Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

Tentang
TROMBOFLEBITIS DAN PEMANTAUAN TANDA BAHAYA
PASCAKEGUGURAN

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan
Kegawatdaruratan di Program Studi Profesi Bidan

Dosen Pembimbing
Endang Astiriyani, SST, M.Keb

Disusun Oleh :
Dini Nurfadilah (P20624520015)
Evita Pramesti P (P20624520020)
Fitri Maulida Fauziyah (P20624520021)
Nurul Hanipah (P20624520030)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN DAN PROFESI
POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat, berkah, hidayah, dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Tromboflebitis Dan Pemantauan Tanda Bahaya Pascakeguguran”
dengan sebaik-baiknya.
Selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang
telah memberikan dorongan, semangat, dan bimbingan yang tak ternilai harganya.
Untuk itu, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada:
1. Endang Astriyani,SST.M,Keb selaku dosen pengampu mata kuliah Asuhan
Kebidanan Kegawat Daruratan yang telah memberikan bimbingan, motivasi,
petunjuk, dan arahan kepada kami;

2. Teman-teman seperjuangan di prodi Profesi Bidan yang senantiasa


memberikan motivasi dan semangat.
Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik
dan saran yang mebangun dari pembaca.
Akhirnya, saya berharap semoga Makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis khususnya, dan umumnya bagi semua pembaca, serta dapat berguna bagi
kemajuan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya.

Tasikmalaya, 09 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ‘
A. Konsep Dasar Kegawat Daruratan Tromboflebitis.................................2
B. Konsep dasar Kegawat Daruratan pada Pemantauan Tanda
Bahaya Pascakeguguran..........................................................................15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................36
B. Saran........................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Tanda bahaya kehamilan harus dikenali dan terdeteksi sejak dini sehingga dapat
ditangani dengan benar karena setiap tanda bahaya kehamilan bisa mengakibatkan
komplikasi kehamilan.Berdasarkan penilitian, telah diakui saat ini bahwa setiap
kehamilan dapat memiliki potensi dan membawa risiko bagi ibu. WHO
memperkirakan sekitar 15% dari seluruh wanita hamil akan berkembang menjadi
komplikasi yang berkaitan dengan kehamilannya dan dapat mengancam jiwanya.
Kematian ibu yang terjadi pada waktu kehamilan 90% disebabkan oleh komplikasi
obstetri, yang sering tidak diramalkan pada saat kehamilan. Komplikasi obstetri
secara langsung adalah Perdarahan
Selama ini perdarahan pascasalin merupakan penyebab kematian ibu, terutama
setelah 2 jam pertama yang kemungkinannya sangat tinggi, namun dengan
meningkatnya persediaan darah dan rujukan, maka infeksi menjadi lebih menonjol
sebagai penyebab kematian dan morbiditas ibu. Infeksi pada masa nifas diantaranya
yaitu Tromboflebitis.
Tromboflebitis yaitu penjalaran infeksi melalui vena sering terjadi dan
merupakan penyebab terpenting dari kematian karena infeksi peurperalis, infeksi
puerperalis yaitu infeksi nifas yang mencakup semua peradangan yang disebabkan
oleh masuknya kuman – kuman ke dalam alat genetalia wanita pada waktu
persalinan dan nifas. Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
menjaga personal higiene, kurangnya pengetahuan tentang dampak jangka pendek
dan jangka panjang trombophlebitis bagi ibu menjadi salah faktor atau dasar bagi
penulis untuk membahas tentang infeksi nifas mengenai endometritis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Dasar Kegawat Daruratan Tromboflebitis?
2. Bagaimana Konsep dasar Kegawat Daruratan pada Pemantauan Tanda
Bahaya Pascakeguguran?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Konsep Dasar Kegawat Daruratan Tromboflebitis
2. Untuk mengetahui Konsep dasar Kegawat Daruratan pada Pemantauan
Tanda Bahaya Pascakeguguran

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tromboflebitis
1. Definisi Tromboflebitis
Trombophlebitis adalah Kelainan pada masa nifas yaitu masa
setelah melahirkan dimana terjadi sumbatan pada pembuluh darah yang
disebabkan oleh adanya darah yang membeku (Prawirrohardjo, 2009).
Tromboflebitis adalah invasi/perluasan mikroorganisme patogen
yang mengikuti aliran darah disepanjang vena dan cabang-cabangnya.
Tromboflebitis didahului dengan trombosis, dapat terjadi pada kehamilan
tetapi lebih sering ditemukan pada masa nifas.
Tromboflebitis merupakan inflamasi permukaan pembuluh darah
disertai pembentukan pembekuan darah. Tomboflebitis cenderung terjadi
pada periode pasca partum pada saat kemampuan penggumpalan darah
meningkat akibat peningkatan fibrinogen, dilatasi vena ekstremitas bagian
bawah yang disebabkan oleh tekanan kepala janin kerena kehamilan dan
persalinan dan aktifitas pada periode tersebut yang menyebabkan
penimbunan, statis dan membekukan darah pada ekstremitas bagian bawah
(Adele Pillitteri, 2007).
Menurut Depkes RI (1990), tromboflebitis adalah suatu
peradangan pada vena. Istilah trombosis vena lebih sering diartikan
sebagai suatu keadaan penggumpalan darah yang terbentuk di dalam
pembuluh darah, sedangkan tromboflebitis diartikan sebagai inflamasi
yang menyertai terhadap adanya suatu penjendalan. Plebotrombosis adalah
trombus yang merupakan faktor yang mempermudah terjadinya inflamasi.
Tromboflebitis adalah peradangan dinding vena dan biasanya
disertai pembentukan bekuan darah (thrombus). Ketika pertama kali
terjadi bekuan pada vena akibat statis atau hiperkoagulabilitas, tanpa
disertai peradangan maka proses ini dinamakan flebotrombosis, (Smeltzer,
2002).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tromboflebitis adalah peradangan
pada pembuluh darah vena yang disertai dengan pembentukan bekuan

2
darah (thrombus) yang dapat terjadi pada wanita hamil namun lebih sering
terjadi pada masa nifas.
2. Etiologi
Menurut Adele Pillitteri (2007), etiologi tromboflebitis adalah:
a. Perluasan infeksi endometrium
Invasi/perluasan mikroorganisme patogen yang mengikuti aliran
darah disepanjang vena dan cabang-cabangnya, sehingga dapat
menyebabkan perluasan mikroorganisme ke endometrium dan
menyebabkan infeksi pada endometrium.
b. Mempunyai varises pada vena
Pada vena yang sebelumnya terdapat vena ektasia atau varises,
maka terdapatnya turbulensi darah pada kantong-kantong vena di
sekitar klep (katup) vena merangsang terjadinya thrombosis primer
tanpa disertai reaksi radang primer, yang kemudian karena faktor
lokal, daerah yang ada trombusnya tersebut mendapat radang.
Menipisnya dinding vena karena adanya varises sebelumnya,
mempercepat proses keradangan. Dalam keadaan ini, maka dua factor
utama : kelainan dinding vena dan melambatnya aliran darah, menjadi
sebab penting dari terjadinya tromboplebitis.
c. Obesitas
Pada penderita obesitas ini berkaitan dengan aliran darah yang
lambat serta kemungkinan terjadi varises pada penderita obesitas yang
menjadi salah satu penyebab dari tromboflebitis,sehinga pada obesitas
pula kemungkinan terjadi tromboflebitis.
d. Pernah mengalami tromboflebitis
Seseorang dengan riwayat tromboflebitis merupakan faktor
yang mengakibatkan terulangnya kembali kejadian tromboflebitis,
karena perlukaan yang ditimbulkan dari tromboflebitis itu sendiri.
e. Berusia 30 tahun lebih dan pada saat persalinan berada pada posisi
litotomi untuk waktu yang lama.
Pada proses persalinan tekanan pada arah bawah lebih tinggi
sehingga mengakibatkan terjadinya tromboflebitis

3
f. Trauma
Beberapa sebab khusus karena rangsangan langsung pada vena
dapat menimbulkan keadaan ini. Umumnya pemberian infus (di lengan
atau di tungkai) dalam jangka waktu lebih dari 2 hari pada tempat yang
sama atau pemberian obat yang iritan secara intra vena.
g. Adanya malignitas (karsinoma) yang terjadi pada salah satu segmen
vena.
Tumor-tumor intra abdominal, umumnya yang memberikan
hambatan aliran vena dari ekstremitas bawah, hingga terjadi
rangsangan pada segmen vena tungkai.
h. Memiliki insidens tinggi untuk mengalami tromboflebitis dalam
keluarga.
Kelainan jantung yang secara hemodinamik menyebabkan
kelainan pula pada system aliran vena
3. Epidemiologi
Kejadian tromboflebitis selama kehamilan kejadiannya relatif
rendah, risiko terjadinya tromboflebitis vena kaki atau pelvis meningkat
setelah kehamilan atau operasi.
Insiden tromboflebitis superfisial sekitar 1 dalam 600 pasien-
pasien antepartum dan 1 dalam 95 bagi pasien-pasien postpartum. Insiden
tromboflebitis profunda berkisar 1 dalam 1900 pasien antepartum dan 1
dalam 700 pasien postpartum. Faktor-faktor yang mempermudah
trombosis vena (tromboflebitis) antar lain stasis (perlambatan aliran
darah), luka pada dinding pembuluh darah (iritasi lokal dan infeksi), dan
perubahan fisika atau kimia pada konstituen darah.

