Anda di halaman 1dari 13

Nama : Abdul karim

NIM : E4E12310121
Kelas : PPG PGSD A
PENGERTIAN
BUDAYA
MENURUT PARA
AHLI

A. Budaya Clyde Kluckhohn


Kluckhohn (dalam Arifin, 2019: 8) menyatakan dalam sebuah kebudayaan banyak hal-hal
yang mempengaruhi kualitas dan terbentuknya budaya tersebut. Suatu sebab terbentuknya
budaya oleh manusia karena manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan nafsu berupaya
untuk memenuhi kebutuhan baik secara jasmani maupun secara spiritual yang berhubungan
kepada Tuhan sang pencipta. Budaya tercipta oleh lingkungannya, bagaimana manusia
menciptakan suatu kebiasaan yang sesuai dengan tempat dia berada.
Menurut C. Kluckhohn dalam karyanya yang berjudul Variations in Value Orientation
sesuatu hal yang paling tinggi nilainya dalam setiap kebudayaan yang ada di hidup manusia
terdapat lima hal, yaitu: hakikat hidup manusia atau human nature, hakikat hubungan manusia
dengan alam atau man nature, hakikat hubungan antarmanusia atau relational, hakikat karya
manusia atau activity, hakikat waktu manusia atau time (Ningtias dan Tjahjono, 2022: 324).
Kluckhohn (dalam Ningtias dan Tjahjono, 2022: 326) mengemukakan, bahwa yang
menentukan orientasi nilai budaya manusia yang ada di dunia terdapat lima dasar yang memiliki
sifat universal, yang berarti unsur kebudayaan ini memiliki sifat yang menyeluruh. Unsur- unsur
budaya tersebut, antara lain:
1. Hakikat Hidup Manusia
Hakikat hidup manusia atau yang bisa disebut dengan human nature merupakan hakikat
yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Tentunya dalam kehidupan manusia bersumber
dari kebahagiaan dan penderitaan. Karena manusia dalam kehidupannya tidak hanya
mengalami kebahagiaan, akan tetapi juga mengalami penderitaan. Kebahagiaan dan
penderitaan yang dialami oleh manusia dalam hidupnya tidak hanya bersumber dari diri
sendiri, akan tetapi juga dapat bersumber dari orang lain. Selain itu, nilai budaya ini juga
berkaitan mengenai hubungan kepercayaannya terhadap Tuhan dan juga manusia.
2. Hakikat Karya Manusia
Atau activity memiliki kaitannya dengan pengembangan diri setiap individu. Hal tersebut
berhubungan dengan perbuatan atau perilaku manusia mengenai baik buruknya manusia, sikap,
dan pekerjaan.
3. Hakikat Waktu Manusia
Atau time memiliki kaitan dengan kesan manusia mengenai waktu. Weil (dalam Ningtias dan
Tjahjono, 2022: 326) menjelaskan bahwa beberapa masyarakat masih berpacu pada masa
dahulu dan meyakini bahwasanya manusia harus bisa belajar dari sejarah dan juga
melestarikan sebuah tradisi yang sudah ada sejak masa dahulu. Akan tetapi, juga terdapat
manusia yang lebih manghargai waktu pada saat ini, karena mereka percaya bahwa hidup
sepenuhnya di masa kini. Maka dari itu, orientasi nilai budaya ini berhubungan dengan waktu
dalam masa sekarang dan masa depan.
4. Hakikat Alam Manusia
Atau man nature memiliki dengan hubungan manusia dan alam. Kluckhohn berpendapat
bahwa man nature adalah pandangan nilai budaya bagaimana manusia memperlakukan alam
sekitar di alam bawah sadaranya.
5. Hakikat Hubungan Antarmanusia
Atau yang disebut dengan relational merupakan hubungan antara sesama manusia atau
hubungan individu satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ini mengajarkan banyak hal seperti
saling menghargai, menolong satu sama lain tanpa memandang status sosialnya. Tabel.
