Anda di halaman 1dari 18

UNSUR DAN NILAI KEBUDAYAAN DALAM NOVEL “HELLO”

KARYA TERE LIYE

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester


Mata Kuliah Pengantar Ilmun Budaya

Diampu Oleh:
Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum.

Disusun Oleh:
Amelia Kusuma Putri
23/517160/SA/22383

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
I. PENDAHULUAN

Hello merupakan novel yang diterbitkan pada 22 April 2023 oleh seorang

penulis terkenal dari Indonesia, Tere Liye. Novel ini mengangkat tema yang

cukup menarik, tentang kisah cinta antara dua manusia yang telah bersama sejak

mereka masih bayi. Hesty dan Tigor tinggal dalam satu lingkungan yang sama,

tetapi dengan ‘kasta’ dan tingkat sosial yang berbeda. Hesty adalah putri bungsu

dari sepasang suami-istri terhormat di ibu kota. Ayahnya, Raden Wijaya, adalah

keturunan ningrat yang saat itu menjabat sebagai menteri, sedangkan Ibunya

adalah seorang penyiar televisi terkenal. Keluarga Raden Wijaya adalah keluarga

terhormat, sukses, kaya, segalanya. Berbanding terbalik dengan Tigor yang

merupakan anak pembantu di keluarga Raden Wijaya. Ayahnya, Mang Deni,

bekerja sebagai supir pribadi Raden Wijaya, dan Ibunya, Bi Ida, adalah seorang

pembantu di rumah mewah mereka.

Selain memiliki alur cerita yang maju-mundur, kisah ini juga diceritakan

dengan gaya penulisan yang sangat unik. Umumnya tokoh utama mengambil

peran sentral yang menceritakan kisahnya secara langsung atau diceritakan oleh

penulisnya, namun dalam buku ini pembaca diajak untuk mengikuti kisah Hesty

dan Tigor melalui tokoh lain, yaitu Ana. Ana adalah seorang arsitek hebat yang

keahliannya sangat dihargai oleh banyak orang. Ia diminta untuk merenovasi

rumah tua, rumah yang dahulu dijadikan tempat tinggal oleh keluarga Raden

Wijaya. Dalam novel ini terdapat banyak sekali lika-liku yang dialami oleh para

tokoh. Pembaca seakan diajak ikut menapaktilasi kehidupan Hesty dan Tigor.
Tentang persahabatan mereka, perasaan istimewa yang tumbuh diantara mereka,

hingga penolakan dari Raden Wijaya yang tidak merestui hubungan putrinya

dengan Tigor karena perbedaan status sosial.

Meskipun kisah cinta antara Hesty dan Tigor cukup klasik, tetapi Tere

Liye berhasil mengemas cerita dengan berbagai plot di setiap babnya. Kedua

tokoh menjalani hubungan backstreet dengan berkelana bersama ke berbagai

tempat yang berkualitas, seperti museum, pertunjukan teater, festival budaya, dan

masih banyak lagi. Perjalanan itu bertujuan untuk memenuhi hasrat mereka yang

haus terhadap pemahaman dunia yang dibalut dengan kebudayaan. Seperti yang

telah diketahui, budaya adalah suatu bentuk warisan negara yang berasal dari

leluhur atau nenek moyang yang tidak ternilai harganya. Indonesia memiliki

banyak sekali kebudayaan yang beragam, beberapa nilai kebudayaan terdapat

dalam jejak-jejak perjalanan yang terkandung pada cerita ini, sehingga hal

tersebut menjadi alasan terkuat untuk mengangkat buku ini sebagai sumber

analisis yang menarik dengan kisahnya yang dijelaskan secara detail.


II. PEMBAHASAN

Novel Hello yang diterbitkan oleh Tere Liye pada tahun 2023 ini banyak

menampilkan peristiwa-peristiwa kebudayaan di Indonesia. Beberapa nilai dan

unsur kebudayaan beserta analisisnya dapat dilihat melalui kutipan-kutipan yang

terdapat dalam buku ini.

