Anda di halaman 1dari 19

ETNISITAS, MULTIKULTURALISME DAN PERUBAHAN SOSIAL

V. SISTEM NILAI BUDAYA

A. SISTEM. Pengertian Sistem menurut para ahli, antara lain :

1. Poerwadarminta. Sistem menurutnya adalah merupakan sekelompok bagian


yang berupa alat dan lain sebagainya yang mana sekelompok tersebut bekerja sama untuk
mencapai tujuan tertentu.

2. Lani Sidharta. Sistem menurutnya adalah kumpulan dari beberapa unsur


dimana unsur tersebut saling berkaitan bersama dan beroperasi dalam mencapai suatu
tujuan yang sama.

3. James Havery. Menurut James, sistem merupakan sebuah prosedur logis dan
rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan
yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha
mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

4. Umar Fahmi Achmadi. Sistem menurutnya adalah merupakan suatu tatanan


yang mendeskripsikan rangkaian komponen-komponen yang saling berkaitan dan
memiliki tujuan yang sama secara seimbang dan serasi juga terkoordinasi serta terus
berjalan dalam jangka waktu yang telah direncanakan.

5. Djekky R. Djoht. Sistem menurutnya adalah pengelompokan objek-objek


yang menyatu karena adanya beberapa bentuk interaksi yang tetap dan saling tergantung,
yang telah dikombinasikan sedemikian rupa oleh alam maupun oleh seni sehingga
membentuk keseluruhan yang integral dan beroperasi, berfungsi serta bergerak dalam
satu kesatuan.

6. Salisbury. Sistem menurutnya adalah sekelompok komponen atau bagian


yang bekerja sama sebagai satu kesatuan.

7. John Mc. Manama. Menurut John, sistem adalah sebuah struktur konseptual
yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan, yang bekerja sebagai suatu
2

kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.
Dari berbagai pandangan terkait system yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa : Sistem adalah Rangkaian atau hubungan dari suatu objek
tertentu yang saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain dan mempunyai maksud
dan tujuan yang sama. Secara umum, sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang
berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

B. NILAI. Pengertian Nilai menurut para ahli, antara lain :

1. Bambang Daroeso. Nilai adalah sesuatu yang berkualitas atau penghargaan


terhadap sesuatu yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang.

2. Darji Darmodiharjo. Nilai adalah kualitas atau keadaan sesuatu yang


bermanfaat bagi manusia baik lahir maupun batin.

3. Widjaya. Nilai adalah menimbang, maksudnya adalah kegiatan


menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk selanjutnya mengambil
keputusan. Keputusan ini dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak
benar, indah atau tidak indah dan lain sebagainya.

4. Kluckhohn. Nilai adalah konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya


membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan yang
mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan.

Dari berbagai pandangan terkait nilai yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa : Nilai (value) adalah sesuatu yang berharga, baik dan berguna
bagi manusia.

C. NILAI BUDAYA DAN SISTEM NILAI BUDAYA.

1. Nilai Budaya menurut Koenjaraningrat yaitu Nilai Budaya terdiri dari


konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu
masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai
budaya yang dimiliki seseorang mampengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-
cara, alat-alat dan tujuan-tujuan yang tersedia.
3

2. Sistem Nilai Budaya. Orientasi nilai budaya atau yang bisa juga disebut
sebagai Sistem Nilai Budaya adalah konsep – konsep yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar masyarakat yang berkaitan dengan apa yang diinginkan, pantas, dan
berharga, yang mempengaruhi individu yang memilikinya dan berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Perbedaan antara orientasi nilai budaya
tersebut dengan sikap mental menurut Koentjaraningrat, sikap mental
(attitude) merujuk pada individu dan nantinya secara sekunder kepada masyarakat. Sikap
merupakan suatu disposisi atau keadaan mental seseorang untuk bereaksi terhadap
lingkungannya.

Kluckhohn dalam bukunya yang berjudul “Variations in Value


Orientation” menyatakan bahwa sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia
sebenarnya mengenai 5 masalah pokok dalam kehidupan manusia.

Masalah Dasar
Orientasi Nilai Budaya
dalam Hidup
Hidup itu buruk,
tetapi manusia
Hakikat Hidup
Hidup itu buruk. Hidup itu baik. wajib berikhtiar
(HK)
supaya hidup itu
menjadi baik.
Karya itu untuk
Hakikat Karya Karya itu untuk nafkah Karya itu untuk
kedudukan,
(HK) hidup. menambah karya.
kehormatan, dsb.
Persepsi Manusia
Orientasi ke masa
Tentang Waktu Orientasi ke masa kini. Orientasi ke masa lalu.
depan.
(MW)
Pandangan
Manusia menjaga
Manusia Manusia tunduk kepada alam Manusia berusaha
keselarasan dengan
Terhadap Alam yang dahsyat. menguasai alam.
alam.
(MA)
Orientasi kolateral
Hakikat Orientasi vertikal, rasa Individualisme
(horizontal), rasa
Hubungan ketergantungan kepada menilai tinggi
ketergantungan kepada
Manusia Dengan tokoh – tokoh atasan usaha atas
sesamanya (berjiwa gotong
Sesamanya (MM) dan berpangkat. kekuatan sendiri.
royong).
4

a. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia (HK).