Kerangka Kluckhohn mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup yang menentukan
Orientasi Nilai Budaya Manusia (Arifin, 2019: 5)
Kemungkinan Variasi Orientasi Nilai Budaya
Masalah Dasar Hidup
KONSERVATIF TRANSISI PROGRESIF
Hakikat hidup (MH) Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk, tetapi
manusia wajib
berikhtiar supayahidup
itu menjadi baik
Hakikat karya (MK) Karya itu untuk Karya itu untuk Karya itu untuk
nafkah hidup kedudukan, menambah kaya
kehormatan, dan
sebagainya
Persepsi manusia Orientasi ke masa lalu Orientasi ke masa Orientasi ke masa
tentang waktu (MW) kini depan
Pandangan manusia Manusia tunduk Manusia berusaha Manusia berhasrat
terhadap alam (MA) kepada alam yang menjaga menguasai alam
dahsyat keselarasan dengan
alam
Hakikat hubungan Orientasi kolateral Orientasi vertikal, Individualisme menilai
antara manusia (horizontal), rasa rasa tinggi usaha atas
dengan sesamanya kebergantungan pada kebergantungan kakuatan sendiri
sesamanya (berjiwa pada tokoh-tokoh
gotong royong) atasan dan pangkat
Berdasarkan tabel di atas, dapat dikemukakan bahwa berbagai kebudayaan
mengkonsepsikan masalah-masalah universal tersebut dengan berbagai variasi yang berbeda-
beda. Pertama, masalah hakikat dari hidup manusia terdapat kebudayaan yang memandang
bahwa hidup itu buruk, hidup itu baik, dan hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya
hidup itu menjadi baik. Kedua, hakikat dari karya manusia, terdapat kebudayaan yang memandang
bahwa karya itu untuk nafkah hidup, karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya,
dan kebudayaan yang memandang bahwa karya itu untuk menambah karya. Ketiga, hakikat
kedudukan manusia terhadap waktu, terdapat kebudayaan yang berorientasi ke masa depan,
berorientasi ke masa kini, dan yang berorientasi ke masa lalu. Keempat, hakikat dari hubungan
manusia dengan alam sekitarnya, terdapat kebudayaan yang memandang bahwa manusia harus
tunduk kepada alam yang dahsyat, manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam, dan
manusia berhasrat untuk menguasai alam. Kelima, hakikat dari hubungan manusia dengan
sesamanya, terdapat kebudayaan yang berorientasi kolateral (horizontal), yaitu rasa
ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong), berorientasi vertikal, yaitu rasa
ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat, dan kebudayaan yang berorientasi
individualisme, yaitu menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri.
Selain menunjukkan perbedaan dalam hal memecahkan masalah yang bernilai dalam hidup,
variasi orientasi nilai budaya juga berarti bahwa seorang individu dapat menganut suatu pola
orientasi nilai budaya dalam satu lapangan hidup, di samping pola-pola orientasi lain. Variasi
orientasi nilai budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn (dalam Arifin, 2019: 6)
diklasifikasikan sebagai nilai budaya konservatif, nilai budaya progresif dan nilai budaya
transisional. Ketiga klasifikasi itu adalah sebagai berikut:
1. Orientasi nilai budaya konservatif
Orientasi nilai budaya ini memandang hidup itu buruk, kerja hanya untuk menjamin
kelangsungan hidup, orientasi waktu ke masa lalu, alam dipersepsikan sangat dahsyat maka
manusia harus tunduk terhadap hukum alam, serta memiliki orientasi sosial vertikal.
2. Orientasi nilai budaya progresif
Orientasi nilai budaya ini memandang hidup itu buruk tetapi harus diperjuangkan agar lebih
baik, kerja semata-mata untuk mendapatkan prestasi yang tinggi, orientasi waktu
ke masa depan, hasrt yang tinggi untuk menguasai alam, serta memiliki rasa kemandirian yang
kuat.
3. Orientasi nilai budaya transisional
Orientasi nilai budaya ini merupakan peralihan dari nilai budaya konservatif ke nilai budaya
progresif. Nilai budaya transisional ini ditandai dengan memandang hidup itu baik, kerja
dilakukan untuk mendapatkan kedudukan, orientasi waktu ke masa kini, serta memiliki
hubungan kolektif yang kuat.
