Anda di halaman 1dari 22

SUARA: ANATOMI, FISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN KLINIS

Lucian Sulica

Laring merupakan sebuah katup biologis yang terletak di percabangan saluran pernapasan
dan pencernaan. Fungsi awal keberadaan laring adalah untuk melindungi paru-paru dari
mikroorganisme yang tertelan bersama air, dan melindungi jalan udara merupakan fungsi utama
laring. Perkembangan fungsi laring sebagai organ vonasi dikarenakan posisi laring yang berada
di atas percabangan tracheobronchial dan fungsi katup-nya memberi laring kemampuan yang
unik untuk meregulasi aliran udara ekspirasi. Suara manusia merupakan hasil dari interaksi yang
kompleks antara seluruh komponen diatas saluran aerodigestif tetapi tergantung pada ketepatan
dan modulasi penutupan glottis untuk memproduksi suara.

Laring manusia memiliki beragam bangunan yang secara khusus diadaptasikan terhadap
peran masing-masing dalam produksi suara, merupakan sebuah jaringan unik yang mampu
mengosilasi suara kecepatan tinggi secara berkelanjutan dan memiliki neuromotor khusus untuk
mengontrol gerakan halus dari pita suara. Ilmu laringologi berkembang semakin cepat dan
canggih terutama di bidang restorasi dan peningkatan kualitas suara, saat ini telah ditemukan
detail baru mengenai anatomi dan fisiologi dalam kaitannya secara klinis. Perkembangan faham
diatas memungkinkan suatu apresiasi yang lebih baik dalam memperbaiki disfonia. Untuk lebih
efektif, seorang otolaringologis harus menguasai semua hal mengenai anatomi, fisiologi, dan
evaluasi klinis sebagai satu kesatuan yang bersama-sama membangun rencana terapi bagi pasien
yang mengalami gangguan bicara.

ANATOMI

Anatomi Kerangka Laring

Bangunan laring tersusun atas satu buah tulang (os.hyoid) dan empat buah kartilago
(krikoid, tiroid dan sepasang arytenoidea). Kerangka luar laring dibentuk oleh hyoid, krikoid dan
tiroid, yang dibungkus oleh membrane tirohyoid dan membrane cricotiroid. Seluruh elemen ini
dipisahkan dari basal tengkorak dan mandibula oleh jaringan ikat. Otot-otot mylohyoid,
geniohyoid, hyoglossus, dan sylohyoid, ligament stylohyoid dan bagian proksimal saluran cerna
merupakan bagian superior dari hyoid dan memperkuat traksi dengan kepala. Hal ini diimbangi

1
dengan tarikan otot omohyoid, sternohyoid, tirohyoid, dan sternohyoid, dimana semua otot
tersebut kecuali sternohyoid berinsersi di os.hyoid. laring bergerak vertical sebagai sebuah
kesatuan, terpisah dari hyoid, merupakan bagian yang paling superior. Penempatan ini penting
tidak hanya untuk melindungi jalan nafas selama proses menelan tetapi juga memodifikasi
bentuk resonansi dari saluran supraglottis dalam memproduksi suara.

Kartilago krikoid dapat dianggap sebagai dasar dari laring. Sebagai satu-satunya cincin
yang utuh dari seluruh saluran, bentuk ini penting dalam mempertahankan keutuhan saluran
nafas. Bagaimanapun, rigiditas dari segmen ini melindungi dari cedera mukosa akibat tekanan
endoluminal, seperti karena pemasangan saluran endotracheal, dan mencegah stenosis. Kartilago
tiroid membentang diatas krikoid. Bagian inferiornya berartikulasi dengan permukaan luar dari
krikoid posterior, dan bangunan berbentuk V melapisi jaringan lunak dari glottis. Sudut dimana
kedua sendi kartilago tiroid bertemu di garis tengah anterior lebih tajam pada pria dibandingkan
wanita, dan hal ini menjadi penonjolan yang khas pada leher pria.

Sepasang kartilago krikoid membentang di tepi superior dari bagian posterior krikoid dan
merupakan landasan bagi gerakan dari pita suara, yang satu tertarik dari proyeksi anterior dikenal
sebagai proses suara bagian tengah anterior kartilago tiroid, terletak tepat dibawah dari epiglottis.
Secara fungsional, kartilago arytenoids menterjemahkan semua vector gaya dari gerakan tiap-
tiap otot intrinsik laring menjadi gerakan abduksi dan adduksi pita suara. Bentik kartilago yang
eksentrik sesuai dengan fungsinya tersebut. Proyeksi posterolateral kartilago arytenoids
menyokong gerakan otot, menerima insersi dari otot cricoarytenoid laterlis dan crycoarytenoid
posterior dan berfungsi sebagai tuas untuk mengamplifikasi gerakan kedua otot tersebut.
Permukaan anterolateralnya menyediakan area penempelan yang luas bagi otot tiroarytenoid,
dimana fungsinya adalah untuk gerakan adduksi dan memperpendek pita suara. Permukaan yang
bergerigi saling berhadapan satu sama lain pada permukaan posteromedial arytenoids dan
menjadi insersi dari otot adduksi interarytenoid. Proyeksi anterior akhirnya mengubah gerakan
laring menjadi gerakan pita suara untuk menghasilkan bunyi.

