Anda di halaman 1dari 11

Soilrens, Volume 14 No.

2 Tahun
2016

Kajian Mineral Fraksi Pasir pada Andisol yang Berkembang dari Hasil Erupsi
Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Patuha, Jawa Barat

Rina Devnita, Mahfud Arifin, dan Ridha Hudaya


Staff Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21
Jatinangor Korespondensi:
rinabursi@yahoo.com

ABSTRACT
Mineral content of the soil determines various properties including nutrient that can be
released during the weathering process. The research to identify the minerals in Andisol developed
from the eruption of Mt. Tangkuban Parahu and Mt. Patuha had been conducted to determine the
minerals content in the sand fraction. This research was conducted in several steps: the field survey,
soil sampling, and laboratory analysis. The field locations were in the forest of Cikole, Lembang,
West Java derived from the eruption Mt. Tangkuban Parahu and in the forest of Patengan,
Rancabali, West Java derived from the eruption of Mt. Patuha. Sand fraction was separated from silt
and clay by wet sieving method, using the 50 micron siever. Microscopic observation for identifying
the minerals was done with polarization microscope to the color, luster, shape of grains and crystals,
cleavage, hardness, transparency, translucent, and magnetic properties. The results showed that the
sand fraction of Andisol derived from Mt. Tangkuban Parahu and Mt. Patuha had the mineral
content as hypersthene, diopside, orthoclase, oligoclase, anorthite, andesine, hornblende, biotite,
quartz, corundum, magnetite dan sulphur, showed that the weathering those minerals can
contribute some nutrients like Mg, Ca, K Fe, and S to the soil
Key words: hyperstene, diopside, anorthite, hornblende, biotite

1. PENDAHULUAN Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung


Indonesia mempunyai 129 gunungapi Patuha merupakan dua dari gunungapi aktif di
aktif atau 13 % dari gunungapi di dunia Jawa Barat dan daerah di sekitarnya
(Sudradjat, 1992; 2009). Gunungapi tersebut merupakan daerah sebaran Andisol (Arifin,
dalam aktivitasnya menyemburkan abu yang 1994; Devnita et al, 2010). Bahan klastika
selanjutnya akan menjadi bahan induk dari yang berasal dari letusan gunungapi
tanah abu gunungapi, sehingga pada daerah menambahkan mineral mudah lapuk ke dalam
bergunungapi ditemukan tanah yang dalam tanah, yang melapuk dengan cepat dan
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2014) melepaskan berbagai hara yang diperlukan
dapat dikelompokkan dalam ordo Andisol. tanaman (Parfitt dan Wilson, 2008). Potensi
Luas Andisol di Indonesia sekitar 5.836 juta hara tersebut dapat tercermin dari mineral
ha atau 3,4 % luas daratan Indonesia pada fraksi pasirnya.
(Puslitbangtanak, 2001). Andisol hanya me- Komposisi mineral pada horison tanah
nempati sebagian kecil dari luas daratan, akan juga menunjukkan homogenitas atau
tetapi Andisol mempunyai peran penting heterogenitas horison, cadangan hara, tingkat
dalam pertanian karena termasuk tanah yang pelapukan, asal mineral liat, sifat tanah yang
produktif untuk berbagai tanaman hortikul- terbentuk, penciri utama famili tanah, dan
tura dan perkebunan. menentukan jenis bahan induk tanah
Pulau Jawa memiliki 35 gunungapi aktif (Hardjowigeno, 2003). Komposisi mineral
dan 19 di antaranya terdapat di Jawa Barat. fraksi pasir menarik untuk diamati karena