Unsur-unsur kebudayaan menurut Kluckhohn dalam bukunya Universal Categories of
Culture in Anthropology Today yang kemudian disebut cultural universal meliputi yaitu:
a. Peralatan dan perlengkapan hidup (pakaian, perumahan, alat-alat produksi,
transportasi)
b. Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi,
distribusi )
c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, perkawinan)
d. Bahasa (lisan maupun tertulis)
e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dll)
f. Sistem pengetahuan
g. Religi (system kepercayaan) (Arifin, 2019: 8)

B. Budaya Edward B.Taylor


Edward B. Taylor (dalam Halik, 2015: 90)., kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat. Selain itu, Edward Taylor misalnya menjelaskan bahwa penggunaan simbol-simbol
bahasa yang arbitrer adalah kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa yang
dengannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental yang substansial. Bahkan
simbol dianggap sebagai syarat utama dalam mengkonstruksi rasionalitas manusia. Manusia
sebagai produk dan pengguna simbol dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai
sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan lainnya (Halik, 2015: 84).
Berdasarkan pendapat ahli di atas, komunikasi merupakan sarana yang menjadikan
individu sadar akan dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dankebudayaan-
kebudayaan asing yang dihadapinya. Kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan, dan
dipelajari melalui komunikasi. Perilaku komunikasi manusia terutama dipengaruhi dan
tergantung pada kebudayaannya. Melalui komunikasi, manusia membentuk kebudayaan, dan
kebudayaan menentukan aturan serta pola-pola komunikasi. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Saifuddin (dalam Halik, 2015: 84-85) yang menyatakan bahwa dalam studi antropologi, simbol
dikenal sebagai objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh
manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Namun manusia
tidak hanya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi. Manusia juga menggunkana tanda dan
simbol dalam lukisan, musik, tarian, arsitektur, postur tubuh, fashion, gerak-gerik, pemilikan
barang, tata ruang, jarak, dan lain- lainnya. Manusia dapat memberi makna pada setiap kejadian,
tindakan atau objek yang berkaitan dengan pikiran, ide atau gagasan, dan emosi.
Pandangan lain Edward (dalam Halik, 2015: 85) mengenai budaya bahwa budaya telah
memberi ruang gerak komunikasi agar lebih mudah dilakukan dan efektif. Budaya menjadi unsur
fundamental yang sangat penting bagi berlangsungnya komunikasi. Kebudayaan tidak akan bisa
beberkembang luas dan terpelihara. Sehingga muncul istilah budaya adalah komunikasi dan
komunikasi adalah budaya .
Edward T. Hall berkata, “Culture is communication and communication is culture.”
Maksudnya ada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara komunikasi dan budaya.
Budaya akan lestari dengan komunikasi. Dan sebaliknya pula komunikasi juga akan
mengkonstruksi budaya, atau mengikuti ketentuan budaya itu sendiri. Jadi terjadi hubungan
timbal balik dan tak terpisahkan antara budaya dan komunikasi (Rayhaniah, 2020: 191).
C. Budaya Bronislaw Malinowski
Malinowski (dalam Kristanto, 2019: 72) mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan
fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat
bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain pandangan fungsionalisme terhadap
kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap
kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat,
memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan.
Selain itu, menurut Malinowski (dalam Kristanto, 2019: 72), fungsi dari suatu unsur
kebudayaan adalah kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu kebutuhan
sekunder dari pada warga suatu masyarakat. Malinowski (dalam Kristanto, 2019: 72) juga
berpendapat bahwa untuk memperoleh pemahaman yang aktual, peneliti harus terjun langsung
ke lapangan ke masyarakat yang menjadi objek penelitian. Berdasarkan cara yang tersebut akan
terlihat suatu yang sungguh-sungguh nyata, aktual, dan dapat mengorek hal- hal yang kadang-
kadang hal yang tidak tampak oleh penglihatan peneliti.