Epiglotis yang merupakan kartilago elastika yang tidak memiliki peran struktural
pada orang dewasa, terhubung pada elemen-elemen laring dengan diperkuat oleh ligamentum
thyroepiglotika dan hyoepiglotika. Epiglotis secara pasif mengalami defleksi pada bagian atap
dari introitus laring pada saat proses menelan dan berperan sebagai barrier tambahan pada pintu

2
masuk laring. Yang terakhir terdapat kartilago-kartilago kecil yang yang tidak didefinisikan
tersendiri dan kemungkinan memiliki fungsi yang tidak signifikan dapat ditemukan pada cincin
superior dari laring. Kartilago corniculata Santorini terletak di atas apex kartilago arytenoidea
dan kartilago cuneiforme Wrisberg terdapat diantara cincin superior dari plica aryepiglottica pada
bagian anterolateral dari penonjolan arytenoid. Berapapun panjang dan kekakuan dari dari
kartilago-kartilago ini yang dapat ditambahkan pada cincin aryepiglottica nampaknya secara
fungsional kartilago-kartilago ini tidak berfungsi secara signifikan pada manusia. Kartilago
triticea terkadang dapat ditemukan pada batas posterior dari membrane tyrohyoidea dan dapat
berarti penting karena seringkali disalahartikan sebagai benda asing pada pemeriksaan
radiologis.

Sebagai tambahan dari elemen tulang dan kartilago, dua membran fibroelastika secara
struktur berfungsi penting pada laring (lihat gambar 49.4 dan 49.7). Conus elasticus bermula dari
batas atas dari kartilago cricoidea dan berjalan naik pada apertura glottis. Pada bagian atas, conus
elasticus akan memberikan ketebalan pada tepi bebas dari plica vocalis. Conus elasticus
memberikan bentuk konvergen dari subglotis dimana secara fisiologi dianggap penting dalam
proses fonasi. Membrana kuadrangularis supraglotis membentang dari bagian bawah plica
aryepiglottica menuju tepi atas dari plica ventricularis, mirip dengan bentuk dari conus elasticus
yang dibalik, meskipun secara fungsional membran ini tidak penting. Membran conus elasticus
dan kuadrangularis merupakan barrier yang dapat menahan penyebaran dari penyakit keganasan
disamping fungsi strukturalnya yaitu memberi bentuk pada plica vocalis dan plica ventricularis.

Bagian luar elemen tulang dan kartilago pada laring biasanya dapat dengan dengan
mudah dipalpasi karena hanya ditutupi oleh strap muscle dan kulit. Bagian yang paling menonjol
adalah pada bagian arkus depan dari cricoid dan puncak superior dari kartilago thyroid pada garis
midline anterior, dan pada bagian lateral bagian yang paling menonjol adalah cornu superior dari
thyroid dan cornu mayus os hyoidea. Dari konfigurasi anatomi ini , lokasi dari sebagian besar
struktur dari laring dapat diekstrapolasi untuk keperluan manipulasi, tempat melakukan insisi
operasi, electromyography, injeksi dan perlakuan lain. Karena diselubungi pada bagian atas dan
bagian bawah oleh strap muscle laring normal biasanya dapat digeser atau diputar pada satu
bagian ke bagian lainnya tanpa mengalami terlalu banyak kesulitan atau ketidaknyamanan.
Gerakan ini pada umumnya menimbulkan krepitasi yang dapat dirasakan oleh tangan pemeriksa

3
dan pasien daripada didengarkan dan berasal dari struktur kartilago laring yang bergeser di atas
struktur tulang dari vertebrae servikalis.

Struktur artikulasi pada kartilago laring akan menentukan rentang dan jarak dari
pergerakan dari plica vocalis dan dengan demikian memerlukan perhatian. Setiap sendi
cricotyroidea mengandung facies artikularis dangkal yang akan ditempati oleh tuberculum dari
cornu inferior dari kartilago tyroidea. Struktur berpasangan ini mengijinkan adanya gerakan
rotasi antara kartilago tyroidea dan cricoidea yang akan menghasilkan mekanisme gerakan
seperti kaca helm dengan pendekatan bagian depan kartilago akibat kontraksi musculus
cricotyroid. Pada saat arcus anterior dari cricoid bergerak naik,bagian posteriornya akan bergerak
turun sengan ikut membawa cartilage arytenoidea. Sebagai akibatnya plica vocalis akan
memanjang dan menipis, yang merupakan prinsip mekanisme dari meningkatnya kualitas suara
menjadi lebih tinggi. Ligamentum-ligamentum dari articulatio cricotyroid juga nampaknya
membolehkan adanya gerakan ventrodorsal, terutama pada saat facies articularis dari kartilago
cricoidea tidak terbentuk dengan sempurna atau malah tidak ada seperti yang terdapat pada
sekitar 70% laring (1). Gerakan bergeser ini dapat memiliki peranan sekitar 40% pada mekanisme
pemanjangan dari plica vocalis saat kontraksi musculus cricotyroidea.

Articulatio cricoarytenoidea merupakan articulatio utama untuk proses adduksi dan


abduksi pita suara. Gerakan kartilago arytenoidea terkadang ditunjukkan dengan rotasi sederhana
pada aksis vertical atau heliks, meskipun telah diketahui bahwa gerakan ini sebenarnya lebih
kompleks. Penyederhanaan berlebihan ini nampaknya terjadi akibat dua faktor. Yang pertama
tersedianya pemeriksaan klinis dari laring yang membuat perbedaan tinggi antara plica vocalis
sulit untuk diakses, yang akan membuat suatu interpretasi gerakan dari plica vocalis hanya dalam
satu bidang. Yang kedua kesalahan persepsi hanya akan berdampak kecil atau tidak berdampak
secara praktis dalam suatu konteks operasi laring dewasa ini.

Suatu mekanisme juga akan membagi gerakan dari arytenoid menjadi tiga aksis, namun
secara khayal hal ini akan membuat gerakan arytenoid menjadi terbagi-bagi yang menurut bukti
yang ada sebenarnya terjadi secara mulus pada lintasannya.

