Anda di halaman 1dari 16

Vol.4, No.

2, Tahun 2015 ISSN : 2088-7310

LIBRARIA
Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi
DAFTAR ISI LIBRARIA

Pengaruh Sumber Daya Perpustakaan dalam Pelaksanaan


Alih Media Digital
Penny Ismiati Iskak, Shanti Tri Kurniawati, Hadariah, dan Agus Nasa ................ 1
Pengembangan Sumber Daya Informasi Digital di Pusat
Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian
Heryati Suryantini .............................................................................................. 15
Pemetaan dan Analisis Kebutuhan Koleksi Referensi
Perpustakaan IAIN Mataram
Lalu Agus Satriawan dan Rika Kurniawaty ........................................................ 33
Analisis Fungsi Media Informasi dalam Membangun Opini
Publik: Sebuah Kajian Peran Perpustakaaan dalam Konteks
Sosial dan Budaya
H a r t o n o ...................................................................................................... 47
Peran Pustakawan dalam Implementasi Permen Diknas
No. 17 Tahun 2010
Aris Nurohman .................................................................................................. 69
Sebuah Trend Dinamis Informasi dalam Konteks Internet
dan Media Sosial
M u k h l i s ....................................................................................................... 91
Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan
Endang Fatmawati ........................................................................................... 105
Konflik dan Stres Kerja Pustakawan: Penyebab dan
Alternatif Pemecahannya
Noorika Retno Widuri ..................................................................................... 119

Vol.4, No.2, Tahun 2015 v


Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan

Endang Fatmawati
Kepala Perpustakaan FEB UNDIP & Dosen LB Jurusan Ilmu Perpustakaan FIB
UNDIP

Abstract
Librarians certainly have an interesting story about his experiences to tell.
Nowadays with digital tools and software will make the librarian becomes
more easy and convenient to create digital stories. The purpose this article
is to describe digital storytelling like definition and element, characteristic
component and process, learning, and culture change. The method used is
descriptive. It is to describe the conditions that exist in the field related to
the digital storytelling then analyzed with a literature review to reach
understanding. The result about digital storytelling means discusses stories
about various things that use digital multimedia. It uses new media tools
and platforms to tell stories. Narrative and literacy in the digital storytelling
based on digital technology so as storytelling or information also through
digital media.

Keywords: digital storytelling, digital stories, new media, library.

Vol.4, No.2, Tahun 2015 105


Endang Fatmawati

Pendahuluan
Sewaktu saya membaca bukunya Lundby Knut (2008) yang
berjudul Digital Storytelling Mediatized Stories: Self-Representations in
New Media, rupanya menggugah mata batin saya sehingga dapat
memberikan pemahaman tentang terjadinya suatu perubahan media
yang digunakan dalam bercerita.
Jika mengingat masa kecil dulu, orang tua kita dengan segala
kepiawaiannya sering membacakan cerita sebagai pengantar tidur
kepada anaknya melalui buku cerita dalam durasi waktu yang lama
sampai anaknya tertidur lelap. Begitupun dahulu ketika pustakawan
yang berperan sebagai storyteller bercerita juga menggunakan media
buku, sehingga pemustaka harus berusaha menggambarkan tentang
objek yang diceritakan agar imajinasi pemustaka bermain. Suatu contoh,
ketika pustakawan menceritakan tentang laut, maka otak pemustaka
sebagai pendengar berimajinasikan gambaran laut itu seperti apa. Buku
cerita anak-anak bermacam-macam, mulai dari bacaan bergambar,
komik, majalah ilustrasi, sampai dengan novel. Perbedaan yang jelas
adalah ada perubahan kultur bercerita era sekarang. Saat ini dengan
adanya alat digital dan berbagai perangkat lunak membuat sebagian
orang termasuk para pustakawan menjadi lebih mudah dan nyaman
untuk membuat cerita digital.
Saat penulis mengamati di salah satu perpustakaan umum, anak-
anak terlihat asyik bercengkerama duduk santai di karpet sambil
menyaksikan pemutaran film edukatif berbasis pengetahuan yang
diputar pustakawan melalui video. Nampaknya ini fenomena digital
storytelling, karena anak-anak tidak lagi mendengar dongeng dari tutur
kata pustakawannya secara tradisional.