1)      Hidup itu buruk. Hidup itu ditanggapi oleh manusia sebagai hal yang
buruk jika manusia tersebut mengalami kesulitan atau kegagalan dalam
hidupnya dan berpendapat bahwa hidup itu negatif. Sebagai contoh, di
Amerika terdapat suku Indian yang memiliki paham bahwa setiap bayi
yang lahir itu adalah suatu kesialan. Dan jika ada orang yang mati, itu
merupakan suatu hal yang menggembirakan. Hal tersebut terjadi karena
mereka berpendapat bahwa bayi yang lahir tersebut nantinya hanya akan
mendapat kesulitan dan kesengsaraan dalam menjalani hidup di dunia.
Mereka juga berpendapat bahwa yang mati akan bahagia hidup di alam
sana karena telah terbebas dari masalah – masalah dalam hidup. Sehingga
ketika ada bayi lahir, mereka menyambutnya seperti pemakaman.
Sedangkan ketika ada kematian, mereka merayakannya seperti pesta.
2) Hidup itu baik. Hidup itu sebagai suatu hal yang baik jika kita
beranggapan bahwa hidup merupakan suatu anugerah dari Tuhan dan
merupakan hal yang berdampak positif. Sebagai contoh, seorang yang
sukses di dunia pasti beranggapan bahwa hidup di dunia merupakan
anugerah dari Tuhan karena bisa menikmati hidup serta sukses di dunia.
3)       Hidup itu buruk tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu
menjadi baik. Sebagai contoh, seorang yang kurang mampu dan serba
5

kekurangan, pasti akan beranggapan bahwa hidup itu buruk karena banyak
mengalami kesulitan. Namun, orang yang memiliki agama pasti
beranggapan bahwa hidup memang buruk tetapi akan menjadi lebih baik
apabila kita berikhtiar. Sehingga, untuk mencapai suatu hidup yang lebih
baik tersebut, manusia perlu berikhtiar untuk mencapai kesuksesan dan
kemudahan dalam hidup.
b. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia (MK).
1) Karya itu nafkah hidup. Sebagai contoh, seorang pencipta lagu
yang membuat berbagai lagu untuk penyanyi lain. Orang lain pasti
beranggapan bahwa karya hasil ciptaannya yang berupa lagu untuk
penyanyi baru tersebut adalah hal yang membuat penyanyi tersebut tenar.
Namun, sebenarnya di sisi lain seorang pencipta lagu beranggapan bahwa
karyanya itu dibuat untuk orang lain agar mendapat royalti atau
pendapatan dari penyanyi baru tersebut. Jadi, sebuah karya diciptakan
untuk menafkahi hidup sang pembuat karya tersebut.
2) Karya itu untuk kedudukan, kehormatan dan sebagainya. Sebagai
contoh, Bill Gates membuat sebuah karya berupa Operating System yang
diproduksi oleh perusahaannya yaitu Microsoft. Ia membuat karya
tersebut awalnya bukan karena ingin menjadi orang yang nantinya kaya
raya. Namun, ia membuat karya tersebut agar mendapat penghargaan dan
kehormatan atas karyanya yang mampu memperlancar segala kegiatan IT
dan memotivasi orang lain untuk berkarya kreatif seperti dirinya, sehingga
ia mampu menjadi Presiden Microsoft. Jadi, karya itu dianggap sebagai
alat untuk mendapat kehormatan atau kedudukan yang lebih tinggi.
3) Karya itu untuk menambah karya. Sebagai contoh, seorang penyair
atau pembuat puisi membuat puisi tersebut selain untuk berkarya, juga
untuk menambah karya – karyanya yang dulu sudah ada agar bertambah
banyak dan menjadi terkenal karena puisinya yang banyak. Contoh yang
lain yaitu seorang pencipta lagu keroncong. Ia membuat karyanya itu
bukan untuk mendapatkan uang, tetapi lebih kepada untuk menambah lagu
6