Kartilago arytenoid pada saat beristirahat akan terletak pada bagian atas dari tepi cephalic
dari cricoid. Permukaan-permukaan sendi akan saling berhadapan lebih lateral pada bagian

4
akhiran posteriornya dan berputar kearah superior karena bergerak ke bagian anterior. Hal ini
berfungsi sebagai jalan untuk pergerakan dari corpus arytenoid. Corpus arytenoid bergeser
anteromedial akibat terdorong dan kemudian menutup dan akan bergerak kearah posteromedial
pada saat ia membuka. Kebalikannya gerakan abduksi arytenoid mengarah ke lateral dan
superior, sehingga plica vocalis tidak bergerak ke arah corpus musculus tyroarytenoidea namun
bergerak ke atas menuju ventrikulus. Pemisahan processus vocalis secara vertikal ketika diukur
pada cadaver mencapai 2,4 mm. Facies articularis cricoarytenoid sering kali terletak tidak
simetris sehingga menyebabkan pola gerakan dari processus vocalis juga tidak simetris dimana
kita harus waspada seberapa besar perubahan patologik asimetri yang mempengaruhi pergerakan
plica vocalis. Wang telah menjelaskan bahwa posisi simetris hanya penting pada saat plica
vocalis berada dalam posisi adduksi (2).

Memahami bentuk tiga dimensi dari pergerakan plica vocalis adalah penting untuk
evaluasi klinis dan rehabilitasi dari insufisiensi glottis karena plica vocalis yang terdenervasi
(3,4)
dapat berhenti pada setiap titik dari lintasan normalnya . (Sebutan klasik untuk posisi pada
plica vocalis yang tidak bergerak-median, paramedian, cadaveric, dll.- tidak diterangkan dengan
jelas; istilah istilah ini tidak memiliki signifikansi secara topognostik maupun fisiologis
berlawanan dengan yang dipercayai selama ini). Kenyataannya, pada traksi muskulus yang
dikurangi atau ditiadakan, plica vocalis dapat membentang keluar dari lintasan ini, dan oleh
karena itu dinamakan “prolaps arytenoid” ketika processus vocalis dapat membentang pada sisi
bawah dari lintasan pergerakan normal. Laringoskopi tidak dapat melihat adanya perbedaan
ketinggian dan medialisasi sederhana seperti yang dicapai oleh implan tyroplasty saja, dan tidak
dapat memperkirakan plica vocalis yang terletak pada level yang sama.

Articulatio criciarytenoid cukup stabil untuk sebuah struktur yang membolehkan gerakan
ke banyak arah dari pergerakan arytenoid. Diseksi telah membuktikan adanya hubungan berlapis
dari ligamentum-ligamentum sendi yang akan memberikan stabilitas penting pada sebagian besar
arah. Banyaknya perlekatan dari musculus dan ligamentum cukup rawan untuk terjadinya
subluksasi (2). Pada eksperimen dengan cadaver meskipun tanpa dukungan dari kontraksi
muskulus aktif, sendi-sendi ini secara ekstrem cukup tahan pada terjadinya dislokasi, baik oleh
(5,6)
karena pemasangan endotracheal tube maupun manipulasi langsung . Bukti yang ada

5
menyatakan bahwa dislokasi articulation cricoarytenoid merupakan keadaan klinis yang sangat
jarang terjadi.

Otot dan Nervus

Muskulus intrinsik dari laring yang berorigo dan berinsertio pada kartilago laring
bertanggung jawab pada pergerakan dari plica vocalis (lihat Gambar 49.6). Muskulus abduktor
dari plica vocalis adalah muskulus cricoarytenoid posterior, diamna membentang dari bagian
posterior dari cricoids secara superolateral kepada processus muscularis arytenoidea. Antagonis
dari musculus ini adalah musculus tyroarytenoidea, yang membentang dari permukaan dalam
dari tyroid sampai pada corpus arytenoid. Bersama dengan musculus cricoarytenoid, muskulus
ini akan membentuk kompleks muskulus adductor utama dari plica vocalis. Kompleks ini
dibantu tetap dalam keadaan adduksi oleh musculus interarytenoid, yang merupakan satu-
satunya muskulus laring yang tidak memiliki pasangan. Musculus tyroarytenoid juga
memperpendek plica vocalis dengan traksi anterior dari arytenoid. Musculus cricotyroid yang
membentang dari permukaan eksterna anterior dari cricoids dan akan melekat secara luas pada
cincin kaudal dari tyroid berfungsi sebagai antagonis dari musculus tyroarytenoid dalam keadaan
ini. Musculus ini akan memperpanjang plica vocalis dengan mempengaruhi torsi dari articulation
cricotyroid seperti yang sudah kita lihat sebelumnya. Muskulus aryepiglotika minor seperti
merupakan proyeksi dari muskulus tyroarytenoid akan berfungsi menyebabkan kontriksi dari
plica ventricularis dan struktur supraglottis, dimana hanya merupakan pendukung karena katup
glottis biasanya memegang peranan pada proses bersuara pada keadaan patologis.

