Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TENTANG TEORI KEPERAWATAN KENYAMANAN

( KATHARINE KOLCABA)

DOSEN : Ns. KHAIRUL FAHMI, S.Kep

DISUSUN OELH :
NAMA : FITRI WAHYUNI
NIM : 23010076

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES MEDIKA SEURAMOE BARAT
MEULABOH 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan petunjuknya mata kuliah

falsafah dan teori keperawatan “ Katharine kolcaba “dapat di susun. Bahan ajar ini digunkan

sebagai bahan referensi untuk mata kuliah falsafah dan teori Keperawatan bagi Dosen dan

Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Stikes Medika Seuramoe Barat.

Pada penyusunan Bahan Ajar ini tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kekurangan

namun atas bantuan berbagai pihak maka ini dapat terselesaikan. Sehingga pada kesempatan ini

penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung penyusunan

bahan ajar ini. Mengingat belum sempurnanya Makalah ini mohon maaf sebesar-besar nya.

Demikian, semoga bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih


DAFTAR ISI

KATA PENGATAR.......................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

A. Latar Belakang .........................................................................................

B. Rumusan Masalah ...................................................................................

C. Tujuan.......................................................................................................

D. Manfaat Penelitian ..................................................................................

BAB II TINJAUAN TEORITIS ..................................................................

A. Landasan Teori......................................................................................

1. Teori keperawatan Kolcaba ........................................................

2. Nyeri Muskuloskeleta ..................................................................

3. Postur Kerja.................................................................................

4. Perawat.........................................................................................

BAB III PENUTUPAN ..................................................................