“Hari itu persis tujuh bulan dalam sistem penanggalan Jawa


sejak bayi perempuan itu lahir (setara delapan bulan
penanggalan Masehi). Orangtuanya yang keturunan ningrat
mengadakan perayaan tedak siten (tedak berarti turun, siten
berarti tanah. Turun tanah). Sejak pagi rumah besar itu
didatangi tamu undangan. Mobil-mobil terparkir rapi di
halaman. Yang tidak mendapat tempat, parkir di jalanan.
Delapan orang polisi terlihat mengatur lalu lintas.” (Tere Liye.
Hello. Halaman 21).
“Tumpeng dibuat. Kue-kue tradisional disajikan. Perayaan
dimulai dengan si bayi—dengan dituntun orangtuanya—
menginjak jadah atau tetel tujuh warna. Jadah ini dibuat dari
beras ketan dicampur parutan kelapa muda, lantas diberikan
pewarna merah, putih, hijau, kuning, biru, merah jambu, dan
ungu. Jadah disusun mulai dari warna paling gelap hingga
paling terang, sebagai simbol kehidupan bahwa setiap masalah
yang berat nantinya ada jalan keluar.” (Tere Liye. Hello.
Halaman 21-22).
“Prosesi berikutnya sedang berlangsung sejak tadi, saat bayi
diletakkan di dalam kurungan ayam, kemudian dibiarkan
memilih benda kesukaannya. Jika bayinya tidak banyak
bergerak, benda-benda bisa diletakkan di dalam. Tapi jika
bayinya tidak nyaman, kurungan ayam akan dibuka, benda-
benda dihamparkan tak jauh darinya, agar dia bisa merangkak
mendekat.” (Tere Liye. Hello. Halaman 22).
“Bayi perempuan itu sudah separuh jalan dari hamparan benda
di depannya. Ada cincin, uang, cermin, kapas, dan benda-benda
lain. Menurut kepercayaan tradisi tedak siten, benda yang akan
dipilih bayi akan menjadi cerminan hobi atau pekerjaannya
kelak. Tentu saja itu hanya kepercayaan, penonton lebih tertarik
melihat tingkah gemas bayi. Toh kebanyakan bayi juga hanya
refleks mengambil benda yang ada di dekatnya.” (Tere Liye.
Hello. Halaman 22-23).
Empat kutipan di atas menampilkan salah satu perayaan tradisi yang ada di

Indonesia, yaitu tradisi tedak siten. Sesuai dengan penjelasan dalam kutipan,

tedak siten atau tedak siti merupakan rangkaian prosesi adat Jawa yang dilakukan

saat seorang anak belajar menginjakkan kaki ke tanah untuk pertama kalinya.

Tedhak berarti turun, dan sitèn berarti tanah. Hal ini umumnya dilakukan saat

anak berusia sekitar tujuh atau delapan bulan.

Selain sebagai tradisi pelestarian budaya, tedak siten juga merupakan

rangkaian kegiatan yang melambangkan bimbingan orang tua kepada anaknya

dalam menjalani kehidupan melalui proses dan uba rampe yang digunakan.

Kegiatan tedak siten perlu dipersiapkan uba rampe atau perlengkapan, antara lain

jadah tujuh warna, tangga dari bahan tebu, kurungan (biasanya berupa kurungan

ayam) yang berisi barang atau benda, alat tulis, mainan berbagai macam bentuk,

air untuk membasuh dan memandikan anak, ayam panggang, pisang raja, udhik-

udhik, jajanan pasar, aneka jenang-jenangan, tumpeng lengkap dengan gudangan

dan nasi kuning.


Sumber: Intisari-Online.com

Tradisi tedak siten memiliki makna bahwa si anak mulai menapaki tanah,

yang berarti mulai menapaki kehidupan yang perlu dilakukan dengan suci hati.

Tradisi tedak siten masuk ke dalam nilai budaya dalam hubungan manusia dengan

manusia. Terdapat nilai kemanusiaan dalam kegiatan ini, yaitu pesan moral

sebagai bekal anak dalam kehidupannya memiliki sikap tolong menolong, sabar,

sungguh-sungguh dalam menggapai sesuatu.

“Minggu berikutnya, kebiasaan lama itu sempurna kembali.


