Anda di halaman 1dari 43

“Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia”

oleh

Henri Chambert-Loir

Kutipan dari buku :


Henri Chambert-Loir, Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu,
Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: Lima Belas Karangan
Tentang Sastra Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia), 2014.
Dalam buku tersebut terdapat satu bibliograi tunggal untuk
semua artikel sekaligus. Bibliograi tersebut dilampirkan pada
artikel ini.
KISAH PETUALANGAN SEBUAH HURUF ARAB
DI INDONESIA

Huruf ‘ain (‫ )ع‬adalah salah satu huruf dalam abjad Arab. Dalam abjad
Jawi, yaitu sistim tulisan naskah-naskah Melayu lama, huruf itu hanya
ditemukan dalam kata-kata serapan dari bahasa Arab. Lain dari huruf
hamzah misalnya, huruf ‘ain tidak pernah dipakai untuk menuliskan kata-
kata Nusantara asli1. Dalam transliterasi teks-teks Arab dan Jawi dalam
tulisan Latin, huruf tersebut dilambangkan dengan sebuah apostrof terbalik
(umumnya <‘>, tetapi juga <’>, <`> atau <c>). Dalam perkembangan lafal
dan ejaan (Latin) kosakata Indonesia modern, huruf tersebut diperlakukan
dengan berbagai cara.
Tujuan artikel ini ialah menguraikan berbagai cara itu, membahas
norma yang sekarang berlaku, dan menyimpulkan, dari segi ilologi,
bagaimana huruf ‘ain semestinya ditangani dalam transkripsi naskah-
naskah Melayu lama. Sambil lalu, akan ditunjukkan bahwa suatu pilihan
ilologis dapat saja mempunyai dimensi ideologi.

Artikel ini pertama kali terbit dalam: Titik Pudjiastuti & Tommy Christomy
(eds.), Teks, Naskah, dan Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof.
Achadiati Ikram, Depok: Yayasan Pernaskahan Nusantara, 2011, hlm. 1-16,
namun diterbitkan di sini dengan beberapa tambahan. Saya mengucapkan
terima kasih kepada Dr. Jérôme Samuel untuk komentarnya yang sangat
berguna atas konsep artikel ini.
1 Tentu saja dengan beberapa kekecualian, misalnya dalam naskah Syair
Sultan Fansuri yang disalin oleh H.N. van der Tuuk (Cod. Or. 3303 dalam
perpustakaan Universitas Leiden), kata-kata ta’ tahu tertulis (t‘ta-hw) dan
tegak tertulis (tg‘); lihat Chambert-Loir 2011d, baris 4/1a dan 7/4a. Dalam
sebuah teks lain yang ditulis di Kalimantan Barat tahun 1839, kata mau dua
kali ditulis (mŋw) dengan maksud melambangkan (m‘w). Ejaan yang sangat
aneh ini menarik karena kata tersebut pasti tidak diucapkan /mangau/, sehingga
jelas huruf <ng> di situ hanya melambangkan suatu hentakan glotal. (Lih.
Chambert-Loir 2011e, § 1 dan 35.)
234 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Perihal Bahasa Jawa


Dalam hal pengalihan huruf ‘ain, kasus bahasa Jawa memperlihatkan betapa
jauh sebuah huruf dan sebuah lafal dapat diadaptasi (atau dipribumikan,
dilokalisasi) waktu diserap ke dalam bahasa lain, oleh karena dalam
sejumlah kata Jawa, bunyi dan huruf ‘ain itu telah menjelma sebagai
bunyi /ŋ/ dan huruf <ng> (yaitu huruf ‘ain di atas, <‫>ع‬, dengan tiga titik di
atasnya, menjadi <‫)>ڠ‬.
Di antara kata-kata Melayu yang diserap dari bahasa Arab dan yang
pada asalnya mengandung sebuah huruf ‘ain, tidak semuanya mempunyai
padanan dalam bahasa Jawa, artinya tidak semuanya diserap dalam bahasa
Jawa, baik secara langsung dari bahasa Arab atau melalui bahasa Melayu.
Kata-kata Melayu seperti aib, akal, iil, iklan, jamak, tabiat dan banyak
lain lagi misalnya tidak berpadanan dalam bahasa Jawa2.
Di antara kata-kata asal Arab yang terdapat baik dalam bahasa
Melayu maupun Jawa, huruf ‘ain tidak selalu berubah menjadi bunyi /ŋ/
dan huruf <ng> dalam bahasa Jawa. Lihat misalnya kata-kata Jawa abdi,
adil, maap, maklum, makna, mualap, mualim, rakyat3 dll., yang ternyata
berbentuk sama dalam bahasa Indonesia.
Kalau kita memperhatikan kata-kata Jawa di mana huruf ‘ain
diucapkan /ŋ/ dan ditulis <ng>, maka kelihatan hal ini selalu terjadi di
depan suatu huruf vokal, baik kalau ‘ain berada di awal kata (contohnya
ngabid, ngadat, ngajaib, ngalaikum, ngalam, ngalamat, ngalim, ngamal,
ngaral, ngèlmu, ngibadat, ngibarat, ngidah, ngisa)4, maupun kalau berada
di awal suku kata kedua atau lebih (contohnya baingat [baiat], donga [doa],
manpangat [manfaat], rakangat [rakaat], sangat [saat], sarèngat [syariat]).
Dan rumus ini benar juga untuk kategori nama (contohnya baik Ngabas,
Ngabdul, Ngahad/ Ngaad/ Ngakad [Ahad], Ngarab, Ngarif, Ngidrus,
Ngusman, maupun Asngari [Asyari], Jumungah [Jumat], Rabingulakir
[Rabiulakhir], Ripangi [Rifai], Sangid [Said], Sapingi [Syaii], Akya
Ngulumodin [Iḥyā’ ‘Ulūm al­dīn], Dulkangidah [Zulkaidah]).

2 Mungkin saja salah satu kata ini dapat diperdebatkan, kalau ditemukan dalam
suatu teks Jawa, entah sebagai kata Jawa atau sebagai kata asing (Melayu),
tetapi secara garis besar kenyataan ini tetap demikian.
3 Sumber utama yang dipakai tentang kosakata Jawa adalah kamus Jawa-Inggris
oleh S. Robson (2002) di samping beberapa sumber lain.
4 Perlu dicatat bahwa sebuah bentuk kata dengan huruf <ng> dapat saja
berdampingan dengan sebuah bentuk lain tanpa huruf <ng>; contohnya kata-
kata Jawa berikut: adat/ ngadat, akérat/ ngakérat, ibarat/ ngibarat.
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 235

Jadi, huruf ‘ain tidak pernah berubah menjadi <ng> di depan sebuah
konsonan. Kata-kata Arab seperti ba‘da, da‘wa, Ka‘ba, la‘na, ma‘lūm,
misalnya tidak terserap ke dalam bahasa Jawa dengan huruf <ng> melainkan
dengan huruf <k> seperti dalam bahasa Melayu, dan menghasilkan kata-
kata Jawa bakda, dakwa, Kabat, laknat, maklum.
Oleh karena dalam tulisan pegon (seperti dalam tulisan Jawi) huruf
‘ain dan <ng> hanya dibedakan oleh adanya tanda diakritis (tiga titik) di
atas badan huruf <‫>ع‬, maka dapat saja diandaikan bahwa huruf ‘ain dalam
kata­kata Arab salah dibaca /ŋ/ oleh orang Jawa. Tetapi boleh dipastikan
kiranya bahwa yang terjadi sebenarnya lain, ialah huruf ‘ain bukan salah
dibaca tetapi dilafalkan dengan suara yang lebih keras daripada semestinya.
Fenomena jenis ini hampir selalu terjadi di tingkat fonetik, bukan tulisan.5
Ternyata kecenderungan orang Jawa untuk melafalkan beberapa huruf
Arab dengan menambah suatu oklusi tercatat juga untuk huruf <kh> yang
diucapkan /k/, bukan /x/ (contohnya akir [akhir], Jimakir, Jumadilakir,
kusus [khusus], iklas [ikhlas]), juga untuk huruf <f> yang diucapkan /p/,
bukan /f/ (contohnya munapèk [munaik], pekih [ikih], wakap [wakaf],
atau juga huruf <ḥ> yang diucapkan /k/, bukan /h/ (contohnya kakèkat
[hakekat], Kasan [Hasan], Mukaram [Muharam], mikrab [mihrab], sekabat
[sahabat], takayul [takhayul].
Fenomena huruf ‘ain mengejawantah sebagi <ng> rupanya mulai
dengan awal-mulanya sistim tulisan pegon. Kita mengetahui tiga kitab
berbahasa Jawa yang paling telat dikarang pada akhir abad ke-16; ketiga-
tiganya diedit dan diterjemahkan oleh G.W.J. Drewes (1954, 1969, 1978).
Ketiga naskah yang bersangkutan tertulis dalam aksara Jawa. Tidak
mungkin diduga kenapa ketiga kitab ini beraksara Jawa, padahal huruf
pegon sudah digunakan sedini abad ke-16, setidaknya untuk terjemahan
teks Arab ke dalam bahasa Jawa (lih. misalnya Ricklefs 2006: 22). Kapan
ketiga teks tersebut dikarang pun tidak diketahui dengan pasti, tapi mereka
jelas termasuk contoh yang tertua dari teks tentang agama Islam yang
ditulis dalam bahasa Jawa, maka patut diselidiki bagaimana kejadian huruf
‘ain di dalamnya.
Dalam satu teks (An Early Javanese Code, Drewes 1978), dapat kita
lihat bahwa tidak satu pun huruf ‘ain menjadi <ng>. Kata-kata asal Arab
yang bersangkutan, sebanyak 13 saja, menghasilkan kata-kata Jawa di

5 Di sini pula terdapat kekecualian, misalnya kedua kata asal Belanda duit dan
pluit dilafalkan dalam bahasa Indonesia menurut ejaannya, bukan menurut
lafal Belanda.
236 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

mana umumnya huruf ‘ain hilang saja (alehi < ‘alaihi, amal < ‘amal, doa <
du‘ā’, elmu/ ilmi/ ilmu < ‘ilm, ibadat < ‘ibāda, mutabat < mutāba‘a, sareat
< sharī‘a, tekad <i‘tiqād, ujub < ‘ujb), tetapi beberapa kali diganti dengan
hamzah (bida’ah < bid‘a, jama’at < jamā‘a, ma’asiyat < ma‘ṣiya) atau h
(jumahat < jum‘a) (lih. Drewes 1978: 81-82).
Dalam teks kedua (Een Javaanse primbon, Drewes 1954), kata-kata
Arab yang diserap, sebanyak 37, memperlihatkan kecenderungan yang
berbeda: dalam 27 kasus huruf ‘ain hilang (abid < ‘ābid, alam < ‘ālam,
alamat < ‘alāmat, alim < ‘ālim, amal < ‘amal, arip < ‘ārif, Arpat < ‘Arafah,
arsi < ‘arsh, asar < ‘aṣr, Asura ‘āshūrā’, bidaah < bid‘ah, doa < do‘ā, jamaat
< jamā‘ah, jumaat < jum‘ah, élmu/ilmu < ‘ilm, ibadat < ‘ibādah, isa <
‘ishā’, kanaat < qanā‘ah, lanat < la‘nah, maripat < ma‘rifah, manfaat <
manfa‘ah, nimat < ni‘mah, rayat < ra‘yah, saat < sā‘ah, saréat/saréyat <
sharī‘ah, taat < ṭā‘ah, tabiin < tabi‘īn); dalam sepuluh kasus lain, huruf
‘ain menghasilkan suatu vokal tambahan (maana < ma‘nā, maaripat <
ma‘rifah, maasiyat < ma‘ṣiyah, paal < i‘l, raayat < ra‘yah, rakaat < rak‘ah,
sair < shi‘r , tamah < ṭam‘, ujub < ‘ujb, wara’i < wara‘); dalam satu kasus,
huruf ‘ain menghasilkan sebuah <k> (napék < nāi‘); dan akhirnya dalam
empat kasus, huruf ‘ain menghasilkan sebuah <ng> (ngalama < ‘alāmat,
donga/dunga < do‘ā, langanatullah < la‘natu ’llâh, mangaripat < ma‘rifah).
(Jumlah kata Jawa lebih besar dari jumlah kata Arab karena beberapa kata
Jawa mempunyai bentuk ganda, misalnya alamat/ngalamat, doa/donga,
rayat/raayat, dll.)
Dalam teks ketiga (The Admonitions of Seh Bari, Drewes 1969),
kata-kata Arab yang diserap, sejumlah 25, menghasilkan kata-kata Jawa
di mana huruf ‘ain cenderung (12 kali) menjadi <ng> (apengal < af‘āl,
ngalam < ‘ālam, ngalim < ‘ālim, ngarip < ‘ārif, ngaras < ‘arsh, ngasek <
‘ashiq, bidengah < bid‘a, ngelmu/ngilmu < ‘ilm, ngiski < ‘ishq, mangaripat
< ma‘rifa, mangasuk < ma‘shūq, sarengat < sharī‘a) – di antaranya tiga
kata mempunyai juga bentuk tanpa <ng>, yaitu bida‘ah, maripat, nekmat/
nikmat. Selain itu terdapat empat kata di mana huruf ‘ain hilang saja (tekad
< i‘tiqād, lanat < la‘na) atau diganti dengan <k> (maklum < ma‘lūm, makna
< ma‘nā). Sisanya delapan kata Arab yang ditulis seadanya karena tidak
menghasilkan padanan dalam bahasa Jawa (‘adam, ba‘da, ma‘a, ma‘dūm,
mumtani‘, mu‘tazila, ta‘ala, ya‘ni). (Lih. Drewes 1969: 121-122.)
Ketiga teks tersebut, karena dibahas dalam urutan di atas, memberi
kesan adanya suatu perkembangan mengenai kejadian huruf ‘ain, yaitu
mulai dengan kecenderungan hurufnya hilang saja menuju kecenderungan
‘ain menjadi <ng>. Namun sebenarnya kita tidak mempunyai bukti apa
pun tentang perkembangan tersebut, apalagi karena masa ketika ketiga
teks itu dikarang tidak diketahui.
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 237