Terdapat bukti yang dipertimbangkan bahwa kompleks muskulus cricoarytenoid lateralis-


crycoarytenoid, muskulus cricoarytenoid posterior, dan muskulus cricotyroid dibagi menjadi
beberapa kompartemen yang ditandai dengan barier fascia dan berhubungan dengan pola
(7-10)
percabangan dari nervus laryngeus . Anggapan ini didukung oleh adanya perbedaan pada
(11)
konsentrasi tipe serat otot dan propioseptor khusus pada masing-masing kompartemen .
Sebagai contoh, divisi medial dari dari muskulus tyroarytenoid, yang dinamakan sebagai vocalis,
(12)
mengandung serat yang lambat yang tahan terhadap kelelahan . Hal ini menunjukkan bahwa
bangunan ini secara khusus akan sesuai pada aktivitas yang memerlukan kontraksi tonik yang
cukup lama seperti pada proses fonasi. Sebaliknya kompartemen lateral memiliki serat cepat
yang lebih mudah lelah yang lebih cocok pad aktivitas gerakan cepat seperti yang dibutuhkan

6
pada reflex penutupan glottis untuk proteksi airway. Perbedaan yang mirip juga muncul pada
kompartemen horizontal dan vertikal dari muskulus cricoarytenoid posterior. Tidak ada
perbedaan serat yang ditemukan dua kompartemen dari muskulus cricotyroid namun setiap
bagian memiliki arah gaya yang berbeda pada articulation cricotyroid dengan perbedaan pada
origo, insersio dan arah gerakannya (10,13).

Setiap hemilaring menerima masing-masing persarafan dari cabang ipsilateral dari nervus
vagus. Nervus laryngeus superior muncul dari pertengahan bagian bawah dari ganglion nodusum
sekitar 36 mm dibawah foramen jugulare (14) . Nervus ini berjalan pada bagian medial menuju
baik ke arteri karotis interna dan eksterna dan bercabang menjadi dua setelah panjang sekitar 15
sampai 20 mm. Cabang interna menembus membrana tyrohyoid bersama dengan arteri tyroidea
superior dan akan menginervasi mukosa laring lateral ipsilateral melali beberapa cabang nervus.
Cabang eksterna berjalan lateral menuju muskulus konstriktor inferior sampai ia berputar kea rah
anterior pada kurang lebih setinggi tepi inferior dari lamina cartilage tyroidea untuk mencapai
muskulus cricotyroidea. Perjalanan nervus ini dalam hubungannya dengan apeks dari lobus
tyroid dan vaskularisasinya sangat bermakna secara klinis. Sebagian besar nervus akan
menyilangi arteri tyroidea superior pada daerah yang jauh dari kutub superior dari tyroid.
Bagaimanapun sekitar 30 % dari nya akan menyilangi arteri ini pada jarak sekitar 1 cm dari
kelenjar tyroid, dan sekitar 20% sebenarnya juga berjalan dibawah kelenjar itu sendiri, yang
menunjukkan resiko yang bermakna pada operasi tyroidektomi (15,16).

Pada sisi sebelah kanan, nervus recurrent laryngis berasal dari cabang utama dari nervus
vagus pada saat vagus melintasi bagian anterior arteri subclavia dan berputar dibawah struktur
ini dan kemudian berjalan naik ke arah laring. Untuk kepentingan investigasi dari paralisis plica
vocalis bagian kanan, penting untuk memahami perjalanan dari nervus ini dapat memanjang
sampai kepada mediastinum superior. Pemeriksaan pencitraan diagnostik sebaiknya tidak hanya
dibatasi sampai pada bagian leher saja. Pada nervus bagian sinistra mengikuti pola yang sama
namun nervus akan berputar pada aorta bukan pada arteri subclavia yang menghasilkan
(17)
perbedaan perkembangan embriologis vaskularisasi pada masing-masing sisi . Jalur ini
berperanan besar menentukan kerentanan dari setiap nervus untuk mengalami jejas, baik yang
berasal dari manipulasi bedah, kompresi tumor ataupun penyakit lain.

7
Deskripsi klasik menyatakan bahwa nervus recurrent laryngis mensuplai inervasi motorik
pada semua muskulus intrinsik laring kecuali muskulus cricotyroid, yang menerima inervasi dari
cabang eksterna dari nervus laryngeus superior. Impuls sensoris dari level glottis dan daerah
sebelah atasnya ditransmisikan ke sistem saraf pusat melalui cabang interna dari nervus
laryngeus superior dan pada daerah di bawah glottis oleh nervus laryngeus inferior. Pandangan
ini, meskipun tidak salah, tidak mencerminkan kompleksitas dari sistem neuromuskular yang ada
pada laring. Dalam sejarah, ansa Galeni yang merupakan kepanjangan dari cabang interna nervus
laryngeus superior berjalan dibawah mukosa dari sinus piriformis, telah dianggap sebagai satu-
satunya cabang dari anostomis nervus laryngeus superior dan rekuren. Dalam bidang
neurospesifik meskipun tidak selalu konsisten namun cukup sering ada, telah ditemukan
hubungan antara cabang externa dari nervus laryngeus superior dengan nervus rekuren laryngis
(7,18,19)
pada muskulus tyroarytenoid . Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa inervasi
bilateral dari muskulus interarytenoidea juga mengandung anastomosis antara nervus
kontralateral, yang mungkin akan dikontribusi dari cabang internal dari nervus laryngeus
superior (20,21).

Signifikansi fisiologi yang pasti dari pandangan anatomi menegnai nervus dan muskulus
ini tetap tidak dapat dipastikan, namun konsep tradisional dari anatomi laring telah direvisi oleh
meningkatnya ketertarikan pada spesialisasi dari masing-masing muskulus dan kemungkinan
lebih kompleksnya skema persarafan dari laring dimana terdapat lebih banyak jalur anostomosis
dari yang semula diperkirakan, percabangan dari nervus, dan pleksus terminalis. Gambaran ini
mungkin dapat membantu untuk menjelaskan tidak hanya tendensi kuat mengenai reinervasi dari
laring pada manusia namun juga mengapa seringkali terjadi disfungsionalitas inervasi dan
mengapa reinervasi bedah dinamis tetap menjadi problem klinis yang menantang.