4. Klasifikasi
Menurut Saifuddin (2002) tromboflebitis diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
a. Pelvio Tromboflebitis
Pelvio tromboflebitis yang paling sering meradang mengenai
vena-vena didinding uterus dan ligamentum latu yaitu vena ovarika,
karena mengalirkan darah dan luka bekas plasenta didaerah fundus

4
uteri. Penjalaran tromboflebitis pada vena ovarika kiri ialah ke vena
renalis dan dari vena ovarika kanan ke vena kava inferior. Biasanya
terjadi sekitar hari ke-14 atau ke-15 pasca partum. Trombosis yang
terjadi setelah peradangan bermaksud untuk menghalangi penjalaran
mikroorganisme. Dengan proses ini, infeksi dapat sembuh tetapi jika
daya tahan tubuh kurang, trombus dapat menjadi nanah. Bagian-bagian
kecil trombus terlepas dan terjadilah emboli atau sepsis dan karena
embolus ini mengandung nanah disebut juga pyaemia. Embolus ini
biasanya tersangkut pada paru, ginjal dan katup jantung. Pada paru
dapat menimbulkan infark.
b. Tromboflebitis femoralis
Tromboflebitis femoralis yaitu suatu tromboflebitis yang
mengenai vena safena magna atau vena femoralis. Hal ini disebabkan
oleh adanya trombosis atau embosis yang disebabkan karena adanya
perubahan atau kerusakan pada intima pembuluh darah, perubahan pada
susunan darah, laju peredaran darah, atau karena pengaruh infeksi atau
venaseksi. Tromboflebitis femoralis mengenai vena-vena pada tungkai,
misalnya vena vemarolis, vena poplitea dan vena safena. Sering terjadi
sekitar hari ke-10 pasca partum. Hal ini terjadi karena aliran darah
lambat didaerah lipatan paha karena vena tersebut tertekan oleh
liginguinale juga karena dalam masa nifas kadar fibrinogen meninggi.

5. Patofisiologi

Pada tromboflebitis terjadi pembentukan trombus yang merupakan


akibat dari stasis vena sehingga mmenyebabkan gangguan koagulabilitas
darah atau kerusakan pembuluh maupun endotelial. Stasis vena sering
dialami oleh orang-orang imobil maupun yang istirahat di tempat tidur
dengan gerakan otot yang tidak memadai untuk mendorong aliran darah.
Statis vena juga mudah terjadi pada orang yang berdiri terlalu lama, duduk
dengan lutut dan paha ditekuk, berpakaian ketat, obesitas, tumor maupun
wanita hamil. Stasis aliran darah vena terjadi ketika aliran darah melambat
misalnya pada istirahat lama (imobilisasi) seperti yang telah disebutkan

5
sebelumnya sehingga dapat berpengaruh pada pompa vena perifer,
meningkatkan stagnasi dan penggumpalan darah pada ekstremitas
sehingga ektremitas mengalami edema. Hiperkoagulabilitas darah yang
menyertai trauma, kelahiran dan myocardial infret juga mempermudah
terjadinya pembentukan trombus.

Pembentukan trombus dimulai dengan melekatnya trombosit-


trombosit pada permukaan endotel pembuluh darah. Darah yang mengalir
menyebabkan makin banyak trombosit tertimbun. Oleh karena sifat
trombosit ini, trombosis dapat saling melekat sehingga terbentuk massa
yang menonjol ke dalam lumen.
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis
vena adalah statis aliran darah dan hiperkoagulasi.

a. Statis Vena

Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi


statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi
dalam waktu yang cukup lama. Statis vena merupakan predis posisi
untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat menimbulkan gangguan
mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah
sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

b. Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan


trombosis vena, melalui :

1) Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.


2) Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.


Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel
menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin, proteoglikan,
aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah

6
terbentuknya trombin. Apabila endotel mengalami kerusakan, maka
jaringan sub endotel akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan
sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada
jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan
mikrofibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin
difosfat dan tromboksan yang akan merangsang trombosit lain yang
masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel
endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.

c. Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem


pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya
trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas
fibrinolisis menurun. Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus
dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper koagulasi,
defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan
kelainan plasminogen.

6. Tanda dan Gejala


a. Secara umum menurut Afrian (2011) yaitu:
Penderita-penderita umumnya mengeluh spontan terjadinya
nyeri di daerah vena (nyeri yang terlokalisasi), yang nyeri tekan, kulit di
sekitarnya kemerahan (timbul dengan cepat diatas vena) dan terasa
hangat sampai panas. Juga dinyatakan adanya oedema atau
pembengkakan agak luas, nyeri terjadi bila menggerakkan lengan, juga
pada gerakan-gerakan otot tertentu. Pada perabaan, selain nyeri tekan,
diraba pula pengerasan dari jalur vena tersebut, pada tempat-tempat
dimana terdapat katup vena, kadang-kadang diraba fluktuasi, sebagai
tanda adanya hambatan aliran vena dan menggembungnya vena di
daerah katup. Fluktuasi ini dapat pula terjadi karena pembentukan
abses. Febris dapat terjadi pada penderita-penderita ini, tetapi biasanya
pada orang dewasa hanya dirasakan sebagai malaise.
b. Secara Khusus

7
1) Pelvio Tromboflebitis
a) Nyeri yang terdapat pada perut bagian bawah dan atau perut
bagian samping, timbul pada hari ke-2-3 masa nifas.
b) Penderita tampak sakit berat dengan gambaran karakteristik
sebagai berikut:
 Mengigil berulang kali, menggigil inisial terjadi sangat
berat (30-40 menit) dengan interval hanya beberapa jam
saja dan kadang kadang 3 hari pada waktu menggigil
penderita hampir tidak panas.
 Suhu badan naik turun secara tajam (36°C menjadi 40°C)
yang diikuti penurunan suhu dalam 1 jam (biasanya
subfebris seperti pada endometritis.
 Penyakit dapat langsung selama 1-3 bulan
 Cenderung terbentuk pus, yang menjalar kemana-mana,
terutamake paru-paru
c) Gambaran darah

 Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin


menyebar ke sirkulasi, dapat segera terjadi leukopenia)
 Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat
tepat sebelum mulainya menggigil, kultur darah sangat
sukar dibuatkarena bakterinya adalah anaerob.

2) Tromboflebitis femoralis

a) Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris selama 7-10


hari, kemudian suhu mendadak naik kira-kira pada hari ke 10-
20 yang disertai dengan menggigil dan nyeri sekali.
b) Pada salah satu kaki yang terkena, memberikan tanda-tanda
sebagai berikut:

8
 Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi keluar serta
sukar bergerak, lebih panas dibandingkan dengan kaki
lainnya.
 Seluruh bagian dari salah satu vena pada kaki terasa
tegang dan keras pada paha bagian atas
 Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha
 Reflektorik akan terjadi spasmus arteria sehingga kaki
menjadi bengkak, tegang, putih, nyeri, dan dingin dan
pulsasi menurun.
 Edema kadang-kadang terjadi sebelum atau sesudah nyeri
dan pada umumnya terdapat pada paha bagian atas, teatapi
lebih sering dimulai dari jari-jari kaki dan pergelangan
kaki kemudian meluas dari bawah ke atas.
 Nyeri pada betis, yang terjadi spontan atau dengan
memijat betis.