Mengenai kata-kata Arab yang dialihkan seadanya ke dalam


aksara Jawa dalam teks ketiga, Drewes (1969:5) menulis bahwa “untuk
melambangkan bunyi-bunyi yang tidak ada dalam bahasa Jawa, dipakai
huruf-huruf yang kadang ditambahi tiga titik di atasnya”. Jadi ḥā dan khā
ditulis sebagai aksara h dengan tiga titik, dhāl sebagai aksara d dengan
tiga titik, zāy sebagai aksara j dengan tiga titik, ẓā sebagai aksara l dengan
tiga titik, dan ‘ain sebagai aksara ng. Selain itu, huruf hamzah dapat ditulis
sebagai aksara k atau ng ataupun aksara swara. Dengan demikian, kita jadi
teringat pada hipotesis bahwa pelafalan mungkin dipengaruhi oleh tulisan:
barangkali ciri ejaan tersebut mencerminkan suatu ciri pelafalan (ejaan
Jawa ilapi [iḍāi] mencerminkan pelafalan <ḍ> sebagai /l/ dan <f> sebagai
/p/ dan demikian juga ejaan sarengat [sharī‘a] mencerminkan pelafalan
‘ain sebagai /ŋ/), tetapi barangkali juga ciri ejaan itu hanya merupakan
sebuah konvensi tulis yang kemudian mengakibatkan sebuah perubahan
dalam pelafalan.
Kata-kata Jawa dengan huruf <ng> jenis itu tidak banyak, rupanya
tidak lebih dari 50 buah, tetapi penting karena beberapa di antaranya
mempunyai frekuensi tinggi, seperti ngalim, ngèlmu, ngibadat, donga,
manpangat, sangat, sarèngat, ditambah sejumlah nama (mis. Ngabdul,
Ripangi, Rabingulakir, Dulkangidah).
Patut diperhatikan juga bahwa fenomena itu tidak terdapat dalam
bahasa Sunda6 ataupun dalam bahasa Nusantara yang lain, sehingga
merupakan suatu ciri khas bahasa Jawa saja.

Perkembangan Transkripsi Huruf ‘ain dalam Bahasa Melayu dan


Indonesia
Peralihan huruf ‘ain dalam bahasa modern perlu diamati dari dua segi,
yaitu ejaan dan lafal. Dari segi ejaan, ‘ain menjadi <‘>, <k>, dan Ø (yaitu
nol, alias tidak dicatat), sedangkan dari segi lafal, ‘ain menjadi /ʔ/, /k/ et Ø
(nol, tidak diucapkan).
Kedua bentuk itu (tulis dan fonetis) tidak selalu sepadan. Kata
Jumat misalnya sering ditulis <Jum’at> tetapi dilafalkan /jumat/; kata
dakwa (dalam arti “tuduhan”) biasa dilafalkan /dakwa/, sedangkan dakwa/
dakwah (“penyiaran”) biasa dilafalkan /daʔwa/).
Dalam bahasa-bahasa Eropa Barat, ejaan mencerminkan etimologi
kosakata oleh karena ejaan itu berkembang secara berkesinambungan
selama berabad-abad. Dalam bahasa Indonesia sebaliknya, ejaan dalam

6 Kamus yang digunakan di sini adalah kamus Sunda-Belanda oleh F.S. Eringa
(1984).
238 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

tulisan Latin masih relatif baru (diciptakan sekitar tahun 1900) dan diubah/
diperbaiki beberapa kali dengan tujuan yang tetap sama, yaitu agar semakin
sederhana dan semakin mencerminkan lafal.
Kosakata asal Arab merupakan suatu bidang tersendiri di mana bisa
saja satu kata mempunyai dua atau tiga ejaan yang berbeda sesuai dengan
konteks sosial pemakaiannya (mis. <Nadlatul>, <Nadhatul>, <Nadatul>;
<hadis>, <hadits>, <hadith>; <lohor>, <zuhur>; <salat>, <shalat>,
<sholat>). Dapat dimengerti juga bahwa para alim ulama, kalau sedang
membicarakan suatu topik keagamaan, cenderung menyimpang dari ejaan
baku demi menunjukkan asal Arab suatu kata serta makna religiusnya.
Bahkan di tengah masyarakat awam ejaan beberapa kata masih labil
(contohnya, Jumat sering ditulis, di atas agenda dan kalender misalnya,
<Jum’at> ataupun <Juma’at>).
Namun demikian, ejaan baku ada dan semakin baik ditaati oleh
masyarakat. Menurut ejaan baku itu, tidak boleh ada tanda apa pun kalau
‘ain telah hilang dalam lafal (<adil>, <akibat>, <umur>, bukan <’adil>,
<’akibat>, <’umur>) atau telah menjadi /ʔ/ (hentakan glotal) di antara
dua huruf vokal (<maaf>, <manfaat>, <saat>, bukan <ma’af>, <sa’at>,
<manfa’at>)7. Sebaliknya, harus ada huruf <k> kalau ‘ain dilafalkan /ʔ/
atau /k/ di depan sebuah huruf konsonan atau semi­konsonan (contoh /ʔ/,
<dakwah>, <rakyat>; contoh /k/, <bakda>, <dakwa>, <iklan>, <nikmat>).
Huruf ‘ain sebagai huruf akhir sebuah kata Arab merupakan kasus
tersendiri karena tidak terdapat di depan huruf apa pun, baik vokal maupun
konsonan. Biarpun mengikuti sebuah vokal atau konsonan, ‘ain tersebut
selalu menghasilkan kata Melayu dengan huruf akhir <k> (mis. jamak,
sajak, syarak, jimak, simak, khusyuk, rujuk, tamak) dengan kiranya dua
kekecualian saja, yaitu kata jami (di samping <jamik>) dan mukenah.
Maka dapat kita lihat bahwa apa pun halnya, tanda apostrof tidak
diakui: apostrof tidak termasuk abjad Indonesia.

Ejaan Indonesia modern (dalam tulisan Latin) berkembang selama ketiga


perempat pertama abad ke-20, yaitu pada masa ilmu linguistik berkembang
secara pesat. Oleh karena itu ejaan Indonesia dikembangkan oleh para
ahli bahasa dengan patokan yang jelas dan terperinci. Banyak orang
ikut dalam perdebatan tentang ejaan (antara lain akan dikutip Hamka di

7 Kata ‘doa’ merupakan kasus istimewa karena dapat dilafalkan dengan atau
tanpa /ʔ/, namun tetap tidak semestinya ditulis dengan apostrof (harus ditulis
<doa>, bukan <do’a>).
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 239

bawah ini), namun pendapat orang yang bukan ahli bahasa tidak banyak
diperhatikan. Pendirian para ahli linguistiklah yang menentukan. Ini tidak
berarti bahwa pertimbangan ekonomi, politik atau ideologi tidak muncul
dalam perdebatan. Sebagai contoh pertimbangan ekonomi dapat disebut
kenyataan bahwa mengadopsi tanda-tanda langka (seperti misalnya tanda-
tanda <ŋ> dan <ñ> untuk mencatat bunyi yang dilambangkan dengan
<ng> dan <ny>) akan menimbulkan banyak kesulitan pada dunia pers dan
percetakan. Sebagai contoh pertimbangan politik dapat disebut kenyataan
bahwa dari tahun ke tahun, menyesuaikan ejaan Indonesia dengan ejaan
Malaysia pernah dianggap baik atau kurang baik. Dan sebagai contoh
pertimbangan ideologi dapat disebut kenyataan bahwa banyak orang
Indonesia menentang ejaan EYD karena terkesan sebagai kemenangan
Malaysia atas Indonesia, ataupun kenyataan bahwa berbagai komponen
masyarakat, yang sangat akrab dengan bahasa Arab dan dengan teks-teks
asas agama Islam, berkeinginan agar ejaan Indonesia mencerminkan ejaan
asli kata-kata serapan dari bahasa Arab.
Sepanjang proses yang telah menghasilkan ejaan yang berlaku
sekarang ini, tiga prinsip memainkan peran utama: 1) mencerminkan lafal;
2) menggunakan satu huruf untuk satu fonem; 3) menghindari tanda-tanda
diakritis.
Perkembangan ejaan Latin, sedikitnya secara simbolis, mulai tahun
1901 dengan terbitnya buku Kitab Logat Melajoe oleh Ch.A. van Ophuijsen,
yang segera dipergunakan dalam pendidikan dan administrasi8. Sistem
ejaan yang ditentukan oleh pegawai Belanda tersebut berdasarkan ketiga
prinsip di atas serta beberapa kebiasaan yang khas Belanda (mis. huruf
<j>, <nj>, <tj>, <oe>), dan merupakan sistem resmi sampai Proklamasi
Kemerdekaan. Di Malaya pada masa itu, sebuah kamus susunan R.J.
Wilkinson tahun 1904 boleh dilihat sebagai padanan buku Van Ophuijsen
itu (lih. Teeuw 1961: 34). Menurut Vikør (1988: 15), ejaan Van Ophuijsen

8 Sejarah perkembangan ejaan Latin di bawah ini diringkaskan terutama


berdasarkan buku karangan Lars L. Vikør (1988). Ejaan Latin sebenarnya
pernah dipakai sejak awal abad ke-17 (buku Albert Ruyll, Sovrat ABC akan
Mengaydjer Anack Boudack Seperty Deayd’jern’ja capada Segala Manusia
Nassarany daen Berbagy Sombahayang Christiaan, terbit di Amsterdam tahun
1611), tetapi terikat dengan usaha penginjilan dan sangat terbatas dampaknya
atas masyarakat lokal, lagipula tidak berpengaruh atas ejaan yang direka pada
abad ke-20. Sistem Van Ophuijsen sama sekali baru dan sebenarnya tidak
terbatas pada ejaan, tapi merupakan sejenis kodiikasi bahasa Melayu baru
yang dideinisikan dalam buku Van Ophuijsen lain, yaitu Maleisch spraakkunst
(Leiden, 1910; lih. Samuel 2008: 122-124).
240 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

“cepat dipakai oleh masyarakat Indonesia pada umumnya”. Tentu ada


kekecualian, misalnya dalam kegiatan penerbitan kaum Peranakan
Tionghoa yang amat ramai dan sering kali juga amat tidak baku. Tetapi
pada umumnya, ejaan resmi itu merata dengan sangat eisien dan tidak
menimbulkan polemik penting. Pada Kongres Bahasa Indonesia yang
pertama, yang diselenggarakan di Solo tahun 1938, ejaan Van Ophuijsen
dianjurkan supaya dipertahankan saja (lih. Samuel 2008: 178).
Kedudukan Jepang memainkan peranan penting dalam perkem-
bangan bahasa Indonesia, pertama-tama karena bahasa Belanda serta-
merta dilarang pakai. Pemerintah Jepang menaungi pendirian dua lembaga
bahasa, yaitu Komisi Bahasa Indonesia (Okt. 1942 - April 1945) dan
Lembaga Bahasa Indonesia (Medan, Jan. 1943 - 1945). Komisi Bahasa
Indonesia bercabang dua: cabang Medan menghasilkan sedikit, tetapi
cabang Jawa, yang boleh dikatakan diketuai oleh Sutan Takdir Alisjahbana,
menghasilkan sebuah Kamoes Istilah (2 jil., 1945, 1947), yang menjadi
rujukan dasar selama tahun-tahun berikutnya (lih. Samuel 2008: 203-220).
Pada masa selanjutnya, yakni sesudah Proklamasi, kabinet Sutan
Sjahrir mengeluarkan suatu pembaharuan sedini tahun 1947. Pembaharuan
ini dinamai “Ejaan Soewandi”, mengikut nama Menteri Kebudayaan waktu
itu, dan berlaku sampai pembaharuan berikut, tahun 1972. Perubahan yang
terpenting dalam ejaan Soewandi sebagai berikut: 1. <oe> menjadi <u> ;
2. <e> pepet (/ə/) dan <e> taling (/e/) tidak dibedakan lagi: kedua­duanya
ditulis <e>, bukan lagi <e> dan <é> ; 3. diftong dan gugusan vokal juga
tidak dibedakan lagi, kedua-duanya ditulis <ai> dan <au>, bukan lagi <ai>
vs <aï> dan <au> vs <aoe> ; 4. kedua tanda apostrof yang melambangkan
hamzah <’> dan ‘ain <‘> dihapus dalam posisi huruf awal satu suku kata,
dan diganti dengan <k> dalam posisi akhir satu suku kata.
Selama 25 tahun berikutnya, terjadi berbagai jenis perdebatan
yang sangat ramai. Pemerintah RI mengutamakan pengembangan bahasa
nasional (di samping penelitian tentang berbagai kebudayaan “Indonesia”).
Sebuah Balai Bahasa didirikan di Yogyakarta pada bulan Maret 1948, lalu
dipindahkan ke Jakarta pada bulan Juni 1951. Komisi Istilah, yang dibentuk
tahun 1950, dimasukkan ke dalam Balai Bahasa itu tahun berikutnya. Hasil
kerjanya diumumkan dalam majalah Medan Bahasa dan kemudian Bahasa
dan Budaja, sampai merupakan 48 penggalan (yakni 75.000 kata lebih)
pada Oktober 1959 (lih. Teeuw 1961: 71). Balai Bahasa kemudian menjadi
Bagian Bahasa dari Djawatan Kebudajaan di Depdikbud. Mulai 1951,
lembaga ini menerbitkan majalah Medan Bahasa. A. Teeuw (1961: 80-88)
memberikan sebuah deskripsi sepintas dari isinya sampai No. IX, 7, Juli
1969. Medan Bahasa adalah sebuah majalah yang bertujuan pendidikan
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 241