Membrana Plica Vocalis

Masing-masing pasangan struktur jaringan yang dibentuk oleh muskulus tyroarytenoid


dan penutup jaringan lunaknya, yang membentang dari processus vocalis dari arytenoid menuju
bagian anterior midline dari kartilago tyroid, yang diketahui sebagai plica vocalis. Struktur ini
membentuk katup utama dari penutupan glottis dan hal yang menarik untuk kita adalah untuk
resistensi glottis yang dibutuhkan pada proses fonasi. Fungsi yang terakhir ini tergantung pada
mikroarsitektur yang unik dan rumit pada tepi bebas dari plica vocalis (lihat gambar 49.8).

8
Plica vocalis ditutupi oleh lapisan tipis dari epitel skuamus yang berbeda dari epitel
traktus respiratorius dari bagian lain laring dan trakea. Dibawahnya terdapat lamina propria,
sebuah lapisan lentur dari protein fibrous, termasuk elastin, kolagen, dan elemen ekstra selular,
yang masing-masing bersesuaian dengan fungsi biomekanikal yang unik. Sebuah populasi dari
sel yang mengandung terutama fibroblast dianggap bertanggung jawab dari produksi dan
(32,33)
regulasi komponen dari lamina propria juga ditemukan . Lamina propria superficialis
membentang di bawah membrana basalis dari epitel dan mengandung konsentrasi yang paling
rendah dari protein fibrous. Lamina propria superficialis seringkali dijelaskan, dengan tidak
benar sebagai ruang potensial. Dalam kenyataannya, ia memiliki ketebalan dan massanya sendiri
–sekitar 0,5 mm pada bagian tengah dari plica vocalis orang dewasa (34) dan merupakan struktur
anatomi yang terpisah, tidak seperti pada ruang potensial sebenarnya antara pleura pulmonalis
dan dinding dada. Benar bahwa struktur ini menyebabkan hambatan kecil pada injeksi cairan
misalnya namun fungsi ini lebih kepada akibat struktur jaringan longgarnya disbanding karena
pemisahan anatomis. Eponim yang sudah sejak ada sejalk lama dari “Reinke’s space” adalah
salah dan harus dikoreksi menjadi “Reinke Layer” atau tidak digunakan sama sekali. Lamina
propia superficialis yang memiliki kedalaman substansi adalah kunci dari setiap orang yang akan
melakukan operasi pada lesi dari plica vocalis.

Dibawah dari lapisan superficial dari lamina propria membentang lapisan intermediate
dan profunda. Struktur ini tidak dipisahkan secara jelas satu sama lain., namun hanya sebagai
gradien sepanjang konsentrasi jaringan elastin menurun dan jaringan kolagen meningkat semakin
menuju ke profunda. Kekakuan akan meningkat pada peningkatan jaringan kolagen. Bersama-
sama struktur ini akan membentuk ligamentum vocalis dan akan berkelanjutan dari dinding dari
conus elastikus yang berasal dari bagian bawah. Bersama dengan lamina superficialis propria
(22)
dan epitelium, struktur ini akan membentuk mukosa dari plica vocalis . Di dalam mukosa ini
membentang muskulus tyroarytenoid, yang nampaknya mengandung perbedaan fungsionalitas
yang jelas dari kompartemen superfisial dan profunda seperti yang telah kita ketahui
sebelumnya.

Untuk alasan yang akan sering muncul pada fisiologi dari fonasi, lapisan struktur dari
plica vocalis dibagi menjadi “tutup” dan “badan”, masing-masing dengan perbedaan
fundamental dari komponen fisik yang akan memainkan peranan pada proses fonasi. Bagian

9
tutup dari plica vocalis termasuk dari epitelium dan lamina propria superfisialis. Ligamentum
menunjukkan adanya zona transisi yang secara variabel ditandai penulis baik pada bagian badan
dan tutup serta bagian badan juga termasuk muskulus interarytenoid (22).

Anatomi dari penutupan glottis cukup berperan secara fisiologis. Ketika diperiksa pada
potongan melintang, plica vocalis tidak meruncing menjadi apeks medial yang tajam, melainkan
mendatar dan memiliki kontur yang tumpul. Sebagai hasilnya area kontak dari plica vocalis
dalam adduksi memiliki dimensi vertikal (dalam sebagian besar kondisi fonasi) dan mukosa dari
setiap plica vocalis mendekat satu sama lainnya pada sebuah bidang yang besar daripada pada
sebuah bidang tunggal. Hal ini tidak seluruhnya intuitif karena laringoskop dalam cahaya yang
kontinyu (berkebalikan dengan cahaya stroboskopik) cenderung untuk membuat kesan bahwa
penutupan plica vocalis merupakan fenomena dua dimensi, juga seperti pemeriksaan ini
mendistorsi proses aduksi dan abduksi dengan cara yang sama. Kontur dari plica vocalis dapat
dimodifikasi oleh muskulus dari laring, dengan konsekuensi pada suara yang diproduksi.

Perubahan Laring Sesuai Umur

Saat kelahiran laring terletak lebih tinggi dari faring daripada yang terdapat pada orang
dewasa. (lihat gambar 49.1). Pada posisi ini, bagian superior dari epiglottis akan tumpang tindih
dengan bagian caudal dari palatum mole yang secara efektif akan memisahkan traktus
respiratorius dengan traktus digestivus. Hal ini kemungkinan merupakan adaptasi yang
diperlukan untuk menyusui dimana bayi harus dapat bernafas dan menyedot ASI secara
bersamaan. Pada waktu yang sama hal ini akan meningkatkan keamanan dari proses menelan,
posisi laring ini memastikan bayi hanya bernafas melalui hidung sampai proses pematangan dan
turunnya laring dimulai. Posisi yang lebih rendah dari laring pada orang dewasa memberikan
kemampuan untuk meningkatkan rentang dan kompleksitas dari fonasi dengan mengatur mulut
dan lidah dalam proses mengubah-ubah suara dengan kerugian adanya peningkatan resiko untuk
tersedak dan aspirasi. Evolusi tersebut secara pasti memberikan keuntungan biologis yang nyata
dalam proses fonasi.

