Anda di halaman 1dari 4

NAMA : ALFANDI MUHAMMAD AKBAR

NIM :
MATA KULIAH :
DOSEN PENGAMPU :

NILAI TAWAZUN DAN I’TIDAL


A. Tawazun
Dalam kehidupan sehari-hari seorang individu yang meliputi dirinya, keluarga, dan
masyarakat ketika menjalani kehidupan menuntut seseorang untuk menjalankannya secara
seimbang dan proposional. Menjalani hidup dengan seimbang bukan berarti melakukan
segala aspek kehidupan dengan porsi yang sama, tetapi dengan porsi dan skala prioritasnya
masing-masing. Adapun Tawazun (keseimbangan) merupakan kunci utama kesuksesan
sesorang dalam menjalani kehidupan dan memenuhi kewajiban sebagai manusia dengan baik.
Tawazun secara lughot berasal dari kata Al Wazn (‫ )الوزن‬. Al Waznu ditambah ta’ dan
alif menjadi َ ‫يتوازن ََ– توازنا‬
َ –ََ ‫ توازن‬. Tawazun, berasal dari kata tawazana: Seimbang. Tawazun
bermakna memberi sesuatu akan haknya, tanpa ada penambahan dan pengurangan. Dengan
demikian tawazun menurut bahasa berarti keseimbangan atau seimbang, sedangakan secara
istilah tawazun merupakan suatu sikap individu untuk memilih titik yang seimbang atau adil
dalam menghadapi suatu persoalan hidup.
Perintah tawazun terdapat dalam firman Allah Q.S. al-Qashash ayat 77:

ُ ‫ك ِم َن ال ُّد ْنيَا َواَحْ ِس ْن َك َمٓا اَحْ َس َن هّٰللا‬ ِ َ‫س ن‬


َ َ‫ص ْيب‬ ‫وا ْبتَغ ف ْيمٓا ٰا ٰتى َ هّٰللا‬
َ ‫ك ُ ال َّدا َر ااْل ٰ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن‬ َ ِ ِ َ

)٧٧( ‫ض اِ َّن هّٰللا َ اَل ي ُِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِدي َْن‬


ِ ۗ ْ‫ك َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِى ااْل َر‬
َ ‫اِلَ ْي‬
Artinya:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”
(Q.S.Al-Qashash: 77).
Dalam tafsir Munir, Wahbah Zuhaili menjelaskan tafsirnya dengan terperinci, adapun
tafsir surat al-Qashash ayat 77 menurut tafsir al-Munir karya Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
َ‫ك هّٰللا ُ ال َّدا َر ااْل ٰ ِخ َرة‬
َ ‫َوا ْبتَ ِغ فِ ْي َمٓا ٰا ٰتى‬
Tafsir:
Gunakanlah harta melimpah, nikmat yang banyak yang diberikan Allah kepadau untuk
mentaati Tuhanmu, mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam ibadah yang
dengannya akan diperoleh pahala di dunia dan akhirat. Sungguh dunia adalah lading untuk
akhirat.

‫ك ِم َن ال ُّد ْنيَا‬ َ ‫َواَل تَ ْن‬


ِ َ‫س ن‬
َ َ‫ص ْيب‬
Tafsir:
Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari kelezatan-kelezatan dunia yang dibolehkan
oleh Allah, seperti makanan minuman, pakaian, tempat tinggal dan menikah. Tuhanmu
mempunyai hak atas kamu dan kamu juga punya hak yang harus kamu penuhi. Keluargamu
juga mempunyai ha katas kamu, orang-orang yang mengunjungimu juga mempunyai ha katas
kamu. Berilah setiap orang yang mempunyai hak akan haknya. Ini adalah moderatisme islam
dalam kehidupan. Ibnu Umar mengatakan berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu akan
hidup selamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.

َ ‫َواَحْ ِس ْن َك َمٓا اَحْ َس َن هّٰللا ُ اِلَ ْي‬


‫ك‬
Tafsir:
Berbuat baiklah kepada makhluk-Nya sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu. Ini adalah
perintah berbuat baik secara mutlak setelah perintah berbuat baik dengan harta. Termasuk
disini memberi bantuan dengan harta dan kedudukan, keramahan, sambutan yang baik dan
reputasi yang baik. Yakni memasukan antara kebaikan materiil dan kebaikan moril.

