Anda di halaman 1dari 11

adalah salah satu suku bangsa yang banyak diabadikan kisahnya dalam Al-Quran.

Adapun di antara
ulama yang menuliskan silsilah dan kisah mereka berdasarkan Al-Quran dan Hadits di antaranya adalah
ulama tafsir dan ahli sejarah, Ibnu Katsir dalam kitabnya berjudul "Qashasul Anbiya". Maka silsilah dan
lintasan sejarah Bani Israil dalam tulisan kali ini menggunakan rujukan utama kitab yang menuliskan
sejarah 34 Nabi dan Rasul ini.

Silsilah Bani Israil

Dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim alaihissalam (as) memiliki dua putra yang juga menjadi Nabi. Pertama,
Ismail yang sejak bayi sudah dibawa oleh ibunya ke Makkah dan menjadi peletak dasar kota Makkah.
Ibrahim as kemudian masih sering menjenguk putranya ini bahkan keduanya membangun kembali
Kakbah.

Adapun putra Ibrahim as yang kedua bernama Ishaq. Dialah yang kelak menurunkan Bani Israil. Saat usia
Ishak menginjak 40 tahun, Allah mengkaruniakan dua anak kembar. Anaknya yang pertama bernama
Aish, yang oleh orang Arab disebut nenek moyang bangsa Romawi, dan yang kedua bernama Ya'kub.
Disebut Ya'kub (yang kalau diterjemahkan berarti belakangan), karena ia lahir setelah saudaranya. Dia
inilah Israil, asal-usul nasab Bani Israil.

Nabi Ya'kub menikahi dua putri pamannya bernama Laya dan Rahil. Saat itu menikahi dua wanita
bersaudara lazim berlaku dalam agama mereka, namun kemudian aturan ini dihapus oleh syariat Taurat.
Nabi Ya'kub menikahi Rahil berselang tujuh tahun setelah menikahi Yala. Itupun dengan syarat, Nabi
Ya'kub harus menggembala kambing milik pamannya selama tujuh tahun.

Anak-anak dari Laya adalah Robil, Syam'un, Lawi, Yahudza, Isakhir, dan Zabalun. Anak-anak dari Rahil
adalah Yusuf dan Bunyamin. Empat putra Nabi Ya'kub yang lain masing-masing dua dari budak Laya,
dan dua dari budak Rahil. Dengan demikian Nabi Ya'kub memiliki 12 anak lelaki yang semuanya menjadi
nenek moyang Bani Israil. Salah satu dari putra Nabi Ya'kub kelak juga menjadi Nabi dan mendapat
amanah sebagai bendahara di Mesir. Putra yang dimaksud tidak lain adalah Yusuf as.

Setelah mendapatkan kemuliaan di Negeri Mesir, Yusuf dipertemukan kembali dengan saudara-saudara
dan ayah ibunya. Setelah sekian lama mereka berkumpul dan tinggal di Mesir, Nabi Ya'kub meninggal
dunia. Yusuf memerintahkan para tabib untuk memberikan wewangian di sekujur tubuh ayahnya, lalu
jenazah ayahnya disemayamkan selama 40 hari dengan wewangian itu. Setelah itu Yusuf meminta izin
kepada Raja Mesir untuk pergi mengubur jenazah ayahnya di dekat makam keluarganya, raja
mengizinkan. Sejumlah pembesar dan orang-orang Mesir yang dituakan juga ikut mengantar. Setelah
tiba di Hebron, mereka mengubur jenazah Nabi Ya'kub di sebuah gua yang dibeli Nabi Ibrahim dahulu
dari Afran bin Shakr Al-Haitsi. Mereka mengadakan takziyah untuk Nabi Ya'kub selama tujuh hari.
Ahli kitab juga menyebutkan, setelah itu mereka pulang ke Mesir. Saudara-saudara Nabi Yusuf
menyampaikan ucapan bela sungkawa kepadanya atas kepergian ayah mereka, dan berbelas kasih
padanya. Nabi Yusuf memuliakan merela, memberi tempat yang baik, dan menempatkan mereka di
negeri Mesir.

