Anda di halaman 1dari 15

Kelompok 4

SCOPEE DAN SEQUECE KURIKULUM PAI


Disusun untuk memenuhui salah satu tugas:
Matkul: Pengembangan Kurikulum Pai
Dosen pengampu: Prof. Dr. H. Nor Muslim, M.Ag

Disusun oleh:
Tiara Suriyatna Mentaya
2211110040
Desty Lestary
2211110038
Sahduari
2211110035

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURURAN
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1445 H/2023 M

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi Maha penyayang.
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, dan
hidayah nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah yang berjudul “Sopee Dan Sequece Kurikulum Pai”. Disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Administrasi dan Pendidikan Islam yang di ampu oleh Prof. Dr.
H. Nor Muslim, M.Ag
Dalam penyusunan penulis memperoleh bahan tulisan dari buku dan jurnal yang ada
di internet. Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi penulis maupun para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis meyakini masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palangka Raya, 31 Aguastus 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................iv

A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................3
A. Pengertian Scope dan Squence..........................................................3
B. Kriteria Scope Kurikulum..................................................................5
C. Faktor-faktor Squence........................................................................6
BAB III PENUTUP......................................................................................11
A. Kesimpulan........................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................12

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan proses pentranferan ilmu melalui berbagai macam
cara baik secara sistematis bertahap melalui Lembaga ( TK, SD, SMP, SMA,
INSTITUS, UNIVERSITAS dan sebagainya ) dan secara abstrak melalui berbagai
media ( Google, E-book, ruang guru dan sebagainya ). Dengan sengaja
mentransferkan berbagai pengetahuan dari generasi ke generasi. Semakin kompleks
berkembang peradapan manusia semakin meluas juga permasalahan pendidikan.
Sehingga menuntut kemajuan sumber daya manusia dalam mengatur serta
membutuhkan pemikiran pemikiran yang sistematik tentang Pendidikan.
Oleh sebab itu maka diperlukan pembentukan kurikulum yang ada dalam
pembelajaan harus menyesuaikan keadaan pesera didik dan lingkungan Pendidikan itu
sendiri. Agar proses Pendidikan dapat berjalan selaras dengan tujuan Pendidikan.
Namun kenyataan dilapangan masih banyak yang belum memahami bahkan
tidak mengetahui tentang pembentukan kurikulum yang sesuai dengan peserta didik
dan lingkungan pendididkan. Lingkungan Pendidikan juga dapat mempengaruhi
pembentukan kurikulum. Lingkungan Pendidikan Islam maka kurikulum yang di
bentuk juga harus selaras dengan nilai nilai keislaman.Oleh karna itu Al-Qur’an dan
hadis yang sesuai sebagai landasan pembentukan scope dan sequence kurikulum
Pendidikan agama islam.

A. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan scope dan sequence ?
2. Bagaimana Kriteria Scope kurikulum?
3. Apa saja factor factor Sequence Kurikulum ?
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu scope dan sequence
2. Untuk mengetahui Bagaimana Kriteria Scope kurikulum
3. Untuk mengetahui Apa saja factor factor Sequence Kurikulum

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian scope dan sequence
1. Scope
Secara Bahasa Scope artinya adalah ruang lingkup. Secara istilah scope
berkaitan dengan ruang lingkup kurikulum atau bahan Pelajaran yang harus
diliputi. Scope merupakan penentuan apa yang akan dipelajari.
Dalam menentukan scope, hal hal yang harus diperhatikan antara lain :
a. Pengorganisasian berbagai elemen dan hubun gan antara elemen elemen.
b. Pesatnya perkem bangan IPTEK.
c. Penetapan prosedur tujuan.
d. Penambilan keputusan.

Menentukan scope, yakni apa yang harus diajarkan merupakan suatu


masalah yang makin lama makin bertambah sulit. Sebabnya ialah:
a. bahan pelajaran cepat bertambah luas karena eksplosi ilmu pengetahun.
Tak ada lagi manusia yang mungkin menguasai seluruh pengetahuan yang
ada sekarang. Spesialisasi dalam pendidikan makin meluas dan tiap
spesialisasi memerlukan bahan pelajaran tambahan. Di samping itu waktu
belajar ter- batas, demikian pula kemampuan anak untuk menguasai bahan
pelajaran. Maka perlulah diadakan pilihan tentang apa yang per- lu
diajarkan.
b. belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu di- ajarkan.
Juga belum ada cara tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat
diterima oleh semua.
c. matapelajaran yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan-
tujuan yang baru seperti berpikir kritis dan kreatif, me- mahami
lingkungan sosial, memahami dunia internasional dan sebagainya yang
dianggap perlu dimasukkan dalam kurikulum. Sering matapelajaran baru
ditambahkan sedangkan matap- elajaran lama bercokol terus, sehingga
beban belajar bagi anak bertambah berat. Menambah matapelajaran dalam
masa belajar yang sama sering berarti makin dangkalnya pengetahuan
anak tentang aneka ragam bidang. Matapelajaran yang sebenarnya telah
2
usang dipertahankan karena "vested interest golongan- golongan tertentu.
Demikian pula penambahan matapelajaran sering terjadi oleh tekanan
golongan tertentu, bukan atas pertimbangan rasional yang obyektif.

