Anda di halaman 1dari 5

Mosaik 17

John Brandon

Hanya ada beberapa pengunjung yang terlihat menempati meja makan di


Thai Pavilion saat YSEALI fellows tiba di sana. Restoran tersebut memiliki dining
room yang cukup luas, walaupun dari luar tampak sederhana. Sesuai dengan
namanya, restoran ini didekor dengan hiasan yang menonjolkan budaya
Thailand, mulai dari hiasan dinding, perlatan memasak, dan perlengkapan
makannya. Menunya dipenuhi oleh beraneka macam kuliner Negeri Seribu
Pagoda itu—Thai tea yang sangat populer sejagat raya, Tom Yam, Khao khluk
kapi alias nasi goreng terasi, Pad Thai, sate, dan makanan lainnya yang aku tidak
begitu tertarik sehingga gampang melupakan namanya. Semuanya sudah
dipastikan berlabel no pork meskipun tidak 100% halal. Aku, Novi, Smith, dan
Malia bisa makan apa saja tanpa perlu khawatir akan kehalalan masakannya.

Saat itu masih terlalu dini untuk menyantap supper tapi juga terlalu
terlambat untuk menikmati lunch. Namun, waktu ini pas untuk kami para
delegasi YSEALI untuk dapat berbincang-bincang hangat dalam waktu yang
cukup lama tentang issue seputar Asia, khususnya Asia Tenggara bersama
representatif dari Asian Foundation, John Brandon. Beliau duduk di seberangku,
diapit oleh Zwin dan Novi. Di sebelahku, seperti biasa, ada twinny-ku
Souphavady yang sudah siap memberikan kuliah umum tentang Thai cuisine
untukku. Gadis Laos ini begitu paham dengan masakan Thailand karena kuliner
Laos memang banyak mempengaruhi masakan di bagian utara dan selatan
Thailand. Belum apa-apa, aku sudah diperkenalkan dengan berbagai appetizer,
main course, dan desert dalam masakan Negeri Gajah Putih ini. Akhirnya, aku jadi
bingung harus memesan apa karena terlalu banyaknya menu makanan yang
tersedia.

Setelah melihat sederetan nama makanan yang menurut Souphavady


menarik untuk dicoba, aku memutuskan untuk memesan Tom Yam sebagai main
course dan Thai tea sebagai beverage-nya. Zwin si vegetarian sejati memesan Pad
Thai, sementara Souphavady memesan sate ayam yang tidak begitu menarik
bagiku (I’m a beef satay lover, please note this). Novi memesan nasi goreng pataya
yang super menggiurkan. Colleen memesankan kami sepiring gorengan yang
isinya seperti risoles, pastel, dan gorengan lainnya dihidangkan dengan saus
pedas khas Thailand. Hmmm, Asian food is always the best! Kumakan semuanya
dengan sangat lahap setelah beberapa hari ini berjuang tanpa masakan Asia.
Hahaha.

Mr. John terlihat santai saja dengan menu-menu yang membuat kami para
South East Asians bersemangat untuk makan selahap-lahapnya. Mungkin dia
memang pencinta Pizza sejati, jadi masakan Asia seperti ini tidak begitu menarik
baginya. Anyway, dia mengatakan Thai tea tidak pernah mengecewakan aroma
dan kegurihannya. Kami langsung mengiyakan ditambah semangat anggukan
kepala. Mr. John lalu membuka pembicaraannya dengan memberikan perspektif
pribadinya terhadap Islam dan muslim khususnya di Asia dan Amerika. Saat
terjadinya pemboman World Trade Center di DC yang dikenal dengan peristiwa
9/11 tersebut, ia sedang tidak bersama putrinya. Gadis itu tengah berada di
sekolah, lalu diselamatkan oleh tetangganya yang merupakan seorang muslim.
Tetangganya tersebut memperlakukan anaknya seperti mengasuh anak
kandungnya sendiri. Terkadang jika ia dan istrinya sibuk dengan urusan kantor,
putrinya bermain, mengerjakan PR, dan makan bersama putri temannya
tersebut.

Beliau adalah salah seorang White American yang membenci Islamaphobia,


istilah yang lahir bersamaan dengan istilah terorism dan terorist di Amerika
setelah terjadinya 9/11. Istilah tersebut telah memperburuk citra Islam dan
pemeluk agamanya di seluruh pelosok dunia. Sama seperti penganut agama-
agama lainnya, tidak semua penganut Islam itu buruk. Dalam setiap agama, pasti
akan ada pengikut yang baik dan jahat. Tidak masuk akal melabeli agama Islam
dengan agama para teroris, sama seperti tidak masuk akalnya memberi label
pada agama lainnya dengan label “agamanya orang-orang baik”. Juga, tidak logis
mengklaim sebuah agama jahat hanya karena sebagian pemeluknya berbuat
kriminal dan merugikan masyarakat lain. Agama tidak mengajarkan kejahatan,
tapi justru kebaikan dan nilai-nilai kemanusiaan. Islam juga agama yang
mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan tersebut.

Asian Foundation, yayasan di mana beliau bekerja, saat ini tengah berusaha
memperbaiki paradigma masyarakat Amerika dan dunia terhadap masyarakat
Islam. Muslim distereotipekan dengan radikalisme, ektremisme, dan perilaku
kekerasan. Untuk meredam—selanjutnya menghapus— stereotip tersebut, AF
menjalankan program Counter Violent Extremism (CVE). CVE adalah program
yang bertujuan untuk men-tackle radikalisme di Asia melalui analisis kasus
ekstrimisme, edukasi dan bimbingan praktik politik, serta monitoring dan
evaluasi program. Indonesia dan Afganistan merupakan negara dengan kasus
radikalisme tertinggi di antara negara-negara Asia lainnya.