keroncong Indonesia yang sudah jarang ada dan untuk melestarikan


budaya keroncong.
c. Masalah mengenai hakikat dari kehidupan manusia dalam ruang waktu
(MW).
1) Orientasi ke masa kini. Sebagai contoh, orang – orang kaya yang
tingkat konsumsinya tinggi hanya berpikir untuk masa kini. Mereka
membeli sesuatu hanya untuk digunakan atau hura – hura di masa
sekarang. Mereka tidak berpikir untuk kedepannya dan apakah kekayaan
mereka bisa untuk mencukupi kebutuhannya di masa yang akan datang.
Biasanya orang yang berpikir seperti itu selalu kesusahan di masa
mendatang.
2) Orientasi ke masa lalu. Sebagai contoh, orang – orang yang sudah
tua dan selalu berpikir dengan cara yang dulu. Mereka selau mengingat
masa lalu mereka dan tidak melihat ke depan. Jika dihadapi dengan
persoalan mengenai masa kini atau masa depan, mereka selalu kesulitan.
Biasanya orang yang berpikir seperti ini memiliki sifat keras kepala.
3) Orientasi ke masa depan. Sebagai contoh, orang – orang yang
sukses selalu berpikir untuk masa depan hidup mereka. Namun, mereka
juga belajar dari masa lalu mereka untuk mendapatkan kemudahan di
masa depannya. Biasanya orang yang berpikir seperti ini selalu
merencanakan segala sesuatunya dengan baik dan teratur. Orang – orang
yang seperti ini selalu mendapat kesuksesan di masa yang akan datang
walaupun dalam prosesnya sering mendapat kesusahan.
d. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
(MA).
1) Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat. Sebagai contoh, BBM
yang merupakan bahan bakar minyak. Manusia di dunia sebagian besar
menggunakan kendaraan yang berbahan bakar BBM. Jika alam tidak
menyediakan bahan untuk membuat BBM, maka manusia akan kesulitan
dan akhirnya tak berdaya karena kehendak alam. Contoh lain adalah
bencana alam. Sehebat – hebatnya manusia dalam membuat bangunan,
7

pasti bangunan tersebut akan runtuh juga oleh bencana alam dan membuat
manusia menjadi tak berdaya. Ia membuktikan bahwa manusia masih
tunduk kepada alam yang dahsyat.
2) Manusia menjaga keselarasan dengan alam. Sebagai contoh,
penghargaan Adipura atau Kalpataru merupakan contoh usaha manusia
untuk menjaga keselarasan dengan alam melalui penghargaan bagi daerah
yang bisa menjaga alam agar tetap bersih dan sehat.
3) Manusia berusaha menguasai alam. Sebagai contoh, para penebang
hutan liar di Kalimantan berusaha memanfaatkan alam untuk kepentingan
mereka sendiri. Mereka tidak memikirkan akibat yang akan ditimbulkan
dari kegiatan ilegal mereka tersebut seperti terjadinya bencana alam.
Contoh lain adalah para pemburu binatang untuk diawetkan. Mereka tidak
berpikir bahwa binatang jika diburu akan dapat merusak habitat dan
ekosistem lingkungan alam. Mereka hanya berpikir jika mereka
mendapatkan binatang untuk diawetkan, mereka akan mendapatkan uang
banyak.
e. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya
(MM).
1) Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada
sesamanya (berjiwa gotong royong). Manusia sejak lahir memiliki rasa
untuk ingin hidup bersama dengan yang lain. Manusia tidak dapat hidup
tanpa adanya bantuan dari orang lain. Maka dari itu, manusia sangat
bergantung pada manusia yang lain sehingga saling membantu antara satu
dengan yang lain. Contohnya adalah bertetangga. Dalam bertetangga kita
pasti menjalin hubungan untuk saling membantu atau gotong royong.
Suatu keluarga tanpa adanya tetangga dalam daerahnya, maka akan
kesulitan dalam menjalani hidup. Jadi, manusia itu sejak lahir memiliki
rasa ketergantungan terhadap sesamanya.
2) Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh – tokoh
atasan dan berpangkat. Seseorang dalam hidup pasti membutuhkan orang
atau tokoh atasannya untuk membantunya dalam mengatasi permasalah
8

hidup. Sebagai contoh, seorang siswa SMA tidak akan bisa lulus Ujian
Nasional tanpa adanya bantuan bimbingan dari tokoh atasannya yaitu
gurunya. Jika guru tersebut tidak memberikan bimbingan kepadanya,
maka murid tersebut akan kesulitan dalam menghadapi Ujian Nasional
dan akhirnya tidak lulus. Jadi, manusia selain tergantung pada sesamanya
yang sederajat, juga tergantung pada manusia yang lebih tinggi derajatnya.
3) Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri. Sebagai
contoh, seorang pebulutangkis yang bermain tunggal akan menganggap
bahwa kemenangan dia merupakan hasil jerih payahnya yang
membuktikan dirinya lebih bagus dari pebulutangkis yang lain. Dia
menganggap bahwa dirinya tak perlu bantuan orang lain untuk bermain
ganda agar menang. Sikap ini sering kali menimbulkan rasa sombong
yang akhirnya membuat orang lain tidak suka terhadap sikapnya tersebut.
(http://www.mistersosiologi.com/2015/03/kerangka-kluckhohn.html)

D. PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL (SOCIAL MATERIAL).

1. Cultural Lag (Ketertinggalan budaya). Tokoh sosiologi yang masuk dalam


kategori pendekatan kultural adalah William F. Ogburn. Sumbangannya yang paling
terkenal terhadap bidang ini adalah konsepnya tentang Ketinggalan Budaya (Culture
Lag). Konsep ini mengacu pada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-
pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behind) perubahan-perubahan
dalam kebudayaan materiil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu ditandai
oleh ketegangan antara kebudayaan materiil dan nonmateriil.

