Medium perambatan bunyi bisa dalam zat padat, fluida, atau gas. Di dalam gas
kerapatan dan tekanan terkait erat. Oleh karena itu, gelombang bunyi dalam gas, seperti
udara, dapat dipandang sebagai gelombang kerapatan atau gelombang tekanan. Fungsi
gelombang untuk gelombang bunyi adalah simpangan longitudinal molekul-molekul
gas dari posisi kesetimbangannya atau fungsi yang berkaitan dengan perubahan
tekanan gas. Cepat rambat bunyi untuk medium rambat yang berbeda akan berbeda
pula. Di dalam zat padat, bunyi akan merambat lebih cepat dibandingkan dengan di
udara karena di dalam zat padat jarak antar partikelnya sangat berdekatan sehingga
memudahkan getaran untuk merambat dari satu partikel ke partikel lainnya. Oleh
karena itu, kita akan lebih cepat mendeteksi kedatangan kereta dengan cara
mendekatkan telinga kita di rel kereta ketimbang dengan melihatnya (Sutisna 2017).
Sifat-sifat bunyi bisa di ukur melalui hukum fisika, misalnya frekuensi adalah
satuan kecepatan pada bunyi yang diukur dalam satuan getaran yang di sebut
Hertz(Hz), sedangkan kenyaringan bunyi atau amplitude diukur oleh satuan desibel
(dB). Jumlah getaran yang terjadi setiap detik tersebut sangat tergantung pada jenis
objek yang bergetar. Misal pada rambatan suara yang terjadi pada jarak dua titik puncak
gunung, gelombang suara akan merambat melalui udara, tergantung dari kerasnya
tekanan suara, semakin panjang gelombang, semakin kuat pula bunyi tersebut seperti
contoh pada (gambar 1.1) (Kustaman 2018).
Berikut adalah persamaan cepat rambat bunyi untuk tiga medium yang berbeda:
Fluida :
𝐵
v = √𝜌 (2.1)
Zat padat :
𝑌
v = √𝜌 (2.2)
Y = modulus Young
𝑅𝑇
v =√𝑀 (2.3)
1. Infrasonik
Gelombang Infrasonik ditemukan oleh ilmuan Perancis yang lahir di Rusia pada
tahun 1960 yaitu Vladimir Gavreau, bermula ketika beliau mendapat kesimpulan
terhadap gejala sakit pada gendang telinganya pada sebuah laboraturiumnya yang
menghasilkan suara akan tetapi tidak dapat tertangkap oleh alat penangkap suara atau
mikropone. Gelombang infrasonik hanya bisa didengar oleh binatang tertentu seperti
anjing, laba-laba, dan jangkrik.
2. Audiosonik
3. Ultrasonik
𝑃 𝑃
𝐼=𝐴= (2.4)
4𝜋
Dimana :
I = intensitas bunyi (watt/m2)
P = daya sumber bunyi (watt, joule/s)
A = luas permukaan yang ditembus gelombang bunyi (m2)
𝜋 = jarak tempat dari sumber bunyi (m)
Berdasarkan hasil penelitian para ahli ternyata bahwa daya pendengaran telinga
manusia terhadap gelombang bunyi bersifat logaritmis, sehingga para ilmuwan
menyatakan mengukur intensitas bunyi tidak dalam watt/m2 melainkan dalam satuan
dB (desi bell) yang menyatakan Taraf Intensitas bunyi (TI). Taraf intensitas
didefinisikan sebagai sepuluh kali logaritma perbandingan intensitas dengan intensitas
ambang pendengaran. Taraf intensitas bunyi merupakan perbandingan nilai logaritma
antara intensitas bunyi yang diukur dengan intensitas ambang pendengaran (I 0)
(Gambar 1.4) dan dituliskan dalam persamaan :
log 𝐼
𝑇𝐼 = 10 (2.6)
log 𝐼0
Dimana :
𝐼
β = 10 𝑙𝑜𝑔 𝐼 (2.7)
0
di mana I adalah intensitas bunyi dan Io adalah intensitas acuan yang akan diambil
sebagai ambang pendengaran
𝐼0
β = 10 𝑙𝑜𝑔 = 0 𝐷𝑒𝑠𝑖𝑏𝑒𝑙(𝑑𝐵) (2.9)
𝐼0
1
β = 10 𝑙𝑜𝑔 10−12 = 120 𝑑𝐵 (3.0)
Jadi, rentang intensitas bunyi dari 10-12 W/m2 sampai 1 W/m2 bersesuaian dengan
rentang tingkat intensitas dari 0 dB hingga 120 dB. Berikut adalah tingkat intensitas
berbagai bunyi yang lazim.