Tujuan dan Metode


Tujuan penulisan artikel ini untuk menggambarkan tentang
digital storytelling, yang meliputi: definisi dan elemen; karakteristik,
komponen, dan proses; pembelajaran; serta perubahan budaya. Metode
yang digunakan deskriptif, yaitu dengan menggambarkan kondisi yang
ada di lapangan terkait dengan digital storytelling, kemudian dianalisis
dengan tinjauan literatur untuk mencapai pemahaman.

Definisi dan Elemen


Digital storytelling diterjemahkan dengan cerita digital. Landis,
et.al. (2011: 5), menyebutkan “digital storytelling is the art of combining

106 Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"


Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan

narrative with digital media such as images, sound, and video to create
a short story”. Maksudnya sebagai seni yang menggabungkan cerita
dengan media digital seperti gambar, suara, dan video untuk membuat
cerita pendek.
Digital storytelling ibarat seperti bahasa yang memuat kode-
kode atau tanda-tanda yang berfungsi untuk memproduksi makna-
makna. Digital storytelling meliputi praktik bercerita dengan
menggunakan media digital dalam multimedia yang diproduksi oleh
para profesional. Media digital yang dimaksud bisa berupa: slide show,
narasi di blog dan media sosial, narasi interaktif dan game, video
amatir di youtube, maupun film.
Kemudian pengertian digital storytelling menurut Rule (2007)
dalam Digital Storytelling Association, bahwa:
“...is the modern expression of the ancient art of storytelling. Digital
stories derive their power by weaving images, music, narrative and
voice together, thereby giving deep dimension and vivid color to
character, situations, experiences, and insights.”
Artinya bahwa digital storytelling merupakan ekspresi modern dari
seni bercerita yang kuno dengan mengandalkan kekuatan gambar,
musik, suara (lagu dan narasi), bersama-sama sehingga memberikan
dimensi dan warna dalam hal karakter, situasi, pengalaman, dan
wawasan.

Gelombang kedua cerita digital dimulai tahun 90-an dengan


munculnya produksi video populer kemudian teknologi media sosial.
Lalu seiring dengan perkembangan media digital, masyarakat mulai
memanfaatkan internet untuk bercerita dan saling bertukar informasi.
Perubahan ke bentuk digital storytelling mempunyai ciri, seperti: durasi
waktunya pendek, skala yang kecil dengan teknik sederhana, dan
biasanya menggunakan cerita pengalaman hidup yang diceritakan
dengan narasi suara.
Suatu hal yang penting bahwa digital storytelling menjadi suatu
strategi yang menggunakan aplikasi komputer yang dapat membantu
pemustaka menelaah suatu topik berdasarkan sudut pandang pemustaka.
Jadi digital storytelling menjelaskan kepada pemustaka dengan cara yang
sederhana dan pemustaka tidak perlu berimajinasi tentang objek yang
diceritakan, karena pada era penceritaan digital sudah ada suara, gambar,
maupun video yang menggambarkan objek yang diceritakan tersebut.
Akhirnya bisa dikatakan kalau dongeng kini sudah semakin canggih
dengan didokumentasikan dalam bentuk digital.