7. Pemeriksaan penunjang
a. Ultrasonograf Doppler
Tehnik dopler memungkinkan penilaian kualitatif terhadap
kemampuan katub pada vena profunda, vena penghubung dan vena
yang mengalami pervorasi. Ultrasonografi Doopler dilakukan dengan
cara meletakkan probe Doppler di atas vena yang tersumbat. Bacaan
aliran doopler tampak lebih kecil di banding tungkai sebelahnya atau
tidak sama sekali. Metode ini relative murah, mudah dilakukan,
praktis, cepat dan non infasif. Pemeriksaan ultrasonograf doppler
dilakukan untuk menunjukkan peningkatan lingkar ekstremitas.
b. Pemeriksaan hematokrit
Untuk mengidentifikasi Hemokonsentrasi, terjadinya
peningkatan hematokrit. Jika terjadi peningkatan hematokrit maka
akan berpotensial terjadinya pembentukan trombus.
c) Pemeriksaan Koagulasi

9
Untuk menunjukkan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan
koagulasi ini menilai aktifitas faktor pembekuan seperti uji masa
protrombin, uji activated partial thromboplastin time (APTT),
thrombin time dan kadar fibrinogen.
d) Biakan darah
Pemeriksaan baik aerob maupun anaerob dapat membantu.
Organisme yang penting untuk di antisipasi meliputi Streptokokus
aerob dan anaerob. Staphilokokus aureus, Eschercia coli ,dan
Bakteriodes. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui atau
mendeteksi kuman didalam darah.
e) Pemindai ultrasuond dupleks
Dengan tehnik ini obstruksi vena dan refleks katub dapat
dideteksi dan dilokalisasi dan dapat dilihat diagram vena-vena
penghubung yang tidak kompeten.
f) Venografi
Bahan kontras disuntikkan kedalam sistem vena untuk
memberikan gambaran pada vena-vena di ekstrimitas bawah dan
pelvis. Pemeriksaan venografi berguna untuk mendiagnosis trombosis
vena renalis.
8. Penatalaksanaan
a. Pelvio tromboflebitis
1) Lakukan pencegahan terhadap endometritis dan tromboflebitis
dengan menggunakan teknik aseptik yang baik.
2) Rawat inap : penderita tirah baring untuk pemantauan gejala
penyakit dan mencegah terjadinya emboli pulmonum.
3) Terapi medik: pemberian antibiotika, heparin terdapat tanda-tanda
atau dugaan adanya emboli pulmonum.
4) Terapi operatif : pengikatan vena kava inferior dan vena ovarika
jika emboli septik terus berlangsung sampai mencapai paru-paru;
meskipun sedang dilakukan hipernisasi, siapkan untuk menjalani
pembedahan.
b. Tromboflebitis femoralis

10
1) Terapi medik : Pemberian analgesik dan antibiotik.
2) Anjurkan ambulasi dini untuk meningkatkan sirkulasi pada
ekstremitas bawah dan menurunkan kemungkinan pembentukan
pembekuan darah. Jauhkan tekanan dari daerah untuk mengurangi
rasa sakit dan mengurangi risiko kerusakan lebih lanjut.
3) Tinggikan daerah yang terkena untuk mengurangi pembengkakan.
Pastikan Pasien untuk tidak berada pada posisi litotomi dan
menggantung kaki lebih dari 1 jam, dan pastikan untuk
memberikan alas pada penyokong kaki guna mencegah adanya
tekanan yaang kuat pada betis.
4) Sediakan stocking pendukung kepada Pasien pasca partum yang
memiliki varises vena untuk meningkatkan sirkulasi vena dan
membantu mencegah kondisi stasis.
5) Instruksikan kepada Pasien untuk memakai stocking pendukung
sebelum bangun pagi dan melepaskannya 2x sehari untuk
mengkaji keadaan kulit dibawahnya.
6) Anjurkan tirah baring dan mengangkat bagian kaki yang terkena.
7) Dapatkan nilai pembekuan darah perhari sebelum obat anti
koagulan diberikan.
8) Berikan anti koagulan, analgesik, dan antibiotik sesuai dengan
resep.
9) Berikan alat pamanas seperti lampu atau kompres hangat basah
sesuai instruksi, pastikan bahwa berat dari kompres panas tersebut
tidak menekan kaki Pasien sehingga aliran darah tidak terhambat.
10) Sediakan bed cradle untuk mencegah selimut menekan kaki yang
terkena.
11) Ukur diameter kaki pada bagian paha dan betis dan kemudian
bandingkan pengukuran tersebut dalam beberapa hari kemudian
untuk melihat adanya peningkatan atau penurunan ukuran.
12) Dapatkan laporan mengenai lokea dan timbang berat pembalut
perineal untuk mengkaji pendarahan jika pasien dalam terapi
antikoagulan.

11
13) Adanya kemungkinan tanda pendarahan lain, misalnya:
pendarahan pada gusi, bercak ekimosis pada kulit atau darah yang
keluar dari jahitan episiotomi.
14) Yakinkan Pasien bahwa heparin yang diterimanya dapat
dilanjutkan pada masa menyusui karena obat ini tidak akan
berada didalam air susu.
15) Siapkan pemberian protamin sulfat sebagai antagonis heparin.
16) Jelaskan pada Pasien mengenai pemberian heparin yang harus
dilakukan melalui terapi sub kutan Jelaskan kepada pasien bahwa
untuk kehamilan selanjutnya ia harus memberitahukan tenaga
kesehatan yang dia hadapi untuk memastikan bahwa pencegahan
trombofrebitis yang tepat telah dilakukan.
c. Pola Pengobatan Tromboflebitis

Flebitis superfisialis sering menghilang dengan sendirinya.


Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri (misalnya
Aspirin, ibuprofen). Untuk mempercepat penyembuhan, bisa
disuntikkan anestesi (obat bius) lokal, dilakukan pengangkatan
trombus dan kemudian pemakaian perban kompresi selama beberapa
hari.

Jika terjadi di daerah selangkangan, trombus bisa masuk ke


dalam vena dalam dan terlepas. Untuk mencegah hal ini, dianjurkan
untuk melakukan pembedahan darurat guna mengikat vena
permukaan. Untuk rekomendasi lebih spesifik, lihat kondisi tertentu.
Secara umum, pengobatan dapat mencakup sebagai berikut: Obat
analgesik (nyeri obat), antikoagulan atau pengencer darah untuk
mencegah pembentukan gumpalan baru, Trombolitik untuk
melarutkan bekuan yang sudah ada, non-steroid obat anti inflamasi
(OAINS), seperti ibuprofen untuk mengurangi rasa sakit dan
peradangan, antibiotik (jika infeksi hadir).

9. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu sebagai berikut:

12
a. Jika dalam kehamilan mengalami anemia perlu segera diobati karena
anemia memudahkan terjadinya infeksi. Biasanya pengobatan anemia
kehamilan ialah dengan pemberian zat besi (Fe). Keadaan gizi
penderita juga sangat menentukan seperti diet harus memenuhi
kebutuhan kehamilan dan nifas, harus seimbang dan mengandung
cukup vitamin.
b. Selama persalinan, pada saat seorang bidan menolong persalinan, ada
4 usaha penting harus dilaksanakan yaitu:
1) Membatasi masuknya kuman-kuman kedalam jalan lahir
2) Membatasi perlukaan
3) Membatasi perdarahan
4) Membatasi lamanya persalinan
d. Untuk menghindari masuknya kuman, tehnik aseptic harus dipegang
teguh lakukan proses dekontaminasi alat, proses desinfektan harus
sesuai standar dan wajib dilaksanakan. Pemeriksaan dalam dilakukan
jika ada indikasi.
e. Membatasi perlukaan dan membatasi pendarahan. Pembatasan
perdarahan sangat penting, jika terjadi perdarahan yang banyak, darah
hilang ini hendaknya segera diganti (segera melakukan transfusi).
f. Dalam nifas jalan lahir setelah persalinan mudah dimasuki kuman-
kuman karena adanya perlukaan, tetapi jalan lahir terlindungi terhadap
kuman-kuman karena vulva tertutup. Untuk mencegah infeksi
janganlah membuka vulva atau memasukan jari ke dalam vulva
misalnya waktu membersihkan perineum.

10. Komplikasi dan Prognosi


a. Komplikasi
Menurut fatmawati (2013) komplikasi yang dapat terjadi adalah sebagai
berikut:
1) Pelvio Tromboflebitis

13
Komplikasi potensial dari tromboflebitis pelvio antara lain adalah:
a) Emboli paru septik
Pada tromboflebitis trombus berjalan melalui pembuluh
darah ke paru-paru sampai akhirnya berhenti dan menyumbat
pembuluh darah kecil di paru-paru yang tidak memungkinkan
lagi untuk dilalui. Trombus tersebut akan menghalangi aliran
darah ke bagian paru yang tersumbat, yang akhirnya akan
menyebabkan infark karena bagian tersebut tidak mendapat
pasokan oksigen.
b) Septikemia
Suatu keadaan ketika terdapat multiplikasi bakteri
dalam darah. Istilah lain untuk septikemia adalah biood
poisoning atau keracunan darah atau bakterimia dengan sepsis.
Septikemia merupakan suatu kondisi infeksi serius yang
mengancam jiwa dan cepat memburuk.
c) Tromboflebitis femoralis
Komplikasi potensial dari tromboflebitis femoralis yang
paling serius adalah emboli paru yaitu suatu keadaan dimana
terjadinya obstruksi sebagian atau total pada sirkulasi arteri
pulmonalis atau cabang-cabangnya akibat tersangkutnya
emboli trombus atau emboli yang lain, Trombus tersebut bisa
berasal dari vena di bagian tubuh yang lain, seperti misalnya
tungkai, lengan, pinggul, atau jantung. Trombus tersebut
berjalan melalui pembuluh darah ke paru-paru sampai akhirnya
berhenti dan menyumbat pembuluh darah kecil di paru-paru
yang tidak memungkinkan lagi untuk dilalui. Trombus tersebut
akan menghalangi aliran darah ke bagian paru yang tersumbat,
yang akhirnya akan menyebabkan infark karena bagian
tersebut tidak mendapat pasokan oksigen
11. Prognosis
Yang dapat diketahui dalam membuat prognosis pada klien dengan
tromboflebitis ialah dengan menghitung denyut nadi, jika denyut nadi

14
dibawah 100 maka prognosisnya dapat dikatakan baik namun sebaliknya
jika denyut nadi diatas 130 dan disertai suhu tinggi maka prognosisnya
dapat dikatakan kurang baik. Demam yang kontinyu dapat lebih
memperburuk prognosis daripada demam yang remittens. Demam
menggigil yang berulang-ulang, insomnia dan ikterus, yang merupakan
tanda-tanda kurang baik. Kadar Hb yang rendah dan jumlah leukosit yang
rendah atau sangat tinggi juga dapat memperburuk prognosis.