Sumber-sumber bising pada dasarnya dibagi menjadi tiga macm yaitu : sumber
titik, sumber bidang, dan sumber garis. Kebisingan lalu lintas termasuk dalam kriteria
sumber garis. Kebisingan ini ditimbulkan oleh lalu lintas kendaraan bermotor yang
semakin meluas, hal ini bisa ditunjukkan oleh semakin padatnya lalu lintas kendaraan
di jalan raya penyebab kebisingan dari kendaraan bermotor (Suroto 2010). Menurut
Prasetio dalam Wafiroh (2013) Sumber-sumber kebisingan dapat bersumber dari:
a. Bising interior yaitu sumber bising yang bersumber dari manusia, alat-alat rumah
tangga, atau mesin-mesin gedung.
b. Bising outdoor yaitu sumber bising yang berasal dari lalu lintas, transportasi,
industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat-tempat
pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan lain-lain di luar
ruangan atau gedung.
1. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (wide band noise),
misalnya mesin, kipas angin, dan lain-lain
2. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (narrow band noise),
misalnya gergaji silkuler, katup gas dan lain-lain.
3. Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara pesawat
terbang dibandara dan lain-lain.
4. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti tembakan bedil atau
meriam dan ledakan.
5. Kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan
Pada peraturan Menteri Kesehatan No. 718 Tahun 1987 dalam (Setiawan 2010)
tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian
wilayan dalam empat zona yaitu:
1. Zona A adalah zona untuk tempat pendidikan, rumah sakit, tempat perawatan
kesehatan atau sosial. Intensitas tingkat kebisingannya berkisar 35-45 dB.
2. Zona B adalah untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Membatasi
angka kebisingan antara 45-55 dB.
3. Zona C antara lain perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar. Dengan kebisingan
sekitar 50-60 dB.
4. Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api dan terminal bus.
Tingkat kebisingan berkisar 60-70 dB.
Standar alat untuk mengukur kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM).
Pengukuran dalam SLM dikategorikan dalam tiga jenis karakter respon frekuensi, yaitu
ditunjukkan dalam skala A, B, dan C. Skala A yang ditemukan paling dapat mewakili
batas pendengaran manusia dan respon telinga manusia terhadap kebisingan, termasuk
kebisingan yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Skala A tersebut
dinyatakan dalam satuan dBA (Djalante 2010). Menurut Triwijaya, Arifianto, and
Paulina (2023) Sound Level Meter (SLM) merupakan alat yang digunakan untuk
mengukur tingkat kebisingan sesaat.
Gabriel (1999) dalam Feidhal (2007) menyebutkan bahwa alat untuk mengukur
kebisingan terbagi menjadi:
a. Sound Level Meter. Alat ini dapat mengukur kebisingan antara 30-130 dB(A) dan
frekuensi 20-20.000Hz. Alat ini terdiri dari mikropon, alat penunjuk elektronik,
amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran yaitu:
Skala A Untuk memperlihatkan kepekaan yang terbesar pada frekuensi rendah dan
tinggi yang menyerupai reaksi untuk intensitas rendah.