praktis untuk masyarakat awam. Dalam lembaran halamannya, “ejaan


tentu saja merupakan masalah yang hangat sekali” (Teeuw 1961: 82).
Di samping itu, lembaga kolonial Instituut voor Taal- en Cultuur-
onderzoek menjelma sebagai Lembaga Penjelidikan Bahasa dan Kebu-
dajaan, yang pada bulan Agustus 1952 dileburkan dalam Lembaga Bahasa
dan Budaja, di Fakultas Sastra UI, yang diketuai oleh Prof. Prijono (atau
Prijana), sebagai dekan Fakultas tersebut. Lembaga Bahasa dan Budaja itu
menerbitkan majalah Bahasa dan Budaja mulai bulan Oktober 1952. A.
Teeuw (1961: 88-90) memberikan uraian sepintas dari isinya sampai No.
VIII, 1, Agustus 1959, sedangkan L.-C. Damais (1962-1964) menguraikan
isinya secara terperinci sampai No. VIII, 5-6, Juni-Agustus 1960. Melalui
kedua uraian tersebut kita mendapat gambaran sebuah majalah yang
bermutu tinggi dan yang, dari segi keanekaragaman topik yang diulas,
kemajemukan pendekatan ilmiah, serta mutu berbagai artikel, rupanya
tidak mempunyai padanan di Indonesia sekarang ini.
Di samping itu lagi, majalah Pembina Bahasa Indonesia, yang
didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana tahun 1948 dan yang terus terbit
sampai tahun 1957, menerbitkan sekitar 350 sampai 400 halaman setahun,
itu pun untuk khalayak umum.9
Redaksi majalah Bahasa dan Budaja pernah menghubungi berbagai
tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat mereka tentang ejaan yang
ada dan keperluan sebuah pembaharuan baru. Jawaban mereka diumumkan
dalam No. II, 1, Okt. 1953 (setebal 68 hlm.). Jawaban itu antara lain berasal
dari R. Satjadibrata, R.M.Ng. Poerbatjaraka dan Prijono. Mengenai huruf
‘ain, R. Satjadibrata mengusulkan agar dilambangkan oleh suatu tanda
khusus; A.W.J Tupanno sebaliknya menyarankan agar huruf hamzah
dan ‘ain tidak dilambangkan oleh tanda apa pun; sedangkan Slamet
menawarkan agar kedua huruf itu tidak dicatat antara dua vokal (mis.
<doa>, <daif>) dan dicatat sebagai <k> pada akhir satu suku kata (mis.
<makna>, <makruf>).
Kongres Bahasa di Medan tahun 1954, di bawah dorongan Prijono,
mengeluarkan sebuah rancangan pembaharuan, termasuk penggunaan
lambang <ŋ> dan <ñ> untuk mengganti huruf <ng> dan <nj>. Perdebatan
berlanjut terus. Bulan Agustus 1957, Prijono, yang telah menjadi Menteri
Pendidikan dan Kebudajaan beberapa waktu sebelumnya, menyerahkan
sebuah rancangan yang lebih matang kepada pemerintah. Kemerdekaan
Malaysia, tahun 1957 juga, menjadi landasan diskusi baru dengan tujuan

9 Mengenai lembaga-lembaga kebahasaan selama periode 1945-1966, lih.


Samuel 2008: 222-279.
242 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

menghasilkan satu ejaan bersama. Hasilnya, asas ejaan bersama yang


dinamakan “Ejaan Melindo” (yakni Melayu-Indonesia) itu sudah ditentukan
tahun 1960. Tetapi segala usaha dan tindakan tentang ejaan itu terhenti
selama beberapa tahun disebabkan Konfrontasi. Baru tahun 1966 diskusi
dilanjutkan oleh sebuah komisi yang dikepalai oleh Anton Moeliono,
sehingga asas satu “Ejaan Bersama Malaysia-Indonesia” ditentukan
tahun berikutnya. Kesimpulan komisi itu lain dari rancangan Prijono
tahun 1960: beberapa pertimbangan praktis dan ekonomi diutamakan atas
pertimbangan linguistik semata, yaitu terutama prinsip (linguistik) satu
huruf untuk satu fonem mengalah di depan prinsip (praktis) tidak boleh
memakai tanda diakritis atau lambang asing agar tidak mempersulit dunia
pers dan penerbitan.
Rancangan “Ejaan Bersama” itu menimbulkan protes keras di
Indonesia dengan lima sebab utama: 1. perasaan Indonesia mengalah di
depan Malaysia (sejumlah huruf lebih dekat ejaan Malaysia sebelumnya
daripada ejaan Indonesia); 2. persamaan dengan sistim Inggris; 3. beban
yang berat untuk masyarakat oleh karena semua buku dan majalah harus
diperbaharui; 4. keengganan mengubah kebiasaan; 5. keberatan tentang
beberapa butir, antara lain ejaan kata-kata serapan dari bahasa Arab.
Organisasi mahasiswa KAMI dan KAPPI melancarkan beberapa demo di
jalan pada tahun 1972. Namun demikian, sistim ejaan baru ini diumumkan
oleh pemerintah Indonesia (Presiden Soeharto) dan Malaysia (Tun Abdul
Razak) pada tanggal 16 Agustus 1972, sebagai ejaan resmi yang mulai
berlaku pada esok harinya.

Kembali pada huruf ‘ain, Van Ophuijsen dalam kata pengantar pada
Kamoes-nya (tahun 1901) mengakui varian ejaan seperti misalnya <‘adat>
dan <adat>, <ma‘na> dan ma’na>, <ra‘jat> dan <ra’jat>, <sjara’> dan
<sara’>, namun dalam Kamoes itu sendiri, yang terekam hanyalah bentuk-
bentuk pertama (dengan <‘>). Huruf atau tanda <‘> itu mempunyai tempat
dalam abjad Indonesia, di antara <k> dan <l> (sesuai tempat huruf ‘ain
dalam abjad Arab). Lagipula Van Ophuijsen menentukan ejaan <ä> sebagai
transkripsi kombinasi hamzah-alif (<’a>) dalam sejumlah kata Arab seperti
<aläswad>, <Koerän>, <masaälah>.
Pada tahap selanjutnya, ejaan Soewandi menengarai suatu
kecenderungan untuk lebih mengasimilasi kata-kata asal Arab. Surat
keputusan tanggal 19 Maret 1947 (dikutip oleh Vikør 1988: 86)
mengandung fasal berikut: “28. Kata2 Arab (Pérsi dsb.) jang soedah
biasa di Indonésiakan, ditoelis menoeroet seboetan Indonésia, misalnja:
<gaib>, <pitrah>, <pitnah>, <adat>, <alim>, <ulama>, <pihak>, <pasal>,
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 243

<pikir>, dsb. Oleh karena ‘perindonésiaan’ itoe sesoenggoehnja adalah


soeatoe prosès peroebahan jang sedang berlangsoeng [...], maka – dengan
mengingat kepada pasal 26 – menoeroet kebiasaan orang masing2 bolèh
ditoelis: <zaman> atau <djaman>, <lazim> atau <ladjim>, <lazat> atau
<lasat>, <zamrud> atau <djamrud>, <masjarakat> atau <masarakat>,
<tamasja> atau <tamasa>, <sjahbandar> atau <sahbandar>, <sjah>
atau <sah>, <sjahwat> atau <sahwat>, <sjahadat> atau <sahadat> dsb.
Teroetama dalam bahasa gagah atau dalam sa’ir moengkin perloe orang
mempergoenakan seboetan dan édjaan jang menjimpang dari Indonésia
asli itoe.” Sedangkan pasal 26 yang bersangkutan berbunyi sbb.: “26.
Boenji hamzah atau jang memper dengan bunji ini10 selaloe ditoelis dengan
<k> pada akhir soekoe, misalnja <tak>, <rakjat>, <tidak>, <makna>.”
Kurang dari sebulan kemudian, tanggal 15 April, surat keputusan
ini diganti surat baru, di mana fasal 28 telah hilang tetapi fasal 26 tetap
ada. Yang penting di sini ialah perkembangan wacana dan pilihan tentang
ejaan. Ejaan Soewandi jelas menentukan bahwa huruf ‘ain harus dicatat
sebagai <k> pada akhir sebuah suku kata (mis. <rakyat>, <makna>).
Selama tahun-tahun berikutnya, kecenderungan umum mengutama-
kan suatu “naturalisasi” atau “indonesiasi” yang semakin besar dari kata-
kata asal asing. Dalam hal huruf ‘ain, Komisi Anton Moeliono tahun 1966
membenarkan ejaan Soewandi, yakni tanpa tanda apa pun dalam posisi
awal suku kata dan ditandai /k/ dalam posisi akhir. Namun hal ini terus
diperdebatkan juga: pada suatu seminar di Puncak tahun 1972, masalah
kata-kata serapan dari bahasa Arab masih merupakan salah satu topik
terpenting. Masalah itu dibahas dalam dua makalah khusus oleh Bahrum
Rangkuti dan Sudarno, dan juga oleh satu komisi yang dikepalai oleh
HAMKA. Semua pihak rupanya sepakat untuk membedakan kata-kata yang
jelas sudah masuk kosakata Indonesia dan kata-kata yang merupakan istilah
agama. HAMKA sendiri menentang keputusan Soewandi untuk mengganti
tanda <‘> dalam sistem Van Ophuijsen dengan huruf <k> sebagai tanda
huruf atau bunyi ‘ain, dan menyarankan agar kembali memakai <‘>. Tetapi
argumen HAMKA kurang meyakinkan karena berdasarkan fakta bahwa,
kalau <‘> tidak dipakai, maka orang tidak dapat membedakan antara kata-
kata berikut: ni‘mat (lezat) dan nikmat (pembalasan, Ar. nqmt, yang tidak
pernah masuk bahasa Melayu!); ’amal (perbuatan) dan‘amal (harapan);
‘alam (dunia) dan alam (derita) – yaitu antara kata yang lazim dan kata
yang tidak dikenal siapa pun (lih. Vikør 1988: 56). Yang paling menarik

10 Kata memper, yang kini hampir tidak dipakai lagi, berarti “hampir serupa,
mirip”.
244 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

dalam hal ini, ialah argumen HAMKA adalah keperluan membedakan


satu kata dengan kata lain, sama sekali bukan mencerminkan etimologi
kata-kata tersebut atau menandai kata-kata yang berasal dari bahasa
Arab. Akhirnya, Komisi membenarkan dukungan terhadap penyesuaian
(indonesiasi, pribumisasi) kata-kata yang sudah masuk bahasa Indonesia
(yaitu ejaan yang sesuai dengan lafal lokal), namun menyarankan agar
“Kata-kata Arab jang ada hubungannja dengan rasa keagamaan supaja
diberi perlakuan khusus.” (Dikutip oleh Vikør 1988: 86.)
Sebagai langkah terakhir dalam pembaharuan ejaan, maka EYD,
dengan tujuan utama agar menghindari segala tanda diakritis dan agar
mengikuti lafal umum, menetapkan bahwa baik ‘ain maupun hamzah, yang
kedua­duanya diucapkan /ʔ/, akan ditulis <k> dalam posisi post­vokal dan
tidak ditulis dalam posisi lain, termasuk posisi antarvokal seperti dalam
kata saat dan maaf.
Sistim Van Ophuijsen pada tahun 1901 berdasarkan baik ejaan Jawi
maupun lafal sezaman. Tetapi selama 70 tahun berikutnya, ejaan Jawi
tidak diperhatikan lagi, dan berbagai usul perubahan hanya berlandasan
lafal yang telah lazim. Oleh karena itu masalah pengalihan ‘ain bukanlah
mentranskripsi satu huruf Arab melainkan melambangkan satu bunyi
Indonesia. Sistim yang akhirnya dipilih (oleh EYD) ialah tidak memakai
lambang pada awal suku kata, yakni di depan suatu vokal (mis. <adat>,
<ilmu>, <maaf>, <muamalat>) dan memakai huruf <k> pada akhir suku
kata, yakni di depan suatu konsonan (mis. <laknat>, <maklum>, <mikraj>).
Salah satu paradoks ejaan tersebut (yang telah dicatat jauh
sebelumnya, misalnya oleh penulis Malaysia, Asraf, tahun 1958 – lih. Vikør
1988: 52), ialah huruf ‘ain dan kaf dalam posisi post-vokal dalam kata-
kata asal Arab, kedua-duanya ditulis /k/, padahal yang pertama diucapkan
/ʔ/ dan yang kedua /k/. Contohnya, di satu pihak: <rakyat>, <makmur>,
<maklum>, <makjun>, dan di pihak lain: <akbar>, <maksud>, <maktab>,
<bukti>.

Dimensi Ideologi
Dimensi ideologi yang melekat pada ejaan kata-kata serapan dari bahasa
Arab telah beberapa kali disinyalir dalam uraian di atas. Pembaharuan ejaan
ternyata dilakukan dua kali, masing-masing oleh pemerintah Republik
(tahun 1947) dan oleh pemerintah Orde Baru (tahun 1972). Artinya, kedua
pemerintah RI pertama yang timbul setelah zaman kolonial merasa perlu
mewujudkan kekuasaannya dalam ejaan bahasa nasional. Bahkan ejaan
tahun 1947 dinamakan bukan saja “Ejaan Soewandi”, melainkan juga
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 245

“Ejaan Republik”, yang menggarisbawahi aspek politik pembaharuan


itu. Ejaan bersifat politik; pada masa itu ejaan bahkan bersifat nasionalis.
Mengenai aturan baru yang ditetapkan oleh ejaan Soewandi, L.S. Vikør
menulis, “Di antara perubahan-perubahan itu, yang paling hebat adalah
peralihan dari <oe> ke <u> karena tampak berdasarkan perasaan nasionalis
dan anti-Belanda” (Vikør 1988: 16).
Waktu pemerintah Orde Baru juga berupaya memperbaharui ejaan,
maka sebagaimana telah kita lihat, ia melanjutkan rencana pemerintah
Soekarno untuk mempersatukan ejaan Indonesia dan Malaysia, tetapi
secara sadar atau tidak, ia juga menunjukkan dirinya sebagai alat kemajuan
sambil menjerumuskan periode Soekarno dalam kegelapan. Seluruh
perdebatan tentang ejaan, antara tahun 1901 dan 1972, berdasarkan gagasan
bahwa dalam bidang itu kemajuan dapat dan perlu dicapai. Nama ejaan
yang ditetapkan tahun 1972 (“ejaan yang disempurnakan”) menyatakan
bahwa suatu kemajuan telah tercapai dan menyiratkan bahwa tingkat
kesempurnaan telah didekati. Padahal jelas bukan demikian. Sistim ejaan
baru itu masih ditentang (seorang pengarang yang amat produktif seperti
Ajip Rosidi masih menuntut agar buku-bukunya dicetak dengan aksen atas
semua ‘e’ taling), lagipula tidak diterapkan dengan baik (kesalahan ejaan
tampak di mana-mana: dalam buku, majalah, koran, disertasi dan iklan).
Tetapi apa pun halnya, buku-buku dan majalah yang terbit sebelum tahun
1972 kini kelihatan kuno, kolot, bagian dari suatu masa silam. Dalam batas
bidangnya sendiri, setiap pembaharuan ejaan tampak seperti suatu revolusi.
Dimensi ideologi ejaan ditegaskan juga oleh kenyataan bahwa
masyarakat siap turun ke jalan untuk memprotes pembaharuan ejaan,
seperti pernah terjadi tahun 1972.
Soal ejaan kata-kata serapan dari bahasa Arab khusus sensitif
karena dirasakan berkaitan dengan agama Islam atau sedikitnya dengan
warisan budaya dari dunia Arab. Soal ini berkali-kali timbul dalam
perdebatan tentang ejaan sejak tahun 1940-an. Baru-baru ini Ajip Rosidi
mengutarakan keresahan yang sama dalam dua kronik tentang bahasa
Indonesia yang terbit dalam koran Pikiran Rakyat di Bandung (kronik itu,
berjudul “Stilistika”, kemudian terkumpul dalam buku Bus, Bis, Bas, 2010,
hlm. 79 dan 104-105). Kedua kutipan itu sebagai berikut:
Sayang bahwa éjaan yang resmi sekarang (EYD) tidak memanfaatkan
kemungkinan-kemungkinan penulisan dengan huruf Latin yang ada secara
optimal, sedangkan bunyi-bunyi bahasa yang berasal dari bahasa Arab yang
banyak digunakan oleh umat Islam tidak dihiraukan. Misalnya bunyi “’”
(hamzah) pada “’a” dihilangkan, sehingga kata “do’a” ditulis “doa”, atau diganti
246 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

dengan huruf “k” seperti “da’wah” menjadi “dakwah”. Tetapi bagaimana kata
“da’i” (orang yang berdakwah) ditulis, apakah menjadi “daki”?
Maklumlah panitia yang dahulu menyusun EYD didominasi oleh orang-orang
non-muslim, sehingga tidak memberi tempat yang cukup buat keperluan
penulisan kata-kata yang penting dalam agama Islam.
Sedangkan panglima pembakuan bahasa yang paling terkemuka, yaitu Anton
Moeliono mengganti istilah “akhiran” yang sudah memasyarakat bukan
dengan istilah bahasa asing, melainkan dengan “ujungan” yang niscaya berasal
dari kata dasar “ujung” (Santun Bahasa, 1984: 36 dst.) Apa alasannya? Jelas
istilah “ujungan” tidak digunakan dalam ilmu bahasa internasional. Tetapi
mengapa beliau menganggap perlu mengganti istilah “akhiran” yang sudah
memasyarakat dengan “ujungan” (yang dalam kesenian daerah menunjuk
kepada permainan saling memukul dengan rotan)? Apa urgénsinya? Apakah
hanya karena semangatnya hendak mengéliminir semaksimal mungkin
pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Indonésia seperti juga ketika menyusun
EYD beliau menghapuskan pemakaian tanda hamzah (‘) dalam kata-kata
yang berasal dari bahasa Arab sehingga “do’a” ditulis “doa”, “Jum’at” ditulis
“Jumat”, “Kurân” ditulis “Quran”? Mudah-mudahan semangat menggebu-gebu
itu bukan karena sebagai orang Katolik beliau hendak mengurangi pengaruh
Islam (melalui bahasa Arab) terhadap bahasa Indonésia yang mémang sangat
besar. Kata-kata dengan suara yang menggunakan apostrof yang berasal dari
bahasa Arab sebenarnya sudah menjadi kekayaan bahasa Indonésia yang
dengan mudah diucapkan oleh sebagian besar bangsa Indonésia, mengapa
harus dibuang melalui EYD? Mémang penghapusan diakritik itu dilakukan
oleh Éjaan Républik (Suwandi) tetapi dalam praktéknya orang masih menulis
“do’a”, “Jum’at”, “Qur’ân”, “da’i”, dan lain-lain. Baru dalam EYD prakték
penulisan diakritik dibuang sama sekali. Padahal seharusnya setelah Éjaan
Républik menghapuskannya namun dalam prakték ternyata orang masih
tetap mempertahankan penggunaan hamzah (‘) ketika menulis kata-kata dari
bahasa Arab seperti “do’a”, “da’i”, “Jum’at”, “Qur’an” dan lain-lain, EYD
seyogyanya memberikan tempat kepada kebutuhan demikian.

Serangan yang amat keras ini menunjukkan betapa emosional tanggapan


sementara orang terhadap ejaan karena dihubungkan secara eksplisit
dengan identitas keagamaan. Sulit dibayangkan seorang pengarang
Indonesia mengeluh karena ejaan kata-kata seperti cat, kecap, lonceng,
sampan, sekoteng, atau singkong tidak mencerminkan asalnya dari
bahasa Tionghoa. Serangan Ajip Rosidi semakin tidak beralasan jikalau
kita memandang peran Anton Moeliono dalam perkembangan kebijakan
bahasa nasional bukan dari sudut satu kata dan satu huruf saja, melainkan
sebagai satu aksi kebahasaan yang kukuh dan koheren selama beberapa
dasawarsa. Mengenai hal ini, lih. Samuel 2008: 55-58, 293-294.
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 247

Dampak atas Pilihan Filologi


Waktu mentranskripsikan sebuah teks Jawi ke dalam tulisan Latin, seorang
pakar dapat saja mempunyai alasan sendiri untuk menggunakan ejaan yang
tidak baku. Para pakar ilologi boleh saja menerapkan teori dan kaidah
yang berlain-lainan, tetapi mereka semestinya menyadari akibat pilihan
tersebut dari segi ilologi dan juga dari segi ideologi.
Pada hemat saya pilihan yang terbaik ialah memakai ejaan baku,
dengan tiga alasan utama berikut: a) ejaan Jawi begitu labil (kaidahnya
tidak sepenuhnya jelas dan hampir tidak pernah dipakai secara konsisten)
sehingga mentranskripsikannya seadanya akan menghasilkan sebuah
teks yang sama sekali tidak koheren dalam tulisan Latin; b) beberapa ciri
ejaan mungkin saja mempunyai nilai fonetis, dalam arti mencerminkan
lafal setempat dan sezaman, tetapi tidak dapat ditentukan ciri yang mana,
sehingga mentranskripsikan semua ciri khas ejaan Jawi akan menghasilkan
lebih banyak “lafal” yang salah daripada yang benar; c) yang lumrah dalam
tulisan Jawi harus juga lumrah dalam transkripsi Latin; kalau kata saat
ditulis dengan semestinya dalam Jawi, yaitu dengan huruf ‘ain, maka harus
ditulis dengan semestinya juga dalam transkripsi Latin, yaitu <saat>, tanpa
apostrof; baru kalau kata itu ditulis salah, misalnya tanpa huruf ‘ain, maka
hal itu patut dicatat dalam transkripsi, baik dalam ejaannya ataupun dalam
catatan kaki11.
Namun, dalam hal transkripsi sebuah teks Melayu lama ke dalam
tulisan Latin, perlu dibedakan antara kata-kata Melayu dan kata-kata asing.
Dalam sebuah teks dari abad ke-19, semua kata yang sudah dikutip di atas
(mis. dakwa, doa, rakyat, saat, dll.) boleh dipastikan sudah menjadi kata
Melayu, dalam arti oleh orang Melayu dianggap Melayu, bukan asing.
Tetapi kalau membaca syair-syair Hamzah Fansuri dari masa sekitar tahun
1500 kita sukar memastikan apa pun. Dalam syair itu, sebagai contoh,
dipakai sejumlah kata asal Arab seperti alam, awal, hakikat, haram,
hasil, misal, taufan, yang oleh editornya (Drewes & Brakel 1986) dieja
(meskipun tidak selalu) <‘ālam>, <awwal>, <ḥaqīqat>, <ḥarām>, <ḥāṣil>,
<mithāl> dan <ṭawfān>. Ejaan ini jelas menunjukkan bahwa kata­kata
tersebut adalah kata asing, bukan Melayu, padahal belum tentu demikian
halnya. Kemungkinan besar, pada waktu itu kata alam, awal, hasil dll.
sudah lama masuk bahasa Melayu.
Maka dengan menggunakan sebuah jenis transkripsi ala Arab itu,
kedua pakar Belanda, G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel, menyampaikan
kesan yang salah. Maksud mereka dalam hal itu sebenarnya tidak jelas,

11 Alasan-alasan ini dijelaskan secara lebih lengkap dalam Chambert-Loir 2009a:


307-316 dan 2009d.
248 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

tetapi hasilnya menyesatkan dan oleh karena itu, transkripsi tersebut patut
dianggap salah.12
Namun demikian, dalam banyak transkripsi dari tulisan Jawi, apa
pun kekunoan – atau justru kebaruan – teks Melayu yang bersangkutan,
kita menemukan contoh-contoh ejaan seperti <ra’yat>, <do’a>, <da’wa>,
<sa’at>. Apa alasannya? Dalam sebuah edisi yang dikerjakan oleh E.U.
Kratz dan Adrietty Amir (2002) kita mendapat keterangan sebagai berikut:
“Saya13 juga mengekalkan penggunaan angka ‘2’ sebagai penanda kata
ulang atau kata ganda, bunyi ‘ain dan juga hamzah untuk memastikan
teks ini ditransliterasi sedekat mungkin dengan naskah asal dalam tulisan
Jawi.” (hlm. 18) Oleh karena itu, dalam teks tersebut kata-kata seperti
dakwa, syariat dan yakni ternyata dieja <syari‘at>, <da‘wa> dan <ya‘ni>.14
Apostrof dipakai sebagai petunjuk bahwa sebuah ‘ain dipakai dalam kata
Jawinya. Padahal petunjuk itu sama sekali tidak perlu: kenapa pembaca
modern sebuah teks Melayu harus mengetahui ejaan sebuah kata dalam
bahasa Arab, apa perlunya, apa tujuannya? Lagipula, kalau betul-betul
ingin menyajikan sebuah transkripsi yang “sedekat mungkin dengan
naskhah asal dalam tulisan Jawi”, maka kenapa hanya tiga huruf saja
(‘ain, hamzah dan angka 2) yang ditransliterasikan, kenapa huruf tā’, ḥā’,
ṣād, ḍād, ṭā’, ẓā’, dan qāf tidak ditransliterasikan juga, kenapa tā’ marbūṭa
tidak dibedakan dari tā’ biasa, kenapa huruf hā’ dan tā’ yang terikat pada
huruf dāl, rā’ dan wā’ di akhir kata tidak ditandai, kenapa huruf vokal yang
tertulis tidak dibedakan dari yang tidak tertulis? Kalau dakwa dan yakni
mau ditulis <da‘wa> dan <ya‘ni>, kenapa hakikat dan hasil tidak ditulis
<ḥaqīqat> dan <ḥāṣil>?
Kalau seorang editor mau menyajikan sebuah “transliterasi se-

12 Kecaman ini sama sekali tidak mengurangi kekaguman saya pada kedua sarjana
tersebut. L.F. Brakel, meskipun meninggal dalam usia muda, menyumbangkan
kontribusi yang signiikan pada bidang kesusastraan Melayu lama, sedangkan
G.W.J. Drewes jelas salah satu igur terbesar dalam sejarah ilologi Nusantara.
13 Tidak jelas siapa, di antara kedua editor, memakai kata “saya” ini.
14 Hal ini sebenarnya jauh lebih sulit karena aturan ‘transliterasi’ ketiga tanda
tersebut (‘ain, hamzah dan angka 2) ternyata tidak diterapkan secara sistematis:
kata-kata yang tertulis dengan satu ‘ain atau satu hamzah dalam tulisan Arab
dan Jawi seperti misalnya (untuk huruf ‘ain) adil, ilmu, umur, iil, jemaah dan
maaf, serta (untuk huruf hamzah) yaitu [ya-’yt], seorang [s’w-r-ng], mereka
itu [mr-yk’ytw] dan kesempurnaan [ksmpr-na’-n], ternyata dieja <adil>,
<ilmu>, <umur>, <iil>, <jemaah>, <maaf> <iaitu>, <seorang>, <mereka itu>
dan <kesempurnaan>, yaitu tanpa tanda apa pun untuk melambangkan ‘ain
dan hamzah itu.
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 249

dekat mungkin” di atas, maka pilihan tiga huruf (‘ain, hamzah dan
angka 2) di samping sepuluh yang lain sama sekali arbitrer dan tidak
bermakna. Bagaimanapun juga, “transliterasi” yang setengah-setengah itu
berlandasan sebuah salah faham, karena tujuan dasar sebuah transkripsi
bukan mencerminkan atau mendeskripsikan ejaan asal (Jawi), melainkan
menyajikan teks yang bersangkutan dalam ejaan baru (Latin).
Dalam tulisan Jawi, sebuah hamzah sering digunakan untuk menandai
perjumpaan dua huruf vokal, misalnya kalau sebuah kata berakhiran -a
ditambah suiks -an, atau kalau awalan se- ditambah pada kata berawalan
huruf vokal. Ini boleh juga diuraikan oleh seorang editor dalam kata
pengantar atau dalam catatan kaki, tetapi apa gunanya mentranskripsikan
<ke’ada’an>? Gunanya tidak ada, tetapi efeknya ada, ialah menarik
perhatian pada kata tersebut, seolah-olah aneh, menyimpang, tidak baku.
Padahal justru bentuk itulah yang baku dalam tulisan Jawi. Akibatnya,
editor yang menyalin dalam tulisan Latin ciri-ciri yang khas Jawi dengan
tujuan mencerminkan tulisan Jawi itu dengan setia, justru mencapai hasil
yang sebaliknya.
Kata-kata Arab telah diserap ke dalam sejumlah besar bahasa
Nusantara. Dalam hal itu, kasus bahasa Jawa, dengan munculnya lafal
/ŋ/ dan huruf <ng>, adalah fenomena unik. Tetapi justru karena ekstrim,
kasus itu menegaskan bahwa kata-kata Arab tersebut selalu berubah dalam
proses menjadi Indonesia atau Nusantara. Dalam bahasa-bahasa Nusantara
yang pernah tertulis dalam huruf Arab (bahasa Melayu, Minangkabau,
Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Wolio, Bugis, Makassar, dll.) kata-kata
Arab tersebut kelihatan tidak mengalami perubahan karena (umumnya)
tetap ditulis sesuai ejaan aslinya. Tetapi ciri ejaan itu menyelubungi fakta
bahwa lafal kata­kata itu selalu lafal baru. Dalam tugas para ilolog untuk
mengalihkan tulisan tipe Arab (jawi, jawo, pegon, serang, dll.) ke tulisan
Latin, seperti juga dalam tugas para ahli linguistik untuk menentukan ejaan
bahasa Indonesia, kata-kata Indonesia-lah yang harus ditulis, bukan kata-
kata Arab. Sekalipun sebuah kata Nusantara (Melayu, Jawa, dll.) memberi
kesan – yang salah – tidak berbeda dengan kata asalnya dalam bahasa
Arab, namun kata Nusantara itulah yang patut dieja, bukan kata akarnya
dalam bahasa Arab. Sebagai contoh, kata-kata Indonesia seperti ilmu dan
maaf dapat saja kelihatan sama dengan kata akarnya dalam bahasa Arab
kalau dieja dengan sebuah apostrof (<‛ilmu>, <ma‛af>), tetapi justru kesan
itu salah oleh karena fonem yang ada di depan huruf ‘i’ dan ‘a’ masing-
masing, lain dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia.
Kesimpulannya, mengeja kata-kata seperti doa, saat, rakyat, dll.
dengan menggunakan sebuah apostrof berakibat menggarisbawahinya
sebagai kata-kata istimewa, yang tidak sepenuhnya kata-kata Indonesia
modern dan masih mempunyai sifat asing. Maka – di sinilah kita kembali
ke dimensi ideologi di atas – petunjuk yang diberikan kepada pembaca
adalah petunjuk etimologi (“kata ini kata asing”). Dan ini mempunyai
akibatnya sendiri karena nyaris semua kata yang diberi tanda demikian
adalah kata Arab. Dengan demikian sebuah unsur yang kelihatan begitu
sederhana seperti ejaan sebetulnya dapat mempunyai dampak besar karena
(dalam contoh di atas) menggarisbawahi kata-kata Arab dan hanya kata
Arab saja, sehingga dengan sendirinya menambah secara artiisial rona
Islam dari teks yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

Singkatan

BEFEO Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient


BKI Bijdragen van het Koninklijk Instituut
EFEO École française d’Extrême-Orient
ENI Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië
JMBRAS Journal of the Malayan/Malaysian Branch of the Royal
Asiatic Society
JSBRAS Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society
KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
KPG KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
MBRAS Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
OUP Oxford University Press
RIMA RIMA (Review of Indonesian and Malayan Affairs)
TBG Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap

Abdul Rahman Haji Ismail


1998 (Penyuntingan teks Sulalat al-Salatin), dalam Cheah Boon
Kheng (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur:
MBRAS.
Abdullah, Massir Q.
1982 Bo: Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima. Mataram:
Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat,
stensilan.
Abdullah bin Abdulkadir
1841 (ed.) Sejarah Melayu. Singapore: Thomas MacMicking.
1884 Sadjarah Malajoe of de Maleische Kronieken naar de uitgave van
Abdoellah bin Abdel-kader Moensji, H.C. Klinkert ed. Leiden:
Brill.
1953 Hikayat Abdullah, R.A. Datoek Besar & R. Roolvink eds. Jakarta:
Djambatan.
374 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

2005 “Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan”, dalam A. Sweeney (ed.),


Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, jilid 1, Jakarta:
KPG – EFEO.
Abidin, Andi Zainal
1971 “Notes on the lontara’ as historical sources”, Indonesia 12: 159-
172.
Ahmat b. Adam
1995 The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian
Consciousness (1855–1913). Ithaca: SEAP, Cornell University.
Alam, M.T.S. Lembang
1917-1920 Berbagai-bagai kepertjajan orang Meajoe ja’ni kepertjajaan
kepada orang haloes (hantoe, setan, jin dan lain-lain
sebangsanya). Batavia, 2 jil.
Alexandre de Paris
1994 Le Roman d’Alexandre, terjemahan L. Harf-Lancner. Paris (coll.
Livre de Poche).
Alian, T. Ibrahim dkk. (eds.)
1987 Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: Kumpulan
Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ali bin Ahmad
1979 Hikayat Inderaputera diusahakan oleh Enchè Ali bin Ahmad.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (cet. ke-8).
Alves, Jorge M. dos Santos
1991 Três Sultanatos Malaios do Estreito de Malaca nos séculos
XV e XVI (Samudera-Pasai, Aceh e Malaca/Johor). Estudo
Comparativo de História Social e Política , Disertasi, tidak terbit,
Lisboa.
2001 “Naniyar Kuniyappan: Un Tamoul, syahbandar de Samudera-Pasai
au début du XVIe siècle”, Archipel 62: 127-142.
Amin, Ahmad
1971 Sedjarah Bima: Sedjarah Pemerintahan dan Serba-serbi
Kebudayaan Bima. Bima, stensilan.
Andaya, Leonard Y.
1981 The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi
(Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Anderson, Benedict R.O’G.
2009 “Bahasa tanpa nama”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009,
hlm. 379-393.
Anderson, John
1826 Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Edinburgh –
London. (Reprint Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971.)
Daftar Pustaka 375

Archives
1974 Archives des manuscrits cham-Khao-luc nguyen cao Cham.
Phanrang.
Arrien
1984 Histoire d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh P.
Savinel. Paris: Minuit.
al-Attas, Syed Muhammad Naguib
1966 Rânîrî and the Wujûdiyyah in 17th Century Acheh. Kuala Lumpur:
MBRAS.
1988 The Oldest Known Malay Manuscript: A Sixteenth Century Malay
Translation of the ‘Aqâ’id of al-Nasai. Kuala Lumpur: University
of Malaya Press.
Azra, Azyumardi
1997 “A Hadrami religious scholar in Indonesia: Sayid Uthman”,
dalam Urika Freitag & William G. Clarence-Smith (eds.),
Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean,
1750s-1960s, Leiden: Brill.
Battistini, Olivier & Pascal Charvet (eds.)
2004 Alexandre le Grand: Histoire et Dictionnaire. Paris: Laffont (coll.
Bouquins).
Bausani, A.
1962 “Note sulla struttura della ‘Hikayat’ classica malese”, Annali
dell’Instituo Universitario Orientale de Napoli, n.s. XII: 153-192.
(Terjemahan Inggris oleh L. Brakel, “Notes on the structure of the
classical Malay hikayat”, Clayton: Monash University, 1979).
Behrend, T. E. & Titik Pujiastuti
1997 Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia – EFEO, 2 jil. (Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara, jilid 3-A & 3-B).
Berg, C.C.
1961 “Javanese historiography: a synopsis of its evolution”, dalam Hall
(ed.) 1961, hlm. 13-23.
1965 “The Javanese picture of the past”, dalam Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965, hlm. 87-118.
Berg, L.C.W. van den
1886 Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien, Batavia:
Imprimerie du Gouvernement. (Terjemahan Indonesia: Hadramaut
dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989).
Boisselier
1963 La Statuaire du Campa: Recherche sur les cultes et l’iconographie.
Paris: EFEO.
Bouman, M.A.
1925 “Toeharlanti: De Bimaneesche sultans verhefing”, Koloniaal
Tijdschrift, XIV (6): 710-717.
376 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Braam Morris, D.F. van


1891 “Nota van toelichting behoorende bij het contract gesloten met het
landschap Bima op den 20sten Oct. 1886”, TBG 34: 176-233.
Braginsky, V. I.
2004 The Heritage of Traditional Malay Literature: A historical survey
of genres, writings and literary views. Leiden: KITLV.
Akan terbit Dalam artikel “Sulalat al-Salatin sebagai Mitos Politik”,
merujuk pada Braginsky 2004.
Braginsky, V.I. & M.A. Boldyreva
1977 “Opisaniye malaysky rukopisey v sobranii leningradskogo
otdeleniya Instituta vostokovedeniya an SSSR”, dalam B.
Parnickel (ed.), Malaisko-indoneziiskie issledovaniya: Sbornik
statei pamyati akademika A.A. Gubera, Moskwa:Nauka, hlm. 131-
167. (Terjemahan Prancis, “Les manuscrits malais de Leningrad”,
Archipel 40, 1990: 153-178.)
Brakel, L.F.
1975 The Hikayat Muhammad Hanaiyyah: A medieval Muslim-Malay
romance. The Hague: Martinus Nijhoff.
1979 “On the origins of the Malay hikayat”, RIMA 13 (2): 2-21.
1980 “Dichtung und Wahrheit: Some notes on the development of the
study of Indonesian historiography”, Archipel 20: 35-44.
Broeze, F.J.A.
1979 “The merchant leet of Java (1820­1850)”, Archipel 18: 251-269.
Brown, C. C.
1952 “Sejarah Melayu or Malay Annals. A translation of Rafles M.
18 (in the Library of R.A.S. London)”, JMBRAS 25 (2-3): 1-276.
(Edisi baru, Sejarah Melayu or Malay Annals: An Annotated
Translation, Kuala Lumpur: OUP, 1970; cetak ulang, 1976).
Bukhari al-Jauhari
1999 Taju’ssalatin, Mahkota Raja-Raja (ed. Asdi S. Dipodjojo &
Endang Daruni Asdi). Yogyakarta: Lukman Offset.
Casparis, J.G. de
1975 Indonesian Palaeography, a History of Writing in Indonesia from
the Beginnings to c. A.D. 1500. Leiden – Köln: Brill (Handbuch
der Orientalistik, jil. 3.4.1).
1980 “Amat Majnun tombstone at Pengkalan Kempas”, JMBRAS, 53
(1): 1-22.
1998 “Some notes on ancient Bima”, Archipel 56 (L’horizon
nousantarien: mélanges en hommage à Denys Lombard), hlm.
465-468.
Cense, A.A.
1951 “Enige aantekeningen over Makassaars-Boeginese
geschiedschrijving”, BKI 107 (1): 42-60.
Daftar Pustaka 377

Chambert-Loir, Henri
1977a “Notes sur une épopée malaise: le Hikayat Dewa Mandu”, BEFEO
LXIV: 293-302.
1977b “A propos du Mahabharata malais”, BEFEO LXIV: 265-291.
1980a Hikayat Dewa Mandu. Epopée malaise. I. Texte et Présentation.
Paris: EFEO.
1980b “Les sources malaises de l’histoire de Bima”, Archipel 20: 269-
280.
1982 Syair Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO.
1983 “Sumber Melayu tentang sejarah Bima”, dalam Citra Masyarakat
Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
1984 “Muhammad Bakir: A Batavian scribe and author in the nineteenth
century”, RIMA 19: 44-72.
1985a Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Bandung:
Angkasa – EFEO.
1985b “Dato’ ri Bandang. Légendes de l’islamisation de la région de
Célèbes Sud”, Archipel 29: 137-163. (Terjemahan Indonesia:
“Dato’ ri Bandang. Legenda pengislaman daerah Sulawesi
Selatan”, dalam D. Perret dkk. (eds.), Hubungan Budaya dalam
Sejarah Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka – EFEO, 1998, hlm. 23-61.)
1987 “Sebuah hikayat Melayu dipentaskan”, dalam 10 Tahun Kerjasama
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan École
française d‘Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Puslit Arkenas, hlm.
73-85.
1988 “Notes sur les relations historiques et littéraires entre Campa et
Monde Malais”, dalam Actes du Séminaire sur le Campa organisé
à l’Université de Copenhague le 23 mai 1987, Paris: Centre
d’Histoire de Civilisations de la Péninsule Indochinoise, hlm. 95-
106.
1989a “Etat, cité, commerce: le cas de Bima”, Archipel 37: 83-105.
1989b “Naskah-naskah Melayu dari Pulau Sumbawa”, dalam Ismail
Hussein dkk. (eds.), Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, jil. II, hlm. 606-629.
1991 “Malay literature in the 19th century: the Fadli connection”,
dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation
and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A.
Teeuw, Leiden: KITLV Press, hlm. 87-114.
1992 “Sair Java-Bank di rampok: littérature malaise ou sino-malaise?”,
dalam Claudine Salmon (ed.), Le moment “sino-malais” de la
littérature indonésienne, Paris: Association Archipel, hlm. 43-70.
1994 “Some aspects of Islamic justice in the Sultanate of Pontianak c.
1880”, Indonesia Circle 63: 129-143.
1995 “Catatan hubungan sejarah dan sastera antara Campa dengan
378 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Dunia Melayu”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma


(eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, hlm. 217-234.
1999 “Sair Java-Bank di rampok: Sastra Melayu atau Melayu-
Tionghoa?”, dalam H. Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary
(eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys
Lombard, Jakarta: EFEO – Puslit Arkenas – Yayasan Obor
Indonesia, hlm. 335-364. (Edisi ke-2, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011.)
2000 “Mythes et archives: l’historiographie indonésienne vue de Bima”,
BEFEO 87 (1): 215-245.
2004 Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: KPG – EFEO.
2005 “The Sulalat al-Salatin as a political myth”, Indonesia 79: 131-
160.
2006a “Alexandre le Grand en Insulinde”, dalam H. Chambert-Loir
& Bruno Dagens (eds.), Anamorphoses: Hommage à Jacques
Dumarçay, Paris: Les Indes Savantes, hlm. 369-393.
2006b “Malay colophons”, Indonesia and the Malay World, vol. 34, No.
100, hlm. 363-381.
2007 “Hikayat Iskandar Zulkarnain di Dunia Melayu”, dalam Ahmad
Kamal Abdullah dkk. (eds.), Prosiding Seminar Kesusasteraan
Bandingan Antarabangsa, 7-9 Jun 2007, Kuala Lumpur, hlm. 94-
108.
2009a Sapirin bin Usman, Hikayat Nakhoda Asik; Muhammad Bakir,
Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak. Jakarta: Masup Jakarta –
EFEO.
2009b Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:
KPG – EFEO.
2009c “Aksara, huruf, lambang: Jenis-jenis tulisan dalam sejarah”, dalam
H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 309-338.
2009d “Transkripsi sebagai terjemahan”, dalam H. Chambert-Loir (ed.),
Sadur, 2009, hlm. 791-807.
2010 “Kolofon Melayu”, dalam Oman Fathurahman (ed.), Filologi
dan Islam Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama RI, Puslitbang
Lektur Keagamaan, hlm. 151-180.
2011a “Kolofon Melayu”, Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu,
3, 1, hlm. 99-119.
2011b “Sebuah sumber Prancis tentang masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda: Cerita perjalanan Augustin de Beaulieu”, dalam
Aprinus Salam dkk. (eds.), Jejak Sastra & Budaya: Prosiding
Seminar Internasional Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Siti
Chamamah Soeratno, Yogyakarta: Elmatera, hlm. 175-208.
2011c “Kisah petualangan sebuah huruf Arab di Indonesia”, dalam
Titik Pudjiastuti & Tommy Christomy (eds.), Teks, Naskah, dan
Daftar Pustaka 379

Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram,


Depok: Yayasan Pernaskahan Nusantara, hlm. 1-16.
2011d “Syair Sultan Fansuri”, dalam H. Chambert-Loir, Sultan,
Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama, Jakarta: KPG.
2011e “Tempayan Kalimantan menurut sebuah teks Melayu tahun 1839”,
dalam H. Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks
Indonesia Lama, Jakarta: KPG.
2013 “Daendels dan al-Ghazali: wawasan politik Abdullah al-Misri”,
dalam Jelani Harun & Ben Murtagh (eds.), Penghargaan kepada
Professor Emeritus V.I. Braginsky: Mengharungi Laut Sastera
Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 50-87.
Chambert-Loir, Henri & Siti Maryam Salahuddin
1999 Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO –
Yayasan Obor Indonesia. (Cetakan kedua, 2012).
Chambert-Loir, Henri, Suryadi, Oman Fatrurahman & H. Siti Maryam R.
Salahuddin
2009 Iman dan Diplomasi: Sultan Bima Abdul Hamid Muhammad Syah,
Jakarta: KPG – EFEO.
Cheah Boon Kheng
1998 “The rise and fall of the great Melakan empire: Moral judgement
in Tun Bambang’s Sejarah Melayu”, JMBRAS 71 (2): 104-121.
1998a (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur: MBRAS
(Reprint No 17).
Cohen, Marcel
1958 La grande invention de l’écriture et son évolution. Paris:
Klincksieck. Dicetak ulang dalam Marcel Cohen & Jérôme
Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris: Laffont, 2005
(coll. Bouquins).
Cohen, Marcel dkk. (eds.)
1963 Ecriture et psychologie des peuples. Paris: Armand Colin. Dicetak
ulang dalam Marcel Cohen et Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art
de l’écriture, Paris: Laffont, 2005 (coll. Bouquins).
Cohen, Matthew Isaac
2004 “Traditional and Popular Painting in Modern Java”, Archipel 69:
5-38.
Collet, Octave
1910 L’île de Java sous la domination française. Bruxelles: Falk Fils.
Collins, James T.
1998 Malay, World Language: A Short History (edisi kedua). Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Terjemahan Indonesia,
Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV-
Jakarta – Yayasan Obor Indonesia, 2005).
2008 Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: KPG – EFEO.
380 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Cowan, C.D. & O.W. Wolters (eds.)


1976 Southeast Asian History and Historiography: Essays Presented to
D.G.E. Hall. Ithaca: Cornell University Press.
Crawfurd, John
1820 History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the
Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce
of its Inhabitants. Edinburgh: Constable, 3 jilid.
Dain, Alphonse
1964 Les Manuscrits. Paris: Les Belles Lettres.
Dakers, C. H.
1939 “The Malay coins of Malacca”, JMBRAS 17 (1): 1-12, 2 hlm.
gambar.
Damais, L.-C.
1962-1963 “Bibliographie indonésienne. Compte rendu de Bahasa dan
Budaja”, BEFEO L (2), 1962, hlm. 417-518, jil. LI, no. 2, 1963,
hlm. 583-594, BEFEO LII (1), 1964, hlm. 204-240.
Déroche, François dkk.
2000 Manuel de codicologie des manuscrits en caractères arabes. Paris:
Bibliothèque Nationale de France.
2005 Islamic Codicology: An introduction to the study of manuscripts in
Arabic script. London: Al-Furqân Islamic Heritage Foundation.
Dipodjojo, Asdi
1981 Taju’ssalatin, Fasal 10-12. Yogyakarta: Lukman.
Douikar­Aerts, Faustina
2003 Alexander Magnus Arabicus: Zeven eeuwen Arabische
Alexandertraditie, van Pseudo-Callisthenes tot Sûrï. Disertasi,
Universitas Leiden, 2003.
Drewes, G.W.J.
1954 Een Javaanse Primbon uit de zestiende eeuw. Brill: Leiden.
1969 The Admonitions of Seh Bari. The Hague: Martinus Nijhoff.
1977 Directions for Travellers on the Mystic Path: Zakariyya al-Ansari’s
Kitab Fath al-Rahman and its Indonesian adaptations; with an
appendix on Palembang manuscripts and authors. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1978 An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus
Nijhoff.
1995 “Short notice on the story of Haji Mangsur of Banten”, Archipel
50: 119-122.
Drewes, G.W.J. & L.F. Brakel
1986 The Poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris.
Eco, Umberto
2001 Experiences in Translation. Toronto: Univ. of Toronto Press.
Daftar Pustaka 381

Effendy, Tenas
1989 “Sedikit catatan tentang ‘Syair Perang Siak’”, dalam D.J. Goudie,
Syair Perang Siak, Kuala Lumpur: MBRAS, hlm. 257-268.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie
1917-1939. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 8 jilid.
Endicott, K.M.
1970 An Analysis of Malay Magic. Singapore: OUP.
Eringa, F.S.
1984 Soendaas-Nederlands woordenboek. Dordrecht: Foris.
Eymeret, J.
1972 “Java sous Daendels, 1808-1811”, Archipel 4: 151-168.
Favre, Abbé P.
1875 Dictionnaire malais-français. Wina: Imprimerie Impériale.
Firdousi, Abou’lkasim
1877 Le Livre des Rois, Shah-Nameh, diterjemahkan oleh Jules Mohl.
Paris, jil. V.
Fox, J.J.
1971 “A Rotinese dynastic genealogy: structure and event”, dalam T.O.
Beidelman (ed.), The Translation of Culture: Essays to E.E. Evans-
Pritchard, London: Tavistock Publications, hlm. 37-77.
Francis, E.
1856 Herinneringen uit den levensloop van een Indisch ambtenaar van
1815 tot 1851. Batavia: Van Dorp.
Gaillard, Marina
2005 Alexandre le Grand en Iran: Le Dârân Nameh d’Abu Tâher
Tarsusi. Paris: De Boccard.
Gallop, Annabel Teh
1994 The Legacy of the Malay Letter. Warisan Warkah Melayu. London:
British Library.
2002 Malay Seal Inscriptions: a study in Islamic epigraphy from
Southeast Asia. PhD thesis, School of Oriental and African
Studies, University of London.
2003 “Malay documents in the Melaka Records”, Paper presented at the
3rd International Convention of Asia Scholars, Singapore, 19-22
August 2003.
Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps
1991 Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas:
Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.
Gonda, J.
1952 Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian
Culture.
Graaf, H.J. de
1949 Geschiedenis van Indonesië. ’s-Gravenhage – Bandung: Van
Hoeve.
382 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Guillot, Claude
2004 “La Perse et le Monde malais. Echanges commerciaux et
intellectuels”, Archipel 68: 159-192.
Guillot, Claude & Ludvik Kalus
2000 “La stèle funéraire de Hamzah Fansuri”, Archipel 60: 3-24.
(Terjemahan Indonesia, “Batu nisan Hamzah Fansuri”, dalam C.
Guillot & L. Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta:
KPG, 2008, hlm. 71-93.
Hadi, Amirul
2004 Islam and State in Sumatra: A study of seventeenth-century Aceh.
Leiden: Brill.
Hall, D.G.E. (ed.)
1961 Historians of South East Asia. London: School of Oriental and
African Studies, University of London.
Hamer, C. den
1890 “De sair Madi Kentjana”, TBG 33: 531-563.
Hanitsch, R.
1903 “On a collection of coins from Malacca”, JMBRAS 39: 183-202, 2
hlm. gambar.
1905 “On a second collection of coins from Malacca”, JMBRAS 44:
213-16, 1 hlm. gambar.
Hashim Musa
2003 Epigrai Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (ed. pertama, 1997).
Hellwig, Tineke
1986 “Njai Dasima, een vrouw uit de literatuur”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 48-66.
Hikayat Hang Tuah
1978 [Transkripsi sebuah naskah milik Perpustakaan Nasional di
Jakarta, tertanda “oleh: Bot Genoot Schap”]. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Sastra Indonesia dan Daerah, 2 jilid.
Hikayat Inderaputera
1968 Hikayat Inderaputera (ed. Enche’ Ali bin Ahmad). Kuala Lumpur:
Dewa Bahasa dan Pustaka.
Hitchcock, Michael
1984 “Is this evidence for the lost kingdoms of Tambora?”, Indonesia
Circle 33: 30-35.
Ho, Engseng
2002 “Before parochialization: Diasporic Arabs cast in creole waters”,
dalam H. de Jonge & N. Kaptein (eds.), Transcending Borders:
Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia, Leiden: KITLV,
hlm. 11-35.
Daftar Pustaka 383

Hoed, Benny Hoedoro


2006 Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hoëvell, W.R. van
1845 “Eenige mededeelingen omtrent het eiland Bali van Abdullah bin
Mohamad el-Mazrie”, Tijdschrift voor Neêrlandsch-Indië, VII-2:
139-201.
Hollander, J.J. de
1873 “Berichten van eenen Malaier over Siam en de Siameezen”, BKI
20: 229-230.
Hooykaas, C.
1937 Over Maleise literatuur. Leiden: Brill. (Edisi kedua, 1947)
1951 Perintis Sastra. Groningen – Jakarta: J.B. Wolters.
Ikram, Achadiati dkk.
2001 Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta:
Masyarakat Pernaskahan Nusantara – Yayasan Obor Indonesia.
Iskandar, Teuku
1981 “Some manuscripts formerly belonging to Jakarta lending
libraries”, dalam N. Phillips & K. Anwar (eds.), Papers on
Indonesian Languages and Literatures, London: Indonesian
Etymological Project – Paris: Association Archipel, hlm. 145-152.
1995 Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei: Universiti
Brunei Darussalam.
1999 Catalogue of Malay, Minangkabau and South Sumatran
Manuscripts in the Netherlands. Leiden: Documentatiebureau
Islam-Christendom, 2 jil.
Jamilah Haji Ahmad (ed.)
1981 Hikayat Sempurna Jaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Jedamski, Doris
2009 “Terjemahan sastra dari bahasa-bahasa Eropa ke dalam bahasa
Melayu sampai tahun 1942”, dalam H. Chambert-Loir (ed.),
Sadur, 2009, hlm. 171-203.
Jelani Harun
2003 Pemikiran Adab Ketatanegaraan Kesultanan Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
2004 “Bustan al-Salatin, ‘The Garden of Kings’: A universal history
and adab work from seventeenth-century Aceh”, Indonesia and the
Malay World, vol. 32, No. 92: 21-52.
Jones, Russell
1975 “The date of School of Oriental and African Studies naskah dari
Sjair Perang Mengkasar”, Bulletin of the School of Oriental and
African Studies 38 (2): 418-420.
1979 “Ten Conversion Myths from Indonesia”, dalam N. Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, London.
384 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

1985 Hikayat Sultan Ibrahim ibn Adham. An edition of an anonymous


Malay text with translation and notes. Berkeley: University of
California.
1987 Hikayat Raja Pasai. Petaling Jaya: Fajar Bakti.
2007 Loan-Words in Indonesian and Malay. Leiden: KITLV.
Jong Boers, Bernice de
1995 “Mount Tambora in 1815: A volcanic eruption in Indonesia and its
aftermath”, Indonesia 60: 36-60.
Jordaan, R. E. & P. E. de Josselin de Jong,
1985 “Sickness as metaphor in Indonesian political myths”, BKI 141 (2):
253-274.
Josselin de Jong, J.P.B. de
1935 De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld. Leiden: J.
Ginsberg.
1977 “The Malay Archipelago as a ield of ethnological study”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Structural Anthropology in the
Netherlands, The Hague: Martinus Nijhoff, hlm. 166-182.
Josselin de Jong, P. E de
1961. “Who’s Who in the Malay Annals”, JMBRAS, 34 (2): 1-89.
1964 “The Character of the Malay Annals”, dalam Malayan and
Indonesian Studies, J. Bastin & R. Roolvink (eds.), Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 235-241.
1985 “Le roi en son royaume: mythes politiques de l’Indonésie
occidentale”, ASEMI XVI (1-4): 195-210.
1986 “Textual anthropology and history: The sick king”, dalam C.D.
Grijns & S.O. Robson (eds.), Cultural Contact and Textual
Interpretation, Dordrecht: Foris.
Junus, Umar
1984 Sejarah Melayu: Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Fajar
Bakti.
Jusuf, Jumsari (ed.)
1978 Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta:
Departement Pendidikan dan Kebudayaan.
Juynboll, H.H.
1899 Catalogus van de Maleische en Sundaneesche handschriften der
Leidsche Universiteits-bibliotheek. Leiden: Brill.
Kartodirdjo, Sartono
1973 Protest Movements in Rural Java. Singapore: OUP.
Kassim Ahmad (ed.)
1964 Hikayat Hang Tuah [transkripsi sebuah naskah milik Dewan
Bahasa dan Pustaka]. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
(Edisi ketiga, 1971).
2004 Hikayat Abdullah. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan.
Daftar Pustaka 385

Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat


1992 Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat, oleh Asma Ahmat.
Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Katalog Manuskrip Melayu di Perancis
1991 Katalog Manuskrip Melayu di Perancis, oleh Siti Mariani Omar.
Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Kathirithamby-Wells, J. & Muhammad Yusoff Hashim
1985 The Syair Mukomuko: some historical aspects of a nineteenth
century Sumatran chronicle. Kuala Lumpur: MBRAS.
Kern, H.
1948 “Uit de verslagen van Dr W. Kern, taalambtenaar op Borneo,
1938-1941”, TBG 82 (3-4): 538-47.
Kern, R.A.
1947 “Proeve van Boegineesche geschiedschrijving”, BKI 104: 1-31.
Khalid Hussain
1967 Hikayat Iskandar Zulkarnain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Koster, G. L.
1986 “The soothing works of the seducer and their dubious fruits:
interpreting the Syair Buah-Buahan”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 73-99.
1997 Roaming through Seductive Gardens: Readings in Malay
narrative. Leiden: KITLV.
Koster, G.L. & H.M.J. Maier
1982 “Variation within identity in the Syair Ken Tembuhan”, Indonesia
Circle 29: 3-17.
1986 “The Kerajaan at war: on the genre heroic-historical syair”, dalam
Tauik Abdullah (ed.), Papers of the Fourth Indonesian-Dutch
History Conference, Yogyakarta 24-29 July 1983. Part Two:
Literature and History. Yogyakarta, Gadjah Mada, hlm. 29-72.
Kratz, Ulrich
1977 “Running a library in Palembang in 1886 A.D.”, Indonesia Circle
14: 3-12.
1980 “A brief description of the ‘Malay’ manuscripts of the ‘Overbeck
Collection’ at the Museum Pusat, Jakarta”, JMBRAS 53 (1): 90-
106.
1989 “Hikayat Raja Pasai: A second manuscript”, JMBRAS 62 (1): 1-10.
2002 “Jawi spelling and orthography: A brief review”, Indonesia and the
Malay World, vol. 30, no. 86: 21-26.
Kratz, E.U. & Adrietty Amir
2002 Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Lacarrière, Jacques
2002 La Légende d’Alexandre. Paris: Gallimard (coll. Folio).
386 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Lafont, P.-B.
1977 Catalogue des manuscrits cam des bibliothèques françaises. Paris:
EFEO.
Lapian, A.B.
1987 “Bencana alam dan penulisan sejarah (Krakatau 1883 dan Cilegon
1888)”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987, hlm. 211­231.
Leeuwen, Pieter Johannes van
1937 De Maleische Alexanderroman. Meppel: Ten Brink.
Lemaire, Jacques
1989 Introduction à la codicologie. Louvain-la-Neuve: Université
Catholique.
Leyden, John.
1821 Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr
John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Rafles.
London: Longman. (Cetak ulang, Kuala Lumpur: MBRAS, 2001).
Liaw Yock Fang
1975 Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka
Nasional. (Cetakan ke-3, 1982).
1976 Undang-Undang Melaka: The laws of Melaka. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Ligtvoet, A.
1880 “Transcriptie van het dagboek der vorsten van Gowa en Tello met
vertaling en aanteekeningen”, BKI 28: 1-259.
Linden, A. van der
1937 De Europeaan in de Maleische Literatuur. Meppel.
Lombard, Denys
1967 Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). Paris:
EFEO.
1979 “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (première moitié du
XIXème siècle”, Archipel 18: 231-250.
1990 Le carrefour javanais. Essai d’histoire globale. Paris: EHESS.
Lombard-Salmon, Claudine
1972 “Société peranakan et utopie: deux romans sino-malais (1934-
1939)”, Archipel 3: 169-195.
Manguin, Pierre-Yves
1979 “L’Introduction de l’Islam au Campa”, BEFEO 61: 255-287.
Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia
1987 Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia: Satu
Katalog Ringkas. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Marihandono, Djoko
2005 Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan: Herman Willem Daendels
di Jawa, 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte.
Depok: Program Pascasarjana, FIPB, Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka 387

Marrison, G.E.
1955 “Persian inluences in Malay life”, JMBRAS 28 (1): 52-69.
1985 “The Chams and their literature”, JMBRAS 58 (2): 45-70.
Marsden, William
1811 History of Sumatra. London: Cox and Baylis (3rd revised edition).
(Edisi pertama, 1783. Cetakan ulang, OUP, 1966, 1975.)
Matheson Hooker, Virginia (ed.)
1991 Tuhfat al-Nais: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Matheson, Virginia & Barbara Watson Andaya
1982 The Precious Gift (Tuhfat al-Nais). Kuala Lumpur: OUP.
Matthes, B.F.
1856 “Verslag van een verblijf in de binnenlanden van celebes, van
24 April tot 24 October 1856”, dalam H. van den Brink, Dr.
Benjamin Frederick Matthes: zijn leven en arbeid in dienst van
het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam: Nederlandsch
Bijbelgenootschap, hlm. 178-188.
1875 Korte verslag aangaande alle mij in Eropa bekende
Makassaarsche en Boegineesche handschrijften. Amsterdam:
Nederlandsche Bijbelgenootschap.
McRoberts, R. W.
1984 “An Examination of the Fall of Malacca in 1511”, JMBRAS 57 (1):
26-39.
Mohamed Salleh Perang
1980 Reputations Live On: an early Malay autobiography (A. Sweeney
ed.). Berkeley, Cal.: University of California Press.
Mohd. Ghazali bin Haji Abbas & Che Selamah bt Che Musthafa

1988 Katalog Induk Koleksi Sastra Tionghoa Peranakan. Bangi:


Universiti Kebangsaan Malaysia (mimeogr.).
Molen, W. van der
2007 “The Syair of Minye Tujuh”, BKI 163 (2-3): 356-375. (Terjemahan
Indonesia: “Syair Minye Tujuh”, dalam Claude Guillot & Ludvik
Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: KPG – EFEO,
hlm. 37-63.)
Moussay, G.
1975 Akayet Deva Mano, traduit du Cam et annoté. Paris, EHESS,
disertasi, tidak terbit, 411 hlm. ketikan.
1976 “Pram Dit Pram Lak (La geste de Rama chez les Cam)”, dalam
Actes du XXIXe Congrès International des Orientalistes, Asie
du Sud-Est Continentale, Paris: Asiathèque, jil. II, hlm. 131-135.
(Terjemahan Indonesia, “Pram Dit Pram Lak: Cerita Rama dalam
Sastra Cam”, dalam Kerajaan Campa, Jakarta: Balai Pustaka,
1981, hlm. 187-195.
1995 “Akayet Inra Patra: Versi Campa daripada hikayat Melayu
388 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Indraputra”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma


(eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, hlm. 244-259.
Moy, Timothy J.
1975 “The ‘Sejarah Melayu’ tradition of power and political structure:
An assessment of relevant sections of the ‘Tuhfat al­Nais’”,
JMBRAS 48 (2).
Muhammad Haji Salleh
1997 Sulalat al-Salatin, ya’ni Perteturun Segala Raja-Raja Karangan
Tun Seri Lanang. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan – Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Muhammad Yusoff Hashim
1980 Syair Sultan Maulana: suatu penelitian kritis tentang hasil
pensejarahan Melayu tradisional. Kuala Lumpur: Universiti
Malaya.
1990 Kesultanan Melayu Melaka: Kajian beberapa aspek tentang
Melaka pada abad ke-15 dan abad ke-16 dalam sejarah Malaysia.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mu’jizah
2008 Surat Melayu Beriluminasi Raja Nusantara dan Pemerintah
Hindia Belanda Abad ke-18 – 19. Jakarta: KPG – EFEO – KITLV
– Pusat Bahasa.
Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati
1980 “Rona keislaman dalam Hikayat Indraputra”, Archipel 20: 133-
142.
1983 Hikayat Indraputra: A Malay romance. Dordrecht: Foris.
1994 Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati & H. Siti Maryam Salahuddin
1990-1992 Katalogus Naskah Melayu Bima. Bima: Yayasan Museum
Kebudayaan Samparaja, 2 jilid.
Mus, Paul
1928 “Études Indiennes et Indochinoises. I. L’inscription à Valmiki de
Prakaçadharma (Tra-Kiêu)”, BEFEO XXVIII: 147-152.
Mutiara, Putri Minerva
1993 Sejarah Melayu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Proyek
Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Nara Vija
1976 Akayet Inra Patra. Paris, disertasi, tidak terbit.
Netscher, E.
1850 “Verzameling van overleveringen van het rijk van Minangkabau
uit oorspronkelijk Maleisch vertaald”, Indisch Archief, 2de jrg,
deel III: 33-68.
Daftar Pustaka 389

Newbold, T. J.
1839 Political and Statistical Account of the British Settlements in the
Straits of Malacca. London: J. Murray. (Cetak ulang, OUP, 1971).
Noorduyn, J.
1955 Een achttiende-eeuwse kroniek van Wadjo: Buginese
historiograie. Den Haag: H.L. Smits.
1956 “De islamisering van Makassar”, BKI 112 (3): 247-266.
1961 “Some aspects of Macasar-Buginese historiography”, dalam Hall
1961, hlm. 29-36.
1965 “Origins of South Celebes historical writing”, dalam Soedjatmoko
dkk. 1965, hlm. 137-155.
1987a Bima en Sumbawa: Bijdragen tot de geschiedenis van de
sultanaten Bima en Sumbawa door A. Ligvoet en G.P. Rouffaer.
Dordrecht: Foris.
1987b “Makassar and the islamization of Bima”, BKI 143 (2-3): 312-342.
1991 “The manuscripts of the Makasarese chronicles of Goa and Talloq:
An evaluation”, BKI 147 (4): 454-484.
Nooteboom, C.
1950 “Enkele feiten uit de geschiedenis van Manggarai (West Flores)”,
dalam Bingkisan Budi: Een bundel opstellen aan Dr Philippus
Samuel van Ronkel... op zijn tachtigste verjaardag, Leyde:
Sijthoff, hlm. 207-214.
Oetomo, Dede
1987 “Serat Ang Dok: a Confucian treatise in Javanese”, Archipel 34:
181-197.
Ophuijsen, C.A. van
1901 Kitab Logat Melajoe. Woordenlijst voor de spelling der Maleische
taal. Batavia.
Overbeck, Hans
1934 “Malay animal and lower shaers”, JMBRAS 12 (2): 108-148.
Pelras, Christian
1975a “Guide Archipel II: la Province de Célèbes-Sud”, Archipel 10: 11-
50.
1975b “Introduction à la littérature bugis”, Archipel 10: 239-267.
1985 “Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South
Sulawesi”, Archipel 29: 107-135.
Pigeaud, Th.
1927 “Alexander, Sakender en Senapati”, Djawa 7: 321-361.
1967 Literature of Java. Catalogue raisonné of Javanese manuscripts in
The Netherlands, vol. I. Synopsis of Javanese Literature, 900-1900
A.D. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Pires, Tomé
1944 The Suma Oriental [1515], ed. Armando Cortesaõ. London:
Hakluyt Society, 2 jilid.
390 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Plutarque
1993 La vie d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh Robert
Flacelière & Émile Chambry. Paris: Autrement. (Edisi pertama,
Paris: Les Belles Lettres, 1975).
Po Dharma
1981 Complément au catalogue des manuscrits cam des bibliothèques
françaises. Paris: EFEO.
1982 “Note sur la littérature cam”, Shiroku 15: 43-67.
Po Dharma, G. Moussay & Abdul Karim
1997 Akayet Inra Patra. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia
– EFEO.
1998 Akayet Dowa Mano. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara
Malaysia – EFEO.
Proudfoot, Ian
1984 “Variation in a Malay Folk-Tale Tradition”, RIMA 18: 87-102.
1993 Early Malay Printed Books. A Provisional Account of Materials
Published in the Singapore-Malaysian Area up to 1920, Noting
Holdings in Major Public Collections. Kuala Lumpur: Academy of
Malay Studies and the Library University of Malaya.
2002 “From recital to sight-reading: the silencing of texts in Malaysia”,
Indonesia and the Malay World, vol. 30, no. 87: 117-144.
2003 “An expedition into the politics of Malay philology”, JMBRAS 76
(1): 1-53.
2006 Old Muslim calendars of Southeast Asia. Leiden – Boston: Brill
(Handbook of Oriental Studies / Handbuch der Orientalistik).
Pseudo-Callistènes
2004 Le Roman d’Alexandre: La vie et les hauts faits d’Alexandre de
Macédoine, diterjemahkan dan dikomentari oleh Gilles Bonnouré
dan Blandine Serret. Paris: Les Belles Lettres. (edisi pertama,
1992).
Radicchi, Anna
2009 “Tradisi tata bahasa Sanskerta di Jawa dan Bali”, dalam H.
Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 343-357.
Rahmah Bujang
1975 Sejarah Perkembangan Drama Bangsawan di Tanah Melayu dan
Singapura. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Tesis
MA, Universiti Malaya, 1972).
Ras, J. J.
1968 Hikayat Bandjar: A study in Malay historiography. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1973 “The Panji Romance and W.H. Rassers’ analysis of its theme”, BKI
129 (4): 412-457.
1991 “In memoriam Professor C.C. Berg, 10-2-1900 tot 25-6-1990”,
BKI 147 (1): 1-16.
Daftar Pustaka 391

Rassers, W.H.
1921 De Pandji-Roman. Antwerpen.
Reid, Anthony
1988-1993 Southeast Asia in the Age of Commerce, New Haven: Yale
University Press, 2 jil.
1999 Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Chiang Mai:
Silkworm Books.
Reid, Anthony & David Marr (eds.)
1979 Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Heinemann
Educational Books.
Renou, Louis & Jean Filliozat
1947 L’Inde classique. Paris: Payot, 2 jilid.
Rentse, Anker
1933 “Notes on Malay beliefs”, JMBRAS 11 (2): 245-251.
Ricklefs, M.C.
1976 “Javanese sources in the writing of modern Javanese history”,
dalam Cowan & Wolters (eds.) 1976, p. 332-344.
1981/2008. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Inggris: Palgrave
Macmillan. (Edisi ke-3, 2001; edisi ke-4, 2008).
1987 “Indonesian history and literature”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987,
hlm. 199-210.
1998 The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History,
Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu:
Asian Studies Association of Australia in association with Allen &
Unwin and University of Hawaii Press.
2006 Mystic Synthesis in Java. A History of Islamization from the
Fourteenth to Early Nineteenth Centuries. Norwalk (Conn.):
EastBridge.
Ricklefs, M.C. & P. Voorhoeve
1977 Indonesian Manuscripts in Great Britain. Oxford: OUP. (Edisi
baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – EFEO, 2014.)
Robson, Stuart & Singgih Wibisono
2002 Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus.
Rodinson, Maxime
2005 “Le monde arabe et l‘extension de l‘écriture arabe”, dalam Marcel
Cohen & Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris:
Laffont, 2005 (coll. Bouquins), hlm. 713-724. (Edisi pertama
dalam Marcel Cohen dkk. (eds.), L’écriture et la psychologie des
peuples, Paris: Armand Colin, 1963.)
Ronkel, Ph. S. van
1908 “Catalogus der Maleische handschriften van het KITLV”, BKI 60:
181-248.
1909 Catalogus der Maleische handschriften in het Museum van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia
– The Hague.
392 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

1918 “Daendels in de Maleische Literatuur”, Koloniaal Tijdschrift, VII:


858-875.
1921 Supplement-catalogus der Maleische en Minangkabausche
handschriften in de Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Leiden:
Brill.
Roolvink, R.
1967 “The Variant Versions of the Malay Annals”, BKI 123 (3): 301-
324. (Dicetak ulang dalam Brown, Sejarah Melayu or Malay
Annals).
1998 “Sejarah Melayu: Masalah versi-versi yang lain”, dalam Cheah
Boon Kheng (ed.), Sejarah Melayu: The Malay Annals, Kuala
Lumpur: MBRAS, hlm. 21-35.
Rosenthal, Franz
1968 A History of Muslim Historiography. Leiden: Brill. (2nd revised
ed.; 1st ed. 1952.)
Rosidi, Ajip
2000 (ed.) Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya, Termasuk
Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
2010 Bus, Bis, Bas. Jakarta: Pusataka Jaya.
Rubinstein, Raechelle
1996 “Colophons as a tool for mapping the literary history of Bali: Ida
Pedanda Made Sidemen – poet, author and scribe”, Archipel 52:
173-191.
Salmon, Claudine
1980 “La notion de “sino-malais” est-elle pertinente d’un point de vue
linguistique?”, Archipel 20: 177-186.
1981 Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional
Annotated Bibliography. Paris: Maison des Sciences de l’Homme.
1991 “The Han family of East Java. Entrepreneurship and politics (18th-
19th centuries)”, Archipel 41: 53-87.
Samad Ahmad, A.
1979 Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka. (Cetakan baru, 2000).
Samuel, Jérôme
2008 Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik
Peristilahan. Jakarta: KPG.
Sastrahadiprawira, R. Memed
1978 Pangeran Kornel. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah.
Savarimuthu, Arockiamary A.P.
1992 Ayat Majmuk dalam Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Daftar Pustaka 393

Shellabear, W. G. (ed.)
1896 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Jawi.
1898 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Latin. (Cetak ulang 1909, 1924; edisi baru, Singapore: Malayan
Publishing House, 1961; cetak ulang, Singapore: OUP, 1967;
Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1975, 1977, 1979, 1982).
1901 “The evolution of Malay spelling”, JSBRAS 36: 75-135.
Siegel, James
1979 Shadow and Sound: The Historical thought of a Sumatran people.
Chicago – London: The University of Chicago Press.
Singh, Saran
1986 The Encyclopaedia of the Coins of Malaysia, Singapore and
Brunei 1400-1967. Kuala Lumpur: Malaysia Numismatic Society.
(Edisi kedua, 1996).
Situmorang, T. D. & A. Teeuw (eds.)
1952 Sedjarah Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir
Munsji). Jakarta: Djambatan.
Skeat, W.W.
1900 Malay Magic. London: Macmillan.
Skinner, C.
1963 Sja’ir Perang Mengkasar; The rhymed chronicle of the Macassar
War by Entji’ Amin. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1978 “Transitional Malay literature: Part 1. Ahmad Rijaluddin and
Munshi Abdullah”, BKI 134 (4): 466-487.
1982 Ahmad Rijaluddin’s Hikayat Perintah Negeri Benggala. The
Hague: Martinus Nijhoff.
1985 The Battle for Junk Ceylon: the Syair Maulana; text, translation
and notes. Dordrecht: Foris.
Snouck Hurgronje, C.
1888 “Nog iets over de Salasila van Koetei”, BKI 37: 109-112.
Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965 An Introduction to Indonesian Historiography. Ithaca: Cornell
University Press.
Soeratno, Siti Chamamah
1991 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai
Pustaka.
1992 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Sutingan Teks. Jakarta: Balai
Pustaka.
Southgate, Minoo S.
1977 “Portrait of Alexander in Persian Alexander romances of the
Islamic Era”, Journal of the American Oriental Society, 97 (3):
278-284.
394 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Stutterheim, W.F.
1956 “An ancient Javanese Bhima cultus”, dalam W.F. Stutterheim,
Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhoff,
hlm. 105-143.
Sudewa Alex
1995 Dari Kartasura ke Surakarta. Jilid Pertama. Studi Kasus Serat
Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Sweeney, Amin
1967 “The Connection between the Hikayat Raja2 Pasai and the Sejarah
Melayu”, JMBRAS 40 (2): 94-105.
1980 (ed.), Reputations Live On: an early Malay autobiography.
Berkeley, Cal.: University of California Press.
1992 “Malay Sui poetics and European norms”, Journal of the
American Oriental Society, vol. 112, no. 1, Jan.-March 1992: 88-
102.
Talib, Yusof A.
1974 “Les Hadramis et le monde malais”, Archipel 7: 41-68.
Teeuw, A.
1959 “The History of the Malay Language: A Preliminary Survey”, BKI
115 (2): 138-156.
1961 A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia.
‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1964 “Hikayat Raja-Raja Pasai and Sejarah Melayu”, dalam J. Bastin &
R. Roolvink (eds.), Malayan and Indonesian Studies, Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 222-234.
1976 “Some remarks on the study of so-called historical texts in
Indonesian languages”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Proiles
of Malay Culture: Historiography, Religion and Politics,
Yogyakarta: Depdikbud, hlm. 3-26.
1984 “Indonesia as a ‘Field of Literary Study’. A case study:
genealogical narrative texts as an Indonesian literary genre”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Unity in Diversity: Indonesia as a
Field of Anthropological Study, Dordrecht: Foris, hlm. 38-59.
Teeuw, A. & R. Dumas, Muhammad Haji Salleh, R. Tol, M.J. van Yperen
2004 A Merry Senhor in the Malay World: Four Texts of the Syair
Sinyor Kosta. Leiden: KITLV.
Teeuw, A. & D.K. Wyatt
1970 Hikayat Patani: The Story of Patani. The Hague: Martinus Nijhoff,
2 jil.
al­Tha’âlibȋ, Aboû Mansoûr ‘Abd. Al­Malik ibn Mohammad ibn Ismâ’îl
1900 Histoire des rois des Perses: Texte arabe publié et traduit par H.
Zotenberg. Paris: Imprimerie Nationale.
Thomaz, Luis Filipe F. R.
1986 “La prise de Malacca par les Portugais vue par les Malais, d’après
le manuscrit Rafles 32 de la Royal Asiatic Society”, dalam C.
Daftar Pustaka 395

D. Grijns & S. O. Robson (eds.), Cultural Contact and Textual


Interpretation, Dordrecht: Foris, hlm. 158-177.
Toda, Dami L.
1999 Manggarai Mencari Pencerahan Historiograi. Ende: Nusa Indah.
Toer, Pramoedya Ananta
1963 “Realisme-sosialis dalam Sastra Indonesia”, prasaran di FSUI,
Djakarta, (Jakarta, stensil, 1980).
1982 Tempo Doeloe. Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Hasta
Mitra.
1985 Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
Tol, Roger
1990 Een haan in oorlog: Toloqna Arung Labuaja, een twintigste-eeuws
Buginees heldendicht. Dordrecht: Foris.
1996 “A separate empire: writings of South Sulawesi”, dalam Ann
Kumar & John McGlynn (eds.), Illuminations: the writing
traditions of Indonesia, Jakarta: The Lontar Foundation – New
York: Weatherhill, 1996, hlm. 213-230.
2001 “Master scribes: Husin bin Ismail, Abdullah bin Abdulkadir
Munsyi, their handwriting and the Hikayat Abdullah”, Archipel 61:
115-138.
Vikør, Lars S.
1988 Perfecting Spelling. Spelling discussions and reforms in
Indonesia and Malaysia, 1900-1972. Dordrecht: Foris.
(Terjemahan Indonesia: Penyempurnaan Ejaan: Pembahasan
dan Pembaharuan Ejaan di Indonesia dan Malaysia, 1900-1972,
Jakarta: Intermasa, 1990.)
Vlekke, B.
1965 Nusantara: A History of Indonesia. The Hague: W. van Hoeve (cet.
ke-5).
Voorhoeve, P.
1964 “A Malay scriptorium”, dalam J. Bastin & R. Roolvink (eds.),
Malayan and Indonesian Studies. Essays presented to Sir Richard
Winstedt. Oxford: Clarendon Press, hlm. 256-66.
1973 “Les manuscrits malais de la Bibliothèque Nationale de Paris”,
Archipel 6: 42-80.
Wake, C. H.
1983 “Melaka in the ifteenth century: Malay historical traditions and
the politics of Islamization,” dalam Sandhu, Kernial Sing & Paul
Wheatley (eds.), Melaka: The transformation of a Malay capital c.
1400-1980, Kuala Lumpur: OUP.
Watson, C.W.
1971 “Some preliminary remarks on the antecedents of modern
Indonesian literature”, BKI 127 (4): 417-433.
Wieringa, E.P.
1998 Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library
of Leiden University and other Collections in the Netherlands, jil.
I. Leiden: Leiden University Library.
Wilkinson, R.J.
1906 The Peninsular Malays, vol. 1. Malay Beliefs. London: Luzac.
Winstedt, Richard O.
1920 “The date of the Hikayat Indraputra”, JSBRAS 82: 145-146.
1922a “Hikayat Indraputra”, JSBRAS 85: 46-53.
1922b “Hikayat Putra Jaya Pati”, JSBRAS 85: 54-57.
1925 Shaman, Saiva and Sui: A Study of the Evolution of Malay Magic,
London: Constable.
1938a “The date, authorship, contents and some new manuscripts of the
Malay romance of Alexander the Great”, JMBRAS 16 (2): 1-23.
1938b “The date, author and identity of the original draft of the Malay
Annals”, JMBRAS 16 (2): 30-34.
1938c “The Malay Annals or Sejarah Melayu. The Earliest Recension
from MS. 18 of the Rafles Collection”, JMBRAS 16 (3): 1-225.
1940 “Corrigenda”, JMBRAS 18 (2): 154-155.
1958 A History of Classical Malay Literature. OUP. (Edisi baru, 1969,
1989).
Wolters, O. W.
1970 The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca: Cornell University
Press.
Worsley, Peter J.
1972 Babad Buleleng: A Balinese dynastic genealogy. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Zaini-Lajoubert, Monique
1987 Abdullah bin Muhammad al-Misri. Bandung: Angkasa-EFEO.
2008 Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri. Jakarta:
Komunitas Bambu-EFEO.
Zollinger, H.
1850 Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa en naar eenige
plaatsen op Celebes, Saleier en Floris gedurende de maanden Mei
tot December 1847. Batavia: Lange.

Anda mungkin juga menyukai