a. Kebudayaan Materiil. Bagi Ogburn, segi yang paling penting dari


perubahan sosial adalah kemajuan dalam kebudayaan materiil, termasuk
penemuan-penemuan dan perkembangan teknologi, lebih mengambil suatu
pendekatan perilaku terhadap gejala budaya. Produk-produk materiil merupakan
hasil dari kegiatan manusia, warisan sosial yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya dan ditiru sebagai hasil dari proses pengaruh sosial. Perhatian
Ogburn yang utama adalah menunjukkan bahwa perilaku manusia merupakan
9

produk warisan sosial atau budaya, bukan produk factor-faktor biologis yang
diturunkan. Pola-pola perilaku nyata memperlihatkan suatu tingkat keteraturan
yang tinggi karena orang cenderung meniru perilaku orang lain dan mengulang
pola-pola perilakunya secara terus menerus, khususnya yang berhasil. Kumpulan
pola-pola perilaku yang mapan dari sebagian besar penduduk dan saling
ketergantungan perilaku-perilaku yang dibakukan ini antara berbagai bagian
masyarakat, membentuk kenyataan sosial atau kenyataan budaya. Meskipun
perubahan-perubahan ini benar-benar terjadi sebagai akibat dari penemuan dan
inovasi sewaktu-waktu, Ogburn menekankan adanya kecenderungan yang luas
untuk menolak perubahan itu, baik karena kebiasaan maupun karena keuntungan
lain yang diakibatkan karena mempertahankan kebiasaan-kebiasaan yang sudah
mapan. Penemuan dan inovasi paling sering terjadi dalam dunia kebudayaan
materiil. Perubahan-perubahan ini terbentang mulai dari penemuan-penemuan
awal seperti roda dan perkakas tangan sampai ke komputer yang menghitung
dengan cepat dan satelit-satelit komunikasi.

b. Kebudayaan nonmaterial. Seperti kebiasaan, tata cara, pola-pola


organisasi sosial akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
dalam kebudayaan materiil, tetapi karena adanya berbagai sumber yang menolak
perubahan, proses penyesuaian ini selalu ketinggalan di belakang perubahan-
perubahan dalam kebudayaan materiil. Hasilnya adalah ketimpangan integrasi
(malintegration) atau ketegangan antara kebudayaan materiil dan kebudayaan
nonmateriil. Perubahan-perubahan dalam kebudayaan materiil sudah terjadi dari
masa ke masa dalam sejarah, tetapi derap perubahan menjadi sangat cepat karena
datangnya Revolusi Industri dan tekanan yang terus menerus pada perkembangan
teknologi. Jadi kebudayaan nonmateriil tidak mampu mengejar, karena kecepatan
perubahan dalam kebudayaan materiil terus menerus melaju. Hasilnya adalah
suatu ketegangan yang terus meningkat antara kebudayaan materiil dan yang
beradaptasi atau kebudayaan nonmateriil. Banyak masalah sosial zaman sekarang
dapat ditelusuri pada kegagalan kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola
institusional untuk mengikuti kemajuan teknologi dalam kebudayaan materiil.
10

Tesis Ogburn sangat merangsang dan populer; sering disebut-sebut dalam buku
pengantar, beserta contoh-contoh jenis ketegangan budaya yang dijelaskan teori itu.
Bersama dengan M.F. Nimkoff, Ogburn memperlihatkan dalam institusi keluarga,
ketegangan sebagian besar penduduk Amerika sudah berubah dari lingkungan pertanian
desa ke suatu lingkungan industrialisasi kota. Sementara perubahan ini terjadi, banyak
fungsi tradisional dalam keluarga diambil alih oleh institusi-institusi lainnya yang
membatasi keluarga pada tugas mempertahankan ikatan antara anggota keluarga dan
memberikan kebahagiaan individu. Tetapi melaksanakan tugas-tugas ini tidaklah mudah,
karena kurangnya fungsi-fungsi lain yang mengikat dan bertambahnya tekanan pada
individualisme dalam lingkungan kota. Dengan nada yang sama Ogburn dan Nimkoff
menganalisis berbagai akibat sosial dari perpindahan dengan meramalkan akibat itu
pada persebaran penduduk, pola-pola organisasi dan sebagainya. Kegagalan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial para pekerja secara memadai diganti oleh
mekanisasi dan otomatisasi; pertumbuhan gudang informasi komputer secara besar-
besaran, dan sistem-sistem untuk mendapat informasi itu kembali tanpa penjagaan
terhadap penggunaan yang salah dari informasi pribadi atau pelanggaran hak-hak pribadi
individu; perkembangan dan perluasan senjata nuklir dengan perlindungan yang tidak
mencukupi terhadap salah pengertian atau perhitungan yang meleset di kalangan
internasional; meluasnya penolakan negara-negara sedang berkembang terhadap teknik-
teknik pembatasan kelahiran semuanya ini dan contoh-contoh lainnya mengenai
ketinggalan yang tidak dicantumkan disini, menggambarkan ketegangan yang dianalisis
Ogburn dan memperlihatkan jelasnya kesahihan teorinya.