Vol.4, No.2, Tahun 2015: 105-117 107


Endang Fatmawati

Komunikasi yang termediasi secara progresif memasuki aspek


kehidupan dan hubungan sosial termasuk storytelling. Sekiranya dapat
disimpulkan bahwa digital storytelling adalah sebuah cara bercerita
dengan penggabungan narasi, teks, audio, gambar, musik yang dikemas
sedemikian rupa dalam digital dan disampaikan melalui multi media
digital.
Beberapa jenis digital storytelling, antara lain: 1) Narasi pribadi,
merupakan sebuah dongeng dari sebuah kisah peristiwa pribadi
seseorang yang memiliki nilai budaya atau nilai-nilai kehidupan yang
patut dijadikan pembelajaran; 2) Cerita dokumenter, yaitu sebuah cerita
yang meneliti peristiwa dramatis yang dapat membantu kita dalam
mempelajari sejarah masa lalu; 3) Dongeng, yaitu cerita yang dibuat
dan dirancang untuk menyampaikan informasi atau memerintah sang
pendongeng pada konsep atau praktik tertentu.
Selanjutnya elemen penting dalam digital storytelling, yaitu: 1)
Point of view, yaitu apa perspektif si penulis; 2) A dramatic question,
merupakan sebuah pertanyaan yang akan dijawab pada akhir cerita;
3) Emotional content, melibatkan aspek emosional dalam memahami
makna yang tersurat maupun tersirat dalam isi cerita; 4) The gift of
your voice, suatu cara untuk personalisasi cerita agar membantu
pemustaka memahami konteks; 5) The power of the soundtrack, berupa
musik atau audio lainnya yang mendukung alur cerita; 6) Economy,
mempertimbangkan unsur ekonomi/efisiensi; dan 7) Pacing, dengan
mempertimbangkan nilai ekonomi (irit dan murah), namun secara
khusus berkaitan dengan seberapa lambat atau seberapa cepat cerita/
dongeng tersebut berlangsung.
Adanya perkembangan teknologi informasi telah mengkondisi-
kan masyarakat itu hidup dengan dominasi citra visual, sehingga telah
mengubah cara komunikasi dan interaksi antar manusia yang
bergantung pada keberadaan media visual tersebut. Begitu juga
aplikasinya di perpustakaan, pemustaka era sekarang sudah berubah
dalam hal mengakses informasi.

Karakteristik, Komponen, dan Proses


Park & Seo (2009) dalam Xu (2011: 181), berpandangan
mengenai karakteristik kunci digital storytelling yaitu: flexibility,
universality, interactivity and community formation. Fleksibilitas dalam
cerita digital mengacu pada penciptaan cerita yang tidak linier dalam
menggunakan teknologi media digital (Gregori-Signes 2008 dalam Xu
2011). Universalitas diartikan bahwa siapapun dapat menjadi produser

108 Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"


Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan

cerita digital karena ketersediaan komputer yang luas maupun


perangkat lunak yang mudah digunakan. Interaktivitas dalam bentuk
komunitas mengandung maksud adanya partisipasi pengguna dalam
pengembangan cerita menggunakan karakteristik media yang saling
dapat dipertukarkan.
Terkait dengan komponen digital storytelling, ada 4 (empat)
komponen dasar untuk menciptakan digital storytelling tersebut, yaitu:
elemen, media, proses, dan program. Hal ini nampak pada Gambar 1
berikut:

Gambar 1 . Komponen Dasar Digital Storytelling


Sumber: http://pwoessner.wikispaces.com/

Dalam prakteknya digital storytelling itu menggunakan media


baru. Bahkan saat pemustaka melihat video di youtube, membuka
blogspot, vivo, dan lain sebagainya, maka secara tidak langsung ketika
itu sebenarnya pemustaka sedang menikmati digital storytelling. Jika
mencermati realitas di lapangan, pemustaka saat di perpustakaan banyak
yang senang nonton youtube, nonton film, dan segambreng aktivitas
lain melalui akses internet.
Hal ini didukung oleh ketersediaan secara virtual bentuk digital
storytelling yang dibuat institusi/lembaga maupun perseorangan juga
menjamur di internet, sehingga takheran para pemustaka sangat
menikmatinya. Dari yang sederhana sampai yang bagus, dari yang
amatir sampai profesional ada semua.
Penulis yakin, setiap pustakawan pasti mempunyai cerita untuk
disampaikan, dan setiap hari juga bisa mendengar pengalaman dari
orang lain dalam bentuk cerita, sehingga tidak ada alasan tidak punya
ide. Makanya pustakawan jangan ketinggalan, pustakawan bisa
membuat digital storytelling juga, misalnya membuat tutorial tertentu
di youtube, dari yang serius seperti “tutorial konversi ms word ke

Vol.4, No.2, Tahun 2015: 105-117 109


Endang Fatmawati

pdf”, sampai tutorial yang sifatnya lucu dan menghibur seperti “stand
up komedi”.
Digital storytelling dalam bentuk multimedia menggabungkan
antara foto, video, animasi, suara, musik, teks, maupun suara narasi.
Proses pembuatan digital storytelling dapat dilakukan dengan 8
(delapan) tahapan, yang dimulai dari munculnya ide sampai pada
adanya umpan balik. Siklus prosesnya seperti tampak pada Gambar 2
berikut:

Gambar 2 . Proses Digital Storytelling


Sumber: http://edtechteacher.org/

Fungsi rekreasi dari sebuah perpustakaan terlihat dalam layanan


digital storytelling. Sebenarnya ada banyak cara bagi perpustakaan
untuk terlibat dalam proses bercerita digital. Mulai dari menampilkan
cerita rakyat sampai film animasi modern untuk anak-anak. Jenis
perpustakaan umum sangat potensi untuk mengembangkan digital
storytelling yang lebih luas dengan menggunakan jejaring sosial, alat-
alat seperti situs video sharing, blog, maupun forum online lainnya.
Jadi kebutuhan pemustaka khususnya anak-anak sangat tepat
jika selain terpenuhinya kebutuhan belajar juga kebutuhan akan rekreasi,
karena usia anak memang cocok untuk usia bermain. Prinsipnya
sembari bermain sembari belajar. Hal ini cocok dengan salah satu
fungsi perpustakaan yaitu fungsi rekreasi.

110 Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"


Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan

Pembelajaran
Aplikasi cerita digital di sekolah dapat digunakan sebagai media
ekspresif untuk mengintegrasikan materi pelajaran yang diberikan
oleh gurunya. Siswa dapat bekerja secara individu atau bersama-sama
untuk menghasilkan cerita digital mereka sendiri. Hal ini bisa untuk
mengekspresikan emosinya melalui sebuah cerita. Pustakawan sekolah
bisa mengambil peran dalam hal ini, misalnya memberikan pelatihan
membuat digital srtorytelling untuk siswa-siswanya.
Oleh karena bercerita digital menjadi salah satu media baru
yang bisa menstimulus munculnya kreativitas dan inovasi dalam
pembelajaran, maka pustakawan sekolah bisa berkolaborasi dengan
guru untuk mewujudkannya. Cerita digital tersebut menggunakan alat
media baru dan platform untuk menceritakan naskah. Adanya layanan
digital storytelling yang ada di perpustakaan sangat efektif untuk
mendukung proses pembelajaran di sekolah.
Hal tersebut karena strategi pembelajaran dapat difasilitasi
melalui kegiatan mendongeng digital. Menurut Barrett (2006) dalam
Xu, et.al. (2011: 183), strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa
ada 4 (empat), yaitu: keterlibatan siswa (student engagement), refleksi
untuk belajar lebih dalam (reflection for deep learning), pembelajaran
berbasis proyek (project-based learning), dan integrasi teknologi ke
dalam kelas (technology integration into the classroom).
Gambar 3 berikut menggambarkan bagaimana cerita digital
meningkatkan konvergensi tersebut:

Gambar 3. Convergence of Student-Centered Learning Strategies


Sumber: Xu, et.al. (2011: 183)

Vol.4, No.2, Tahun 2015: 105-117 111


Endang Fatmawati

Digital storytelling merupakan salah satu dari sumber belajar.