Bahan Pelajaran (Scope)

bahan pelajaran atau subject matter terdiri atas pengetahuan, nilai-nilai,


dan ketrampilan. Sawah bukan bahan pelajaran akan te- api yang menjadi
bahan pelajaran ialah pengetahuan tentang sawah u. Bahan pelajaran adalah
sebagian dari kebudayaan. Pengetahuan manusia disusun oleh para ahli dalam
sejumlah Kategori yang disebut disiplin ilmu. Penyusunan ini dilakukan secara
rasional, logis, sistematis sehingga menjadi suatu sistem yang bulat. Tiap
disiplin mempunyai bahan atau isi tertentu berupa fakta, data, konsep, dan
prinsip, akan tetapi juga cara berpikir atau disiplin ber- pikir tertentu, yakni
cara mengajukan pertanyaan dalam mengadakan penelitian untuk
menghasilkan pengetehuan baru. Misalnya cara ber- pikir matematis berbeda
dengan cara berpikir historis atau ekonomis.

Disiplin ilmu banyak digunakan sebagai dasar penyusunan kurikulum


yang berbentuk matapelajaran seperti fisika, biologi, sejarah dan sebagainya.
Kurikulum serupa ini dikatakan mempunyai organisasi yang logis. Bahan
pelajaran disajikan dalam urutan yang logis, misalnya dalam biologi dimulai
dengan binatang yang bersel satu, kemudian bersel banyak dan selanjutnya
meningkat kepada binatang yang berangsur-angsur lebih kompleks strukturnya
Kuri- kulum yang logis ini sering tidak ada kaitannya dengan pengalaman
anak dalam hidupnya, sehingga apa yang dipelajari anak sering hanya hafalan
kata-kata tanpa makna dan karena itu tidak memperkaya pribadinya.

Kurikulum yang dianggap lebih bermakna ialah bila bahan pelajaran


dihubungkan atau didasarkan atas pengalaman anak dalam kehidupannya
sehari-hari, misalnya bila dibicarakan masalah yang nyata seperti soal
kesehatan, kecelakaan lalu-lintas, dan sebagainya. Topik ini dapat diajarkan
dengan menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu seperti biologi, fisika,
kimia, matematika, geografi, dan sebagainya. Dalam hal ini pengetahuan dari
disiplin ilmu itu dipakai secara fungsional untuk memahami suatu masalah.
Karena ilmu itu digunakan secara bermakna, lebih banyak harapan bahan itu

3
akan dipahami dan diingat. Setelah anak mencapai tingkat perkembangan
tertentu, maka mereka dapat mempelajari disiplin ilmu itu sebagai
matapelajaran. Organisasi bahan serupa ini disebut psikologis, karena
memperhitungkan minat dan tingkat perkembangan jiwa anak. Perlu
dikemukakan, bahwa organisasi yang psikologis tidak dengan sendirinya
bersifat tak-logis

2. Sequence
Squence secara Bahasa adalah urutan. Sequence di maksud urutan
pengalaman belajar itu di berikan. Menurut Prof.Dr.S.Nasution, M.A.
kurikulum sering di artikan sebagai kapan pengalaman belajar atau bahan
belajar itu di berikan atau disempitkan menjadi di kelas berapa bahan
Pelajaran itu diberikan.1 Secara istilah sequence adalah factor factor yang
menentukan urutan bahan pembelajaran. Yaitu :
a. Kematangan anak
b. Latar belakang pengalaman
c. Tingkat intelegensi
d. Kegunaan bahan
e. Kesulitan bahan Pelajaran

Squence yaitu penentuan urutan pembelajaran yang akan di sajikan.


Squence ini berkaitan degan 2 hal yaitu :

a. Urutan isi atau bahan Pelajaran.


b. Urutan pengalaman belajar memerlukan pengetahuan tentang urutan
pengembangan anak dalam menghadapi bahan Pelajaran tertentu.