Hingga awal musim kemarau tahun 1987 menyapa kota Jakarta.
Dua bulan lagi mereka akan ujian kenaikan kelas. Langit
Jakarta setiap sore terlihat biru sejauh mata memandang. Angin
bertiup lembut. Cocok untuk bermain layangan. Dimulai dari
satu-dua layangan terbang di udara, menyusul kemudian
puluhan, ratusan layang-layang diterbangkan. Ada yang
diterbangkan dari lapangan bola, ada yang diterbangkan dari
atap-atap rumah padat, ada yang diterbangkan dari jalan-jalan.
Setiap siang, langit Jakarta dipenuhi layangan. Separuh
diantaranya adalah layangan aduan.” (Tere Liye. Hello.
Halaman 71-72).
“ ‘Bagaimana kabar pekerjaanmu hari ini?’ Papa bertanya
kepada Mama. ‘Lebih banyak berita rutin, liputan rutin. Tidak
ada yang spesial. Ah, kecuali tadi, salah satu penyiar meliput
tentang layang-layang di langit Jakarta. Mereka meliput di
lapangan Monas, ada layang-layang terkenal sekali di sana, si
Hitam.’ Mama bercerita. ‘Si Hitam?’ Papa bertanya. ‘Iya,
layang-layang itu hebat sekali. Liputan budaya.’ “ (Tere Liye.
Hello. Halaman 76-77).

Layang-layang telah menjadi bagian dari seni dan budaya yang melekat di

Indonesia. Para penggemarnya tidak hanya berasal dari anak-anak, tetapi juga

banyak yang berasal dari kalangan remaja hingga dewasa. Banyak kolaborasi

antara pemain layang-layang dengan para seniman dalam hal desain penampilan

pada layang-layang. Bahkan di Indonesia sendiri terdapat festival yang

diselenggarakan khusus untuk memperingati budaya layang-layang ini. Budaya

layang-layang pertama kali dilakukan oleh nenek moyang kita di Indonesia.

Terlebih lagi, ternyata nenek moyang kita menggunakan layang-layang untuk

mengimplementasikan fungsi ritual. Salah satu pemandu Museum Layang-layang

Jakarta, Asep Irawan menjelaskan bahwa zaman dahulu layangan ditujukan untuk

mencari keberadaan Tuhan di langit. Oleh sebab itu, layang-layang merupakan

suatu nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan.


Sumber: iNews Yogya

Dalam sejarah seni layang-layang, banyak yang meyakini bahwa layang-

layang berasal dari Jepang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa seni layang-

layang berasal dari Tiongkok dan ada juga yang mengatakan bahwa layang-layang

berasal dari Mesir. Namun, faktanya layang-layang merupakan warisan budaya

Indonesia karena bangkai atau lukisannya ditemukan di Indonesia, tepatnya di

Sulawesi Tenggara di Goa Muna. Sebuah lukisan layang-layang yang diyakini

berasal dari sekitar 4000 SM ditemukan di dalam gua tersebut. Pernyataan

ditemukannya lukisan layang-layang di Goa Muna dibenarkan oleh seorang

pemandu dan pembuat layang-layang di Museum Layang-Layang Indonesia, yaitu

Dayat.

Layang-layang memiliki komunitas di Indonesia bernama Pelangi. Pelangi

adalah Persatuan Layang-Layang Indonesia. Komunitas layang-layang tersebar di

beberapa wilayah Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Sulawesi, Kalimantan,

dan Sumatera. Komunitas Pelangi di Indonesia mencari dan mengoleksi layang-

layang tradisional, bahkan mereka juga mendapatkannya dari luar negeri dengan

mengundang negara asing untuk berpartisipasi dalam festival di Museum Layang-

Layang Indonesia di Jakarta. Layangan mancanegara tersebut kemudian disimpan

di Museum Layang-layang untuk diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia.

“Jalan besar di depan mereka mendadak ramai oleh andong


yang dihias, opelet-opelet yang dipasangi janur, serta
rombongan orang berjalan kaki, mengenakan pakaian khas adat
Betawi. Musik tradisional terdengar, suara tanjidor membelah
langit-langit Jakarta. Anak kecil yang akan disunat menaiki
seekor kuda gagah. Wajahnya cerah—meski sebentar lagi
berteriak saat disunat. Melambaikan tangan ke sana kemari.”
(Tere Liye. Hello. Halaman 104).

Kutipan tersebut menggambarkan salah satu tradisi, Arak-arakan pengantin

sunat Betawi. Tradisi ini termasuk nilai budaya dalam hubungan manusia dengan

Tuhan. Hal ini disebabkan sunat menurut orang Betawi adalah upacara bagi anak

laki-laki dalam rangka menuruti ajaran agama islam pada saat ia memasuki akil

balig. Dalam masyarakat Betawi, sebelum hari H pelaksanaan sunat pada

umumnya sang anak akan dirias dengan mengelilingi kampung. Tujuan dari acara

arakan ini adalah untuk memberikan hiburan dan semangat kegembiraan kepada

pengantin sunat sebelum pengalaman sunatnya dilakukan.