Setelah itu kematian datang menjelang Nabi Yusuf. Ia berwasiat agar jenazahnya mereka bawa saat
pergi meninggalkan Mesir, untuk selanjutnya dimakamkan bersama para leluhurnya. Mereka kemudian
membalsem jenazahnya lalu mereka letakkan di dalam peti. Jenazah Nabi Yusuf tetap berada di Mesir
hingga dibawa oleh Nabi Musa saat pergi meninggalkan Mesir, kemudian dimakamkan di dekat makam
para leluhurnya. Mereka, ahli kitab menyebutkan, Nabi Yusuf meninggal dunia dalam usia 120 tahun.

Bani Israil menetap di Mesir selama 426 tahun, terhitung saat mereka masuk ke negeri ini bersama ayah
mereka, Israil (Ya'kub), hingga keluar bersama Musa as. Ia sendiri merupakan keturunan dari Lawi bin
Ya'kub bin Ishak bin Ibrahim. Dengan demikian, Nabi Musa juga merupakan salah satu Nabi keturunan
Bani Israil. Dikisahkan bahwa Bani Israil mengalami perlakuan semena-mena atau tertindas oleh Firaun
yang mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan. Maka Musa as dikirim mendakwahi Firaun ditemani oleh
saudaranya, Harun as.

Muncul pertanyaan, jika Musa selamat dari kekejaman Fir'aun karena diadopsi oleh Asia, istri Fir'aun,
kemudian kembali ke pangkuan ibunya, bagaimana halnya dengan Harun? Dijelaskan oleh Ibnu Katsir
bahwa sejumlah mufassir menyebutkan, kaum Qibhti mengeluh minimnya populasi Bani Israil kepada
Fir'aun karena bayi lelaki dari kalangan mereka dibunuh. Fir'aun juga khawatir kalangan tua kerepotan
karena anak-anak dibunuh, sehingga terpaksa harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa
dilakukan Bani Israil. Akhirnya, Fir'aun memerintahkan untuk membunuh anak-anak lelaki secara
bergantian setiap dua tahun sekali. Para mufassir menyebutkan, Harun lahir pada tahun ketika hukuman
mati bagi bayi lelaki tidak berlaku, sementara Musa lahir pada tahun di mana bayi lelaki harus dibunuh.

Dikisahkan kemudian bahwa Musa as ditemani Harun as menemui Fir'aun dan menyampaikan dakwah
serta meminta Firaun agar melepaskan tawanan-tawanan Bani Israil dari kekuasaan, penindasan dan
perlakuan semena-mena, biarkan mereka beribadah kepada Rabb seperti yang mereka inginkan, fokus
mengesakan-Nya, berdoa dan memohon sepenuh hati kepada-Nya.

Fir'aun bersikap tinggi hati, sombong dan berlaku semena-mena, menatap Nabi Musa dengan
pandangan menghina seraya mengatakan, "Bukankah kami telah mengasuhmu dalam lingkungan
(keluarga) kami, waktu engkau masih kanak-kanak dan engkau tinggal bersama kami beberapa tahun
dari umurmu," yaitu bukankah kau yang telah kami asuh di kediaman kami? Bukankah kami telah
berbuat baik kepadamu, memberikan segala kenikmatan kepadamu beberapa lama?

Fir'aun tidak hanya menyebut jasanya pernah memelihara Musa, tetapi juga mengungkap kesalahannya
yakni membunuh seorang Qibthi lalu menyebut Nabi Musa sebagai orang yang tidak pandai berterima
kasih. Musa as menjawab bahwa kebaikan Firaun telah sebanding dengan perlakuannya terhadap Bani
Israil secara keseluruhan; karena telah mempekerjakan dan memperbudak mereka. Selanjutnya
dikisahkan duel antara Musa as melawan tukang-tukang sihir Firaun yang dimenangkan oleh Musa as.
Setelah kejadian ini Musa as kembali ke kaumnya, tetapi mereka segera menyadari bahwa mara bahaya
sedang mengancam mereka.

Para mufassir dan kalangan ahli kitab menuturkan, "Bani Israil meminta izin kepada Firaun untuk ikut
pergi merayakan hari raya mereka. Firaun dengan sinis mempersilakan mereka ikut pergi. Tapi
sebenarnya Bani Israil bersiap-siap untuk pergi meninggalkan Mesir. Cara ini dilakukan Bani Israil untuk
mengelabui Firaun dan pasukannnya, agar mereka bisa melepaskan diri dan pergi meninggalkan Firaun."