1. KESIMPULAN ...........................................................................

2. SARAN ........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepuasan pasien adalah indikator pertama dari mutu pelayanan. Kepuasan pasien yang rendah
berdampak terhadap jumlah kunjungan di fasilitas kesehatan, sedangkan sikap perawat terhadap pasien
juga akan berdampak terhadap kepuasan pasien, dimana kebutuhan pasien dari waktu ke waktu akan
meningkat, begitu pula tuntutannya akan mutu pelayanan yang diberikan (Yanti, 2013). Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menekankan pentingnya upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. Mutu didefinisikan menjadi tingkat kesempurnaan dalam pelayanan kesehatan.
Tujuan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu adalah membentuk hubungan yang baik dengan
pasien agar pasien tetap loyal terhadap puskesmas Azwar (2010) dalam Walukow et al., (2019)
Kepuasan pasien merupakan suatu kondisi di mana keinginan, harapan, dan kebutuhan dapat
terpenuhi, apabila Puskesmas mampu menyediakanpelayanan yang berkualitas dan dapat memenuhi
kebutuhan pasien, maka akandapat meningkatkan kepuasan pasien. Kepuasan pasien menjadi tolok ukur
yang digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan menjadi alasan utama bagi puskesmas untuk
melaksanakan perubahan ke arah yang lebih baik (Kementrian Kesehatan RI, 2019).
Penelitian yang dilakukan oleh Walukow et al., (2019) mengungkapkan bahwa tingkat kepuasan
masyarakat terhadap layanan kesehatan masih rendah, ia menemukan bahwa aspek kehandalan mencapai
ketidakpuasan sebesar 95,7%, aspek jaminan mencapai ketidakpuasan sebesar 86,%, aspek bukti fisik
mencapai ketidakpuasan sebesar 76,4%, aspek empaty mencapai ketidakpuasan sebesar 50%, dan aspek
ketanggapan mencapai tingkat ketidakpuasan sebesar 74%. Studi pendahuluan yang dilaksanakan di UPT
Puskesmas Kasiyan Kabupaten Jember menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan di Puskesmas berdasarkan survey indeks kepuasan masyarakat periode bulan Agustus 2020
secara keseluruhan tingkat kepuasan hanya mencapai 61,5% dibawah baku capaian dalam Permenpan
Nomor 14 Tahun 2017 yaitu sebesar 81,25% bahkan di Unit Pelayanan Umum hanya mencapai 65,10%
dan Unit gawat darurat hanya mencapai 60,49%. Selain hal tersebut berdasarkan indikator kepuasan
masyarakat untuk UNIT Gawat Darurat menunjukkan nilai 61 (kurang baik) dengan penilaian terendah
pada kenyamanan lingkungan dengan nilai 54 (kurang baik).
Hasil penelitian Lizarni (2000) dalam Pangestu (2013) menyatakan tingkat kepuasan terhadap
pelayanan kesehatan bersifat subjektif individual yang dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah
pemberi jasa (provider) dan konsumen, seperti kedudukan sosial, tingkat ekonomi, ketersediaan jaminan
pembiayaan, latar belakang pendidikan, latar belakang budaya, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan umur.
Pelayanan yang ada di puskesmas meliputi pelayanan Poli Umum, Poli Gigi, KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak) dan rawat inap pada Puskesmas dengan tempat perawatan (Susetyo, 2008). Menurut Parasuraman
(1990) dalam Susetyo (2008) baik buruknya kualitas pelayanan dapat disebabkan oleh kesenjangan (gap)
yang dapat mengakibatkan kegagalan penyampaian jasa layanan yang dikenal dengan model Servqual
(service quality), model ini dapat mengalisis gap antara dua variabel pokok, yakni jasa yang diharapkan
dan jasa yang dipersepsikan. Model servqual dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan
serta gap antara keduanya pada lima dimensi utama kualitas jasa yaitu tangibles, reliability,
responsiveness, assurance dan empathy. Apabila semua gap tersebut dapat dihilangkan oleh setiap
pemberi pelayanan, maka akan tercapai pelayanan yang berkualitas sehingga memberikan kepuasan
konsumen. Terdapat berbagai atribut yang dapat memengaruhi kepuasan pasien Puskesmas diantaranya
yaitu factor ambience, faktor sistem, hubungan antar manusia, waktu pelayanan dan kenyamanan (Tanan,
2013). Suatu kenyamanan yang diberikan kepada pasien dan keluarganya akan memberikan kepuasan
kepada mereka, karena membuat pasien dan keluarganya merasa dihargai, diperhatikan, dan dapat
mengurangi kecemasan. Kenyamanan merupakan aspek penting untuk mengurangi rasa jenuh pasien
yang menunggu pelayanan (Tanan, 2013).
Pandangan konsep kenyamanan dalam pendekatan keperawatan digagas oleh Katherine Kolcaba
dalam Teory of Comfort yang menyatakan bahwa jenis kenyamanan terdiri dari relief, ease dan
transcendence sedangkan konteks kenyamanan terdiri atas kebutuhan rasa nyaman fisik, kebutuhan akan
psikososial, kebutuhan rasa nyaman sosiokultural dan kebutuhan rasa nyaman lingkungan (Aini, 2018).
March & McCormack (2009) dalam Utami (2016) mengungkapkan bahwa kenyamanan adalah
konsep sentral tentang kiat keperawatan. Berbagai teori keperawatan menyatakan kenyamanan sebagai
kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Kolcaba (1994)
mendefinisikan kenyamanan dengan cara yang konsisten pada pengalaman subjektif klien. Kolcaba
mendefinisikan kenyamanan sebagai suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Teori
Kolcaba termasuk dalam middle range theory.
Menurut Kolcaba, teori kenyamanan menjadi salah satu pilihan teori keperawatan yang dapat
diaplikasikan langsung di lapangan karena bersifat universal dan tidak terhalang budaya yang dimiliki
oleh setiap masyarakat. Hal ini menyebabkan teori kenyamanan bisa dimodifikasi seluas-luasnya sesuai
kebutuhan klien masing-masing (Utami, 2016).
Parker & Smith dalam Rudhiati (2014) menyebutkan bahwa akhir- akhir ini praktik keperawatan
berdasarkan penelitian telah menjadi tren yang sedang berkembang. Praktik berdasarkan penelitian dapat
membantu perawat untuk menentukan apakah suatu intervensi efektif dalam mengatasi masalah
keperawatan klien dan apakah pendekatan yang lebih baik. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
asuhan adalah dengan menerapkan teori keperawatan dalam proses asuhan. Teori keperawatan merupakan