Secara singkat dapat dikemukakan, asumsi-asumsi dasar teori fungsi dalam ilmu antropologi
kurang lebih adalah sebagai berikut :
1. Suatu kesatuan sosial dan budaya adalah salah satu sistem tersendiri yang terdiri dari unsur-
unsur bagian-bagiannya;
2. Setiap unsur atau bagian tidak berdiri sendiri, tetapi saling bergantung;
3. Setiap unsur atau bagian ini ada karena memang dibutuhkan;
4. Keadaan saling bergantung atau berkait itu bukan terjadi secara kebetulan, tetapi kehadiran
keseluruhan berorientasi pada kelagsungan hidup sistem tersebut secara totalitas;
5. Perubahan pada suatu unsur atau bagian dapat berakibat perubahan atau berpengaruh pada
keberadaan atau bagian-bagian yang lain (Kristanto, 2019: 72-73)
Dengan demikian sesungguhnya masalah yang akan diungkap bukan hanya tentang “apa”,
tetapi yang lebih ditekankan adalah “mengapa” dan “bagaimana” serta untuk “apa”. Mengapa
unsur-unsur atau intuisi-intuisi itu saling berhubungan, dan bagaimana bentuk keberhubungan
itu. Kecuali itu peneliti juga dituntut untuk mencari tahu “untuk apa” semua unsur itu ada dalam
kaitannya dengan sistem yang bersangkutan. Dalam rangka memahami tentang “mengapa” atau
“untuk apa” atau makna suatu kesenian dalam masyarakat, Malinowski menganjurkan kegiatan
yang harus dilakukan oleh peneliti antara lain:
1. Peneliti harus terjun langsung ke lapangan objek;
2. Bahasa masyarakat yang bersangkutan harus benar-benar dipahami atau dikuasai;
3. Peneliti harus melakukan partisipasi, tetati tetap berlaku sebagai peneliti dan bukan hanyut
menyatu dengan masyarakat;
4. Peneliti harus melakukan observasi secara cermat, terlebih terhadap setiap unsur budaya atau
intuisi yang ada di dalam masyarakat tersebut saling berkaitan;
5. Melalui partisipasi dan kecermatan observasi, peneliti harus memperhatikkan hal- hal yang
ada dibalik yang tak nyata. Dalam hal ini peneliti diharapkan dapat mengungkapkan makna atau
motivasi-motivasi dalam masyarakat (Kristanto, 2019: 72-73)
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Selain itu, Malinowski
menjelaskan empat unsur pokok kebudayaan yang meliputi: Sistem norma yang memungkinkan
kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya;
Organisasi ekonomi; Alat-alat dan lembaga- lembaga atau petugas- petugas untuk pendidikan
(keluarga adalah lembaga pendidikan utama); dan Organisasi kekuatan (politik), (Halik, 2015:
90).

D. Kebudayaan menurut Ki Hadjar Dewantara

Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia adalah hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat)
yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan
kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Kebudayaan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah buah budi dan hasil perjuangan hidup
manusia. Sebagai buah budi manusia kebudayaan digolongkan menjadi 3 yaitu :
1. Buah pikiran, seperti : ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan dan pengajaran, filsafat, dan
sejenisnya.
2. Buah perasaan, yaitu segala yang bersifat indah, luhur, baik, benar, adil, seperti: adat istiadat
(etika), seni (estetika), relegiusitas, dan sejenisnya.
3. Buah kemauan, yaitu semua cara perbuatan dan usaha manusia, contohnya aturan, hukum,
perundang undangan, tata cara, perdagangan, perindustrian, pertanian dan sejenisnya.
Sebagai hasil perjuangan hidup manusia, kebudayaan berupa barang- barang buatan
manusia dari jaman ke jaman. Contohnya : adalah alat rumah tangga, alat perang, alat komunikasi,
alat usaha dan sejenisnya. Sebagai buah budi kebudayaan mengandung keindahan dan keluhuran
yaitu, bersifat baik, benar, dan adil. Sedangkan kebudayaan hasil perjuangan manusia di samping
bersifat indah dan luhur juga bersifat memajukan dan memudahkan hidup dan kehidupan
manusia. Melalui kebudayaan orang dapat hidup tertib damai dan salam bahagia, dan dapat
menyejahterakan dan membahagiakan diri dan orang lain.
E. Kebudayaan menurut Clifford Geertz

Sebagai Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz memang sebuah konsep yang
dianggap baru pada masanya. Seperti dalam bukunya Interpretation of Culture, ia mencoba
mendefinsikan kebudayaan yang beranjak dari konsep yang diajukan oleh Kluckholn
sebelumnya, yang menurutnya agak terbatas dan tidak mempunyai standard yang baku dalam
penentuannya. Berbeda dengan Kluckholn, ia menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya
interpretatif, sebuah konsep semiotik, dimana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks yang
perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit
(Geertz; 1992, 5). Dalam usahanya untuk memahami kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai
teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam
kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam
penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam (thick description).