B. Pemantauan Tanda Bahaya Pasca Keguguran


1. Definisi Keguguran
Keguguran, yang dikenal dengan istilah abortus, didefinisikan
sebagai berakhirnya kehamilan sebelum janin mampu hidup di luar rahim
(viable), yaitu sebelum usia kehamilan 20 minggu atau berat janin belum
mencapai 500 g. Keguguran kadang-kadang disebut sebagai aborsi
spontan. Hampir semua wanita hamil dapat mengalami keguguran.
Keguguran bisa menjadi pertanda bahwa ada permasalahan dalam
kehamilan yang Anda alami. Wanita hamil bisa menghindari atau
mencegah keguguran dengan meminimalisir penyebab keguguran.

Namun demikian, tidak semua kasus keguguran yang datang ke


fasilitas kesehatan merupakan keguguran yang terjadi secara spontan.
Kasus keguguran yang ditemukan tenaga kesehatan mungkin saja
merupakan lanjutan dari upaya pengguguran kehamilan atau induksi
keguguran (induced abortion) yang telah dilakukan sebelumnya dengan
metode yang tidak aman. Upaya induksi keguguran dilakukan baik pada
kehamilan yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan, pada
perempuan yang sudah menikah maupun yang belum. Data SDKI 2017
menunjukkan bahwa sekitar 15% kelahiran pada perempuan usia 15-49
tahun tidak diinginkan pada saat itu, dan 12% perempuan belum kawin
usia 15-24 tahun pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.

Induksi keguguran yang tidak aman dapat menyebabkan berbagai


komplikasi, termasuk perdarahan, sepsis, peritonitis, dan trauma pada
serviks, vagina, uterus, dan organ perut. Satu dari empat perempuan yang

15
melakukan induksi keguguran yang tidak aman berisiko mengalami
disabilitas sementara maupun permanen yang membutuhkan pelayanan
medis.

Berbagai data di atas menekankan pentingnya asuhan pasca


keguguran yang komprehensif dan berkualitas bagi semua perempuan
yang mengalami keguguran. Asuhan tersebut meliputi tatalaksana medis
untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi dari uterus, di mana penelitian
menunjukkan bahwa pada sekitar 28% kasus keguguran spontan, jaringan
hasil konsepsi tidak keluar secara lengkap dan membutuhkan tatalaksana
lebih lanjut.12 Asuhan juga bertujuan memberikan konseling dan
dukungan psikososial untuk mencegah masalah kejiwaan seperti
kecemasan dan depresi, yang dilaporkan pada hampir 20% kasus
keguguran.13 Selain itu, asuhan juga meliputi layanan KB untuk
perencanaan kehamilan selanjutnya, rujukan ke layanan kesehatan lain,
serta pemberdayaan masyarakat.

Asuhan pasca keguguran yang diberikan harus berorientasi pada


perempuan (woman-centered), di mana layanan tersebut semestinya dapat
diakses oleh perempuan dari berbagai latar belakang sosioekonomi,
memberikan pilihan dan menghargai keputusan perempuan, serta
diberikan dengan kualitas yang baik. Hal ini sangat diperlukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan perempuan, menghindari berbagai
komplikasi, dan mencegah terjadinya kematian ibu.

Metode kuretase tajam yang banyak dilakukan sebagai tatalaksana


operatif kasus pasca keguguran telah diketahui meningkatkan risiko
komplikasi sindroma Asherman14 dan persalinan preterm15, serta
ditengarai meningkatkan risiko plasenta akreta pada kehamilan
selanjutnya.16 - 18 Karena itu, WHO dan FIGO telah menyarankan
penggunaan aspirasi vakum manual (AVM) untuk tatalaksana operatif,
karena mempunyai risiko perdarahan dan nyeri yang lebih kecil, lama
rawat yang lebih singkat19 , serta mengurangi risiko komplikasi.

16
Dari penelitian yang dilakukan Guttmacher Institute di Pulau Jawa
tahun 2017, ditemukan bahwa hanya 1,5% Puskesmas mampu PONED
yang menyediakan layanan asuhan pasca keguguran, meskipun layanan
tersebut telah masuk ke dalam pedoman dan kurikulum pelatihan
Puskesmas mampu PONED. Proporsi RSIA/ RSAB yang tidak memiliki
tenaga dan kapasitas layanan yang memadai untuk asuhan pasca
keguguran adalah sebesar 47%, sedangkan untuk RS tipe C dan tipe D,
proporsinya adalah sebesar 66%. Tatalaksana keguguran dengan metode
aspirasi vakum hanya dilakukan pada 7% pasien, sedangkan tatalaksana
dengan misoprostol sebesar 1%, meskipun kedua metode tersebut adalah
metode yang direkomendasikan WHO karena lebih aman dari kuretase
tajam. Konseling kontrasepsi hanya diberikan di 69% fasilitas kesehatan
pemerintah maupun swasta. Hambatan utama pelayanan antara lain tidak
adanya petugas kesehatan terlatih, alat dan perlengkapan, serta obat-obatan
yang dibutuhkan.20 Untuk menjamin tersedianya asuhan pasca keguguran
bagi semua perempuan yang membutuhkannya, diperlukan sebuah
pedoman nasional sebagai acuan pelaksanaan layanan asuhan pasca
keguguran yang komprehensif di fasilitas kesehatan sesuai dengan
tingkatan dan kapasitasnya.

2. Definisi dan klasifikasi keguguran


Setiap perempuan hamil dapat mengalami kehamilan terhenti, baik
disengaja maupun tidak. Berakhirnya kehamilan sebelum janin mampu
hidup, yaitu ketika usia kehamilan belum mencapai 20 minggu atau berat
janin <500gr, baik secara spontan maupun diinduksi dikenal dengan istilah
keguguran (abortus). Berdasarkan proses terjadinya, keguguran dapat
diklasifikasikan menjadi keguguran spontan dan keguguran diinduksi.
a. Keguguran Spontan
Keguguran spontan adalah keguguran yang terjadi tanpa disengaja,
tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus.
Beberapa faktor risiko keguguran spontan di antaranya: anomali janin
atau kelainan kromosom yang berat, penyakit infeksi, gangguan
nutrisi yang berat, penyakit menahun dan kronis, konsumsi alkohol

17
dan merokok, anomali uterus dan serviks, gangguan imunologis, serta
trauma fisik dan psikologis
b. Keguguran di induksi
Keguguran diinduksi adalah penghentian kehamilan yang sengaja
dilakukan sebelum janin mampu hidup, baik dengan memakai obat-
obatan atau memakai alat. Di Indonesia, keguguran diinduksi dilarang
secara hukum kecuali untuk dua kondisi, yaitu (1) Indikasi kedaruratan
medis, (2) Kehamilan akibat perkosaan, dengan syarat-sysrat yang telah
diatur dalam UU nomor 36 tahun 2009 dan PP Nomor 61 tahun 2014.
Prosedur yang dilakukan harus sesuai standar medis, oleh tenaga yang
kompeten di fasilitas kesehatan yang memadai, sesuai ketentuan yang
diatur dalam peraturan dan perundangan yang berlaku.