Sumber: Beta News

Selain arak-arakan pengantin sunat Betawi, kutipan di atas juga menyebut

perihal tanjidor. Tanjidor merupakan suatu unsur budaya dari segi kesenian.

Kesenian tanjidor merupakan hasil akulturasi budaya lokal dengan budaya

Portugis. Alunan musik tanjidor merupakan gabungan dari alat musik trombon,

piston, tenor, bas, serta tetabuhan. Asal-usul tanjidor masih belum jelas diketahui.
Paramita Rahayu Abdurachman dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara

menyebut bahwa tanjidor kemungkinan berasal dari sisa kebudayaan Islam; Moro

atau daerah lain. Istilah “tanjidor” memiliki kemiripan dengan bahasa Portugis.

Dalam bahasa Portugis, kata “tanger” berarti memainkan alat musik, dan

“tangedor” (diucapkan tanjedor) berarti orang yang memainkan alat musik

berdawai di luar ruangan. Lalu ada “tangdoors” berarti brass band yang

dimainkan dalam parade militer atau pawai keagamaan.

Sumber: Indonesia Kaya


Musik tanjidor kemudian dikembangkan oleh masyarakat yang tinggal di

wilayah Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor, dan Karawang. Pemainnya sebagian

besar berasal dari luar Jakarta. Sebuah grup musik Tanjidor biasanya

beranggotakan 7-10 orang yang memainkan lagu-lagu diatonik, juga lagu-lagu

dengan tangga nada pelog bahkan slendro. Lagu-lagu yang mereka bawakan antara

lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara, Jali-

Jali, Surilang, Sirih Kuning, Kicir-Kicir, dan Cente Manis.


Kesenian tanjidor beradaptasi secara fleksibel dengan seni lainnya.

Sebagaimana disebutkan dalam buku Wajah Pariwisata Jawa Barat, adaptasi ini

memunculkan bentuk kesenian baru seperti jikres (tanjidor pada orkes), jinong

(tanjil-lenong), bajidoran (tanjidor dengan kliningan Sunda), tanji godot (tanjidor

dengan tambahan instrumen biola dan cello), dan jipeng (tanji-topeng). Adaptasi

juga mengharuskan tanjidor melengkapi instrumen musiknya.

“Mereka berdua masih mendapatkan momen terbaik arak-


arakan pengantin sunat. Hesty semangat mengambil belasan
foto dari sudut terbaiknya. Tigor juga sempat bergantian
menjepret, mengambil gambar ondel-ondel besar yang ikut
dalam arak-arakan. Setengah jam menghabiskan seluruh isi rol
film, dua anak nakal itu kembali ke rumah.” (Tere Liye. Hello.
Halaman 107).

Ondel-ondel adalah pertunjukan rakyat yang sudah berabad-abad terdapat

di Jakarta dan sekitarnya. Ondel-ondel merupakan pertunjukan budaya rakyat

Betawi diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Ondel-ondel

merupakan unsur kebudayaan dari segi kesenian. Ondel-ondel Pertunjukan rakyat

Betawi ini menyimbolkan leluhur yang senantiasa menjaga anak cucunya atau

penduduk suatu desa. Awalnya, ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau

gangguan roh halus yang bergentayangan.


Sumber: Indonesiadaily.net

Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu

berukuran kurang lebih 2,5 meter, tingginya dan garis tengahnya kurang dari 80

cm. Dibuat demikian rupa agar pemikul yang berada di dalamnya dapat bergerak

leluasa. Rambutnya terbuat dari ijuk. Wajahnya berbentuk topeng atau kedok,

dengan mata bundar (bulat) melotot. Ondel-ondel yang menggambarkan laki-laki

wajahnya berwarna merah, sedangkan yang menggambarkan perempuan berwajah

putih atau kuning.

“Hesty tertawa, mengeluarkan kamera dari tas ransel yang dia


bawa. Mereka berdua melewati pintu masuk, membayar tiket.
Tanpa banyak prolog, Hesty dan Tigor memulai keluyuran
mereka. Tak kurang dari 4.000 wayang ada di gedung itu, mulai
dari wayang kulit, wayang golek, wayang kardus, wayang
rumput, dan sebagainya.” (Tere Liye. Hello. Halaman 171-
172).