Misi CVE ini merupakan salah satu dari misi-misi penting AF di samping
meningkatkan taraf keadilan hukum dan terbentuknya masyarakat yang madani
(baca selengkapnya di
https://asiafoundation.org/resources/pdfs/ourmission.pdf). Tentu saja misi-
misi ini bertujuan untuk memperlihatkan power Amerika di Asia yang aku tidak
akan bahas secara mendalam karena memang bukan bidang keilmuanku.
Namun, yang ingin kubagikan di tulisan ini adalah bagaimana Bapak yang
berambut pirang, berhidung mancung, dan bermata biru ini melihat
permasalahan-permasalahan masyarakat Asia dan bagaimana yayasannya
menawarkan solusi terhadap masalah tersebut.

*****

Membaca dokumen misi Asian Foundation, aku mendapatkan data bahwa


6,5 miliar penduduk bumi menetap di Asia. Di antara 6,5 miliar tersebut, 14 juta
merupakan nenek moyang dari penduduk Amerika. Angka tersebut cukup
signifikan dalam melejitkan perekonomian Asia, namun tetap saja masalah
welfare inequalities yang dipicu oleh globalisasi tidak terelakkan. Di sinilah Asian
Foundation ingin menunjukkan perannya. Yayasan ini melihat ketimpangan
ekonomi terjadi saat kurangnya support dari pemerintah terhadap UMKM dan
masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap. Asian Foundation bergerak untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut dengan memberikan pelatihan skill
bercocok tanam, pengembangan usaha rumahan, literasi teknologi, dan banyak
keterampilan lainnya.

Masalah selanjutnya adalah tata kelola pemerintahan yang tidak transparan,


tidak accountable, dan cenderung kurang inovatif. Asian Foundation
memberikan pelatihan-pelatihan terstruktur dalam bidang managemen SDM
serta administrasi informasi di institusi pemerintahan, keuangan, dan institusi
lainnya. Tidak kalah pentingnya, yayasan ini juga memberikan professional
fellowship program bagi para pekerja pemerintah dan swasta ke USA secara
cuma-cuma. Di akhir program, biasanya selalu ada monitoring dan evaluasi
terhadap projek yang dilaksanakan participating delegates di masing-masing
negaranya. Bahkan ada alumni summit juga yang memberikan kesempatan hebat
bagi para alumni untuk mengunduh manfaat dari jejaring sosial dengan sesama
alumni program dari berbagai negara lainnya. Pada akhirnya, puluhan bahkan
ratusan program kreatif untuk memajukan taraf kesejahteraan masyarakat Asia
tercipta dari kolaborasi alumni tersebut.

See? It’s all about strategic planning, collaboration, and measured


development and innovation. Amerika tidak hebat dengan bertumpu sendiri pada
kakinya, tapi ia mencari partner-partner terbaik untuk merealisasikan mimpi-
mimpi mereka. Strateginya adalah membuat masyarakat dunia, terutama yang
berusia produktif, terkoneksi satu sama lain untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang lebih baik. Alat ukurnya? Bisa diukur dengan seberapa tinggi
kepuasan dan seberapa banyak perbaikan hidup yang didapatkan targeted
beneficiaries dengan servis yang diberikan oleh yayasan.

*****

Mr. John berpindah dari meja kami ke meja sebelah yang ditempati oleh
teman-temanku dari Filipina, Thailand, dan Vietnam. Pembicaraan mereka
pastilah berkenaan dengan masalah-masalah yang terjadi di negera teman-
temanku tersebut dan bagaimana Asian Foundation meresponnya. Selama
diskusi, Mr. John selalu menyimak kami dengan takzim, khas pemimpin yayasan
social yang say sering baca di website (cie, yang suka ngunjungin website. Ah,
sesekali banget kok. Nambahin angka visitors web-nya). Aku suka kesemsem
sama pemimpin yang wearing their listening ears terhadap orang yang
dipimpinnya. Bukankah Rasulullah SAW menjadi yang tak terkalahkan karena
kemampuannya mendengarkan orang-orang yang dipimpinnya? Ah, Rasulullah,
engkau begitu karismatik dan menempati hati setiap orang. Semoga kita bertemu
nanti di keabadian yang indah, ya!
Maaf aku ngelantur ke mana-mana. Okay, let’s get the focus back. Mr. John
bersama timnya juga mengentaskan masalah-masalah lain seperti menghapus
kekuatan hukum yang sewenang-wenang di Bangladesh dengan memberi
pelatihan kepada tenaga kepolisian dan pakar hukum, membentuk sistem
kesehatan, hukum, dan edukasi bagi para imigran di Delta Sungai Mutiara Cina;
meningkatkan kualitas air, mengurasi emisi gas kendaraan bermotor, dan
mempromosikan wisata ramah lingkungan di Vietnam; serta memberikan
edukasi politik untuk menjamin terlaksananya pemilihan umum yang fair di
Afganistan. Kesemua program tersebut telah merubah wajah Asia di mata dunia
menjadi lebih ‘moderen’ dan madani. The American dreams are shared and
realized through the work of those involved in the programs. The dreams have
moved the think tanks, the peddlers, the farmers, the housewives, the homeless, and
every bit of the populations to run extra miles. Soon enough those dreamers will
turn over the pages of the book they have written together, and smiling ears to ears
witnessing their checked wish lists.

******

Anda mungkin juga menyukai