1
Soilrens, Volume 14 No. 2 Tahun
2016

terkait dengan potensi hara yang dilepas ke


naan lahan serta kemiringan yang sesuai
dalam tanah pada proses pelapukannya.
untuk pembuatan profil tanah yaitu tanah
Identifikasi mineral fraksi pasir pada Andisol
ordo Andisol, dengan bahan induk hasil erupsi
yang berkembang dari hasil erupsi G.
gunungapi pada areal hutan alami dengan
Tangkuban Parahu dan G. Patuha diharapkan
kemiringan 8-15%.
akan memberikan informasi mengenai
potensi sumbangan hara mineral-mineral Sampel tanah diambil pada setiap
tersebut dan melengkapi pemahaman horison yang ada pada profil. Sampel tanah
mengenai bahan induk Andisol. selanjutnya dipisahkan fraksi pasirnya di
laboratorium. Fraksi pasir ini diperoleh
2. METODE PENELITIAN melalui analisis tekstur dengan terlebih
dahulu menggunakan peroksida (H2O2) untuk
Bahan penelitian ini adalah fraksi pasir
menghilangkan bahan organik, dan partikel
yang diperoleh dari setiap horison pada profil
tanah diperoleh melalui pengayakan dengan
Andisol di hutan pinus Desa Cikole,
saringan berukuran 2 mm untuk mendapat-
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
kan partikel pasir. Pemisahan fraksi pasir dari
Barat, Jawa Barat, yang berada pada sisi
debu dan liat dilakukan dengan pengayakan
selatan G. Tangkuban Parahu serta Desa
menggunakan saringan berukuran 50 mikron
Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten
(Van Reeuwijk, 1992). Identifikasi mineral
Bandung Barat, Jawa Barat, yang berada pada
dilakukan dengan mikros-kop polarisasi
sisi utara G. Patuha.
mempedomani Mange and Mauver (1992).
Alat yang digunakan di lapangan antara
lain peta geologi lembar Bandung skala 1 :
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
100.000 (Silitonga, 2003) dan peta geologi
lembar Sindang Barang skala 1 : 300.000 3.1. Informasi lokasi penelitian
(Koesmono, 1976). Peta lain yang digunakan Lokasi penelitian adalah Desa Cikole yang
adalah peta tanah (Bapeda, 2008a), berada di lereng selatan G. Tangkuban Parahu
penggunaan lahan (Bapeda, 2008b), topografi (TPR) dan Desa Patengan yang berada lereng
(Bapeda, 2008c) dan iklim (Bapeda, 2010). utara G. Patuha (PTH). Desa Cikole berkem-
Peralatan lapagan lainnya berupa kertas bang dari hasil erupsi G. Tangkuban Parahu,
deskripsi, clinometer, kantong plastik, pisau, berbahan induk andesit berumur Holosen
bor tanah (bor Belgia), meteran, label, kamera berupa tuf pasir kristal hornblende, lahar
foto, Munsell Soil Color Chart dan GPS (Global lapuk kemerahan, lapisan lapili dan breksi
Position System). Pengamatan di lapangan dari G. Dano dan G. Tangkuban Parahu yang
berpedoman pada National Soil Survey Center disimbolkan dengan Qyd (Silitonga, 2003).
(2002). Peralatan laboratorium adalah alat Profil tanah berada pada daerah dengan
untuk analisis tekstur dengan metode topografi 8 – 15 %.
pengayakan basah (Van Reeuwijk, 1992) dan Fisiografi dan deskripsi profil TPR
mikroskop polarisasi untuk pengamatan ditampilkan pada Tabel 1 dan 2. Desa
mineral (Mange and Mauver, 1992). Patengan berkembang dari induk lava
Penelitian dimulai dengan menginventa- berkomposisi andesitik dan andesit-basaltik
risasi peta untuk menentukan lokasi penga- berupa lahar yang mengandung tuf pasiran
matan dan pengambilan sampel tanah dengan abu-abu dan plagioklas yang disimbolkan
cara menumpangsusunkan (overlay) peta- dengan Qv (p,l) dari G. Patuha berumur
peta yang ada sehingga menghasilkan peta Holosen (Koesmono, 1976). Profil tanah
kombinasi penyebaran bahan induk dan berada pada daerah dengan topografi 8-15 %.
formasi geologi dengan tanah dan penggu- Fisiografi dan deskripsi profl PTH
ditampilkan pada Tabel 3 dan 4.

2
Soilrens, Volume 14 No. 2 Tahun
2016

Tabel 1 Fisiografi Profil TPR


Informasi yang diperoleh dari fisiografi
Lokasi : Desa Cikole, Kecamatan pada Tabel 1 dan 3 menunjukkan bahwa
Administrasi Lembang, Kabupaten Bandung Andisol pada kedua lokasi adalah Andisol
Barat
dataran tinggi yang berada pada ketinggian
Bahan induk : Tuf pasir G. Dano dan
lebih dari 1200 m dan berkembang di bawah
GTangkuban Parahu
vegetasi hutan pada regim kelembaban udik
Koordinat X = 1070 38’ 57
serta regim temperatur isohipertermik (TPR)
Y = 060 47’07”
dan isotermik (PTH).
Elevasi : 1.300 m dpl
Deskripsi profil pada Tabel 2 dan 4
Kemiringan : 12 %
menunjukkan bahwa Andisol pada kedua
Drainase : Baik
lokasi mempunyai susunan horizon yang
Vegetasi : Pinus (Pinus mercusii), Rumput lengkap Ap, Bw, 2 Ab, 2 Bw dan 2 BC (TPR)
Gajah (Pueraria phaseoloides)
dan Ap, Bw, BC, C, 2 Ab, 2 CB, 2 C dan R (PTH).
Klasifikasi : Cikole, Typic Hapludands, Adanya horison A dan Bw menunjukkan
tanah besar, amorfik, isohipertermik
tanahnya telah berkembang membentuk
Iklim : Regim kelembapan tanah udik
solum dengan horison A dan B, meskipun
Regim temperatur tanah
perkembangan horison B masih lemah (Bw).
isohipertermik