Wayang termasuk ke dalam unsur kebudayaan dari segi kesenian. Wayang

merupakan salah satu puncak seni budaya Indonesia yang paling menonjol di

antara banyak karya budaya lainnya. Wayang meliputi seni peran, seni vokal, seni
musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni simbolik. Wayang

berkembang dari masa ke masa, juga sebagai sarana pengetahuan, dakwah,

pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, dan hiburan. Oleh sebab itu, wayang

dianggap sebagai aset yang sangat berharga dalam pembentukan karakter dan jati

diri bangsa serta peradaban Indonesia.

Sumber: Edukasi Rakyat News

Diperkiran wayang mulai dikenal dan berkembang di Nusantara sejak

tahun 1500 SM sebagai bagian dari ritual. Nenek moyang kita percaya bahwa roh

atau jiwa orang mati akan tetap hidup dan dapat memberikan pertolongan kepada

orang yang masih hidup. Oleh sebab itu, roh-roh tersebut disembah sebagai

“hyang” atau “dahyang” yang diwujudkan dalam bentuk patung atau gambar. Dari

sini lahirlah pertunjukan wayang meskipun masih dalam bentuk yang sederhana.

Dalam perkembangannya, fungsi wayang sebagai media penghormatan

terhadap roh leluhur juga ikut berkembang. Pada masa Hindu-Buddha di

Indonesia, cerita Ramayana dan Mahabharata berkembang pesat dengan

ditambahkannya tokoh-tokoh dalam cerita yang berkaitan dengan budaya


masyarakat setempat. Pada masa awal penyebaran agama Islam, wayang

digunakan sebagai media dakwah dengan penambahan tokoh-tokoh dan

pengembangan cerita termasuk mengadaptasi cerita agar tidak bertentangan

dengan ajaran agama. Faktanya, pada era yang lebih modern, wayang juga

digunakan sebagai alat propaganda politik.

Seiring berjalannya waktu, wayang bertahan dan terus mengalami

pengaruh nilai-nilai agama dan budaya yang muncul serta berkembang di

Indonesia. Proses akulturasi ini telah berlangsung lama, sehingga kesenian wayang

memiliki daya tahan dan daya pengembangan yang tinggi.

“Proses menuju pernikahan berjalan lancar. Lamaran


dilakukan bulan Agustus, keluarga calon besan datang ke
rumah besar dengan pohon palem tersebut, membawa
rombongan, bertukar hadiah. Kedua keluarga sepakat
pernikahan dilangsungkan empat bulan kemudian, Desember.
Gampang ditebak, pernikahan itu akan menggunakan adat
Jawa secara paripurna. Mulai dari siraman, midodareni, injak
telur, dan sebagainya. Seminggu sebelum pernikahan, rumah
besar itu dihiasi janur dan tarup. Ramai oleh kerabat, handai
taaulan, serta tamu-tamu yang datang mengucapkan selamat.
Setelah akad nikah di rumah, resepsi digelar di ballroom salah
satu hotel bintang lima Jakarta.” (Tere Liye. Hello. Halaman
190-191).

Tradisi Pernikahan di Indonesia merupakan suatu aturan perihal

pernikahan berdasarkan adat-istiadat yang ada di Indonesia. Di Indonesia prosesi

pernikahan memiliki kebiasaan masing-masing pada setiap daerahnya. Seperti

tradisi pingitan, panaik, mambali, manjapuik marapulai, dan masih banyak lagi

lainnya. Tradisi ini biasanya telah dilakukan oleh pendahulu atau leluhur yang ada
di daerah tersebut sehingga menjadikan tradisi pernikahan di Indonesia ini

memiliki bentuk-bentuk yang berbeda.

Sumber: AtmaGo

Salah satu prosesi adat pernikahan di Indonesia adalah pernikahan adat

Jawa. Prosesi pernikahan adat Jawa merupakan salah satu prosesi pernikahan yang

banyak digunakan di Indonesia. Hal ini disebabkan masyarakat etnis Jawa

merupakan salah satu etnis terbesar di Indonesia. Prosesi pernikahan adat Jawa

banyak diperhatikan karena nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap

unsurnya. Banyak simbol dengan nilai tertentu dalam adat Jawa, seperti motif kain

batik yang memiliki arti berbeda-beda dan aturan pemakaiannya yang terperinci.