Skala B Untuk memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas
sedang. Skala C Untuk bunyi dengan intensitas tinggi. Alat ini dilengkapi dengan
Oktave Band Analyzer
b. Oktave Band Analyzer. Alat ini untuk mengukur analisa frekuensi dari suatu
kebisingan yang dilengkapi dengan filter-filter menurut Oktave
c. Narrow Band Analyzer. Alat ini dapat mengukur analisa frekuensi yang lebih lanjut
alau disebut juga analisa spektrum singkat.
d. Tape Reorder. Kualitas tinggi Untuk mengukur kebisingan yang terputus putus,
bunyi yang diukur direkam dan dibawa ke laboratorlum untuk dianalisa. Alat ini
mampu mencatat frekuensi 20Hz-20KHz
e. Impact Noise Analyzer. Alat ini dipakai untuk kebisingan implusif
f. Noise Logging Dosimeter. Alat ini untuk menganalisa, kebisingan dalam waktu 24
jam dan dianalisa dengan menggunakan komputer sehingga didapatkan grafik
tingkat kebisingan.
Buchari, (2007) menjelaskan lagi secara rinci terkait dampak bising terhadap
kesehatan pekerja sebagai berikut:
1. Gangguan Fisiologis yaitu gangguan yang dapat berupa peningkatan tekanan darah,
peningkatan nadi, basal metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama
pada bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan Psikologis yaitu Gangguan yang dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang
kosentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan jangka waktu lama dapat
menimbulkan penyakit, psikosomatik seperti gastristis, penyakit jantung koroner
dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi yaitu Gangguan yang menyebabkan terganggunya
pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerja baru yang
belum berpengalaman. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan
mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena
tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunya akan dapat
menurunkan mutu pekerjaan dan produktifitas kerja.
4. Gangguan keseimbangan yaitu Gangguan yang mengakibatkan gangguan fisiologis
seperti kepala pusing, mual dan lain-lain.
5. Gangguan terhadap pendengaran (Ketulian) yaitu Diantara sekian banyak
gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan terhadap pendengaran adalah
gangguan yang paling serius karena dapat menyebabkan hilangnya pendengaran
atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara
tapi bila bekerja terus menerus di tempat bising tersebut maka daya dengar akan
menghilang secara menetap atau tuli.
Tabel 1. Data Hasil Pengukuran kebisingan Gazebo Parkiran Gedung Depan Politeknik
Negeri Cilacap
Menit/ 1 2 3 4 5 Rata-Rata
Detik
1 64,9 68,7 73,3 70,4 75,9 70,64
2 84,6 63,5 70,7 75,0 68,1 72,38
3 81,0 71,4 67,3 72,1 64,7 71,3
4 66,9 70,2 65,0 70,1 69,4 68,32
5 81,6 69,7 66,2 68,5 67,6 70,72
6 74,0 66,9 62,3 67,3 68,8 67,86
7 74,5 66,8 63,2 71,7 70,1 69,86
8 68,6 72,4 71,8 66,9 69,4 69,82
9 73,7 76,3 79,9 71,7 65,8 73,48
10 76,0 70,2 66,2 72,2 66,6 70,24
11 71,2 67,9 66,5 67,4 67,7 68,14
12 72,5 70,2 60,1 71,7 73,6 69,5
Total 842,26
Praktikum kedua
Lokasi : SPBU Soetomo Cilacap
Hari/Tanggal : 27 Februari 2024
Waktu : 14.07-14.12 WIB