1
Prof.Dr.S.Nasution, M.A.,asas-asas kurikulum,1998,Hlm.242
4
B. Kriteria Scope Kurikulum
Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan Pelajaran
(Scope). Kesulitannya ialah bahwa setiap kriterium mempunyai
kelemahannya. Kriteria itu ialah:
1. Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.
Setiap penyusunaan kurikulum dimulai dengan merumuskan tujuan, yang
umum sampai yang khusus. Setelah itu baru ditentukan bahan pelajaran
yang dianggap paling serasi untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Untuk
tujuan-tujuan yang khusus lebih mudah ditentukan bahan pelajarannya dan
dapat segera dinilai keserasiannya. Untuk tujuan-tujuan yang umum
keadaannya lebih sukar. Lagi pula belum ada alat yang dapat mengukur
hasil-hasil pendidikan, apalagi yang mengenai ke- pribadian seseorang,
secara ilmiah.
2. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai wa- risan
generasi yang lampau. Salah satu fungsi pendidikan ialah menyampaikan
kebudayaan bangsa kepada generasi muda. Banyak di antaranya yang
sangat bernilai. Namun belum tentu apa yang berguna pada masa yang
lampau masih berguna pada zaman sekarang atau untuk masa mendatang.
Karena perkem- bangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menimbulkan per- ubahan yang cepat dalam segala aspek hidup sehingga
penge- tahuan, norma-norma, dan keterampilan masa lalu harus senan-
tiasa disesuaikan dengan keadaan baru agar jangan menjadi using.
3. Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin.
Penguasaan disiplin diperlukan sebagai prasyarat untuk melanjutkan
pelajaran sampai perguruan tinggi. Karena kebanyakan anak demikian pula
orang tua mengharapkan, agar anak itu memasuki perguruan tinggi maka
pengaruh perguruan tinggi terhadap SM bahkan SD sangat besar. Ada yang
mengatakan bahwa pada hakikatnya perguruan tinggi menguasai seluruh
sistem pendidikan dan SD - SM merupakan perguruan tinggi dalam
embrio. Usaha-usaha perubahan dan pembaharuan kurikulum ke arah
penyesuaiannya dengan kebutuhan anak pemuda sering mengalami
kesulitan atau kegagalan, karena di- anggap kurang sesuai dengan syarat-

5
syarat masuk ke perguruan tinggi. Kurikulum yang terlampau
mementingkan bahan pelajaran di- siplin tertentu dianggap kurang
memenuhi kebutuhan pemuda dan kurang memperhatikan kebutuhan
sosial dalam masyarakat modern yang dinamis.
4. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam
hidupnya. Herbert Spencer pada tahun 1859 mengajukan pertanyaan:
"What knowledge is of most worth". Pengetahuan apa yang paling besar
manfaatnya, yang paling berguna bagi manusia dalam kehidupannya
sehari-hari? Dasar pikiran di sini ialah, bahwa sekolah yang didirikan oleh
masyarakat, harus memberikan pendidikan dalam bidang-bidang yang
diperlukan oleh anak-anak dalam kehidupan mereka dalam masyarakat.
Jadi pendidikan harus relevan dengan kebutuhaan masyarakat. Franklin
Bobbitt menganalisis kegiatan-kegiatan orang dewasa dalam masyarakat
dengan maksud agar kegiatan-kegiatan itulah diajarkan kepada anak-anak
agar menjadi warga masyarakat yang serasi. Keberatan yang diajukan
terhadap pendirian itu ialah, bahwa apa yang baik dilakukan untuk zaman
sekarang belum tentu baik pula untuk masa depan. Mengharuskan anak-
anak meniru perbuatan generasi tua, berarti mempertahankan keadaan
seka- rang, sedangkan keadaan senantiasa berubah. Lagi pula, karena yang
dipakai sebagai ukuran kelakuan orang dewasa, maka ke- butuhan dan
sifat perkembangan anak kurang mendapat per- hatian utama. Akhirnya
apa yang dilakukan orang dewasa be- lum tentu sesuai dengan apa yang
seharusnya mereka lakukan.
5. Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.
Seperti telah pernah kami kemukakan dengan kebutuhan anak dapat
dimaksud (a) kebutuhan menurut tafsiran, orang dewasa, misalnya bahwa
setiap anak harus belajar me- nulis, membaca, sejarah, dan sebagainya,
atau (b) kebutuhan berdasarkan perkembangan anak, apa yang benar-benar
di- rasakan perlu.

