3. James Havery. Menurut James, sistem merupakan sebuah prosedur logis dan
rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan
yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha
mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.
7. John Mc. Manama. Menurut John, sistem adalah sebuah struktur konseptual
yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan, yang bekerja sebagai suatu
2
kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.
Dari berbagai pandangan terkait system yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa : Sistem adalah Rangkaian atau hubungan dari suatu objek
tertentu yang saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain dan mempunyai maksud
dan tujuan yang sama. Secara umum, sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang
berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Dari berbagai pandangan terkait nilai yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa : Nilai (value) adalah sesuatu yang berharga, baik dan berguna
bagi manusia.
2. Sistem Nilai Budaya. Orientasi nilai budaya atau yang bisa juga disebut
sebagai Sistem Nilai Budaya adalah konsep – konsep yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar masyarakat yang berkaitan dengan apa yang diinginkan, pantas, dan
berharga, yang mempengaruhi individu yang memilikinya dan berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Perbedaan antara orientasi nilai budaya
tersebut dengan sikap mental menurut Koentjaraningrat, sikap mental
(attitude) merujuk pada individu dan nantinya secara sekunder kepada masyarakat. Sikap
merupakan suatu disposisi atau keadaan mental seseorang untuk bereaksi terhadap
lingkungannya.
Masalah Dasar
Orientasi Nilai Budaya
dalam Hidup
Hidup itu buruk,
tetapi manusia
Hakikat Hidup
Hidup itu buruk. Hidup itu baik. wajib berikhtiar
(HK)
supaya hidup itu
menjadi baik.
Karya itu untuk
Hakikat Karya Karya itu untuk nafkah Karya itu untuk
kedudukan,
(HK) hidup. menambah karya.
kehormatan, dsb.
Persepsi Manusia
Orientasi ke masa
Tentang Waktu Orientasi ke masa kini. Orientasi ke masa lalu.
depan.
(MW)
Pandangan
Manusia menjaga
Manusia Manusia tunduk kepada alam Manusia berusaha
keselarasan dengan
Terhadap Alam yang dahsyat. menguasai alam.
alam.
(MA)
Orientasi kolateral
Hakikat Orientasi vertikal, rasa Individualisme
(horizontal), rasa
Hubungan ketergantungan kepada menilai tinggi
ketergantungan kepada
Manusia Dengan tokoh – tokoh atasan usaha atas
sesamanya (berjiwa gotong
Sesamanya (MM) dan berpangkat. kekuatan sendiri.
royong).
4
kekurangan, pasti akan beranggapan bahwa hidup itu buruk karena banyak
mengalami kesulitan. Namun, orang yang memiliki agama pasti
beranggapan bahwa hidup memang buruk tetapi akan menjadi lebih baik
apabila kita berikhtiar. Sehingga, untuk mencapai suatu hidup yang lebih
baik tersebut, manusia perlu berikhtiar untuk mencapai kesuksesan dan
kemudahan dalam hidup.
b. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia (MK).
1) Karya itu nafkah hidup. Sebagai contoh, seorang pencipta lagu
yang membuat berbagai lagu untuk penyanyi lain. Orang lain pasti
beranggapan bahwa karya hasil ciptaannya yang berupa lagu untuk
penyanyi baru tersebut adalah hal yang membuat penyanyi tersebut tenar.
Namun, sebenarnya di sisi lain seorang pencipta lagu beranggapan bahwa
karyanya itu dibuat untuk orang lain agar mendapat royalti atau
pendapatan dari penyanyi baru tersebut. Jadi, sebuah karya diciptakan
untuk menafkahi hidup sang pembuat karya tersebut.
2) Karya itu untuk kedudukan, kehormatan dan sebagainya. Sebagai
contoh, Bill Gates membuat sebuah karya berupa Operating System yang
diproduksi oleh perusahaannya yaitu Microsoft. Ia membuat karya
tersebut awalnya bukan karena ingin menjadi orang yang nantinya kaya
raya. Namun, ia membuat karya tersebut agar mendapat penghargaan dan
kehormatan atas karyanya yang mampu memperlancar segala kegiatan IT
dan memotivasi orang lain untuk berkarya kreatif seperti dirinya, sehingga
ia mampu menjadi Presiden Microsoft. Jadi, karya itu dianggap sebagai
alat untuk mendapat kehormatan atau kedudukan yang lebih tinggi.
3) Karya itu untuk menambah karya. Sebagai contoh, seorang penyair
atau pembuat puisi membuat puisi tersebut selain untuk berkarya, juga
untuk menambah karya – karyanya yang dulu sudah ada agar bertambah
banyak dan menjadi terkenal karena puisinya yang banyak. Contoh yang
lain yaitu seorang pencipta lagu keroncong. Ia membuat karyanya itu
bukan untuk mendapatkan uang, tetapi lebih kepada untuk menambah lagu
6
pasti bangunan tersebut akan runtuh juga oleh bencana alam dan membuat
manusia menjadi tak berdaya. Ia membuktikan bahwa manusia masih
tunduk kepada alam yang dahsyat.
2) Manusia menjaga keselarasan dengan alam. Sebagai contoh,
penghargaan Adipura atau Kalpataru merupakan contoh usaha manusia
untuk menjaga keselarasan dengan alam melalui penghargaan bagi daerah
yang bisa menjaga alam agar tetap bersih dan sehat.
3) Manusia berusaha menguasai alam. Sebagai contoh, para penebang
hutan liar di Kalimantan berusaha memanfaatkan alam untuk kepentingan
mereka sendiri. Mereka tidak memikirkan akibat yang akan ditimbulkan
dari kegiatan ilegal mereka tersebut seperti terjadinya bencana alam.
Contoh lain adalah para pemburu binatang untuk diawetkan. Mereka tidak
berpikir bahwa binatang jika diburu akan dapat merusak habitat dan
ekosistem lingkungan alam. Mereka hanya berpikir jika mereka
mendapatkan binatang untuk diawetkan, mereka akan mendapatkan uang
banyak.
e. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya
(MM).
1) Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada
sesamanya (berjiwa gotong royong). Manusia sejak lahir memiliki rasa
untuk ingin hidup bersama dengan yang lain. Manusia tidak dapat hidup
tanpa adanya bantuan dari orang lain. Maka dari itu, manusia sangat
bergantung pada manusia yang lain sehingga saling membantu antara satu
dengan yang lain. Contohnya adalah bertetangga. Dalam bertetangga kita
pasti menjalin hubungan untuk saling membantu atau gotong royong.
Suatu keluarga tanpa adanya tetangga dalam daerahnya, maka akan
kesulitan dalam menjalani hidup. Jadi, manusia itu sejak lahir memiliki
rasa ketergantungan terhadap sesamanya.
2) Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh – tokoh
atasan dan berpangkat. Seseorang dalam hidup pasti membutuhkan orang
atau tokoh atasannya untuk membantunya dalam mengatasi permasalah
8
hidup. Sebagai contoh, seorang siswa SMA tidak akan bisa lulus Ujian
Nasional tanpa adanya bantuan bimbingan dari tokoh atasannya yaitu
gurunya. Jika guru tersebut tidak memberikan bimbingan kepadanya,
maka murid tersebut akan kesulitan dalam menghadapi Ujian Nasional
dan akhirnya tidak lulus. Jadi, manusia selain tergantung pada sesamanya
yang sederajat, juga tergantung pada manusia yang lebih tinggi derajatnya.
3) Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri. Sebagai
contoh, seorang pebulutangkis yang bermain tunggal akan menganggap
bahwa kemenangan dia merupakan hasil jerih payahnya yang
membuktikan dirinya lebih bagus dari pebulutangkis yang lain. Dia
menganggap bahwa dirinya tak perlu bantuan orang lain untuk bermain
ganda agar menang. Sikap ini sering kali menimbulkan rasa sombong
yang akhirnya membuat orang lain tidak suka terhadap sikapnya tersebut.
(http://www.mistersosiologi.com/2015/03/kerangka-kluckhohn.html)
produk warisan sosial atau budaya, bukan produk factor-faktor biologis yang
diturunkan. Pola-pola perilaku nyata memperlihatkan suatu tingkat keteraturan
yang tinggi karena orang cenderung meniru perilaku orang lain dan mengulang
pola-pola perilakunya secara terus menerus, khususnya yang berhasil. Kumpulan
pola-pola perilaku yang mapan dari sebagian besar penduduk dan saling
ketergantungan perilaku-perilaku yang dibakukan ini antara berbagai bagian
masyarakat, membentuk kenyataan sosial atau kenyataan budaya. Meskipun
perubahan-perubahan ini benar-benar terjadi sebagai akibat dari penemuan dan
inovasi sewaktu-waktu, Ogburn menekankan adanya kecenderungan yang luas
untuk menolak perubahan itu, baik karena kebiasaan maupun karena keuntungan
lain yang diakibatkan karena mempertahankan kebiasaan-kebiasaan yang sudah
mapan. Penemuan dan inovasi paling sering terjadi dalam dunia kebudayaan
materiil. Perubahan-perubahan ini terbentang mulai dari penemuan-penemuan
awal seperti roda dan perkakas tangan sampai ke komputer yang menghitung
dengan cepat dan satelit-satelit komunikasi.
Tesis Ogburn sangat merangsang dan populer; sering disebut-sebut dalam buku
pengantar, beserta contoh-contoh jenis ketegangan budaya yang dijelaskan teori itu.
Bersama dengan M.F. Nimkoff, Ogburn memperlihatkan dalam institusi keluarga,
ketegangan sebagian besar penduduk Amerika sudah berubah dari lingkungan pertanian
desa ke suatu lingkungan industrialisasi kota. Sementara perubahan ini terjadi, banyak
fungsi tradisional dalam keluarga diambil alih oleh institusi-institusi lainnya yang
membatasi keluarga pada tugas mempertahankan ikatan antara anggota keluarga dan
memberikan kebahagiaan individu. Tetapi melaksanakan tugas-tugas ini tidaklah mudah,
karena kurangnya fungsi-fungsi lain yang mengikat dan bertambahnya tekanan pada
individualisme dalam lingkungan kota. Dengan nada yang sama Ogburn dan Nimkoff
menganalisis berbagai akibat sosial dari perpindahan dengan meramalkan akibat itu
pada persebaran penduduk, pola-pola organisasi dan sebagainya. Kegagalan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial para pekerja secara memadai diganti oleh
mekanisasi dan otomatisasi; pertumbuhan gudang informasi komputer secara besar-
besaran, dan sistem-sistem untuk mendapat informasi itu kembali tanpa penjagaan
terhadap penggunaan yang salah dari informasi pribadi atau pelanggaran hak-hak pribadi
individu; perkembangan dan perluasan senjata nuklir dengan perlindungan yang tidak
mencukupi terhadap salah pengertian atau perhitungan yang meleset di kalangan
internasional; meluasnya penolakan negara-negara sedang berkembang terhadap teknik-
teknik pembatasan kelahiran semuanya ini dan contoh-contoh lainnya mengenai
ketinggalan yang tidak dicantumkan disini, menggambarkan ketegangan yang dianalisis
Ogburn dan memperlihatkan jelasnya kesahihan teorinya.
Suatu model yang lengkap mengenai kecepatan perubahan budaya yang berbeda-
beda akan harus meliputi situasi-situasi, dimana perubahan budaya nonmateriil
12
kelihatannya merupakan aspek yang penting dan situasi di mana perubahan kebudayaan
materiil juga penting. Sebagai contoh, dalam banyak kehidupan, cita-cita etis yang tinggi
dari agama-agama besar dunia tidak dilihat sebagai tujuan-tujuan yang realistis, yang
dapat dicapai tanpa suatu kompromi besar-besaran. Tak ada alat-alat teknologi apapun
yang dapat membuat cita-cita besar dan transenden itu menjadi usang. Cita-cita ini tidak
merupakan ketinggalan budaya; mereka jauh mendahului perkembangan dalam
kebudayaan materiil atau penyesuaian perilaku atau organisasi terhadap perubahan-
perubahan kebudayaan nonmateriil itu. Contoh tersebut menggambarkan tipe situasi di
mana aspek-aspek kebudayaan nonmateriil tertentu tertinggal di belakang aspek-aspek
kebudayaan nonmateriil lainnya. Singkatnya perubahan sosio-budaya lebih rumit dan
memperlihatkan lebih banyak variasi daripada yang dikenal dalam tesis Ogburn
mengenai ketinggalan budaya (culture lag). Namun, tesis ini sahih dalam batas-batas
tertentu.
menciptakan perubahan yang besar apabila muncul pada waktu yang tepat. Kelompok
lain, seperti orang Viking, sebelumnya telah menemukan Amerika dalam arti bahwa
mereka mengetahui adanya suatu daratan lain, namun pemukiman Viking di Amerika
Utara lenyap dalam sejarah dan kebudayaan Norse idak tersentuh oleh penemuan
tersebut. (Henslin, 2006: 223).
3. Difusi (Diffusion). Ogburn menekankan bahwa difusi penyebaran suatu
penciptaan dan penemuan dari suatu wilayah ke wilayah lain, dapat berakibat besar pada
kehidupan orang. Contoh: ketika para misionaris memperkenalkan kapak baja kepada
orang Aborigin di Australia, hal tersebut mengguncangkan seluruh masyarakat Aborigin.
Sebelumnya, para lelaki memiliki kendali atas pembuatan kapak dan mewariskannya
turun temurun dari bapak ke anak. Perempuan harus meminta izin kepada laki-laki untuk
dapat menggunakan kapak. Ketika kapak baja menjadi lazim, perempuan pun juga
memiliknya dan para lelaki kehilangan status dan kekuasaan. (dikutip dari Sharp 1995,
dalam Henslin, 2006: 223). Difusi juga mencakup pula penyebaran ide. Sebagaimana
ide kewarganegaraan mengubah struktur politik di seluruh dunia. Ide tersebut menggusur
raja sebagai sumber otoritas yang tidak dapat digugat. Konsep kesetaraan gender
sekarang sedang dikumandangkan di seluruh dunia. Meskipun konsep kesetaraan gender
dianggap lazim di beberapa bagian dunia, ide bahwa penolakan hak seseorang atas dasar
jenis kelamin adalah suatu tindakan keliru masih merupakan suatu ide yang revolusioner
di beberapa kebudayaan.
4. Akumulasi. Akumulasi dihasilkan dari lebih banyaknya unsur baru yang
ditambahkan kepada satu kebudayaan dibanding dengan unsur-unsur lama yang lenyap
dari kebudayaan bersangkutan. (Lauer, 1993: 210).
5. Penyesuaian. Penyesuaian mengacu pada masalah yang timbul dari saling
ketergantungan seluruh aspek kebudayaan. Sebagai contoh, penemuan di bidang ekonomi
tanpa terelakkan akan mempengaruhi pemerintah menurut cara tertentu, pemerintah
terpaksa menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapkan oleh perubahan ekonomi.
Atau teknologi baru akan mempunyai dampak terhadap keluarga, memaksa keluarga
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, meskipun penemuan teknologi
berkaitan langsung dengan keluarga. (Lauer, 1993: 210).
F. PERGESERAN DAN FAKTOR SISTEM NILAI BUDAYA.
14
yang telah tertanam sejak dahulu kala dan merupakan warisan leluhur hampir-hampir
dilupakan oleh generasi sekarang ini. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemajuan
teknologi dan pesatnya laju pembangunan yang membawa dampak perubahan dan
pergeseran nilai di masyarakat. Pergeseran nilai dalam masyarakat kita perlu dilihat
sebagai proses sosial. Artinya sebagai proses, ia belumlah sebagai akhir dari tingkatan
masyarakat. Masih ada lanjutan tingkatan yang terus menjadi hingga sampai pada level
terakhir.
Pergeseran ini agar berjalan dengan baik, maka perlu pengawasan dari kita semua.
Jangan sampai budaya luhur yang telah ada menjadi kabur dan tidak up to date dengan
lingkungan kekinian. Pergeseran nilai selain bisa berakibat positif juga negatif.
Tergantung cara kita dalam melihat ruh pergeseran itu. Agar budaya massa kita
menjadikan pergeseran ini sebagai unsur konstruktif, maka perlu ada penyadaran seluruh
lapisan masyarakat. Penyadaran ini bisa dilakukan dalam skala struktur sosial kita.
2. Faktor Pergeseran Sistem Nilai Budaya. Banyak factor yang mempengaruhi
pergeseran sistem nilai budaya, dimana dalam pergeseran tersebut dapat berdampak
positif ataupun negative, tergantung dari perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Respon dalam menghadapi pergeseran sistem nilai budaya yang terjadi bergantung pada :
a. Agama. Dalam situasi kegalauan sosial seperti itu sebenarnya
‘agama‘dapat memberikan sumbangan yang berarti dan perlu menampakkan
peranannya yang strategis fungsional. Ajaran-ajaran agama akan terasa selalu
aktual dan fungsional, jika kita tanggap dengan patologi sosial yang melingkari
dunia keseharian manusia dewasa ini. Agama yang dipahami secara benar akan
berfungsi sebagai kompas penunjuk arah kemana kehidupan moderen yang penuh
perubahan tata nilai ini akan dimuarakan. Nilai- nilai agama yang menonjolkan
keadilan dan egalitarian akan selamanya tetap aktual. Implikasi keberjayaan iptek
adalah melebarnya jurang yang mempunyai dengan yang tidak mempunyai. Jika
karena tarikan konsumerisme orang seakan-akan lupa akan kenyataan sosial ini,
namun advokasi agama tetap secara vokal mengingatkan manusia supaya jangan
salah mengambil kebijaksanaan dalam masalah yang sangat peka sosial ini. Demi
kemajuan iptek, orang kadang lupa akan perlunya melestarikan lingkungan hidup.
Tanpa harus menunggu keganasan kemajuan iptek, agama juga telah memberikan
16
efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan
mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan
ketahanan“ (McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19). Sedang
menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa
dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan
semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap
lingkungan dan prilaku manusia” (Ndraha, 2003:123). Budaya yang kuat akan
mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal
ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap
sistem prilaku para anggota atau anak buah dibawahnya baik di dalam
organisasi maupun di luar organisasi. Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah
asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah
teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay Sathe
mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten
unstated) that member of a community share in common” (Sathe, 1985: 18).
“A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved
its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked
well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as
the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”.
(Schein, 1992:16). Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam
pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun
berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein
bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai : Secara lengkap Budaya bisa
merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar
sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Bisa
berupa perilaku langsung apabila menghadapi permasalahan maupun berupa
karakter khas yang merupakan sebuah citra yang bisa mendukung rasa bangga
terhadap profesi diri, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan
pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan eksternal
belajar. Lingkungan itu sendiri mendukung terhadap pencitraan di luar organisasi,
sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju
19