Allah kemudian memerintahkan Bani Israil---menurut penuturan ahli kitab---untuk meminjam perhiasan
dari kaum Qibthi, orang-orang Qibthi meminjamkan banyak sekali perhiasan pada mereka. Bani Israil
kemudian keluar pada malam hari, mereka pergi dengan mengendap-endap menuju Syam. Saat Firaun
mengetahui Bani Israil melarikan diri, ia sangat marah sekali, ia langsung memobilisasi pasukan dan
memerintahkan untuk mengejar dan menumpas mereka semua.

Ulama tafsir menuturkan; saat Firaun bergerak bersama pasukannya untuk mengejar Bani Israil, ia
berada di tengah-tengah pasukan besar, bahkan menurut salah satu sumber, kuda dalam pasukan ini
berjumlah seratus ribu ekor kuda berwarna hitam legam, jumlah prajuritnya lebih dari 1.600.000
personil. Adapun jumlah Bani Israil menurut salah satu sumber adalah sekitar 600.000 prajurit, tidak
termasuk anak-anak.

Setelah Musa bersama kaumnya melintas secara keseluruhan dan keluar dari lautan, saat itulah pasukan
garis depan Firaun baru masuk. Saat itu, Musa bermaksud memukulkan tongkat ke lautan agar kondisi
laut kembali seperti sedia kala, agar Firaun dan pasukannya tidak bisa mengejar. Tapi Allah Yang
Mahakuasa dan Pemilik keluhuran memerintahkan agar lautan tetap dibiarkan seperti itu sebagaimana
firman-Nya, "Dan biarkanlah laut itu terbelah," dan menenggelamkan Firaun serta bala tentaranya.

Ahli Kitab menyebutkan, setelah menyeberangi lautan, Bani Israil pergi menuju negeri Syam, mereka
singgah selama tiga hari tanpa menemukan air, hingga ada yang berbicara sinis terkait kondisi yang
terjadi. Mereka kemudian menemukan air beracun dan asin, mereka tidak bisa meminum air itu. Allah
kemudian memerintahkan Musa as untuk mengambil sebilah kayu lalu diletakkan di air tersebut, air
berubah menjadi tawar dan enak diminum. Di tempat itulah Allah mengajarkan sejumlah kewajiban dan
amalan-amalan sunah kepada Musa, juga memberikan sejumlah wasiat kepadanya.

Selanjutnya Bani Israil tiba pada sebuah kaum yang masih menyembah berhala. Kaum yang ditemui Bani
Israil dalam perjalanannya ke Baitul Maqdis adalah kaum Haitsani, Fazzari, Kan'an, dan lainnya. Musa
kemudian memerintahkan Bani Israil memasuki kota tempat kaum tersebut berada, memerangi mereka
dan mengusir mereka dari Baitul Maqdis, karena Allah menakdirkan kota tersebut untuk mereka, juga
menjanjikannya melalui lisan Ibrahim Al-Khalil dan Musa Al-Kalim. Namun, mereka enggan berjihad,
akhirnya Allah menimpakan rasa takut yang menguasai diri mereka. Allah membuat mereka bingung,
mereka berjalan lalu berhenti, pergi lalu kembali dalam rentang waktu selama 40 tahun lamanya.
Setelah masa 40 tahun itu Nabi Musa kembali menerima wahyu dan ia langsung dapat melihat wajah
Allah.

Saat Musa pergi untuk (bermunajat) pada Rabb-nya di atas gunung Thur, seseorang di antara Bani Israil
yang bernama Harun As-Samiri mengambil perhiasan-perhiasan yang sebelumnya mereka pinjam (dari
orang-orang Qibthi), lalu ia bentuk menjadi patung anak sapi, segenggam tanah diletakkan di dalamnya.
Tanah tersebut diambil Samiri dari jejak kaki kuda malaikat Jibril saat ia melihatnya menenggelamkan
Firaun. Saat tanah itu dimasukkan ke dalam patung anak sapi, patung mengeluarkan suara seperti
lenguhan anak sapi sungguhan. Menurut salah satu pendapat, patung tersebut berubah memiliki tubuh,
maksudnya memiliki daging, darah dan hidup, juga bisa melenguh. Pendapat lain menyebutkan, suara
tersebut disebabkan karena adanya angin yang masuk melalui dubur lalu keluar melalui mulut, sehingga
terdengar suara lenguhan sapi betina. Bani Israil kemudian menari-nari dan bergembira ria di sekitarnya.