Keguguran secara klinis dapat dikelompokkan menjadi keguguran


iminens, keguguran insipiens, keguguran inkomplit, dan keguguran
komplit. Selain itu, ada juga missed abortion, keguguran habitualis,
keguguran infeksiosus, dan keguguran septik.

c. Keguguran iminens

Keguguran iminens merupakan perdarahan dari uterus pada


kehamilan sebelum 20 minggu, hasil konsepsi masih dalam uterus, dan
tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis keguguran iminens ditentukan
karena pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium uteri
eksternum, disertai sedikit nyeri abdomen atau tidak sama sekali, uterus
membesar sesuai usia kehamilan, serviks belum membuka, dan tes
kehamilan positif.

d. Keguguran insipiens
Perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
adanya dilatasi serviks uteri yang semakin bertambah, tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa perut mulas menjadi lebih sering
dan kuat serta perdarahan semakin banyak.
b. Keguguran inkomplit

18
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan
vagina, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum
uteri atau terkadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.
c. Keguguran komplet
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi
telah keluar dari kavum uteri. Seluruh hasil kehamilan telah dilahirkan
dengan lengkap. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium
uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat di
permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan
bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
d. Keguguran septik dan keguguran infeksiosa
Keguguran septik adalah keguguran yang disertai infeksi baik pada
uterus dan organ sekitarnya, diikuti penyebaran kuman atau toksin ke
dalam peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau
sekitarnya dapat terjadi pada setiap keguguran, namun seringnya
ditemukan pada keguguran inkomplit dan lebih sering didapatkan pada
keguguran diinduksi yang dikerjakan tanpa memperhatikan teknik asepsis
dan antisepsis. Umumnya pada keguguran infeksiosa, infeksi terbatas pada
desidua. Pada keguguran septik virulensi bakteri tinggi, dan infeksi
menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritoneum. Jika infeksi
menyebar lebih jauh, terjadi peritonitis umum atau sepsis, dengan
kemungkinan diikuti oleh syok. Diagnosis keguguran infeksiosa
ditentukan dengan terdapatnya keguguran yang disertai gejala dan tanda
infeksi genitalia, seperti demam, takikardi, perdarahan pervaginam berbau,
uterus yang membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila
terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-kadang menggigil,
demam tinggi dan tekanan darah menurun.
e. Missed abortion
Missed abortion adalah kematian janin sebelum berusia 20 minggu,
tetapi janin yang mati tertahan di dalam kavum uteri tidak dikeluarkan
selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion umumnya didahului oleh

19
tanda-tanda keguguran iminens yang kemudian menghilang secara spontan
atau setelah pengobatan. Gejala subjektif kehamilan menghilang, uterus
tidak membesar lagi dan cenderung mengecil, serta tes kehamilan menjadi
negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah
mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.
f. Keguguran habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut
tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sulit menjadi hamil,
tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.
3. Prinsip Layanan Asuhan Pasca Keguguran
Asuhan pasca keguguran adalah serangkaian intervensi yang dirancang
untuk menangani seorang perempuan setelah mengalami keguguran, baik
spontan maupun diinduksi. Ruang lingkup asuhan pasca keguguran adalah
keguguran insipiens, keguguran inkomplit, missed abortion, keguguran
komplit, serta keguguran dengan komplikasi, misalnya keguguran
infeksiosa dan keguguran septik. Asuhan pasca keguguran merupakan
intervensi penting dalam menyelamatkan nyawa perempuan, serta
menurunkan angka kematian maupun kesakitan ibu.
Asuhan pasca keguguran juga merupakan salah satu fungsi yang
tercakup dalam PONED/PONEK dan merupakan salah satu komponen
dalam upaya kesehatan ibu. Asuhan pasca keguguran diberikan secara
komprehensif dengan pendekatan yang berorientasi pada perempuan
sebagai pasien, yaitu dengan mempertimbangkan faktor fisik, kebutuhan,
kenyamanan, keadaan emosional, situasi serta kemampuan pasien tersebut
untuk mengakses layanan yang dibutuhkan.
4. Layanan yang komprehensif
Ketika seorang perempuan mengalami keguguran, ia memerlukan
berbagai jenis layanan untuk mengelola masalahnya secara komprehensif,
baik dari aspek biologis, psikis, maupun sosial. Karena itu, asuhan pasca
keguguran yang tersedia di layanan kesehatan tidak boleh hanya berfokus
pada tatalaksana medis semata. Layanan asuhan pasca keguguran yang

20
komprehensif terdiri dari beberapa elemen untuk membantu perempuan
memenuhi hak seksual dan reproduksinya, yaitu:
a. Konseling untuk mengidentifikasi dan menjawab kebutuhan fisik
dan emosional perempuan serta kekhawatiran lainnya.
b. Tatalaksana medis untuk mengatasi atau mencegah terjadinya
komplikasi yang mengancam jiwa, termasuk tatalaksana
kegawatdaruratan, pencegahan infeksi, evakuasi hasil konsepsi,
manajemen nyeri, dan tatalaksana komplikasi.
c. Layanan kontrasepsi atau KB untuk membantu perempuan
merencanakan dan mengatur kehamilannya.
d. Rujukan ke layanan kesehatan reproduksi atau layanan kesehatan
lain yang dibutuhkan, baik itu di dalam maupun di luar fasilitas
kesehatan di mana saat ini pasien dilayani.
e. Kemitraan dengan masyarakat dan penyedia layanan lain untuk
mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan serta induksi
keguguran yang tidak aman, menggerakkan sumber daya untuk
membantu perempuan mendapatkan asuhan pasca keguguran yang
baik dan tepat waktu, dan memastikan bahwa layanan kesehatan
telah memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.
5. Layanan yang berorientasi pada pasien
Dalam memberikan layanan yang berorientasi pada pasien, tenaga
kesehatan perlu memperhatikan tiga aspek layanan asuhan pasca
keguguran yang berorientasi pada perempuan, yaitu pilihan, akses dan
kualitas. Ketersediaan pilihan Sebagai pasien.
a. Seorang perempuan berhak untuk:
1) Menentukan prosedur tata laksana, penyedia layanan dan fasilitas
yang akan digunakan
2) Merencanakan kehamilan selanjutnya dan memilih metode
kontrasepsi bersama pasangan
3) Mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat tentang
pilihannya
4) Memiliki kesempatan untuk berdiskusi dengan tenaga kesehatan

21
5) Mendapatkan layanan kesehatan
b. Keterjangkauan/akses

Akses seorang perempuan ke layanan kesehatan ditentukan oleh


ketersediaan layanan dari tenaga kesehatan yang terlatih dan kompeten,
faktor sosial budaya, dan keberlangsungan jangka panjang layanan.
Akses seorang perempuan menuju asuhan pasca keguguran dianggap
baik apabila fasilitas atau tenaga kesehatan:

1) Mudah dijangkau oleh perempuan yang memerlukan layanan


2) Menawarkan banyak layanan yang menguntungkan
3) Memungut biaya yang terjangkau
4) Memberikan layanan yang tepat waktu dan layanan darurat tanpa
membeda-bedakan latar belakang yang bersangkutan
5) Kualitas layanan

Layanan yang berkualitas memiliki beberapa aspek yang


penting dalam menjamin layanan asuhan pasca keguguran yang
komprehensif, di antaranya:

1) Menyesuaikan dengan keadaan sosial dan kebutuhan individu


2) Memberikan informasi dan konseling yang mendukung penuh
pilihan perempuan
3) Memastikan kerahasiaan, privasi, rasa hormat dan interaksi yang
positif antara perempuan dan tenaga kesehatan
4) Menggunakan teknologi medis yang direkomendasikan secara
ilmiah, misalnya penggunaan aspirasi vakum manual (AVM) atau
misoprostol untuk menggantikan kuret tajam
5) Menggunakan standar klinis dan protokol yang tepat untuk
pencegahan infeksi, manajemen nyeri, dan mengelola komplikasi
6) Menyediakan layanan kontrasepsi dan berbagai pilihan metode
kontrasepsi
7) Menyediakan layanan kesehatan reproduksi dan layanan lainnya,
seperti skrining, diagnosis dan pengobatan infeksi menular seksual
(IMS) termasuk HIV

22
8) Menyediakan layanan skrining dan konseling untuk kekerasan
seksual
9) Mengidentifikasi kebutuhan pada perempuan dengan latar belakang
tertentu, misalnya pada remaja perempuan
10) Memiliki sistem monitoring untuk memantau efek samping
11) Memiliki sistem untuk meningkatan kualitas layanan, termasuk di
dalamnya adalah keterlibatan dari anggota masyarakat.
6. Kolaborasi interprofesi dalam asuhan pasca keguguran
Kolaborasi interprofesi adalah proses dalam mengembangkan dan
mempertahankan hubungan kerja yang efektif antara praktisi, pasien,
keluarga serta masyarakat untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan.
Kolaborasi antar profesi didefinisikan sebagai beragam profesi yang
bekerja bersama sebagai suatu tim yang memiliki tujuan untuk
meningkatkan kesehatan pasien dengan saling mengerti batasan yang ada
pada masing-masing profesi kesehatan.
Asuhan pasca keguguran yang komprehensif, dengan berbagai
komponennya, melibatkan kolaborasi interprofesi berbagai jenis tenaga
kesehatan yang bekerja di berbagai jenjang fasilitas kesehatan. Untuk
memastikan bahwa perempuan mendapatkan layanan yang bermutu,
diperlukan pendekatan kolaborasi yang baik di antara tenaga kesehatan.
Adapun kompetensi kolaborasi yang perlu dimiliki untuk
melakukan hal tersebut adalah:
 Memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain
dengan jelas
 Bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam
memutuskan perawatan dan pengobatan pasien
 Bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan
memantau perawatan pasien.
 Menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain,
memfasilitasi pertemuan interprofesi, dan memasuki hubungan yang
saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.
7. Penilaian cepat dan tatalaksana awal kegawatdaruratan

