Anda di halaman 1dari 17

STUNTING DALAM PERSPEKTIF

PEMBANGUNAN DI INDONESIA
TUGAS PENGGANTI UAS

Mata Kuliah: Teori Pembangunan dan Isu Global


Dosen Pengampu: Ir. Sonny Yuliar, Ph.D.

Disusun oleh:
Annisa Rachman S.
24022006

PROGRAM MAGISTER
STUDI PEMBANGUNAN SAPPK
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

01 I. Latar Belakang

02 II. Tujuan dan Rumusan Masalah

03 III. Kajian Literatur

10 IV. Pembahasan dan Kesimpulan

14 Daftar Pustaka
I. LATAR BELAKANG
Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mengembangkan kualitas sumber daya manusia sebagai indikator keberhasilan
pembangunan suatu bangsa. Dalam hal ini, gizi memiliki pengaruh terhadap kecerdasan
dan produktivitas kerja sumber daya manusia. Saat ini Indonesia masih menghadapi
permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM).
Salah satu masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia adalah stunting
pada balita dan anak-anak.
Istilah stunting pertama kali diperkenalkan oleh J. C. Waterlow pada tahun 1970
(Kikafunda et al, 1998). Stunting merupakan kondisi kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang cukup lama akibat pemberian
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi (MCAI, 2015). Stunting juga dapat
diartikan kondisi di mana tinggi badan seseorang lebih pendek dibanding tinggi badan
orang lain pada umumnya yang seusia (Rahayu, 2018). Di Indonesia, stunting memiliki
sejarah yang panjang dan dimulai sejak penjajahan Belanda pada awal abad ke-18. Pada
saat itu terdapat kebijakan tanam paksa yang berakibat kelaparan besar-besaran di
berbagai daerah di Indonesia. Kaum pribumi tidak dapat memikirkan mengenai gizi karena
untuk pangan saja tidak mampu untuk mencukupi. Lebih lanjut, perburukan gizi ini terus
menerus terjadi dari generasi ke generasi, terlebih di saat pendudukan Jepang di mana
segala akses makanan terbatas dan hasil tanam harus disetorkan sehingga rakyat hanya
makan seadanya.
Menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan (Kemenkes),
prevalensi balita yang mengalami stunting di Indonesia sebanyak 24,4% pada 2021.
Dengan demikian, hampir seperempat balita di dalam negeri yang mengalami stunting pada
tahun lalu. Kendati persentase itu telah mengalami penurunan dibandingkan beberapa
tahun sebelumnya, pada 2020 prevalensi stunting di Indonesia diprediksi masih sebesar
26,92%. Melihat trennya, prevalensi stunting di Indonesia sempat melonjak menjadi 37,2%
pada 2013 dan 30,8% pada 2018. Namun, angkanya cenderung mengalami penurunan
dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, permasalahan stunting ini harus terus
dicegah agar Indonesia dapat mencapai target penurunan prevalensi stunting menjadi di
bawah 14% pada 2024, yang berarti target penurunan prevalensi stunting setiap tahun
harus berkisar di angka 2,7%.

1
Grafik Prevalensi Stunting Balita di Indonesia Tahun 2017-2021
Sumber: SSGI Kementerian Kesehatan

Stunting pada masa kanak-kanak memiliki konsekuensi jangka panjang, termasuk


pertumbuhan fisik yang menurun, pencapaian pendidikan, menurunnya tingkat produktivitas,
serta menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit. Pada akhirnya, secara luas stunting
dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, memperlebar ketimpangan, menurunkan
produktivitas pasar kerja, serta menyebabkan kemiskinan antargenerasi. Masalah stunting
sering tidak disadari oleh masyarakat sejak awal kehidupan anak. Oleh karena itu,
penanggulangan masalah stunting harus dimulai jauh sebelum seorang anak dilahirkan dan
bahkan sejak ibu masih remaja untuk dapat memutus rantai stunting dalam siklus kehidupan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka stunting di Indonesia, baik faktor
secara langsung maupun tidak langsung, faktor dari dalam keluarga, maupun dari
lingkungan di sekitar. Dengan demikian, penulis memiliki ketertarikan untuk mengidentifikasi
apa saja faktor penyebab stunting pada balita dan anak-anak di Indoesia serta kaitannya
terhadap dampak pembangunan di Indonesia.

II. TUJUAN DAN RUMUSAN MASALAH


Penelitian dalam essay ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab stunting pada
balita dan anak-anak, serta kaitannya dengan pembangunan di Indonesia dengan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa saja faktor yang menjadi penyebab stunting pada balita dan anak-anak di
Indonesia?
2. Bagaimana dampak stunting terhadap pembangunan di Indonesia?
3. Bagaimana upaya untuk mengatasi stunting pada balita dan anak-anak di Indonesia?