Tabel 2 Deskripsi Profil TPR


Kedalaman
Horison Uraian
(cm)
0-14 Ap1 Coklat kekuning-kuningan (10YR 5/6); lempung berdebu; remah, sangat halus,
lemah, sangat gembur; pori makro sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar
besar banyak, akar medium sedang dan akar kecil banyak; pH 5; batas horison baur,
rata
14-22 Ap2 Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 4/6); lempung berdebu; remah, sangat halus,
lemah, sangat gembur; pori makro sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar
besar tidak ada, akar medium banyak dan akar kecil ; pH 5; batas horison baur, rata
22-48 Ap3 Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 4/4); lempung berdebu; remah, halus, agak
lemah, gembur; pori makro sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar besar
sedikit, akar medium banyak dan akar kecil banyak ; pH 5; batas horison baur, rata
48-58 Bw Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 3/4); lempung berdebu; gumpal bersudut,
halus, agak lemah, gembur; pori makro sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar
besar sedikit, akar medium sedikit, akar kecil sedikit; pH 5; batas horison jelas, rata
58-87 2 Ab1 Coklat sangat gelap (10YR 2/2); debu; remah, halus, lemah, sangat gembur; pori
makro sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar besar tidak ada, akar medium
sedikit dan akar kecil banyak; pH 5.5; batas horison baur, rata
87-110 2 Ab2 Hitam (10YR 2/1); debu; remah, halus, lemah, gembur; pori makro sedikit, meso
banyak, dan mikro; akar besar tidak ada, akar medium sedang and akar kecil banyak;
pH 6; batas horison baur, rata
110-119 2 BA Coklat sangat gelap (10YR 2/3); debu; gumpal bersudut, halus, lemah, gembur; pori
makro sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar besar tidak, akar medium sedikit
dan akar kecil sedikit; pH 5; batas horison jelas, rata
119-144 2 Bw1 Coklat gelap (10YR 3/3); debu; gumpal bersudut, medium, sedang, teguh; pori makro
sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar besar tidak ada, akar medium sedikit
dan akar kecil sedang, pH 5; batas horison jelas, rata
144-162 2 Bw2 Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 3/6); debu; gumpal bersudut, medium,
sedang, teguh; pori makro sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar besar tidak
ada, akar medium tidak ada dan akar kecil tidak ada; pH 5; batas horison baur, rata
162-200 2 BC Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 4/6); debu; gumpal bersudut, medium, keras,
teguh; pori makro sedikit, meso banyak dan mikro banyak; akar besar sedikit, akar
medium sedikit dan akar kecil sedikit; pH 4

3
Soilrens, Volume 14 No. 2 Tahun
2016

Tabel 3 Fisiografi Profil PTH


Lokasi Administrasi : Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Bahan induk : Lava dan lahar G. Patuha
Koordinat X = 1070 23’ 35”
Y = 070 08’40”
Elevasi : 1.791 m dpl
Kemiringan : 8%
Drainase : Baik
Vegetasi : Kayu Putih (Melaleuca leucadendron) Alang-alang (Imperata cylindria)
Klasifikasi tanah : Patengan, Typic Hapludands, besar, amorfik, isotermik
Iklim : Regim kelembapan tanah udik
Regim temperatur tanah isotermik

Tabel 4 Deskripsi Profil PTH


Kedalaman
Horison Uraian
(cm)
0-11 Ap1 Coklat gelap (10YR 3/3); debu; remah, sedang, lemah, sangat gembur; pori
makro banyak, meso banyak dan mikro banyak; akar besar banyak, akar
sedang banyak dan akar kecil banyak; pH 5; batas horison jelas, rata
11-19 Ap2 Coklat keabu-abuan gelap (10YR 3/4); debu; remah, sedang, lemah, sangat
gembur; pori makro banyak, meso banyak dan mikro banyak; akar besar
banyak, akar sedang banyak dan akar kecil banyak; pH 5; batas horison jelas,
rata
19-39 Ap3 Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 3/6); debu; remah, sedang, lemah,
sangat gembur; pori makro banyak, meso banyak dan mikro banyak; akar
besar banyak, akar sedang banyak dan akar kecil banyak; pH 5; batas horison
jelas, rata
39-67 Bw Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 4/6); debu; remah, sedang, lemah,
gembur, banyak fragmen batuan volkanik; pori makro sedikit, meso banyak
dan mikro banyak; akar besar banyak, akar sedang banyak dan akar kecil
banyak; pH 5; batas horison jelas, rata
67-85/95 BC Coklat kekuning-kuningan (10YR 5/6); debu; gumpal bersudut, sedang, lemah,
teguh, banyak fragmen batuan volkanik; pori makro sedikit, meso sedikit dan
mikro sedikit; akar besar banyak, akar sedang banyak dan akar kecil banyak;
pH 5; batas horison jelas, berombak
85/95-102 C Coklat kekuning-kuningan (10YR 5/8); debu; gumpal bersudut, halus, sedang,
lemah, teguh, banyak fragmen batuan volkan; pori makro sedikit, meso sedikit
dan mikro banyak; akar besar sedikit, akar medium sedang dan akar kecil
sedang; pH 4; batas horison jelas, berombak
102-125 2 Ab Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 4/4); debu; gumpal bersudut, halus,
sedang, teguh; pori makro sedikit, meso sedikit dan mikro sedikit; akar besar
tidak ada, akar sedang tidak ada dan akar kecil sedikit; pH 4; batas horison
jelas, rata
125-141 2 CB Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 4/6); debu; gumpal bersudut, halus,
sedang, gembur, banyak fragmen batuan volkanik; pori makro sedikit, meso
sedikit dan mikro sedikit; akar besar tidak ada, akar sedang tidak ada dan akar
kecil sedikit; pH 4; batas horison jelas, rata
141-157 2C Coklat gelap kekuning-kuningan (10YR 3/6); debu; remah, halus, sedang,
gembur ; pori makro sedikit, meso sedikit dan mikro sedikit; akar besar tidak
ada, akar sedang tidak ada dan akar kecil sedikit; pH 5; batas horison jelas,
rata
157-200 R Tidak ada uraian untuk horison R