23
Asuhan pasca keguguran dimulai dengan melakukan penilaian cepat
untuk mengidentifikasi masalah kegawat daruratan, melakukan tatalaksana
awal, dan melakukan rujukan apabila masalah tidak dapat ditangani.
a. Mengidentifikasi masalah kegawatdaruratan, misalnya:
 Perdarahan
 Syok
 Penurunan kesadaran
 Nyeri perut berat atau tampak sakit berat
 Kesulitan bernafas
 Demam tinggi
b. Melakukan tata laksana awal kegawadaruratan, misalnya:
 Menjamin kelancaran jalan nafas, pemulihan sistem respirasi dan
sirkulasi
 Mengganti cairan tubuh yang hilang dengan pemberian cairan
intravena
 Menghentikan sumber perdarahan atau infeksi (dengan antibiotika)
 Mempertahankan suhu tubuh
 Mengatasi rasa nyeri atau gelisah
c. Melakukan rujukan apabila diperlukan
Dalam asuhan pasca keguguran, ketika seorang perempuan
mengalami kondisi gawat darurat yang mengancam jiwa, penilaian
klinis yang lengkap dan permintaan informed consent dapat diabaikan.
Hal ini agar tindakan untuk menyelamatkan jiwa dapat segera
dilakukan. Segera setelah kondisi perempuan tersebut stabil, tenaga
medis harus segera melakukan penilaian klinis yang lengkap dan
meminta informed consent untuk terapi lanjutan. Karena kondisi gawat
darurat sering mencemaskan, perempuan dan keluarga yang datang
dengan komplikasi membutuhkan dukungan emosional dan psikologis.
Tenaga kesehatan harus melakukan komunikasi secara terbuka dengan
perempuan mengenai kondisinya dan rencana terapi yang akan
dilakukan. Perlu juga diingat, karena hambatan dan stigma, beberapa

24
perempuan terlambat mencari pertolongan sehingga membuat kondisi
mereka lebih buruk dan membutuhkan pertolongan segera.
d. Konseling pasca keguguran
Dalam asuhan pasca keguguran yang komprehensif dan
berorientasi pada perempuan, tenaga kesehatan harus memperhatikan
hak perempuan tersebut untuk mendapatkan tata laksana yang sesuai
dengan kebutuhan dan pilihannya. Karena itu, konseling selalu
menjadi bagian yang tidak boleh dipisahkan dari asuhan pasca
keguguran. Konseling dalam asuhan pasca keguguran merupakan suatu
interaksi terstruktur di mana perempuan yang telah mengalami
keguguran menerima dukungan emosional dan panduan dari tenaga
yang terlatih. Konseling dilaksanakan di sebuah lingkungan yang
kondusif untuk bertukar pikiran, perasaan, dan pandangan secara
terbuka untuk mengambil keputusan atau mengatasi masalah yang ia
hadapi.
Konseling asuhan pasca keguguran dilakukan dengan teknik
SATU TUJU, yang meliputi langkah-langkah berikut ini.
1) SA: Sapa dan salam kepada pasien dengan terbuka dan sopan. Sapa
pasien dengan cara yang ramah. Berikan perhatian sepenuhnya
kepada pasien dan bicaralah di tempat yang nyaman serta terjamin
privasinya. Yakinkan pasien untuk membangun rasa percaya
dirinya.
2) T: Tanyakan informasi mengenai diri pasien. Tanyakan apa yang
saat ini dibutuhkan pasien serta gali informasi mengenai pasien
yang belum tergali dari anamnesis. Bantu pasien untuk berbicara
mengenai kondisi kesehatannya, termasuk pengalamannya
menggunakan kontrasepsi, serta mengenai perasaannya,
kekhawatirannya, rencananya, kebutuhannya dan harapannya.
Tanyakan apa yang ingin ia ketahui mengenai layanan yang
ditawarkan atau asuhan yang akan diberikan.
3) U: Uraikan mengenai berbagai pilihan layanan yang tersedia bagi
pasien dan beri tahu apa pilihan yang paling sesuai serta beberapa

25
alternatif lainnya Jelaskan layanan apa yang dapat diperoleh
pasien, termasuk tata laksana yang disarankan untuk mengelola
kegugurannya, dukungan psikososial, serta kontrasepsi. Diskusikan
pilihan yang mungkin sesuai dengan kebutuhan serta keinginannya,
serta alternatif pilihan lain yang ada. Uraikan mengenai efektivitas,
keuntungan dan risiko dari setiap pilihan yang dapat ia pilih dan
bagaimana mengaksesnya.
4) TU: Bantulah pasien menentukan pilihan Dukung pasien untuk
mengutarakan pilihan yang diinginkannya dan nilai kembali
kelayakan medis pasien untuk mendapatkan pilihan tersebut.
Yakinkan bahwa pasien telah membuat keputusan dengan bertanya
kembali apakah pilihan tersebut benar merupakan pilihan pasien.
5) J: Jelaskan secara lengkap mengenai pilihan pasien Jelaskan
kembali dengan lengkap layanan yang telah dipilih oleh pasien.
Perlihatkan alat/obat yang akan digunakan dan jelaskan bagaimana
cara kerjanya. Dorong pasien untuk bertanya mengenai hal-hal
yang belum ia mengerti. Beri tahu mengenai manfaat, efek
samping, keuntungan dan kekurangan metode atau layanan pilihan
pasien. Jika pasien telah paham, pasien dapat dimintakan
persetujuan tertulis untuk pengerjaan prosedur.
6) U: Rencanakan tindak lanjut, kunjungan ulang atau rujuk pasien
Buatlah rencana pemeriksaan lanjutan jika pasien akan diberikan
layanan saat itu juga. Buat rencana kunjungan ulang jika pasien
akan dipulangkan. Buat rujukan jika layanan yang diperlukan tidak
tersedia di fasilitas kesehatan saat ini. Ingatkan pasien untuk segera
datang dan memberi tahu tenaga kesehatan apabila terjadi suatu
masalah.
e. Tatalaksana medis
Tatalaksana medis dalam asuhan pasca keguguran yang diperlukan
seorang perempuan berbeda-beda, tergantung dengan jenis keguguran
yang dialaminya. Pada keguguran insipiens, keguguran inkomplit, dan
missed abortion, tata laksana medis dilakukan untuk membantu

26
mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam uterus sebagai upaya untuk
menyelamatkan nyawa ibu. Keguguran komplit tidak memerlukan tata
laksana medis untuk evakuasi hasil konsepsi karena proses tersebut
sudah selesai, namun tetap memerlukan konseling dan layanan
kontrasepsi/KB, sedangkan pada keguguran septik, selain evakuasi
hasil konsepsi, diperlukan pula tata laksana khusus untuk mengatasi
infeksi yang terjadi. Algoritma tatalaksana berbagai jenis keguguran
tersebut dapat dilihat di Lampiran 3. Prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan dalam tatalaksana medis asuhan pasca keguguran tersebut
dijelaskan secara lebih rinci di bawah ini.
f. Evakuasi hasil konsepsi
Secara umum, evakuasi hasil konsepsi dapat dilakukan secara
aktif dengan obat-obatan (medikamentosa) atau prosedur operatif
dengan aspirasi vakum. Metode kuretase tajam tidak lagi
direkomendasikan oleh WHO dan FIGO karena risiko komplikasi
prosedural yang mungkin muncul. Karena itu, POGI mendukung
penggunaan aspirasi vakum atau obat-obatan sebagai metode alternatif
utama apabila tersedia.
Data epidemiologi menyatakan bahwa komplikasi terkait
keguguran yang terjadi di fasilitas kesehatan sekunder adalah sebanyak
2% dari total kasus tindakan kuretase tajam. Penelitian menunjukkan
sebanyak 1,2% perempuan yang ditatalaksana dengan kuretase tajam
mengalami Sindrom Asherman. Tidak didapatkan komplikasi Sindrom
Asherman pada kasus yang ditatalaksana dengan aspirasi vakum
manual atau misprostol.21 Estimasi terjadinya komplikasi keguguran
di fasilitas kesehatan secara umum adalah 2% untuk keguguran dengan
obat-obatan, 1,3% untuk keguguran aspirasi trimester pertama, dan
1,5% untuk keguguran di trimester kedua.
1) Tatalaksana medikamentosa
Metode medikamentosa telah terbukti aman dan efektif
(tingkat keberhasilan sekitar 95%). Obat yang tersedia di Indonesia
dan direkomendasikan oleh WHO untuk tata laksana