Geerts secara jelas mendefinisikannya. “Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan
simbol yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya,
menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang
ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di
mana orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan
dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur
perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik”. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem
simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan (Kuper;
1999, 98).
Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu
pendekatan yang sifatnya hermeneutic. Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia seniotik.
Pendekatan hermeunetik inilah yang kemudian menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan
sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan diinterpretasikan. Pengaruh hermeunetic
dapat kita lihat dari beberapa tokoh sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti Kenneth
Burke, Susanne langer, dan Paul Ricouer. Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan
fitur/keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik. Dari Paul
Ricouer, ia mengambil gagasan bahwa bangunan pengetahuan manusia yang ada, bukan
merupakan kumpulan laporan rasa yang luas tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan
simbol dan hukum yang mereka beri makna. Sehingga demikian tindakan manusia dapat
menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama seperti kita memperlakukan
teks tulisan (Kuper; 1999, 82).
Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman
masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada
akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang
dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada
dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik,
ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi
suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan
juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik
yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan
mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan (Geertz; 1992a, 3)
Agama bagi Geertz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, dimana ia melihat nilai-
nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Dimana dengan kumpulan makna tersebut,
masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Sehingga
dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan
digunakannya (Geertz; 1992b, 51). Ketika ia membagi kebudayaan jawa dalam 3 tipe variant
kebudayaan berbeda, Geertz melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara
tradisi yang berunsurkan animisme dengan agama Hindu & agama Islam yang datang kemudian,
lalu berkembang menjadi sebuah sinkritisme (Geertz, 1983, 6). Geertz kemudian
menginterpretasikan orang Jawa dalam 3 varian kebudayaan, yaitu abangan, santri, dan priyayi.
Pembedaan ini ia lihat juga sebagai suatu pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 inti struktur sosial
yang berbeda; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Suatu penggolongan yang menurut
pandangan mereka- kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka, yang
menghasilkan 3 tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa,
ide umum tentang ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan,
pedagang, dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan (Geertz; 1983, 5-6).
Ketiga varian tersebut mempunyai perbedaan dalam penerjemahan makna agama Jawa
melalui penekanan-penekanan unsur religinya yang berbeda. Seperti abangan yang menekankan
kepercayaannya pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali terdiri upacara ritual yang disebut
slametan, kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir dan magi; santri yang
menekankan kepercayaannya kepada unsur Islam; dan priyayi yang menekankan kepada unsur
Hinduisme, yaitu konsep alus dan kasar-nya.. Perbedaan penekanan unsur-unsur yang berbeda
tersebut berasal dari lingkungan yang dibarengi sejarah kebudayaan yang berbeda (Parsudi; VII,
1983). Dimana oleh Geertz masing-masing 3 varian tersebut mempunyai sejarah kebudayaan dan
lingkungan yang berbeda. Abangan dengan tradisi petani-nya di desa, santri dengan pengalaman
dagangnya di pasar dan pola migrasinya dari pesisir, dan priyayi dengan sejarah birokratik
aristokratiknya yang dibangun mulai dari masa keraton hingga masa Belanda di kota. Sehingga
dengan demikian Geertz juga mengkaitkan agama dengan penggolongan struktur sosial dan basis
ekonomi, dan ideologi politik. Ada kesesuian keagamaan masing-masing varian ini dengan
struktur sosial, organisasi sosial politik mereka. Seperti slametan yang ia nilai sebagai suatu
kesatuan mistis dan sosial yang ikut serta didalamnya atau semacam wadah bersama. Kemudian
Permai, yang tadinya berbasis organisasi politik kemudian semacam organisasi sosial kalangan
abangan modern. Dimana memang ia pada masa awal kariernya menfokuskan kepada hubungan
antara gagasan dan proses sosial dimana terjadi hubungan timbal balik antara kepercayaan dan
pembangunan politik dan ekonomi. Suatu gagasan yang ia dapatkan dari Weber (Kuper, 1999,
80). Dengan sifatnya mencoba mengkaitkan dengan gejala-gejala lainnya tersebut, Kuper
menyebutnya sebagai kebudayaan dalam bentuk agama yang terkonsentrasi yang dirubah
bentuknya oleh politik dan ekonomi, sebagaimana pendapat Weber (Kuper; 1999, 97).
Dalam pengkategorian 3 varian kebudayaan diatas memang tidaklah tepat benar. Hal ini
memang telah dikemukakan oleh Harsja W. Bachtiar yang melihat bahwa sebenarnya abangan
dan santri lebih merupakan suatu pengkategorian perilaku keagamaan seseorang, dan priyayi
sebagai kategori kelas sosial tertentu (Harsja W. Bachtiar;1973,1525). Juga demikian seperti apa
yang telah dikemukakan oleh Parsudi Suparlan yang melihat pengkategioian yang dibuat Geertz
mengacu secara implisit kepada model struktur sosial yang dibuat oleh Robert Redfield. Suatu
pembagian struktur sosial yang melihat kota dan desa sebagai 2 struktur sosial yang berbeda, yang
masing-masing diwakili oleh warga elit kotan dan petani desa, yang keduanya juga mempunyai
hubungan ketergantungan dan melengkapi sehingga membentuk suatu sistem sosial sendiri.
Penekanan yang berbeda dilakukan Geertz kepada dimensi struktur-nya, dan Redfield pada proses
komunikasi terus-menerus antar kota dan desa (Parsudi Suparlan;1983, IX). Geertz juga dikritik
bahwa penggolongan 3 varian kebudayaan tersebut itu merupakan bentuk penyederhaan realitas
yang sebenarnya jauh lebih kompleks (Kuper;1999,92). Memang sebenarnya Geertz ingin
mengungkapkan sistem penggolongan 3 varian kebudayaan berdasarkan penggolongan yang
dilakukan oleh orang Jawa sendiri., namun tetap saja kebudayaan sebagai suatu teks haruslah
diinterpretasikan oleh seorang antropolog. Hal yang sama juga diutarakan Parsudi dalam
pengantar Abangan, Santri, dan Priyayi tersebut (Parsudi Suparlan;1983,VIII). Kuper menuliskan
kritiknya terhadap Geertz tentang hal ini. “Sebuah kebudayaan tidaklah dipahami dengan mudah
oleh seorang aing yang simpatik, seperti diperkirakan oleh Geertz. Kebudayaan mungkin sebagai
suatu teks, tetapi ini adalah teks yang dibangun, fiksi yang ditulis seorang etnografer “
(Kuper;1999,19).
Bagi Geertz, agama juga tidak hanya menekankan hubungan makna yang sifatnya harmoni
dan penuh keseimbangan dari ketiga struktur sosial tersebut tetapi ia juga mempunyai kekuatan
yang memecah. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem budaya agama jawa mempunyai
kekuatan untuk menyeimbangankannya lagi. Seperti ia sebutkan beberapa faktor yang cenderung
mempertajam konflik, seperti konflik ideologis, sistem stratifikasi sosial, perjuangan politik demi
kekuasaan, dan kebutuhan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh
perubahan sistem sosial yang cepat. Namun ada faktor-faktor yang menurutnya dapat meredakan
konflik, yaitu perasaan kebudayaan yang satu, pola-pola keagamaan tidak terwujud secara
langsung dalam bentuk-bentuk sosial, toleransi umum, dan adanya mekanisme integrasi sosial
yang sifatnya pluralistik (Geertz; 1981, 475-477). Nampak terlihat pengaruh Parson terlihat
disini, karena dalam masa penulisan buku Religion of Jawa ini, Geertz memang berada masa awal
karier ilmuwannya, dimana ia mendapatkan pengaruh wacana sistem yang kuat dari Parson
(Kuper, 1999, 79). Didalam sistem ada keseimbangan, agama, struktur sosial, emosi, dan bentuk
konvensional dari tindakan dan dorongan masing-masing (Kuper;1999, 101).