4
Soilrens, Volume 14 No. 2 Tahun
2016

Hal yang menarik dari kedua profil


(2002) menemukannya pada ordo Inceptisol,
adalah ditemukannya horison tertimbun (2
Ultisol dan Entisol. Ande dan Senjobi (2002)
Ab). Adanya horizon ini menunjukkan ter-
juga menambahkan bahwa lithologic discon-
dapatnya lithologic discontinuity (litologi yang
tinuity tidak hanya dapat diamati melalui pe-
tidak berkelanjutan) yang merupakan infor-
rubahan warna, tetapi juga melalui perbedaan
masi bahwa tanah pada profil tersebut ber-
tekstur dan struktur. Weindorf et. al. (2015),
kembang dari lebih satu sumber erupsi bahan
lebih lanjut mengemukakan bahwa adanya
induk. Adanya lithologic discontinuity secara
lithologic discontinuity dapat diungkapkan
morfologi antara lain terlihat dari warna ta-
dengan menggunakan Portable X-ray
nah yang berubah kembali menjadi gelap. Hal
Fluorescence Spectrometry and Visible Near-
tersebut terjadi pada horison A di kedalaman
Infrared Diffuse Reflectance Spectroscopy.
tertentu, yang teridentifikasi dari value dan
chroma yang kembali kecil. 3.2. Kajian mineral faksi pasir
Profil TPR memperlihatkan nilai value Hasil analisis fraksi pasir pada profil TPR
dan chroma mengecil menjadi 10YR 2/2 pada dan profil PTH ditampilkan pada Tabel 5 dan
kedalaman 58-87 cm dibandingkan horison 6. Penampakan mikroskopis dan deskripsi
48-58 cm di atasnya yang mempunyai nilai mineral yang ditemukan pada profil TPR dan
10YR 3/4. Profil PTH menunjukkan peruba- PTH diamati di bawah mikroskop ditampilkan
han tersebut pada kedalaman 102-125 cm de- pada Tabel 7. Hasil analisis tersebut
ngan nilai 10YR 4/4 yang lebih kecil diban- menunjukkan bahwa pada profil TPR terdapat
dingkan 10YR 5/8 pada horison 85/95-102 sepuluh jenis mineral yaitu hiperstin, diopsid,
cm di atasnya. Adanya lithologic discontinuity ortoklas, plagioklas, anortit, hornblende,
ini menunjukkan tanah tersebut berkembang biotit, kuarsa magnetit dan korondum.
dari beberapa periode erupsi gunungapi dan Mineral yang sama (hiperstin, diopsid,
merupakan hal yang lazim pada Andisol ortoklas, plagioklas, anortit, biotit, kuarsa,
meskipun tidak semua Andisol memiliki magnetit, dan korondum) juga ditemukan
lithologic discontiuty. pada profil PTH. Meskipun demikian pada
Lihologic discontinuity tidak hanya dijum- PTH tidak ditemukan hornblende, melainkan
pai pada Andisol saja tetapi dapat ditemukan andesin. Mineral sulfur juga ditemukan pada
pada ordo tanah lainnya, Ande dan Senjobi PTH dan tidak terdapat pada TPR.