Penggunaan teknologi yang dimanfaatkan untuk penyusunan dan
pengembangan media pembelajaran digital storytelling dirasa sangat
efektif. Oleh karena itu, maka banyak workshop tentang pembuatan
media pembelajaran digital storytelling ini.
Profisiat bagi Perpustakaan Universitas Brawijaya yang telah
sukses melakukan workshop cara praktis membuat digital storytelling
kerja sama dengan Sampoerna Foundation. Pesertanya waktu itu adalah
pustakawan dan seluruh karyawan Perpustakaan UB, mahasiswa jurusan
ilmu perpustakaan, mahasiswa FIB UB, dan karyawan ruang baca dari
seluruh Fakultas UB. Kegiatan tersebut untuk menciptakan kreatifitas
dan inovasi konten pembelajaran.
Digital storytelling adalah praktek menggabungkan gambar
dengan soundtrack yang diriwayatkan termasuk suara, musik dan video.
Digital storytelling bisa dikatakan sebagai strategi penggunaan program
aplikasi komputer yang berisi gabungan antara gambar, teks, suara
(narasi dan lagu), dan video untuk menceritakan suatu cerita.
Pada saat ini storytelling bisa menjadi suatu media edukasi
yang diterapkan di dalam game, sehingga game bisa menggunakan
storytelling sebagai media untuk pembelajaran. Seperti halnya
storytelling tradisional, maka cerita digital juga menceritakan suatu
topik dari sudut pandang tertentu.
Ada penelitian yang pernah dilakukan oleh Prawira (2013)
dengan analisis alpha dan beta. Topik penelitian tentang penerapan
storytelling terhadap game lorong waktu Pangeran Diponegoro dengan
menekankan arah cerita dan makna cerita. Berdasarkan hasil
pengujiannya, secara alpha kesimpulannya bahwa aplikasi yang
dibangun bebas dari kesalahan sintaks dan berdasarkan hasil pengujian
yang dilakukan. Secara beta, kesimpulannya bahwa storytelling
memberikan dampak peningkatan pembelajaran sejarah sesuai dengan
makna cerita yang diharapkan.
Alexander (1967) menjelaskan ekspresi modern dari seni kuno
bercerita, gambar, teks, audio, video, dan musik yang memberikan
konteks historis. Hal ini mengacu pada teknologi baru, wawasan baru,
pengalaman yang luas untuk menggambarkan proses pembuatan narasi
dengan video pribadi, blog, podcast, permainan mulimedia, media
sosial, maupun platform yang menawarkan jalur baru untuk kreativitas,
interaktivitas, dan ekspresi diri.
Melalui digital storytelling, ilmu pengetahuan bisa ditransfer
melalui cerita yang menarik melalui budaya mendongeng dalam bentuk

112 Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"


Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan

digital. Apalagi kekayaan informasi lokal yang dimiliki bangsa Indonesia


mempunyai nilai budaya, baik ilmiah maupun populer sehingga banyak
sekali cerita yang bisa dikemas dalam bentuk digital. Hal ini merupakan
kekayaan budaya nasional yang perlu mendapat perhatian dan
pengelolaan secara profesional oleh pustakawan.
Ada buku menarik yang ditulis oleh Crolyn Handler Miller
(2008) yang saya rasa cocok untuk para pustakawan yang ingin
mengembangkan proyek hiburan kreatif, seperti mengetahui teknik
efektif untuk menciptakan narasi yang menarik melalui berbagai media
digital.
Kemudaian bukunya Midge Frazel (2010) juga tidak kalah
menarik. Frazel menawarkan gambaran dan penjelasan alat bercerita
digital dan beragam variasinya, seperti: e-portofolio (e-portfolios), esai
foto digital (digital photo essays), maupun scrapblogs. Ada rekomendasi,
ikhtisar, dan penjelasan dalam buku tersebut akan membantu para
pendidik menemukan cara mendongeng digital sehingga teknologi
digital storytelling dapat diterapkan dan digunakan di kelas untuk
pengembangan diri agar lebih profesional. Hal ini akan memberikan
petunjuk secara rinci mulai dari persiapan, produksi, presentasi, sampai
pada tahap evaluasi pekerjaan siswanya.
Digital storytelling telah menjadi bagian dari kehidupan modern
seiring kemajuan era audio digital, teknologi capture video, serta
editing perangkat lunak. Melalui konten yang disajikan sebagai cerita
digital, maka akan lebih mudah menciptakan produk inovatif e-learning
untuk mendukung proses pembelajaran.
Konten inovatif tersebut tidak hanya dapat membuat sajian
lebih menarik tetapi juga dapat menghasilkan pembelajaran yang
mudah dipahami dan diingat. Tantangan untuk menghasilkan sistem
e-learning yang mendukung kreativitas dan inovasi adalah dengan
inovasi pedagogi seperti bercerita dan menyajikan cerita yang dikemas
melalui media digital.

Perubahan Kultur
Pada dasarnya manusia itu bisa disebut sebagai makhluk
pencerita (homo fabulans). Setiap orang memiliki cerita mereka untuk
memberitahu dan setiap hari kita mendengar dari orang lain tentang
pengalaman mereka dalam bentuk cerita. Bercerita atau mendongeng
(storytelling) berasal dari kata “story” artinya cerita dan “telling” artinya
memberitahukan.