Menit/ 1 2 3 4 5 Rata-Rata
Detik
1 70,1 77,7 68,9 74,8 70,0 72,3
2 73,5 73,1 72,0 74,5 72,9 73,2
3 82,3 72,1 72,1 75,0 76,0 75,5
4 69,0 75,0 77,9 75,5 72,3 73,94
5 63,9 77,6 74,9 87,9 72,9 75,44
6 75,0 79,9 71,3 75,5 74,4 75,22
7 78,4 72,1 74,3 75,4 72,6 74,56
8 73,2 74,6 75,8 74,7 66,1 72,88
9 76,3 76,1 71,1 74,7 73,9 74,36
10 73,7 64,7 75,4 76,0 75,1 72,98
11 68,9 66,4 71,6 73,0 80,0 71,98
12 75,6 67,0 71,5 74,9 76,0 73
Total 885,36
VI. PERHITUNGAN
𝑃1
𝐿 = 𝑋 + (𝑃1+𝑃2) 𝐶 (3.1)
Dengan Keterangan:
Namun dikarenakan kelompok kami tidak mengukur hasil dari tiap tingkat
kebisingan pada L1, L2, L3, L4, L5, L6, dan L7 yang mewakili setiap waktu
pengukuran dan hanya dilakukan pengukuran pada siang hari yaitu L3 pada pukul
15.00 WIB (mewakili pukul 14.00 – 17.00 WIB). Maka untuk perhitungan dalam Leq
kelompok kami hanya menggunakan rumus (Ls) yaitu Leq pada siang hari
kemudian dimasukkan data hasil pengamatan pada lokasi praktikum ke-1 dan
ke-2 dimana:
Ls = 10 Log 52,46
Ls = 17,21 dB(A)
Ls = 10 Log 55,33
Ls = 17,42 dB(A)
VII. PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN
Gambar 1.4 dan gambar 1.5 di bawah ini merupakan letak geografis Lokasi 1
dan lokasi 2. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa lokasi 1 terletak di Gazebo pada
kampus depan Politeknik Negeri Cilacap yang berdekatan dengan sumber kebisingan
lalu lintas di daerah Jalan Doktor Soetomo, Karangcengis, Sidakaya, Kec. Cilacap
Selatan, Kabupaten Cilacap. Sedangkan pada lokasi 2 yaitu terletak pada Pom bensin
SPBU 44.532.27 Soetomo-Cilacap dan juga berdekatan dengan sumber kebisingan
yaitu di jalan raya dan pengisian BBM.
1. 70,64 72,3
2. 72,38 73,2
3. 71,3 75,5
4. 68,32 73,94
5. 70,72 75,44
6. 67,86 75,22
7. 69,86 74,56
8. 69,82 72,88
9. 73,48 74,36
10. 70,24 72,98
11. 68,14 71,98
12. 69,5 73
66
64
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Menit/Detik
Dari gambar 1.5 grafik antara tingkat kebisingan pada lokasi 1, kebisingan
tertinggi terjadi pada detik ke 9, sedangkan untuk lokasi 2 kebisingan tertinggi terdapat
pada detik ke 3. Terlihat pada lokasi 1 terjadi penurunan kebisingan pada rata-rata detik
2 sampai detik 3, namun pada detik ke 4 terjadi kenaikan yang cukup signifikan yaitu
sebesar 70,72 dB. Dan pada detik ke 9 terjadi kenaikkan kebisingan yang cukup tinggi
yaitu sebesar 73,48 dB namun pada detik ke 10 hingga 11 terjadi penurunan drastis
pada kebisingan. Sedangkan pada lokasi 2 terjadi peningkatan kebisingan pada detik 1
sampai detik ke 3, namun terjadi penurunan pada detik ke 4 yaitu sebesar 73,94. Dan
pada detik ke 5 hingga ke 8 terjadi penurunan yang signifikan, dan pada detik 9 sampai
11 terjadi penurunan.
Namun pada kelompok kami belum dilakukan pengukuran terhadap luas area
pengukuran tersebut dan langsung melakukan praktikum pada kedua lokasi tersebut,
tetapi dalam perkiraan kelompok kami pada lokasi 1 perkiraan dalam pengukuran
sampel data pada jarak 3 m dari sumber kebisingan. Sedangkan pada lokasi 2 perkiraan
jarak dalam pengukuran sampel data berada pada jarak 6 meter dari sumber kebisingan
tersebut.
Hidayat et al., (2015) juga menambahkan bahwa setiap pengukuran harus dapat
mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 (empat) waktu
pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 (tiga) waktu
pengukuran, sebagai contoh:
Namun pada praktikum kelompok kami, hanya dilakukan pada waktu tertentu
saja yakni pada lokasi 1 yaitu pukul 13.45-13.50 WIB. Sedangkan pada lokasi 2 yakni
pukul 14.07-14.12 WIB. Pada peraturan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 48 Tahun 1996 dalam Hidayat et al., (2015), Untuk mengetahui tingkat kebisingan
ekivalen dengan waktu pengukuran setiap 5 detik selama 10 menit yang terjadi maka
120 data tingkat kebisingan harus diolah menjadi 1 data tingkat kebisingan ekivalen
yang di ukur tiap 5 detik selama 10 menit. Tetapi pada praktikum kelompok kami,
pengukuran hanya dilakukan selama 5 menit tiap 1 detik dalam 1 lokasi. Maka dari itu
data yang diperoleh dari kelompok kami menjadi 60 data tingkat kebisingan dan data
tersebut pun masih kurang relevan dari pada yang seharusnya.
− Cagar Budaya
b. Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit dan sejenisnya 55
2. Sekolah atau sejenisnya 55
3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 718 tahun 1987 dalam
Setiawan, (2010) tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan menyatakan
pembagian wilayah dalam empat zona.
1. Zona A adalah zona untuk tempat pendidikan, rumah sakit, tempat perawatan
kesehatan atau sosial. Intensitas tingkat kebisingannya berkisar 35-45 dB.
2. Zona B adalah untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Membatasi
angka kebisingan antara 45-55 dB.
3. Zona C antara lain perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar. Dengan kebisingan
sekitar 50-60 dB.
4. Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api dan terminal bus.
Tingkat kebisingan berkisar 60-70 dB.
VIII. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam praktikum pengukuran kebisingan yang dilakukan oleh kelompok kami
dapat disimpulkan bahwa:
a. Sumber bunyi yang dihasilkan dari jalan raya tersebut terutama dari
kendaraan bermotor yang melintas di sekitarnya dan juga dalam kegiatan
aktivitas baik itu berupa kegiatan belajar mengajar, maupun kegiatan jual
beli yang memberikan konstribusi besar pada kebisingan yang diterima oleh
lokasi 1 dan lokasi 2. Faktor yang mempengaruhi tingkat kebisingan
tersebut yaitu berasal dari banyaknya kendaraan yang melintas di kedua
ruas jalan yang berdekatan dengan titik lokasi pengambilan data kebisingan,
dan juga aktivitas kegiatan yang terjadi.
b. Tingkat kebisingan dari yang terendah hingga tertinggi pada rata rata di 2
lokasi pengambilan data tersebut yaitu masing-masing sebesar 67,86 dB
sampai 73,48 dB untuk lokasi 1. Dan juga sebesar 71,98 dB sampai 75,5 dB
untuk lokasi 2. Dan dalam grafik hubungan antara tingkat kebisingan
terhadap waktu terjadinya naik turun pada rata-rata tingkat kebisingan.
c. Berdasarkan ketentuan baku tingkat kebisingan menurut peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup, (1996) tingkat kebisingan yang diterima oleh
lingkungan Gazebo dan lingkungan SPBU tidak boleh melebihi nilai
ambang batas yang ditentukan yaitu sebesar 55 dB untuk kategori
lingkungan sekolah atau sejenisnya dan 70 dB untuk kategori Perdagangan
dan Jasa. Dari hasil praktikum yang diperoleh, kebisingan yang diterima
oleh Gazebo Kampus Politeknik Negeri Cilacap dan SPBU Soetomo
Cilacap, telah melebihi batas yang ditentukan tersebut, sehingga perlu
dilakukan penanganan untuk mengurangi kebisingan yang diterima.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil dan pembahasan yang
diperoleh dari praktikum tingkat kebisingan pada lokasi 1 dan lokasi 2, yaitu:
a. Diperlukan pengukuran tingkat kebisingan yang lebih efisien dengan
mengikuti standar prosedur yang diterapkan pada peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup, (1996).
b. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut, untuk memastikan tingkat
kebisingan di sekitar tempat atau lokasi yang berdekatan dengan sumber
kebisingan kendaraan di jalan raya. Sehingga nantinya apabila dalam
penelitian tersebut tetap menghasilkan kesimpulan yang sama dari
penelitian sebelumnya, maka perlu diusahakan agar tingkat kebisingan
tersebut dikurangi.
c. Diperlukan ketelitian dalam melakukan pengukuran pengambilan data
kebisingan agar mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Apriansyah, Wira, Erlian Adi Hayuningrum, Salisa Rizky Candra, and Wahyu Kurniawati. 2024.
“2024 Madani : Jurnal Ilmiah Multidisipline Peran Bunyi Dalam Bidang Kedokteran 2024
Madani : Jurnal Ilmiah Multidisipline.” Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin 1(12):513–18.
Ardiansyah, Muhamad Rian, Ja’far Salim, and Wahyu Susihono. 2013. “Pengaruh Intensitas
Kebisingan Terhadap Tekanan Darah Dan Tingkat Stres Kerja.” Jurnal Teknik Industri
1(1):7–12.
Djalante, Susanti. 2010. “Analisis Tingkat Kebisingan Di Jalan Raya Yang Menggunakan Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas.” Jurnal SMARTek 8(4):280–300.
Feidhal. 2007. “Tingkat Kebisingan Dan Pengaruhnya Terhadap Mhasiswa Di Bengkel Teknik
Mesin Politeknik Negeri Padang.” Jurnal Teknik Mesin 4(1):33.
Hidayat, Rizo Wirman, Noni Febriani, and Amin Ridhoni. 2015. “Analisis Faktor-Faktor
Kebisingan Komplek Perguruan Muhammadiyah Di Kota Pekanbaru.” Photon: Jurnal Sain
Dan Kesehatan 6(01):61–71. doi: 10.37859/jp.v6i01.466.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996. 1996. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No . 15 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat Getaran.
Kustaman, Rusli. 2018. “Bunyi Dan Manusia.” ProTVF 1(2):117. doi: 10.24198/ptvf.v1i2.19871.
Rusjadi, Dodi, and Maharani Palupi. 2011. “Kajian Metode Sampling Pengukuran Kebisingan
Dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996.” Jurnal Standardisasi
13(3):176. doi: 10.31153/js.v13i3.43.
Setiawan, Moch Fathoni. 2010. “Tingkat Kebisingan Pada Perumahan Di Perkotaan.” Jurnal
Teknik Sipil Dan Perencanaan 12(2):191–201.
Suroto, Widi. 2010. “Terhadap Permukiman Kota ( Kasus Kota Surakarta ).” Journal of Rural and
Development 1 no.1(Februari):55–62.
Triwijaya, Santi, Teguh Arifianto, and Ditya Nurma Paulina. 2023. “Desain Alat Pengukur Tingkat
Kebisingan Di Sarana Kereta Api.” 24–31. doi: 10.31284/j.JREEC.2023.V31i2.4892.
United States. Office of Noise Abatement Control. 1974. “Information on Levels of Environmental
Noise Requisite to Protect Public Health and Welfare with an Adequate Margin of Safety.”
US Environmental Protection Agency 1–242.
Wafiroh, Anza Hana. 2013. “Pengukuran Tingkat Kebisingan Di Lingkungan SMPN 2 Jember.”
1–58.
LAMPIRAN
Gambar 1.7 Pengukuran Kebisingan Pertama Gambar 1.8 Pengukuran Kebisingan Terakhir
b. Gambar Lokasi 2 (SPBU Soetomo Cilacap)
Gambar 2.0 Pengukuran Kebisingan Pertama Gambar 2.1 Pengukuran Kebisingan Terakhir