Tabel 5 Kandungan mineral fraksi pasir pada Profil TPR


Horison
No Mineral
Ap1 Ap2 Ap3 Bw 2Ab1 2Ab2 2BA 2Bw1 2Bw2 2BC
1 Hiperstin √ √ √ √ - - - √ √ √
2 Diopsid √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Ortoklas √ √ √ √ √ √ - - - √
4 Oligoklas √ √ √ - √ - - - - -
5 Anortit √ √ _ √ - √ √ √ √ √
6 Hornblende √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
7 Biotit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
8 Kuarsa √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
9 Korondum √ √ - √ √ √ √ √ √ √
10 Magnetit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

5
Soilrens, Volume 14 No. 2 Tahun
2016

Tabel 6 Kandungan mineral fraksi pasir pada profil PTH


Horison
No Mineral
Ap1 Ap2 Ap3 Bw C Ab1 Ab2 2CB 2C R
1 Hiperstin √ √ √ - √ √ √ √ √ -
2 Diopsid √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
3 Ortoklas √ √ - - - - √ √ √ -
4 Oligoklas √ - - - - - - - - -
5 Anortit - - - - - - - √ √ -
6 Andesine - √ √ √ √ √ - - - -
7 Biotit - - - - √ √ √ √ √ -
8 Kuarsa √ √ - √ √ √ √ √ √ -
9 Magnetit √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
10 Korondum - _ - √ - - - - - -
11 Sulfur √ √ √ - √ √ - - - -

Tabel 7 Penampakan mikroskopis dan deskripsi mineral fraksi pasir yang ditemukan pada profil
Tangkuban Parahu (TPR)
Penampakan Penampakan
No Deskripsi Mineral No Deskripsi Mineral
Mikroskopis Mikroskopis
1
Hiperstin (Mg,Fe)SiO3 Perbesaran 20X 7 Biotit Perbesaran 20X
Warna hitam, kilap K(Mg,Fe)3(AlSi3O10)(OH)2
kaca, kekerasan 6-6,5, Warna coklat kehitaman,
bentuk kristal Kilap kaca, kekerasan 2,5,
ortorombik, berat berat jenis 2, 9-3,4, bentuk
jenis 3,34. Bentuk kristal massif, sistem kristal
mineral subhedral. monoklin, bentuk mineral
anhedral.
2
Diopsid MgCaSi2O6 Perbesaran 20X 8 Kuarsa SiO2 Perbesaran 20 x
Warna hijau Warna putih, kilap kaca,
kekuningan, sistem kekerasan 7, goresan putih,
kristal monoklin, kilap berat jenis 2,65, belahan
kaca, kekerasan 6-6,5, tidak ada, bentuk subhedral
Berat jenis 3,34, prismatik.
bentuk mineral
anhedral

3
Ortoklas KAlSi3O8
Perbesaran 16 x 9 Korondum Al2O3 Perbesaran 16 x
Warna merah muda,
Warna merah bata, system
sistem kristal mono-
kristal heksagonal, bentuk
klin, kekerasan 6, berat
kristal prismatik, bentuk
jenis 2,55, kilap kaca,
mineral subhedral, goresan
warna goresan putih,
putih, kilap adamantin,
bentuk sub-hedral
kekerasan 9, berat jenis
granular. 4,0-4,1.
4
Oligoklas (Na,Ca) 10 Magnetit Fe3O4
(Al,Si)AlSi2O8 Warna: Perbesaran 20X
Warna Hitam, goresan
Tidak berwar- na – hitam, kekerasan 6-6,5.
putih, abu-abu, hijau Berat jenis 5,2, kilap logam,
pucat, kuning Sistem kristal isometrik,
atau coklat, sistem bentuk subhedral massif
kristal: blocky atau halus.
tabular; berat jenis:
2,64-2,68, kilap kaca,
warna sebuk putih,

6
Soilrens, Volume 14 No. 2 Tahun
2016

Penampakan Penampakan
No Deskripsi Mineral No Deskripsi Mineral
Mikroskopis Mikroskopis
5 Anortit NaAlSi3O8 Perbesaran 20 x 11 Andesine (Na,Ca)AlSi3O8 Perbesaran 20 x
Warna putih, kilap Warna putih susu, kilap
kaca, kekerasan 6-6,5, kaca, kekerasan 6-6,5, berat
berat jenis 2,6-2,65, jenis 2,6-2,65, sistem kristal
sistem kristal triklin, triklin, bentuk tabular,
bentuk tabular, goresan goresan putih, bentuk
putih mineral subhedral
6 Hornblende Perbesaran 20 x 12 Sulfur S Perbesaran 20 x
(Ca,Na)2–3(Mg,Fe,Al)5 Warna kuning, goresan
(Al,Si)8O22(OH,F)2; ke- putih, sistem kristal
kerasan: 5-6, berat je- ortorombik, kilap lemak,
nis 2,9-3,4 warna hijau, kekerasan 1,5-2,5, berat
coklat kehijauan, coklat jenis 2,07, bentuk mineral
dibedakan dengan mi- subhedral.
neral mineral piroksen
dan biotit mika,