Adat pernikahan merupakan bentuk nilai budaya dalam hubungan manusia dengan

manusia, karena keseluruhan rangkaian prosesi pernikahan adat Jawa memiliki

makna luhur bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga yang akan dialami

pasangan di kemudian hari.


III. KESIMPULAN

Novel berjudul Hello karya Tere Liye memperkenalkan berbagai

kebudayaan yang terdapat di Indonesia, mulai dari tradisi tedak siten, layang-

layang, arak-arakan betawi, tanjidor, ondel-ondel, wayang, dan adat pernikahan.

Kebudayaan merupakan warisan nenek moyang atau nenek moyang kita yang

tidak tergantikan. Kebudayaan Indonesia sangat beragam, kita harus menjaga dan

mencegah agar budaya yang dimiliki tidak punah atau diklaim negara lain. Bangsa

Indonesia terdiri dari berbagai suku dan unsur budaya, sebagaimana tersirat dalam

Bhineka Tunggal Ika yang artinya “walaupun berbeda-beda tetap satu jua”. Oleh

sebab itu, agar kebudayaan asli bangsa Indonesia tetap ada maka kita harus

bersama-sama menjaganya.

Selain itu, kebudayaan daerah merupakan kesenian tradisional yang

dimiliki seluruh daerah dan suku di Indonesia. Kebudayaan daerah Indonesia

merupakan aset yang berharga karena budaya lokal Indonesia memiliki ciri khas

dan jati diri yang memperkaya dan menyatukan keanekaragaman budaya

Indonesia di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika. Para generasi muda harus

memiliki motivasi dalam perannya untuk memperkuat ketahanan bangsa dengan

melalui pelestarian kebudayaan kebudayaan.


DAFTAR PUSTAKA

Daniswari. 2022. Tedak siten, Upacara Adat Jawa Tengah, Tujuan, Latar
Belakang, dan Prosesi.
https://regional.kompas.com/read/2022/09/13/185048978/tedak-siten-
upacara-adat-jawa-tengah-tujuan-latar-belakang-dan-prosesi?
page=all#google_vignette. Diakses pada 9 Desember 2023 pukul 14.58
WIB.
Widiyantoro. 2021. Mari Mengenal Sejarah, Budaya, dan Permainan Layang-
Layang di Indonesia.
https://www.kompasiana.com/alwinwidiyantoro/60dd78b41866b10f0b6
d2462/mari-mengenal-sejarah-budaya-dan-permainan-layang-layang-
di-indonesia. Diakses pada 9 Desember 2023 pukul 15.20 WIB.
Nurita, Sandiputa. 2018. Arak-arakan Penganten Sunat Betawi Meriahkan Pawai
Budaya Nusantara. https://m.beritajakarta.id/read/57299/arak-arakan-
penganten-sunat-betawi-meriahkan-pawai-budaya-nusantara. Diakses
pada 9 Desember 2023 pukul 17.03 WIB.
Mileneo. 2023. Mengenal Orkes Tanjidor: Bermula dari Kesenian Budak hingga
Menjadi Warisan Budaya Betawi.
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/09/20/mengenal-orkes-
tanjidor-bermula-dari-kesenian-budak-hingga-menjadi-warisan-budaya-
betawi. Diakses pada 10 Desember 2023 pukul 12.18 WIB.
Itsnaini. 2021. Ondel-Ondel, Asal-Usul, dan Makna Kebudayaan Khas Betawi.
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5491535/ondel-ondel-asal-
usul-dan-makna-kebudayaan-khas-betawi. Diakses pada 10 Desember
2023 pukul 14.57 WIB.
Santo. 2023. Serba-serbi Wayang Kulit, Kebudayaan Indonesia yang Mendunia.
https://www.detik.com/jateng/budaya/d-6734070/serba-serbi-wayang-
kulit-kebudayaan-indonesia-yang-mendunia. Diakses pada 10
Desember 2023 pukul 16.04 WIB.
Samodra. 2022. Prosesi Pernikahan Adat Jawa, Ketahui Makna yang Terkandung
di Dalamnya. https://www.liputan6.com/hot/read/5153716/prosesi-
pernikahan-adat-jawa-ketahui-makna-yang-terkandung-di-dalamnya.
Diakses pada 10 Desember 2023 pukul 20.00 WIB.
LAMPIRAN

Gambar 1. Novel Hello karya Tere Liye

Anda mungkin juga menyukai