Struktur berlapis dari plica vocalis belum muncul pada saat kelahiran; struktur ini akan
(22,25)
berkembang selama masa kanak-kanak dari mukosa yang homogeny dan hiperselular .
Lapisan lamina propria muncul saat usia mencapai 2 bulan, namun prosesnya belum selesai

10
sampai pada usia 13 tahun ketika plica vocalis mencapai konfigurasi histologis dewasa. Hal ini
terjadi kurang lebih bersamaan dengan mulainya perkembangan struktur konfigurasi laring pada
saat pubertas. Pertumbuhan ini lebih spesifik terjadi pada laki-laki, dimana padanya akan diikuti
dengan pemanjangan dan penebalan dari plica vocalis yang akan berkontribusi pada suara laki-
laki dewasa (24).

Menilai perubahan laring secara khusus akibat proses penuaan dipersulit oleh adanya
kesulitan untuk memisahkannya dari berbagai macam komorbid seperti penyakit neurologis dan
penyakit parenkim pulmo. Bukti menunjukkan bahwa perubahan terkait usia bukan merupakan
perubahan neurologic ataupun muscular namun berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada
lamina propria. Secara umum fibroblast yang menghasilkan elemen lamina propria superficial
(26-28)
menjadi lebih tidak aktif secara metabolism . Sebagai konsekuensinya lamina propria
(29)
menjadi tipis sebagai akibat dari kehilangan serat kolagen . Kekakuannya meningkat secara
(30)
signifikan akibat peningkatan jaringan kolagen . Perubahan ini lebih jelas pada pria. PAda
(27)
wanita, oedema dari lamina propria lebih penting untuk alas an yang belum jelas . Sebagai
tambahan terhadap perbedaan gender, variasi signifikan dari individu ke individu juga muncul
(31)
dalam proses penuaan dari laring . Masih banyak yang harus dipecahkan dalam bahasan ini,
namun nampaknya sudah jelas yang berasal dari bukti-bukti yang ada bahwa yang terjadi dalam
proses penuaan dari laring bukan hanya hanya proses kehilangan dari musculus yang sudah rusak
namun juga perubahan dari karakteristik vibratorik dari tutup dari plica vocalis.

FISIOLOGI

Perlindungan Jalan Nafas

Fungsi biologis laring yang paling utama adalah melindungi jalan nafas, yang sebagian
besar melalui mekanisme penutupan glottis. Perbandingan anatomi menunjukan struktur laryng
(32)
yang kasar, contohnya adalah spingter untuk melindungi paru-paru dari masuknya air .
Kelebihan dari mekanisme penutupan dari-plica vocalis, plica ventricularis, dan epligottis-dan
adanya bagian special yaitu kompertament lateral dari otot tyroarytenoid memiliki peran primer
yang penting dalam aksi tersebut. Tidak mengejutkan mengetahui bahwa reseptor sensoris
dibagian laryng dapat merespon berbagai macam jenis stimulus baik mekanis dan kimiawi.
Terdapat bukti adanya senstifitas spesifik terhadap pH ion klorida, ion natrium, dimana stimulasi

11
(33)
dari ion-ion tersebut berarti adanya deviasi yang terdeteksi dari bentuk fisiologis . Rangsangan
penutupan laryng melalui sebuah arcus refleks yang dibentuk oleh nervus laryngeus superior dan
rekuren laryngis. Atomatisitas dari penutupan laring telah digunakan oleh para klinisi untuk
melakukan sebuah tes untuk mengetahui integritas dari respon sensasi pada laring (34).

Fenomena dari laryngospasme sepertinya muncul sebagai akibat dari aktivasi secara terus
menerus dari refleks penutupan laring sebagai akibat dari faktor-faktor yang belum secara
keseluruhan dapat diketahui. Reseptor laring mungkin dapat berperan sebagai pemacu untuk
terjadinya respon ekstralaringeal seperti apnea, bronkokonstriksi, bradikardi, dan perubahan pada
resistensi vaskular perifer, yang kesemuanya dapat dimediasi oleh aktivasi respon eferen vagus
(33)
termasuk simpatomimetik . Terdapat spekulasi bahwa respon ini, ditambah dengan sistem
saraf yang masih prematur, dan mungkin sebagai reaksi dari refluks laringofaringeal dapat
mendasari sindrom kematian pada bayi (35,36).

Mekanisme batuk dan pembersihan tenggorokan menunjukkan adanya tambahan dan


integrasi dari komponen respirasi untuk proteksi airway dan dapat disadari. Penutupan glotis
setelah terjadi inspirasi membolehkan seseorang untuk menaikkan tekanan udara subglotis dan
meggunakan ekshalasi paksa bertekanan tinggi untuk membersihkan bahan iritan atau sumbatan.

Respirasi

Laring berperan aktif dalam proses respirasi sebagai regulator jalan nafas. Aktivitas laring
terutama pada gerakan otot krikoarytenoid porterior (terutama yang berjalan horizontal),
abduktor tunggal plica vocalis, yang berfungsi untuk meniadakan dan mengantisipasi tekanan
negatif intraluminal yang dihasilkan oleh kontraksi diafragma (inspirasi). Otot krikoaritenoid
posterior tidak hanya bergerak bersama dengan otot respirasi seperti aktivitas kerja kaca (efek
saling berkebalikan) selama siklus respirasi. Tetapi tampaknya otot ini memiliki kemampuan
untuk segera merespon perubahan tekanan udara, temperatur, kelembaban, dan konsentrasi CO2.