27
medikamentosa pada keguguran adalah misoprostol. Efek yang
muncul setelah pemberian obat-obatan tersebut mirip dengan yang
terjadi pada keguguran spontan, termasuk kram uterus dan
perdarahan seperti pada menstruasi. Pendarahan terjadi selama
kira-kira 9 hari, namun dapat berlanjut hingga 45 hari pada
beberapa kasus yang jarang terjadi. Efek samping meliputi mual,
muntah dan diare. Selain itu, diperlukan perhatian khusus ketika
memberikan obat pada perempuan yang: (1) menggunakan
kortikosteroid jangka panjang, (2) memiliki gangguan pendarahan
(3) anemia berat, (4) memiliki penyakit jantung atau faktor risiko
kardiovaskular.
Misoprostol bukanlah pengobatan yang efektif untuk
kehamilan ektopik, sehingga kecurigaan kehamilan ektopik
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut dan, jika benar, harus segera
mendapat tatalaksana yang tepat.
2) Tatalaksana operatif
Tatalaksana operatif yang direkomendasikan untuk evakuasi
hasil konsepsi yaitu berupa aspirasi vakum. Kuretase tajam
sebaiknya ditinggalkan karena risiko komplikasi prosedural yang
lebih besar, sehingga tidak lagi direkomendasikan oleh WHO dan
FIGO. Untuk evakuasi hasil konsepsi dengan tata laksana operatif
kehamilan ukuran uterus di bawah 13 minggu, dilakukan aspirasi
vakum dengan aspirasi vakum manual (AVM). Untuk ukuran
uterus 13 minggu atau lebih, dilakukan dilatasi dan evakuasi
(D&E), yaitu prosedur evakuasi hasil konsepsi yang juga
menggunakan aspirasi vakum manual , namun lebih kompleks
karena melibatkan persiapan serviks dan prosedur lainnya,
sehingga merupakan ranah dokter spesialis obstetri dan ginekologi
yang telah terlatih. Tingkat keberhasilan tata laksana operatif
dengan aspirasi vakum adalah sekitar 99%.
8. Pencegahan infeksi

28
Karena tatalaksana keguguran melibatkan kontak dengan darah dan
cairan tubuh, tenaga kesehatan dan semua petugas pendukung (termasuk
petugas kebersihan) harus menerapkan berbagai upaya kewaspadaan
universal untuk melindungi diri sendiri dan pasien.
Upaya-upaya tersebut harus dilaksanakan pada setiap keadaan agar
tidak terjadi kontak antara tenaga kesehatan dengan darah, cairan tubuh
selain keringat, kulit yang tidak intak, dan membran mukosa.
Kewaspadaan harus dilaksanakan, apapun status infeksi maupun diagnosis
pasien, untuk mengurangi risiko penularan penyakit dari pasien ke tenaga
kesehatan, tenaga kesehatan ke pasien, atau dari pasien ke pasien lain.
a. Mencuci tangan
b. Memakai alat pelingdung diri (APD)
c. Teknik asepsis dan antisepsis
Tenaga kesehatan harus melakukan teknik asepsis dan antisepsis
sebelum prosedur operatif evakuasi hasil konsepsi, yaitu membersihkan
serviks dengan antiseptik, misalnya povidon iodin, dan mencegah kontak
benda-benda yang steril dengan yang tidak steril. Ketika melakukan
aspirasi vakum, tenaga kesehatan harus menggunakan teknik tanpa sentuh
(no-touch technique). Ketika memasukkan kanula atau bagian instrumen
ke dalam uterus, tenaga kesehatan harus menghindari objek bersentuhan
dengan permukaan yang tidak steril, termasuk dinding vagina, dan tidak
menyentuh ujung kanula atau bagian instrumen lain yang masuk ke dalam
serviks dengan tangan.
a. Membersihkan benda-benda yang terkontaminasi
b. Membersihkan alat
c. Mengelola dan membuang perlengkapan dan bahan habis pakai
d. Menjaga kebersihan area kerja
9. Tata laksana komplikasi
Komplikasi yang dijumpai pada kasus keguguran dapat merupakan
komplikasi dari proses keguguran yang terjadi, maupun dari prosedur
evakuasi hasil konsepsi yang dilakukan.
a. Komplikasi yang berhubungan dengan proses keguguran

29
Komplikasi yang dapat terjadi karena proses keguguran meliputi
perdarahan, infeksi, dan syok
b. Komplikasi prosedural
Komplikasi yang mengancam jiwa jarang terjadi pada asuhan pasca
keguguran yang aman dan dilakukan sesuai standar, namun tenaga
kesehatan tetap harus berhati-hati dan siap siaga untuk mengatasinya.
Komplikasi yang mungkin terjadi terkait prosedur evakuasi hasil
konsepsi meliputi perdarahan atau infeksi akibat adanya sisa jaringan
yang tertinggal, laserasi vagina dan serviks, perforasi uterus dengan/
tanpa trauma intraabdomen, atonia uteri, infeksi intrauterin atau
sepsis, hematometra, reaksi vasovagal, nyeri yang persisten, dan
reaksi alergi.
Perempuan yang mendapatkan asuhan pasca keguguran oleh tenaga
yang tidak terlatih atau prosedur yang tidak aman (termasuk kuretase
tajam) memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami komplikasi,
misalnya sindroma Asherman.
10. Pemantauan, pemulangan pasien, dan tindak lanjut
a. Pemantauan dan pemulangan pasien
Lama pemulihan pasien setelah tindakan bervariasi tergantung
kondisi pasien, tingkat kesulitan tindakan, manajemen nyeri, dan
tindakan lain yang dilakukan. Selama pasien menjalani pemulihan,
tenaga kesehatan harus memantau secara ketat kondisi pasien,
termasuk tanda vital, perdarahan, kram perut, dan kondisi emosional
sesuai dengan protokol yang ada.
Pemulihan penuh terjadi ketika pasien telah sadar, dan mampu
berjalan tanpa bantuan, memiliki tanda vital normal, dan setuju bahwa
ia telah merasa siap untuk pulang. Selain itu, pasien harus
menunjukkan tanda pemulihan yang normal dari evakuasi hasil
konsepsi dan tindakan lain seperti perdarahan dan nyeri yang semakin
berkurang. Pasien dapat dipulangkan segera setelah pasien stabil dan
menerima semua informasi yang diperlukan terkait tindak lanjutnya.
b. Edukasi

30
Sebelum pasien dipulangkan, tenaga kesehatan perlu memberikan
penjelasan dan intruksi yang jelas secara lisan dan tulisan mengenai
beberapa hal berikut.
 Hubungan seksual atau memasukkan apapun ke dalam vagina
hanya boleh dilakukan setelah perdarahan berat berhenti
 Perdarahan vagina selama 2 minggu setelah dilakukannya
tatalaksana medikamentosa atau operatif adalah normal.
Perempuan akan mengalami perdarahan ringan atau spotting
setelah tatalaksana operatif, sedangkan perdarahan yang lebih
berat dapat terjadi setelah tatalaksana medikamentosa dan
berakhir rata-rata dalam 9 hari, namun dapat berlangsung sampai
45 hari dalam beberapa kasus
 Bila merasakan kram atau nyeri perut yang meningkat
intensitasnya, perdarahan berat, atau demam, maka harus segera
ke fasilitas kesehatan.
 Ada kemungkinan hamil kembali jika tidak menggunakan
kontrasepsi karena kesuburan akan kembali kira-kira dalam 8 hari
setelah keguguran terjadi (bahkan lebih awal pada beberapa
kasus)
 Pasien perlu merencanakan kehamilan berikutnya apabila ia
menginginkannya dan terdapat berbagai alternatif metode
kontrasepsi yang dapat digunakan untuk mencegah kehamilan
(untuk informasi lebih lengkap mengenai konseling perencanaan
kehamilan
 Obat-obatan yang diresepkan harus diminum sesuai dengan
instruksi.
c. Kunjungan ulang dan tindak lanjut
Selain informasi, pasien juga dapat diberikan tablet tambah
darah dan analgetik apabila diperlukan. Tenaga kesehatan harus
senantiasa memberikan dukungan emosional kepada pasien yang telah
mengalami keguguran, dan menawarkan rujukan ke layanan yang
sesuai bilamana perlu, misalnya konseling, layanan psikologis atau

31
sosial (tersedia di Puskesmas dan RS dengan dokter spesialis
kesehatan jiwa), bantuan hukum untuk kasus kekerasan (tersedia di
RS, P2TP2A dan/atau UPPA Polri di Polres Kab/Kota), atau layanan
medis lainnya, seperti pemeriksaan IMS/HIV (tersedia di Puskesmas
dan RS rujukan ODHA).
Kunjungan ulang tidak bersifat wajib, namun ditawarkan
melakukan kunjungan ulang 7-14 hari setelah prosedur untuk
mendapatkan konseling kontrasepsi lanjutan, dukungan emosional,
atau membahas masalah medis lainnya.
Ketika kunjungan ulang, tenaga kesehatan perlu melakukan
hal-hal berikut:
 Memeriksa proses peyembuhan pasien dan mengkonfirmasi bahwa
hasil tatalaksana keguguran sudah baik
 Mengkaji catatan medis dan dokumen-dokumen rujuka
 Bertanya mengenai adanya keluhan setelah dilakukannya prosedur
 Melakukan pemeriksaan fisik sesuai keluhan yang dialami
 Mengkaji kebutuhan kontrasepsi dan memberikan konseling serta
informasi apabila perempuan tidak menggunakan metode
kontrasepsi apapun
 Mengkaji kepuasan atau keluhan mengenai metode kontrasepsi
yang digunakan (apabila telah menggunakan), menawarkan stok
obat atau alat kontrasepsi untuk pemakaian selanjutnya bila metode
saat ini telah sesuai, atau menawarkan metode lain bila perempuan
menginginkannya
 Merujuk perempuan ke layanan lain sesuai kebutuhannya
d. Obat-obatan, alat, dan perlengkapan
Berikut adalah daftar obat-obatan, alat, dan perlengkapan yang
diperlukan untuk menyediakan layanan asuhan pasca keguguran
komprehensif di fasilitas kesehatan.
1. sphygmomanometer
2. Termometer
3. Stetoskop

