Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

DIMENSI MANUSIA DALAM PERUBAHAN


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Manajemen Perubahan
Dosen Pengampu Gusti Tia Ardiani, S.E., M.M.

Disusun oleh:

Kelompok 9

Veva Nuraenunnisa Subjana 213402104

Mohammad Faikar Rafiuddin 213402110

Laila Nurbahijah 213402111

Roby Mauladi Nugraha 213402119

Dila Sagita 213402120

Elsa Tsalisah 213402121

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SILIWANGI
TAHUN 2024

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan segala rahmat, petunjuk, dan karunia-Nya, akhirnya kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah mengenai Dimensi Manusia Dalam Perubahan
ini tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
Manajemen Perubahan. Selain itu, pembuatan makalah ini memiliki tujuan untuk
menambah wawasan serta pengetahuan mengenai konsep kerja dan motivasi kerja
bagi penulis maupun bagi pembaca.

Penyusunan makalah ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang kami miliki,


maka kami meyakini bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi


pembacanya.

Tasikmalaya, 14 Februari 2024

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................ i
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1. Penolakan Perubahan .................................................................. 3
2.2. Empat Asumsi Manajemen Terhadap Perubahan ....................... 11
2.3. Persamaan Perubahan ................................................................. 14
2.4. Pemulihan Kembali Harga Diri .................................................. 15
2.5. Menyediakan Informasi .............................................................. 16
2.6. Berikan Orang Lain Waktu ......................................................... 19
2.7. Mengikutsertakan Orang Lain .................................................... 19
BAB III Analisis Komparatif
3.1. Profil Perusahaan ........................................................................ 22
3.2. Sejarah Perusahaan ..................................................................... 22
3.3. Penerapan Pendekatan Netflix Pada Karyawan .......................... 23
3.4. Analisis Teori Dimensi Manusia Dalam Perubahan ................... 25
3.5. Hasil Analisis Komparatif........................................................... 29
BAB IV Simpulan
4.1. Kesimpulan ................................................................................. 30
Daftar Pustaka .................................................................................................. 32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Mempertahankan kebiasaan yang telah ada dirasa lebih mudah daripada
mengubah kebiasaan tersebut oleh kebiasaan yang baru. Mencoba suatu hal yang
baru maka akan memberikan kesempatan pada suatu organisasi maupun individu
dalam menghadapi kegagalan. Manusia cenderung lebih memilih untuk tetap
berada di zona nyaman mereka daripada harus menjelajahi wilayah atau keadaan
yang tidak manusia ketahui. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Nasution
bahwa resistensi terhadap perubahan merupakan reaksi emosional dan perilaku
terhadap perubahan kerja riil atau imajinatif dari organisasi. Reaksi tersebut bersifat
alamiah terhadap sesuatu yang menyebabkan gangguan dan hilangnya
keseimbangan.
Namun, tetap berada zona nyaman dan menghindari perubahan tidak
selamanya baik. Perubahan yang dinilai dapat mengarahkan suatu manusia atau
organisasi menuju ke arah yang lebih baik perlu ada, namun karena berbagai alasan
yang menyebabkan terjadinya penghambatan dalam terjadinya perubahan tidak
dapat membantu manusia atau organisasi untuk dapat berkembang. Hal ini dapat
dibuktikan dengan Nokia yang mengalami kebangkrutan akibat menolak adanya
perubahan dalam produknya, sehingga produknya tidak dapat bersaing dan
mengikuti zaman yang tengah berkembang. Sehingga perubahan dirasa perlu
adanya, namun tetap memerlukan beberapa pertimbangan serta pendekatan yang
dapat digunakan individu ataupun organisasi dalam adaptasi terhadap perubahan
yang terjadi.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini yaitu:
1.2.1. Bagaimana penolakan perubahan dapat terjadi?
1.2.2. Bagaimana empat asumsi yang ada dalam manajemen terhadap
perubahan?

1
1.2.3. Bagaimana dimensi manusia dalam perubahan dapat menghasilkan
persamaan perubahan?
1.2.4. Bagaimana dimensi manusia dalam perubahan dapat pemulihan
kembali harga diri?
1.2.5. Bagaimana dimensi manusia dalam perubahan dapat menyediakan
informasi?
1.2.6. Bagaimana dimensi manusia dalam perubahan dapat memberikan
orang lain waktu?
1.2.7. Bagaimana dimensi manusia dalam perubahan dapat
mengikutsertakan orang lain?
1.2.8. Bagaimana analisis komparatif dalam dimensi manusia dalam
perubahan?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1.3.1. Menjelaskan mengenai penolakan perubahan;
1.3.2. Menjelaskan mengenai empat asumsi manajemen terhadap
perubahan;
1.3.3. Menjelaskan mengenai dimensi manusia dalam perubahan dapat
menghasilkan persamaan perubahan;
1.3.4. Menjelaskan mengenai dimensi manusia dalam perubahan dapat
pemulihan kembali harga diri;
1.3.5. Menjelaskan mengenai dimensi manusia dalam perubahan dapat
menyediakan informasi;
1.3.6. Menjelaskan mengenai dimensi manusia dalam perubahan dapat
memberikan orang lain waktu;
1.3.7. Menjelaskan mengenai dimensi manusia dalam perubahan dapat
mengikutsertakan orang lain.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penolakan Perubahan


Resistensi atau penolakan merupakan suatu sikap atau tindakan menentang,
melawan, menampik, menghalau suatu tekanan/perintah/anjuran yang datang dari
luar. Dalam konteks pembicaraan tentang perubahan organisasi, resistensi adalah
suatu sikap atau tindakan menolak, menyanggah, menghalangi, menentang, dari
para anggota organisasi untuk berpartisipasi atau bekerja sama dengan organisasi
seiring dengan upaya untuk melakukan perubahan. Menurut Nasution (2010:28),
resistensi terhadap perubahan merupakan reaksi emosional dan perilaku terhadap
perubahan kerja riil atau imajinatif dari organisasi. Reaksi tersebut bersifat alamiah
terhadap sesuatu yang menyebabkan gangguan dan hilangnya keseimbangan.
Menurut Jande (2002:19), mereka yang menentang perubahan terdiri atas
berbagai pihak yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Orang yang tidak paham bahwa perubahan merupakan suatu hal yang
baik;
2) Orang yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan bahkan
memandang perubahan sebagai suatu hal yang rumit;
3) Orang yang terikat dengan adat kebiasaan atau nilai-nilai lama;
4) Orang yang telah mapan akan kekuasaan serta alokasi sumber daya
yang telah tersedia;
5) Orang yang tidak terlibat dalam mengambil keputusan untuk
melakukan suatu perubahan.
Perlu menjadi hal yang diyakini bahwa segala bentuk upaya perubahan akan
selalu dihadapkan dengan adanya penolakan. Beberapa alasan yang dimiliki suatu
organisasi maupun individu menolak adanya perubahan yaitu:
1) Masalah mental atau takut mengalami kegagalan
Menurut Gwee (2009:14-15) setiap orang yang ada di dalam
organisasi/lembaga dapat melakukan perubahan, namun mereka
menolak perubahan karena mereka tidak mau. Tidak mau yang

3
dimaksud di sini adalah enggan untuk beralih dari zona nyaman, takut
gagal, dan keengganan untuk mengadopsi sesuatu yang baru (Kasali,
2005:377).
2) Perubahan dinilai terlalu mustahil untuk diwujudkan
Para bawahan cenderung dituntut bekerja lebih keras sehingga mereka
tidak diberikan kesempatan untuk menikmati pekerjaan yang tengah
dikerjakan, kehidupan bersama keluarga, serta menyalurkan hobi yang
dimiliki.
3) Kurangnya mendapat dukungan dari para pemimpin
Bawahan yang berhadapan langsung dengan perusahaan tidak
diberikan dukungan yang layak oleh atasan atau pimpinannya.
Dukungan tersebut dapat berupa dukungan moril, material, atau bahkan
uang. Mereka pada akhirnya merasa bahwa yang dikerjakan selama
perubahan ternyata sia-sia. Sehingga para bawahan akhirnya menolak
untuk melakukan perubahan.
4) Perubahan tersebut tidak fokus
Penolakan terjadi akibat dari pimpinan yang tidak mampu memberikan
pemetaan pekerjaan secara jelas, tidak fokus, informasinya yang tidak
jelas, tidak cerdas, dan profesional sehingga dapat memunculkan
ketidakpastian (Kasali, 2005:384).
5) Tidak mendatangkan keuntungan
Wibowo (2009:130) mengungkapkan bahwa individu pada umumnya
menolak suatu perubahan jika mereka tidak melihat adanya suatu
penghargaan positif untuk ketersediaannya mereka.
2.1.1. Resistensi Individual
Menurut Robbins (1991:640-642) sebagaimana dikutip Supriyanto
(2009:65) dan Winardi (2009:235), sumber resistensi individual atas
perubahan mencakup kebiasaan, alasan ekonomi, rasa takut akan hal yang
tidak diketahui, serta pemrosesan informasi yang selektif.
Manusia cenderung tidak mau untuk keluar dari zona nyaman. Hal ini
sejalan dengan yang disampaikan Kasali (2005:154) bahwa otak manusia

4
diibaratkan sebagai komputer yang telah terprogram untuk melakukan suatu
hal yang rutin dari waktu ke waktu, apabila hal tersebut diubah maka akan
menciptakan suasana negatif serta emosional.
Jhon C. Maxwell, dalam Kasali (2010) menegaskan bahwa ada berbagai
alasan mengapa manusia enggan untuk berubah yaitu perubahan tersebut
bukan datang dari orang tersebut, gangguan terhadap rutinitas sehari-hari,
perubahan menimbulkan ketakutan terhadap suatu hal yang baru, serta
perubahan yang diberikan terlalu besar. Dalam melakukan suatu perubahan
sudah pasti terdapat individu yang menolak untuk dilakukannya perubahan
yang disebabkan oleh:
1) Kebiasaan atau habitat
Terlanjur nyaman dan terbiasa dengan keadaan atau habitat
sebelumnya, membuat individu tidak ingin atau enggan
melakukan perubahan.
2) Faktor ekonomi
Jika perubahan dapat menimbulkan dampak secara ekonomi yang
cukup besar, maka dapat diastikan bahwa resistensi dari individu
juga akan semakin kuat. Turunnya penghasilan, kenaikan gaji
yang tidak sesuai dengan harapan, naiknya biaya tranportasi
adalah faktor-faktor ekonomi yang memicu resistensi.
3) Safety atau keamanan
Rasa takut menjadi faktor yang cukup penting dan berpengaruh
terhadap resistensi perubahan. Takut dipecat atau kehilangan
jabatan keamanan menjadi ketakutan bagi individu dalam
melakukan perubahan.
4) Khawatir tentang ketidakpastian
Kekhawatiran individu terhadap perubahan yang akan dijalankan
dapat menimbulkan resistensi terhadap perubahan itu sendiri.
Tidak tercapainya tujuan, ketidakjelasan peraturan, menjadi
kekhawatiran bagi individu, sehingga memunculkan resistensi
perubahan.

5
5) Persepsi yang apriori
Persepsi yang timbul dalam individu sebelum dilakukannya
perubahan, dapat menimbulkan resistensi terhadap terlaksananya
perubahan. Pengetahuan yang ada bahkan sebelum perubahan itu
terjadi menimbulkan perspektif yang belum pasti dapat
menciptakan individu yang apatis sehingga timbul resistensi
terhadap perubahan.
2.2.2. Resistensi Organisasi
Sumber resistensi yang lain dalam melakukan perubahan adalah
organisasi itu sendiri. Winardi (2005:77-78) menjelaskan bahwa poin yang
menciptakan penolakan terhadap perubahan yaitu:
1) Stabilitas struktural: yakni dengan menciptakan hierarki, sub
kelompok-kelompok, peraturan-peraturan, serta prosedur-
prosedur guna memelihara ketertiban dan membina perilaku
sesuai dengan perilaku yang didambakan.
2) Perbedaan dalam orientasi fungsional: di mana masing-masing
unit lebih mementingkan diri sendiri dan menentang hal-hal yang
dinilai dapat merugikan mereka.
3) Kultur organisasi: nilai-nilai, norma-norma, dan ekspektasi-
ekspektasi yang telah mengakar sehingga mereka sulit
melepaskan asumsi dan cara-cara yang disepakati untuk
melaksanakan tugas.
2.2.3. Teknik Mengatasi Resistensi
Adapun enam teknik (Kasali, 2005:107 dan Wibowo, 2008:139-143)
yang umumnya digunakan manajer dalam mengelola resistensi terhadap
perubahan. Adapun teknik dalam mengatasi atau mengelola resistensi
tersebut yaitu:
1) Pendidikan dan Komunikasi
Menurut Nasution (2010) dan Wibowo (2008), tindakan yang
dapat dilakukan pemimpin pada tahap ini yaitu diskusi satu demi

6
satu, presentasi kelompok, pengiriman memo, dan mendatangkan
ahli untuk memberikan suatu pelatihan.
2) Partisipasi
Melibatkan, kolaborasi, kerja sama, serta mobilisasi para
bawahan dalam mengambil keputusan guna menumbuhkan serta
meningkatkan komitmen untuk melakukan suatu perubahan.
Sehingga hal ini dinilai dapat mengurangi penolakan.
3) Fasilitasi dan Dukungan
Pemberian dukungan serta fasilitas dinilai dapat memperlancar
perubahan. Bentuk dukungan dapat berupa dana, alat,
keterampilan, konseling, terapi, dan pengetahuan.
4) Negosiasi
Negosiasi digunakan ketika berhadapan dengan individu atau
kelompok yang memiliki kekuasaan tertentu. Pemimpin berupaya
untuk melakukan runding atau mencari suatu kesepakatan
bersama untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sehingga
penolakan dapat diminimalisir.
5) Manipulasi dan Kooptasi
Taknik ini merupakan upaya untuk membuat lebih menarik,
menyimpan informasi yang tidak diinginkan, menciptakan gosip
yang tidak benar, serta pemilihan pemimpin kelompok yang
menolak perubahan untuk menjadi pemeran guna dalam
melakukan perubahan.
6) Paksaan
Taktik ini dilakukan pemimpin untuk memerintah atau memaksa
para anggota untuk berpartisipasi dalam melakukan upaya
perubahan. Tahap ini merupakan tahap terakhir yang dapat
dilakukan untuk mengatasi anggota yang menentang suatu
perubahan.

7
2.2. Empat Asumsi Manajemen Terhadap Perubahan
Walau perubahan telah mempertimbangkan aspek-aspek komersial dan
organisasi, hal itu saja tidaklah memadai. Kita juga mesti menimbang-nimbang
dampaknya pada orang-orang yang terkait perubahan. Apakah mereka bisa bekerja
lebih efektif? Apakah mereka kemudian bisa dikelola dengan lebih baik lagi?
Apakah bisa diharapkan komitmen mereka pada perubahan? Jawaban pertanyaan-
pertanyaan ini bergantung pada apakah kita percaya terhadap potensi perbaikan
orang-orang itu sendiri. Jika ekspektasi manajer pada karyawannya relatif rendah,
maka respon yang didapatnya juga akan rendah. Upaya menggapai tingkatan
kinerja yang lebih tinggi mesti berangkat dari rasa percaya pada potensi semua
orang-orang yang terkait perubahan, lalu membekali mereka dengan tepat, melatih
mereka jika dibutuhkan dan seterusnya. Karena itu, asumsi di benak manajer
terhadap para karyawannya amatlah penting. Asumsi keliru mungkin akan
menurunkan ekspektasi manajer dan karenanya, akan memerosotkan kinerja.
Asumsi keliru juga berdampak pada gaya manajemen yang tak kondusif pada
komitmen dan perubahan.
Pekerjaan yang dilakukan karyawan bisa menjadi 'building blocks" yang
fundamental di organisasi manapun. Selain itu, mereka juga membentuk aspek
penting pengalaman kerja. Sejauh mana ketrampilan yang dihargai (valued skills)
digunakan, keleluasaan yang diberikan kepada individu, tingkat spesialisasi, sejauh
mana individu meng- hasilkan produk yang berharga', kesemua itu amatlah penting.
Namun, di lain sisi, individu nampaknya berbeda-beda dalam menginginkan
pelbagai atribut tersebut hadir dalam pekerjaan mereka. Kaitan antara tipe
pekerjaan seseorang dengan tingkat kepuasan kerjanya bukanlah hal sederhana.
Begitu pula kaitan antara kepuasan kerja dengan produktifitas. Faktor-faktor lain
juga sama pentingnya. Namun, banyak orang merasa pekerjaan mereka bersifat
repetitif dan membosankan, atau setidaknya, mengatakan begitu bila ditanya. Dulu
perhatian orang ada pada desain pekerjaan. Kini, teknologi baru memungkinkan
organisasi meninjau pekerjaan dan bahkan mungkin meningkat- kannya.
Masing-masing manajer dan pekerja punya ekspektasi yang ber- beda
terhadap yang lainnya dan khususnya, tentang apa yang men- dorong motivasi

8
mereka bekerja. Schein mengidentifikasikan empat tipe asumsi manajemen
terhadap karyawan, dan implikasinya atas manajemen dan strategi desain
pekerjaan. Keempat asumsi dan implikasi- nya tersebut dijabarkan di bawah ini:
2.2.1. Manusia Rasional-Ekonomis
Model manusia rasional-ekonomis terkait dengan prinsip-prinsip
'manajemen ilmiah' dan, secara historis, pendekatan ini mulai dikembangkan
sejak awal abad dua puluh. Model ini mengasumsikan bahwa orang
mengevaluasi dulu hasil pelbagai tindakan dan memilih diantaranya yang
paling potensial memberikan manfaat maksimal, misalnya: mereka
menerapkan pertimbangan rasional berdasar kriteria ekonomis. Asumsi
umum ini bisa dirinci lagi menjadi delapan asumsi spesifik, yaitu:
1) Karyawan termotivasi terutama oleh insentif ekonomis, dan akan
melakukan aktifitas-aktifitas yang menawarkan manfaat
ekonomis terbesar;
2) Karyawan bersikap pasif dan mesti dimanipulasi, dimotivasi, dan
dikontrol manajemen, karena manajemenlah yang
mengendalikan insentif ekonomis;
3) Emosi pada dasarnya irasional, dan pencampuradukan antara
kalkulasi rasional dengan kepentingan pribadi mesti dicegah;
4) Organisasi mesti dirancang sedemikian rupa sehingga emoel
karyawan, yang bersifat tak mudah diprediksi, bisa dikendalikan
dan dinetralisir;
5) Manusia pada dasarnya malas dan mesti dimotivasi dengan
insentif eksternal;
6) Tujuan pribadi karyawan bertentangan dengan tujuan organisasi,
dan diperlukan kekuatan eksternal guna menggerakkan upaya-
upaya tersebut agar selaras dengan tujuan organisasi;
7) Karyawan tak mampu mengendalikan dan mendisiplinkan diri
karena perasaan-perasaan irasional mereka;
8) Karyawan bisa dibagi menjadi dua kelompok: mereka yang
cocok: dengan asumsi di atas, dan mereka yang mampu

9
memotivasi-diri, mengontrol diri sendiri dan tak gampang
terpengaruh emosi. Kelompok kedua ini mesti diberi tanggung
jawab mengelola kelompok pertama.
Tersirat dalam asumsi ini, emosi tak punya tempat dalam relasi
manajemen-karyawan, dan mesti dicegah agar tak mempengaruhi situasi
kerja. Ini berimplikasi pada strategi manajemen dalam pemberian imbalan
finansial dan ekonomis atas kontribusi karyawan, dan sistem kewenangan,
kendali serta penetapan hukuman guna melindungi organisasi dan karyawan
dari perasaan irasional.
Dalam desain pekerjaan, tekanan utamanya ada pada efisiensi kinerja,
sebab hal ini akan membawa keuntungan ekonomis maksimal. Aturan dan
prosedur digariskan, serta diterapkan metode perbaikan, sehingga efisiensi
maksimal tercapai. Kelemahan mesti diidentifikasi agar insentif atau
hukuman bisa diterapkan guna mengkoreksi keadaan. Begitu metode kerja
telah digariskan dan karyawan mematuhinya, maka terciptalah motivasi dan
hasil kerja yang diinginkan dengan cara mengubah-ubah imbalan dan
hukuman, dan menerapkan supervisi secara memadai.
2.2.2. Manusia Sosial
Asumsi-asumsi pandangan ini bisa diringkas atau dirumuskan
seperti berikut ini:
1) Karyawan pada dasarnya termotivasi kebutuhan sosial dan
memperoleh sense of identity melalui hubungannya dengan orang
lain;
2) Rasionalisasi proses kerja telah mencabut makna dari pekerjaan
dan karenanya, makna kerja mesti dicari dari hubungan sosial
yang tercipta saat bekerja;
3) Kolega atau kelompok rekan kerja (peer group) dengan tekanan
sosialnya lebih direspon karyawan ketimbang insentif dan kontrol
manajemen;

10
4) Agar karyawan merespon manajemen, maka atasan mesti
memenuhi dulu kebutuhan sosial dan kebutuhannya untuk
diterima.
Dalan desain pekerjaan, asumsi-asumsi ini membawa perubahan besar
pada pendekatan. Manajer disarankan tak hanya fokus pada efisiensi tugas
namun juga mesti menimbang kebutuhan sosial karyawan. Interaksi sosial
mesti dianggap sebagai sarana peningkatan motivasi, bukan sekedar faktor
yang mempengaruhi efisiensi kinerja, dan karena itu manajer selayaknya
menganggap kelompok kerja lebih sebagai faktor kontributor penting pada
motivasi karyawan ketimbang sebagai faktor pengganggu.
Asumsi manusia sosial berdampak pada dua pendekatan terkait, walau
agak beda. Pendekatan pertama adalah penekanan pada hubungan manusia.
Alih-alih menjadi pengawas dan pencipta kerja, manajer selayaknya lebih
berfungsi sebagai penyokong karyawan yang simpatik dan membiarkan
mereka melakukan tugasnya ketimbang langsung main perintah untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu. Ini berdampak pada penerapan gaya
manajemen yang tak begitu otokratis/direktif, namun lebih suportif. Yang
kedua adalah pen- dekatan sistem sosio-teknik. Di sini, sengaja diupayakan
integrasi kebutuhan sosial karyawan dengan tuntutan teknis pekerjaan, lazim
nya dengan lebih condong pada desain kerja kelompok, ketimbang tugas
individual, dan kerap pula dibarengi dengan insentif berbasis kelompok
dan bukan individu.
2.2.3. Manusia yang Mengaktualisasi Diri
Berbagai asumsi-asumsi tentang pandangan ini bisa diringkas menjadi:
1) Secara inheren, manusia tidak malas atau menentang tujuan
organsiasi;
2) Karyawan berupaya, dan memang mampu, bersikap dewasa
dalam tugasnya, menerapkan otonomi, mandiri dan bertanggung
jawab, serta senantiasa bersedia meningkatkan ketrampilan dan
kemampuan beradaptasinya;

11
3) Pada dasarnya, karyawan bisa memotivasi dan mengontrol diri
serta tidak butuh insentif dan kendali eksternal untuk mendorong
mereka bekerja;
4) Tak ada konflik inheren antara aktualisasi diri dengan kinerja
efektif organisasi. Jika diberi peluang, karyawan akan sukarela
memadukan tujuan mereka sendiri dengan tujuan organisasi,
yaitu dengan cara berupaya keras mencapai tujuan organisasi agar
kelak tercapai juga tujuan pribadi.
Implikasi asumsi-asumsi di atas bagi manajemen berbeda secara
mendasar. Asumsi rasional-ekonomis dan sosial berbuntut pada strategi
pemenuhan motivasi ekstrinsik agar terjadi peningkatan kinerja, sedangkan
asumsi aktualisasi diri lebih mengarah pada strategi yang mampu
menciptakan peluang-peluang agar karyawan mau mengerahkan motivasi
yang memang telah ada. Asumsi rasional- ekonomis dan sosial membutuhkan
imbalan ekstrinsik (ekonomis atau sosial) sebagai imbalan kinerja; sedangkan
asumsi aktualisasi diri lebih bertumpu pada peluang-peluang untuk meraih
imbalan intrinsik (ke- puasan atas kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya
pada lingkungan kerjanya) sebagai tukaran kinerja. Selanjutnya, kriteria
kinerja juga berbeda. Pada asumsi rasional-ekonomis dan sosial, tekanannya
lebih pada keselarasan dengan pola perilaku yang diinginkan, namun pada
asumsi aktualisasi diri, tekanannya justru lebih pada kualitas dan kreativitas.
Implikasinya pada desain pekerjaan juga amat jauh berbeda. Manajer tak lagi
main perintah, namun lebih dulu menjelaskan seren yang hendak dicapai dan
membiarkan karyawan memakai per timbangannya sendiri. Fokus
manajemen lebih ditekankan pada bagaimana membuat pekerjaan menjadi
lebih menantang dan ber- makna, sehingga dengan begitu manajemen
bersedia melepas sebagian besar kendali langsung atas karyawannya.
2.2.4. Manusia Kompleks
Sampai sejauh ini, kesemua asumsi di atas didukung banyak bukti.
Dalam hal-hal tertentu, model-model tersebut bisa dipakai guna menjelaskan
dan memprediksi perilaku, namun ada cukup bukti pula yang bertentangan.

12
Manusia tak saja memiliki sifat yang lebih kompleks,ketimbang model-model
di atas, namun manusia juga berbeda. Schein menjelaskan lima asumsi yang
menjadi fondasi model 'manusia kompleks' ini:
1) Manusia bersifat kompleks dan selalu berubah. Mereka punya
pelbagai kebutuhan, yang tersusun atas hirarki kepentingan
pribadi serta berubah-ubah tergantung waktu dan situasi. Lebih
lanjut, motif mereka saling berinteraksi dan membentuk pola
motivasi yang kompleks;
2) Karyawan bisa saja mengadopsi motif baru berkat pengalaman
mereka dan karena itu, pola motivasi dan hubungan individu
dengan organisasi terbentuk sebagai hasil kompleksitas interaksi
kebutuhan individu dengan pengalaman organisasi;
3) Motif karyawan bisa berbeda-beda dalam pelbagai situasi orga-
nisasi. Jika kebutuhan mereka tak terpuaskan dalam organisası
formal, mereka mungkin berupaya mencarinya pada organisası
informal atau pada aktifitas lainnya. Jika satu pekerjaan tertentu
bersifat kompleks, masing-masing bagian pekerjaan tersebut
mungkin berkaitan dengan motif-motif yang berbeda;
4) Keterlibatan kerja karyawan bisa dikaitkan dengan beragam motif
dan hasil berupa kineņa mereka, sementara kepuasan kera hanya
sebagian dipengaruhi motivasi. Sifat pekerjaan, hubungan dengan
karyawan lain, kemampuan serta pengalaman, kesemua- nya
berinteraksi membentuk hasil tertentu. Contohnya, seorang
karyawan yang amat terampil namun rendah motivasinya bisa
sama efektif serta puasnya dengan karyawan yang rendah ke
mampuannya namun amat tinggi motivasinya;
5) Cara karyawan merespon pelbagai strategi manajemen ber-
gantung pada motif, kemampuan serta sifat tugas mereka. Karena
itu, mungkin tidak cukup satu macam strategi manajemen agar
bisa membawa keberhasilan.

13
Model pertama dan kedua tidak berarti salah, karena masing- masing
bisa menjelaskan orang-orang tertentu pada situasi yang spesifik. Implikasi
bagi manajemen adalah para manajer tak selayaknya dibatasi pada satu
macam strategi saja, namun mereka mesti fleksibel bergantung pada pelbagai
kemampuan dan motif. Pada gilirannya, hal ini berarti manajemen mesti
sensitif dalam mendiagnosa per- bedaan-perbedaan yang ada, dan diharapkan
mampu mengubah- ubah gaya serta perilaku managerial mereka.

2.3. Persamaan Perubahan


Perubahan menciptakan risiko, ketidakpastian serta biaya, baik biaya
ekonomis maupun psikologis. Agar komitmen perubahan bisa ditumbuhkan, perlu
dilahirkan visi bersama (shared vision) tentang bagaimana memperbaiki situasi dan
tujuan bersama (shared aim) menuju masa depan. Selain itu perlu pula
ditumbuhkan pemahaman gamblang tentang langkah maju praktis pertama. Jika
dirasa satu cara tak efektif, kita mesti bisa memvisualisasikan cara yang lebih baik
dan melahirkan langkah-langkah yang bisa dilakukan guna mendorong kemajuan
menuju visi tersebut. Banyak penulis percaya bahwa menumbuhkan komitmen dan
energi perubahan bergantung pada semua faktor ini.
Persamaan perubahan memberi cara pandang yang bermanfaat guna
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Apakah saya sebaiknya berusaha
membuat perubahan?’ dan ‘Apa lagi yang bisa dilakukan agar meningkatkan
peluang kita dalam mengintrodusir perubahan secara efektif?’. Kesemua itu bisa
dirumuskan sebagai berikut:
EC = A x B x D
Di mana EC merupakan energi perubahan, A adalah ketidakpuasan terhadap
situasi saat ini, B adalah tingkat pengetahuan tentang langkah maju bersifat praktis
dan D merupakan visi bersama (shared vision).
Ketidakpuasan terhadap keadaan masa kini hanya akan membawa energi
perubahan yang tinggi bila dibarengi tingginya tujuan bersama (shared aims) dan
pengetahuan tentang apa yang mesti dilakukan. Tanpa tujuan bersama dan
pengetahuan, ketidakpuasan hanya akan berdampak pada demotivasi, patah

14
semangat, dan rasa apatis. Namun demikian, terdapat persamaan lain agar
perubahan bisa terjadi, yaitu:
EC > Z
Di mana Z adalah persepsi biaya dalam membuat perubahan (perceived cost
of making change).
Energi perubahan mesti lebih besar daripada persepsi biaya membuat
perubahan, baik secara ekonomis ataupun psikologis. Nyatanya, jika kita tidak
punya tujuan bersama (shared aims) serta tak punya pengetahuan tentang apa yang
mesti dilakukan selanjutnya, maka akan timbul begitu banyak ketidakpastian
sehingga semua orang mengira bahwa biaya perubahan pastilah tinggi. Saat
mendesain dan mengelola perubahan, kita perlu memastikan bahwa baik cara
mengintrodusir perubahan maupun dampak perubahan dirancang sedemikian rupa
agar bisa mendorong energi perubahan.

2.4. Memulihkan Kembali Harga Diri


Karena dalam prakteknya, perubahan sangat pelik dan penuh tuntutan, maka
hanya dengan memadukan transisi manajemen, penanganan budaya dan politik
organisasi secara konstruktif, maka kita bisa menciptakan lingkungan di mana
kreativitas, pengambilan resiko, pembelajaran dan pemulihan kembali harga diri
(self-esteem) dan kinerja bisa terwujud. Jika kita bisa mempertahankan perpaduan
semacam ini, maka pembelajaran dan perubahan akan mengikuti dengan
sendirinya.
Dengan sedikit menyederhanakan, bisa dikatakan bahwa individu memiliki
empat kebutuhan jika diinginkan pemulihan kembali harga diri mereka di tengah
program perubahan organisasi. Mereka mesti memahami perubahan, maka dari itu,
mereka butuh informasi yang mudah dipahami. Mereka diharapkan
mengembangkan ketrampilan- ketrampilan baru, antara lain kemampuan bekerja
dengan orang-orang baru seperti rekan kerja ataupun atasan baru. Mereka akan
butuh dukungan untuk membantu mereka mengatasi masalah. Sangat penting
dalam hal ini dukungan untuk mencoba sistem baru. Lokakarya- lokakarya singkat
yang direncanakan guna menguasai sebagian atau semua tugas baru akan sangat

15
membantu, dan demikian pula dukungan teknis buat memecahkan masalah, akses
pada orang-orang yang bisa membantu, dan memberi kesempatan agar semua orang
bisa me- ngontrol pembelajaran mereka masing-masing. Di sini empati merupakan
faktor penting. Kirkpatrick melihatnya sebagai ketrampilan kunci dalam mengelola
perubahan. Kita telah membicarakan empati sebelum ini. Pada bagian ini kita
membicarakan sejumlah gagasan yang bisa digunakan untuk mengembangkan atau
mempraktekkan empati -mencoba memandang perubahan sebagaimana orang lain
melihatnya dan menggunakannya sebagai dasar upaya pemulihan kembali harga
diri. Jika keempat kebutuhan ini bisa dipenuhi dengan sumber daya yang tepat,
maka para karyawan dimungkinkan bisa menyelesaikan tugas pribadi mereka yang
diperlukan guna memulih- kan kembali harga diri dan bertindak. Lantaran itulah
mereka bisa beradaptasi dengan perubahan dan mengembangkan ketrampilan-
ketrampilan, kemampuan dan peran baru yang diperlukan dalam menghadapi masa
depan.
Namun demikian, dua masalah mesti segera ditangani. Masalah yang kita
bicarakan ini merupakan masalah pelik bagi para individu dan kelompok, baik bagi
karyawan maupun manajer, untuk dihadapi dan dibicarakan. Alasan pertama adalah
karena masalah tersebut berkaitan dengan penyediaan informasi bagi individu.
Apakah masalahnya begitu gamblangnya sebagaimana nampaknya atau apakah ada
masalah dalam penyediaan informasi ini? Proses apa yang bisa menghalangi
aktifitas penanganan perubahan? Masalah kedua berkaitan dengan masalah
perilaku tak-efektif.

2.5. Menyediakan Informasi


Dalam tataran praktis, banyak ha-hal dalam bahasan ini berkaitan dengan
informasi. Apabila mereka diharapkan paham andil mereka dalam sistem, para
karyawan mesti memahami siste-sistem baru tersebut. Informasi mesti dibagi, jika
memang diharapkan semua orang paham dampak perubahan terhadap diri mereka
sendiri dan terhadap tugas ‘mereka’. Apakah ini berarti bahwa keterbukaan dan
pembagian informasi merupakan hal yang sudah tepat, dan semakin terbuka
semakin baik? Sebagian orang mungkin akan menyetujuinnya, dengan alasan

16
bahwa kita bisa membentuk pendapat yang matang hanya jika kita punya informasi
relevan. Sebagain lainnya akan mengacu pada ketidakpastian yang menjadi ciri
banyak perubahan. Bagaimana jika ada seorang manajer yang didesak oleh
karyawannya agar berbagi informasi sama-sama tidak punya informasi yang perlu
dibagi? Maka masalah kerahasiaan perlu dibahas dalam hal ini.
Ketika terjadi masalah yang mesti dihadapi pada saat perubahan besar sedang
berjalan. Bagi para individu yang terkait, tuntutan dalam situasi perubahan bisa
membuka pikiran mereka sendiri dan bagi orang lain. Kita kerap merespon secara
emosional karena kita merasa bahwa tuntutan baru, situasi baru, akan membuka
bagian dari diri kita yang selama ini kita jaga. Kinerja seseorang pada saat itu, baik
ataupun jelek, mesti dilihat saat para perencana mengumpulkan data sebagai
justifikasi perlunya perubahan. Keterampilan semua orang diteliti dan dieksplorasi.
Perilaku kerja diobservasi dan dianalisa. Karyawan ditanya tentang bagaimana
pendapat atau perasaan mereka tentang sistem, proses, pekerjaan, mesin atau
struktur yang kini diadopsi. Sejauh mana efektivitasnya? Apa masalahnya?
Bagaimana cara memperbaikinya? Apa hal terburuk dari faktor-faktor itu? Dengan
adanya pertanyaan tersebut maka informasi akan menjadi terbuka.
Seperti yang sudah dijelaskan, hal tersebut bukanlah tanpa masalah. Jika
pertanyaan-pertanyaan diatas ini samapi menyinggung domain pribadi. Maka bisa
dianggap sebagai serangan pada wilayah pribadi. Semua orang biasanya akan
memakai segala cara guna melindungi hal-hal pribadi. Apakah kita mesti peduli?
Ya, jika kita memang ingin orang yang sama mau secara ajtif mendukung dan
terlibat dalam perubahan. Apa maksudnya? Sangat penting mengumpulkan
informasi orang-orang dengan menggunakan cara mereka sendiri. Hanya dengan
cara demikianlah, kita bisa meminimalisir kemungkinan pelanggaran wilayah
pribadi para karyawan. Tentu saja informasi memang dibutuhkan, namun semakin
kita mampu membuat orang-orang yang terkait tadi mengumpulkan dan
menginterpretasikan informasi mereka sendiri dan memasukkannya pada Analisa
yang lebih luas pada seksi, bagian, atau organisasi, maka hasilnya akan semakin
baik. Empati menjadi keterampilan kunci. Apakah orang-orang dibiarkan
menyembunyikan kinerja yang rendah, atau menyembunyikan masalah? Tentu saja

17
tdak, namun kita mesti menyadari perlunya kerahasiaan pada tingkatan tertentu,
masalahnya adalah pada keseimbangan. Kerahasiaan mungkin merupakan hal yang
tidak terhindarkan bagi individu, kelompok, dan organisasi. Sebagaimana
dikatakan Bok: “Dibutuhkan kerahasiaan menyangkut rencana-rencana, tidak saja
untuk melindungi perumusannya, namun juga untuk mengembangkannya atau
mungkin mengubahnya, dan pada saat-saat tertentu membiarkannya, dan kalau
perlu membuangnya. Kerhasiaan bisa menjaga proyek yang butuh kreatifitas dan
tugas Panjang waktu: hal-hal yang masih tentative dan peka, tugas-tugas, penelitian,
dan tawar-menawar yang belum tuntas apapun bentuknya. Tidak adanya
kerahasiaan mungkin saja menghambat negosiasi-negosiasi, Dimana tidak semua
rencana bisa dibeberkan didepan. Namun, saat proyek sudah mulai berjalan,
Sebagian besar kerahasiaan dengan sendirinya akan sukarela diungkapkan, bila
semua berjalan baik.”
Pada tingkatan tertentu, control atas informasi mungkin bisa dibenarkan pada
tataran individu guna melindungi identitas, rencana dan Tindakan, atau pilihan-
pilihan bagi individu tersebut. Hal ini berlaku baik bagi manajer senior maupun
karyawan. Ini menjadikan masalahnya bersifat mendua. Keterbukaan dan berbagi
informasi merupakan hal yang berharga sebagai sarana untuk memfasilitasi
perubahan. Namun perlu pula dipertimbangakan tuntutan-tuntutan lain. Ada pula
tuntutan-tuntutan yang bertentangan yang mendorong pembatasan informasi bagi
individu yang pekerjaanya mungkin hendak diubah, bagi orang-orang yang
mengambil inisiatif, merencanakan dan mendapat dukungan untuk melakukan
perubahan, dan kini sedang menunggu saat diterapkannya. Karena itu, perhatian
kita bukan hanya pada pembagian informasi namun lebih pada menentukan cara
bagaimana orang-orang yang terkait bisa mengontrol informasi yang akan dibagi.
Hal ini bukanlah jawaban hitam-putih karena memang tidak ada jaminan bahwa
tidak akan tejadi penyalahgunaan. Membuat masalahnya terlihat ekspisit mungkin
bisa menciptakan kondisi Dimana informasi yang valid dan relevan bisa diperoleh
tanpa membahayakan identitas mereka yang terkait. Jika melakukan sebaliknya
berarti kita bertindak sembrono pada mereka yang terkait dalam situasi perubahan
dan bersikap sembrono pula terhadap kualitas informasi yang mesti didapat.

18
2.6. Berikan Orang Lain Waktu
Orang-orang membutuhkan waktu cukup agar bisa sukses dan selamat
menjalani perubahan besar. Ini sangat relevan terutama jika perubahan
meniscayakan mereka agar mampu memecahkan masalah. Habiskan waktu dengan
mereka. Pemimpin perlu mendengarkan pandangan dari karyawannya, mereka
mungkin mengetahui lebih banyak ketimbang kita tentang rincian pekerjaan,
sistem, bidang pekerjaan tertentu. Selalu perkuat situasi baru dalam pembicaraan
semaam ini. Empati sangat penting namun ingatlah bahwa perhatian semestinya
dipusatkan pada upaya membantu mereka guna membangun energi perubahan.
Mendukung karyawan untuk menunda pengambilan keputusan yang memang
belum diperlukan. Semua orang perlu meraba-raba sepanjang perjalanan mereka
menuju perubahan. Membantu mereka agar mampu melihat tonggak-tonggak
penting (milestone), pekerjan yang perlu dilatih, tujuan yang hendak dicapai, sistem
yang perlu dibuat agar berfungsi. Rutinitas dan tonggak-tonggak penting mampu
memberi stabilitas dan struktur. Orang membutuhkan waktu agar bisa menjalani
perubahan namun mereka juga perlu menata waktu. Jangan paksakan struktur
waktu tersebut, dan berikan dorongan pada mereka untuk memunculkannya sendiri.

2.7. Mengikutsertakan Orang Lain


Sejauhmana dan bagaimana semua orang diikutsertakan dalam situasi
perubahan mesti dipertimbangkan secara matang karena terdapat keuntungan dan
kerugian didalamnya, sebagaimana akan dibahas berikut ini:
2.8.1. Keuntungan dan Kerugian dalam Melibatkan Semua Orang
Keuntungan:
1) Keputusan yang lebih baik karena orang telah punya pengetahuan
yang lebih rinci tentang pekerjaan dan sistem;
2) Semua orang akan lebih bisa memhamai tujuan perubahan, dan
cara kerja sistem baru;
3) Menciptakan perasaan memiliki (ownership);
4) Mengarahkan Kembali energi untuk menunjang dan bukan
mennetang perubahan;

19
5) Memungkinkan eksperimentasi;
6) Membangun pemahaman yang lebih baik tentang perubahan dan
bagaimana cara mencapainya.
Kerugian:
1) Memakan waktu lebih lama, terutama pada tahap perencanaan;
2) Karena itu, membutuhkan lebih banyak waktu dan usaha pada
tahap-tahap awal.
Selain itu, melibatkan semua orang malah mungkin mendorong
ketidakpastian dan ketidakstabilan apabila individu dan kelompok-kelompok
tersebut menggunakan proses pelibatan sebagai sarana menentang perubahan.
namun demikian, jika tujuannya adalah penerapan perubahan secara efektif,
masalah terakhir ini bukanlah isu utama. Orang-orang yang berpotensi
menentang perubahan ini bisa saja tetap akan menentang dan tidak peduli
mereka dilibatakan atau tidak. Jika mereka tidak dilibatkan, maka resistensi
mereka akan muncul dengan cara-cara lain. Berikut ini daftar kriteria yang
berguna dalam perencanaan bagaimana semua orang akan dilibatkan dalam
perubahan.
2.7.2. Melibatkan Semua Orang
Hal ini mungkin akan bergantung pada:
1) Kompleksitas perubahan dan kuatnya keterkaitan antara berbagai
unsur dalam perubahan;
2) Penentangan yang sudah diperkirakan dan derajat ketidakpuasan
terhadap situasi yang ada;
3) Tingkat kredibilitas orang-orang yang mengajukan perubahan;
4) Dampak perubahan pada semua orang, baik yang positif maupun
negative, berapa banyak ‘pemenang’, berapa banyak
‘pecundang’;
5) Bila kualitas Keputusan lebih penting ketimbang
akseptabilitasnya itu sendiri;
6) Bila gossip kemungkinan besar akan muncul, apapun yang
terjadi.

20
Faktor-faktor diatas mesti dipertimbangkan, terkadang perubahan lebih
baik diajukan oleh manajemen puncak. Tidak ada jawaban yang mudah
namun, yang sama pentingnya keterlibatan manajemen puncak bukanlah
segalanya. Namun demikian, ada dua hal mesti ditambahakan. Karena
terdapat keuntungan nyata keterlibatan derajat tertentu keterlibatan memang
diperlukan. Biasanya ada banyak rincian mesti diputuskan sejauh mana orang
bisa dan sebaiknya terlibat. Maksudnya adalah memperjelas tepatnya
bagaimana dan sampai sejauh mana keterlibatan direncanakan. Tidak kalah
pentingnya adalah melibatakan para pemegang kekuasaan kunci (key power
holder) dan para opinion leader. Mereka ini mampu mempengaruhi perilaku
dan sikap orang lain dan karena itu perlu kita dapatkan dukungan terbuka
mereka.

21
BAB III
ANALISIS KOMPARATIF

3.1. Profil Perusahaan


Nama Perusahaan : Netflix
Jenis Usaha : Layanan Streaming
Pendiri : Reed Hastings dan Marc Randolph
Tahun Berdiri : 2007
Negara : Amerika Serikat

3.2. Sejarah Perusahaan


Netflix merupakan salah satu platform populer yang menghadirkan beberapa
film. Netflix didirikan oleh Reed Hasting yang bekerja sama dengan Marc
Randolph. Pada tahun 2007 Netflix memberikan layanan streaming film dan juga
serial TV melalui komputer yang membuat orang bisa menonton lebih bebas.
Secara konsep memang Hasting berinovasi untuk menggabungkan 2 teknologi yang
saat itu masih baru yakni DVD dan juga pemesanan DVD.
Pada mulanya, Netflix menyewakan DVD kepada pelanggan yang dapat
dipesan melalui situs web. Namun, model bisnis tersebut menghadapi kendala yang
cukup merepotkan.Salah satunya adalah karena pengiriman DVD melalui pos
membutuhkan waktu hingga 4 hari kerja. Akibatnya, banyak pelanggan yang tidak
mau menyewa DVD lagi secara berulang.Pelanggan cenderung menyewa DVD
terbaru ketimbang DVD lama. Agar perusahaan memperoleh keuntungan, margin
profit per DVD harus mencapai angka 15-20 persen.Mengatasi masalah tersebut,
Netflix memodifikasi model bisnisnya. Netflix memberlakukan sistem sewa atau
berlangganan dalam periode waktu yang lebih lama, misalnya satu tahun.Dengan
begitu, pelanggan harus membayar semua biaya sewa selama setahun di awal waktu
sewa. Alhasil, pelanggan akan “terkunci” dengan platform Netflix.Netflix juga
membuka sistem antrian, yang mana pengguna dapat memilih judul film yang ingin
mereka tonton selanjutnya.Dengan begitu, proses pengiriman dan pengembalian
DVD dapat dipercepat.Pelanggan juga semakin terdorong untuk segera

22
mengembalikan DVD lamanya agar dapat menerima DVD baru.Pada tahun 2000,
Netflix menyediakan program penyewaan film bertajuk “All-You-Can-Watch”
dengan biaya berlangganan per bulan. Paket ini memungkinkan penggunanya untuk
menerima hingga 4 DVD sekaligus.Perusahaan juga menghapus denda
keterlambatan, biaya pengiriman, dan biaya per film. Sampai saat ini, Netflix tetap
eksis dalam dunia perfilman dengan model bisnis yang lebih modern.
Model bisnis Netflix hari ini bermula pada tahun 2007. Saat itu, perusahaan
menyediakan layanan live streaming dengan menggunakan koneksi internet yang
stabil.Pengguna wajib memiliki koneksi internet minimal 1 mbps untuk menikmati
layanan streaming film, dan 3 mbps untuk menggunakan layanan streaming film
kualitas tinggi.Pada tahun 2008, Netflix memberikan akses tanpa batas untuk
pelanggan paket streaming filmnya.Pendekatan Netflix untuk memulai layanan
video streaming-nya adalah proses bertahap.
Diluncurkan pada Januari 2007, perusahaan tidak meluncurkan layanannya
untuk semua penggunanya sekaligus, melainkan secara bertahap meningkatkan
penawaran layanan, menyelesaikannya untuk semua pelanggan pada Juni
2007. Netflix menggunakan enkripsi DRM untuk melindungi kontennya, NetFlix
DRM adalah salah satu solusi anti-pembajakan paling aman untuk video
premium.Pada bulan Agustus 2008, Netflix mengalami kerusakan database besar,
dan tidak dapat mengirimkan DVD selama tiga hari. Kondisi ini menjadi stimulus
yang menyebabkan Netflix memilih untuk beralih cloud. Migrasi cloud ini
berlangsung pada periode 2010-2011, dan baru selesai pada tahun 2015.Hingga saat
ini, semua orang dapat menikmati layanan Netflix dengan memilih paket
berlangganan dan mengandalkan koneksi internet.Kamu tidak perlu lagi menyewa
DVD karen sudah menggunakanan layanan videp on demand.Itulah perjalanan
bisnis dan sejarah Netflix, perusahaan streaming video terbesar di dunia.

3.3. Penerapan Pendekatan Netflix Pada Karyawan


Netflix memiliki kebijakan yang disebut "unlimited vacation policy” (liburan
tanpa batas) yang memungkinkan karyawan mengambil cuti sebanyak yang mereka
inginkan, tanpa harus mencatat hari libur atau meminta persetujuan manajer. Aturan

23
di balik kebijakan ini adalah selama karyawan memenuhi tanggung jawab
pekerjaan mereka dan memberikan hasil, mereka dapat mengambil cuti sebanyak
yang mereka perlukan untuk memulihkan tenaga dan menjadi lebih
produktif.Namun, kebijakan “liburan tanpa batas” di Netflix bukanlah kebijakan
yang sepenuhnya tidak dibatasi. Diharapkan bahwa karyawan akan menggunakan
penilaian mereka dan memastikan bahwa beban kerja dan tanggung jawab mereka
terpenuhi.Dalam praktiknya, kebijakan “liburan tanpa batas” di Netflix bisa efektif
dalam mengurangi kelelahan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Hal ini
juga dapat meningkatkan kepercayaan dan otonomi di antara karyawan, karena
mereka diberdayakan untuk membuat keputusan mengenai waktu istirahat mereka
sendiri.
Selain itu juga Netflix menggunakan beberapa pendekatan dalam lingkup
dimensi manusia dalam manajemen perubahan untuk memfasilitasi perubahan
organisasi dan mengelola respon karyawan. Berikut adalah beberapa pendekatan
yang digunakan Netflix:
3.3.1. Komunikasi yang Terbuka dan Jelas
Netflix memahami pentingnya komunikasi yang terbuka dan jelas
dalam mengelola perubahan. Mereka menyediakan informasi yang
komprehensif tentang alasan di balik perubahan, tujuan, dan dampaknya pada
karyawan. Komunikasi ini dilakukan melalui berbagai saluran, termasuk
pertemuan tim, memo, dan platform komunikasi internal.
3.3.2. Partisipasi Karyawan
Netflix mendorong partisipasi karyawan dalam proses perubahan.
Mereka memberikan kesempatan kepada karyawan untuk berkontribusi
dengan memberikan masukan, ide, dan umpan balik mereka terkait perubahan
yang diusulkan. Dengan melibatkan karyawan dalam pembuatan keputusan,
Netflix dapat meningkatkan tingkat penerimaan dan dukungan terhadap
perubahan.
3.3.3. Pendekatan Berbasis Kebutuhan Individu
Netflix mengakui bahwa setiap karyawan memiliki kebutuhan dan
preferensi yang unik. Mereka menyesuaikan strategi manajemen perubahan

24
mereka untuk memperhitungkan kebutuhan individu, seperti memberikan
dukungan tambahan kepada karyawan yang mungkin kesulitan menyesuaikan
diri dengan perubahan atau menyediakan pelatihan tambahan bagi mereka
yang membutuhkannya.
3.3.4. Pendidikan dan Pelatihan
Netflix menyediakan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk
membantu karyawan mengembangkan keterampilan baru yang diperlukan
dalam menghadapi perubahan. Mereka menyediakan sumber daya seperti
kursus online, workshop, dan sesi pelatihan untuk membantu karyawan
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang perubahan dan
mempersiapkan mereka untuk menghadapinya.
3.3.5. Dukungan dan Ketersediaan Manajemen
Manajemen Netflix senantiasa tersedia untuk memberikan dukungan
dan bimbingan kepada karyawan selama proses perubahan. Mereka
membentuk hubungan yang baik dengan karyawan, mendengarkan
keprihatinan mereka, dan memberikan solusi yang memadai untuk masalah
yang muncul selama perubahan.

Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ini, Netflix berhasil


memfasilitasi perubahan organisasi dengan lebih efektif dan mengelola respon
karyawan dengan baik. Hal ini memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan
perubahan mereka dengan minim resistensi dan gangguan.

3.4. Analisis Teori Dimensi Manusia Dalam Perubahan


3.4.1. Penolakan Perubahan
Teori penolakan perubahan adalah teori yang menjelaskan mengapa
individu atau organisasi cenderung menolak atau menentang perubahan yang
dianggap mengancam status quo atau kenyamanan mereka. Teori ini
mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat penolakan
perubahan, seperti sumber, jenis, intensitas, durasi, dan dampak perubahan,
serta karakteristik, sikap, persepsi, dan harapan individu atau organisasi
terhadap perubahan.Contoh penerapan teori penolakan perubahan pada

25
perusahaan Netflix adalah ketika Netflix mengubah model bisnisnya dari
penyewaan DVD melalui pos menjadi layanan streaming online pada tahun
2007. Perubahan ini menimbulkan reaksi negatif dari sebagian besar
pelanggan, karyawan, dan pemegang saham Netflix, yang merasa tidak puas
dengan keputusan tersebut.
Dari kasus tersebut, ada beberapa penerapan yang sesuai dengan
konsep-konsep teori penolakan perubahan, yaitu:
1) Resistensi Individual
Saat Netflix mengumumkan perubahan besar dalam sistem
kompensasi yang melibatkan penghapusan bonus tahunan dan
penggantinya dengan pendekatan yang lebih berbasis kinerja,
beberapa karyawan menunjukkan resistensi individual. Beberapa
karyawan yang telah bekerja di perusahaan tersebut untuk waktu
yang lama merasa cemas dengan perubahan tersebut. Mereka
khawatir bahwa mereka tidak akan menerima imbalan yang setara
dengan kontribusi mereka, terutama karena bonus tahunan telah
menjadi bagian yang signifikan dari kompensasi mereka selama
bertahun-tahun.
2) Resistensi Organisasi
Netflix memutuskan untuk mengubah struktur organisasinya
untuk meningkatkan fleksibilitas dan responsivitas terhadap pasar
yang terus berubah. Namun, bagian dari organisasi merasa
enggan untuk menerima perubahan ini. Ada ketakutan akan
kehilangan stabilitas dalam pekerjaan mereka dan kekhawatiran
tentang bagaimana perubahan tersebut akan memengaruhi
budaya kerja yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.
Hal ini menyebabkan resistensi organisasi yang kuat, terutama di
antara divisi yang lebih tradisional dan mapan.
3) Teknik Mengatasi Resistensi
Netflix menggunakan beberapa teknik untuk mengatasi resistensi
ini:

26
• Komunikasi yang terbuka: Manajemen Netflix memastikan
bahwa alasan di balik perubahan dan manfaatnya
disampaikan dengan jelas kepada seluruh karyawan. Mereka
mengadakan sesi informasi, diskusi terbuka, dan forum untuk
memungkinkan karyawan menyampaikan keprihatinan
mereka dan mendapatkan jawaban yang memuaskan.
• Partisipasi Karyawan: Netflix melibatkan karyawan dalam
proses perencanaan dan implementasi perubahan. Mereka
memberikan kesempatan bagi karyawan untuk memberikan
masukan dan berpartisipasi dalam membangun solusi yang
dapat diterima bersama.
• Pemahaman dan Dukungan: Manajemen Netflix
memberikan dukungan dan pelatihan yang diperlukan untuk
membantu karyawan menyesuaikan diri dengan perubahan.
Mereka menyediakan sumber daya dan pendampingan untuk
memastikan bahwa karyawan merasa didukung dalam
menghadapi tantangan yang mungkin muncul selama
transisi.
Dengan menggunakan pendekatan yang inklusif dan transparan, Netflix
bisa mengelola resistensi individual dan organisasi dengan efektif, sehingga
memfasilitasi perubahan yang sukses dalam organisasi mereka.
3.4.2. Menyediakan Informasi
Melalui konten yang diunggah oleh Netflix Indonesia melalui media
sosial Instagram, terdapat aspek yang disukai sehingga terbentuknya sebuah
identitas Netflix Indonesia dalam benak pengguna. Identitas yang terbentuk
berupa gaya tampilan visual dalam mengkomunikasikan gaya bahasa dan cara
Netflix Indonesia berinteraksi dengan konsumen. Hal tersebut menjadi
sesuatu yang diingat oleh para pengikutnya melalui pengalaman emosional
yang telah mereka alami. Dari apa yang sudah disampaikan oleh Netflix
Indonesia melalui akun Instagramnya, pengguna dapat memberikan
interpretasi mengenai citra Netflix Indonesia dalam akun Instagramnya

27
(@netflixid), yaitu Netflix adalah adalah sosok yang humoris, ramah usil
namun passionate dalam bidang pekerjaannya. Cara admin Netflix Indonesia
berinteraksi dengan para audiensnya merupakan hal yang positif bagi para
pengguna, sehingga hal tersebut masuk kedalam top of mind pengguna.
Dan dari apa yang sudah diperlihatkan oleh Netflix Indonesia melalui
akun Instagramnya, pengguna dapat memberikan interpretasi mengenai citra
Netflix Indonesia dalam akun Instagramnya (@netflixid). Setelah apa yang
sudah dibayangkan oleh para pengguna yakni, informan. Dari konten-konten
yang telah Netflix Indonesia bagikan pada Instagramnya (@netflixid)
membawa perubahan bagaimana para pengguna serta pengikut dalam melihat
brand Netflix. Namun hal ini hanya terjadi pada pengikut perempuan.
Sedangkan para lelaki tidak merasakan hal yang demikian. mereka menyadari
bahwa apa yang ditampilkan Netflix Indonesia melalui konten-kontennya di
Instagram hanyalah sebatas promosi layanannya.
Sehingga dapat disimpulkan, citra Netflix Indonesia yang
diinterpretasikan oleh para informan adalah, Netflix Indonesia melalui
Instagramnya memiliki citra yakni, passionate, namun humoris dan ramah.
3.4.3. Mengikutsertakan Orang Lain
Netflix secara aktif menerapkan teori-teori manajemen perubahan
dalam upayanya untuk tetap relevan dan beradaptasi dengan pasar yang terus
berubah. Mereka terus menghadirkan konten-konten inovatif kepada
penontonnya, sesuai dengan konsep difusi inovasi yang diajukan oleh teori
Rogers. Dengan memahami siklus difusi inovasi, Netflix dapat merancang
strategi peluncuran konten yang efektif dan memahami bagaimana
mempengaruhi penonton untuk menerima perubahan. Selain itu, mereka juga
mengadopsi pendekatan berkelanjutan terhadap perubahan, sejalan dengan
konsep perubahan yang diajukan oleh teori Lewin. Dengan secara terus-
menerus menciptakan dan memperkenalkan konten baru, Netflix
membekukan status quo, menerapkan perubahan, dan kemudian memperkuat
perubahan tersebut melalui pengembangan berkelanjutan. Lebih lanjut,
Netflix menganggap dirinya sebagai sistem terbuka yang berinteraksi dengan

28
lingkungannya, seperti yang dijelaskan dalam teori sistem terbuka. Mereka
secara aktif mengundang umpan balik dari penonton melalui berbagai
mekanisme, memungkinkan mereka untuk menyesuaikan strategi konten dan
pengalaman pengguna mereka, menciptakan lingkungan yang responsif dan
adaptif terhadap perubahan di pasar dan preferensi penonton. Melalui
pendekatan ini, Netflix berhasil mengelola perubahan dengan efektif,
memungkinkan pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan dalam jangka
panjang.

3.5. Hasil Analisis Komparatif


Dari studi kasus diatas, dapat diketahui bahwa Netflix menerapkan
pendekatan rasional-ekomis dalam pengelolaan karyawannya. Meskipun pada
awalnya terdengar kontradiktif, kebijakan ini memperlihatkan asumsi bahwa
karyawan akan menggunakan waktu cuti mereka dengan bijaksana dan rasional.
Sebagai bagian dari kebijakan ini, karyawan diharapkan untuk mengambil cuti
sesuai kebutuhan mereka dan mengelolanya dengan cara yang memungkinkan
mereka untuk tetap produktif. Dengan demikian, Netflix memperlakukan karyawan
sebagai individu yang rasional yang mampu mengelola waktu mereka sendiri
dengan bijaksana.
Selain itu, melalui kebijakan ini Netflix juga mendorong karyawan untuk
fokus pada hasil dan kontribusi yang mereka berikan kepada perusahaan, bukan
pada jumlah jam kerja yang mereka habiskan. Ini menciptakan lingkungan kerja
yang lebih fleksibel dan memberikan karyawan kebebasan untuk menciptakan
keseimbangan kerja-hidup yang sesuai dengan kebutuhan mereka, yang pada
gilirannya meningkatkan kepuasan dan produktivitas karyawan.Kebijakan ini
mencerminkan keyakinan bahwa karyawan akan bertindak secara rasional untuk
memanfaatkan kebijakan yang diberikan kepada mereka dengan cara yang
menguntungkan baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi perusahaan.
Dengan memperlakukan karyawan sebagai individu yang rasional dan
memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengelola waktu mereka sendiri,
tentunya ini akan menciptakan budaya kerja yang inklusif dan berkinerja tinggi.

29
BAB IV
SIMPULAN
4.1. Simpulan
Resistensi atau penolakan merupakan suatu sikap atau tindakan menentang,
melawan, menampik, menghalau suatu tekanan/perintah/anjuran yang datang dari
luar. Dalam konteks pembicaraan tentang perubahan organisasi, resistensi adalah
suatu sikap atau tindakan menolak, menyanggah, menghalangi, menentang, dari
para anggota organisasi untuk berpartisipasi atau bekerja sama dengan organisasi
seiring dengan upaya untuk melakukan perubahan. Resistensi dapat berasal dari
resistensi individu dan dapat juga berasal dari resistensi organisasi.
Terdapat empat asumsi terhadap perubahann, yaitu ‘manusia rasional-
ekonomis’ yang di mana mengevaluasi hasil dari berbagai tindakan dan memilih
yang paling potensial di antaranya dan asumsi ini juga diterapkan oleh Netflix
pendekatan rasional-ekomis dalam pengelolaan karyawannya, yang
memperlakukan karyawan sebagai individu rasional yang mampu mengelola waktu
yang berbeda dan rasional. Netflix juga mendorong karyawan untuk fokus pada
hasil dan kontribusi yang berikan kepada perusahaan, yang menciptakan
lingkungan kerja yang lebih fleksibel dan memberikan kebebasan untuk
menciptakan keseimbangan kerja-hidup yang sesuai dengan kebutuhan, yang
meningkatkan kepuasan dan produktivitas karyawan, kemudian ada ‘manusia
sosial’ yang di mana manajer tidak hanya fokus pada efisiensi tugas namun juga
mempertimbangkan kebutuhan sosial dari para karyawannya, kemudian ada
‘asumsi manusia yang mengaktualkan diri’ berupa asumsi menciptakan peluang-
peluang agar karyawan dapat mengerahkan motivasi yang memang telah ada, dan
yang terakhir ada asumsi ‘manusia kompleks’ yang di mana menganggap bahwa
manusia bersifat kompleks dan selalu berubah-ubah karena memiliki kebutuhan
yang berbeda-beda.
Perubahan dapat menciptakan risiko, ketidakpastian, serta biaya baik biaya
ekonomis maupun biaya psikologis. Agar komitmen perubahan dapat ditumbuhkan
perlu dilahirkan sebuah visi bersama serta tujuan bersama menuju masa depan.
Perubahan adalah pelik dan penuh tuntutan, yang memadukan transisi manajemen,

30
penanganan budaya dan politik organisasi secara konstruktif. Jika kita bisa
mempertahankan perpaduan, maka pembelajaran dan perubahan akan mengikuti
dengan sendirinya. Identifikasi memiliki empat kebutuhan jika diinginkan
pemulihan kembali harga diri mereka di tengah program perubahan organisasi.
Mereka memahami perubahan, mereka butuh informasi yang mudah dipahami, dan
membantu membantu membuka ketrampilan-ketrampilan baru. Empati merupakan
faktor penting dalam hal ini, dan empati merupakan gagasan yang bisa digunakan
untuk mengembangkan atau memproba memandang perubahan. Masalah yang
mesti segera ditangani merupakan masalah pelik bagi individu dan kelompok, baik
bagi karyawan dan manajer, untuk dihadapi serta dibicarakan.
Kerahasiaan mungkin merupakan hal yang tidak terhindarkan bagi individu,
kelompok, dan organisasi. Control atas informasi mungkin bisa dibenarkan pada
tataran individu guna melindungi identitas, rencana dan Tindakan, atau pilihan-
pilihan bagi individu tersebut. Hal ini berlaku baik bagi manajer senior maupun
karyawan. Keterbukaan dan pembagian informasi merupakan hal yang berharga
sebagai sarana untuk memfasilitasi perubahan. Namun perlu pula
dipertimbangakan tuntutan-tuntutan lain.
Orang-orang membutuhkan waktu cukup agar bisa sukses dan selamat
menjalani perubahan besar. Ini sangat relevan terutama jika perubahan
meniscayakan mereka agar mampu memecahkan masalah.
Terkadang perubahan lebih baik diajukan oleh manajemen puncak. Namun
terdapat keuntungan nyata apabila adanya keterlibatan dari derajat tertentu.
Biasanya ada banyak rincian yang mesti diputuskan mengenai sejauh mana orang
bisa dan sebaiknya terlibat. Maksudnya adalah memperjelas tepatnya bagaimana
dan sampai sejauh mana keterlibatan direncanakan. Tidak kalah pentingnya adalah
dengan melibatakan para pemegang kekuasaan kunci (key power holder) dan para
opinion leade, keduanya mampu mempengaruhi perilaku dan sikap orang lain dan
karena itu perlu kita dapatkan dukungan terbuka dari mereka.

31
DAFTAR PUSTAKA

Vitalis, Tarsan. [Online]. Memahami dan Mengelola Resistensi Atas Perubahan.


Avaible : https://unsikastpaulus.ac.id/article

Jande, Karel. 2002. Manajemen Pelatihan Pengelolaan Sekolah. Surabaya: Pearl


Surabaya.

Nasution, M.N. 2010. Manajemen Perubahan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Gwee, James. 2009. Setiap Manajer Harus Baca Buku Ini. Jakarta: Gramedia.

Kasali, R. 2005. Change!. Jakarta: Gramedia.

Wibowo. 2005. Manajemen Perubahan. Jakarta: Rajawali Pers.

Winardi, J. 2009. Teori Organisasi & Pengorganisasian. Jakarta: Rajagrafindo


Persada.

Quora. [Online]. What is The Unlimited Vacation Policy at Netflix and How Does
It Work in Practice. Avaible: https://www.quora.com/What-is-the-unlimited-
vacation-policy-at-Netflix-and-how-does-it-work-in-practice
Ramadhani,Fitra. Makalah Studi Kasus Resistensi Perubahan. Academia.edu.
Wepo. 2023. [Online]. Perubahan Model Bisnis: Bagaimana Netflix Merevolusi
Industri Hiburan. Program Studi Ekonomi Syariah. Avaible: https://an-
nur.ac.id/esy/perubahan-model-bisnis-bagaimana-netflix-merevolusi-
industri-hiburan.html
Sulaksana, Uyung. Manajemen Perubahan. Kencana Perdana Media Group.

32

Anda mungkin juga menyukai