oleh
Henri Chambert-Loir
Huruf ‘ain ( )عadalah salah satu huruf dalam abjad Arab. Dalam abjad
Jawi, yaitu sistim tulisan naskah-naskah Melayu lama, huruf itu hanya
ditemukan dalam kata-kata serapan dari bahasa Arab. Lain dari huruf
hamzah misalnya, huruf ‘ain tidak pernah dipakai untuk menuliskan kata-
kata Nusantara asli1. Dalam transliterasi teks-teks Arab dan Jawi dalam
tulisan Latin, huruf tersebut dilambangkan dengan sebuah apostrof terbalik
(umumnya <‘>, tetapi juga <’>, <`> atau <c>). Dalam perkembangan lafal
dan ejaan (Latin) kosakata Indonesia modern, huruf tersebut diperlakukan
dengan berbagai cara.
Tujuan artikel ini ialah menguraikan berbagai cara itu, membahas
norma yang sekarang berlaku, dan menyimpulkan, dari segi ilologi,
bagaimana huruf ‘ain semestinya ditangani dalam transkripsi naskah-
naskah Melayu lama. Sambil lalu, akan ditunjukkan bahwa suatu pilihan
ilologis dapat saja mempunyai dimensi ideologi.
Artikel ini pertama kali terbit dalam: Titik Pudjiastuti & Tommy Christomy
(eds.), Teks, Naskah, dan Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof.
Achadiati Ikram, Depok: Yayasan Pernaskahan Nusantara, 2011, hlm. 1-16,
namun diterbitkan di sini dengan beberapa tambahan. Saya mengucapkan
terima kasih kepada Dr. Jérôme Samuel untuk komentarnya yang sangat
berguna atas konsep artikel ini.
1 Tentu saja dengan beberapa kekecualian, misalnya dalam naskah Syair
Sultan Fansuri yang disalin oleh H.N. van der Tuuk (Cod. Or. 3303 dalam
perpustakaan Universitas Leiden), kata-kata ta’ tahu tertulis (t‘ta-hw) dan
tegak tertulis (tg‘); lihat Chambert-Loir 2011d, baris 4/1a dan 7/4a. Dalam
sebuah teks lain yang ditulis di Kalimantan Barat tahun 1839, kata mau dua
kali ditulis (mŋw) dengan maksud melambangkan (m‘w). Ejaan yang sangat
aneh ini menarik karena kata tersebut pasti tidak diucapkan /mangau/, sehingga
jelas huruf <ng> di situ hanya melambangkan suatu hentakan glotal. (Lih.
Chambert-Loir 2011e, § 1 dan 35.)
234 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
2 Mungkin saja salah satu kata ini dapat diperdebatkan, kalau ditemukan dalam
suatu teks Jawa, entah sebagai kata Jawa atau sebagai kata asing (Melayu),
tetapi secara garis besar kenyataan ini tetap demikian.
3 Sumber utama yang dipakai tentang kosakata Jawa adalah kamus Jawa-Inggris
oleh S. Robson (2002) di samping beberapa sumber lain.
4 Perlu dicatat bahwa sebuah bentuk kata dengan huruf <ng> dapat saja
berdampingan dengan sebuah bentuk lain tanpa huruf <ng>; contohnya kata-
kata Jawa berikut: adat/ ngadat, akérat/ ngakérat, ibarat/ ngibarat.
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 235
Jadi, huruf ‘ain tidak pernah berubah menjadi <ng> di depan sebuah
konsonan. Kata-kata Arab seperti ba‘da, da‘wa, Ka‘ba, la‘na, ma‘lūm,
misalnya tidak terserap ke dalam bahasa Jawa dengan huruf <ng> melainkan
dengan huruf <k> seperti dalam bahasa Melayu, dan menghasilkan kata-
kata Jawa bakda, dakwa, Kabat, laknat, maklum.
Oleh karena dalam tulisan pegon (seperti dalam tulisan Jawi) huruf
‘ain dan <ng> hanya dibedakan oleh adanya tanda diakritis (tiga titik) di
atas badan huruf <>ع, maka dapat saja diandaikan bahwa huruf ‘ain dalam
katakata Arab salah dibaca /ŋ/ oleh orang Jawa. Tetapi boleh dipastikan
kiranya bahwa yang terjadi sebenarnya lain, ialah huruf ‘ain bukan salah
dibaca tetapi dilafalkan dengan suara yang lebih keras daripada semestinya.
Fenomena jenis ini hampir selalu terjadi di tingkat fonetik, bukan tulisan.5
Ternyata kecenderungan orang Jawa untuk melafalkan beberapa huruf
Arab dengan menambah suatu oklusi tercatat juga untuk huruf <kh> yang
diucapkan /k/, bukan /x/ (contohnya akir [akhir], Jimakir, Jumadilakir,
kusus [khusus], iklas [ikhlas]), juga untuk huruf <f> yang diucapkan /p/,
bukan /f/ (contohnya munapèk [munaik], pekih [ikih], wakap [wakaf],
atau juga huruf <ḥ> yang diucapkan /k/, bukan /h/ (contohnya kakèkat
[hakekat], Kasan [Hasan], Mukaram [Muharam], mikrab [mihrab], sekabat
[sahabat], takayul [takhayul].
Fenomena huruf ‘ain mengejawantah sebagi <ng> rupanya mulai
dengan awal-mulanya sistim tulisan pegon. Kita mengetahui tiga kitab
berbahasa Jawa yang paling telat dikarang pada akhir abad ke-16; ketiga-
tiganya diedit dan diterjemahkan oleh G.W.J. Drewes (1954, 1969, 1978).
Ketiga naskah yang bersangkutan tertulis dalam aksara Jawa. Tidak
mungkin diduga kenapa ketiga kitab ini beraksara Jawa, padahal huruf
pegon sudah digunakan sedini abad ke-16, setidaknya untuk terjemahan
teks Arab ke dalam bahasa Jawa (lih. misalnya Ricklefs 2006: 22). Kapan
ketiga teks tersebut dikarang pun tidak diketahui dengan pasti, tapi mereka
jelas termasuk contoh yang tertua dari teks tentang agama Islam yang
ditulis dalam bahasa Jawa, maka patut diselidiki bagaimana kejadian huruf
‘ain di dalamnya.
Dalam satu teks (An Early Javanese Code, Drewes 1978), dapat kita
lihat bahwa tidak satu pun huruf ‘ain menjadi <ng>. Kata-kata asal Arab
yang bersangkutan, sebanyak 13 saja, menghasilkan kata-kata Jawa di
5 Di sini pula terdapat kekecualian, misalnya kedua kata asal Belanda duit dan
pluit dilafalkan dalam bahasa Indonesia menurut ejaannya, bukan menurut
lafal Belanda.