Pandangan bahwa kebudayaan nonmateriil selalu tertinggal di belakang


kebudayaan materiil, paling-paling merupakan gambaran sebagian saja dari sumber-
sumber ketegangan sosial atau dinamika perubahan sosial. Dalam beberapa kasus,
jawaban terhadap suatu ketegangan yang disebabkan oleh suatu inovasi teknologi
bukanlah penyesuaian dunia kebudayaan nonmateriil, melainkan inovasi teknologi
tambahan. Misalnya dalam banyak hal, kemajuan-kemajuan baru dalam teknologi
kedokteran mula-mula hanya tersedia untuk kalangan terbatas. Tentu saja bagi orang-
orang yang hidup di tempat-tempat terpencar dan terpencil yang sadar akan kemajuan-
kemajuan itu dan yang dapat menarik keuntungan darinya, kesulitan untuk
11

mendapatkannya dialami sebagai suatu ketegangan. Pemecahan yang jelas dari


ketegangan seperti itu adalah inovasi tambahan, dimana inovasi yang tadi itu dapat
disediakan dalam jumlah yang banyak. Sama halnya, peningkatan dalam produktivitas
pertanian yang hebat yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi, tidak seimbang dengan
perkembangan dalam mekanisme distribusi yang sesuai dengan itu dalam beberapa
negara sedang berkembang. Walaupun demikian, orang boleh berargumentasi bahwa
penggunaan inovasi teknologi yang meluas ini akan bergantung pada perubahan-
perubahan yang sesuai dalam sikap dan nilai-nilai nonmateriil. Namun, kelihatannya
sering ada ketinggalan antara perkembangan inovasi teknologi dan penyebaran inovasi;
penyebaran itu bergantung pada kemajuan teknologi tambahan.

2. Ketertinggalan dalam kebudayaan materiil. Dalam beberapa hal,


mungkin berguna untuk membalikkan urutan perubahan kebudayaan seperti yang
dihipotesakan Ogburn, yaitu menemukan situasi-situasi dimana kemajuan dalam
kebudayaan nonmateriil lebih dahulu daripada kebudayaan materiil. Urutan yang terbalik
ini dapat berlaku untuk bidang khayalan ilmiah, dimana impian-impian mengenai inovasi
teknologis sudah ada jauh sebelum inovasi itu berhasil. Misalnya, orang sudah lama
berkhayal mengenai penerbangan jauh sebelum kapal terbang dikembangkan.
Perkembangan masa kini dalam penjelajahan ruang angkasa sudah dibayangkan dalam
tulisan-tulisan khayalan ilmu pengetahuan beberapa tahun sebelum terlaksananya.
Singkatnya suatu perkembangan teknologi yang sudah tercapai tidak muncul tiba-tiba
dalam dunia sosial; selalu didahului oleh satu ide bahwa beberapa kemungkinan tertentu
pantas dicapai. Kami tidak mengemukakan bahwa ide-ide penting yang merangsang
perubahan harus selalu dicari dalam khayalan ilmiah; perkembangan dalam ilmu
pengetahuan nampaknya lebih penting daripada khayalan ilmiah. Lebih penting lagi, cita-
cita dan nilai-nilai budaya tertentu sudah merupakan bagian dari warisan budaya selama
ribuan tahun dan masih dianggap sebagai produk akal budi manusia yang sangat maju
dan paling memberikan terang, meskipun alat-alat atau teknologi untuk mengisi cara itu
masing-masing harus dikembangkan.

Suatu model yang lengkap mengenai kecepatan perubahan budaya yang berbeda-
beda akan harus meliputi situasi-situasi, dimana perubahan budaya nonmateriil
12

kelihatannya merupakan aspek yang penting dan situasi di mana perubahan kebudayaan
materiil juga penting. Sebagai contoh, dalam banyak kehidupan, cita-cita etis yang tinggi
dari agama-agama besar dunia tidak dilihat sebagai tujuan-tujuan yang realistis, yang
dapat dicapai tanpa suatu kompromi besar-besaran. Tak ada alat-alat teknologi apapun
yang dapat membuat cita-cita besar dan transenden itu menjadi usang. Cita-cita ini tidak
merupakan ketinggalan budaya; mereka jauh mendahului perkembangan dalam
kebudayaan materiil atau penyesuaian perilaku atau organisasi terhadap perubahan-
perubahan kebudayaan nonmateriil itu. Contoh tersebut menggambarkan tipe situasi di
mana aspek-aspek kebudayaan nonmateriil tertentu tertinggal di belakang aspek-aspek
kebudayaan nonmateriil lainnya. Singkatnya perubahan sosio-budaya lebih rumit dan
memperlihatkan lebih banyak variasi daripada yang dikenal dalam tesis Ogburn
mengenai ketinggalan budaya (culture lag). Namun, tesis ini sahih dalam batas-batas
tertentu.