32
4. Alat pelindung diri (sarung tangan, sepatu bot, apron, pelindung
wajah (masker), dan kacamata)
5. Pembalut Cairan antiseptik (povidon iodin)
6. Troli alat/instrumen, nampan alat/instrumen, wadah untuk
menyimpan AVM yang sudah disterilisasi/DTT, baki ginjal, gali pot
7. Meja pemeriksaan panggul Lampu pemeriksaan panggul
8. Linen

Kebutuhan untuk pemeriksaan penunjang

1. Tes -hCG dan wadah urin


2. USG (opsional)
3. Tes Rh dan imunoglobulin Anti-D (opsional)
4. Tidak diperlukan untuk APK namun dapat bermanfaat untuk
kesehatan reproduksi perempuan: skrining kanker serviks,
pemeriksaan IMS, tes HIV, skrining anemia, imunisasi Obat-obatan
5. Misoprostol
6. Antibiotik profilaksis: doksisiklin, azitromisin, atau metronidazole
7. Obat antinyeri, seperti NSAID (ibuprofen, ketorolak) dan ansiolitik
(diazepam)
8. Obat untuk efek samping, misalnya: loperamid, anti mual

Kebutuhan untuk tatalaksana operatif

1. Tenakulum atau vulselum


2. Forsep cincin
3. Kasa
4. Povidon iodin dan wadahnya
5. Aspirator vakum manual
6. Kanula
7. Spekulum cocor bebek
8. Dilator Denniston atau Pratt
9. Wadah untuk hasil konsepsi, lampu, baskom bening, saringan
Wadah untuk merendam instrument

33
10. Syringe 10-20 mL dengan jarum 21-23 gauge sepanjang minimal 3
cm
11. Lidokain 1%

Kebutuhan untuk tata laksana komplikasi

1. Selimut
2. Tabung oksigen
3. Cairan IV dan set infus
4. Antibiotika
5. Difenhidramin
6. Obat antinyeri
7. Uterotonika
8. Perlengkapan tamponade gawat darurat (kateter Foley, balon
obstetrik, kasa steril) Kebutuhan untuk pengolahan instrument
9. Alat pelindung diri
10. Wadah untuk perendaman instrumen, pencucian, dan
sterilisasi/DTT
11. Sikat kecil
12. Air keran, air rebusan, atau air steril, deterjen, klorin 0,5%,
glutaraldehid
13. Autoklaf
14. Wadah tertutup untuk menyimpan instrumen Alat-alat dan obat-
obatan kontrasepsi Lain-lain.
15. Formulir rujukan
16. Logbook untuk pencatatan kasus
17. Formulir persetujuan (informed consent)
18. Wadah benda tajam
19. Tempat sampah
20. Materi edukasi
e. Pembiayaan
Perempuan yang sudah terdaftar anggota Jaminan Kesehatan
Nasional dapat memanfaatkan paket manfaat dari BPJS Kesehatan
untuk mendapatkan layanan asuhan pasca keguguran. Pembiayaan

34
pelayanan asuhan pasca keguguran di fasilitas kesehatan mengacu pada
Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
f. Sumber daya manusia
Pengembangan sumber daya manusia untuk penyediaan layanan
asuhan pasca keguguran bertujuan menyediakan tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi berupa keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang
penting dalam asuhan pasca keguguran. Pelatihan merupakan upaya
peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam menyediakan layanan
asuhan pasca keguguran yang berkualitas. Konsep pelatihan asuhan pasca
keguguran dapat berupa:
1. Pre-service training (pada masa pendidikan)
Materi asuhan pasca keguguran masuk dalam kurikulum pendidikan
tenaga kesehatan (kedokteran, kebidanan, kesehatan masyarakat, dan
lain-lain)
2. In-service training (pelatihan setelah bertugas) Pelatihan mengajarkan
aspek klinis maupun aspek manajemen asuhan pasca keguguran bagi
peserta yang memberi pelayanan kesehatan. Pelatihan asuhan pasca
keguguran yang komprehensif setidaknya membahas topik-topik
sebagai berikut:
a) Prinsip-prinsip asuhan pasca keguguran yang komprehensif
b) Sikap dan keyakinan tenaga kesehatan lewat klarifikasi nilai dan
transformasi sikap
c) Konseling
d) Tatalaksana medis, termasuk evakuasi hasil konsepsi dengan
metode yang direkomendasikan dan tatalaksana komplikasi.
Tatalaksana keguguran 13 minggu memerlukan pelatihan khusus
yang diikuti tim tenaga kesehatan, dipimpin oleh dokter spesialis
obstetri dan ginekologi yang sudah terampil dalam tatalaksana
keguguran <13 minggu.
e) Layanan KB dan Kontrasepsi
f) Rujukan

35
g) Pemberdayaan dan kemitraan dengan masyarakat

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tromboflebitis adalah peradangan pada pembuluh darah vena yang disertai
dengan pembentukan bekuan darah (thrombus) yang dapat terjadi pada wanita
hamil namun lebih sering terjadi pada masa nifas. Tromboflebitis
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu tromboflebitis femoralis dan pelvio
tromboflebitis. Tromboflebitis disebabkan oleh Perluasan infeksi
endometrium, mempunyai varises pada vena, obesitas, Pernah mengalami
tramboflebitis, berusia 30 tahun lebih dan pada saat persalinan berada pada
posisi stir up untuk waktu yang lama, trauma, adanya malignitas (karsinoma)
yang terjadi pada salah satu segmen vena, dan memiliki insidens tinggi untuk
mengalami tromboflebitis dalam keluarga.
Tanda dan gejala yang dapat muncul yaitu biasanya Penderita-penderita
umumnya mengeluh spontan terjadinya nyeri di daerah vena (nyeri yang
terlokalisasi), yang nyeri tekan, kulit di sekitarnya kemerahan, edema atau
pembengkakan agak luas, nyeri bila terjadi atau menggerakkan lengan, juga
pada gerakan-gerakan otot tertentu. Pada perabaan, selain nyeri tekan, diraba
pula pengerasan dari jalur vena tersebut, pada tempat-tempat dimana terdapat
katup vena, kadang-kadang diraba fluktuasi, sebagai tanda adanya hambatan
aliran vena dan menggembungnya vena di daerah katup. Fluktuasi ini dapat
pula terjadi karena pembentukan abses. Febris dapat terjadi pada penderita-
penderita ini, tetapi biasanya pada orang dewasa hanya dirasakan sebagai
malaise.
Asuhan pasca keguguran yang diberikan harus berorientasi pada
perempuan (woman-centered), di mana layanan tersebut semestinya dapat
diakses oleh perempuan dari berbagai latar belakang sosioekonomi,
memberikan pilihan dan menghargai keputusan perempuan, serta diberikan
dengan kualitas yang baik. Hal ini sangat diperlukan untuk meningkatkan

36
derajat kesehatan perempuan, menghindari berbagai komplikasi, dan
mencegah terjadinya kematian ibu.
Tatalaksana medis dalam asuhan pasca keguguran yang diperlukan
seorang perempuan berbeda-beda, tergantung dengan jenis keguguran yang
dialaminya. Pada keguguran insipiens, keguguran inkomplit, dan missed
abortion, tata laksana medis dilakukan untuk membantu mengeluarkan hasil
konsepsi dari dalam uterus sebagai upaya untuk menyelamatkan nyawa ibu.

B. Saran

1. Kepada klien agar lebih mengetahui tentang tromboflebitis baik pengertian


maupun gejalanya, sehingga apabila dijumpai tanda gejala tromboflebitis
tersebut maka klien segera ke tempat pelayanan kesehatan.
2. Kepada tenaga kesehatan agar dapat memberi penanganan segara bila
menemui kasus tromboflebitis, sehingga tidak terjadi komplikasi yang
berlanjut.
3. Kepada pembaca agar memahami apa itu tromboflebitis dan pencegahan
yang dapat dilakukan, sehingga pembaca dapat menerapkan prinsip
preventif sebelum kuratif.

37
38
DAFTAR PUSTAKA

Bedah Brunner & Suddart. Jakarta: EGC. Wikhajosastro, Hanifa .2005.


IlmuKebidanan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Cunningham, F. Gary. dkk. 2006. Obstetri Williams. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC.

Djojosugito, Ahmad. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan


Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka.

Prawirrohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka.

Pedoman Nasional Asuhan Pasca Keguguran Yang Komprehensif 2020

Anda mungkin juga menyukai