Terdapat ketidaksetujuan dimana adduksi dari plica vocalis selama ekspirasi


merepresentasikan gerak aktif adduksi atau sekedar relaksasi pasif dari otot posterior
krikoaritenoid. Hal ini terlihat jelas pada beberapa situasi, adduksi sendiri merupakan sebuah
gerak aktif dan ukuran dari celah glottis merupakan faktor utama kecepatan respirasi, dengan
cara mengontrol durasi ekshalasi.

12
Manuver Valsava

Tekanan yang relatif tinggi dari penutupan glottis dibutuhkan untuk fiksasi thoraks yang efektif
dari manuver valsava. Variasi yang luas sebagai suatu usaha aktivitas fisik tergantung pada
peningkatan integritas dari manuver fiksasi thoraks, termasuk gerakan mengangkat, menekan,
bangun dari posisi duduk, dan memanjat. Gerakan-gerakan tersebut tergantung dari kemampuan
gerak tiap individu. Secara klinis, gerak manuver valsava mungkin merupakan salah satu gejala
kesalahpahaman yang terkait dengan insufisensi glottis seperti pada paralisis plica vocalis. Hal
ini sering salah dikenali dengan bernafas pendek karena obstruksi dapat mengecoh pemeriksa
dari penilaian langsung terhadap pentingnya untuk memperbaiki kompetensi glottis.

Suara

Dalam bersuara, fungsi laring sebagai sebuah kesatuan kecil dari keseluruhan sistem
respirasi. Laring membentang diatas percabangan trakeobronkial dan paru, dan disaat yang
bersamaan menjadi alasan revolusional untuk menjadikan udara sebagai sumber energi utama
untuk fonasi. Distal laring adalah struktur yang berperan dalam resonansi dan artikulasi dari
faring, mulut dan rongga hidung,walaupun tidak terlalu penting bagi fonasi, tetapi perubahan
pada output laryngeal sampai tingkat tertentu mungkin tidak akan disadari oleh pendengar.
Fonasi mencerminkan interaksi yang kompleks dari berbagai elemen, bagian-bagiannya akan
dibahas lebih lanjut dalam teks ini. Bersuara, seperti yang telah dibahas diatas, fokus pada fungsi
laring untuk mempertahankan fonasi sebagai langkah awal dalam mendeteksi kelainan suara.
Berbagai aspek yang penting belum diketahui, dan beberapa peneliti masih berusaha untuk
mengeksplorasi topik ini lebih lanjut.

Fonasi merupakan hasil dari interaksi antara udara yang dihembuskan dan elemen
biofisik dari pita suara, yang dijelaskan dalam teori myoelastic-aerodynamic theory of phonation.
Ssiklus glottis dimulai dengan akumulasi tekanan udara terhadap dinding konvergen dari
subglotis, hasil dari udara yang dihembuskan ditutup, atau idealnya menutup plica vocalis. Pada
tekanan udara tertentu, udara mulai menekan dasar dari plica vocalis. Penutupan plica vocalis
terjadi secara vertikal,dan peningkatan tekanan udara mengangkat plica vocalis dari inferior ke
superior secara progresif. Saat udara melewati daerah plica vocalis yang sedang berkontraksi,
udara akan dipercepat sampai udara mencapai lumen supraglotis yang lebar, lalu melambat lagi.

13
Energi total harus dipertahankan konstan, sehingga peningkatan kecepatan akan menurunkan
tekanan di area yang mengalami kontriksi, tergantung pada hubungan yang telah disimpulkan
oleh konsep keseimbangan Bernouli. Tekanan yang rendah pada area kontriksi merupakan faktor
yang penting bagi penutupan glottis.

Tekanan udara di dalam glottis menekan plica vocalis ke arah lateral saat melewatinya.
Hal ini dimungkinkan karena adanya sifat elastisitas plica vocalis, dan gerak yang progresif
menghasilkan peningkatan tekanan progresif yang seimbang dalam jaringan yang menyokong
plica vocalis kembali ke tengah . tekanan ini, dikombinasikan dengan penurunan tekanan
intraluminal memulai penutupan sudut terbawah glottis, walaupun sudut teratas glottis terbuka
karena adanya aliran udara. Perbedaan fase vertikal tersebut penting didalam pengaturan siklus
glottis dan menghubungkan gerakan mukosa dapat terekam di dalam stroboskopik atau
pemeriksaan fotografi kecepatan tinggi. Saat glottis telah kembali ke bentuk semula, siklus
glottis akan berulang. Karakteristik dari siklus glottis tergantung pada sifat jaringan yang
dilewati udara, termasuk sifat elastisitas dan viskositas mukosa plica vocalis dan aktivitas otot
intrrinsik laring, dan energi yang dihantarkan oleh aliran udara.

Osilasi plica vocalis di dalam siklus glottis mengubah aliran udara dari tekanan yang
konstan menjadi tekanan yang berubah secara teratur, dimana secara fisik dapat kita dengar
sebagai suatu bunyi. Seperti fenomena periodik yang lain, suara dapat dideskripsikan dalam
bentuk yang tergantung pada tekanan aliran gelombang—berupa amplitudo, frekuensi, morfologi
gelombang, dan periodisitas gelombang. Masing-masing dari elemen diatas berhubungan satu
sama lain membentuk—kekerasan, nada, dan kualitas suara. Hal ini dapat berubah-ubah
tergantung dari kontribusi aerodinamik siklus glottis (tekanan udara dan kontribusi mioelastis
(anatomi jaringan dan kekakuan jaringan) atau keduanya.