‫ض اِ َّن هّٰللا َ اَل ي ُِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِدي َْن‬


ِ ۗ ْ‫َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِى ااْل َر‬
Tafsir:
Janganlah kamu bermaksud untuk membuat kerusakan di bumi dengan kezaliman dan
berbuat buruk kepada orang lain. Allah akan menghukum orang-orang yang berbuat
kerusakan dan menghalangi mereka untuk mendapatkan rahmat, pertolongan dan kasih
sayangnya.
Dari ayat di atas dapat diambil hikmah dan dijadikan pedoman atau tuntunan untuk
seorang individu dalam bersikap tawazun atau menyeimbangkan terhadap kepentingan dunia
dan kepentingan akhirat yaitu terhadap segala karunia yang telah Allah berikan di dunia ini
dapat dipergunakan dalam hal ketaatan kepada Allah serta melakukan tugas dan kewajiban
duniawi dengan penuh tanggung jawab dan melakukan ritual ibadah dengan penuh semangat.
Dengan menyeimbangkan keduanya, maka manusia akan mendapatkan kehidupan yang
bahagia.
Diriwayatkan pula dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Asakir dan Anas :

َ ‫ْس ِب َخي ِْر ُك ْم َمنْ َت َر َك ُد ْن َياهُ اِل خ َِر ِت ِه َوالَ اخ َِر َت ُه لِ ُد ْن َياهُ َح ّتى يُصِ يْبُ ِم ْن ُه َم‬
‫اج ِم ْيعًا‬ َ ‫َلي‬
)‫اس(رواه ابن عسا كرعن انس‬ ِ ‫َفاِنَّ ال َّد ْن َيا َباَل ٌغ ِا َلى ْاالخ َِر ِة َواَل َت ُك ْو ُن ْوا َك ًّل َع َلى ال َّن‬
Artinya:
“Bukankah orang yang paling baik diantara kamu orang yang meninggalkan kepentingan
dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia sehingga
dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju
kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang lain”.
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa sikap tawazun atau sikap seimbangan
merupakan hal yang sangat penting bagi sesorang supaya dapat menjadi sarana menuju
kehidupan yang sejati. Tidak boleh hanya menekankan atau mementingan pada satu sisi saja
dan menihilkan sisi yang lain tetapi harus seimbang dalam segala aspek kehidupan.
Dapat disimpulkan bahwa sikap tawazun sangat diperlukan oleh seorang individu,
supaya ketika melakukan sesuatu hal berlebihan dan mengesampingkan hal-hal yang lain
yang memiliki haki untuk ditunaikan. Tawazun merupakan kemampuan manusia untuk
menyeimbangkan kehidupannya dalam berbagai dimensi, sehingga tercipta kondisi yang
stabil, sehat, aman, dan nyaman.

B. I’tidal
I’tidal merupakan sikap lurus tidak memihak dan tegas dalam menyikapi setiap kebaikan
dalam kehidupan. I’tidal berasal dari kata al-’adl yang berarti keadilan.
Perintah i’tidal atau adil terdapat dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Ma’idah ayat 8 yang
berbunyi :
‫ْط َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَ ٰا ُن قَ ْو ٍم َع ٰلٓى اَاَّل‬
ِۖ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّوا ِمي َْن هّٰلِل ِ ُشهَ َد ۤا َء بِ ْالقِس‬

‫۝‬٨ ‫تَ ْع ِدلُ ْو ۗا اِ ْع ِدلُ ْو ۗا هُ َو اَ ْق َربُ لِلتَّ ْق ٰو ۖى َواتَّقُوا هّٰللا ۗ َ اِ َّن هّٰللا َ َخبِ ْي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُ ْو َن‬
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan)
saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada
semantakwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang
kamu kerjakan.
Tafsir Ringkas Al-Qur’anul Kariim Kementrian Agama Q.S. Al-Mai’dah ayat 8:
Ayat selanjutnya memberikan tuntunan agar umat Islam berlaku adil, tidak hanya kepada
sesama umat Islam, tetapi juga kepada siapa saja walaupun kepada orang-orang yang tidak
disukai. Wahai orangorang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan, yakni
orang yang selalu dan bersungguh-sungguh menegakkan kebenaran, karena Allah, ketika
kalian menjadi saksi maka bersaksilah dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap
suatu kaum, yakni kepada orang-orang kafir dan kepada siapa pun, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil terhadap mereka. Berlaku adillah kepada siapa pun, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya, sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan, baik yang kamu lahirkan maupun yang kamu sembunyikan.
Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa sikap i’tidal merupakan sikap yang memiliki
peranan yang sangat penting bagi seorang individu karena dengan bersikap i’tidal atau adil
seorang individu dapat menempatkan atau memposisikan sesuatu dengan sebagaimana
mestinya dan pada tempatnya tidak condong atau memihak dan dapat berlaku adil.

REFERENSI
Abdul Wahid, et. all. (2001). Militansi ASWAJA & Dinamika Pemikiran Islam.
(Malang:Aswaja Centre UNISMA, 2001), hlm. 18.
Abu Yasid (2014). Islam Moderat (Jakarta: Erlangga, 2014), hal 52
Tim Penyusun Kemenag RI (2016). Tafsir Ringkas Al-Qur’anul Karim. Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur′an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Tahun 2016.
Wahbah Az Zuhaili (2016). Tafsir Al-Munir (Aqidah, Syari’ah, Manhaj). Terj. Abdul Hayyie
al-Kattani, et.al, (Jakarta: Gema Insani, 2016), 428.

Anda mungkin juga menyukai