Saat Musa kembali, ia melihat kaumnya menyembah patung anak sapi. Musa yang marah menyaksikan
itu lalu melemparkan lauh-lauh Taurat. Ia kemudian menghampiri mereka, mencela dan menegur
mereka dengan keras karena tindakan buruk yang mereka lakukan. Setelah kembali didakwahi oleh
Musa para penyembah anak sapi itu kemudian bertobat.

Qubbatuz Zaman adalah kubah yang terbuat dari kayu cemara, kulit binatang-binatang ternak, dan bulu
kambing. Musa diperintahkan oleh Allah untuk menghias kubah tersebut dengan kain sutra yang
dicelup, emas dan perak, dengan tata cara rinci menurut ahli kitab. Kubah ini memiliki sepuluh tenda,
panjang masing-masing tenda 28 hasta, lebarnya empat hasta, dengan empat pintu, tali-tali tenda
terbuat dari kain sutra biasa dan sutra putih yang dicelup, di dalamnya ada beberapa rak dan lembaran-
lembaran yang terbuat dari emas dan perak, setiap sisinya terdapat dua pintu, dan sejumlah pintu-pintu
besar lainnya, tirai penutup terbuat dari sutra yang dicelup, dan hal-hal lain yang terlalu panjang untuk
disebutkan.

Qubbatuz Zaman ini dibangun kala Bani Israil berada pada masa kebingungan, berkelana di muka bumi
tanpa arah dan tujuan. Mereka shalat menghadap ke kubah yang merupakan kiblat sekaligus Ka'bah
bagi mereka, dengan diimami Musa dan yang mempersembahkan kurban adalah saudaranya, Harun.
Saat Harun meninggal dunia, kemudian disusul Musa, anak-anak Harun tetap menunaikan seruan ayah
mereka untuk mempersembahkan kurban, yang hingga saat ini masih dijalankan.

Adapun mengenai wafatnya Musa as, dijelaskan bahwa ia wafat sebelum Bani Israil memasuki Baitul
Maqdis yaitu saat Bani Israil masih berada dalam situasi membingungkan, berkelana ke sana ke mari
tanpa tentu arah. Di antara buktinya adalah kata-kata Musa berikut saat memilih kematian, "Ya Rabb!
Dekatkan aku ke Baitul Maqdis sejauh lemparan batu." Andai Musa sudah memasuki Baitul Maqdis,
tentu tidak meminta seperti itu. Namun, kala Musa menghadapi situasi membingungkan bersama
kaumnya dan kematiannya tiba, ia ingin berada di dekat Baitul Maqdis yang hendak ia tuju sebagai
tempat hijrah dan yang ia perintahkan kepada kaumnya agar memasuki tempat tersebut. Namun, takdir
menghalangi Musa untuk sampai ke Baitul Maqdis sejarak lemparan batu. Itulah mengapa pemimpin
seluruh manusia sekaligus utusan Allah, Nabi saw berkata kepada seluruh penduduk perkampungan dan
perkotaan, "Andai aku berada di sana, tentu aku perlihatkan makamnya kepada kalian, di dekat bukit
merah."

Setelah Musa dan Harun meninggal dunia, beban nubuwah dan urusan agama dijalankan oleh pelayan
Musa, Yusya' bin Nun. Dialah yang membawa Bani Israil memasuki Baitul Maqdis. Saat itulah, ia
mendirikan kubah ini di atas Shakhrah Baitul Maqdis dan mereka shalat menghadap kubah ini. Setelah
kubah terlihat, mereka shalat menghadap tempat kubah berada, yaitu Shakhrah. Inilah kiblat para nabi
setelahnya hingga masa Rasulullah saw yang shalat menghadap ke kubah ini sebelum berhijrah. Beliau
memosisikan Ka'bah di depan beliau. Kemudian setelah berhijrah, beliau diperintahkan untuk shalat
menghadap Baitul Maqdis. Beliau shalat menghadap Baitul Maqdis selama 16 bulan---pendapat lain
menyebut 17 bulan. Setelah itu, kiblat dipindah ke Ka'bah---inilah kiblat Ibrahim---pada bulan Sya'ban
tahun 2 Hijriyah.