E. CARA TEKNOLOGI MENGUBAH KEBUDAYAAN.

William F. Ogburn mengusulkan suatu pandangan mengenai perubahan sosial


yang didasarkan pada teknologi. Menurutnya teknologi mengubah masyarakat melalui 5
proses, yaitu :
1. Penciptaan (Invensi). Ogburn mendefinisikan penciptaan sebagai suatu
kombinasi unsur dan bahan yang ada untuk membentuk unsur dan bahan yang baru. Kita
biasanya hanya memikirkan penciptaan sebagai suatu yang bersifat meteriil seperti
computer, namun ada juga yang disebut dengan penciptaan sosial, contoh kapitalisme,
birokrasi, korporasi dan lain-lain. Sebagaimana telah kita lihat, penciptaan sosial dapat
memberikan konsekuensi besar terhadap hubungan dengan orang lain. (Henslin, 2006:
223).
2. Penemuan (Discovery). Obgurn mengidentifikasikan penemuan sebagai
suatu cara baru melihat kenyataan, sebagai suatu proses perubahan kedua. Kenyataannya
sendiri sudah ada, tetapi orang baru melihatnya tetapi orang baru melihatnya untuk
pertama kali. Salah satu contohnya adalah penemuan Amerika Utara oleh Columbus,
yang membawa konsekuensi besar sehingga mengubah perjalanan sejarah manusia.
Contoh ini mengilustrasikan pula suatu prinsip lain, yaitu penemuan hanya akan
13

menciptakan perubahan yang besar apabila muncul pada waktu yang tepat. Kelompok
lain, seperti orang Viking, sebelumnya telah menemukan Amerika dalam arti bahwa
mereka mengetahui adanya suatu daratan lain, namun pemukiman Viking di Amerika
Utara lenyap dalam sejarah dan kebudayaan Norse idak tersentuh oleh penemuan
tersebut. (Henslin, 2006: 223).
3.   Difusi (Diffusion). Ogburn menekankan bahwa difusi penyebaran suatu
penciptaan dan penemuan dari suatu wilayah ke wilayah lain, dapat berakibat besar pada
kehidupan orang. Contoh: ketika para misionaris memperkenalkan kapak baja kepada
orang Aborigin di Australia, hal tersebut mengguncangkan seluruh masyarakat Aborigin.
Sebelumnya, para lelaki memiliki kendali atas pembuatan kapak dan mewariskannya
turun temurun dari bapak ke anak. Perempuan harus meminta izin kepada laki-laki untuk
dapat menggunakan kapak. Ketika kapak baja menjadi lazim, perempuan pun juga
memiliknya dan para lelaki kehilangan status dan kekuasaan. (dikutip dari Sharp 1995,
dalam Henslin, 2006: 223). Difusi juga mencakup pula penyebaran ide. Sebagaimana
ide kewarganegaraan mengubah struktur politik di seluruh dunia. Ide tersebut menggusur
raja sebagai sumber otoritas yang tidak dapat digugat. Konsep kesetaraan gender
sekarang sedang dikumandangkan di seluruh dunia. Meskipun konsep kesetaraan gender
dianggap lazim di beberapa bagian dunia, ide bahwa penolakan hak seseorang atas dasar
jenis kelamin adalah suatu tindakan keliru masih merupakan suatu ide yang revolusioner
di beberapa kebudayaan.
4. Akumulasi. Akumulasi dihasilkan dari lebih banyaknya unsur baru yang
ditambahkan kepada satu kebudayaan dibanding dengan unsur-unsur lama yang lenyap
dari kebudayaan bersangkutan. (Lauer, 1993: 210).
5. Penyesuaian. Penyesuaian mengacu pada masalah yang timbul dari saling
ketergantungan seluruh aspek kebudayaan. Sebagai contoh, penemuan di bidang ekonomi
tanpa terelakkan akan mempengaruhi pemerintah menurut cara tertentu, pemerintah
terpaksa menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapkan oleh perubahan ekonomi.
Atau teknologi baru akan mempunyai dampak terhadap keluarga, memaksa keluarga
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, meskipun penemuan teknologi
berkaitan langsung dengan keluarga. (Lauer, 1993: 210).
F. PERGESERAN DAN FAKTOR SISTEM NILAI BUDAYA.
14

Pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat terjadi seiring pengaruh dari