konseptualisasi dari penemuan dalam dunia keperawatan yang bertujuan untuk menjabarkan proses
asuhan keperawatan. Oleh karena itu konsep comfort theory yang digagas oleh Kolcaba patut
dilaksanakan dalam upaya meningkatkan kepuasan pasien.
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi yaitu hubungan
pemberian kenyamanan oleh perawat (berdasarkan pendekatan comfort theory dari Katherine Kolcaba)
dengan kepuasan pasien di Unit Gawat Darurat UPT Puskesmas Kasiyan Kabupaten Jember.
B. Rumusan Masalah
1. Pernyataan Masalah
Kolcaba dalam teory comfort menawarkan konsep kenyamanan untuk dapat diaplikasikan pada
semua aspek asuhan dengan memberikan kenyamanan pada pasien maka akan berdampak kepada
peningkatan mutu layanan yang salah satu indicator mutu layanan adalah kepuasan pasien.
2. Pertanyaan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah diatas maka dapat ditarik pertanyaan penelitian berupa:
a. Bagaimanakah pemberian kenyamanan oleh perawat (berdasarkan pendekatan comfort theory dari
Katherine Kolcaba) pada pasien di Unit Gawat Darurat UPT Puskesmas Kasiyan Kabupaten Jember
b. Bagaimanakah kepuasan pasien di UPT. Puskesmas Kasiyan Kabupaten Jember
c. Apakah ada hubungan pemberian kenyamanan oleh perawat (berdasarkan pendekatan comfort theory
dari Katherine Kolcaba) dengan kepuasan pasien di Unit Gawat Darurat UPT Puskesmas Kasiyan
Kabupaten Jember
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pemberian kenyamanan oleh
perawat (berdasarkan pendekatan comfort theory dari Katherine Kolcaba) dengan kepuasan pasien di Unit
Gawat Darurat UPT Puskesmas Kasiyan Kabupaten Jember
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi hubungan pemberian kenyamanan oleh perawat (berdasarkan pendekatan comfort
theory dari Katherine Kolcaba) dengan kepuasan pasien di Unit Gawat Darurat UPT Puskesmas Kasiyan
Kabupaten Jember
b. Mengidentifikasi kepuasan pasien di UPT. Puskesmas Kasiyan Kabupaten Jember
c. Menganalisis hubungan pemberian kenyamanan (amenity) oleh perawat dengan kepuasan pasien di
UPT. Puskesmas Kasiyan Kabupaten Jember
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi :
1. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan Ilmu
Keperawatan dengan pendekatan model konsep dari theory comfort Katherine kolcaba sehingga dapat
diaplikasikan dalam asuhan keperawatan
2. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar bagi pemberi layanan kesehatan sebagai upaya
untuk terus meningkatkan kualitas layanan dengan berbagai pendekatan yang nantinya akan
meningkatkan kepuasan pasien
3. Bagi Pasien dan keluarga
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Puskesmas sehingga nantinya
menjadi bahan kritik ilmiah yang pada akhirnya secara tidak langsung akan berdampak positif bagi pasien
dan keluarga dengan meningkatnya kenyamanan dai sarana kesehatan.
4. Peneliti Selanjutnya
Diharapkan penelitian ini menjadi sumber data bagi penelitian selanjutnya dengan
mengembangkan berbagai metode dan pendekatan sehingga dapat dikembangkan dalam metode asuhan
keperawatan
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Teori keperawatan Kolcaba
Kolcaba (2003) menjabarkan keperawatan adalah penilaian kebutuhan akan kenyamanan,
perancangan kenyamanan digunakan untuk mengukur suatu kebutuhan, dan penilaian kembali
untuk mengukur kenyamanan setelah dilakukan implementasi. Penilaian awal dan penilaian
kembali dapat dinilai secara subjektif, seperti ketika perawat menanyakan kenyamanan pasien.
Secara objektif seperti observasi penyembuhan luka, perubahan nilai laboratorium, atau
perubahan perilaku. Penilaian juga dapat melalui penilaian skala melalui penglihatan atau daftar
pertanyaan, yang mana keduanya telah dikembangkan oleh Kolcaba. Kolcaba mengembangkan
teori kenyamanan melalui tiga jenis :
a) Induksi terjadi ketika penyamarataan dibangun dari suatu kejadian yang diamati secara specifik,
disini perawat dengan sungguh-sungguh melakukan praktek dan dengan sungguh-sungguh
menerapkan keperawatan sebagai disiplin, sehingga mereka menjadi terbiasa dengan konsep
implisit atau eksplisit, terminologi dan dalil.
b) Pengurangan adalah suatuformat dari pemikiran logis dimana kesimpulan spesifik berasal dari
prinsip atau pendapat yang lebih umum, prosesnya dari yang umum ke yang spesifik. Langkah
mengurangi pengembangan teori mengakibatkan teori kenyamanan dapat dihubungkan dengan
konsep lain untuk menghasilkan suatu teori. Kerja dari tiga ahli teori keperawatan diperlukan
untuk mendefinisikan kenyamanan, oleh karena itu Kolcaba lebih dulu melihat ditempat lain
untuk bekerja secara bersama.
c) Retroduksi adalah suatu format pemikiran untuk memulai ide, bermanfaat untuk memilih suatu
fenomena yang dapat dikembangkan lebih lanjut dan diuji. Pemikiran jenis ini diterapkan di
dalam bidang dimana tersedia sedikit teori. Seperti pada kasus hasil riset, dimana saat ini
berpusat pada pengumpulan data dasar untuk mengukur hasil dan berhubungan pada
pengeluaran untuk jenis keperawatan, medis, institusi,atau masyarakat. Penambahan suatu
kerangka teori keperawatan untuk riset hasil akan meningkatkan area penelitian keperawatan
karena praktek dasar teorimemungkinkan perawat untuk mendesain intervensi yang sama dan
selaras dengan hasil yang diinginkan.
Kolcaba (2003) menjelaskan bahwa kenyamanan sebagai suatu keadaan telah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang bersifat individual dan holistik. Terpenuhinya
kenyamanan dapat menyebabkan perasaan sejahtera pada diri individu tersebut. Kenyamanan dan
perasaan nyaman adalah penilaian komprehensif seseorang terhadap lingkungannya. Manusia
menilai kondisi lingkungan berdasarkan rangsangan yang masuk kedalam dirinya melalui keenam
indera melalui syaraf dan dicerna oleh otak untuk dinilai. Hal ini tidak hanya terlihat masalah
biologis, namun juga perasaan. Selain itu suara, cahaya, bau, suhu dan lain-lain dirangkum
sekaligus, lalu diolah oleh otak. Kemudian otak akan memberikan penilaian relatif apakah
kondisi itu nyaman atau tidak. Ketidaknyamanan di satu faktor dapat ditutupi oleh faktor lain
(Satwiko,2009).