Vol.4, No.2, Tahun 2015: 105-117 113


Endang Fatmawati

Saat ini telah terjadi perubahan cara pustakawan dalam


memberikan layanan storytelling kepada pemustaka. Bercerita
merupakan salah satu bentuk dari representasi diri. Banyak sekali
manfaat bercerita bagi penceritanya. Dengan bercerita, seseorang dapat
mengekspresikan emosi/perasaan, menginterpretasikan pengalaman,
dan berbagi informasi ke orang lain.
Dahulu pustakawan (saat berperan sebagai storyteller) ketika
menceritakan sebuah dongeng, legenda, fabel, hikayat, dan jenis cerita
lainnya kepada pemustaka (anak-anak) bisa tanpa media apapun. Ada
juga yang menggunakan media buku, gambar-gambar, maupun boneka
sebagai pendukung saat bercerita. Bisa dibayangkan waktu itu antara
pustakawan dan pemustaka harus bertatap muka langsung untuk
bercerita, sudah pasti durasi waktunya lama.
Mereka saling mendengar dan melihat kemudian umpan balik
(feedback) dari yang mendengarkan dan yang melihatnya dapat
diketahui pada saat itu juga. Begitu juga kita tahu bahwa waktu itu
teknik berceritanya hanya mengandalkan intonasi, mimik wajah,
maupun gestur saja untuk menumbuhkan imajinasi bagi pendengarnya.
Dulu pemustaka bisa berinteraksi langsung saat pustakawan bercerita.
Contoh untuk film, perubahan yang nampak sekarang
menyebabkan umpan balik tidak langsung terjadi di saat film diputar,
dan kalaupun terjadi harus dihentikan (pause) dahulu biar diskusi jadi
lebih fokus. Yang terjadi biasanya pendengar justru asyik menikmati
film yang diputar.
Melalui digital storytelling pustakawan hanya sebagai fasilitator
untuk memutar filmnya kemudian hanya mengulas saja. Sementara
itu, jika ada pertanyaan ataupun tanggapan dari pemustaka, tanggapan
informasinya jadi tertunda di akhir film selesai atau harus dihentikan
dulu di tengah pemutaran, ada penjelasan, lalu harus diputar lagi dan
begitu seterusnya.
Jika dijelaskan bahwa awalnya pemustaka memperoleh
informasi secara lisan, kemudian mulai mengenal buku dengan cerita
yang didokumentasikan dalam media buku dan disertai dengan gambar
dengan visualisasi beragam warna yang menarik. Dongeng anak-anak
identik dengan cerita kerajaan seperti putri cantik yang pada akhirnya
akan bertemu dengan seorang pangeran tampan.
Contoh cerita dongeng yang sangat populer di kalangan anak-
anak, seperti: bawang merah dan bawang putih, cerita cinderella,
putri salju, putri tidur, si cantik dan si buruk rupa, barbie, putri rapunzel,
dan lain sebagainya. Jika fabel ada si kancil, legenda ada tangkuban

114 Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"


Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan

perahu, film edukatif ada ilmu pengetahuan tentang hewan mamalia,


proses metamorfosis, dan lain sebagainya.
Seiring dengan perkembangannya, pemustaka memperoleh
cerita dengan mendengarkan cerita sandiwara radio maupun menonton
televisi. Dalam sandiwara radio baik sender maupun message dan
medianya sudah dalam bentuk digital, misalnya: suara lolongan anjing,
suara air kran, dan lain sebagainya. Hanya saja umpan balik dari
pendengarnya tidak langsung dapat diketahui, karena storytelling sudah
termediasi dengan teknologi. Hal inilah yang disebut kultur bercerita
sudah demikian berubah.
Jika dianalisis lebih dalam bahwa dengan digital storytelling
akan membuat proses penceritaan secara emosi bagi pemustaka
menjadi lebih dalam. Hal ini dikarenakan informasi dari digital
storytelling lebih dinamis daripada diceritakan secara tradisional oleh
pustakawan. Kelebihannya yang jelas pemustaka menjadi lebih mudah
memahami lewat tampilan visual dan audio. Perubahan penggunaan
media dalam storytelling diilustrasikan dalam Gambar 4 berikut:

Gambar 4. Model Cerita Tradisional ke Digital Storytelling


Sumber: ilustrasi penulis

Secara umum hadirnya perangkat media baru seperti: komputer,


kamera digital, perekam, dan perangkat lunak, akan memungkinkan
setiap pustakawan dapat berbagi cerita digital mereka melalui internet,
pada cakram, podcast, ataupun media elektronik lainnya. Jadi dengan
alat digital dan perangkat lunak akan membuat para pustakawan
menjadi lebih mudah dan nyaman untuk membuat cerita digital.

