islam
Nusantara.” Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, no. Edisi Budaya (2018).
Zamimah, Iffaty. “Moderatisme Islam Dalam Konteks Keindonesiaan.” Jurnal Al-Fanar 1, no. 1
(2018): 75–90. https://doi.org/10.33511/alfanar.v1i1.12.