236 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
mana umumnya huruf ‘ain hilang saja (alehi < ‘alaihi, amal < ‘amal, doa <
du‘ā’, elmu/ ilmi/ ilmu < ‘ilm, ibadat < ‘ibāda, mutabat < mutāba‘a, sareat
< sharī‘a, tekad <i‘tiqād, ujub < ‘ujb), tetapi beberapa kali diganti dengan
hamzah (bida’ah < bid‘a, jama’at < jamā‘a, ma’asiyat < ma‘ṣiya) atau h
(jumahat < jum‘a) (lih. Drewes 1978: 81-82).
Dalam teks kedua (Een Javaanse primbon, Drewes 1954), kata-kata
Arab yang diserap, sebanyak 37, memperlihatkan kecenderungan yang
berbeda: dalam 27 kasus huruf ‘ain hilang (abid < ‘ābid, alam < ‘ālam,
alamat < ‘alāmat, alim < ‘ālim, amal < ‘amal, arip < ‘ārif, Arpat < ‘Arafah,
arsi < ‘arsh, asar < ‘aṣr, Asura ‘āshūrā’, bidaah < bid‘ah, doa < do‘ā, jamaat
< jamā‘ah, jumaat < jum‘ah, élmu/ilmu < ‘ilm, ibadat < ‘ibādah, isa <
‘ishā’, kanaat < qanā‘ah, lanat < la‘nah, maripat < ma‘rifah, manfaat <
manfa‘ah, nimat < ni‘mah, rayat < ra‘yah, saat < sā‘ah, saréat/saréyat <
sharī‘ah, taat < ṭā‘ah, tabiin < tabi‘īn); dalam sepuluh kasus lain, huruf
‘ain menghasilkan suatu vokal tambahan (maana < ma‘nā, maaripat <
ma‘rifah, maasiyat < ma‘ṣiyah, paal < i‘l, raayat < ra‘yah, rakaat < rak‘ah,
sair < shi‘r , tamah < ṭam‘, ujub < ‘ujb, wara’i < wara‘); dalam satu kasus,
huruf ‘ain menghasilkan sebuah <k> (napék < nāi‘); dan akhirnya dalam
empat kasus, huruf ‘ain menghasilkan sebuah <ng> (ngalama < ‘alāmat,
donga/dunga < do‘ā, langanatullah < la‘natu ’llâh, mangaripat < ma‘rifah).
(Jumlah kata Jawa lebih besar dari jumlah kata Arab karena beberapa kata
Jawa mempunyai bentuk ganda, misalnya alamat/ngalamat, doa/donga,
rayat/raayat, dll.)
Dalam teks ketiga (The Admonitions of Seh Bari, Drewes 1969),
kata-kata Arab yang diserap, sejumlah 25, menghasilkan kata-kata Jawa
di mana huruf ‘ain cenderung (12 kali) menjadi <ng> (apengal < af‘āl,
ngalam < ‘ālam, ngalim < ‘ālim, ngarip < ‘ārif, ngaras < ‘arsh, ngasek <
‘ashiq, bidengah < bid‘a, ngelmu/ngilmu < ‘ilm, ngiski < ‘ishq, mangaripat
< ma‘rifa, mangasuk < ma‘shūq, sarengat < sharī‘a) – di antaranya tiga
kata mempunyai juga bentuk tanpa <ng>, yaitu bida‘ah, maripat, nekmat/
nikmat. Selain itu terdapat empat kata di mana huruf ‘ain hilang saja (tekad
< i‘tiqād, lanat < la‘na) atau diganti dengan <k> (maklum < ma‘lūm, makna
< ma‘nā). Sisanya delapan kata Arab yang ditulis seadanya karena tidak
menghasilkan padanan dalam bahasa Jawa (‘adam, ba‘da, ma‘a, ma‘dūm,
mumtani‘, mu‘tazila, ta‘ala, ya‘ni). (Lih. Drewes 1969: 121-122.)
Ketiga teks tersebut, karena dibahas dalam urutan di atas, memberi
kesan adanya suatu perkembangan mengenai kejadian huruf ‘ain, yaitu
mulai dengan kecenderungan hurufnya hilang saja menuju kecenderungan
‘ain menjadi <ng>. Namun sebenarnya kita tidak mempunyai bukti apa
pun tentang perkembangan tersebut, apalagi karena masa ketika ketiga
teks itu dikarang tidak diketahui.
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 237
6 Kamus yang digunakan di sini adalah kamus Sunda-Belanda oleh F.S. Eringa
(1984).
238 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
tulisan Latin masih relatif baru (diciptakan sekitar tahun 1900) dan diubah/
diperbaiki beberapa kali dengan tujuan yang tetap sama, yaitu agar semakin
sederhana dan semakin mencerminkan lafal.
Kosakata asal Arab merupakan suatu bidang tersendiri di mana bisa
saja satu kata mempunyai dua atau tiga ejaan yang berbeda sesuai dengan
konteks sosial pemakaiannya (mis. <Nadlatul>, <Nadhatul>, <Nadatul>;
<hadis>, <hadits>, <hadith>; <lohor>, <zuhur>; <salat>, <shalat>,
<sholat>). Dapat dimengerti juga bahwa para alim ulama, kalau sedang
membicarakan suatu topik keagamaan, cenderung menyimpang dari ejaan
baku demi menunjukkan asal Arab suatu kata serta makna religiusnya.
Bahkan di tengah masyarakat awam ejaan beberapa kata masih labil
(contohnya, Jumat sering ditulis, di atas agenda dan kalender misalnya,
<Jum’at> ataupun <Juma’at>).
Namun demikian, ejaan baku ada dan semakin baik ditaati oleh
masyarakat. Menurut ejaan baku itu, tidak boleh ada tanda apa pun kalau
‘ain telah hilang dalam lafal (<adil>, <akibat>, <umur>, bukan <’adil>,
<’akibat>, <’umur>) atau telah menjadi /ʔ/ (hentakan glotal) di antara
dua huruf vokal (<maaf>, <manfaat>, <saat>, bukan <ma’af>, <sa’at>,
<manfa’at>)7. Sebaliknya, harus ada huruf <k> kalau ‘ain dilafalkan /ʔ/
atau /k/ di depan sebuah huruf konsonan atau semikonsonan (contoh /ʔ/,
<dakwah>, <rakyat>; contoh /k/, <bakda>, <dakwa>, <iklan>, <nikmat>).
Huruf ‘ain sebagai huruf akhir sebuah kata Arab merupakan kasus
tersendiri karena tidak terdapat di depan huruf apa pun, baik vokal maupun
konsonan. Biarpun mengikuti sebuah vokal atau konsonan, ‘ain tersebut
selalu menghasilkan kata Melayu dengan huruf akhir <k> (mis. jamak,
sajak, syarak, jimak, simak, khusyuk, rujuk, tamak) dengan kiranya dua
kekecualian saja, yaitu kata jami (di samping <jamik>) dan mukenah.
Maka dapat kita lihat bahwa apa pun halnya, tanda apostrof tidak
diakui: apostrof tidak termasuk abjad Indonesia.
7 Kata ‘doa’ merupakan kasus istimewa karena dapat dilafalkan dengan atau
tanpa /ʔ/, namun tetap tidak semestinya ditulis dengan apostrof (harus ditulis
<doa>, bukan <do’a>).
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 239
bawah ini), namun pendapat orang yang bukan ahli bahasa tidak banyak
diperhatikan. Pendirian para ahli linguistiklah yang menentukan. Ini tidak
berarti bahwa pertimbangan ekonomi, politik atau ideologi tidak muncul
dalam perdebatan. Sebagai contoh pertimbangan ekonomi dapat disebut
kenyataan bahwa mengadopsi tanda-tanda langka (seperti misalnya tanda-
tanda <ŋ> dan <ñ> untuk mencatat bunyi yang dilambangkan dengan
<ng> dan <ny>) akan menimbulkan banyak kesulitan pada dunia pers dan
percetakan. Sebagai contoh pertimbangan politik dapat disebut kenyataan
bahwa dari tahun ke tahun, menyesuaikan ejaan Indonesia dengan ejaan
Malaysia pernah dianggap baik atau kurang baik. Dan sebagai contoh
pertimbangan ideologi dapat disebut kenyataan bahwa banyak orang
Indonesia menentang ejaan EYD karena terkesan sebagai kemenangan
Malaysia atas Indonesia, ataupun kenyataan bahwa berbagai komponen
masyarakat, yang sangat akrab dengan bahasa Arab dan dengan teks-teks
asas agama Islam, berkeinginan agar ejaan Indonesia mencerminkan ejaan
asli kata-kata serapan dari bahasa Arab.
Sepanjang proses yang telah menghasilkan ejaan yang berlaku
sekarang ini, tiga prinsip memainkan peran utama: 1) mencerminkan lafal;
2) menggunakan satu huruf untuk satu fonem; 3) menghindari tanda-tanda
diakritis.
Perkembangan ejaan Latin, sedikitnya secara simbolis, mulai tahun
1901 dengan terbitnya buku Kitab Logat Melajoe oleh Ch.A. van Ophuijsen,
yang segera dipergunakan dalam pendidikan dan administrasi8. Sistem
ejaan yang ditentukan oleh pegawai Belanda tersebut berdasarkan ketiga
prinsip di atas serta beberapa kebiasaan yang khas Belanda (mis. huruf
<j>, <nj>, <tj>, <oe>), dan merupakan sistem resmi sampai Proklamasi
Kemerdekaan. Di Malaya pada masa itu, sebuah kamus susunan R.J.
Wilkinson tahun 1904 boleh dilihat sebagai padanan buku Van Ophuijsen
itu (lih. Teeuw 1961: 34). Menurut Vikør (1988: 15), ejaan Van Ophuijsen
Kembali pada huruf ‘ain, Van Ophuijsen dalam kata pengantar pada
Kamoes-nya (tahun 1901) mengakui varian ejaan seperti misalnya <‘adat>
dan <adat>, <ma‘na> dan ma’na>, <ra‘jat> dan <ra’jat>, <sjara’> dan
<sara’>, namun dalam Kamoes itu sendiri, yang terekam hanyalah bentuk-
bentuk pertama (dengan <‘>). Huruf atau tanda <‘> itu mempunyai tempat
dalam abjad Indonesia, di antara <k> dan <l> (sesuai tempat huruf ‘ain
dalam abjad Arab). Lagipula Van Ophuijsen menentukan ejaan <ä> sebagai
transkripsi kombinasi hamzah-alif (<’a>) dalam sejumlah kata Arab seperti
<aläswad>, <Koerän>, <masaälah>.
Pada tahap selanjutnya, ejaan Soewandi menengarai suatu
kecenderungan untuk lebih mengasimilasi kata-kata asal Arab. Surat
keputusan tanggal 19 Maret 1947 (dikutip oleh Vikør 1988: 86)
mengandung fasal berikut: “28. Kata2 Arab (Pérsi dsb.) jang soedah
biasa di Indonésiakan, ditoelis menoeroet seboetan Indonésia, misalnja:
<gaib>, <pitrah>, <pitnah>, <adat>, <alim>, <ulama>, <pihak>, <pasal>,
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 243
10 Kata memper, yang kini hampir tidak dipakai lagi, berarti “hampir serupa,
mirip”.
244 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Dimensi Ideologi
Dimensi ideologi yang melekat pada ejaan kata-kata serapan dari bahasa
Arab telah beberapa kali disinyalir dalam uraian di atas. Pembaharuan ejaan
ternyata dilakukan dua kali, masing-masing oleh pemerintah Republik
(tahun 1947) dan oleh pemerintah Orde Baru (tahun 1972). Artinya, kedua
pemerintah RI pertama yang timbul setelah zaman kolonial merasa perlu
mewujudkan kekuasaannya dalam ejaan bahasa nasional. Bahkan ejaan
tahun 1947 dinamakan bukan saja “Ejaan Soewandi”, melainkan juga
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 245
dengan huruf “k” seperti “da’wah” menjadi “dakwah”. Tetapi bagaimana kata
“da’i” (orang yang berdakwah) ditulis, apakah menjadi “daki”?
Maklumlah panitia yang dahulu menyusun EYD didominasi oleh orang-orang
non-muslim, sehingga tidak memberi tempat yang cukup buat keperluan
penulisan kata-kata yang penting dalam agama Islam.
Sedangkan panglima pembakuan bahasa yang paling terkemuka, yaitu Anton
Moeliono mengganti istilah “akhiran” yang sudah memasyarakat bukan
dengan istilah bahasa asing, melainkan dengan “ujungan” yang niscaya berasal
dari kata dasar “ujung” (Santun Bahasa, 1984: 36 dst.) Apa alasannya? Jelas
istilah “ujungan” tidak digunakan dalam ilmu bahasa internasional. Tetapi
mengapa beliau menganggap perlu mengganti istilah “akhiran” yang sudah
memasyarakat dengan “ujungan” (yang dalam kesenian daerah menunjuk
kepada permainan saling memukul dengan rotan)? Apa urgénsinya? Apakah
hanya karena semangatnya hendak mengéliminir semaksimal mungkin
pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Indonésia seperti juga ketika menyusun
EYD beliau menghapuskan pemakaian tanda hamzah (‘) dalam kata-kata
yang berasal dari bahasa Arab sehingga “do’a” ditulis “doa”, “Jum’at” ditulis
“Jumat”, “Kurân” ditulis “Quran”? Mudah-mudahan semangat menggebu-gebu
itu bukan karena sebagai orang Katolik beliau hendak mengurangi pengaruh
Islam (melalui bahasa Arab) terhadap bahasa Indonésia yang mémang sangat
besar. Kata-kata dengan suara yang menggunakan apostrof yang berasal dari
bahasa Arab sebenarnya sudah menjadi kekayaan bahasa Indonésia yang
dengan mudah diucapkan oleh sebagian besar bangsa Indonésia, mengapa
harus dibuang melalui EYD? Mémang penghapusan diakritik itu dilakukan
oleh Éjaan Républik (Suwandi) tetapi dalam praktéknya orang masih menulis
“do’a”, “Jum’at”, “Qur’ân”, “da’i”, dan lain-lain. Baru dalam EYD prakték
penulisan diakritik dibuang sama sekali. Padahal seharusnya setelah Éjaan
Républik menghapuskannya namun dalam prakték ternyata orang masih
tetap mempertahankan penggunaan hamzah (‘) ketika menulis kata-kata dari
bahasa Arab seperti “do’a”, “da’i”, “Jum’at”, “Qur’an” dan lain-lain, EYD
seyogyanya memberikan tempat kepada kebutuhan demikian.
tetapi hasilnya menyesatkan dan oleh karena itu, transkripsi tersebut patut
dianggap salah.12
Namun demikian, dalam banyak transkripsi dari tulisan Jawi, apa
pun kekunoan – atau justru kebaruan – teks Melayu yang bersangkutan,
kita menemukan contoh-contoh ejaan seperti <ra’yat>, <do’a>, <da’wa>,
<sa’at>. Apa alasannya? Dalam sebuah edisi yang dikerjakan oleh E.U.
Kratz dan Adrietty Amir (2002) kita mendapat keterangan sebagai berikut:
“Saya13 juga mengekalkan penggunaan angka ‘2’ sebagai penanda kata
ulang atau kata ganda, bunyi ‘ain dan juga hamzah untuk memastikan
teks ini ditransliterasi sedekat mungkin dengan naskah asal dalam tulisan
Jawi.” (hlm. 18) Oleh karena itu, dalam teks tersebut kata-kata seperti
dakwa, syariat dan yakni ternyata dieja <syari‘at>, <da‘wa> dan <ya‘ni>.14
Apostrof dipakai sebagai petunjuk bahwa sebuah ‘ain dipakai dalam kata
Jawinya. Padahal petunjuk itu sama sekali tidak perlu: kenapa pembaca
modern sebuah teks Melayu harus mengetahui ejaan sebuah kata dalam
bahasa Arab, apa perlunya, apa tujuannya? Lagipula, kalau betul-betul
ingin menyajikan sebuah transkripsi yang “sedekat mungkin dengan
naskhah asal dalam tulisan Jawi”, maka kenapa hanya tiga huruf saja
(‘ain, hamzah dan angka 2) yang ditransliterasikan, kenapa huruf tā’, ḥā’,
ṣād, ḍād, ṭā’, ẓā’, dan qāf tidak ditransliterasikan juga, kenapa tā’ marbūṭa
tidak dibedakan dari tā’ biasa, kenapa huruf hā’ dan tā’ yang terikat pada
huruf dāl, rā’ dan wā’ di akhir kata tidak ditandai, kenapa huruf vokal yang
tertulis tidak dibedakan dari yang tidak tertulis? Kalau dakwa dan yakni
mau ditulis <da‘wa> dan <ya‘ni>, kenapa hakikat dan hasil tidak ditulis
<ḥaqīqat> dan <ḥāṣil>?
Kalau seorang editor mau menyajikan sebuah “transliterasi se-
12 Kecaman ini sama sekali tidak mengurangi kekaguman saya pada kedua sarjana
tersebut. L.F. Brakel, meskipun meninggal dalam usia muda, menyumbangkan
kontribusi yang signiikan pada bidang kesusastraan Melayu lama, sedangkan
G.W.J. Drewes jelas salah satu igur terbesar dalam sejarah ilologi Nusantara.
13 Tidak jelas siapa, di antara kedua editor, memakai kata “saya” ini.
14 Hal ini sebenarnya jauh lebih sulit karena aturan ‘transliterasi’ ketiga tanda
tersebut (‘ain, hamzah dan angka 2) ternyata tidak diterapkan secara sistematis:
kata-kata yang tertulis dengan satu ‘ain atau satu hamzah dalam tulisan Arab
dan Jawi seperti misalnya (untuk huruf ‘ain) adil, ilmu, umur, iil, jemaah dan
maaf, serta (untuk huruf hamzah) yaitu [ya-’yt], seorang [s’w-r-ng], mereka
itu [mr-yk’ytw] dan kesempurnaan [ksmpr-na’-n], ternyata dieja <adil>,
<ilmu>, <umur>, <iil>, <jemaah>, <maaf> <iaitu>, <seorang>, <mereka itu>
dan <kesempurnaan>, yaitu tanpa tanda apa pun untuk melambangkan ‘ain
dan hamzah itu.
Kisah Petualangan Sebuah Huruf Arab di Indonesia 249
dekat mungkin” di atas, maka pilihan tiga huruf (‘ain, hamzah dan
angka 2) di samping sepuluh yang lain sama sekali arbitrer dan tidak
bermakna. Bagaimanapun juga, “transliterasi” yang setengah-setengah itu
berlandasan sebuah salah faham, karena tujuan dasar sebuah transkripsi
bukan mencerminkan atau mendeskripsikan ejaan asal (Jawi), melainkan
menyajikan teks yang bersangkutan dalam ejaan baru (Latin).
Dalam tulisan Jawi, sebuah hamzah sering digunakan untuk menandai
perjumpaan dua huruf vokal, misalnya kalau sebuah kata berakhiran -a
ditambah suiks -an, atau kalau awalan se- ditambah pada kata berawalan
huruf vokal. Ini boleh juga diuraikan oleh seorang editor dalam kata
pengantar atau dalam catatan kaki, tetapi apa gunanya mentranskripsikan
<ke’ada’an>? Gunanya tidak ada, tetapi efeknya ada, ialah menarik
perhatian pada kata tersebut, seolah-olah aneh, menyimpang, tidak baku.
Padahal justru bentuk itulah yang baku dalam tulisan Jawi. Akibatnya,
editor yang menyalin dalam tulisan Latin ciri-ciri yang khas Jawi dengan
tujuan mencerminkan tulisan Jawi itu dengan setia, justru mencapai hasil
yang sebaliknya.
Kata-kata Arab telah diserap ke dalam sejumlah besar bahasa
Nusantara. Dalam hal itu, kasus bahasa Jawa, dengan munculnya lafal
/ŋ/ dan huruf <ng>, adalah fenomena unik. Tetapi justru karena ekstrim,
kasus itu menegaskan bahwa kata-kata Arab tersebut selalu berubah dalam
proses menjadi Indonesia atau Nusantara. Dalam bahasa-bahasa Nusantara
yang pernah tertulis dalam huruf Arab (bahasa Melayu, Minangkabau,
Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Wolio, Bugis, Makassar, dll.) kata-kata
Arab tersebut kelihatan tidak mengalami perubahan karena (umumnya)
tetap ditulis sesuai ejaan aslinya. Tetapi ciri ejaan itu menyelubungi fakta
bahwa lafal katakata itu selalu lafal baru. Dalam tugas para ilolog untuk
mengalihkan tulisan tipe Arab (jawi, jawo, pegon, serang, dll.) ke tulisan
Latin, seperti juga dalam tugas para ahli linguistik untuk menentukan ejaan
bahasa Indonesia, kata-kata Indonesia-lah yang harus ditulis, bukan kata-
kata Arab. Sekalipun sebuah kata Nusantara (Melayu, Jawa, dll.) memberi
kesan – yang salah – tidak berbeda dengan kata asalnya dalam bahasa
Arab, namun kata Nusantara itulah yang patut dieja, bukan kata akarnya
dalam bahasa Arab. Sebagai contoh, kata-kata Indonesia seperti ilmu dan
maaf dapat saja kelihatan sama dengan kata akarnya dalam bahasa Arab
kalau dieja dengan sebuah apostrof (<‛ilmu>, <ma‛af>), tetapi justru kesan
itu salah oleh karena fonem yang ada di depan huruf ‘i’ dan ‘a’ masing-
masing, lain dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia.
Kesimpulannya, mengeja kata-kata seperti doa, saat, rakyat, dll.
dengan menggunakan sebuah apostrof berakibat menggarisbawahinya
sebagai kata-kata istimewa, yang tidak sepenuhnya kata-kata Indonesia
modern dan masih mempunyai sifat asing. Maka – di sinilah kita kembali
ke dimensi ideologi di atas – petunjuk yang diberikan kepada pembaca
adalah petunjuk etimologi (“kata ini kata asing”). Dan ini mempunyai
akibatnya sendiri karena nyaris semua kata yang diberi tanda demikian
adalah kata Arab. Dengan demikian sebuah unsur yang kelihatan begitu
sederhana seperti ejaan sebetulnya dapat mempunyai dampak besar karena
(dalam contoh di atas) menggarisbawahi kata-kata Arab dan hanya kata
Arab saja, sehingga dengan sendirinya menambah secara artiisial rona
Islam dari teks yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Singkatan
Archives
1974 Archives des manuscrits cham-Khao-luc nguyen cao Cham.
Phanrang.
Arrien
1984 Histoire d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh P.
Savinel. Paris: Minuit.
al-Attas, Syed Muhammad Naguib
1966 Rânîrî and the Wujûdiyyah in 17th Century Acheh. Kuala Lumpur:
MBRAS.
1988 The Oldest Known Malay Manuscript: A Sixteenth Century Malay
Translation of the ‘Aqâ’id of al-Nasai. Kuala Lumpur: University
of Malaya Press.
Azra, Azyumardi
1997 “A Hadrami religious scholar in Indonesia: Sayid Uthman”,
dalam Urika Freitag & William G. Clarence-Smith (eds.),
Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean,
1750s-1960s, Leiden: Brill.
Battistini, Olivier & Pascal Charvet (eds.)
2004 Alexandre le Grand: Histoire et Dictionnaire. Paris: Laffont (coll.
Bouquins).
Bausani, A.
1962 “Note sulla struttura della ‘Hikayat’ classica malese”, Annali
dell’Instituo Universitario Orientale de Napoli, n.s. XII: 153-192.
(Terjemahan Inggris oleh L. Brakel, “Notes on the structure of the
classical Malay hikayat”, Clayton: Monash University, 1979).
Behrend, T. E. & Titik Pujiastuti
1997 Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia – EFEO, 2 jil. (Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara, jilid 3-A & 3-B).
Berg, C.C.
1961 “Javanese historiography: a synopsis of its evolution”, dalam Hall
(ed.) 1961, hlm. 13-23.
1965 “The Javanese picture of the past”, dalam Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965, hlm. 87-118.
Berg, L.C.W. van den
1886 Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien, Batavia:
Imprimerie du Gouvernement. (Terjemahan Indonesia: Hadramaut
dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989).
Boisselier
1963 La Statuaire du Campa: Recherche sur les cultes et l’iconographie.
Paris: EFEO.
Bouman, M.A.
1925 “Toeharlanti: De Bimaneesche sultans verhefing”, Koloniaal
Tijdschrift, XIV (6): 710-717.
376 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Chambert-Loir, Henri
1977a “Notes sur une épopée malaise: le Hikayat Dewa Mandu”, BEFEO
LXIV: 293-302.
1977b “A propos du Mahabharata malais”, BEFEO LXIV: 265-291.
1980a Hikayat Dewa Mandu. Epopée malaise. I. Texte et Présentation.
Paris: EFEO.
1980b “Les sources malaises de l’histoire de Bima”, Archipel 20: 269-
280.
1982 Syair Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO.
1983 “Sumber Melayu tentang sejarah Bima”, dalam Citra Masyarakat
Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
1984 “Muhammad Bakir: A Batavian scribe and author in the nineteenth
century”, RIMA 19: 44-72.
1985a Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Bandung:
Angkasa – EFEO.
1985b “Dato’ ri Bandang. Légendes de l’islamisation de la région de
Célèbes Sud”, Archipel 29: 137-163. (Terjemahan Indonesia:
“Dato’ ri Bandang. Legenda pengislaman daerah Sulawesi
Selatan”, dalam D. Perret dkk. (eds.), Hubungan Budaya dalam
Sejarah Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka – EFEO, 1998, hlm. 23-61.)
1987 “Sebuah hikayat Melayu dipentaskan”, dalam 10 Tahun Kerjasama
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan École
française d‘Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Puslit Arkenas, hlm.
73-85.
1988 “Notes sur les relations historiques et littéraires entre Campa et
Monde Malais”, dalam Actes du Séminaire sur le Campa organisé
à l’Université de Copenhague le 23 mai 1987, Paris: Centre
d’Histoire de Civilisations de la Péninsule Indochinoise, hlm. 95-
106.
1989a “Etat, cité, commerce: le cas de Bima”, Archipel 37: 83-105.
1989b “Naskah-naskah Melayu dari Pulau Sumbawa”, dalam Ismail
Hussein dkk. (eds.), Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, jil. II, hlm. 606-629.
1991 “Malay literature in the 19th century: the Fadli connection”,
dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation
and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A.
Teeuw, Leiden: KITLV Press, hlm. 87-114.
1992 “Sair Java-Bank di rampok: littérature malaise ou sino-malaise?”,
dalam Claudine Salmon (ed.), Le moment “sino-malais” de la
littérature indonésienne, Paris: Association Archipel, hlm. 43-70.
1994 “Some aspects of Islamic justice in the Sultanate of Pontianak c.
1880”, Indonesia Circle 63: 129-143.
1995 “Catatan hubungan sejarah dan sastera antara Campa dengan
378 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Effendy, Tenas
1989 “Sedikit catatan tentang ‘Syair Perang Siak’”, dalam D.J. Goudie,
Syair Perang Siak, Kuala Lumpur: MBRAS, hlm. 257-268.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie
1917-1939. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 8 jilid.
Endicott, K.M.
1970 An Analysis of Malay Magic. Singapore: OUP.
Eringa, F.S.
1984 Soendaas-Nederlands woordenboek. Dordrecht: Foris.
Eymeret, J.
1972 “Java sous Daendels, 1808-1811”, Archipel 4: 151-168.
Favre, Abbé P.
1875 Dictionnaire malais-français. Wina: Imprimerie Impériale.
Firdousi, Abou’lkasim
1877 Le Livre des Rois, Shah-Nameh, diterjemahkan oleh Jules Mohl.
Paris, jil. V.
Fox, J.J.
1971 “A Rotinese dynastic genealogy: structure and event”, dalam T.O.
Beidelman (ed.), The Translation of Culture: Essays to E.E. Evans-
Pritchard, London: Tavistock Publications, hlm. 37-77.
Francis, E.
1856 Herinneringen uit den levensloop van een Indisch ambtenaar van
1815 tot 1851. Batavia: Van Dorp.
Gaillard, Marina
2005 Alexandre le Grand en Iran: Le Dârân Nameh d’Abu Tâher
Tarsusi. Paris: De Boccard.
Gallop, Annabel Teh
1994 The Legacy of the Malay Letter. Warisan Warkah Melayu. London:
British Library.
2002 Malay Seal Inscriptions: a study in Islamic epigraphy from
Southeast Asia. PhD thesis, School of Oriental and African
Studies, University of London.
2003 “Malay documents in the Melaka Records”, Paper presented at the
3rd International Convention of Asia Scholars, Singapore, 19-22
August 2003.
Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps
1991 Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas:
Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.
Gonda, J.
1952 Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian
Culture.
Graaf, H.J. de
1949 Geschiedenis van Indonesië. ’s-Gravenhage – Bandung: Van
Hoeve.
382 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Guillot, Claude
2004 “La Perse et le Monde malais. Echanges commerciaux et
intellectuels”, Archipel 68: 159-192.
Guillot, Claude & Ludvik Kalus
2000 “La stèle funéraire de Hamzah Fansuri”, Archipel 60: 3-24.
(Terjemahan Indonesia, “Batu nisan Hamzah Fansuri”, dalam C.
Guillot & L. Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta:
KPG, 2008, hlm. 71-93.
Hadi, Amirul
2004 Islam and State in Sumatra: A study of seventeenth-century Aceh.
Leiden: Brill.
Hall, D.G.E. (ed.)
1961 Historians of South East Asia. London: School of Oriental and
African Studies, University of London.
Hamer, C. den
1890 “De sair Madi Kentjana”, TBG 33: 531-563.
Hanitsch, R.
1903 “On a collection of coins from Malacca”, JMBRAS 39: 183-202, 2
hlm. gambar.
1905 “On a second collection of coins from Malacca”, JMBRAS 44:
213-16, 1 hlm. gambar.
Hashim Musa
2003 Epigrai Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (ed. pertama, 1997).
Hellwig, Tineke
1986 “Njai Dasima, een vrouw uit de literatuur”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 48-66.
Hikayat Hang Tuah
1978 [Transkripsi sebuah naskah milik Perpustakaan Nasional di
Jakarta, tertanda “oleh: Bot Genoot Schap”]. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Sastra Indonesia dan Daerah, 2 jilid.
Hikayat Inderaputera
1968 Hikayat Inderaputera (ed. Enche’ Ali bin Ahmad). Kuala Lumpur:
Dewa Bahasa dan Pustaka.
Hitchcock, Michael
1984 “Is this evidence for the lost kingdoms of Tambora?”, Indonesia
Circle 33: 30-35.
Ho, Engseng
2002 “Before parochialization: Diasporic Arabs cast in creole waters”,
dalam H. de Jonge & N. Kaptein (eds.), Transcending Borders:
Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia, Leiden: KITLV,
hlm. 11-35.
Daftar Pustaka 383
Lafont, P.-B.
1977 Catalogue des manuscrits cam des bibliothèques françaises. Paris:
EFEO.
Lapian, A.B.
1987 “Bencana alam dan penulisan sejarah (Krakatau 1883 dan Cilegon
1888)”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987, hlm. 211231.
Leeuwen, Pieter Johannes van
1937 De Maleische Alexanderroman. Meppel: Ten Brink.
Lemaire, Jacques
1989 Introduction à la codicologie. Louvain-la-Neuve: Université
Catholique.
Leyden, John.
1821 Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr
John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Rafles.
London: Longman. (Cetak ulang, Kuala Lumpur: MBRAS, 2001).
Liaw Yock Fang
1975 Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka
Nasional. (Cetakan ke-3, 1982).
1976 Undang-Undang Melaka: The laws of Melaka. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Ligtvoet, A.
1880 “Transcriptie van het dagboek der vorsten van Gowa en Tello met
vertaling en aanteekeningen”, BKI 28: 1-259.
Linden, A. van der
1937 De Europeaan in de Maleische Literatuur. Meppel.
Lombard, Denys
1967 Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). Paris:
EFEO.
1979 “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (première moitié du
XIXème siècle”, Archipel 18: 231-250.
1990 Le carrefour javanais. Essai d’histoire globale. Paris: EHESS.
Lombard-Salmon, Claudine
1972 “Société peranakan et utopie: deux romans sino-malais (1934-
1939)”, Archipel 3: 169-195.
Manguin, Pierre-Yves
1979 “L’Introduction de l’Islam au Campa”, BEFEO 61: 255-287.
Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia
1987 Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia: Satu
Katalog Ringkas. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Marihandono, Djoko
2005 Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan: Herman Willem Daendels
di Jawa, 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte.
Depok: Program Pascasarjana, FIPB, Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka 387
Marrison, G.E.
1955 “Persian inluences in Malay life”, JMBRAS 28 (1): 52-69.
1985 “The Chams and their literature”, JMBRAS 58 (2): 45-70.
Marsden, William
1811 History of Sumatra. London: Cox and Baylis (3rd revised edition).
(Edisi pertama, 1783. Cetakan ulang, OUP, 1966, 1975.)
Matheson Hooker, Virginia (ed.)
1991 Tuhfat al-Nais: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Matheson, Virginia & Barbara Watson Andaya
1982 The Precious Gift (Tuhfat al-Nais). Kuala Lumpur: OUP.
Matthes, B.F.
1856 “Verslag van een verblijf in de binnenlanden van celebes, van
24 April tot 24 October 1856”, dalam H. van den Brink, Dr.
Benjamin Frederick Matthes: zijn leven en arbeid in dienst van
het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam: Nederlandsch
Bijbelgenootschap, hlm. 178-188.
1875 Korte verslag aangaande alle mij in Eropa bekende
Makassaarsche en Boegineesche handschrijften. Amsterdam:
Nederlandsche Bijbelgenootschap.
McRoberts, R. W.
1984 “An Examination of the Fall of Malacca in 1511”, JMBRAS 57 (1):
26-39.
Mohamed Salleh Perang
1980 Reputations Live On: an early Malay autobiography (A. Sweeney
ed.). Berkeley, Cal.: University of California Press.
Mohd. Ghazali bin Haji Abbas & Che Selamah bt Che Musthafa
Newbold, T. J.
1839 Political and Statistical Account of the British Settlements in the
Straits of Malacca. London: J. Murray. (Cetak ulang, OUP, 1971).
Noorduyn, J.
1955 Een achttiende-eeuwse kroniek van Wadjo: Buginese
historiograie. Den Haag: H.L. Smits.
1956 “De islamisering van Makassar”, BKI 112 (3): 247-266.
1961 “Some aspects of Macasar-Buginese historiography”, dalam Hall
1961, hlm. 29-36.
1965 “Origins of South Celebes historical writing”, dalam Soedjatmoko
dkk. 1965, hlm. 137-155.
1987a Bima en Sumbawa: Bijdragen tot de geschiedenis van de
sultanaten Bima en Sumbawa door A. Ligvoet en G.P. Rouffaer.
Dordrecht: Foris.
1987b “Makassar and the islamization of Bima”, BKI 143 (2-3): 312-342.
1991 “The manuscripts of the Makasarese chronicles of Goa and Talloq:
An evaluation”, BKI 147 (4): 454-484.
Nooteboom, C.
1950 “Enkele feiten uit de geschiedenis van Manggarai (West Flores)”,
dalam Bingkisan Budi: Een bundel opstellen aan Dr Philippus
Samuel van Ronkel... op zijn tachtigste verjaardag, Leyde:
Sijthoff, hlm. 207-214.
Oetomo, Dede
1987 “Serat Ang Dok: a Confucian treatise in Javanese”, Archipel 34:
181-197.
Ophuijsen, C.A. van
1901 Kitab Logat Melajoe. Woordenlijst voor de spelling der Maleische
taal. Batavia.
Overbeck, Hans
1934 “Malay animal and lower shaers”, JMBRAS 12 (2): 108-148.
Pelras, Christian
1975a “Guide Archipel II: la Province de Célèbes-Sud”, Archipel 10: 11-
50.
1975b “Introduction à la littérature bugis”, Archipel 10: 239-267.
1985 “Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South
Sulawesi”, Archipel 29: 107-135.
Pigeaud, Th.
1927 “Alexander, Sakender en Senapati”, Djawa 7: 321-361.
1967 Literature of Java. Catalogue raisonné of Javanese manuscripts in
The Netherlands, vol. I. Synopsis of Javanese Literature, 900-1900
A.D. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Pires, Tomé
1944 The Suma Oriental [1515], ed. Armando Cortesaõ. London:
Hakluyt Society, 2 jilid.
390 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Plutarque
1993 La vie d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh Robert
Flacelière & Émile Chambry. Paris: Autrement. (Edisi pertama,
Paris: Les Belles Lettres, 1975).
Po Dharma
1981 Complément au catalogue des manuscrits cam des bibliothèques
françaises. Paris: EFEO.
1982 “Note sur la littérature cam”, Shiroku 15: 43-67.
Po Dharma, G. Moussay & Abdul Karim
1997 Akayet Inra Patra. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia
– EFEO.
1998 Akayet Dowa Mano. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara
Malaysia – EFEO.
Proudfoot, Ian
1984 “Variation in a Malay Folk-Tale Tradition”, RIMA 18: 87-102.
1993 Early Malay Printed Books. A Provisional Account of Materials
Published in the Singapore-Malaysian Area up to 1920, Noting
Holdings in Major Public Collections. Kuala Lumpur: Academy of
Malay Studies and the Library University of Malaya.
2002 “From recital to sight-reading: the silencing of texts in Malaysia”,
Indonesia and the Malay World, vol. 30, no. 87: 117-144.
2003 “An expedition into the politics of Malay philology”, JMBRAS 76
(1): 1-53.
2006 Old Muslim calendars of Southeast Asia. Leiden – Boston: Brill
(Handbook of Oriental Studies / Handbuch der Orientalistik).
Pseudo-Callistènes
2004 Le Roman d’Alexandre: La vie et les hauts faits d’Alexandre de
Macédoine, diterjemahkan dan dikomentari oleh Gilles Bonnouré
dan Blandine Serret. Paris: Les Belles Lettres. (edisi pertama,
1992).
Radicchi, Anna
2009 “Tradisi tata bahasa Sanskerta di Jawa dan Bali”, dalam H.
Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 343-357.
Rahmah Bujang
1975 Sejarah Perkembangan Drama Bangsawan di Tanah Melayu dan
Singapura. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Tesis
MA, Universiti Malaya, 1972).
Ras, J. J.
1968 Hikayat Bandjar: A study in Malay historiography. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1973 “The Panji Romance and W.H. Rassers’ analysis of its theme”, BKI
129 (4): 412-457.
1991 “In memoriam Professor C.C. Berg, 10-2-1900 tot 25-6-1990”,
BKI 147 (1): 1-16.
Daftar Pustaka 391
Rassers, W.H.
1921 De Pandji-Roman. Antwerpen.
Reid, Anthony
1988-1993 Southeast Asia in the Age of Commerce, New Haven: Yale
University Press, 2 jil.
1999 Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Chiang Mai:
Silkworm Books.
Reid, Anthony & David Marr (eds.)
1979 Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Heinemann
Educational Books.
Renou, Louis & Jean Filliozat
1947 L’Inde classique. Paris: Payot, 2 jilid.
Rentse, Anker
1933 “Notes on Malay beliefs”, JMBRAS 11 (2): 245-251.
Ricklefs, M.C.
1976 “Javanese sources in the writing of modern Javanese history”,
dalam Cowan & Wolters (eds.) 1976, p. 332-344.
1981/2008. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Inggris: Palgrave
Macmillan. (Edisi ke-3, 2001; edisi ke-4, 2008).
1987 “Indonesian history and literature”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987,
hlm. 199-210.
1998 The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History,
Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu:
Asian Studies Association of Australia in association with Allen &
Unwin and University of Hawaii Press.
2006 Mystic Synthesis in Java. A History of Islamization from the
Fourteenth to Early Nineteenth Centuries. Norwalk (Conn.):
EastBridge.
Ricklefs, M.C. & P. Voorhoeve
1977 Indonesian Manuscripts in Great Britain. Oxford: OUP. (Edisi
baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – EFEO, 2014.)
Robson, Stuart & Singgih Wibisono
2002 Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus.
Rodinson, Maxime
2005 “Le monde arabe et l‘extension de l‘écriture arabe”, dalam Marcel
Cohen & Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris:
Laffont, 2005 (coll. Bouquins), hlm. 713-724. (Edisi pertama
dalam Marcel Cohen dkk. (eds.), L’écriture et la psychologie des
peuples, Paris: Armand Colin, 1963.)
Ronkel, Ph. S. van
1908 “Catalogus der Maleische handschriften van het KITLV”, BKI 60:
181-248.
1909 Catalogus der Maleische handschriften in het Museum van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia
– The Hague.
392 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Shellabear, W. G. (ed.)
1896 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Jawi.
1898 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Latin. (Cetak ulang 1909, 1924; edisi baru, Singapore: Malayan
Publishing House, 1961; cetak ulang, Singapore: OUP, 1967;
Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1975, 1977, 1979, 1982).
1901 “The evolution of Malay spelling”, JSBRAS 36: 75-135.
Siegel, James
1979 Shadow and Sound: The Historical thought of a Sumatran people.
Chicago – London: The University of Chicago Press.
Singh, Saran
1986 The Encyclopaedia of the Coins of Malaysia, Singapore and
Brunei 1400-1967. Kuala Lumpur: Malaysia Numismatic Society.
(Edisi kedua, 1996).
Situmorang, T. D. & A. Teeuw (eds.)
1952 Sedjarah Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir
Munsji). Jakarta: Djambatan.
Skeat, W.W.
1900 Malay Magic. London: Macmillan.
Skinner, C.
1963 Sja’ir Perang Mengkasar; The rhymed chronicle of the Macassar
War by Entji’ Amin. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1978 “Transitional Malay literature: Part 1. Ahmad Rijaluddin and
Munshi Abdullah”, BKI 134 (4): 466-487.
1982 Ahmad Rijaluddin’s Hikayat Perintah Negeri Benggala. The
Hague: Martinus Nijhoff.
1985 The Battle for Junk Ceylon: the Syair Maulana; text, translation
and notes. Dordrecht: Foris.
Snouck Hurgronje, C.
1888 “Nog iets over de Salasila van Koetei”, BKI 37: 109-112.
Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965 An Introduction to Indonesian Historiography. Ithaca: Cornell
University Press.
Soeratno, Siti Chamamah
1991 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai
Pustaka.
1992 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Sutingan Teks. Jakarta: Balai
Pustaka.
Southgate, Minoo S.
1977 “Portrait of Alexander in Persian Alexander romances of the
Islamic Era”, Journal of the American Oriental Society, 97 (3):
278-284.
394 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Stutterheim, W.F.
1956 “An ancient Javanese Bhima cultus”, dalam W.F. Stutterheim,
Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhoff,
hlm. 105-143.
Sudewa Alex
1995 Dari Kartasura ke Surakarta. Jilid Pertama. Studi Kasus Serat
Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Sweeney, Amin
1967 “The Connection between the Hikayat Raja2 Pasai and the Sejarah
Melayu”, JMBRAS 40 (2): 94-105.
1980 (ed.), Reputations Live On: an early Malay autobiography.
Berkeley, Cal.: University of California Press.
1992 “Malay Sui poetics and European norms”, Journal of the
American Oriental Society, vol. 112, no. 1, Jan.-March 1992: 88-
102.
Talib, Yusof A.
1974 “Les Hadramis et le monde malais”, Archipel 7: 41-68.
Teeuw, A.
1959 “The History of the Malay Language: A Preliminary Survey”, BKI
115 (2): 138-156.
1961 A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia.
‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1964 “Hikayat Raja-Raja Pasai and Sejarah Melayu”, dalam J. Bastin &
R. Roolvink (eds.), Malayan and Indonesian Studies, Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 222-234.
1976 “Some remarks on the study of so-called historical texts in
Indonesian languages”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Proiles
of Malay Culture: Historiography, Religion and Politics,
Yogyakarta: Depdikbud, hlm. 3-26.
1984 “Indonesia as a ‘Field of Literary Study’. A case study:
genealogical narrative texts as an Indonesian literary genre”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Unity in Diversity: Indonesia as a
Field of Anthropological Study, Dordrecht: Foris, hlm. 38-59.
Teeuw, A. & R. Dumas, Muhammad Haji Salleh, R. Tol, M.J. van Yperen
2004 A Merry Senhor in the Malay World: Four Texts of the Syair
Sinyor Kosta. Leiden: KITLV.
Teeuw, A. & D.K. Wyatt
1970 Hikayat Patani: The Story of Patani. The Hague: Martinus Nijhoff,
2 jil.
alTha’âlibȋ, Aboû Mansoûr ‘Abd. AlMalik ibn Mohammad ibn Ismâ’îl
1900 Histoire des rois des Perses: Texte arabe publié et traduit par H.
Zotenberg. Paris: Imprimerie Nationale.
Thomaz, Luis Filipe F. R.
1986 “La prise de Malacca par les Portugais vue par les Malais, d’après
le manuscrit Rafles 32 de la Royal Asiatic Society”, dalam C.
Daftar Pustaka 395