Menurut Kolcaba (2003) aspek kenyamanan terdiri dari :


a) kenyamanan fisik berkenaan dengan sensasi tubuh yang dirasakan oleh individu itu sendiri.
b) kenyamanan psikospiritual berkenaan dengan kesadaran internal diri yang meliputi konsep
diri, harga diri, makna kehidupan, seksualitas hingga hubungan yang sangat dekat dan lebih
tinggi.
c) kenyamanan lingkungan berkenaan dengan kondisi lingkungan dan pengaruh dari luar kepada
manusia seperti temperatur, warna, suhu, pencahayaan dan lain-lain.
d) kenyamanan social kultural berkenaan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial
atau masyarakat (keuangan, perawatan kesehatan individu, kegiatan religius, dan tradisi
keluarga).
Meningkatnya kebutuhan rasa nyaman diartikan bahwa, seseorang telah mendapatkan
kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan dan bantuan secara umum dalam aplikasinya
pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah bebas dari rasa nyeri (Potter & Perry, 2006).
International Association for Study of Pain (IASP), menyatakan nyeri adalah sensorisubjektif dan
emosional yang tidak menyenangkan didapat dari keterkaitan dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Teori “specificity suggest” menyatakan bahwa nyeri adalah sensori spesifik yang muncul
karena adanya injuri dan informasi ini didapat melalui sistem saraf perifer dan sentral melalui
reseptor nyeri saraf. Nyeri secara umum terdiri dari nyeri akut dan nyeri kronis
(a) nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, tidak melebihi
enam bulan, dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot dan cemas
(b) nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan biasanya berlangsung dalam
waktu cukup lama, yaitu lebih dari enam bulan meliputi nyeri terminal, sindrome nyeri kronis dan
psikosomatik (Smeltzer, 2002).
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata dengan menggunakan Nordic Body Map (NBM) merupakan suatu garis lurus
yang mewakili intensitas nyeri dan dengan NBM dinilai dengan (1) tidak nyeri,(2) agak nyeri, (3)
nyeri, (4) nyeri sekali.
2. Nyeri Muskuloskeletal
Nyeri muskuloskeletal adalah gambaran gangguan yang bisa berupa nyeri pada otot,
saraf, tendon, ligamen, sendi, spinal atau ekstremitas (Anap, 2013). Menurut Occupational Health
and Safety Council of Ontario, nyeri muskuloskeletal adalah serangkaian nyeri pada tendon, otot,
dan saraf. Aktifitas dengan tingkat pengulangan tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak nyaman pada otot.
Menurut Potter & Perry (2006) Nyeri adalah ketika suatu jaringan mengalami cedera,
atau kerusakanmengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri
seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan
mengakibatkan respon nyeri.
Nyeri pada sistem muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot rangka yang
dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan pada bagian-bagian dari otot rangka yang dirasakan
oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima
beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan
berupa kerusakan padasendi , ligamen atau tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang
biasanya diistilahkan dengan keluhan muskuloskeletal disorders(MSDs) atau cedera pada sistem
muskuloskeletal (Suratun, 2008). Kolcaba mendefinisikan kenyamanan sebagai suatu sebagai
suatu keadaan telah terpenuhi kebutuhan dasar manusia (Kolcaba, 1992 dalam Potter & Perry
2006).
Menurut Tarwaka (2004) nyeri muskuloskeletal adalahkeluhan pada bagian-bagian otot
rangka (skletal) yang dirasakanoleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai
sangatnyeri, apabila otot menerima beban statis secara berulang dalamwaktu yang lama akan
dapat menyebabkan keluhan berupa
kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon.Gangguan ini terjadi karena adanya spasme
otot, tenderness, stifness (kekakuan), keterbatasan gerak, kelemahanotot dan sering pula timbul
disfungsi autonomik pada area yang dipengaruhi, umumnya gejala timbul pada area otot yang
stres. Kondisi ini sering ditemukan pada leher, bahu, punggung atas,punggung bawah dan
ekstremitas bawah (Levin, 2010).
Fisiologis terjadinya nyeri adalah karena terdapat duatahap konduksi impuls nociseptif
yaitu melalui sistem reseptornociseptif di perifer, lewat serabut aferen, masuk medullaspinalis
kemudian ke batang otak oleh mesenfalon. Kedua,melalui tingkat pusat impuls nociseptif
mesenfalon ke korteksserebri di korteks asosiasinya sensasi nyeri dapat dikenalkarakteristiknya.
Impuls-impuls nyeri disalurkan ke sumsumtulang belakang oleh dua jenis serabut bermielin A
