Anda di halaman 1dari 17

PAPILLOMA LARING

Ralph Lukas, Linda Irwani Adenin

PENDAHULUAN

Papilloma laring adalah tumor jinak yang terdapat pada saluran pernapasan,
terutama melibatkan epitel mukosa dari saluran pernapasan dan disebabkan oleh infeksi
Human Papilloma Virus (HPV). Papilloma laring pertama kali dikenal sebagai kutil di
tenggorok (warts in the throat) oleh M. Donalus pada abad ke-17. Karena sifat
kekambuhannya, sehingga disebut juga recurrent respiratory papillomatosis (RRP).
RRP dapat terjadi di mana saja pada saluran pernapasan dengan predileksi tersering
pada laring dan berpotensi mengancam jiwa. Karena tidak adanya manifestasi klinis
yang spesifik, diagnosis penyakit ini dapat tertunda.(Xue, 2010)

Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak-anak di bawah usia 5 tahun yaitu
juvenile onset recurrent respiratory papillomatosis (JORRP) dan bisa dijumpai pada usia
20-40 tahun yaitu adult onset recurrent respiratory papillomatosis (AORRP).
Perbandingan juvenile-onset recurrent respiratory papillomatosis (JORRP) pada laki-
laki dan perempuan sama banyak sedangkan adult-onset respiratory papillomatosis
(AORRP) lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding perempuan dengan
perbandingan 4:1. (Van De Water & Staecker, 2006;Jhonson & Rosen, 2014)

Tujuan terapi pada papilloma laring adalah untuk mempertahankan jalan


nafas dan kualitas suara. Terapi papilloma laring meliputi terapi operasi dan
medikamentosa sebagai terapi adjuvan. Papilloma laring memiliki angka rekurensi yang
tinggi, yaitu sekitar 70%. Meskipun insidensi transformasi keganasan pada papilloma
laring jarang, tetapi penelitian retrospektif mengemukakan rasio transformasi keganasan
antara 2-17%. (Van De Water & Staecker, 2006)
ANATOMI LARING

Laring merupakan bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang terdiri dari
rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervikalis
IV – VI. Lokasi laring dapat ditentukan dengan cara inspeksi dan palpasi, akan
didapatkan kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan disebut
prominensia laring atau sering disebut dengan Adam’s apple. Batas – batas laring
sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang berhubungan dengan hipofaring, sebelah
posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot – otot prevertebral, dinding dan
cavum laringofaring serta sebelah anterior ditutupi oleh fasia, jaringan lemak dan kulit.
Sebelah lateral ditutupi oleh otot – otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
kelenjar tiroid. Laring berbentuk piramida terbalik dengan dinding kartilago tiroidea
berada disebelah atas dan kartilago krikoidea berada disebelah bawah. Os hyoid
berhubungan dengan laring oleh membrana tiroidea dimana tulang tersebut merupakan
tempat melekatnya otot – otot dan ligamentum serta akan mengalami osifikasi sempurna
pada usia 2 tahun. (Lee & Farrior, 2003)

a. Rangka Laring

 Kartilago Tiroidea
Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding
anterior dan lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 sayap
(alae tiroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di
bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s Apple.
Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat. Diatasnya
terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau ineiseura tiroidea, dimana di bagian
belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan os hyoid oleh
ligamentum tiroidea, sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior yang
berhubungan dengan permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea dan membentuk
artikulasio krikoidea. Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea
dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian
dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta, kartilago aritenoidea,
kuneiforme serta kornikulata (Ballenger, 1993).

1
Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yang
berjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini merupakan
tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus dan
muskulus konstriktor faringeus inferior. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20
– 30tahun (Ballenger, 1993).

 Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring dan merupakan
tulang rawan laring yang terkuat. Berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian
alasnya terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada
bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan
kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio
krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum
krikotiroidea. Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI -
VIIdan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III - IV. Kartilago ini mengalami
osifikasi setelah kartilago tiroidea. (Ballenger, 1993).

 Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang
kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea,
sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari
piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan tempat
melekatnya muskulus krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian
anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara. Pinggir
posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis. Ligamentum vokalis
terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea
membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi
dan permukaan atas dari pita suara ini disebut glotis.(Brown, 2008)
Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis dari
aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya glotis.
(Ballenger, 1993).