Adapun Yusya' bin Nun sesungguhnya masih memiliki keterkaitan nasab dengan Musa sebagaimana
silsilah yang dituliskan Ibnu Katsir yakni Yusya' bin An-nasa'i bin Ifraim bin Yusuf bin Ya'kub bin Ishak bin
Ibrahim. Dengan demikian, silsilah Musa dan Yusya' bertemu di Nabi Ya'kub. Perbedaannya adalah Musa
merupakan keturunan dari Lawi sedangkan Yusya' keturunan dari Nabi Yusuf.

Selain tugas memimpin Bani Israil memasuki Baitul Maqdis setelah wafatnya Harun dan Musa. Yusya'
juga harus memimpin 12 kabilah yang telah dibentuk oleh Musa di akhir masa-masa hukuman 40 tahun
Bani Israil. 12 kabilah ini berdasarkan 12 putra Nabi Ya'kub as. Itulah sebabnya nama-nama kabilah
diambil berdasarkan nama-nama putra Nabi Ya'qub yakni Rubil, Syam'un, Yahudza, Esakhar, Yusuf,
Maisya, Benjamin, Had, Asyir, Dan, dan Naftali. Secara keseluruhan pasukan ini berjumlah 545.150
personil. Wallahu a'lam.

Untuk kabilah kedua belas, yaitu Bani Lawi, tidak dicatat bersama kabilah yang lain. Sebab, Allah
memerintahkan Musa untuk tidak menyertakan mereka dalam barisan prajurit, karena mereka sudah
memiliki tugas tersendiri; memikul Qubbatusy Syahadah (Qubbatuz Zaman, Ka'bah mereka), memasang
dan menjaganya, selanjutnya membawanya saat Bani Israil pindah. Mereka adalah cucu-cucu Musa dan
Harun, mereka berjumlah 22.000 orang, mulai dari yang berusia satu bulan dan seterusnya. Bani Lawi
sendiri terdiri dari dari beberapa kelompok, di setiap kelompoknya pasti ada beberapa orang yang
bertugas menjaga Qubbatuz Zaman, merawat, mendirikan, dan memindahkan. Mereka semua berada di
sekitar kubah ini, baik saat singgah ataupun dalam perjalanan. Adapun yang berada di barisan depan
pasukan Bani Israil dalam perjalanan menuju Baitul Maqdis adalah Yusya' bin Nun.

Yusya' membawa Bani Israil mengarungi sungai Urdun dan menepi di Ariha. Ariha adalah kota dengan
benteng paling kuat, bangunan-bangunan paling tinggi, dan penduduk paling banyak. Yusya' kemudian
mengepung kota ini selama enam bulan.
Suatu hari, mereka mengepung dan menghantam kota ini dengan tanduk-tanduk binatang, mereka
semua bertakbir serentak, hingga benteng-benteng kota ini rusak dan runtuh, mereka kemudian masuk
dan mengambil rampasan-rampasan perang yang ada di dalamnya, mereka membunuh 12.000 lelaki
dan wanita. Mereka memerangi banyak sekali raja. Menurut salah satu sumber, Yusya' berhasil
mengalahkan 31 raja-raja Syam.

Ahli kitab menyebutkan, pengepungan Yusya' berakhir pada hari Jum'at selepas Ashar. Saat matahari
terbenam atau hampir terbenam, kemudian hari Sabtu masuk, hari yang disyariatkan kepada mereka
agar fokus beribadah, Yusya' berkata kepada matahari, 'Engkau diperintahkan, begitu juga aku. Ya Allah!
Tahanlah matahari untukku.' Allah kemudian menahan pergerakan matahari hingga Yusya' leluasa
menaklukkan Baitul Maqdis. Allah memerintahkan bulan berhenti berputar dan tidak terbit. Hal ini
menunjukkan, bahwa malam tersebut adalah malam keempat belas bulan pertama.

Saat memasuki pintu gerbang Madinah, Yusya' memerintahkan Bani Israil untuk menunduk rukuk seraya
merendahkan diri dan bersyukur kepada Allah 'Azza wa Jalla atas kemenangan besar yang diberikan,
seperti yang Ia janjikan pada Yusya', dan saat masuk harus mengucapkan, "Hiththat," yaitu semoga
dosa-dosa kami sebelumnya dihapus, kala kami mundur untuk berperang.

