Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH BHINNEKA TUNGGAL IKA

Guru Pembimbing:
Dra. Hj. KOESNAENI SETYOWATI, M.Pd
Disusun oleh Adhelia Putri Susanto

XII MIPA 1
SMAN 1 BEKASI
Jl. H. Agus Salim No.181, RT.010/RW.007, Bekasi Jaya,
Kec. Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat 1711
TAHUN PELAJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa
ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Dra. Hj. KOESNAENI
SETYOWATI, M.Pd sebagai guru pengampu mata pelajaran PPKN yang telah
membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan
kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bekasi, 28 Februari 2024

2
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii

BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 3
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………… 4
1.4 Tujuan Penulisan …………………………………………………. 5
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Bhinneka Tunggal Ika…………………………………….. 6
2.2 Penetapan Lambang Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa
Indonesia…………………………………………………………... 7
2.3 Hukum Dasar Bhinneka Tunggal Ika……………………………… 10
2.4 Penerapan Bhinneka Tunggal Ika…………………………………. 12
2.5 Implementasi Bhinneka Tunggal Ika dan Cita-cita Luhur Bangsa
Indonesia…………………………………………………………… 14
2.5.1 Perilaku inklusif……………………………………………… 16
2.5.2 Mengakomodasi sifat pluralisti……………………………… 16
2.5.3 Musyawarah untuk mufakat…………………………………. 17
2.5.4 Toleransi dalam perbedaan………………………………….. 17
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………… 18
3.2 Saran……………………………………………………………….. 18
DAFTAR PUSTAKA…………………………….……………………… 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan berbahasa Jawa kuno, terdiri dari dua
kata majemuk tunggal, yaitu Bhineka dan Ika serta tunggal dan ika. Secara harfiah
mempunyai arti Beda Itu Tunggal kemudian dimaknai dengan berbedabeda tapi tetap
satu jua. Semboyan ini pernah dipakai oleh pujanga kenamaan Nusantara Mpu
Tantular dalam bukunya Sutasoma. Buku ini ditulis pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk, Raja Majapahit pada pertengahan abad ke-14 dalam buku itu istilah ini
dipakai oleh Mpu Tantular untuk menyebutkan betapa rukunnya umat beragama pada
waktu itu.

Setelah menjadi Semboyan pada lambang negara Indonesia, maka kalimat itu
bukan saja mengambarkan kenyataan objektif dalam lapangan agama saja, tetapi
Bhineka Tunggal Ika mengambarkan berbagai kenyataan dan keberadaan bangsa
inndonesia yang pluralitas ini. Baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa, adat
istiadat tempat tingal dan sebagainya.

Indonesia merupakan negara kesatuan yang penuh dengan keanekaragaman, yang


terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan
kepercayaan, dan lain-lain. Namun Indonesia mampu mempersatukan berbagai
keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”,
yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
4
Sejarah kehidupan beragama di Indonesia menginginkan bahwa setiap umat
beragama mampu hidup secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan
secara paralel. Misalnya kebudayaan Kraton atau Kerajaan yang berdiri sejalan secara
paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam
konteks kekinian dapat dilihat bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat
berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan
berburu meramu yang hidup jauh terpencil.

Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam


bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika”, yang dapat dimaknai bahwa konteks
keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok
sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.

Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak peristiwa yang


menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok,
dalam berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan
berkebangsaan. Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah
pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan
pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat
dari kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang
berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya
moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat
hukum akibat korupsi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang kami jabarkan diatas, maka dapat diambil
beberapa rumusan masalah guna menunjang isi makalah ini, antara lain:
1. Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk
identitasBangsa Indonesia.

5
2. Bagaimana penetapan lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar bangsa
Indonesia?
3. Bagaimana penerapan Bhineka Tunggal Ika.?
4. Bagaimana Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur Bangsa
Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan berisi pernyataan-pernyataan penting yang berisi jawaban dari
rumusan masalah. Tujuan penulisan dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perjalanan sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai
bentukidentitas bangsa.
2. Untuk mengetahui lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar bangsa
Indonesia.
3. Untuk mengetahui penerapan Bhineka Tunggal Ika.
4. Untuk mengetahui Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur
BangsaIndonesia.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat


panjang, yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan
Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era
kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini
dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.

Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam


usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan
sehubungan usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara
Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan
pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan semangat
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada
perbedaan dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan
masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik
Indonesia konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan
kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika
sebagai semboyan negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku,
bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang
menuju persatuan dan kesatuan Nusantara.

Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan
Ika berarti itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi padahal

7
kekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju
tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia.

Istilah "Bhinneka Tunggal Ika" pertama kali ditemukan dalam kakawin (sastra
Jawa Kuno) yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang penyair Jawa pada abad ke-14
Masehi. Kakawin tersebut berjudul "Sutasoma", yang merupakan salah satu dari
serangkaian cerita mengenai pangeran Sutasoma. Dalam konteks kakawin Sutasoma,
istilah "Bhinneka Tunggal Ika" menyoroti pesan tentang kerukunan dan toleransi
antaragama. Dalam cerita, Sutasoma dihadapkan pada tantangan dari seekor naga
yang berusaha memaksa Sutasoma untuk menjadi seorang penganut agama lain.
Namun, Sutasoma menolak dengan memegang teguh prinsip persatuan dalam
perbedaan.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945, "Bhinneka Tunggal


Ika" dipilih sebagai motto nasional pada tahun 1950. Pemilihan motto ini untuk
mencerminkan semangat persatuan dalam keberagaman budaya, suku, agama, dan
bahasa di Indonesia. "Bhinneka Tunggal Ika" telah menjadi simbol penting dalam
memperkuat identitas nasional Indonesia. Mereka mengingatkan warga negara
Indonesia akan pentingnya menghormati dan menerima perbedaan serta memupuk
persatuan dalam keberagaman.

2.2 Penetapan Lambang Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia

Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah
No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17
Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan yang terdapat
dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila”. Kata “bhinna ika”
kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang
8
kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat
dalam Lambang Negara dan tercantum dalam pasal 36A UUD 1945 yang
menyebutkan: ”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika”. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang
merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUD. Oleh karena itu untuk
dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna
Bhinneka Tunggal Ika perlu dipahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya
dipahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.

Penetapan lambang "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai pilar bangsa Indonesia


mencerminkan nilai-nilai persatuan dalam keberagaman yang merupakan landasan
kuat bagi identitas dan kesatuan Indonesia. Berikut beberapa poin yang menjelaskan
mengapa lambang "Bhinneka Tunggal Ika" dianggap sebagai pilar bangsa Indonesia:

1. Simbol Persatuan dalam Keberagaman: Lambang "Bhinneka Tunggal Ika"


mewakili semangat persatuan dalam keberagaman. Hal ini mengingatkan masyarakat
Indonesia untuk menghargai dan merangkul perbedaan budaya, agama, suku, dan
bahasa sebagai kekayaan bangsa.

2. Menyatukan Identitas Nasional: "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi simbol yang


mempersatukan identitas nasional Indonesia di tengah-tengah keragaman etnis,
budaya, dan agama. Lambang ini menegaskan bahwa meskipun Indonesia terdiri dari
berbagai kelompok dan kepercayaan, mereka tetap satu dalam semangat persatuan.

3. Penghormatan terhadap Kearifan Lokal: Lambang "Bhinneka Tunggal Ika" juga


menunjukkan penghormatan terhadap kearifan lokal dan warisan budaya yang
beragam di seluruh nusantara. Ini menegaskan bahwa keberagaman budaya adalah
kekuatan, bukan kelemahan, dalam pembangunan bangsa.

9
4. Pilar Pembangunan Masyarakat yang Toleran: Lambang "Bhinneka Tunggal
Ika" menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama dan suku
di Indonesia. Dengan menghormati perbedaan dan menerima keberagaman,
masyarakat Indonesia dapat hidup bersama secara damai dan harmonis.

Dengan demikian, penetapan lambang "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai pilar


bangsa Indonesia menggambarkan komitmen negara untuk memperkokoh persatuan
dalam keberagaman sebagai landasan kuat bagi pembangunan bangsa yang maju dan
berkelanjutan.

Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan


terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian
deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat
terbuka yang terarah merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern.
Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah,
memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling
hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan
kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain.

Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah harus mampu


mengakomodasi masyarakat yang pluralistic dan multikutural, dengan tetap
berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan
perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya
perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan unsur
bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah harus dari
putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata untuk
memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal
ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan

10
menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat
yangdamai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

2.3 Hukum Dasar Bhinneka Tunggal Ika

Penemuan Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama


kali oleh mPu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk, di abad ke 14 (1350-1389). Penemuan Sesanti
tersebut terdapat dalam karyanya kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika
tunggal ika, tan hana dharma mangrwa” yang artinya “berbeda-beda itu, satu itu, tak
ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam
kehidupan dan pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya
keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu.
Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.

Pada tahun 1951, atau sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka
Tunggal Ika diungkapkan oleh mPu Tantular, pemerintah Indonesia menetapkannya
sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah
No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17
Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan yang terdapat
dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,”
kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”.

Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan
sebagai semboyan resmi terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal
36A UUD 1945, yang berbunyi : “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.

11
Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, dalam lambang negara Amerika
Serikat, yang berbunyi “e pluribus unum,” sekitar empat abad setelah mPu Tantular
mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika
tersebut berasal dari pupuh 139, bait lima, kekawin Sutasoma yang lengkapnya
berbunyi sebagai berikut:

Sesanti yang merupakan karya mPu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan
bagi rakyat Majapahit dalam berdharma oleh bangsa Indonesia, setelah
memproklamasikan ke-merdekaannya, dijadikan semboyan, acuan dan pegangan
bangsa dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah atau
kata Bhinneka Tunggal Ika juga tidak tertera dalam UUD 1945 (asli), namun
esensinya terdapat di dalamnya. Untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam
hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara
benar untuk selanjutnya ditentukan bagaimana cara untuk mengimplementasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

12
2.4 Penerapan Bhinneka Tunggal Ika

Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi yang berjiwa


persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan
nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat
dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam,
terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan,
agama,kepercayaan kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh
karena itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan
diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Implementasinya dalam kehidupan nasional adalah memahami kemajemukan sosial
dan budaya atau multikulturalisme sebagai dasar untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai
Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu,
kelompok masyarakat, dan bahkan secara nasional mencakup kehidupan politik,
ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat
yang jumlahnya besar (sekitar 230 juta jiwa) dan beragam,sehingga tercipta stabilitas
nasional yang kondusif untuk pembangunan Masyarakat sejahtera, adil-makmur dan
merata.

Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang


menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok,
dalam berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan
berkebangsaan. Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah
pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan
pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat
dari kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang

13
berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya
moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat
hukum akibat korupsi. Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal
Ika-an yang syarat dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-
nilai budaya bangsasebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus
tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan
dan kesatuan bangsa ituakan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu
bertahan dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa
(union state) Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke
Bhinneka Tunggal Ika-an. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam kajian ini
agar terwujud dan terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme.

Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumidalam
pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial
mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada
diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu
model dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal
(kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan ke semua kelompok tersebut juga
memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian
seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas
bersamayang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan
asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih
diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau
daerah lebih rendah nilai dan keutamaannya dari pada identitas nasional, Sesuai
dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.

Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah


kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan

14
suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin
Kerjasama antarsemua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena
memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama
lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas
terhadap minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk
mewujudkan cita-cita luhur bersama. Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan
pada masa mendatang dari bangsa ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi,
kapitalisme yang menggurita, imperialis,orientalis, penyusupan paham-paham
menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan,
fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan,
menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadiaksi-aksi dengan hasil keadaan
yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-citaluhur.

2.5 Implementasi Bhinneka Tunggal Ika dan Cita-cita Luhur Bangsa Indonesia

Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam
prinsip- prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keanekaragaman tidak terjadi


pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat
pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini
terdapat begitu anekaragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan
Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru.
Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di
Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui
dari setiap agama yang memiliki kesamaan, dan commondenominator ini yang

15
kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai
acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan
adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Paham Bhinneka Tunggal
Ika,yang oleh Ir. Sujamto disebut sebagai paham Tantularisme, bukan paham
sinkretisme yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli
dengan unsur yang datang dari luar.