2
 Kartilago Epiglotis
Adalah tulang rawan fibroelastik yang berbentuk seperti daun yang melekat
dengan bagian dalam anterior tulang rawan tiroidea. Tulang rawan ini mendorong ke
arah atas dan belakang atas saat laring membuka. Tulang rawan ini tidak berpasangan.
Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke
sebelah laring (Ballenger, 1993).

 Kartilago Kornikulata
Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini
dan merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika
(Ballenger, 1993).

 Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil
yang terletak di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993;Lee & Farrior, 2003)

3
Gambar 1. Anatomi Laring (www.highlands.edu)
b. Otot Laring

Otot-otot yang berperan dalam pergerakan laring terbagi atas 2 kelompok, yaitu
otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik adalah otot-otot yang
bertanggung jawab untuk menggerakkan laring secara keseluruhan. Otot-otot ekstrisik
terbagi dua, yaitu :
1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu :
o M. Stilohioideus
o M. Milohioideus
o M. Geniohioideus
o M. Digastrikus
o M. Genioglosus
o M. Hioglosus
2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :
o M. Omohioideus
o M. Sternokleidomastoideus
o M. Tirohioideus (Lee & Farrior, 2003; Burkey, et al, 2009)

Gambar 2. Otot esktrinsik (droualb.faculty.mjc.edu)

4
Sementara otot-otot intrinsik adalah otot-otot yang menggerakkan laring secara
terbatas. Otot – otot pada kelompok ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang
serabutnya berjalan transversal dan obliq. Fungsi otot ini dalam proses pembentukan
suara, proses menelan dan bernafas. Jika otot tersebut berkontraksi maka otot tersebut
akan bersatu digaris tengah sehingga menyebabkan adduksi pita suara. .(Lee & Farrior,
2003; Burkey, et al, 2009)

Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :


1. Otot-otot adduktor, berfungsi untuk menutup pita suara
o M. Interaritenoideus transversal dan oblik
o M. Krikotiroideus
o M. Krikotiroideus lateral
2. Otot-otot abduktor, berfungsi untuk membuka pita suara
o M. Krikoaritenoideus posterior
3. Otot-otot tensor, berfungsi untuk menegangkan pita suara
o Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis
o Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus

5
Gambar 3. Otot intrinsik (www.netterimages.com)
c. Mukosa Laring

Mukosa laring terdiri dari dua jenis, yaitu pseudostratified ciliated columnar cell
epithelium dan squamous cell epithelium. Kebanyakan dari mukosa laring adalah epitel
saluran nafas, namun bagian superior epiglottis, bagian atas lipatan ariepiglottik, dan
pita suara dilapisi squamous cell epithelium. Dibawah lapisan epitel ini terdapat lapisan
dasar. Dan yang memisahkan lapisan epitel dan lapisan dasar adalah lapisan jaringan
ikat longgar. Lapisan jaringan ikat longgar ini tidak terdapat di pita suara asli dan
permukaan posterior epiglottis. (Lee & Farrior, 2003)

d. Rongga Laring

Batas atas rongga laring adalah aditus laring dan batas bawahnya adalah bidang
yang melalui pinggir bawah tulang rawan krikoid. Batas depannya adalah permukaan
belakang epiglottis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua
belah lamina tulang rawan tiroid dan arkus tulang rawan krikoid. Batas lateralnya ialah
membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus tulang rawan
krikoid sedangkan batas belakangnya ialah m.aritenoid transversus dan lamina kartilago
krikoid.

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum


ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis
(pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glottis
sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima vestibuli. Plika vokalis dan
plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu vestibulum laring,
glotik dan subglotik. Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat diatas plika
ventrikularis. Daerah ini biasa disebut supraglotik. Antara plika vokalis dan plika
ventrikularis pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring morgagni.

Rima glottis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intramembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruangan antara kedua plika vokalis dan
terletak di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak

6
kartilago aritenoid dan terletak dibagian posterior. Daerah subglotik adalah rongga
laring yang terletak dibawah plika vokalis. (Lee & Farrior, 2003)

Gambar 3. Rongga Laring (spina.pro, cyberdoctor.de)

e. Persarafan Laring

Laring dipersarafi oleh cabang nervus vagus yaitu nervus laringeus superior dan
nervus laringeus inferior (nervus laringeus rekuren) kiri dan kanan.

1. Nervus Laringeus Superior

Meninggalkan nervus vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke


depan dan medial di bawah arteri karotis interna dan eksterna yang kemudian
akan bercabang dua :
- Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus
pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
- Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi muskulus krikotiroid dan
muskulus konstriktor inferior.

7
2. Nervus Laringeus Inferior (Nervus Laringeus Rekuren)

Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat
dibelakang artikulasio krikotiroidea. Nervus laringeus yang kiri mempunyai
perjalanan yang panjang dan dekat dengan aorta sehingga mudah terganggu.
Merupakan cabang nervus vagus setinggi bagian proksimal subklavia dan
berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus,
selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan
memberikan persarafan :
- Sensoris, mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea
- Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali muskulus krikotiroidea

f. Perdarahan Laring

Laring mendapat perdarahan dari cabang arteri tiroidea superior dan inferior sebagai
arteri laringeus superior dan inferior (Ballenger, 1993).
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna nervus laringeus superior menembus membrana
tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis
(Ballenger, 1993).
2. Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama nervus laringeus inferior masuk ke dalam laring melalui area
Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah muskulus konstriktor
faringeus inferior, di dalam laring beranastomose dengan arteri laringeus
superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring. (Brown, 2008)

FISIOLOGI LARING

Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi dan
fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah agar makanan dan benda

8
asing masuk ke dalam trakea dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis yang
secara bersamaan. Benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dan sekret yang
berasal dari paru juga dapat dikeluarkan lewat reflek batuk. Fungsi respirasi laring
dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Dengan terjadinya perubahan tekanan
udara maka didalam traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah
tubuh. Oleh karena itu laring juga mempunyai fungsi sebagai alat pengatur sirkulasi
darah. Fungsi laring dalam proses menelan mempunyai tiga mekanisme yaitu gerakan
laring bagian bawah keatas, menutup aditus laringeus, serta mendorong bolus makanan
turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring. (Lee & Farrior,
2003;Jhonson & Ronsen, 2014)

ETIOLOGI

Papilloma laring disebabkan oleh infeksi HPV, terutama disebabkan oleh HPV
tipe 6 dan 11, dapat menginfeksi seluruh saluran pernapasan, meskipun pada squamous
columnar junction (pertemuan antara squamous dan ciliary epithelium) pada saluran
nafas merupakan daerah yang paling sering terlibat. HPV dapat juga ditemukan pada
mukosa laring normal pada pasien papilloma laring yang telah remisi bertahun-tahun,
menjelaskan mengapa reaktivasi dan kekambuhan klinis dapat terjadi setelah bertahun-
tahun remisi. (Lee & Smith, 2005; Van De Water & Staecker, 2006;Jhonson &
Ronsen,2014)

EPIDEMIOLOGI

Papilloma laring merupakan tumor jinak laring yang jarang terjadi. Papilloma
laring dapat berkembang pada semua umur, tetapi lebih sering terjadi pada anak.
Insidensi tumor ini pada anak sebesar 4,3/100.000 dan pada dewasa sebesar
1,8/100.000. Papilloma laring pada anak sering didiagnosis pada usia 2-4 tahun dan
distribusinya sama di antara laki-laki dan perempuan. Sebanyak 75% pasien menderita
papilloma laring pada usia kurang dari 5 tahun. Papilloma laring pada dewasa lebih
sering terjadi pada usia 20-40 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan rasio 2:1 hingga 4:1. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit, kurang dari 2.000 anak mendapatkan papilloma laring setiap tahun.

9
(Roy&Vivero,2008; National Institute on Deafness and Other Communication
Disorders, 2010)

TRANSMISI

Kejadian papilloma laring pada anak dapat terjadi akibat transmisi HPV pada
saat kelahiran. Risiko transmisi infeksi HPV dari ibu ke anak diperkirakan berkisar
antara 1:80 hingga 1:500. Risiko ini meningkat pada anak pertama yang lahir per
vaginam pada ibu usia muda yang menderita infeksi HPV genital. Shah dan Kashima
menemukan satu dari 109 kasus papilloma laring pada anak yang lahir dengan operasi
Caesar.
Papilloma laring pada dewasa dapat terjadi akibat penularan HPV secara seksual
dengan banyak pasangan dalam jangka waktu yang lama dan kontak orogenital. Namun,
papilloma laring pada dewasa mungkin telah terjadi pada usia remaja yang bersifat laten
dan teraktivasi bila imunitas tubuh menurun.(Jhonson & Rosen, 2014)

KLASIFIKASI

Berdasarkan waktu terjadinya, papilloma laring terbagi atas:


1. Papilloma laring tipe juvenilis
Papilloma laring tipe juvenilis biasanya berupa lesi multipel dan mudah kambuh
sehingga membutuhkan eksisi yang berulang. Namun, papilloma tipe ini dapat regresi
secara spontan pada usia pubertas. Pada anak yang didiagnosis papilloma laring di
bawah usia 3 tahun, ditemukan 3,6 kali lebih besar untuk dioperasi lebih dari 4 kali
per tahun dan 2,1 kali lebih cenderung terlibat pada dua atau lebih situs anatomi
daripada anak-anak yang didiagnosis setelah usia empat tahun.
2. Papilloma laring tipe senilis
Papilloma laring tipe senilis biasanya berupa lesi tunggal dengan tingkat rekurensi
rendah dan kurang bersifat agresif, tetapi memiliki risiko pre kanker yang tinggi.
(Ridley, 2008; Jhonson & Rosen, 2014)

GEJALA KLINIS

10
Papilloma laring memiliki manifestasi klinis berupa suara serak yang progresif,
stridor dan distres respirasi. Kebanyakan pasien terutama pada anak datang dengan
obstruksi jalan nafas dan sering salah diagnosis sebagai asma, bronkitis kronis atau
laringotrakeobronkitis. Dari penelitian yang dilakukan oleh Poenaru M, et al gambaran
klinis yang sering ditemukan pada papilloma laring adalah suara serak (95,65%),
sensasi mengganjal di tenggorok (78,26%), batuk kronis (65,21%), stridor (56,52%) dan
dispnea (47,82%). (Zacharisen&Conley, 2006; Ridley, 2008)
Penyebaran papilloma laring ke ekstralaring diidentifikasi pada 13-30% anak dan
16% dewasa. Lokasi ekstralaring yang paling sering adalah kavitas oris, trakea dan
bronkus. Kejadian papilomatosis paru jarang, tetapi jika terjadi dapat menimbulkan
komplikasi yang berat seperti perdarahan dan pembentukan abses. (Ridley, 2008;
Jhonson & Rosen, 2014)
Papilloma laring pada dewasa biasanya tidak bersifat agresif dibandingkan pada
anak. Angka remisi pada papilloma laring tipe dewasa sulit diperkirakan. Papilomatosis
tipe ini dapat tumbuh cepat dan berbahaya terhadap jalan nafas jika terjadi perubahan
hormon, seperti pada kehamilan. (Jhonson & Rosen, 2014)

GAMBARAN MAKROSKOPIS
Papiloma laring terlihat sebagai massa multinodular yang tumbuh eksofitik
(gambar 4). Tumor ini dapat berwarna merah muda atau putih.(Ridley, 2008)

Gambar 4. Gambaran papilloma laring (misc.medscape.com)

11
Dari penelitian yang dilakukan oleh Gupta, et al, lokasi utama papilloma laring
tipe senilis adalah pada glotis (75,6%), dan supraglotis (23,6%) sebagai lokasi kedua
tersering. Poenaru M, et al menemukan papilloma laring tipe juvenilis terbanyak
ditemukan pada glotis (78,26%), plika ventrikularis dan permukaan epiglotis (13,04%)
serta regio subglotik (8,69%). (Poenaru, et al, 2006)

GAMBARAN MIKROSKOPIS

Secara histologis, papiloma laring tampak sebagai gambaran jaringan yang


berbentuk papil dengan jaringan ikat fibrovaskular dan epitel skuamosa hiperplastik
yang mengalami parakeratosis, akantosis dan koilositosis. Adanya sel-sel yang atipik
merupakan petanda suatu keganasan seperti karsinoma in situ atau karsinoma sel
skuamosa invasif. Namun, untuk karsinoma stadium awal sulit dibedakan secara
histologis dengan papiloma laring. (Ridley, 2008; Jhonson & Rosen, 2014)

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
 Adanya suara parau sampai afonia.

2. Gejala klinis
 Suara serak merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan. Pada papilloma
yang besar bisa terjadi stridor sampai sesak nafas.

3. Pemeriksaan
 Pemeriksaan fisik THT lengkap, meliputi laringoskopi indirek dengan kaca
laring, laringoskop kaku dan serat optik
 Pemeriksaan mikrolaringoskopi langsung dan biopsi
 Pemeriksaan penunjang lain
Identifikasi HPV dapat dilakukan dengan pemeriksaan imunohistokimia, isolasi
DNA virus, polymerase chain reaction (PCR) (Jhonson & Rosen, 2014)

DIAGNOSIS BANDING

12
Diagnosis banding untuk papilomatosis laring adalah lesi jinak lainnya pada
laring seperti nodul pita suara, polip, kista, inflamasi pada laring seperti granuloma,
laringitis tuberkulosis dan karsinoma laring stadium awal. (Jhonson & Rosen, 2014)

PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi pada papilloma laring terutama mencakup mempertahankan jalan


nafas, kualitas suara, menyembuhkan lesi dan mencegah kekambuhan. Pengobatan
berulang biasanya diperlukan karena kekambuhan sangat umum terjadi setelah sembuh
atau regresi spontan. Namun, tidak ada terapi yang memuaskan dalam pengobatan
papilloma laring. Hingga kini, banyak bedah dan perawatan medis telah dicoba, namun
tidak satupun dari mereka telah terbukti sepenuhnya manjur dalam semua pasien. Ketika
memilih pengobatan, baik penderitaan, efek samping dan biaya yang terkait dengan
pengobatan yang diperlukan untuk dipertimbangkan selain efek kuratif. Terapi
papilloma laring meliputi terapi operasi dan medikamentosa sebagai terapi adjuvan.
(Lee&Smith, 2005; Ridley, 2008; Xue, et al, 2010; Jhonson & Rosen, 2014)

Terapi operasi berupa ekstirpasi lesi dengan teknik mikrolaringoskopi


menggunakan forsep dan laser. Laser dapat membantu dalam mendestruksi jaringan
secara tepat dan menjaga hemostasis selama operasi serta dapat memperpanjang periode
bebas penyakit pada beberapa kasus. Burns, et al meneliti penggunaan laser lainnya
dengan menggunakan potassium-titanil-fosfat pada gelombang 532 nm sebagai terapi
yang aman dan efektif untuk papilloma laring. (Alexander&Fried, 2007; Jhonson &
Rosen, 2014)

Setelah operasi, pasien harus istirahat suara total dalam minggu pertama, bicara
ringan pada minggu kedua dan secara bertahap menggunakan suara pada minggu-
minggu berikutnya. Pada minggu pertama, pasien harus membatasi diet yaitu tidak
boleh makan makanan yang pedas dan merangsang. Pemberian inhibitor pompa proton
dianjurkan, khususnya bila terjadi refluks gastroesofagus. Antibiotik tidak secara rutin
diberikan.( Jhonson & Rosen, 2014)

13
Terapi adjuvan diperlukan pada sekitar 20% dari pasien dengan papilloma
laring. Kriteria yang paling umum untuk terapi adjuvan adalah telah menjalani operasi
lebih dari empat kali dalam satu tahun, terdapat penyebaran penyakit ke lokasi yang
lebih distal dan/atau pertumbuhan kembali lesi yang cepat disertai dengan gangguan
pada jalan nafas. Terapi adjuvan yang paling umum digunakan adalah antivirus dan
obat-obat immunoregulasi. Obat adjuvan lain yang tersedia termasuk obat anti-reflux,
mitomycin C, cyclooxygenase 2 inhibitors, retinoid, zinc dan indole-3-carbinol. Obat
antivirus yang umum digunakan termasuk cidofovir, ribavirin, acyclovir dan
ganciclovir. Umumnya, pemberian obat tersebut adalah secara oral atau intravena.
Injeksi intralesi cidofovir telah disarankan sebagai terapi yang menjanjikan dalam
beberapa tahun terakhir. Namun, bukti klinis, randomized, blinded, placebo controlled
trials masih belum dapat mengkonfirmasi kemanjuran injeksi intralesi dari cidofovir.
Selain itu, ada kontroversi tentang apakah ada atau tidak cidofovir meningkatkan risiko
transformasi keganasan dari papiloma laring. Interferon-α adalah obat immunoregulasi
yang paling umum digunakan. Dilaporkan aman dan berkhasiat, terutama pada pasien
dengan infeksi HPV6. (Xue, et al, 2010)

Bentuk terapi lain seperti kemoterapi dan terapi hormonal belum dapat dibuktikan
tingkat keberhasilannya.(Jhonson & Rosen, 2014)

PENCEGAHAN

Pencegahan infeksi HPV pada laring sulit dilakukan karena transmisi virus yang
belum diketahui secara pasti. Namun, vaksin dapat diberikan untuk mencegah angka
kekambuhan pada papilloma laring. (Lee&Smith, 2005)

PROGNOSA

Papilloma laring memiliki angka rekurensi yang tinggi, yaitu sekitar 70%.
Insidensi transformasi keganasan pada papilloma laring adalah jarang, yaitu hanya
terjadi pada 2-4% kasus. Displasia relatif sering ditemukan pada kasus papilloma laring,
tetapi tingkat kemaknaan dari penemuan ini belum diketahui secara pasti. Transformasi
keganasan pada papilloma laring berhubungan dengan faktor risiko seperti merokok dan

14
riwayat terpapar radiasi sebelumnya. Regresi total kadang-kadang terjadi pada saat
pubertas, tetapi hal ini tidak selalu terjadi (Jhonson & Rosen, 2014)

DAFTAR PUSTAKA

Agar, N.J.M., Vallance, N.A. (2008), ‘Hoarseness: What is the voice trying to tell you’
Austr Fam Phys. 37(4):300-4

Alexander, R.E., Fried, M.P. (2007). ‘Surgical therapy for recurrent respiratory
papillomatosis’ ENT J, 86(2):68-9

Ballenger, J.J.,(1993). Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 13th ed.
Philadelphia, Lea & Febiger.

Brown, S. (2008), Scadding, G., Durham, S., eds, Scoot-Brown’s Otorhino-


laryngology, Head and Neck Surgery, 7th edition, Volume 2, London , Edward Arnold,
pp. 2130.

Burkey, et al. (2009), Ballenger’s Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery, 17th
ed, Connecticut, People Medical Publishing House Shelton, pp.908.

Jhonson, J.T., Ronsen, J.A. (2014), Derkay, C.S., Baldassari, C.M., eds, Bailey’s Head
and Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
pp. 1409

Jhonson, J.T., Ronsen, J.A. (2014), Woodson, G.E., ed, Bailey’s Head and Neck
Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. pp. 868

Lee, J.H., Smith, R.J. (2005). ‘Recurrent respiratory papillomatosis : pathogenesis to


treatment’ . Current Opinion Otolaryngology Head Neck Surg, 13:354-359

15
Lee, K.J., Farrior J.B, (2003). Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed.
Connecticut: McGraw-Hill. pp. 241-242

National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. (2010). Recurrent


Respiratory Papillomatosis or Laryngeal Papillomatosis. Available from : www.
nidcd.nih.gov /health/voice/pages/laryngeal.aspx

Poenaru, M., et al.(2006) ’The use of combined treatment with CO2 laser, microsurgery
and interferon alpha 2B in juvenile recurrent laryngeal papillomatosis.’ TMJ, pp.
56(1):48-54

Ridley, R.(2008). ‘Recurrent respiratory papillomatosis’ Grand Rounds Presentation.


University of Texas Dept of Otolaryngology, pp.1-11

Van De Water, T.R., Staecker, H., (2006), Gumpert, S., ed, Otolaryngology Basic
Science and Clinical Review. New York:Thieme. pp. 576

Xue, Q., Wang, H., Wang, J. (2010), ‘Recurrent respiratory papillomatosis: an


overview’ Eur J Clin Microbiol Infect Dis. Vol.29, pp. 1051–1054

Zacharisen, M., Conley, S.F. (2006) ‘Recurrent respiratory Papillomatosis in children:


Masquerader of common respiratory disease’ Pediatrics, 118(5):1925-31

16

Anda mungkin juga menyukai