globalisasi dan pengaruh budaya lain. Perkembangan cyber space, internet,
informasi elektronik dan digital, ditemui dalam kenyataan sering terlepas dari sistim nilai
dan budaya. Perkembangan ini sangat cepat terkesan oleh generasi muda yang
cenderung cepat dipengaruhi oleh elemen-elemen baru yang merangsang. Suka atau tidak
bila tidak disikapi dengan kearifan dan kesadaran pembentengan umat, pasti
akan menampilkan benturan-benturan psikologis dan sosiologis.
1. Pergeseran Sistem Nilai Budaya di Masyarakat.  Pada Era globalisasi telah
terjadi perubahan perubahan cepat. Dunia menjadi transparan, terasa sempit, hubungan
menjadi sangat mudah dan dekat, jarak waktu seakan tidak terasa dan seakan pula tanpa
batas. Perubahan yang mendunia ini akan menyebabkan pergeseran nilai-nilai budaya
tersebut. Perubahan tersebut meliputi  perubahan yang arus globalisasi.
a. Menggeser Pola Hidup Masyarakat. Dari agraris tradisional menjadi
masyarakat industri modern. Dari kehidupan berasaskan kebersamaan, kepada
kehidupan individualis. Dari lamban menjadi serba cepat. Dari berasas nilai sosial
menjadi konsumeris materialis. Dari tata kehidupan tergantung dari alam ke
kehidupan menguasai alam. Dari kepemimpinan formal ke kepemimpinan
kecakapan (professional).
b. Pertumbuhan Ekonomi. Globalisasi bergerak kesana dan kemari.
Arahnya akan menyangkut langsung kepentingan sosial pada masing-masing
negara. Keberbagaian atau keragaman yang berlaku selama ini berkesempatan
untuk berubah bentuk menjadi seragam dan serupa. Atau berlainan wadah serupa
isi. Masing-masing negara akan berjuang memelihara kepentingannya sendiri-
sendiri. Kecenderungan sikap kurang memperhatikan nasib negara-negara lain
akan merupakan kewajaran saja. Kecenderungan ini berpeluang melahirkan
kembali "Social Darwinism", secara konseptual didalam persaingan bebas bentuk
apapun, yang kuat akan bisa bertahan dan yang lemah akan mati sendiri.
Perubahan-perubahan tersebut otomatis menggeser nilai-nilai dalam masyarakat
yang mengalami perubahan-perubahan.
Pergeseran nilai budaya adalah perubahan nilai budaya dari nilai yang kurang
baik menjadi baik ataupun sebaliknya. Salah astu aspek yang bergeser dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini sistem nilai budaya yang menjadi ciri khas dari suatu keluarga
tertentu. Keluarga lebih banyak dimasuki oleh budaya dari luar sehingga nilai budaya
15

yang telah tertanam sejak dahulu kala dan merupakan warisan leluhur hampir-hampir
dilupakan oleh generasi sekarang ini. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemajuan
teknologi dan pesatnya laju pembangunan yang membawa dampak perubahan dan
pergeseran nilai di masyarakat. Pergeseran nilai dalam masyarakat kita perlu dilihat
sebagai proses sosial. Artinya sebagai proses, ia belumlah sebagai akhir dari tingkatan
masyarakat. Masih ada lanjutan tingkatan yang terus menjadi hingga sampai pada level
terakhir.
Pergeseran ini agar berjalan dengan baik, maka perlu pengawasan dari kita semua.
Jangan sampai budaya luhur yang telah ada menjadi kabur dan tidak up to date dengan
lingkungan kekinian. Pergeseran nilai selain bisa berakibat positif juga negatif.
Tergantung cara kita dalam melihat ruh pergeseran itu. Agar budaya massa kita
menjadikan pergeseran ini sebagai unsur konstruktif, maka perlu ada penyadaran seluruh
lapisan masyarakat. Penyadaran ini bisa dilakukan dalam skala struktur sosial kita.
2. Faktor Pergeseran Sistem Nilai Budaya. Banyak factor yang mempengaruhi
pergeseran sistem nilai budaya, dimana dalam pergeseran tersebut dapat berdampak
positif ataupun negative, tergantung dari perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Respon dalam menghadapi pergeseran sistem nilai budaya yang terjadi bergantung pada :
a. Agama. Dalam situasi kegalauan sosial seperti itu sebenarnya
‘agama‘dapat memberikan sumbangan yang berarti dan perlu menampakkan
peranannya yang strategis fungsional. Ajaran-ajaran agama akan terasa selalu
aktual dan fungsional, jika kita tanggap dengan patologi sosial yang melingkari
dunia keseharian manusia dewasa ini. Agama yang dipahami secara benar akan
berfungsi sebagai kompas penunjuk arah kemana kehidupan moderen yang penuh
perubahan tata nilai ini akan dimuarakan. Nilai- nilai agama yang menonjolkan
keadilan dan egalitarian akan selamanya tetap aktual. Implikasi keberjayaan iptek
adalah melebarnya jurang yang mempunyai dengan yang tidak mempunyai. Jika
karena tarikan konsumerisme orang seakan-akan lupa akan kenyataan sosial ini,
namun advokasi agama tetap secara vokal mengingatkan manusia supaya jangan
salah mengambil kebijaksanaan dalam masalah yang sangat peka sosial ini. Demi
kemajuan iptek, orang kadang lupa akan perlunya melestarikan lingkungan hidup.
Tanpa harus menunggu keganasan kemajuan iptek, agama juga telah memberikan
16

petunjuk bagaimana umat manusia berlaku santun terhadap alam lingkungannya.


