Anda di halaman 1dari 3

SYL TERSANGKA, AIRLANGGA HARTANTO TERSANDERA, BENARKAH ADA

TUKAR GULING, “KORUPSI IZIN EKSPOR CPO DAN PILPRES 2024”…?


Akhir-akhir ini menjelang Perebutan Kekuasaan, karakter hukum lebih terlihat sebagai
alat mainan penguasa untuk melumpuhkan rival politik, baik itu sekedar menyandera
elite-elite politik maupun menjebloskan ke jeruji besi dengan berbagai issue dan di
antara semua issue yang paling dominan adalah issue korupsi.

Wajar bilamana issue korupsi melekat dengan orang-orang yang berada dalam
kekuasaan. Hal ini pernah disampaikan oleh Lord Acton yang menyatakan “setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan korupsi”. Di Indonesia, korupsi di setiap sektor
kekuasaan masih massif. Transparancy International (TI) mengatakan, dalam satu
dekade pemerintahan Jokowi terbukti gagal dalam memberantas korupsi di Indonesia,
TI juga merilis Indeks Persepsi Korupsi 2023 atau Corruption Perception Index
(CPI), tahun 2023 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara
yang disurvei. Skor ini 34/100 ini sama dengan skor CPI 2022.

Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Danang


Widoyoko, “Demokrasi Indonesia sedang berjalan mundur secara cepat. Langkah
mundur itu serentak dengan rendahnya pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM
di Tanah Air. Padahal, tanpa penegakan korupsi yang mumpuni, perlindungan HAM
sejati tidak akan diraih”.
Hasil riset yang dirilis oleh TI tentunya tidak terlepas dari kondisi Penegakan Hukum
sektor Korupsi, misalnya Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), pemilihan Komisioner KPK yang penuh dengan kontroversi, sampai pada
pemerasan oleh Ketua KPK (Firli Bahuri) terhadap terduga korupsi Menteri Pertanian
(Syahrul Yasin Limpo). Maka tidak perlu terkejut, jika publik memberikan angka nol
kepada KPK yang dipimpin oleh Firli Bahuri dan kawan-kawan.

KPK hanya terlihat begitu garang menyasar elite Nasdem di saat tensi dinamika politik
agak tinggi antara Partai Nasdem dan Rezim Jokowi. Johny G Plate (Menteri Kominfo)
dan Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian) yang merupakan kader Partai Nasdem
harus menggunakan rompi orange khas KPK dengan tuduhan melakukan Tindak Pidana
Korupsi.

Penetapan Tersangka terhadap kedua kader Partai Nasdem itu, memicu pro-kontra di
kalangan publik, apakah ini murni hanya masalah hukum ataukah ada unsur politik
yang melatarbelakangi kedua kader Nasdem menjadi Tersangka Korupsi. Jika dilihat
dari kacamata hukum, kita menganggap telah clear dan tidak perlu harus beralibi
seolah-olah korban (playing victim) ketidakadilan (injustice). Tetapi dalam kacamata
politik, kedua orang tersebut dianggap sebagai korban dari konflik Nasdem dan Rezim
Jokowi, karena penetapan tersangka JGP dan SYL di saat Nasdem memutuskan tidak
lagi sejalan dengan kekuasaan Jokowi dan memilih sebagai rival di Pilpres 2024.

Terlepas dari kedua sudut pandang di atas. Jika masalah dua elite Kader Nasdem
tersebut an sich hanya masalah hukum di saat momentum politik, maka langkah KPK
tentunya menguntungkan rival politik Nasdem. Dan sebaliknya, jika ada anasir politik
terhadap dua elite kader Nasdem, maka KPK dianggap sebagai alat untuk
melumpuhkan rival politik.

“BAGAIMANA DENGAN KORUPSI CPO”

Nasib JGP dan SYL agak berbeda dengan Terduga Kasus Korupsi Perizinan CPO, dalam
kasus ini Kerugian Negara dan Kerugian Perekonomian Negara ditotalkan semunya
sebesar Rp. 18,3 Triliun. Nilai kerugian tersebut menggambarkan kasus ini bukan
sembarang kasus, apalagi dibilang sekedar korupsi kelas teri.

Efek lain dari korupsi CPO, pada tahun 2020, di seluruh penjuru Negeri ini sangat terasa
mengalami kelangkaan Minyak Goreng. Akibat dari kelangkaan, lonjakan harga Minyak
Goreng naik begitu drastis. Ternyata dibalik kelangkaan itu, tercium ada aroma korupsi
pemberian fasilitas izin ekspor minyak sawit mentah ( Crude Palm Oil/CPO) dari Pejabat
terkait kepada Korporasi. Dan kita tahu bahwa, leading sector untuk menerbitkan Izin
CPO berada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kordinator Bidang
Perekonomian. Menko Bidang Perekonomian dipimpin oleh Airlangga Hartanto,
sedangkan Mendag dipimpin oleh M. Lutfi.

Sejak tahun 2021, sekitar bulan Januari, kasus ini kemudian ditangani oleh Kejaksaan
Agung (Kejagung), Para Terduga Pelaku yang telah ditetapkan sebagai Tersangka dan
telah diputuskan oleh Pengadilan TIPIKOR, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group,
dan Musim Mas Group, ketiganya adalah Korporasi yang mendapatkan Fasilitas Izin dari
Kementerian terkait, sedangkan Terduga Pelaku dari Pemerintah, yaitu Indra Wisnu
Wharda (Eks Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag) dan Weibinanto Halimdjati
alias Lin Che Wei (Eks Tim Asistensi Menteri Kordinator Bidang Perekonomian).

Lantas bagaimana status hukum kedua Menteri pada kementerian terkait, seolah-olah
kasus ini sama sekali tidak melibatkan kedua menteri dimaksud, apalagi beralasan
pemberian izin oleh bawahannya tanpa sepengetahuan atau izin oleh kedua menteri
tersebut. Padahal dalam kerja-kerja birokrasi tidak ada satupun bawahan yang kerja
tanpa ada perintah atau izin ( approvel) dari atasan. Maka dari itu, sangat tidak masuk
akal apabila pemberian fasilitas izin ekspor CPO tidak diketahui atau tidak diperintahkan
dari pimpinan tertinggi kementerian terkait.
Saat itu, publik menunggu pemanggilan kedua Menteri tersebut oleh Kejagung agar
segera diperiksa. Tetapi belum juga dipanggil, sepertinya waktu pemanggilan telah
direncanakan, sembari melihat situasi dinamika politik yang saat itu terus berkembang.

“TUKAR GULING DI PILPRES”

Jauh sebelum mendekati Pemilu, sekitar Tahun 2021 atau 2022, sudah beredar issue
korupsi dan kudeta terhadap Ketua Umum (Airlangga Hartanto). Apabila, ia memilih
sikap berseberangan dengan Rezim Jokowi.

Situasi ini tentu membuat Airlangga Hartanto merasa ketakutan, jika ia mengambil
sikap politik yang berbeda dengan rezim Jokowi, pastinya akan dihabisi oleh kaki-
tangan Rezim ini, status tersangka, dan kudeta terhadapnya akan terjadi.

Sekitar bulan September atau oktober 2023, itu merupakan waktu yang dianggap tepat
bagi Kejagung untuk memanggil Airlangga Hartanto dan hampir semua media
mainstream dikerahkan memblow-up issue korupsi perizinan CPO yang dikaitkan
dengan Airlangga Hartanto selaku Menko Bidang Perekonomian. Seketika itu,
Kejagung memanggilnya untuk diperiksa dan pasca pemeriksaan terhadapnya tidak
lama kemudian, Golkar membentuk koalisi bersama dengan Prabowo dan selanjutnya
Pasca Putusan MK, Golkar memberikan Rekomendasi Calon Wakil Presiden kepada anak
Jokowi (Gibran Rakabuming Raka). Begitupun, dengan M. Lutfi (Eks Menteri
Perdagangan), setelah dipanggil Kejagung, selanjutnya ia menunjukan sikap politik
yang sama persis dengan Airlangga Hartanto.

Jika kita lihat, Interval waktu pemanggilan, pembentukan koalisi, serta pemberian
Rekomendasi, jaraknya begitu dekat dan berjalan secara sistematis. Mirisnya, setelah
sikap politik yang diambil oleh M. Lutfi dan Airlangga Hartanto, progress
pemeriksaan kasus korupsi perizinan CPO terhadap keduanya terbilang stagnan, dan
pemberitaan media mainstream terhadap kedua orang tersebut sudah tidak lagi
terdengar. Itu artinya, baik M. Lutfi maupun Airlangga Hartanto lebih memilih
Tersandera daripada menjadi Tersangka. Tentu ini bukan suatu kebetulan,
segalanya telah di setting secara rapih.

Hal ini menggambarkan kepada kita semua, begitu besar pengaruh politik terhadap
jalannya proses penegakan hukum. Jika kekuasaan politik berada di tangan politisi yang
buruk, maka penegakan hukum juga ikut buruk. Kita bisa bayangkan, apabila Golkar
mengambil sikap politik yang sama seperti Nasdem, maka tentunya Airlangga
Hartanto akan memiliki nasib yang sama juga dengan kader Nasdem seperti Syahrul
Yasin Limpo dan Johny G Plate.

Anda mungkin juga menyukai