2
III. KAJIAN LITERATUR
Pada bab ini, penulis membagi hasil kajian literatur ke dalam 3 bagian. Pertama, literatur
terkait faktor penyebab stunting pada balita dan anak-anak, Kedua, literatur terkait nutrisi yang
baik pada balita dan anak-anak dalam rangka pencegahan stunting. Ketiga, literatur terkait
dampak yang ditimbulkan akibat stunting pada balita dan anak-anak. Adapun daftar literatur
yang menjadi sumber rujukan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Nama Jurnal dan


No. Judul Artikel Penulis
Tahun Terbit

Children's Diets, World Development Kalle Horvonen,


1.
Nutrition Knowledge, Vol. 95 hlm. 303- et al.
and Access to Markets 315, tahun 2017

2. Sanitation and Child World Development Britta Augsburg,


Health in India Vol. 107 hlm. 22- et al.
39, tahun 2018

How Important is World Development Harold Alderman


3.
Parental Education for Vol. 94 hlm. 448- dan Derek D.
Child Nutrition? 464, tahun 2017 Headey

4. The Pediatrician's Jornal de Pediatria, Antonio Jose


Role in the First tahun 2015 Ledo Alves da
Thousand Days of the Cunha, et al.
Child: the Pursuit of
Healthy Nutrition and
Development

Impact of Malnutrition Clinical Amogha Shree


5.
on Scholastic Epidemiology and dan M.R.
Performance among Global Health Vol. Narayana Murthy
School Children in 11 tahun 2021
Mysuru

3
Children's Diets, Nutrition Knowledge, and Access to Markets

Berdasarkan artikel tersebut disebutkan bahwa faktor yang secara langsung


memengaruhi status gizi anak pra-sekolah di Etiopia yaitu konsumsi makanan dan tidak
adanya penyakit menular yang mengganggu pertumbuhan anak. Memastikan bahwa
pengasuh memahami makanan apa yang sesuai untuk anak-anak merupakan komponen
inti dari upaya untuk meningkatkan status gizi anak. Jika pengasuh tidak memahami
pentingnya memberikan makanan tertentu pada anak atau jika mereka menganggap
makanan sehat itu berbahaya, mereka tidak akan memberikan makanan sehat kepada
anak-anak, meskipun makanan tersebut ada di rumah mereka. Di Etiopia, kesalahan
persepsi seperti itu banyak beredar sehingga kekurangan gizi kronis di Etiopia tersebar luas
(38% anak balita mengalami stunting) dan banyak anak mengonsumsi makanan yang
sangat monoton. Satu studi menemukan bahwa ibu tidak memberikan sayuran kepada
anaknya karena dianggap sulit dicerna dan menyebabkan penyakit perut. Studi kedua
menemukan bahwa ibu-ibu di Etiopia tidak memberikan anak-anak prasekolah daging atau
sumber protein hewani lainnya karena mereka percaya bahwa anak-anak tidak dapat
mencernanya.
Sebagai tanggapannya, Behavioral Change Communication (BCC) berupaya
memberikan pemahaman kepada pengasuh tentang pengetahuan gizi anak-anak. BCC
menemukan bahwa pemberian pemahaman ini efektif, tetapi banyaknya terhadap rumah
tangga di daerah perkotaan atau daerah yang ditandai dengan kepadatan penduduk tinggi
di mana akses ke pasar mudah dan dekat. Sebaliknya, akses yang sulit ke pasar dengan
jarak yang jauh cenderung menjadi faktor pembatas pada efektivitas BCC dalam
meningkatkan pemahaman pengasuh mengenai kualitas diet. Ini menunjuk kepada masalah
kedua, bahwa ketersediaan beragam jenis makanan lebih banyak ditemukan pada rumah
tangga yang memiliki akses baik ke pasar dibandingkan rumah tangga dengan akses yang
buruk ke pasar.
Dalam artikel tersebut, penelitian tentang peran pengetahuan pengasuh dan akses
pasar sebagai penentu diet, khususnya diet anak, telah berjalan secara paralel. Studi dalam
penelitian ini berfokus pada Alefa Wearda di barat laut Etopia. Daerah ini dipilih karena
kepadatan penduduk yang tinggi dan biaya transportasi yang relatif murah. Peneliti
melakukan survei paralel ke setiap rumah tangga di daerah ini untuk mempelajari
konsekuensi keterpencilan fisik terhadap produktivitas pertanian, adopsi teknologi, dan
nutrisi. Penelitian pada artikel tersebut menyatukan dua hal, yaitu peran pengetahuan
pengasuh dan akses pasar sebagai penentu diet. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
nutrisi yang lebih baik mengarah pada peningkatan pengetahuan yang cukup besar soal
keragaman makanan pada anak-anak, tetapi hanya di daerah-daerah dengan akses pasar
yang relatif baik. Penelitian ini tidak menemukan bukti bahwa pengetahuan gizi yang lebih
baik di daerah paling terpencil berdampak pada keragaman makanan pada anak-anak.
Temuan dalam artikel ini menunjukkan bahwa pembuat kebijakan dan pelaksana program
perlu memastikan bahwa upaya untuk meningkatkan pengetahuan gizi dilengkapi dengan
upaya meningkatkan akses pangan.