Dalam mengantisipasi kerenggangan hubungan manusia dengan sesamanya,
sebagai akibat arus konsumerisme yang begitu deras, sebenarnya agama juga
telah menekankan perlunya kehidupan spiritual yang sangat bersifat subjektif dan
individual. Namun patut disayangkan bahwa kehidupan spiritualitas agama ini
agak kurang dapat dihargai sepatutnya lantaran pemahaman keagamaan yang
terlalu menekankan aspek formalitas dan legalitas. Kehidupan spiritualitas untuk
era sekarang ini perlu dikombinasikan dengan temuan-temuan psikologi jika
menginginkan sudut bidik dakwah mengenai sasaran. Bukan model yang lama
yang sulit dicerna oleh kalangan muda yang lagi memekarkan segala potensinya.
Erat kaitannya dengan psikologi ada anjuran agama untuk mengutamakan
kedamaian hidup keluarga, lantaran dari situlah pangkal tolak kedamaian dalam
pergaulan masyarakat luas. Bahkan ketenteraman hidup sosial antara berbagai
kelompok agama juga perlu diperhatikan. Masih banyak lagi dasar-dasar etika
agama yang dapat dimanfaatkan untuk memperkokoh eksistensi ketahanan
kehidupan pribadi maupun sosial sebagai pondasi dan tameng di tengah-tengah
kegalauan perubahan kehidupan masyarakat era industrialisasi yang
mempengaruhi terjadinya pergeseran sistem nilai budaya.
b. Modernitas. Salah satu efek dari modernisasi adalah pergeseran nilai,
yang dapat dilihat dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Ketika ada
unsur baru yang menarik di hati, maka masyarakat pun dengan perlahan tapi pasti
akan mengikut pada nilai tersebut. Dalam hal ini nilai positif yang konstruktif dan
negatif yang destruktif. Fenomena yang paling tampak depan mata adalah nilai
budaya. Nilai ini setidaknya bisa dilihat dari tiga hal : kognitif, interaksi sosial
dan artefak. Dalam tingkatan kognitif, budaya berada dalam pikiran pemeluknya.
Di situlah berkumpul nilai, pranata serta ideologi. Pada skala interaksi sosial, bisa
dilihat dan dirasakan karena ada hubungan. Sedangkan dalam wilayah artefak,
nilai yang telah diyakini oleh pemilik kebudayaan itu ada dijelmakan dalam
bentuk benda-benda. Jika melihat perihal masyarakat kita,
pergeseran nilai budaya memang wajar terjadi. Setidaknya ini terjadi karena efek
dari modernisasi dan globalisasi. Terkadang juga nilai budaya yang telah lama
17

dipegang menjadi sedemikian mudah untuk dilepaskan. Itu  dikarena terlalu


kerasnya tarikan modernitas. Modernitas seharusnya dimaknai sebagai pertemuan
dari berbagai unsur dalam bumi. Ada kebaikan ada keburukan, ada tinggi ada
rendah, ada atas ada bawah. Kita perlu selektif dalam mengadopsi unsur budaya
yang masuk. Jangan sampai pranata sosial yang telah lama dibangun kemudian
runtuh hanya persoalan kemilau modernitas. Kelompok yang paling mudah
mendapat pengaruh modernitas adalah golongan muda. Kaum muda biasanya
ditandai dengan proses pencarian jati diri. Dalam perjalanannya, kadang ada
individu yang berhasil mendapatkan jati dirinya dengan baik. Juga ada yang
terperangkap dalam lorong gelap modernitas. Salah satu pengaruh modernitas ada
pada dunia entertainment. Dunia ini penuh dengan lifestyle yang cenderung
kebarat-baratan. Kiblat hidupnya selalu ke negara barat. Persoalannya bukan pada
geografis, akan tetapi pada nilai. Sebagaimana kita ketahui, nilai barat cenderung
liberal. Terutama dalam pergaulan.
c. Pemimpin. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof.
Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai
yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi
abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu
organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun
reorganizing” (Soerjono Soekanto, P. 174) Budaya juga tercipta karena adanya
adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup
dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pemimpin
sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan
organisasi jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan public atau
khalayak, sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya
pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang
berpengaruh dalam bidangnya. Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah
sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak dalam
meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang
kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa :
“Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal
18

efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan
mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan
ketahanan“ (McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19). Sedang
menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa
dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan
semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap
lingkungan dan prilaku manusia” (Ndraha, 2003:123). Budaya yang kuat akan
mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal
ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap
sistem prilaku para anggota atau anak buah dibawahnya baik di dalam
organisasi maupun di luar organisasi. Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah
asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah
teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay Sathe
mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten
unstated) that member of a community share in common” (Sathe, 1985: 18).
“A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved
its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked
well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as
the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”.
(Schein, 1992:16). Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam
pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun
berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein
bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai : Secara lengkap Budaya bisa
merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar
sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Bisa
berupa perilaku langsung apabila menghadapi permasalahan maupun berupa
karakter khas yang merupakan sebuah citra yang bisa mendukung rasa bangga
terhadap profesi diri, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan
pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan eksternal
belajar. Lingkungan itu sendiri mendukung terhadap pencitraan di luar organisasi,
sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju
19

mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat


kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus
meningkatkan citra dirinya.
d. Adat Istiadat. Menurut Koentjaraningrat, tiap kelompok masyarakat
kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai
macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke
hari. Disini terlihat peran adat istiadat dalam mempertahankan budaya guna
mennyaring adanya pergeseran nilai-nilai budaya kea rah yang negative. Ini dapat
dilakukan salah satunya dengan menempatkan Lembaga Adat sebagai lembaga
yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli
di suatu daerah yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat, sehingga
dapat membantu dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat
istiadat lokal yang menunjang penyelenggaraan pemerintahan, kemasyarakatan
dan pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai