Abstrak
Dalam sejarahnya, Tari Kecak awalnya merupakan tarian sakral yang memiliki nilai spiritual
dan digunakan dalam upacara keagamaan. Tarian ini bertransformasi dari bentuk seni sakral yang
melekat pada upacara keagamaan menjadi komoditas pariwisata dalam konteks budaya Bali. Dengan
perkembangan pariwisata di Bali, tarian ini telah berubah menjadi produk seni yang sangat
diperjual-belikan kepada wisatawan. Meskipun transformasi ini telah membawa manfaat ekonomi,
tetapi juga menimbulkan perdebatan tentang pemalsuan seni sakral.
Artikel ini menggambarkan bagaimana seni pertunjukan Tari Kecak tidak hanya
mencerminkan perubahan budaya dan nilai dalam masyarakat Bali, tetapi juga menjadi alat interaksi
antara budaya tradisional dan dunia modern. Seni ini tetap memainkan peran penting dalam
mempertahankan identitas budaya Bali, sambil menyesuaikan diri dengan tantangan zaman modern.
Terlepas dari komersialisasi, tari ini tetap memiliki tempat yang kuat dalam budaya Bali. Dalam
konteks globalisasi, artikel ini juga menyoroti dampak pariwisata dan upaya menjaga keaslian seni
dalam menghadapi perubahan budaya.
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bali, sebuah pulau kecil yang terletak di kepulauan Indonesia, dikenal secara
luas sebagai salah satu destinasi pariwisata paling populer di dunia. Selain
keindahan alamnya yang memukau, Bali juga memiliki budaya yang kaya dan
beragam. Salah satu ekspresi budaya yang sangat menonjol dan mendalam
adalah seni tari. Di antara berbagai tarian tradisional Bali, Tari Kecak
merupakan salah satu yang paling ikonik dan memikat perhatian para peneliti
seni budaya.
Tari Kecak adalah bentuk tari yang sangat unik dan memiliki sejarah dan
makna yang mendalam dalam konteks budaya Bali. Tari ini tidak hanya
dianggap sebagai sebuah pertunjukan seni, tetapi juga memiliki peran yang
penting dalam ritual dan upacara tradisional Bali. Eksplorasi tari Kecak dalam
konteks budaya Bali menjadi topik penelitian yang menarik, karena ini
memungkinkan kita untuk memahami lebih dalam bagaimana seni
pertunjukan menjadi cerminan dari norma-norma sosial, agama, dan nilai-nilai
budaya yang melekat pada masyarakat Bali.
Sejarah tari Kecak dapat ditelusuri kembali ke tahun 1930-an, ketika seorang
seniman Jerman bernama Walter Spies bersama seniman Bali, Wayan Limbak,
1 | Page
Tema yang dipilih, Nama, NIM
Eksplorasi tari Kecak dalam budaya Bali bukan hanya tentang melihat
bagaimana seni ini telah berkembang dari masa lalu hingga saat ini, tetapi juga
tentang bagaimana tarian ini masih sangat relevan dalam masyarakat Bali
modern. Pertunjukan Tari Kecak dapat dianggap sebagai wadah bagi
masyarakat Bali untuk mempertahankan dan merayakan warisan budaya
mereka sambil tetap menghadapi tantangan dan perubahan dalam dunia yang
semakin terglobalisasi.
Dalam artikel ilmiah ini, kita akan menjelajahi sejarah, makna, dan peran tari
Kecak dalam budaya Bali. Kita juga akan melihat bagaimana tarian ini
berkontribusi pada identitas budaya Bali dan bagaimana eksplorasi lebih lanjut
terhadap tari Kecak dapat membantu kita memahami perubahan dan
kontinuitas dalam budaya Bali. Selain itu, artikel ini juga akan membahas
dampak pariwisata terhadap pertunjukan tari Kecak dan upaya untuk menjaga
keaslian seni ini dalam menghadapi tantangan zaman modern.
2. Permasalahan
● Pemalsuan seni sakral
perkembangan pariwisata di bali menyebabkan Bali menjadi pulau
yang terbuka bagi seluruh kepentingan. Sehingga pariwisata termasuk
terbuka terhadap hal-hal yang dianggap sakral. hal ini menyebabkan
munculnya kemasan tari sanghyang menjadi tari kecak sebagai budaya
kreatif. Kondisi ini memunculkan berbagai permasalahan yang
berimplikasi terhadap terjadinya pemalsuan seni sakral sebagai seni
tradisional yang melekat dengan upacara keagamaan (Traditional
pseudo of ritual art).
3. Landasan Teori
2 | Page
Tema yang dipilih, Nama, NIM
● Sejarah
Tari Kecak merupakan tarian yang diciptakan oleh seniman asal Bali
yaitu Wayan Limbak dan Walter Spies yang berawal dari tarian
Sanghyang. Sanghyang adalah tarian tradisional Bali yang memiliki
makna spiritual dan sering dilakukan dalam upacara religi untuk
menolak bala dan mengusir wabah penyakit.
2. Topeng
Minimal terdapat 3 topeng yang dikenakan oleh penari utama
yang berperan sebagai tokoh Hanoman, Sugriwa, dan Rahwana
pada cerita yang disajikan selama tarian berlangsung.
3. Api tengah
Tumpukan kayu dengan api yang dinyalakan di tengah
lingkaran selama pertunjukan yang menciptakan atmosfer yang
dramatis sebagai elemen penting dalam cerita tari.
3 | Page
Tema yang dipilih, Nama, NIM
3. Bunyi "Cak": Bunyi "cak" yang dihasilkan oleh para penari laki-
laki saat mereka bersahut-sahutan menciptakan musik latar
yang unik. Ini bisa dianggap sebagai simbol kekuatan kolektif
dan harmoni dalam masyarakat.
4 | Page
Tema yang dipilih, Nama, NIM
II. PEMBAHASAN
Tari Kecak bukan hanya diciptakan untuk seni semata, tapi juga dikembangkan
sebagai komoditas berorientasi pasar yang melibatkan berbagai komponen
untuk mendukung daya tarik budaya lokal di tingkat global melalui revitaisasi
budaya lokal. Menurut Hazel Henderson, dalam bukunya Paradigm in
Progress : Life Beyond Economics, mengatakan bahwa daya tarik global
terhadap lokal akan dapat dilakukan dengan mengubah paradigma kehidupan
sosial itu sendiri. Segala sesuatu yang diciptakan sebagai kreativitas budaya
merupakan pengabdian sosial dan religius, adalah paradigma kehidupan sosial
masyarakat Bali. Dan hampir semua kreativitas di bidang kesenian masyarakat
Bali diciptakan untuk memenuhi kebutuhan sosial tanpa mempertimbangkan
nilai ekonomi.
Era globalisasi telah mendesak seniman Bali untuk menciptakan karya seni yang
tidak hanya bermanfaat secara sosial dan masyarakat, tapi juga berguna untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tari Kecak diciptakan sebagai seni wisata untuk
menarik wisatawan dan memperdagangkan seni. Dengan demikian, kepentingan
ekonomi akhirnya menjadi sangat jelas bagi perekonomian masyarakat Bali dalam
rangka untuk menghasilkan pendapatan. Jika seni dirasuki oleh kepentingan
ekonomi maka kehidupan budaya akan terganggu dan kita akan menempatkan diri
kita dalam arena kehidupan, yang diberi lebel harga. Dengan berkembangnya
pariwisata, maka semua sektor kehidupan di Bali mulai diperjual-belikan. Oleh
karena itu, Bali menjadi pulau yang sangat terbuka bagi seluruh kepentingan
pariwisata termasuk terhadap hal-hal yang dianggap sakral, yang berdampak pada
seni tradisional.
Tari Kecak pada awalnya diambil dari sebuah tarian adat pemujaan oleh koor laki-
laki yang dikenal dengan sebutan Sanghyang. Sanghyang merupakan tarian sakral
Hindu Bali yang dilakukan dalam upacara religi untuk menolak bala serta mengusir
wabah penyakit. Kesakralan tari Sanghyang menyebabkan masyarakat tidak bisa
mementaskan tarian ini setiap saat. Apabila dipentaskan setiap saat, diyakini bahwa
nilai kesakralannya akan menjadi lemah serta aura magisnya akan hilang.
5 | Page
Tema yang dipilih, Nama, NIM
Walter Spies dan Wayan Limbak menyadari bahwa wisatawan Bali sangat berminat
untuk menyaksikan seni sakral yang merupakan ciri khas Bali. Karena kesenian
tersebut tidak bisa disaksikan setiap saat, muncul gagasan mereka untuk mengemas
koor laki-laki pada tari Sanghyang menjadi tari Kecak dengan menyelipkan kisah
Ramayana di dalamnya. Menceritakan tentang pencarian Permaisuri Shinta, Raja
Rama dibantu oleh Hanoman. Namun Hanoman justru terkepung oleh prajurit Raja
dan Rahwana dan hampir terbakar, namun pada akhirnya Rama dapat
menyelamatkan Permaisurinya. Kemasan koor laki-laki tari Sanghyang tersebut
diwujudkan menjadi tari Kecak yang akhirnya dapat disaksikan oleh wisatawan.
Keunikan tari ini adalah tidak menggunakan alat musik pengiring, namun hanya
mengandalkan pada suara "cak" yang diciptakan oleh para penari selama mereka
menari, dan suara gemerincing dari properti tari yang mereka kenakan.
menggambarkan pertempuran atau perasaan karakter mereka. Keunikan konsep dan
properti tari Kecak yang memadukan elemen musikal, visual, dan naratif dalam satu
kesatuan yang menarik memberikan pengalaman yang kuat bagi para penontonnya.
Wisatawan yang datang ke Bali tentu sangat tertarik pada seni pertunjukan kecak,
sehingga grup kesenian Kecak menjamur di berbagai daerah terutama daerah
Badung dan Gianyar. Akhirnya Kecak menjadi mascot Pariwisata Bali, yang
menyebabkan kecak seolah-olah menjadi produksi seni pertunjukan dalam bentuk
massal karena hampir setiap desa di Bali membuat Tari Kecak. Hal ini menunjukan
bahwa globalisasi ekonomi dan informasi kebudayaan telah menawarkan berbagai
keterbukaan, dan kebebasan.
Tak dapat dipungkiri, Tari Kecak sebagai karya seni pertunjukan telah mendapatkan
posisi dominan dalam memenuhi kebutuhan wisata sebagai komoditi yang dapat
diperjual belikan kepada wisatawan. Kecak dengan koor laki-laki yang semula
diakui sebagai karya seni yang memiliki kekuatan magis untuk menolak bala,
sehingga dianggap seni sakral yang diakui dan dikenali oleh masyarakat
mempunyai nilai simbolis berubah menjadi nilai ekonomis karena proses
komersialisasi kebudayaan. Dampak pariwisata pada Tari Kecak telah merubahnya
menjadi komoditas dalam pasar pariwisata dan dianggap masuk dalam sistem
kapitalis. Seni pertunjukan ini tidak hanya diproduksi untuk tujuan budaya, tetapi
juga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, menghasilkan pendapatan dalam bentuk
uang.
Seiring dengan komersialisasi Tari Kecak yang dapat menjadi daya tarik utama
untuk wisatawan, seni ini masih berkaitan dengan keagamaan Hindu. PHDI Bali
dapat memainkan peran dalam menjembatani hubungan antara komersialisasi Tari
Kecak dan aspek keagamaan dan budaya Hindu di Bali. Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) merupakan lembaga tinggi keagamaan (legislatif) yang
mempunyai tugas dan kewajiban untuk membina masing-masing kepala rumah
tangga, mengarahkan, memberi pembinaan kepada generasi muda Hindu, menjaga
kerukunan inter, ekstern dan antar umat beragama, dengan pemerintah. PHDI Bali
mengatur dan mengawasi semua aspek kehidupan keagamaan Hindu di Pulau Bali.
Dalam konteks ini, PHDI Bali dapat memastikan bahwa seni ini bisa tetap menjadi
bagian penting dari warisan budaya dan keagamaan Bali tanpa kehilangan
integritasnya.
KESIMPULAN
6 | Page
Tema yang dipilih, Nama, NIM
Tari Kecak telah mengalami transformasi dari seni sakral dengan nilai spiritual yang
melekat pada upacara keagamaan menjadi suatu bentuk seni pertunjukan yang lebih
terbuka terhadap perkembangan komersial dan pariwisata. Hal ini menciptakan
situasi di mana seni tersebut dapat dianggap sebagai pemalsuan seni sakral,
disebabkan oleh penyesuaian dan komodifikasi seni tersebut sebagai produk
pariwisata yang mengikuti kepentingan ekonomi dan hiburan, daripada tetap
berfokus pada nilai-nilai sakral dan religius semula. Transformasi ini
menggambarkan pergeseran dalam prioritas dan peran seni tersebut dalam
masyarakat Bali yang semakin terpengaruh oleh pengaruh eksternal dan
komersialisasi. Namun, seni ini tetap memiliki tempat yang kuat dalam budaya Bali,
memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas budaya, dan
merayakan warisan budaya dalam bentuk yang disesuaikan dengan tantangan
zaman modern. Ini menggambarkan kemampuan masyarakat Bali untuk
menggabungkan tradisi dengan perkembangan kontemporer, menjadikan seni
pertunjukan sebagai cerminan dari perubahan budaya dan nilai dalam masyarakat
Bali.
Rekomendasi
Dalam hal ini, perlu adanya komunikasi yang baik antara pihak seniman,
sutradara dengan pihak PHDI. PHDI memiliki peran dalam mengawasi
pertunjukan Tari Kecak agar tidak menyinggung nilai spiritualitas umat Hindu.
Pengawasan ini mencangkup aspek:
3. Kontrol atas Konten Agama: PHDI dapat memiliki kendali penuh atau
setidaknya sebagian atas unsur-unsur keagamaan dalam pertunjukan, seperti
penggunaan mantra atau representasi dewa-dewi. Ini dapat memastikan
penggunaan yang tepat dan menghindari penyelewengan agama.
7 | Page
Tema yang dipilih, Nama, NIM
DAFTAR PUSTAKA
[1] Granoka, Ida Wayan Oka.1998. Memori Bajra Sandhi. Perburuan Ke Prana
Jiwa. Perburuan Seorang Ida Wayan Granoka. Denpasar: Sanggar Bajra Sandhi
Bekerja sama dengan PT Seraya Bali Style.
[4] Piliang Yasraf Amir, Dunia Yang Dilipat Tamsya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Bandung : Matahari, 2011.
[5] Komodifikasi Tari Kecak dalam Seni Pertunjukan di Bali (Kajian Estetika
Hindu) Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, 2019.
8 | Page