Mineral-mineral yang terdapat pada hornblende dan biotit. Mineral tersebut dalam
profil TPR dan PTH ini adalah mineral yang unsur penyusun kimianya mengandung hara
lazim dijumpai pada batuan beku (Best dan K (ortoklas, biotit, hornblende), Ca (augite,
Christiansen, 2001). Abu hasil erupsi gunung- diopsid, hornblende, anortit, hornblende,
api merupakan salah satu produk batuan oligoklas), Mg (hiperstin, diopsid, augit,
beku, sehingga mineral tanahnya merupakan hornblende, biotit). Mineral-mineral tersebut
mineral dari hasil lapukan fisika batuan juga ada yang mengandung beberapa hara
tersebut. Mineral fraksi pasir pada berbagai tanaman seperti diopsid dan hornblende yang
horison tanah di profil TPR dan PTH ini dapat mengandung Ca dan Mg. Mineral mudah lapuk
dikelompokkan menjadi mineral silikat dan tersebut dalam proses pelapukan kimianya
non silikat. Berpedoman pada Plummer et. a.l akan melepas hara ke dalam tanah dan
(2003), mineral silikat ini dapat dikelom- tersedia untuk tanaman. Tanah yang kaya
pokkan menjadi kelompok piroksin (hiperstin akan mineral tersebut diharapkan juga kaya
dan dipsid), kelompok feldspar (ortoklas, akan hara yang dibutuhkan tanaman.
plagioklas, anortit dan andesin), kelompok
amfibol (hornblende), kelompok mika (biotit) 4. KESIMPULAN
serta mineral kuarsa. Mineral non silikat
Mineral fraksi pasir yang ditemukan pada
adalah oksida aluminium (korundum), oksida
Andisol hasil erupsi G. Tangkuban Parahu dan
besi (magnetit) dan unsur tunggal (sulfur).
G. Patuha adalah hiperstin, diopsid, biotit,
Mineral tersebut juga dikelompokkan ortoklas, oligoklas, anortit, hornblende, biotit,
menjadi mineral mudah lapuk dan sukar kuarsa, korundum, magnetit, dan sulfur.
lapuk. Mineral mudah lapuk dapat dipedo- Mineral mudah lapuk dan menyumbang hara
mani untuk menduga pelepasan cadangan ha- adalah hiperstin, diopsid, biotit, ortoklas,
ra dari hasil pelapukan, dan potensi hara pada oligoklas, anortit, hornblende, biotit dan
tanah. Pramuji dan Bustaman (2009) men- kuarsa. Hara yang dapat dihasilkan dari
duga cadangan hara dari tanah di Kalimantan pelapukan mineral tersebut adalah Ca,Mg, K
Timur dan dari mineral ortoklas, sanidin, dan S.
hornblende dan mineral lainnya di tanah
tersebut. Mineral pada profil TPR dan PTH ini Ucapan Terima Kasih
merupakan mineral mudah lapuk yaitu Penulis mengucapkan terima kasih
hiperstin, diopsid, ortoklas, plagioklas, anortit, kepada Hamdani, Aditio Wibowo Djohar dan

7
Soilrens, Volume 14 No. 2 Tahun
2016

Rio Kurniawan yang membantu sampling di


Koesmono. 1976. Peta Geologi Lembar
lapangan, serta Ahmad Afandi yang mem- Sindangbarang, Jawa. Dir. Geologi. Dep.
bantu dalam analisis mineral. Pertambangan. R. I. Bandung.
Mange, M. A. and H. W. F. Mauver. 1992.
DAFTAR PUSTAKA Heavy Minerals in Colour. Chapman and
Ande, I., and B. Senjobi. 2010. Lithologic dis- Hall. London. 147 p.
continuity and pedogenetic characterri- National Soil Survey Center (NSSC). 2002.
zation on an aberrant toposequence Field Book for Describing and Sampling
associated with a rock hill in South Soils Version 2.0. Natural resources
Western Nigeria. International Journal Conservation Service. United State
of the Physical Sciences, 5(5). 596-604. Departement of Agriculture. 219 p.
Arifin, M. 1994. Pedogenesis Andisol Ber- Parfitt, E. A., and L. Wilson. 2008.
bahan Induk Abu Volkan Andesit dan Fundamentals of Physical Volcanology.
Basalt pada Beberapa Zona Agroklimat di Blackwell Sci. Ltd. Australia. 210 pp.
Daerah Perkebunan Teh Jawa Barat.
Disertasi Doktor. Institut Pertanian Plummer, C.C., D. Mc. Geary, and D. H. Carlson.
Bogor. 202 hal. 2003. Physical Geology, ninth edition.
Mc. Graw Hill. New York. 574 pp.
Badan Perencanaan Daerah (Bapeda). 2008a.
Peta Jenis Tanah Kabupaten Bandung, Pramuji dan M. Bastaman. 2009. Teknik
Jawa Barat, Skala 1 : 125.000. Badan analisis mineral tanah untuk menduga
Perencanaan Tata Ruang dan Lahan. cadangan sumber hara. Buletin Teknik
Bandung. Pertanian 14 (2): 80-82.