delta dan Cdari saraf aferen ke spinal. nyeri menyebrangi sumsum tulangbelakang pada
interneuron-interneuron bersambung denganjalur spinalis asenden. Paling sedikit ada enam jalur
ascenden untuk impuls-impuls nosireseptor yang letak belahan sentral dari sumsum belakang
yang paling utama. Impuls-impuls ke batang otak dan sebagian ke thalamus mengaktifkan respon
automik dan limbik pada otak, kemudian afektif digerakan(Potter & Perry, 2006).
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri sistem
muskuloskeletal yakni, antara lain factor biologis (umur, jenis kelamin, dan lain-lain), peregangan
otot yang berlebihan, aktivitas berulang, postur kerja tidak alamiah (tidak ergonomis), faktor
penyebab sekunder ( tekanan, getaran, suhu),penyebab kombinasi ; umur, jenis kelamin,
kebiasaan merokok,kesegaran jasmanai, kekuatan fisik, ukuran tubuh (Suratun,2008) Penanganan
nyeri yang dilakukan dalam keperawatan adalah dengan kolaborasi pemberian farmakologi atau
berupa obat-obatan seperti analgesic dan NSAID nyeri berkurang dengan memblok transmisi
stimuli agar terjadi perubahan persepsi dan dengan mengurangi respon cortical (Potter & Perry,
2006). Sedangkan penanganan nyeri non farmakologi yang berupa imaginasi terbimbing (guiden
imagery), relaksasi pernafasan, hipnotis, diastraksi atau peralihan perhatian, relaksasi progresif
(meregangkan otot atau stretching) , meditasi dan visualisai. Streching atau peregangan otot
diberikan pada nyeri yang terjadi akibat melakukan pekerjaan yang berat dan lama,
mengakibatkan tertimbunnya sampah metabolisme dalam jumlah yang berlebihan, yang
menyebabkan meningkatnya tekanan didalam dan diluar sel-sel otot. Peningkatan tekanan
osmotic ini selanjutnya akan mengakibatkan edema , yang selanjutnya akan menekan saraf-saraf
sensoris, maka akan terasa sebagai gangguan muskuloskeletal atau nyeri otot, dengan peregangan
(streching) otot, yang dapat dilakukan dengan cara mengkontraksikan otot antagonisnya atau
dengan meregangkan otot-otot bersangkutan secara pasif dengan berbagai cara dalam penelitian
Randomize Controlling Trial (RCT) menyatakan bahwa static stretching meningkatkan
fleksibilitas dan performance otot serta mengurai persarafan jika dilakukan selama kurang lebih 4
minggu, dan dalam 10 detik untuk setiap gerakan. Terdapat beberapa manfaat apabila seseorang
melakukan gerakan peregangan sebelum memulai aktifitas, diantaranya adalah meningkatkan
suhu (temperature) tubuh beserta jaringan-jaringannya, menaikkan aliran darah melalui otot-otot
yang aktif, meningkatkan detak jantung sehingga akan mempersiapkan bekerjanya sistem
kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), menaikkan tingkat energi yang dikeluarkan oleh
metabolisme tubuh, meningkatkan kecepatan perjalanan sinyal syaraf yang memerintahkan
gerakan tubuh, memudahkan otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara lebih cepat dan efisien,
mengurangi adanya ketegangan pada otot, meningkatkan kemampuan jaringan penghubung
dalam gerakan memanjang atau meregang (Lestari, 2014).
Apabila static stretching diberikan pada otot maka pengaruh stretching pertama terjadi
pada komponen elastic (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam,
sarkomer memanjang dan bila hal ini dilakukan terus menerus otot akan beradaptasi dan hal ini
hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kischner & Colby,
2007).
Static stretching yang dilakukan pada serabut otot pertamakali mempengaruhi sarkomer
yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot. Pada saat sarkomer berkontraksi area
yang tumpang tindih antara komponen miofilamen tebal dan komponen miofilamen tipis akan
meningkat. Apabila terjadi penguluran (stretch) area yang tumpang tindih ini akan berkurang
yang menyebabkan serabut otot memanjang, melancarkan sirkulasi darah dan suplai oksigen
(Sardjono, 2015).
Pada saat serabut otot berada pada posisi memanjangyang maksimum maka seluruh
sarkomer terulur secara penuh dan memberikan dorongan kepada jaringan penghubung yang ada
di pada jaringan penghubung berubah posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut.
Pada saat terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut
otot itu pada kondisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Pada saat penguluran terjadi hal ini
menyebabkan serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur dirubah posisinya sehingga
menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan pelurusan posisi ini
memulihkan jaringan dengan memperlancar peredaran darah sehingga oksigen terpenuhi untuk
kembali normal (Sardjono, 2015).
