Sangkan paraning
dumadi (ilmu asal-
usul dan tujuan
akhir kehidupan)
Kesempurnaan hidup merupakan sarana untuk
mencapai kesempurnaan, ngudi kasampurnan.
Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik
jasmani maupun rohani, untuk mencapai
kesempurnaan hidup. Manusia selalu berada dalam
hubungan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan dan
alam semesta serta meyakini kesatuannya. Manusia
menurut filsafat Jawa adalah: manusia-dalam-
hubungan. Hubungan Tuhan, manusia, dan alam
semesta digambarkan juga oleh Ciptoprawiro
(1986:23) bahwa Tuhan tidak dibayangkan seperti
apa pun, dekat tiada bersentuhan, jauh tidak ada
perbatasan: dat kang tan kena kinayangapa,
cedhak tanpa singgolan, adoh tanpa wangenan.
Manusia terdiri dari unsur-unsur yang menjadi
sarana kembali, jasmani dan rohani. Manusia
dalam mempergunakan kodrat kemampuannya
selalu diusahakan kesatuan cipta-rasa-karsa.
Sangkan paraning dumadi (ilmu asal-usul dan
tujuan akhir kehidupan). Koesnoe (1996:55-60)
dengan mengaitkan ngelmu kasampurnan (ilmu
kesempurnaan hidup), menyatakan bahwa
filsafat Jawa merupakan filsafat sangkan
paraning dumadi (filsafat asal-usul dan tujuan
akhir kehidupan) atau yang juga dikenal dengan
nama ajaran “manunggaling kawula Gusti”.
Dalam konsep sangkan paraning dumadi atau
manunggaling kawula Gusti, harus diperhatikan
pandangan manusia dalam upaya mengetahui,
mengerti, memahami, dan menilai segala
kejadian yang merupakan ulah daya hidup
manusia.
Ajaran Moral
Ajaran moral Jawa telah diteliti oleh Magnis-Suseno
(1983:108-110), antara lain disimpulkan etika norma-
norma Jawa berlaku secara relatif, norma-norma itu
memang berlaku, tetapi tidak mutlak. Tidak satu pun
norma-norma moral Jawa boleh dipegang secara mati-
matian, tidak satu norma pun dapat memberi orang hak
untuk melibatkan diri secara seratus persen. Masyarakat
Jawa mengembangkan daya ikat norma-norma moral
agar menemukan batasnya pada prinsip kerukunan.
Norma moral Jawa berada dalam relativitas, seperti
ketelitian, keberanian moral, kecondongan untuk
berfikir dengan jelas dengan independensi moral. Ajaran
moral Jawa mengandung keutamaan-keutamaan moral
yang tercermin pada sikap sepi ing pamrih, rame ing
gawe, yaitu kesediaan untuk melepaskan diri.
Filsafat moral, dinyatakan oleh Ciptoprawiro
(1986:26), baik buruk dianggap tidak terlepas
dari eksistensi manusia yang terjelma di dalam
pelbagai keinginan dan dikaitkan dengan empat
nafsu: mutmainah, amarah, lauwamah, dan
supiah. Keinginan baik (mutmainah) akan
selalu berhadapan dengan keinginan buruk
(amarah-lauwamah-supiah) untuk
menjelmakan perilaku manusia. Asumsi tujuan
hidup manusia adalah kasampurnan, akan
terjelma sifat Illahi dengan tercapainya
manunggaling kawula Gusti, maka
pertentangan baik buruk akan diatasi dengan
peningkatan kesadaran, yang juga disebut
kadewasan jiwa. Tingkat kedewasaan manusia
akan membentuk watak yang menentukan laku
susilanya.
MENUJU BUDAYA JAWA BARU
SINKRITISME
BUDAYA JAWA