C. Faktor Factor Sequence

6
Faktor-faktor dalam penempatan bahan pelajaran. Dalam menentukan
kapan atau di kelas berapa bahan Pelajaran sebaiknya diajarkan biasanya
orang berpegang pada sejumlah faktor Seperti telah dikemukakan tidak ada
patokan yang pasti mengenai sequence ini, namun dalam penyusunan
kurikulum tak dapat tiada harus kita putuskan kapan sesuatu harus diajarkan.
Faktor-faktor itu ialah antara lain:

1. Taraf kesulitan bahan pelajaran.


Pada umumnya bahan yang mudah dan sederhana lebih dahulu
diberikan daripada yang sukar dan kompleks. Anak-anak mulai di- ajarkan
bilangan-kecil sebelum angka-angka yang besar. Mereka lebih dahulu
mempelajari lingkungan dekat yang dikenalnya secara langsung baru
kemudian daerah yang jauh letaknya. Lagu kanak- kanak jauh lebih
sederhana daripada lagu-lagu untuk orang yang lebih lanjut usianya.
Tak selalu mudah menentukan yang manakah yang mudah dan yang
sukar. Membaca permulaan dengan huruf ternyata lebih sukar daripada
memulainya dengan kata-kata.
Namun bahan pelajaran memang mempunyai tingkat-tingkat
kesukaran Kalimat panjang lebih sukar daripada kalimat pendek
Menghitung sejumlah benda lebih mudah daripada menghitung daya tahan
suatu jembatan. Makin banyak unsur yang terlibat dalam suatu masalah,
makin kompleks problema itu makin tinggi taraf kesulit- annya. Karena
kenyataan itu maka dalam penempatan bahan pelajaran perlu
dipertimbangkan taraf kesulitannya.

2. Apersepsi atau pengalaman lampau.


Sesuatu yang baru hanya dapat dipahami berdasarkan penge- tahuan
atau pengalaman yang telah dimiliki. Karena itu diusahakan adanya
kontinuitas dalam bahan pelajaran. Pelajaran yang lampau menjadi syarat
untuk memahami pelajaran yang baru.
Dalam sejarah salah satu cara ialah memberikannya mulai dari
zaman purba kala dan berangsur-angsur maju sampai zaman seka- rang.
Hal ini juga kita dapat dalam pelajaran lain Pada suatu ketika kemampuan

7
berhitung dianggap syarat untuk aljabar Matematika, fisika, biologi
dianggap prasyarat untuk fakultas kedokteran.
Prinsip apersepsi atau 'entry behavior" ini bertahan erat dengan
prinsip kesukaran. Dianggap bahwa kontinuitas akan tercapai bila kita
mulai dengan yang dianggap mudah untuk kemudian meningkat kepada
yang lebih sulit. Dalam pengajaran berprograma suatu pe lajaran dipecah-
pecah menjadi bagian-bagian kecil yang mudah di- pelajari. Bagian-bagian
ini merupakan langkah-langkah menuju ke- pada penguasaan pelajaran.

3. Kematangan anak.
Kematangan diakibatkan oleh perkembangan intern, pertumbuh- an
syarat atau fisiologis dan dianggap tak dapat dipengaruhi ba- nyak oleh
faktor-faktor luar. Pada suatu ketika anak mulai belajar berbicara atau
berjalan. Sebelum waktu itu usaha mempercepatnya akan gagal.
Akan tetapi setelah masa kematangan itu anak mulai belajar. Proses
belajar dapat banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar.
Pada umumnya soal kematangan ini hanya diketahui berkenaan
dengan anak-anak kecil. Mengenai kematangan anak untuk mem- pelajari
kewargaan negara, ilmu ukur ruang, psikologi, filsafaat, dan sebagainya
tak banyak yang kita ketahui. Dalam teori sering kita katakan bahwa bahan
pelajaran harus disesuaikan dengan kema tangan anak, tanpa sebenarnya
mengetahuinya dengan jelas.

4. Usia mental anak.


Demikian pula kita menginginkan agar bahan pelajaran harus sesuai
dengan usia mental anak. Kita ketahui bahwa anak-anak ber- lainan
kemampuan mentalnya. Memberikan bahan yang sama ke- pada anak yang
tinggi dan rendah inteligensinya pasti merugikan anak. Berbagai usaha
dijalankan untuk memenuhi tuntutan per- bedaan individual ini, sehingga
bahan pelajaran diberikan menurut sequence yang sesuai dengan
kesanggupan anak.