Respon mekanikal otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer
otot. Setiap serabut otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberara
myofibril. Myofibril tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot.
Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril, terdiri atas filamen aktin dan myosin yang
saling overlapping. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan rileksasi
serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan (Sheerwood, 2008).
Ketika otot distretching maka pemanjangan awal terjadi pada sarkomer & tension
meningkat secara drastis, kemudian saat gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan
kembali ke posisi resting lengtht. Kecenderungan otot kembali ke posisi resting lengtht setelah
peregangan disebut dengan elastis. Respon neurofisiologi tergantung pada muscle spindle dan
golgi tendon. Muscle spindle merupakan organ sensorik utama dan tersusun dari organ intrafusal
yg terletak parallel dengan serabut extrafusal. Muscle spindel berfungsi untuk memonitor
kecepatan dan durasi regangan serta rasa terhadap perubahan panjang otot. Pada muscle spindel
terdapat saraf afferen primer tipe Ia dan sekunder tipe II & bersinaps dengan alpha atau gamma
motor neuron secara berurutan, dan memfasilitasi kontraksi serabut extrafusal dan intrafusal.
Golgi tendon & musculotendineus junction membungkus kedua ujung serabut extrafusal &
intrafusal dan sangat sensitif terhadap peregangan baik secara pasif maupun aktif (Harsono,
2015).
Peregangan tidak dianjurkan apabila tulang anda menghalangi gerakan anda (sukar
bergerak) seperti sedangmengalami patah tulang, terdapat gejala peradangan atau infeksi akut,
terdapat gejala osteoporosis, baru mengalami cidera atau keseleo, terdapat pengurangan atau
penurunan fungsi pada daerah pergerakan (Dewi, 2011). Sebuah studi yang diterbitkan dalam The
Journal of Strength and Conditioning Research menemukan bahwa static stretching atau
peregangan statis sebelum beraktivitas justru mengurangi kekuatan responden pada squat
sebanyak 8% dan mengurangi stabilitas tubuh bagian bawah sampai 22,68%. Sebuah review riset
dari 104 penelitian menemukan bahwa peregangan statis menurunkan kekuatan dari otot yang
diregangkan sampai 5,5 persen (Hana, 2013).
Streching adalah kegiatan yang meningkatkan kapasitas kerja semua organ tubuh
sehingga seluruh proses metabolisme tubuh akan meningkat dengan cepat, suhu tubuh meningkat,
peningkatan oksigen dan percepatan aliran darah (Harsono, 2015).
3. Postur Kerja
Sikap kerja adalah sikap tubuh (posture) manusia saat berinteraksi dengan alat/peralatan
kerja. Sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang memungkinkan melaksanakan pekerjaan
dengan efektif dan dengan usaha otot yang sedikit. Secara mendasar sikap tubuh dalam keadaan
tidak melakukan gerakan atau pekerjaan adalah sikap berdiri, berbaring, jongkok dan duduk
(Pheasant, 1991).
Posisi dan sikap kerja para pekerja saat melakukan aktivitas di tempat kerja berpengaruh
terhadap respon fisiologis pekerja tersebut. Sikap kerja yang tidak alamiah/ fisiologis merupakan
penyebab munculnya berbagai gangguan pada sistem muskuloskeletal (Manuaba, 2000).
Menurut Pheasant (1991), ada tujuh prinsip dasar dalam mengatasi sikap tubuh selama
bekerja, yaitu cegah inklinasi ke depan pada leher dan kepala, cegah inklinasi ke depan pada
tubuh, cegah penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat, cegah pemutaran
badan dalam sikap asimetris (terpilin), persendian hendaknya dalam rentangan sepertiga dari
gerakan maksimum, jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang mengakibatkan
kekuatan maksimal. Istilah ergonomi menitikberatkan pada “bagaimana kondisi kerja
mempengaruhi pekerja”. Pekerja akan mengalami perubahan fisiologis terhadap faktor-faktor
fisik di tempat kerja, seperti panas, pencahayaan, bising, pekerjaan yang melibatkanpsikomotor
kompleks, dan lain-lain. Ergonomi bertujuan untuk mengurangi kelelahan (fatigue) atau
ketidaknyamanan (discomfort) dengan cara mendesain tugas/alat bantu kerja sesuai dengan
kapasitas kerja individu pekerja. Sebaliknya, istilah human factor lebih menitikberatkan pada
konteks hubungan manusia dengan mesin/peralatannya, yang berarti bagaimana perilaku pekerja
dalam nteraksinya dengan peralatan, tempat kerja, dan lingkungan kerjanya. Human factor
bertujuan untuk engurangi kesalahan yang dilakukan individu pekerja (human error) dengan
memeperhatikan ukuran pekerja dan kemampuan relatif fisiknya (keterbatasan-keterbatasannya)
terhadap desain tempat kerja dan peralatannya (Harington, 2011).