Berkaitan dengan politik dan agama, ia melihat bahwa nilai-nilai yang dibagi bersama,
yang ada dalam solidaritas yang pernah terwujud diantara masyarakat pedesaan telah terhapus
pada saat mereka tinggal dikota oleh polarisasi keagamaan dan politik. Ritual-ritual yang pernah
menciptakan kesatuan dalam masyarakat desa, sekarang telah terpisa-pisah, institusi politik yang
lama tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan kondisi yang ada dan diruntuhkan oleh kompetisi
untuk mendukung partai yang dihasilkan oleh perkembangan politik nasional (Kuper;1999. 92).
Kuper juga mempertanyakan ketika Geertz melihat pembedaan 3 varian kebudayaan tersebut
sebagai 3 elemen dari 1 masyarakat, bukan merupakan 3 masyarakat berbeda yang dalam suatu
kota. Jika Mojokuto dilihat sebagai arena sosial yang tunggal, maka faktanya adalah bahwa disana
ada 3 komunitas yang dapat memperkuat konflik dan disintegrasi sosial dan mengundang
permasalahan politik (Kuper;1999, 90). Geertz memang tidak secara khusus memberikan
perhatiannya pada konflik pollitik nasional yang kemudian menyeret pada konflik agama, seperti
yang terjadi pada tahun 1965, ketika terjadi konflik politik (Komunis vs Tentara/Islam). Geertz
sendiri sadar akan kekuatan eksternal ini, tetapi kerangka analitiknya tidak mencakup pengaruh
politik lokal, nasional, dan internasional ketika itu (Kuper;1999, 95). Keadaan ini juga
memperkuat kritik tentang batas pengetahuan lokal. Dimana etnografer dituduh mempertahankan
kedekatannya dengan obyek yang diteliti, tidak memberikan perhatian pada perubahan yang
sifatnya jangka panjang dan pengaruh yang datang dari luar. Geertz sesekali menerima tuduhan
itu. Seperti ketika ia membuat generalisasi Mojokuto dengan Jawa atau bahkan Indonesia, atau
ketika menganalisa proses sosial dan politik di dalam kota, ia tidak memperlihatkan hubungan
antara Mojokuto dan Jakarta (Kuper,1999,99-100).
Selain itu dalam membuat pengkategorian, Geertz yang berusaha membuat pentipean
secara ideal, sehingga menjadi suatu pembedaan yang kontras dan absolut. Meskipun ia sendiri
melihat pembagian ini bukanlah pembedaan yang sifanya absolut, tetapi dari penggolongan yang
ia lakukan terkesan pembedaan absolut itu. Seperti misalnya abangan dengan elemen petani
pedesaan dan slemtan sebagai upacara ritualnya.Santri dengan elemen dagang dan pasar. Santri
modern dengan Muhamadyah, santri kolot dengan Nadhatul Ulama. Dengan penggolongan
seperti ini nampak terlihat Geertz melakukan homogenisasi obyek kajiannya, sehingga ia
menutup atau mengurangi kemungkinan-kemungkinan lain. Seperti ia memberi label kepada tipe
campuran dan kelompok marjinal pada tipe-tipe minoritas dan varian yang tidak berada secara
tegas di 3 varian yang baku, abangan, santri, dan priyayi.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. N. (2019). Nilai-nilai Budaya dalam Pengajaran Bahasa.


DOI:10.13140/RG.2.2.24010.11205
Halik, Abdul. (2015). Peran Media Massa dalam Komunikasi Antarbudaya. Jurnal Al- Khitabah, II
(1), 83-92.
Kristianto, Imam. (2019). Kesenian Reyog Ponorogo dalam Teori Fungsionalisme.
Tamumatra: Jurnal Seni Pertunjukkan, 1 (2), 69-82.
Ningtias, N. F., dan Tjahjono, Tengsoe. (2022). Nilai-nilai Budaya dalam Novel “Di Bawah Langit
yang Sama” Karya Helga Rif: Kajian Budaya Clyde Kluckhohn. Jurnal Bapala, 9 (8), 323-333.
Rahaniyah, dkk. (2020). Pengantar Ilmu Komunikasi: Peran Kebudayaan dalam Kehidupan
Manusia, Serta Pengaruh Kebudayaan Terhadap Komunikasi. Bandung: Media Sains
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai