Guru Pembimbing:
Dra. Hj. KOESNAENI SETYOWATI, M.Pd
Disusun oleh Adhelia Putri Susanto
XII MIPA 1
SMAN 1 BEKASI
Jl. H. Agus Salim No.181, RT.010/RW.007, Bekasi Jaya,
Kec. Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat 1711
TAHUN PELAJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa
ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Dra. Hj. KOESNAENI
SETYOWATI, M.Pd sebagai guru pengampu mata pelajaran PPKN yang telah
membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan
kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
2
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 3
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………… 4
1.4 Tujuan Penulisan …………………………………………………. 5
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Bhinneka Tunggal Ika…………………………………….. 6
2.2 Penetapan Lambang Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa
Indonesia…………………………………………………………... 7
2.3 Hukum Dasar Bhinneka Tunggal Ika……………………………… 10
2.4 Penerapan Bhinneka Tunggal Ika…………………………………. 12
2.5 Implementasi Bhinneka Tunggal Ika dan Cita-cita Luhur Bangsa
Indonesia…………………………………………………………… 14
2.5.1 Perilaku inklusif……………………………………………… 16
2.5.2 Mengakomodasi sifat pluralisti……………………………… 16
2.5.3 Musyawarah untuk mufakat…………………………………. 17
2.5.4 Toleransi dalam perbedaan………………………………….. 17
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………… 18
3.2 Saran……………………………………………………………….. 18
DAFTAR PUSTAKA…………………………….……………………… 20
3
BAB I
PENDAHULUAN
Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan berbahasa Jawa kuno, terdiri dari dua
kata majemuk tunggal, yaitu Bhineka dan Ika serta tunggal dan ika. Secara harfiah
mempunyai arti Beda Itu Tunggal kemudian dimaknai dengan berbedabeda tapi tetap
satu jua. Semboyan ini pernah dipakai oleh pujanga kenamaan Nusantara Mpu
Tantular dalam bukunya Sutasoma. Buku ini ditulis pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk, Raja Majapahit pada pertengahan abad ke-14 dalam buku itu istilah ini
dipakai oleh Mpu Tantular untuk menyebutkan betapa rukunnya umat beragama pada
waktu itu.
Setelah menjadi Semboyan pada lambang negara Indonesia, maka kalimat itu
bukan saja mengambarkan kenyataan objektif dalam lapangan agama saja, tetapi
Bhineka Tunggal Ika mengambarkan berbagai kenyataan dan keberadaan bangsa
inndonesia yang pluralitas ini. Baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa, adat
istiadat tempat tingal dan sebagainya.
5
2. Bagaimana penetapan lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar bangsa
Indonesia?
3. Bagaimana penerapan Bhineka Tunggal Ika.?
4. Bagaimana Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur Bangsa
Indonesia?
6
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada
perbedaan dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan
masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik
Indonesia konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan
kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika
sebagai semboyan negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku,
bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang
menuju persatuan dan kesatuan Nusantara.
Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan
Ika berarti itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi padahal
7
kekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju
tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia.
Istilah "Bhinneka Tunggal Ika" pertama kali ditemukan dalam kakawin (sastra
Jawa Kuno) yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang penyair Jawa pada abad ke-14
Masehi. Kakawin tersebut berjudul "Sutasoma", yang merupakan salah satu dari
serangkaian cerita mengenai pangeran Sutasoma. Dalam konteks kakawin Sutasoma,
istilah "Bhinneka Tunggal Ika" menyoroti pesan tentang kerukunan dan toleransi
antaragama. Dalam cerita, Sutasoma dihadapkan pada tantangan dari seekor naga
yang berusaha memaksa Sutasoma untuk menjadi seorang penganut agama lain.
Namun, Sutasoma menolak dengan memegang teguh prinsip persatuan dalam
perbedaan.
2.2 Penetapan Lambang Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia
Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah
No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17
Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan yang terdapat
dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila”. Kata “bhinna ika”
kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang
8
kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat
dalam Lambang Negara dan tercantum dalam pasal 36A UUD 1945 yang
menyebutkan: ”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika”. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang
merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUD. Oleh karena itu untuk
dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna
Bhinneka Tunggal Ika perlu dipahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya
dipahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.
9
4. Pilar Pembangunan Masyarakat yang Toleran: Lambang "Bhinneka Tunggal
Ika" menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama dan suku
di Indonesia. Dengan menghormati perbedaan dan menerima keberagaman,
masyarakat Indonesia dapat hidup bersama secara damai dan harmonis.
10
menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat
yangdamai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
Pada tahun 1951, atau sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka
Tunggal Ika diungkapkan oleh mPu Tantular, pemerintah Indonesia menetapkannya
sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah
No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17
Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan yang terdapat
dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,”
kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”.
Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan
sebagai semboyan resmi terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal
36A UUD 1945, yang berbunyi : “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
11
Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, dalam lambang negara Amerika
Serikat, yang berbunyi “e pluribus unum,” sekitar empat abad setelah mPu Tantular
mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika
tersebut berasal dari pupuh 139, bait lima, kekawin Sutasoma yang lengkapnya
berbunyi sebagai berikut:
Sesanti yang merupakan karya mPu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan
bagi rakyat Majapahit dalam berdharma oleh bangsa Indonesia, setelah
memproklamasikan ke-merdekaannya, dijadikan semboyan, acuan dan pegangan
bangsa dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah atau
kata Bhinneka Tunggal Ika juga tidak tertera dalam UUD 1945 (asli), namun
esensinya terdapat di dalamnya. Untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam
hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara
benar untuk selanjutnya ditentukan bagaimana cara untuk mengimplementasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
12
2.4 Penerapan Bhinneka Tunggal Ika
13
berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya
moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat
hukum akibat korupsi. Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal
Ika-an yang syarat dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-
nilai budaya bangsasebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus
tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan
dan kesatuan bangsa ituakan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu
bertahan dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa
(union state) Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke
Bhinneka Tunggal Ika-an. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam kajian ini
agar terwujud dan terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme.
Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumidalam
pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial
mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada
diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu
model dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal
(kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan ke semua kelompok tersebut juga
memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian
seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas
bersamayang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan
asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih
diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau
daerah lebih rendah nilai dan keutamaannya dari pada identitas nasional, Sesuai
dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.
14
suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin
Kerjasama antarsemua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena
memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama
lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas
terhadap minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk
mewujudkan cita-cita luhur bersama. Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan
pada masa mendatang dari bangsa ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi,
kapitalisme yang menggurita, imperialis,orientalis, penyusupan paham-paham
menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan,
fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan,
menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadiaksi-aksi dengan hasil keadaan
yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-citaluhur.
2.5 Implementasi Bhinneka Tunggal Ika dan Cita-cita Luhur Bangsa Indonesia
15
kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai
acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan
adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Paham Bhinneka Tunggal
Ika,yang oleh Ir. Sujamto disebut sebagai paham Tantularisme, bukan paham
sinkretisme yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli
dengan unsur yang datang dari luar.
2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna
bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa
dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan
martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu
terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang
memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan
persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif.
Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan
kehendaknya pada golongan minoritas.
16
Setelah kita pahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal
Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka
Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
17
2.5.3 Musyawarah untuk mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan
pendekatan “musyawarah untuk mencapai mufakat”. Bukan pendapat sendiri
yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni
inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan
tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini
segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan. Tidak ada yang
menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win
solution.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dalam konteks konsep Bhinneka Tunggal Ika, ada beberapa saran yang dapat
diusulkan untuk memperkuat dan mewujudkan nilai-nilai keragaman dan kesatuan di
Indonesia:
19
Mendorong pengembangan kurikulum yang memasukkan pembelajaran tentang
keragaman budaya, agama, dan bahasa di Indonesia. Dukung pelatihan guru dan
pendidik untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya toleransi dan
penghormatan terhadap perbedaan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Sumber 1 Penulis
http://.ui.ac.id/systemfiles.users/turita,indah/publication/2009btisebagaipembentuk
ukbdj.pdf
Sumber 2 Penulis
http:research.amicom.ac.id/indeks.php/ST/article/viewfile/6829/4686http://download.
portalgaruda .org./article.php?article106635&val=22274&title
Sumber 3 Penulis
http://tikanayya.blogspot.com/2014/01 makalah-bhineka-tunggal-ika.html
Sumber 4 Penulis
http://www.pusat-definisi com/2012/11/bhineka-tunggal-ika-adalah html
Sumber 5 Penulis
https://www.academia.edu/37948606/MAKALAH_BHINEKA_TUNGGAL_IKA_K
ELOMPOK_8
21