Badan Perencanaan Daerah (Bapeda). 2008b. Puslitbangtanak, 2001. Atlas Sumberdaya


Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Ban- Tanah Indonesia Tingkat Eksplorasi,
dung, Jawa Barat, Skala 1:125.000. Badan skala 1:1.000.000. Puslitbangtanak,
Perencanaan Tata Ruang dan Lahan. Bogor.
Bandung. Silitonga, P. H. 2003. Peta Geologi Lembar
Badan Perencanaan Daerah (Bapeda). 2008c. Bandung. Departemen Energi dan
Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Ban- Sumber Daya Mineral
dung, Jawa Barat, Skala 1:125.000. Badan Soil Survey Staff. 2014. Keys to Soil Taxonomy.
Perencanaan Tata Ruang dan Lahan. 10th ed. Natural Resources Conservation
Bandung. Service. 332 p.
Badan Perencanaan Daerah (Bapeda). 2010. Sudradjat, A. 1992. Gunungapi dan
Peta Iklim Kabupaten Bandung, Jawa Gempabumi. Jakarta. 164 hal.
Barat, Skala 1:125.000. Badan Peren-
Sudradjat, A. 2009. The Development of
canaan Tata Ruang dan Lahan. Bandung.
Volcanologic Investigation in Indonesia.
Best, M.G. and E. H. Christiansen. 2001. Universitas Padjadjaran Press. Bandung.
Igneous Petrology. Blackwell Science, 458 239 hal.
pp
Van Reeuwijk, L. P. 1992. Procedure for Soil
Devnita, R., Arifin, M., Salim, E.H., Sudrajat, H., Analysis. Fourth Edition. ISRIC.
Hudaya, R., and Van Ranst, E. 2010. Soil Wageningen. The Netherland. 56 p.
developed on volcanic materials in West
Weindorf, D. C., S. Chakraborty, A. Abdalsatar,
Java, Indonesia. International Journal of
L. Paulette, G. Corti, E. Miché li, D. Wang,
Arts and Sciences, 9, 180-192.
B. Li, T. Man, A. Sharma and T Person.
Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan 2015. Lithologic Discontinuity Assess-
Pedogenesis. Akademika Pressindo, ment in Soils via Portable X-ray
Jakarta. 354 hal. Fluorescence Spectrometry and Visible
Near-Infrared Diffuse Reflectance
Spectroscopy Soil Science Society of
America Journal.
8
REVIEW JURNAL

Judul Jurnal SISTEM KRISTAL MONOKLIN DAN TRIKLIN

Volume dan Halaman 1 dan 154-162


Tahun Terbit 2021
Penulis Salwa Safitri Irianto Dan Firdaus Zulkarnain
Pendahuluan Inti dari pendahuluan jurnal tersebut adalah, Kristal adalah
zat padat homogen, anisotrop dan tembus air serta menuruti hukum
–hukum ilmu pasti, sehingga susunan bidang-bidangnya mengikti
hukum geomoteri, jumlah dn kedudukan dari bidangnya tertentu
dan teratur. Dalam mempelajari erat hubungannya mempelajari
batuan. Dalam praktikum kali ini, kita membahas tentang sistem
kristal monoklin dan triklin. Metode yang digunakan dalam
praktikum ini yaitu metode pendeskripsian dan menggambar
sampel. Adapun maksud dari dilakukannya praktikum ini yaitu agar
praktikan dapat mengetahui bentuk-bentuk dan kelas dari sistem
kristal monoklin dan triklin. Adapun bentuk dan kelas dari sistem
kristal monoklin yang didapat dalam praktikum yaitu bentuk prisma
pinacoid, sphenoids, pinakoid order III, dan pinacoid order I.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian jurnal tersebut adalah untuk menganalisis


proyeksi bauran energi primer di Indonesia dalam beberapa
skenario, yaitu skenario Business as Usual (BaU) dan skenario
Current Policy (CP), serta untuk mengevaluasi peran energi
migas dalam penyediaan energi primer di masa depan.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
yang lebih baik
tentang kebutuhan dan tantangan dalam mengelola energi
migas di Indonesia.
Permasalahan Permasalahan dalam jurnal tersebut antara lain adalah:
1. Ketergantungan pada energi fosil: Indonesia masih sangat
bergantung pada energi fosil, terutama migas, dalam
memenuhi kebutuhan energi nasional. Hal ini
menimbulkan tantangan dalam mencapai target
penggunaan energi terbarukan yang telah ditetapkan.
2. Pangsa energi terbarukan yang rendah: Meskipun
Indonesia memiliki kebijakan untuk meningkatkan
penggunaan energi terbarukan, pangsa energi terbarukan
baru mencapai 11,31% dari total kebutuhan energi
nasional pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan bahwa
upaya untuk meningkatkan penggunaan energi
terbarukan masih menghadapi tantangan.