Bridger (1995) menyatakan sikap kerja yang dilakukanoleh pekerja dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu, karakteristik pekerja ( umur, jenis kelamin, antropometri, berat badan),
tuntutan jenis pekerjaan (task : posisi tubuh, siklus waktu kerja, periode istirahat), rancangan
luasan kerja (work space), lingkungan kerja (environment) : intensitas penerangan, suhu
lingkungan, kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu, dan vibrasi. Sikap kerja
hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga idak menimbulkan sikap paksa yang
melampaui kemampuan fisiologis tubuh, sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang,
mengangkat, dan mengangkut, dan berdiri terlalu lama atau karena ketidaksesuaian antara alat
kerja dengan ukuran tubuh pekerja (Henschke, 2009). Hubungansikap kerja penyapu jalan dengan
prinsip – prinsip dasar tersebut, haruslah dipertimbangkan untuk memperbaiki ikapkerja penyapu
jalan yang tidak alamiah sehingga untukmemperbaiki sikap kerja tersebut faktor kondisi alat kerja
yang memungkinkan untuk diperbaiki ( Hutagalung, 2008).
Di tempat kerja, pekerja akan saling berinteraksi dengan komponen-komponen sistem
kerja seperti organisasi,lingkungan, tempat kerja, jabatan, tugas kerja, desain mesin,dan desain
alat bantu kerja. Pendekatan praktis yang digunakanuntuk mengaplikasikan prinsip-prinsip
ergonomi ditempat kerjaadalah dengan mempertimbangkan keseimbangan dan keselarasan antara
pekerja dan komponen sistem kerja tersebut (Thacker, 2004). Untuk mempertimbangkan
keterbatasan-keterbatasan yang ada pada pekerja, kondisi fisik, dan kebiasaan bekerja,maka
perencanaan berbagai sistem kerja yang mengaplikasikan prinsip-prinsip ergonomi dapat
mengurangi stres fisik yang mengaplikasikan prinsip-prinsip ergonomi dapat mengurangi stres
fisik yang mengaplikasikan prinsip-prinsip ergonomi dan mengurangi stres fisik yang berlebihan
dan tercapainya penampilan yang optimal demi terciptanya peningkatan produktivitas kerja, serta
mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan muskuloskeletal dan gangguan kesehatan lain
pada pekerja (Thacker, 2004).
Menurut Atmadja (2012) dalam penelitian RCT nya banyak jenis pekerjaan yang
membutuhkan aktivitas fisik yang berat seperti mengangkat, menurunkan, mendorong, menarik,
melempar, enyongkong, memindahkan beban atau memutar beban dengan tangan atau bagian
tubuh lain. Aktivitas semacam ini sering kali disebut dengan istilah manual material
handlingyang dapat menjadikan ematoma, fraktur, kelelahan otot, dan cedera yang menimbulkan
gejala nyeri. Nyeri musculo skeletal sering disamakan dengan nyeri myofacial berupa nyeri yang
terjadi pada otot akibat patologis tulang belakang atau postur kerja yang tidak baik. Gangguan
dan keluhan muskuloskelatal dapat dicegah dengan perbaikan mobilisasi, perbaikan rentang gerak
dengan menggunakan fasilitas yang sesuai dengan pekerjaan, contohnya dengan menggunakan
kursi yang ergonomic, menopang punggung, pinggang, bokong dan kaki sehingga terindar dari
nyeri muskuloskeletal. Nyeri muskuloskeletal akibat pekerjaan, 50% diantaranya diakibatkan
oleh aktivitas mengangkat beban 9% karena mendorong dan menarik beban 6% karena menahan,
melempar,memutar, dan membawa beban. Penelitian Ongley (2008) menyatakan bahwa pekerja
angkat beban, seperti tukangsampah, pekerja di sektor konstruksi, gudang, fisiotherapis
danperawat, mengajukan klaim asuransi kesehatan 10 x lebih tinggi dibanding dengan pekerjaan
dengan tenaga fisik yang lebih ringan. Nordic Body Map (NBM) adalah sistem pengukuran
keluhan nyeri pada tubuh yang dikenal dengan muskuloskeletal. Instrumen ini dikeluarkan oleh
Occupational safety and Health Administration (OSHA, 2004) dan dibawah undang-undang
keselamatan kerja.

Metode NBM merupakan metode penilaian yang sangat subjektif artinya keberhasilan
aplikasi metode ini sangat tergantung dari kondisi dan situasi yang dialamai pekerja pada saat
dilakukannya penelitian dan juga tergantung dari keahlian dan pengalaman observer yang
bersangkutan. Pengkajian nyeri yang dilakukan di NBM meliputi 28 titiknyeri yaitu, leher bagian
atas, leher bagian bawah, bahu kanan,bahu kiri, lengan atas kiri, punggung, lengan atas kanan,
pinggang, bokong, pantat, siku kiri, siku kanan, lengan bawah kiri, lengan bawah kanan,
pergelangan tangan kanan, pergelangan tangan kiri, jari-jari kiri, jari-jari kanan, paha kiri,paha
kanan, lutut kiri, lutut kanan, betis kiri, betis kanan,pergelangan kaki kiri, pergelangan kaki
kanan, jari kaki kiri, jari kaki kanan. Keterangan skor yang digunakan adalah : 0= tidak nyeri, 1 =
agak nyerit, 2 = nyeri, 3 = nyeri sekali. Kuesioner NBM ini secara luas digunakan oleh para ahli
ergonomi untuk menilai tingkat keparahan gangguan system muskuloskeletal dan dikeluarkan
oleh Occupational safety & Health Administration OSHA Tarwaka, 2011).
4. Perawat
Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwewenang
memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain sesuai dengan kewenagannya (Depkes RI, 2002 dalam Fitri, 2015). Menurut UU
RI NO 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, mendefinisikan Perawat adalah mereka yang memiliki
kemampuan dan kewenangan melakukan tindakkan keperawatan berdasarkan ilmu yang
dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Menurut Morison (2003) peran
perawat dalam perawatan luka, sangatlah penting, karena merupakan keseluruhan aspek yang
diberikan, termasuk psikologis pasien. Perawatan luka mencakup mengkaji pasien, luka pasien,
mencuci luka, membuang jaringan mati, memberikan obat topical sesuai karakter dan jenis luka,
membalut luka dengan seni dan kerapian. Selain itu peran perawat luka adalah mencegah
terjadinya keparahan luka apalagi amputasi, mencegah ulkus kaki, meningkatkan kualitas hidup
pasien. Perawat yang melakukan perawatan luka di klinik Kitamura mempunyai beban kerja yang
cukup lama dalam sehari rata-rata akan merawat pasien selama 7 jam, dan kondisi merawat luka
pada setiap pasien rata-rata 1,5 jam dalam kondisi yang tidak ergonomik, contohnya
membungkung, duduk dengan kursi yang tidak ergonomic, berjongkok lama pada perawatan di
tumit pasien.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Teori kenyamanan termasuk dalam middle theory, middle rage theory juga memperhitungkan
populasi usia dan lokasi ketika bekerja pada pengembangan sebuah teori. Middle renge theory
dikembangkan dengan menafsirkan dan mengamati pengalaman hidup dengan kebutuhan
kesehatan dan keperawatan. Dalam theory of comfort oleh Katharine kolcaba’s, dia
menghabiskan banyak waktu untuk memeriksa hubungan dan hasil pasien dalam kaitannya
dengan kenyamanan.
2. Analisis konsep ( Kolcaba & kolcaba, 1991) terdapat tiga tipe comfort, yaitu relief (kelegaan),
ease (Ketentraman ) dan transcendence yang dihubungkan dengan empat konteks kenyamanan
berdasrkan asuhan yang diberikan berasal dari literature keperawatan ( Kolcaba, 2003) Yaitu
yang diberikan nama fisik ( physical), psikospiritual( psychospiritual), social (sociocultural) dan
lingkungan ( environmental ).
3. Teori kenyaman kolcaba juga dengan mudah dapat digeneralisasi pada bebagai setting yang
meliputi, riset, praktik dan pendidikan. Selain itu, karena berbagai setting yang beragam teori ini
pun dapat diberiklan pada individual, keluarga hingga komunitas. Satu-satunya hal yang
mempengaruhi outcome dari penerapan teori ini adalah proses pemberian asuhan keperawatan
terlkait teori kenyamanan kepada pasien, yang sangat mungkin dipengaruhi juga oleh interventing
factor yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
B. Saran
Mengingat ilmu keperawatan merupakan ilmu terapan yang selalu berubah mengikuti
perkembangan zaman, pelayanan kesehatan di Indonesia ke depan harus mampu memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara professional sesuai dengan tuntunan kebutuhan masyarakat
serta teknolgi bidang kesehatan yang senantiasa berkmebang. Diamna pelaksanaan asuhan
keperawatab di sebagian besar rumah sakit indoneisa umumnya telah menerapkan pendekatan
ilmiah melalui proses keperawatan yang berdasrkan teori-teori keperawatan termasuk teori
kenyamanan yang dikemukakan oleh Katherine kolcaba. Melalui teoriini, perawat dapat memiliki
pengetahuan mengenai penting nya penerapan proses keperawatan yang dosertai dengan
pemberian kenyamanan

DAFRAT PUSTKA

Agritubella, S. M. 2018.„Kenyamanan Dan Kepuasan Pasien Dalam Proses


Interaksi Pelayanan Keperawatan Di Rsud Petala Bumi‟, Jurnal
Endurance, 3(1), p. 42. Becker, E. R. 2014. „Factors in patients’ experience of hospital care:
Evidence
from California, 2009 – 2011‟, Patient Experience Journal, 1(1), pp. 95–110.
Depkes RI 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis
Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta. Depkes RI.
Depkes RI 2005. Rencana Strategi Departemen Kesehatan. Jakarta.
Dhiyanto, H. 2014. Informasi Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Jalan ( False
Emergency ) Pada Pelayanan Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Emanuel. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Handayani, S. B. 2009. „Pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Tarif Terhadap
Kepuasan Serta Implikasinya Terhadap Minat Beli Pasien Rawat Inap
Pada Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang‟, pp. 1–20.
Harrison, R. 2015. „Patients' Experiences in Australian Hospitals‟,(December). Masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai