Anda di halaman 1dari 19

JURNAL PRAKTIKUM KF III: KINETIKA KIMIA

“PENENTUAN ORDE REAKSI PADA LAJU KETENGIKAN

MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN METODE TITRASI IODOMETRI”

Disusun Oleh:

ANGGIK FEBRIANA PKA 2021 21030194015

PRODI S1 PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2023
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kinetika kimia merupakan cabang ilmu dari kimia fisika yang
mempelajari sistem kimia yang tergantung pada waktu. Kinetika kimia
membahas mengenai laju reaksi, orde reaksi yang diperoleh dari hasil
percobaan, hukum atau persamaan laju, konstanta laju dan mekanisme
reaksi. Berdasarkan hukum laju dapat ditentukan jenis reaksi (reaksi
sederhana atau reaksi kompleks), jika reaksi merupakan reaksi kompleks
berarti reaksi tersebut mempunyai mekanisme.
Laju reaksi merukan reaksi atau perubahan konsentrasi reagen atau
produk pada a waktu (Keenam, 1991). Laju reaksi menyatakan molaritas
zat terlarut dalam reaksi yang dihasilkan per detik. Kecepatan dari laju
reaksi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu Konsentrasi,
Suhu, Katalis, dan Area Permukaan Sentuh.
Dalam ilmu kimia terdapat metode analisis kimia kuantitatif yang
umum digunakan untuk menentukan konsentrasi dari suatu analit yang
telah diketahui yang disebut metode volumetric (titrimetrik) atau titrasi.
Metode volumetrik (titrimetrik) dapat diklasifikasikan kedalam empat
kategori yaitu titrasi asam-basa, reduksi-oksidasi, pengendapan, dan
pembentukan kompleks. Titrasi redoks (reduksi-oksidasi) merupakan
jenis titrasi yang paling banyak jenisnya, diantaranya: permanganometri,
dikromatometri, cerimetri, iodimetri dan iodometri. Terbaginya titrasi ini
dikarenakan tidak ada satu senyawa (titran) yang dapat bereaksi dengan
semua senyawa oksidator dan reduktor.
Pada praktikum ini digunakan metode titrasi iodometri untuk
menentukan orde reaksi pada laju ketengikan minyak kelapa sawit. Titrasi
iodometri adalah salah satu metode titrasi yang didasarkan pada reaksi
oksidasi reduksi. Metode ini lebih banyak digunakan dalam analisa jika
dibandingkan dengan metode lain. Alasan dipilihnya metode ini, karena
perbandingan stoikiometri yang sederhana pelaksanaannya praktis, tidak
banyak masalah, dan mudah.
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, maka dilakukan
praktikum berjudul “Penentuan Orde Reaksi pada Laju Ketengikan
Minyak Kelapa Sawit dengan Metode Titrasi Iodometri”. Proses
kerusakan minyak dapat terjadi karena pemanasan yang mengakibatkan
perubahan susunan kimiawi karena terurainya trigliserida menjadi
gliserol dan asam-asam lemak (Aminah, 2010). Kerusakan minyak yang
utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses
ketengikan (Winarno, 2002). Peroksida merupakan hasil antara yang
biasanya dipakai sebagai ukuran tingkat ketengikan. Ketengikan oksidatif
merupakan reaksi autokatalitik dimana laju reaksi meningkat sejalan
dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Tujuan dari praktikum ini
adalah untuk mengetahui besarnya bilangan peroksida pada minyak
kelapa sawit, mengetahui cara penentuan ketengikan minyak kelapa
sawit, mengetahui orde reaksi pada proses ketengikan minyak kelapa
sawit.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara mengetahui besarnya bilangan peroksida pada minyak
kelapa sawit?
2. Bagaimana cara menentukan ketengikan minyak kelapa sawit?
3. Bagaimana mengetahui orde reaksi pada proses ketengikan minyak
kelapa sawit?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui besarnya bilangan peroksida pada minyak kelapa sawit.
2. Mengetahui cara penentuan ketengikan minyak kelapa sawit.
3. Mengetahui orde reaksi pada proses ketengikan minyak kelapa sawit.
BAB II DASAR TEORI 1. Laju Reaksi
Laju reaksi menyatakan laju pengurangan jumlah reaktan atau laju
pertambahan jumlah produk dalam satuan waktu. Satuan jumlah zat
berbedabeda, misalnya gram, mol atau konsentrasi. Sedangkan satuan
waktu yang digunakan adalah detik, menit, jam, hari atau tahun. Dalam
reaksi kimia banyak digunakan zat kimia dalam bentuk larutan maupun gas
dalam keadaan tertutup, sehingga dalam laju reaksi digunakan satuan
konsentrasi (Molaritas) (Keenan, 1984).
Reaktan→ Produk
Pada awal reaksi, reaktan berada dalam keadaan maksimum
sedangkan produk dalam keadaan minimal. Semakin lama reaksi
berlangsung maka produk yang dihasilkan akan semakin banyak,
sedangkan untuk reaktan akan semakin sedikit. Sehingga dapat diketahui
bahwa konsentrasi pereaksi semakin berkurang, sehingga laju reaksi
merupakan penurunan konsentrasi R per satuan waktu, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:

V=− 𝛥[𝑅]
or v = 𝛥 [𝑃]
….(1)
𝛥𝑡 𝛥𝑡

Δ[R] : Perubahan konsentrasi reaktan (M)


Δ[P] : Perubahan konsentrasi produk (M)
Δt : perubahan waktu (detik) v
: laju reaksi
Dengan Δ[R] dan Δ[P] adalah perubahan konsentrasi (dalam
molaritas) selama waktu Δt. Karena konsentrasi R berkurang selama
selang waktu tersebut, Δ[R] adalah besaran negatif. Laju reaksi adalah
besaran positif, sehingga tanda minus diperlukan dalam rumus laju agar
laju menjadi positif. Sebaliknya, laju pembentukan produk tidak
memerlukan tanda minus karena Δ [P] adalah besaran positif (Konsentrasi
P akan meningkat dari waktu ke waktu). Laju reaksi akan menurun dengan
bertambahnya waktu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara
konsentrasi zat sisa pada saat itu dengan laju reaksinya sehingga dapat
dikatakan bahwa umumnya laju reaksi bergantung pada konsentrasi awal
reaktan, pernyataan ini dikenal dengan istilah reaksi. persamaan laju:
mA + nB → oC + pD
Dalam persamaan laju reaksi, dapat ditulis:
v = k [A]m [B]n ……(2)

v = laju reaksi (m/s)


k = konstanta laju reaksi (L/mol.sekon)
[A] = konsentrasi zat A (mol/L) [B] =
konsentrasi zat B (mol/L) m = laju
reaksi (orde reaksi) terhadap A n = laju
reaksi (orde reaksi) terhadap B

Gambar 1 : diagram laju reaksi


Sumber: https://www.siswapedia.com/faktor-yang-mempengaruhilaju-
reaksi-kimia/
Laju reaksi total adalah jumlah total laju reaksi semua reaktan. Laju
reaksi nol (0) artinya laju reaksi tidak dipengaruhi oleh konsentrasi
pereaksi, tetapi hanya bergantung pada nilai tetapan laju (k). Nilai k
bergantung pada suhu, jika suhu tetap nilai k juga konstan. Proses
berlangsungnya suatu reaksi kimia dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Suatu reaksi akan berlangsung cepat jika frekuensi tumbukan antar
partikel zat yang bereaksi sering terjadi. Sebaliknya, reaksi akan berjalan
lambat jika hanya sedikit partikel zat yang terkena (Hamid, 2020).
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah:
● Konsentrasi
Karena persamaan laju reaksi didefinisikan dalam bentuk semakin
besar konsentrasi reaktan, semakin besar pula kecepatan reaksinya. Artinya
semakin tinggi konsentrasi maka semakin banyak molekul reaktan yang
tersedia, sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan akan semakin besar,
sehingga kecepatan reaksi meningkat. Begitu juga sebaliknya, semakin
kecil konsentrasi maka laju reaksi akan semakin kecil (Dogra & Dogra,
1990).
● Sentuh Area Permukaan
Faktor kedua yang mempengaruhi laju reaksi adalah luas permukaan.
Sama halnya dengan konsentrasi, bahwa semakin luas luas permukaan
bidang sentuh maka reaksi akan berlangsung semakin cepat, dengan kata
lain laju reaksi akan semakin besar. Ini karena ketika luas permukaan
bidang sentuh lebih luas, lebih banyak partikel atau molekul yang akan
bertabrakan secara efektif. Sebaliknya jika luas permukaan kecil maka laju
reaksi akan semakin kecil karena semakin sedikit partikel atau molekul
yang bertumbukan secara efektif (Adiguna, 2009).
● Suhu
Faktor ketiga yang dapat mempengaruhi laju reaksi adalah suhu. Jika
suhu dalam suatu reaksi yang berlangsung dinaikkan menyebabkan
partikel bergerak lebih aktif sehingga tumbukan yang terjadi lebih sering
dan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih besar. Sebaliknya jika suhu
diturunkan, partikel kurang aktif sehingga laju reaksinya lebih kecil.
● Katalis
Faktor keempat yang mempengaruhi laju reaksi adalah katalis. Katalis
adalah zat dalam jumlah yang relatif kecil tetapi dapat mengakibatkan
perubahan besar dalam laju reaksi untuk menghasilkan produk tanpa
mengubah stoikiometri atau konstanta kesetimbangan reaksi. Interaksi
katalis dengan reaktan dapat terjadi baik secara homogen maupun
heterogen. Interaksi homogen adalah interaksi yang terjadi antara katalis
dan reaktan dalam fase yang sama. Katalis yang terlibat dalam reaksi
tersebut disebut katalis homogen. Sedangkan interaksi secara heterogen,
yaitu interaksi antara katalis dan reaktan, terjadi dalam dua fasa yang
berbeda dan katalis yang terlibat dalam reaksi disebut katalis heterogen
(Hiskia & Tupamalu, 1992). Aktivasi energi berfungsi untuk memutuskan
ikatan pada reaktan sehingga akan terbentuk ikatan baru pada hasil reaksi.
Katalis bekerja dengan meningkatkan frekuensi tumbukan antar reaktan,
mengubah arah tumbukan reaktan sehingga meningkatkan jumlah
tumbukan efektif, menurunkan ikatan antarmolekul antar molekul reaktan
atau menyumbangkan kerapatan elektron ke reaktan. Molekul yang
bertumbukan harus memiliki energi kinetik total sama atau lebih besar dari
energi aktivasi (Ea) (Suarsa, 2017). Menurut teori tumbukan,
partikelpartikel reaktan atau reagen harus saling bertumbukan terlebih
dahulu sebelum terjadinya reaksi. Tumbukan antar partikel yang berhasil
menghasilkan reaksi disebut tumbukan efektif. Tumbukan efektif dapat
terjadi jika tumbukan memiliki energi yang cukup untuk memutuskan
ikatan pada zat yang bereaksi. Semakin rendah energi aktivasi
menyebabkan semakin banyak partikel yang memiliki energi kinetik yang
cukup untuk mengatasi energi penghambatan energi aktivasi yang rendah
sehingga tumbukan efektif meningkat dan laju reaksi juga meningkat
(Sriyanto, 2020).

Gambar 2. Diagram reaksi dengan atau tanpa katalis


Source:https://www.researchgate.net/publication/345064926/figure/fig1
/AS:959137336815620@1605687569788/Effect-of-catalyst-on-
energydiagram-profile.ppm
2. Bilangan Peroksida

Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena


peristiwa oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non enzimatik.
Diantara kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan
karen autoksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil
yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak,
aldehid dan keton. Bau tengik terutama disebabkan oleh aldehid dan
keton. Untuk mngetahui tingkat kerusakan minyak dinyatakan sebagai
bilangan peroksida atau angka thiobarbitural (Sudarmadji, et al., 1996).
Bilangan peroksida didefiniskan sebagai jumlah meq peroksida
dalam setiap 1000 grams (1 kg) minyak atau lemak. Bilangan peroksida
ini menunjukan tingkat kerusakan lemak atau minyak (Rohman, 2007).
Bilangan peroksida adalah indeks jumlah lemak atau minyak yang
telah mengalami oksidasi. Angka peroksida sangat penting untuk
identifikasi tingkat oksidasi minyak. Minyak yang mengandung asam-
asam lemak tidak jenuh dapat teroksidasi oleh oksigen yang
menghasilkan suatu senyawa peroksida. Cara yang sering digunakan
untuk menentukan angka peroksida adalah dengan metoda titrasi
iodometri. Kerusakan minyak akan mempengaruhi kualitas dan nilai gizi
makanan yang digoreng. Pemanasan minyak goreng dengan suhu yang
sangat tinggi akan menyebabkan sebagian minyak teroksidasi. Minyak
yang rusak akibat proses oksidasi akan menghasilkan makanan berwarna
kurang menarik dan rasa yang tidak enak, serta kerusakan beberapa
vitamin dan asam lemak esensial di dalam minyak. Proses oksidasi
tersebut terjadi saat minyak tersebut mengalami kontak dengan sejumlah
oksigen. Reaksi oksidasi juga akan menimbulkan bau tengik pada minyak
dan lemak (Ketaren, 1986).
Cara yang sering digunakan untuk menentukan angka peroksida
adalah dengan metoda titrasi iodometri. Rumus untuk menghitung
bilangan peroksida adalah sebagai berikut :

Bilangan Peroksida = V-V1×N×8X100W


Dimana:
V : jumlah mL Na S O untuk titrasi blanko
2 2 3

V1 : jumlah mL Na S O untuk titrasi sampel


2 2 3

N : normalitas larutan Na S O 2 2 3

8 : nomor atom oksigen


W : bobot sampel (gram)
(Tim Dosen Kimia Organik, 2021)

Jika bilangan peroksida sudah melebihi 1,0 meq O2/kg, maka


kualitas minyak goreng tersebut tidak baik lagi, batas maksimal
kandungan peroksida minyak goreng menurut standar SNI 7381-2008
adalah 2,0 meq/kg (Ketaren, 2008). Angka peroksida menunjukkan
ketengikan minyak goreng akibat proses oksidasi dan hidrolisis.
Contohnya jika pada suhu yang tinggi (200-250 ºC), terjadi kerusakan
minyak yang menyebabkan keracunan tubuh dan berbagai penyakit,
seperti diare, penumpukan lemak di pembuluh darah (arteriosklerosis),
kanker dan berkurangnya daya cerna lemak (Ketaren, 1986).
2. Titrasi Iodometri
Titrasi redoks dijalankan berdasar pada perpindahan suatu elektron
yang ada di antara analit dengan titran. Pada jenis titrasi ini, biasanya
memakai potensiometri untuk melakukan deteksi terhadap titik akhir.
Meski begitu, indikator yang bisa berubah warnanya masih sering dipakai
dengan terdapat kelebihan titran. Iodium yang dilibatkan dalam titrasi
bisa dilaksanakan dengan dua cara, yaitu titrasi tidak langsung
(iodometri) dan titrasi langsung (iodimetri) (Rohman, 2007). Metode
titrasi iodometri langsung atau yang sering disebut dengan iodimetri
mengacu pada titrasi yang dilakukan dengan sebuah larutan ion standar.
Sedangkan pada metode iodometri yang merupakan titrasi tidak langsung
berhubungan dengan titrasi yang berasal dari ion bebas berasal dari reaksi
kimia (Basset, 1994).
Titrasi iodometri adalah titrasi yang dilakukan secara tidak langsung,
oksidator akan dianalisis terlebih dahulu baru kemudian direaksikan
dengan ion iodida berlebih. Hal itu dilakukan dalam keadaan yang sesuai,
kemudian iodium dibebaskan secara titrasi dan kuantitatif dengan
menggunakan larutan standar. Iodimetri merupakan suatu metode titrasi
iodometri secara langsung yang mengacu kepada titrasi dengan suatu
larutan iod standar. Salah satu sifat dari iodium adalah harga potensial
standar (Eo) iodium berada pada daerah pertengahan yaitu iodium dapat
digunakan sebagai oksidator maupun redukor. Walaupun pada dasarnya
iodium akan lebih gampang mengoksidasi dari pada
mereduksi (Khopkar, S.M., 2008)
Dapat diketahui bahwa titrasi iodometri termasuk ke dalam
kelompok titrasi reduksi oksidasi yang mengacu terhadap transfer
elektron. Natrium tiosulfat adalah larutan standar yang dipakai pada
proses iodometri. Garam mini pada umumnya mempunyai bentuk
pentahidrat dari Na2S2O3 + 5H2O. Larutan tidak boleh dilakukan
standarisasi dengan menggunakan cara penimbangan secara langsung,
tetapi harus distandarisasi menggunakan larutan baku yang primer.
Larutan natrium tiosulfat tidak bisa stabil di dalam jangka waktu yang
lama (Day & Underwood, 2004). Iodometri adalah cara titrasi secara
redoks yang memakai larutan iodida sebagai pentiternya. Sedangkan
iodimetri adalah cara titrasi redoks dengan pentiter berupa larutan iodium
(Rivai, 1995).
Reaksi titrasi oksimetri didasarkan pada reaksi reduksi oksigen
antara titer dan titer dan titer. Titrasi oksimetri adalah reaksi larutan zat
pereduksi (reduktor) dengan larutan standar zat pengoksidasi (oksidan)
(Padmaningrum, 2008).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan warna di mana
bilangan oksidasi meningkat, sedangkan reduksi digunakan untuk
menurunkan bilangan oksidasi. Ini berarti bahwa proses oksidasi
melibatkan lebih banyak elektron, sedangkan reduksi memperoleh lebih
banyak elektron. Oksidasi adalah senyawa yang jumlah atom oksigen di
dalamnya berkurang. Berbeda dengan zat pereduksi, jumlah oksigen dari
atom yang terkandung meningkat. Reduksi oksidasi harus selalu terjadi
bersamaan dan saling mengimbangi. Istilah zat pengoksidasi atau zat
pereduksi mengacu pada senyawa, bukan hanya atom (Khopkar, 1990).
Iodium dapat digunakan di sini sebagai reagen iodimetri dan
yodium sebagai reaksi iodimetri. Beberapa zat memiliki reaksi reduksi
relatif yang dapat dikatakan cukup kuat untuk dititrasi langsung dengan
yodium. Dengan kontrol pada titik akhir titrasi jika terdapat lebih dari 1
tetes titrasi. perubahan warna pada larutan dijelaskan dengan
penambahan pati/indikator pati (Svehla, 1979). Maka jumlahnya kecil
saat menentukan iodometri. Namun, jumlah pereaksi oksigen harus
cukup kuat untuk bereaksi sempurna dengan iodida, dan ada banyak
proses iodometri.
Pada iodimetri atau iodometri, iod dapat bertindak sebagai
oksidator dan juga sebagai reduktor. Sebagai reduktor biasanya Na2S2O3.
Reaksi-reaksi:
2e- + I2 → 2I-
1 mol I2 = 2 ekivalen (1 mol I2 mengikat 2e-)
2S2O32- → S4O62- + 2e-
1 mol Na2S2O3 = 2 ekivalen (1 mol Na2S2O3 mengikat 2e-)
(Svehla, 1979)
Perbedaan antara iodometri dan iodometri berdasarkan perbedaan
warna pada titik ekivalen adalah sebagai berikut: pada iodometri, warna
berubah dari biru menjadi tidak berwarna pada titik ekivalen (TE),
sedangkan pada iodometri, warna berubah dari tidak berwarna pada titik
ekivalen. . (TE). ). menjadi biru.
Larutan standar yang digunakan dalam sebagian besar proses
iodometri adalah natrium tiosulfat. Garam ini biasanya tersedia sebagai
Na2S2O3.5H2O pentahidrat. Larutan ini tidak boleh distandarisasi
dengan penimbangan langsung, tetapi harus distandarisasi dengan
standar primer. Larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang
lama. Beberapa padatan yang digunakan sebagai larutan beryodium
standar utama dari natrium tiosulfat murni adalah standar yang paling
jelas, tetapi jarang digunakan karena kesulitan penanganan dan
penimbangan, reagen yang lebih kuat lebih sering digunakan untuk
melepaskan yodium dan iodida, proses iometrik (Day dan Underwood). ).
, 2002).

3. Minyak Kelapa Sawit


Minyak merupakan salah satu kelompok lipid, yaitu lipid netral.
Minyak yang diekstraksi dari jaringan primer mengandung sejumlah kecil
komponen selain trigliserida, yaitu lipid kompleks, sterol, asam lemak
bebas, lilin, pigmen yang larut dalam air, dan hidrokarbon. Komponen
tersebut mempengaruhi warna dan rasa produk serta berperan dalam
proses ketengikan (Ketaren, 2008). Minyak kelapa sawit adalah minyak
nabati edibel yang didapatkan dari mesocarp buah pohon kelapa sawit,
umumnya dari spesies Elaeis guineensis dan sedikit dari spesies Elaeis
oleifera dan Attalea maripa.
Minyak kelapa sawit mengandung senyawa antioksidan seperti
betakaroten, tokoferol dan tokotrienol. Sebagian besar asam lemak
dalam minyak sawit merupakan asam lemak jenuh yaitu asam palmitat.
Asam lemak jenuh hanya memiliki satu ikatan antara atom karbon,
sedangkan asam lemak tak jenuh memiliki setidaknya satu ikatan rangkap
antara atom karbon. Asam lemak jenuh lebih stabil (Almatsier, 2001),
asam lemak tak jenuh mengandung dua atau lebih ikatan rangkap,
bersifat cair pada suhu 25 oC bahkan pada suhu dingin, karena titik leleh
asam lemak tak jenuh lebih tinggi daripada asam lemak jenuh, sehingga
Minyak yang kaya akan asam lemak tak jenuh sering digunakan untuk
membuat mayonnaise, dari segi Trigliserida bisa cair atau padat
tergantung asam lemaknya. Trigliserida berbentuk cair bila mengandung
asam lemak tak jenuh rendah leleh dalam jumlah tinggi (Hariyadi, 2014).
Minyak kelapa mengandung 84% triasilgliserol, yang ketiga asam
lemaknya jenuh, 12% triasilgliserol dengan dua asam lemak jenuh, dan
4% triasilgliserol dengan satu asam lemak jenuh. Asam lemak penyusun
minyak kelapa terdiri dari 86% asam lemak jenuh dan 14% asam lemak
tak jenuh. Kandungan asam lemak jenuh yang tinggi pada minyak kelapa
membuat minyak ini lebih tahan terhadap kerusakan oksidatif
dibandingkan minyak lainnya (Ketaren, 2008)
4. Larutan Na2S2O3
Natrium tiosulfat adalah garam terhidrasi dengan rumus kimia
Na2S2O3, padatan kristal tidak berwarna, larut dalam air dan dapat
bertindak sebagai zat pereduksi, bersinar di udara lembab dan mekar di
udara kering . udara di atas 33°C. Solusinya netral atau basa lemah
dibandingkan dengan lakmus. Sangat larut dalam air dan tidak larut
dalam etanol. Natrium tiosulfat juga berfungsi sebagai penangkal
keracunan sianida. Asam tiosulfat tidak dapat dibentuk dengan
menambahkan asam ke tiosulfat, karena asam bebas ini terurai dalam air
menjadi campuran S, H2S, H2Sn, SO2 dan H2SO, dapat dibuat pada
suhu rendah (78°C) dengan menghilangkan air. ). Dalam campuran,
garam tiosulfat bersifat stabil dan asam. Tiosulfat dibuat dengan
mendidihkan larutan alkali atau nitrat sulfat dengan S dan mengoksidasi
polisulfida dengan udara. Garam, sering disebut tiosulfat, stabil dan
terdapat dalam jumlah besar.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat
1. Gelas kimia 100 mL 1 buah
2. Gelas ukur 10 mL 1 buah
3. Erlenmeyer 100 mL 5 buah
4. Buret 1 buah
5. Kaki tiga 1 buah
6. Kasa 1 buah
7. Corong pisah 1 buah
8. Bunsen burner 1 buah
9. Pipet Secukupnya

3.2 Bahan
1. Minyak kelapa sawit 25 mL
2. Asam asetat glasial 3,6 mL
3. Larutan Na2S2O3 0,1 M Secukupnya
4. Aquades Secukupnya
5. Kloroform 2,4 mL
6. KI jenuh 12 tetes
7. Amilum 1% Secukupnya
3.3 Alur
1. Tahap Perlakuan Sampel

Minyak Kelapa Sawit


1. Diambil ± 25 mL
2. Dididihkan dengan lama pemanasan 15, 30, 45, 60 menit dan
waktu tidak terhingga sampai 100 menit
3. Dibiarkan di tempat terbuka
Hasil

2. Tahap Penentuan Bilangan Peroksida

2 mL minyak kelapa sawit


1. Ditambahkan3,6 mL asam asetat glasial dengan 2,4 mL
kloroform
2. Ditambahkan
3 teteslarutanKI jenuh
3. Didiamkanselama1 menit sambil digoyangkan sewaktu
-
waktu
4. Ditambahkan 6 mL aquades
5. Ditambahkan
5 tetes amilum 1%
6. Dititrasi dengan larutan Na
2S2O3 0,1 sampai warna biru

hilang
Larutan bewarna

Persamaan Reaksi :
- Reaksi titrasi dengan Na2S2O3
I2 (aq) + 2S2O32- (aq) → 2I- (aq) + S2O62- (aq)
- Reaksi bilangan peroksida
2S2O32- → S4O62- + 2e- 𝐸0 = −0,16
I2 + 2e- → 2I- 𝐸0 = 0,6197

I2 + 2S2O32- → S4O62- + 2I- 𝐸0 = −0,7797 (reaksi redoks)


+ nI2 →
(Agustina, 2014)

3. Titrasi Blanko

3,6 mLasam asetat glasial + 2,4 kloroform

1. Dimasukkan
kedalam labu erlenmeyer
2. Ditambahkan 3 tetes larutan KI jenuh
3. Didiamkan selama beberapa menit, sewaktu waktu
digoyang
4. Ditambahkan 6 mL Aquades
5. Ditambahkan
±5 tetes amilum 1%
6. Dititrasi dengan larutanSNa
O 0,1 M sampai warna biru
2 2 3

hilang
Larutan tidak
berwarna

Reaksi dari bilangan peroksida


2S2O32- → S4O62- + 2e- 𝐸0 = −0,16
I2 + 2e- → 2I-
𝐸0 = 0,6197
I2 + 2S2O32- → S4O62- + 2I- 𝐸0 = −0,7797

Reaksi dari iod dan kompleks amilum


+ nI2 →

I. DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Aminah, S. (2010). Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat


Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan
dan Gizi, 1 (1), 7 - 14.

Basset, J. a. (1994). Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Day, R. d. (2002). Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta:


Erlangga.

Depkes, R. (1979). Farmakope Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dogra, S. (1990). Kimia Fisika dan Soal-soal, Cetakan Pertama. Jakarta:


Universitas Indonesia Press.

Hariyadi, P. (2014). Mengenal Minyak Sawit dengan Beberapa Karakteristik


Unggulnya. Jakarta: Tim GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia).

Harjadi, W. (1990). Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia.


Hewitt, P. (2003). Conseptual Integrated Science Chemistry. San Francisco:
Pearson Education, Inc.

Ketaren, S. (1986). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan . Jakarta:


UI Press.

Ketaren, S. (2008). Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta:


UI Press.

Khopkar, S. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Kohar, H. d. (2004). Daun Kangkung (Ipomoea Reptans) Yang. Direbus


Dengan Penambahan Nacl Dan Asam Asetat. Jakarta: Makara Sains.

Padmaningrum, R. T. (2008). Titrasi Iodometri. Jurdik Kimia UNY.


Parning. (2006). Kimia. Bandung: Yudistira Press.

Raharjo, S. (2006). Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Yogyakarta: Gajah


Mada University Press.

Stacey, M. N. (2009). PENGARUH FREKUENSI PENGGORENGAN TAHU


TERHADAP PENURUNAN KADAR ASAM LEMAK TIDAK JENUH
PADA MINYAK KELAPA SAWIT. Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha [Karya Tulis].

Stwertka, A. (2002). A Guide to the Elements . USA: Oxford University Press.

Sudarmadji S, H. B. (1996). Analisis Bahan Makanan dan Pertanian, ed.2.


Yogyakarta: Liberty Press.

Sulistyarti, H. S. (2019). MetodeSpektrofotometri Secara Tidak Langsung


untuk Penentuan Merkuri (II) berdasarkan Pembentukan Kompleks
Biru Iodium-Amilum . ALCHEMY Jurnal Penelitian Kimia, 15(1),
149 - 164.

Suwardi., d. (2009). Panduan Pembelajaran Kimia . Jakarta: CV. Karya


Mandiri Nusantara.

Svehla, G. (1990). Vogel Buku Teks Anorganik Kualitatif Makro dan


Semimikro Edisi Kelima . Jakarta: PT. Kalman Media Pustaka.
The, H. M. (2004). On Food And Cooking: The Science And Lore Of The
Kitchen. ISBN 978-0-684-80001-1.

wahyu, D. (2013). Kloroform dari aseton dan kaporit kapasitas 25.000


ton/tahun. Surakarta: Universitas Muhammadiya Surakarta Press.

Widhiastuti, R. S. (2011). Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik


Pengolahan Kelapa Sawit Sebagai Pupuk Terhadap Biodiversitas
Tanah. . Jurnal Ilmiah Pertanian Kultura Vol. 41, No. 1, 1 - 6.

Winarno. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Anda mungkin juga menyukai