Bani Israil melanggar tutur kata dan perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan. Mereka memasuki
pintu gerbang dengan mengesot sambil mengatakan,"Limpahkanlah kepada kami biji-biji gandum,"
riwayat lain menyebut, "Gandum di dalam jelai." Intinya, mereka mengubah apa yang diperintahkan dan
memperolok-oloknya sebagaimana diabadikan dalam QS. Al-A'raf: 161-162. Mujahid, As-Suddi, dan
Dhahhak menuturkan, "Pintu gerbang tersebut adalah pintu gerbang Hithtah Bait Eilia (Baitullah), Baitul
Maqdis."

Akibat pelanggaran mereka ini, Allah menurunkan petaka dari langit, yaitu penyakit tha'un, seperti
disebutkan dalam kitab Shahihain bahwa Rasulullah saw bersabda, "Sungguh, penyakit ini (tha'un)
merupakan petaka, yang dengannya sebagian umat sebelum kalian disiksa. Setelah Bani Israil menguasai
Baitul Maqdis, kawasan ini terus di bawah kendali mereka, di tengah-tengah mereka ada Nabi Yusya'
yang memutuskan perkara di antara mereka dengan kitab Taurat, hingga ia wafat dalam usia 127 tahun.
Setelah Musa meninggal dunia, Yusya' hidup selama 27 tahun.
Palestina adalah negara yang terletak di Asia Barat, antara Laut Tengah dan Sungai Yordan. Nama
klasik untuk menyebut Palestina adalah Kan'an. Sampai saat ini, Palestina masih belum diakui
kedaulatannya. Sebab, ada sekitar 50 negara di dunia yang tidak mengakui Palestina sebagai
negara. Palestina pernah mendeklarasikan kemerdekaan pada 15 November 1988, yang dilakukan
oleh Dewan Nasional Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina.

Leluhur berasal dari Kanaan Seorang ahli imunologi asal Spanyol, yaitu Antonio Arnaiz-Villena
melakukan sebuah studi untuk mengetahui bagaimana asal-usul bangsa Palestina. Hasil studi
Antonio menghasilkan pemahaman bahwa orang Palestina berasal dari leluhur orang-orang
Kan'an (Canaanities) atau Kanaan yang hidup di daerah yang sekarang diklaim Palestina sejak
3.000 tahun lalu. Dalam perjalanannya, leluhur mereka, yakni orang-orang Kanaan kemudian
berbaur dengan Mesir, Mesopotamia, dan orang-orang Anatolia secara intensif.

Lebih lanjut, tertulis juga dalam buku-buku para sejarawan Yunani bahwa di Yunani ditemukan
orang-orang Palestina yang datang dari Kanaan pada 1500 SM. Konon, mereka datang
berbondong-bondong dari Jazirah Arab. Kelompok ini kemudian lambat laun membentuk sebuah
desa di Palestina dan beberapa kota, seperti kota-kota Pisan, Alqolan, Aka, Haifa, al-Khalil, Usdud,
Bi'ru Alsaba, dan Betlehem. Menurut pendapat para ahli sejarah, mayoritas penduduk Palestina
sekarang, dan khususnya di pedesaan, merupakan keturunan kabilah-kabilah bangsa Kanaan,
Umuriyah, dan Palestina. Disebutkan bahwa kabilah-kabilah Arab bermukim di Palestina sebelum
dan sesudah ekspansi pasukan Islam. Mereka dapat berasimilasi dan menyatu dengan penduduk
setempat karena kesatuan agama dan bahasa.

Sebuah studi mengungkap Palestina merupakan salah satu negara yang masih memiliki hubungan
saudara genetik dengan kaum Yahudi. Mereka memiliki garis keturunan genetik sama yang
membentang ribuan tahun lalu dari Nabi Ibrahim. Konon, Nabi Ibrahim datang ke Palestina sekitar
1900 SM. Keberadaan Ibrahim secara arkeologi di Palestina dapat dilihat dari ditemukannya makam
Ibrahim di sana.
“Israel.” “Palestina.” Satu tanah, dua nama. Masing-masing pihak mengklaim tanah
itu sebagai milik mereka, dengan nama yang mereka pilih.

‘Israel’
Nama “Israel” pertama kali muncul menjelang akhir abad ke-13 SM dalam Prasasti
Merneptah di Mesir, yang tampaknya merujuk pada suatu bangsa (bukan suatu
tempat) yang mendiami wilayah yang saat itu disebut “Kanaan”. Beberapa abad
kemudian di wilayah tersebut, kita menemukan dua kerajaan bersaudara: Israel dan
Yehuda (asal mula istilah “Yahudi”). Menurut Alkitab, pada awalnya terdapat sebuah
kerajaan induk–yang disebut “Israel”–yang memimpin kedua kerajaan tersebut.

Pada sekitar tahun 722 SM, kerajaan Israel ditaklukkan oleh kekaisaran Neo-Asiria,
yang berpusat di daerah yang sekarang disebut Irak. Dalam istilah geografis kuno,
“Israel” sudah tidak ada lagi.

Yehuda
Kurang dari satu setengah abad kemudian, Yehuda digulingkan. Ibukotanya,
Yerusalem, ditaklukkan, Kuil Suci Yahudi dihancurkan, dan banyak penduduk
Yehuda yang diasingkan ke Babilonia.

Setelah masa pembuangan berakhir kurang dari 50 tahun kemudian, wilayah bekas
kerajaan Yehuda menjadi pusat agama Yahudi selama hampir tujuh abad (meskipun
Kuil Suci yang dibangun kembali dihancurkan lagi pada tahun 70 M oleh bangsa
Romawi).

‘Palestina’
Pada tahun 135 M, setelah pemberontakan Yahudi yang gagal, Kaisar Romawi
Hadrianus mengusir orang-orang Yahudi dari Yerusalem dan menetapkan bahwa kota
itu dan wilayah sekitarnya menjadi bagian dari entitas yang lebih besar yang disebut
“Suriah-Palestina.” “Palestina” diambil dari nama wilayah pesisir Filistin kuno,
musuh-musuh bangsa Israel (nenek moyang orang Yahudi).

Setelah penaklukan Islam atas Timur Tengah pada abad ketujuh, orang-orang Arab
mulai bermukim di wilayah yang dulunya bernama “Palestina”. Terlepas dari sekitar
90 tahun dominasi Tentara Salib, tanah itu berada di bawah kendali Muslim selama
kurang dari 1.200 tahun. Meskipun pemukiman Yahudi juga tetap ada, populasinya
sebagian besar adalah orang Arab.
Zionisme dan kendali Inggris
Pada paruh kedua abad ke-19, kerinduan yang telah lama dirasakan oleh orang-orang
Yahudi di diaspora, untuk kembali ke wilayah nenek moyang mereka, memuncak
melalui gerakan nasionalisme yang disebut Zionisme.

Tujuan Zionisme didorong oleh meningkatnya kebencian terhadap orang Yahudi di


Eropa dan Rusia. Orang-orang Yahudi yang berimigrasi bertemu dengan penduduk
yang sebagian besar adalah orang Arab, yang juga menganggapnya sebagai tanah
leluhur mereka.

Pada masa itu, tanah tersebut terdiri dari tiga wilayah administratif milik kekaisaran
Ottoman, tidak ada yang disebut “Palestina.”

Pada tahun 1917, tanah tersebut berada di bawah kekuasaan Inggris. Pada tahun 1923,
dibentuk “Mandat Palestina,” yang juga mencakup negara Yordania saat ini.
Penduduk Arab di sana menganggap diri mereka sendiri bukan sebagai “orang
Palestina” dalam arti sebuah negara, melainkan sebagai orang Arab yang tinggal di
Palestina (atau lebih tepatnya, “Suriah Raya”).

Negara Israel
Para pemimpin Zionis di wilayah Mandat Palestina berusaha keras untuk
meningkatkan jumlah orang Yahudi untuk memperkuat klaim kenegaraan, tetapi pada
tahun 1939, Inggris secara ketat membatasi imigrasi Yahudi.

Namun, pada akhirnya proyek Zionis berhasil karena ketakutan global dalam terhadap
peristiwa Holocaust.

Pada bulan November 1947, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


mengesahkan Resolusi 181, yang membagi wilayah tersebut menjadi “Negara-negara
Arab dan Yahudi yang merdeka”. Resolusi tersebut langsung mendapat penolakan
dari Arab. Pasukan paramiliter Palestina kemudian menyerang pemukiman Yahudi.

Pada 14 Mei 1948, para pemimpin Zionis mendeklarasikan berdirinya negara Israel.

‘Perang Kemerdekaan’ versus ‘Al-Nakba’


Negara Yahudi yang baru ini segera diserbu oleh tentara dari beberapa negara Arab,
bersama dengan para militan Palestina. Pada saat pertempuran berakhir pada tahun
berikutnya, Palestina telah kehilangan hampir empat perlima dari jatah PBB. Tidak
kurang dari 700.000 orang dari pihak mereka telah diusir dari rumah mereka, tanpa
hak untuk kembali hingga saat ini.

Bagi warga Yahudi Israel, peristiwa ini dikenal sebagai “Perang Kemerdekaan”. Bagi
warga Palestina, peristiwa ini adalah al-Nakba alias “bencana.”
Pada 15 November 1988, Dewan Nasional Palestina mengeluarkan deklarasi
kemerdekaan, yang diakui sebulan kemudian oleh Majelis Umum PBB. Sekitar tiga
perempat keanggotaan PBB sekarang menerima kenegaraan Palestina, dengan status
pengamat non-anggota.

Perbedaan nasib, permusuhan tanpa henti


Meskipun beberapa kali berperang dengan negara-negara Arab dan kelompok
sekutunya, Israel terus berkembang. Palestina juga telah berjuang untuk membangun
pemerintahan yang fungsional dan stabilitas ekonomi.

Dalam Perang Enam Hari pada Juni 1967, Israel menangkis ancaman eksistensial
yang sesungguhnya, dengan menghalau kekuatan militer Arab yang sangat besar yang
berkumpul di perbatasannya. Perebutan Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza oleh
Israel selama perang tersebut membuat warga Palestina berada di bawah berbagai
bentuk pendudukan atau kontrol Israel yang menyakitkan.

Sepanjang konflik Israel-Palestina, lebih banyak orang Palestina yang terbunuh dan
terluka daripada orang Yahudi Israel. Sebagian besar karena kemampuan militer Israel
yang lebih canggih. Ada juga karena strategi Hamas yang menempatkan pusat-pusat
komando mereka di dalam wilayah-wilayah sipil.

Warga Yahudi Israel telah mengalami dua kali kekerasan pemberontakan


Palestina(1987-1993; 2001-2005). Upaya yang kedua merupakan gelombang bom
bunuh diri dan penyergapan yang mematikan.

Israel kemudian meresponsnya dengan membangun Pembatas Keamanan. Ini cukup


membantu menahan serangan teroris Palestina tetapi sekaligus menambah penderitaan
warga sipil Palestina.

Sejak tahun 1990-an, telah dilakukan beberapa kali upaya untuk


menegosiasikan solusi dua negara, tetapi semuanya gagal.

Di bawah perdana menteri terlama di Israel, Benjamin Netanyahu, pembangunan


pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang dianggap ilegal oleh
sebagian besar dunia, semakin dipercepat. Ini telah, dan akan semakin, mempersulit
upaya-upaya perundingan.
Warga negara kelas dua
Sekitar 20% dari total penduduk Israel adalah orang Arab. Sayangnya, warga Arab
Israel sebagian besar diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di dalam negara
resmi Yahudi.

Kekalahan Netanyahu baru-baru ini dapat membantu mengatasi hal ini. Israel
sekarang memiliki koalisi pemerintahan yang mencakup partai Arab Israel.

Pikirkan baik-baik
Lebih dari 1.000 tahun, “Israel” mendahului “Palestina”. Tanah itu kemudian menjadi
rumah bagi penduduk Arab, sekali lagi, selama lebih dari satu milenium. Oleh karena
itu, baik orang Yahudi maupun Arab memiliki klaim yang sah atas tanah tersebut.

Konflik Israel-Palestina telah menunjukkan banyak sekali kesalahan dan kebrutalan


dari kedua belah pihak. Tidak ada tindakan balas dendam, betapapun ekstremnya,
yang dapat membuat salah satu pihak mengatakan bahwa semua telah diselesaikan di
pihak mereka.

Satu-satunya jalan ke depan adalah, entah bagaimana, berhenti melihat ke belakang.

Dalam sebuah pembalikan dari transformasi Sungai Nil dalam Alkitab, sungai-sungai
darah yang tumpah harus menjadi air di bawah jembatan.

Anda mungkin juga menyukai