9
3. Penurunan produksi migas: Produksi migas nasional
mengalami penurunan akibat penurunan alamiah dari
sumur- sumur tua dan rendahnya tingkat keberhasilan
eksplorasi migas. Hal ini menimbulkan tantangan dalam
memenuhi kebutuhan energi migas nasional di masa
depan.
4. Infrastruktur migas yang belum terintegrasi: Masalah
infrastruktur migas yang belum terintegrasi, terutama di
daerah perbatasan dan daerah 3T (Terdepan, Terpencil,
dan Tertinggal), menyebabkan disparitas harga migas
antar wilayah. Hal ini menjadi tantangan dalam mencapai
kesetaraan harga bahan bakar minyak di seluruh wilayah
Indonesia.
5. Faktor ekonomi: Faktor ekonomi, seperti inflasi dan nilai
tukar rupiah, juga menjadi tantangan dalam pengelolaan
energi migas. Tingginya inflasi dan fluktuasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar dapat berdampak pada harga
bahan bakar minyak dan cadangan devisa negara.
Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam jurnal tersebut
tidak dijelaskan secara rinci dalam kutipan yang diberikan.
Oleh
karena itu, tidak ada informasi yang dapat dikutip mengenai
metodologi penelitian yang digunakan dalam jurnal tersebut.
Hasil Penelitian Tidak terdapat hasil penelitian dalam jurnal
tersebut, dikarenakan metodologi penelitiannya
juga tidak dijelaskan
secara rinci didalam jurnal.
Kesimpulan Kesimpulan dari jurnal tersebut adalah bahwa pengelolaan
energi migas di Indonesia menghadapi berbagai tantangan,
termasuk ketergantungan pada energi fosil, pangsa energi
terbarukan yang rendah, penurunan produksi migas,
infrastruktur migas yang belum terintegrasi, dan faktor
ekonomi seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Untuk
mengatasi tantangan ini, diperlukan kebijakan dan strategi
yang tepat dalam mengelola energi migas di Indonesia,
termasuk peningkatan investasi dalam eksplorasi migas,
pengembangan infrastruktur migas yang terintegrasi, dan
kebijakan fiskal yang mendukung investasi migas. Selain itu,
perlu juga dilakukan upaya untuk meningkatkan penggunaan
energi terbarukan guna mengurangi ketergantungan pada
energi fosil.
Kelebihan Kelebihan jurnal tersebut adalah:

1. Analisis yang komprehensif: Jurnal ini melakukan analisis


yang komprehensif terkait proyeksi bauran energi primer
di Indonesia dalam beberapa skenario. Hal ini
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi
energi migas di Indonesia dan tantangan yang dihadapi.
2. Relevansi dengan kebijakan energi nasional: Jurnal ini
mengaitkan hasil penelitian dengan kebijakan energi
1
nasional Indonesia, seperti Kebijakan Energi Nasional
0
(KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Hal
ini menunjukkan relevansi penelitian dengan upaya
pemerintah
3. Pendekatan multidisiplin: Jurnal ini menggunakan
pendekatan multidisiplin dalam menganalisis
permasalahan energi migas di Indonesia. Hal ini
mencakup aspek teknis, ekonomi, dan sosial yang relevan
dalam mengelola energi migas di Indonesia.
dengan pengelolaan energi migas.
4. Memberikan rekomendasi kebijakan: Jurnal ini
memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat
diimplementasikan untuk mengatasi tantangan dalam
pengelolaan energi migas di Indonesia. Rekomendasi ini
dapat menjadi panduan bagi pemerintah dan pemangku
kepentingan lainnya dalam mengambil langkah-langkah
yang tepat.
Kelemahan Kelemahan jurnal tersebut adalah:

1. Terbatasnya data dan informasi: Jurnal ini mungkin


memiliki keterbatasan dalam data dan informasi yang
digunakan dalam analisis. Hal ini dapat mempengaruhi
validitas dan generalisabilitas hasil penelitian.
2. Tidak ada analisis mendalam tentang faktor sosial dan
lingkungan: Jurnal ini lebih fokus pada aspek teknis dan
ekonomi dalam pengelolaan energi migas. Tidak ada
analisis yang mendalam tentang dampak sosial dan
lingkungan dari penggunaan energi migas di Indonesia.
3. Tidak ada pembandingan dengan negara lain: Jurnal ini
tidak membandingkan situasi energi migas di Indonesia
dengan negara lain. Hal ini dapat mengurangi
pemahaman tentang
posisi Indonesia dalam konteks global dan kebijakan
energi yang diadopsi oleh negara-negara lain.

1
1

Anda mungkin juga menyukai