8
5. Minat anak.
Minat anak menjadi faktor utama dalam penentuan bahan, dan
urutannya di sekolah yang "child centered". Minat anak dapat ber- ubah-
ubah. Ada minat yang timbul karena perkembangan anak, mi- salnya minat
untuk alam sekitar, untuk keadaan sosial, untuk agama dan ide-ide filosofis
atau untuk pergaulan dengan anggota jenis kelamin lain. Ada pula minat
yang dipengaruhi oleh lingkungan, seperti minat untuk radio, motor, naik
gunung dan sebagainya.
Dalam penempatan bahan pelajaran minat anak sudah sewa- jarnya
perlu diperhatikan, apalagi minat yang timbul sebagai akibat
perkembangan anak. Ini banyak sedikit dapat diperhitungkan lebih dahulu.
Untuk hal-hal lain selalu dapat diusahakan dengan metode me-
ngajar yang baik untuk membangkitkan minat anak. Minat dapat timbul
berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran- pelajaran lampau.

Sequence Proses Belajar.


Masalah urutan atau sequence sering hanya dihubungkan dengan
soalpenempatan bahan pelajaran, yakni menentukan kapan bahan itu harus
diajarkan. Maka diberilah pedoman seperti dari yang mu- dah kepada yang
sulit, yang dekat kepada yang jauh yang sederhana kepada yang kompleks,
dari bagian kepada keseluruhan atau sebaliknya.
Akan tetapi menurut Hilda Taba kita jangan lupakan urutan da- lam
proses belajar. Kurikulum biasanya hanya menentukan urutan bahan
pelajaran, sedangkan soal urutan proses belajar diserahkan kepada guru.
Urutan proses belajar antara lain mengenai langkah-langkah un- tuk
mengembangkan konsep-konsep, sikap dan kesanggupan ber- pikir.
Petunjuk "dari kongkret kepada yang abstrak" kurang me- madai. Kita tak
tahu misalnya berapa hal yang kongkrit harus diberikan agar anak dapat
menangkap pengertian yang abstrak.
Juga belum cukup pengetahuan kita bagaimana langkah-langkah atau
urutan untuk memahami suatu konsep atau berpikir kritis dan kreatif. Kita
tahu bahwa cara-cara membentuk konsep berbeda-beda, tergantung pada
konsep yang akan diajarkan. Misalnya konsep "perang kemerdekaan" dan
"pemuaian logam" tidak sama cara me- ngembangkannya. "Pemuaian
9
logam" dapat diberikan konsepnya dengan metode demonstrasi. Pengertian
perang kemerdekaan memer- lukan cara yang berbeda sekali.
Menurut Hilda Taba, bukan hanya urutan mengenai bahan pela- jaran
saja yang penting, melainkan juga urutan dalam proses belajar atau
pengalaman-pengalamaan belajar

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahan pelajaran disajikan dalam urutan yang logis, misalnya dalam biologi
dimulai dengan binatang yang bersel satu, kemudian bersel banyak dan selanjutnya
meningkat kepada binatang yang berangsur-angsur lebih kompleks strukturnya
Kurikulum yang logis ini sering tidak ada kaitannya dengan pengalaman anak dalam
hidupnya, sehingga apa yang dipelajari anak sering hanya hafalan kata-kata tanpa
makna dan karena itu tidak memperkaya pribadinya.

Kurikulum yang dianggap lebih bermakna ialah bila bahan pelajaran dihubungkan
atau didasarkan atas pengalaman anak dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya bila
dibicarakan masalah yang nyata seperti soal kesehatan, kecelakaan lalu-lintas, dan
sebagainya.

Kurikulum yang terlampau mementingkan bahan pelajaran disiplin tertentu dianggap


kurang memenuhi kebutuhan pemuda dan kurang memperhatikan kebutuhan sosial
dalam masyarakat modern yang dinamis.

11
DAFTAR PUSTAKA

(Muhammad Muttaqin, 2021)Hidayati, W. (2017). Manajemen Kurikulum Pendidikan


Agama Islam dan Budi Pekerti Jenjang SMA Bermuatan Keilmuan Integrasi
Interkoneksi. MANAGERIA: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 1(2), 195–225.
https://doi.org/10.14421/manageria.2016.12-03

Muhammad Muttaqin. (2021). Konsep Kurikulum Pendidikan Islam. TAUJIH: Jurnal


Pendidikan Islam, 3(1), 1–16. https://doi.org/10.53649/taujih.v3i1.88

12

Anda mungkin juga menyukai