4
Sanitation and Child Health in India

Jika artikel sebelumnya membahas bahwa stunting pada balita dan anak-anak di Etiopia
disebabkan oleh pengetahuan pengasuh tentang gizi dan keterbatasan akses ke pasar,
dalam artikel ini disebutkan bahwa faktor sanitasi yang buruk berpengaruh terhadap kondisi
stunting balita dan anak-anak di India. Meskipun sanitasi secara luas didefinisikan sebagai
sarana higienis untuk mempromosikan kesehatan melalui pencegahan kontak manusia
dengan bahaya limbah, khususnya limbah manusia, sejumlah besar studi evaluasi dampak
terbaru pada intervensi sanitasi di negara-negara berpenghasilan rendah gagal menemukan
peningkatan kesehatan. Aspek sanitasi memainkan peran yang signifikan dan positif dalam
pertumbuhan tinggi badan selama tahun-tahun pertama kehidupan.
Tingkat stunting, istilah umum untuk anak yang pendek menurut usianya, telah menurun
selama beberapa tahun terakhir, namun 159 juta anak di seluruh dunia diperkirakan masih
terpengaruh, lebih dari setengahnya tinggal di Asia. Pola makan dan penyakit merupakan
penyebab langsung dari stunting. Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan dampak
lingkungan yang berpengaruh terhadap adanya penyakit, khususnya penggunaan sanitasi
pada anak-anak di bawah usia lima tahun. Organisasi kesehatan dunia WHO
mengidentifikasi diare sebagai penyakit yang menjadi perhatian utama: dikatakan sebagai
penyebab utama kematian dan kesakitan anak di dunia, membunuh sekitar 760.000 anak
setiap tahun (WHO, 2013). Sebagian besar kasus diare ini diyakini karena pencemaran
lingkungan. Delapan puluh delapan persen terkait air yang tidak aman, sanitasi atau
kebersihan yang tidak memadai. Pemikiran yang lebih baru mengaitkan kurangnya sanitasi
yang disebut environmental enteropathy berdampak pada gangguan pertumbuhan.
Environmental enteropathy adalah gangguan subklinis pada usus terutama usus halus yang
disebabkan oleh higiene dan sanitasi lingkungan yang buruk sehingga menimbulkan
kontaminasi tinja konstan di dalam lingkungan. Faktanya, environmental enteropathy
sekarang dilihat oleh banyak orang sebagai penyumbang stunting yang jauh lebih besar
daripada diare. Oleh karena itu, fokus penting dari upaya pengurangan stunting global
adalah intervensi yang efektif dan terjangkau untuk memperbaiki lingkungan dengan
mengatasi akses ke air minum yang aman, sanitasi yang memadai, dan perilaku higienis.
Konteks penelitian dalam artikel ini yaitu rumah tangga yang tinggal di 39 daerah kumuh
dan 17 komunitas pinggiran semi-perkotaan di negara bagian Madhya Pradesh, India.
Populasi ini penting untuk dipertimbangkan karena populasi kumuh di India berkembang
pesar sementara pada saat yang sama tidak memiliki atau hanya memiliki akses yang tidak
memadai untuk mendapatkan sanitasi yang aman. Kepadatan populasi tinggi ditambah
dengan cara pembuangan tinja yang tidak tepat menyediakan tempat berkembang biak bagi
epidemi penyakit. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa pertama, lingkungan yang
bersih sangat penting bagi keluarga bayi baru lahir. Kedua, sanitasi yang lebih baik
tampaknya sangat relevan untuk anak perempuan. Cakupan sanitasi tampaknya menjadi
kebijakan yang secara implisit menargetkan anak perempuan.

5
How Important is Parental Education for Child Nutrition?

Selain faktor pengetahuan tentang gizi pengasuh dan keterbatasan akses pasar, serta
faktor sanitasi dan lingkungan yang menjadi penyebab stunting, tingkat pendidikan orang
tua pun turut serta menjadi penyebab stunting pada anak dan balita. Dalam artikel ini
disebutkan bahwa pendidikan orang tua, terutama ibu berdampak besar pada meningkatnya
status gizi pada anak. Pendidikan menyerap bagian terbesar dari anggaran pembangunan
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Skala investasi pendidikan tentu
saja tidak akan banyak membantu kesehatan gizi jika investasi tersebut tidak berdampak
besar pada kekurangan gizi. Di negara berkembang, ditemukan bahwa pendidikan ibu
memiliki asosiasi kesehatan dan gizi anak yang lebih kuat daripada pendidikan ayah. Hal ini
juga dirasakan secara luas bahwa wanita rata-rata ingin memiliki anak lebih sedikit daripada
pria. Atas dasar ini banyak lembaga pembangunan internasional sangat menganjurkan
investasi dalam pendidikan perempuan.
Penelitian ini secara khusus menganalisis hubungan antara pendidikan orang tua dan
kesehatan anak dari 134 Survei Kesehatan Demografi untuk 376.992 anak pra-sekolah dari
56 negara berkembang, di antaranya sub-Sahara Afrika, Eropa Timur dan Asia Tengah,
Asia Selatan, Amerika Latin, serta Asia Timur. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan ibu
memiliki dampak yang jauh lebih besar pada gizi daripada pendidikan ayah. Menyekolahkan
anak perempuan lebih lama dapat menunda usia pernikahan dan kelahiran pertama,
mengurangi permintaan akan anak, dan memberdayakan perempuan untuk membuat
keputusan yang mungkin tidak akan mereka buat, seperti memiliki jarak kelahiran yang
sedikit dan lebih merata, serta dapat memanfaatkan teknologi kesehatan modern dengan
lebih baik.
Secara khusus, pendidikan ibu memiliki hubungan yang lebih kuat secara signifikan
dengan jumlah anak yang pernah dilahirkan (yaitu fertilitas), keragaman pola makan anak
(namun bukan keragaman pola makan ibu), perawatan antenatal atau kehamilan dan
pascakelahiran, serta kemampuan wanita untuk berpartisipasi. dalam keputusan tentang
perawatan kesehatannya sendiri. Menariknya, penelitian ini tidak menemukan keuntungan
dari pendidikan ibu dalam mempengaruhi keputusan untuk memvaksinasi anaknya atau
memberi ASI eksklusif dalam beberapa bulan pertama kehidupan, keduanya mungkin lebih
terkait dengan kematian anak daripada hasil pertumbuhan anak. Memang, temuan ini
sebagian dapat menjelaskan bahwa pendidikan ibu bukanlah prediktor yang lebih kuat dari
hasil kematian anak daripada pendidikan ayah. Orang mungkin berspekulasi bahwa, pada
tingkat pendidikan tertentu, para ayah sama pedulinya tentang menjaga anak-anak mereka
tetap hidup seperti halnya para ibu, tetapi mencurahkan lebih sedikit perhatian pada praktik
pengasuhan anak sehari-hari, seperti memberi makan anak-anak makanan yang beragam
secara tepat. Singkatnya, hasil penelitian menunjukkan peran yang lebih kuat untuk
pendidikan perempuan dalam mempengaruhi berbagai perilaku yang relevan dengan
persoalan gizi.

6
The Pediatrician's Role in the First Thousand Days of the Child: the Pursuit of
Healthy Nutrition and Development

Berdasarkan tiga literatur yang dibahas sebelumnya terkait faktor penyebab stunting
pada anak dan balita, dalam artikel ini dibahas tentang bagaimana agar anak-anak
mendapatkan nutrisi yang sehat dalam seribu hari pertama kehidupannya guna mencegah
terjadinya stunting saat dewasa. 1000 hari pertama berkisar dari konsepsi hingga akhir
tahun kedua kehidupan. Ini merupakan periode penting untuk menerapkan intervensi untuk
memastikan nutrisi dan perkembangan yang sehat, di mana akan membawa manfaat
sepanjang hidup. Anak harus mendapatkan nutrisi yang cukup melalui diet prenatal yang
tepat, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama, penambahan makanan
pendamping ASI yang cukup, dan pemberian ASI terus menerus hingga usia 2 tahun.
Mengingat kondisi ketergantungan mutlak pada perawatan orang dewasa, sangat penting
untuk membangun lingkungan yang memungkinkan dan bersahabat, yang diperlukan untuk
pengembangan ikatan yang kuat dengan pengasuh.
Konsep seribu hari pertama muncul berdasarkan bukti ilmiah, sebagai strategi
kesehatan masyarakat yang akan diterapkan oleh suatu negara atau wilayah. Di beberapa
negara yang diklasifikasikan sebagai negara berpenghasilan rendah dan menengah, terjadi
beban ganda malnutrisi - adanya malnutrisi kronis dan defisiensi nutrisi yang menyertai
masalah obesitas yang semakin meningkat. Dengan demikian, muncul kerangka konseptual
yang menggambarkan cara untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan janin dan
anak yang optimal terkait dengan nutrisi yang baik, yang akan membawa dampak manfaat
sepanjang hidup manusia. Namun, ada bukti bahwa anak kecil tidak dapat mencapai
potensi penuhnya sendirian, anak-anak yang memiliki akses ke makanan yang cukup
terkadang gagal untuk makan dan tumbuh dengan baik karena kurangnya stimulus ketika
mereka masih kecil. Stimulasi juga memainkan peran penting dalam proses pembentukan
otak, dan keterlambatan perkembangan sebelum usia 6 tahun sulit dikompensasi. Oleh
karena itu, nutrisi yang tepat, terutama sejak konsepsi hingga usia 2 tahun, dan stimulasi
dini dalam 5 tahun pertama kehidupan, memainkan peran penting dalam proses
pembentukan dan perkembangan otak, yang secara pasti berkontribusi pada
perkembangan penuh anak.

7
Adapun cara untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan janin dan anak yang
optimal berkaitan dengan pola makan, perilaku, dan kesehatan yang mengarah pada nutrisi,
pertumbuhan, dan perkembangan yang optimal, dan bagaimana mereka dipengaruhi oleh
ketahanan pangan yang mendasarinya, sumber daya pengasuh, dan kondisi lingkungan,
yang pada gilirannya dibentuk oleh kondisi ekonomi dan sosial. Setelah perkembangan dan
gizi yang adekuat tercapai, diharapkan akan terjadi: (1) penurunan mortalitas dan morbiditas
pada anak; (2) peningkatan perkembangan kognitif, motorik, dan sosio-emosional; (3)
peningkatan kinerja sosial dan kemampuan belajar; (4) peningkatan tinggi badan dan
penurunan obesitas serta penyakit degeneratif kronis; (5) dan peningkatan kapasitas dan
produktivitas kerja.
Di antara faktor penentu gizi anak, yang paling adalah gizi ibu, mengingat banyak anak
yang lahir kurang gizi karena ibunya kekurangan gizi. Penelitian ini menyarankan enam
intervensi gizi yang berpengaruh terhadap seribu hari pertama kehidupan, yaitu
suplementasi zat besi dan asam folat pada kehamilan; memberikan ASI eksklusif;
memberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI); suplementasi vitamin A untuk anak-anak;
penggunaan zinc ketika diare; dan menjamin pasokan air, sanitasi, dan praktik kebersihan
yang memadai untuk keluarga.
Selain pembahasan mengenai nutrisi yang baik bagi ibu, bayi, serta anak-anak, penelitian
ini juga membahas tentang pentingnya peran dokter anak dalam seribu hari pertama
kehidupan. Dokter anak dapat memainkan peran kunci baik dalam pendidikan orang tua dan
pengasuh, maupun dalam penerapan intervensi kuratif, preventif, dan promosi kesehatan
melalui praktik profesional mereka. Fokus tindakan pada periode ini dapat meningkatkan
kesempatan anak untuk hidup sehat dan produktif di masa depan, memperkuat ikatan
keluarga dan masyarakat, serta membantu memutus siklus kemiskinan antar-generasi.

Gambar Intervensi Nutrisi Sesuai Tahapan Siklus Hidup 1000 Hari


Sumber: Cunha, et al (2015)

8
Impact of Malnutrition on Scholastic Performance among School Children in
Mysuru

Artikel ini fokus membahas dampak malnutrisi terhadap kinerja skolastik di kalangan
anak sekolah di Mysuru, India. Sumber daya nasional terbesar dari suatu negara adalah
anak-anak dan merekalah yang membangun masa depan bangsa. Di negara-negara
berkembang, malnutrisi pada anak-anak merupakan masalah yang serius. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa masalah kesehatan akibat gizi buruk pada anak usia
sekolah merupakan penyebab paling umum dari ketidakhadiran dan kinerja sekolah yang
tidak memuaskan. Penelitian di dalam artiel ini bertujuan untuk menilai dampak kekurangan
gizi pada kinerja skolastik di kalangan anak sekolah.
Menurut laporan WHO, India memiliki prevalensi tertinggi anak-anak kurus, sedang,
dan berat. Sekitar 97 juta anak dengan berat badan sedang atau sangat kurus di dunia
tinggal di India, hampir setengahnya lagi menderita anemia. Usia sekolah merupakan masa
pertumbuhan fisik sekaligus perkembangan mental anak. Konsekuensi serius dan jangka
panjang telah diamati pada kasus malnutrisi anak usia dini karena menghambat
perkembangan motorik, sensorik, kognitif, sosial dan emosional. Ketika anak dengan
kekurangan gizi tumbuh, mereka kurang suka berprestasi di sekolah dan lebih mungkin
menjadi orang dewasa yang kekurangan gizi dan berisiko lebih besar terkena penyakit serta
meninggal lebih awal. Pemerintah India telah meluncurkan berbagai program seperti
Integrated Child Development (ICDS) untuk mengatasi malnutrisi di sana namun hasilnya
masih jauh dari memuaskan.
Malnutrisi energi protein menjadi perhatian serius di antara anak-anak usia sekolah
yang kekurangan nutrisi karena status sosial ekonomi mereka yang buruk, kebodohan dan
kurangnya fasilitas promosi kesehatan. Prestasi sekolah telah menjadi indeks masa depan
anak di dunia yang sangat kompetitif ini. Keterbelakangan skolastik yang tidak dikenali dan
diselesaikan, memiliki dampak seumur hidup pada anak-anak, mempengaruhi penyelesaian
sekolah mereka, pendidikan tinggi mereka, hubungan interpersonal dengan kelompok
sebaya dan prospek pekerjaan. Masalah kesehatan akibat gizi buruk pada anak usia
sekolah merupakan penyebab paling umum dari ketidakhadiran dan kinerja sekolah yang
tidak memuaskan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari total 320 siswa yang berpartisipasi
dalam studi yang 51,6% adalah laki-laki dan 48,4% adalah perempaun, 37,5% peserta yang
diteliti mengalami gizi buruk yang terdiri dari gizi kurang dan gizi lebih. Dari 320 siswa,
18,8% kurus dan 8,4% kurus parah. Hanya sedikit siswa gizi buruk yang mendapat nilai A+
di sekolahnya. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak siswa dengan nilai tinggi yang
memiliki berat badan normal. Dapat dikatakan bahwa anak dengan berat badan kurang
memiliki kinerja skolastik yang buruk.

9
IV. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Permasalahan stunting pada anak masih menjadi permasalahan mendasar dalam
pembangunan manusia Indonesia. Data World Bank tahun 2020 menunjukkan, prevalensi
stunting Indonesia berada pada urutan ke 115 dari 151 negara di dunia. Berdasarkan data
Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, 7 provinsi yang memiliki prevalensi stunting
tertinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Aceh.
Di Indonesia, masyarakat sering menganggap bahwa stunting merupakan faktor
keturunan, sehingga permasalahan ini sulit diatasi. Padahal, hasil studi membuktikan bahwa
pengaruh faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%, sementara unsur terbesar,
seperti yang dijelaskan juga dalam artikel rujukan, yaitu terkait asupan gizi, kondisi sanitasi
dan lingkungan yang tidak sehat, pengetahuan gizi orang tua yang kurang, keterbatasan
akses pangan, dan lain sebagainya. Berdasarkan berbagai literatur, berikut merupakan
faktor-faktor penyebab stunting balita dan anak-anak di Indonesia:
1. Nutrisi yang tidak sehat: Periode 1000 hari pertama kehidupan merupakan simpul kritis
sebagai awal terjadinya stunting. Seperti dijelaskan pada literatur sebelumnya, fase ini
dimulai dari konsepsi sampai 2 tahun pertama kehidupan anak. Perlunya nutrisi sehat
dan seimbang memang tidak bisa dicapai oleh setiap masyarakat Indonesia secara
merata. Dalam hal ini diperlukan adanya penguatan ketahanan pangan lokal di Indonesia
dengan memberdayakan masyarakat dalam menggali potensi sumber daya alam yang
ada untuk diolah sebagai sumber pangan.
2. Pengetahuan tentang gizi yang kurang: Pengetahuan gizi yang kurang, terutama pada
orang tua di Indonesia disebabkan karena seringkali orang tua merasa bahwa stunting
bukan merupakan hal yang berbahaya. Biasanya para orang tua berpikir bahwa pada
nantinya anak mereka akan tumbuh lebih baik dengan sendirinya tanpa harus ada usaha
untuk meningkatkan kebutuhan gizi. Untuk itu, kontribusi berbagai aktor seperti
pemerintah, lembaga masyarakat, dan media dalam melakukan penyuluhan pada orang
tua, terutama yang memiliki tingkat pendidikan rendah sangat diperlukan.
3. Infrastruktur kesehatan yang belum merata: Seperti diketahui, sanitasi dan MCK yang
belum merata merupakan salah satu faktor utama penyebab stunting di Indonesia.
Ironisnya, 53% penduduk pedesaan saat ini tidak punya sanitasi yang layak. Mereka
masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Di Indonesia ada sekitar 54 juta penduduk
yang masih BABS, atau kedua tertinggi setelah India. Diperlukan adanya campur tangan
pemerintah dalam mengatasi persoalan ini dengan membangun fasilitas MCK yang layak.
4. Status ekonomi keluarga: Beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan
pendapatan pada penduduk miskin adalah strategi untuk membatasi tingginya kejadian
stunting dalam sosial-ekonomi rendah pada segmen populasi. Malnutrisi terutama
stunting lebih dipengaruhi oleh dimensi sosial-ekonomi. Anak dari keluarga dengan
tingkat ekonomi rendah memiliki risiko stunting lebih tinggi dibandingkan anak dari
keluarga sosial ekonomi yang lebih tinggi.
10
Pemberian nutrisi yang baik

Berbicara mengenai nutrisi bagi anak dan balita untuk mencegah stunting, pada periode 2
tahun pertama kehidupan bayi, ASI sangat dibutuhkan sebagai sumber vitamin dan protein
bagi bayi. Namun, rendahnya kesadaran ibu akan pentingnya manfaat ASI seringkali
dipengaruhi oleh pengetahuan ibu dan pengaruh sosial. Ibu yang pada awal melahirkan tidak
lbisa langsung mengeluarkan ASInya, seringkali menyerah dan langsung memberikan
anaknya susu formula. Untuk itu, sangat diperlukan pendampingan oleh tenaga kesehatan
yang profesional agar dapat memberikan pemahaman terhadap ibu. Kemudian, pemberian
Makanan Pendamping ASI (MPASI) sejak dini kepada bayi juga sering menjadi
permasalahan di masyarakat Indonesia. Kultur yang sering dianut ialah karena agar bayi
cepar tumbuh besar jika diberikan makanan sebelum usia 6 bulan, padahal MPASI yang
harusnya dimulai sejak usia 6 bulan sudah diperhitungkan oleh berbagai ahli merupakan
waktu yang tepat karena sistem pencernaan bayi sudah sempurna.
Berbagai fenomena yang keliru terkait pemberian nutrisi bagi anak di Indonesia harus
menjadi perhatian serius agar pemahaman yang keliru dapat ditinggalkan. Pemahaman
nutrisi seimbang harus menjadi panduan bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi anak. Selain
kurang gizi, masalah lain terkait pemahaman gizi yang salah adalah obesitas atau kelebihan
berat badan. Sebagian orang berpikir bahwa bayi atau anak yang gemuk itu sehat. Padahal,
kelebihan berat badan adalah salah satu bentuk malnutrisi, di mana asupan yang masuk
lebih besar daripada energi yang keluar. Tentunya, literasi yang baik sangat diperlukan bagi
para orang tua dalam memberikan asupan gizi bagi anak.
Pada tahun 2017 pemerintah telah meluncurkan program Rencana Aksi Nasional
Penanganan stunting pada tingkat nasional, daerah terutama desa. Program ini diprioritaskan
pada penanganan gizi spesifik dan sensitif pada 1000 hari pertama kehidupan sampai
dengan anak usia 6 tahun. Intervensi untuk stunting yang dicanangkan oleh pemerintah
meliputi ibu hamil mendapatkan tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan,
pemberian makanan tambahan pada ibu hamil, pemenuhan gizi, persalinan dengan dokter
atau bidan yang ahli, IMD (Inisiasi Menyusui Dini), Asi Eksklusif pada bayi sampai usia 6
bulan, pemberian makanan pendamping ASI mulai anak usia 6 bulan sampai dengan usia 2
tahun, pemberian imunisasi dasar lengkap dan vitamin A, pemantauan pertumbuhan balita di
posyandu terdekat, serta penerapan perilaku hidup bersih dan sehat. Namun, program
tersebut belum sepenuhnya berjalan optimal sehingga diperlukan partisipasi aktif masyarakat
untuk bersama-sama mewujudkan program tersebut. Dalam hal ini, Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebagai salah satu ujung tombak yang langsung
berhubungan dengan masyarakat, harus aktif berperan mencegah stunting dari tingkat
terbawah masyarakat. Dengan begitu, diharapkan persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat dapat tergali dengan lebih cermat, sehingga solusi yang diterapkan menjadi tepat
guna dan tepat sasaran.

11
Dampak stunting terhadap pembangunan

Stunting pada masa balita dan anak-anak berdampak jangka panjang bagi pertumbuhan
dan perkembangan seseorang, sehingga permasalahan ini harus ditangani secara serius.
Bayi yang pada periode pertama kehidupannya mengalami stunting akan memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak maksimal, rentan terhadap penyakit di masa depan, dan berisiko pada
menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.
Pengalaman dan bukti internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan
hilangnya 11% GDP (Gross Domestic Products), serta mengurangi pendapatan pekerja
dewasa hingga 20% (Rahayu, 2018). Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada
melebarnya kesenjangan/inequality dan menyebabkan kemiskinan antar-generasi.
Fenomena yang terjadi di Indonesia seringkali menunjukkan bahwa stunting terjadi secara
turun-temurun pada masyarakat dengan tingkat ekonomi yang kurang karena mereka yang
hidup dalam ekonomi rendah sulit keluar dari perangkap kemiskinan karena pendidikan
mereka yang kurang, sehingga pendapatan mereka pun rendah. Akibatnya, mereka tidak
mampu mencukupi kebutuhan nutrisi anak-anak mereka dengan makanan sehat karena tidak
mampu untuk membeli. Hal inilah yang pada akhirnya stunting terus terjadi antar-generasi.
Pada pertumbuhan penduduk, stunting bisa menurunkan produktivitas SDM. Ini tecermin
dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di ASEAN masih lebih rendah dari pada
Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan setara dengan Vietnam (UNDP, 2018).
Berdasarkan data Human Development Report UNDP 2016, Indonesia memiliki angka IPM
yang masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan 4 negara ASEAN lainnya, yakni (5)
Singapura (IPM: 0.925); (30) Brunei (IPM: 0.865); (59) Malaysia (IPM: 0.789); (87) Thailand
(IPM: 0.740); (113) Indonesia (IPM: 0.689). Ini menunjukkan lambatnya laju peningkatan
kualitas pembangunan SDM kita sejak zaman kemerdekaan bila dibandingkan dengan
negara-negara lain di dunia, bahkan dengan negara/negara ASEAN.
Anak yang dikategorikan stunting memiliki perkembangan otak yang lambat sehingga
berdampak pada kecerdasan dalam berpikir. Akibatnya, mereka dengan kondisi tersebut
kurang cekatan dalam bekerja, produktivitasnya rendah, serta kurang memiliki sikap kreatif
dan inovatif. Tentunya ini sangat berpengaruh terhadap pembangunan Indonesia jangka
panjang, karena dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas untuk dapat
berkontribusi aktif di dalam berbagai sektor pembangunan di Indonesia. Ketika dewasa, anak
yang mengalami kondisi stunting pun berpeluang mendapatkan penghasilan 20% lebih
rendah bila dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting.

12
Upaya dalam mengatasi stunting

Periode 1000 hari pertama sering disebut window of opportunities atau periode emas
yang didasarkan pada kenyataan bahwa pada masa janin sampai anak usia dua tahun terjadi
proses tumbuh-kembang yang sangat cepat dan tidak terjadi pada kelompok usia lain. Gagal
tumbuh pada periode ini akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan pada usia dewasa.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan masalah stunting ini mengingat
tingginya prevalensi stunting di Indonesia. Pemerintah telah menetapkan kebijakan
pencegahan stunting, melalui Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan
Nasional Peningkatan Percepatan Gizi dengan fokus pada kelompok usia pertama 1000 hari
kehidupan, yaitu sevagai berikut: (Kemenkes RI, 2013)

1. Ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90 tablet selama kehamilan
2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) ibu hamil
3. Pemenuhan gizi
4. Persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli
5. Pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
6. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan
7. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi diatas 6 bulan hingga 2
tahun
8. Pemberian imunisasi dasar lengkap dan vitamin A
9. Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu terdekat
10. Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Selain itu, pemerintah menyelenggarakan pula PKGBM yaitu Proyek Kesehatan dan Gizi
Berbasis Masyarakat untuk mencegah stunting. PKGBM adalah program yang komprehensif
dan berkelanjutan untuk mencegah stunting di area tertentu. Dengan tujuan program untuk
mengurangi dan mencegah berat badan lahir rendah, kurang gizi, dan stunting pada anak-
anak, meningkatkan pendapatan rumah tangga/keluarga dengan penghematan biaya,
pertumbuhan produktivitas dan pendapatan lebih tinggi.
Adapun upaya lainnya yang sangat penting dilakukan dalam menanggulangi stunting yaitu
dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan orang tua terkait pemberian nutrisi pada
anak, peningkatan infrastruktur kesehatan, baik berupa fasilitas sanitasi dan MCK, maupun
fasilitas kesehatan seperti puskesmas, klinik, dan rumah sakit. Kemudian, diperlukan kerja
sama dan sinkronisasi yang terintegrasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk sama-
sama melakukan pemutakhiran data terkait keluarga miskin, keluarga dengan gizi buruk,
serta keluarga yang jauh dari fasilitas sanitasi yang layak agar pemerintah dapat memberi
bantuan dan penyuluhan secara cepat dan tepat. Dewasa kini, peran teknologi digital sebagai
media untuk penyebaran informasi terkait cara dan pencegahan stunting dapat dioptimalkan.

12
Kerangka pemikiran pembangunan terkait stunting

Kerangka Berpikir Pembangunan terkait Isu Stunting


Sumber: Analisis Pribadi, 2022

Kesimpulan

Permasalahan stunting pada balita dan anak-anak perlu ditangani dari akar penyebabnya,
karena jika tidak permasalahan ini akan terus-menerus terjadi. Stunting pada masa balita dan
anak-anak berdampak jangka panjang bagi pertumbuhan dan perkembangan seseorang,
Bayi yang pada periode pertama kehidupannya mengalami stunting akan memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak maksimal, rentan terhadap penyakit di masa depan, dan berisiko pada
menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan. Selain itu,
dampak permasalahan stunting berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi akibat kualitas SDM
yang kurang, produktivitas yang menurun, hingga pasar tenaga kerja yang tidak kompetitif.
Dalam perspektif pembangunan di Indonesia, perlu kiranya peran aktif dari berbagai pihak,
dimulai dari keluarga, masyarakat, lembaga pemerintahan desa hingga provinsi, tenaga
kesehatan, dan lain sebagainya untuk sama-sama berupaya menjalankan perannya masing-
masing dalam rangka memutus rantai stunting di Indonesia. Keluarga merupakan aspek
mendasar paling penting di mana peran pengasuhan orang tua sangat diperlukan dalam
seribu hari periode pertama kehidupan anak, tenaga kesehatan juga berperan penting dalam
rangka memberikan pemahaman dan sosialiasi mengenai cara-cara pemberian nutrisi pada
anak, serta upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mencegah stunting.

13
DAFTAR PUSTAKA

Alderman, Harold dan Headey, Derek D. 2017. "How Important is Parental Education
for Child Nutrition?". Elsevier: World Development Vol. 94, pp. 448-464

Augsburg, Britta dan Rodriguez-Lesmes, Paul Andres. 2018. "Sanitation and Child
Health in India". Elsevier: World Development Vol. 107, pp. 22-39

Bayu, Dimas. 2022. "Prevalensi Stunting di Indonesia Capai 24,4% pada 2021".
(https://dataindonesia.id/ragam/detail/prevalensi-stunting-di-indonesia-
capai-244-pada-2021, diakses tanggal 7 Desember 2022).

Cunha, Antonio Jose Ledo Alves, et al. 2015. "The Pediatrician's Role in the First
Thousand Days of the Child: the Pursuit of Healthy Nutrition and Development".
Elsevier: Jornal de Pediatria

Faradiba, Chintya Dwi. 2021. "Analisis Kontribusi Faktor Lingkungan Binaan terhadap
Status Anak Kerdil (Stunting) di Indonesia". Bandung: Perpustakaan Digital ITB

Hirvonen, Kalle, et al. 2017. "Children's Diets, Nutrition Knowledge, and Access to
Markets". Elsevier: World Development Vol. 95, pp. 303-315

Rahayu, Atikah, dkk. 2018. "Study Guide Stunting dan Upaya Pencegahannya".
Yogyakarta: CV Mine

Shree, Amogha dan Murthy, M.R. Narayana. 2021. "Impact of Malnutrition on


Scholastic Performance among School Children in Mysuru". Elsevier: Clinical
Epidemiology and Global Health Vol. 11

14

Anda mungkin juga menyukai