Penutup
Teknologi komunikasi dan informasi khususnya untuk
penerapan digital storytelling semakin berkembang pesat. Dongeng
dalam bentuk digital storytelling telah menggantikan peran pustakawan

Vol.4, No.2, Tahun 2015: 105-117 115


Endang Fatmawati

sebagai sumber informasi. Dengan demikian, perkembangan teknologi


kian mendominasi perkembangan perpustakaan dari hari ke hari, dan
seperti kenyataan saat ini bahwa cerita telah menjadi sebuah cerita
dalam bentuk dokumentasi digital. Digital storytelling merupakan cara
bercerita dengan penggabungan narasi, teks, audio, gambar, musik
yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk digital dan disampaikan
melalui multimedia digital. Perpustakaan hendaknya mengakomodir
kebutuhan pemustaka dengan menyediakan ruangan yang khusus untuk
digital storytelling tersebut.

Daftar Pustaka
8 Steps to Great Digital Stories. Retrieved from http://edtechteacher.org/
8-steps-to-great-digital-storytelling-from-samantha-on-edudemic
[accessed October 18, 2015].
Alexander, Bryan. 1967. The New Digital Storytelling: Creating
Narratives with New Media, tersedia di http://lib.ui.ac.id/
file?file=pdf/abstrak-20371061.pdf
Components of a Digital Story. Retrieved from http://
pwoessner.wikispaces.com/ Digital+Storytelling [accessed
October 18, 2015].
Digital Storytelling Menciptakan Kreatifitas dan Inovasi Konten
Pembelajaran. Dalam http://prasetya.ub.ac.id/berita/ [diakses
tanggal 18 Oktober 2015].
Frazel, Midge. 2010. Digital Storytelling: Guide for Educators.
Washington DC: International Society for Technology in
Education (ISTE).
Hjarvard, Stig. 2008. “The Mediatization of Society, A Theory of The
Media as Agents of Social and Cultural Change.” Nordicom
Review, 29 (2008) 2, pp. 105-134.
Lambert, Joe. 2013. Digital Storytelling Capturing Lives, Creating
Community. 4th edition New York: Routledge.
Landis, et.al. 2011. “Digital Storytelling: A Tool for Teaching and
Learning in The Youtube Generation”. Middle School Journal,
Vol. 42, No. 5 (May 2011), pp.4-10, tersedia di www.jstor.org.
Lundby, Knut. 2008. Digital Storytelling Mediatized Stories: Self-
Representations in New Media. New York: Peter Lang.
Miller, Crolyn Handler. 2008. Digital Storytelling: A Creator’s Guide to
Interactive Entertainment. 2nd Edition. Boston: Focal Press.

116 Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"


Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan

Piliang, Amir Yasraf. 2003. Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial.


Solo: Tiga Serangkai.
Prawira, Mahardika Abdi. 2013. “Analisis Pengaruh Storytelling Terhadap
Game Lorong Waktu Pangeran Diponegoro Sebagai Media
Edukasi Sejarah.” Dalam http://elib.unikom.ac.id/ [diakses
tanggal 18 Oktober 2015].
Rule, Leslie. 2007. Digital Storytelling Association. Dalam http://
edutechwiki.unige.ch/en/Digital_storytelling [diakses tanggal 18
Oktober 2015].
Xu, et.al. 2011. “A New Approach Toward Digital Storytelling: An
Activity Focused on Writing Self-efficacy in a Virtual Learning
Environment”. Educational Technology & Society, 14 (4), 181-
191.

Vol.4, No.2, Tahun 2015: 105-117 117

Anda mungkin juga menyukai