2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna
bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa
dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan
martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu
terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang
memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan
persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif.
Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan
kehendaknya pada golongan minoritas.

3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan


perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya
mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun.
Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.

4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna


perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan,
tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan
terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif,
akomodatif, dan rukun.

16
Setelah kita pahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal
Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka
Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.5.1 Perilaku inklusif


Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok
masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari
masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam
kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok
yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan
bermakna bagi kehidupan bersama.

2.5.2 Mengakomodasi sifat pluralistic


Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang
dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku
bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang
tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain.
Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan
persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi
disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan
masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara
tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi
kelompok dari kehidupan bersama merupakan syarat bagi lestarinya negara-
bangsa Indonesia.

17
2.5.3 Musyawarah untuk mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan
pendekatan “musyawarah untuk mencapai mufakat”. Bukan pendapat sendiri
yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni
inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan
tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini
segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan. Tidak ada yang
menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win
solution.

2.5.4 Toleransi dalam perbedaan


Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi,
bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara
satu agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan
dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa saling
menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa
toleransi dalam diri setiap individu. Bila setiap warga negara memahami
makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi landasan
kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu
mengimplementasikan secara tepat dan benar. Negara Indonesia akan tetap
kokoh dan bersatu selamanya.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemahaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia dapat


wujud secara integral dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik oleh
pemerintah selaku penyelenggara negara maupun setiap insan pribadi warga.
Peningkatan sosialisasi aktualisasi pemahaman nilai-nilai keseharian seluruh
kompenen warga dalam rangka memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia
dengan keberagaman budaya, suku/etnik, bahasa, agama, kondisi geografis, dan strata
sosial yang berbeda. Indonesia dengan gambaran masyarakat majemuk yang terdiri
dari suku-suku bangsa yang berada di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional,
termasuk di dalamnya pemerintah yang menjalankan proses pembangunan
masyarakat harus bersinergis untuk bersama-sama dengan rakyat tanpa membedakan
keberagaman budaya, bahasa, agama, suku/etnik, dan bahkan strata sosial,
mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen bersama, berlandaskan nilai-
nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang termaktub dalam
Pancasila.

3.2 Saran

Dalam konteks konsep Bhinneka Tunggal Ika, ada beberapa saran yang dapat
diusulkan untuk memperkuat dan mewujudkan nilai-nilai keragaman dan kesatuan di
Indonesia:

1. Penguatan Pendidikan Multikultural:

19
Mendorong pengembangan kurikulum yang memasukkan pembelajaran tentang
keragaman budaya, agama, dan bahasa di Indonesia. Dukung pelatihan guru dan
pendidik untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya toleransi dan
penghormatan terhadap perbedaan.

2. Pengembangan Program Komunitas:

Mendukung inisiatif komunitas yang menggalang kerjasama lintas agama, suku,


dan budaya. Ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan acara-acara budaya bersama,
dialog antaragama, atau kegiatan sosial yang melibatkan berbagai kelompok
masyarakat.

3. Penguatan Kebijakan Publik:

Mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan yang


mempromosikan inklusivitas, kesetaraan, dan perlindungan hak-hak minoritas. Ini
termasuk kebijakan yang mendukung partisipasi politik dan ekonomi yang adil bagi
semua kelompok masyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Sumber 1 Penulis
http://.ui.ac.id/systemfiles.users/turita,indah/publication/2009btisebagaipembentuk
ukbdj.pdf

Sumber 2 Penulis
http:research.amicom.ac.id/indeks.php/ST/article/viewfile/6829/4686http://download.
portalgaruda .org./article.php?article106635&val=22274&title

Sumber 3 Penulis
http://tikanayya.blogspot.com/2014/01 makalah-bhineka-tunggal-ika.html

Sumber 4 Penulis
http://www.pusat-definisi com/2012/11/bhineka-tunggal-ika-adalah html

Sumber 5 Penulis
https://www.academia.edu/37948606/MAKALAH_BHINEKA_TUNGGAL_IKA_K
ELOMPOK_8

21

Anda mungkin juga menyukai