Amplitudo tekanan gelombang ditangkap sebagai tingkat kekerasan atau intensitas suara.
Secara sederhana untuk meningkatkan kekerasan suara adalah dengan cara meninggikan tekanan
udara di subglotis dengan melakukan penghembusan udara secara kuat dan aktif. Dan juga,
perubahan jaringan harus terjadi untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, atau hal ini akan
menekan siklus glottis dengan mendayagunakan sifat elastisitas plica vocalis. Karena tidak
mungkin untuk meningkatkan kekakuan dari plika yang mengalami paralisis, peningkatan
tekanan secara sederhana menekan plika ke lateral, sehingga suara yang lirih saat mengambil

14
nafas terdengar seperti berteriak. Dibawah situasi normal, peningkatan ketegangan plica vocalis
karena kontraksi dari otot-otot penggeraknya (otot tiroarytenoid dan juga krikotyroid)
meningkatkan resistensi glottis, mengembalikan keseimbangan tekanan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan siklus glottis.

Frekuensi dasar, kecepatan osilasi plica vocalis, sangat berperan dalam membentuk suatu
nada. Kecepatan ini merupakan fungsi plica vocalis di satu sisi dan massa di sisi yang lain.
Mekanisme pengontrolan nada melibatkan interaksi antara krikoarytenoid, otot krikotyroid, dan
tekanan udara. Kontraksi otot krikotiroid memanjangkan plica vocalis, meningkatkan tegangan,
menurunkan massa per satuan panjang, dan juga meningkatkan frekuensi. Sebaliknya, kontraksi
oto tiroarytenoid akan memendekkan plica vocalis, menurunkan tegangan, meningkatkan massa
per satuan panjang, dan menurunkan frekuensi. Hubungan ini tidak berlaku untuk semua
ontensitas suara, karena fonasi yang keras pada frekuensi yang rendah, tidak hanya melibatkan
mukosa tetapi juga otot vokalis di dalam getarannya. Sebagai hasilnya, kontraksi akan
meningkatkan tegangan dan kemudian frekuensi.

Secara prinsip dalam mengontrol nada, pembahasan tentang anatomi organ dan mukosa
plica vocalis memegang peranan penting. Organ berupa sebuah otot dengan kemampuan
berkontraksi yang dapat menghasilkan perubahan besar dalam massa dan kekakuan. Mukosanya
lembut, kental, merupakan struktur non muskuler, kekakuannya tergantung dari elemen ekstra
seluler dan faktor ekstrinsik dan sangat bervariasi jika dibandingkan dengan organ. Kedua bagian
ini terpisah – dimana, mereka berperan terpisah dalam osilasi plica vocalis selama proses fonasi.
Bersama-sama, mereka berperan untuk mempertahankan elastisitas glottis, dan menjaga
integritas siklus glottis, walaupun terdapat variasi yang luas dari pemanjangan dan tegangan
plica vocalis yang mungkin saja terjadi.

Dalam kenyataannya, nada dan kekerasan suara merupakan fenomena yang tidak
terpisahkan, mereka dihubungkan dengan aerodinamik dan mioelastisitas. Tekanan udara yang
semakin tinggi akan meningkatkan regangan plica vocalis, yang akan menurunkan massa dan
meningkatkan tegangan, menghasilkan suatu frekuensi yang lebih tinggi. Penelitian
menunjukkaan bahwa frekuensi meningkat bersamaan dengan intensitas suara walaupun sudah
dilakukan kompensasi yang disengaja.

15
Dalam bentuk yang lebih umum, suara serak secara persepsi berhubungan dengan
gangguan pada regularitas siklus glottis dan kesulitan bernafas akibat insufisiensi glottis. Sebuah
review dari kelainan bersuaramemperlihatkan berbagai variasi yang memungkinkan hal ini
terjadi. Edema, luka, perubahan karena menua mempengaruhi kekakuan mukosa plica vocalis,
dan cukup substansial, edema dapat mempengaruhi massa sedemikian rupa. Lesi pada massa
berpengaruh pada penutupan glottis, dan berakibat pada elastisitas dan kelembutan mukosa plica
vocalis. Gangguan yang tidak dapat diperbaiki, mempengaruhi kemampuan massa dan kekakuan
badan plica vocalis, walaupun tetap terjadi proses penutupan glottis saat adduksi. Jika plica
vocalis tidak dapat mendekati, percabangan fonasi akan meningkatkan tekanan, kadang-kadang
tergantung pada kemampuan masing-masing individu.

Evaluasi

Riwayat Penyakit

Gangguan bersuara telah menjadi objek pemeriksaan klinis yang sudah cukup lama dan
kurang mengalami kemajuan meskipun telah tersedia berbagai instrumen untuk mengukur
akustik maupun aerodinamik. Pada sebagian besar kasus, pengaruh penting pertimbangan
personal dan subjektif akan mempengaruhi tidak hanya keluhan pasien pada suara namun juga
harapan akan hasil terapi. Sebagai konsekuensinya evaluasi medis dari gangguan bersuara
memerlukan perhatian pada beberapa faktor yang melebihi dari anamnesa biasa pada seorang
yang memiliki keluhan gangguan pada kepala leher lainnya. Hal ini juga termasuk karakteristik
yang hati-hati dari masing-masing keluhan, termasuk awal dan beratnya gejala, dan juga
termasuk kebutuhan pasien akan suaranya serta bagaimana kebiasaan pasien. Pendekatan ini
akan dapat mengetahui bagaimana keterbatasan fungsional yang dialami pasien akibat gangguan
pada suaranya.

Melalui anamnesa, para ahli THT pertama kali harus memahami untuk aspek apakah dari
gangguan produksi suara dimana yang membuat pasien mencari bantuan. Persepsi pasien dari
problem suara sangat bersifat individual dan secara langsung terkait pada jumlah dan tipe dari
kebutuhan suara:Sebagai contoh keluhan serak pada seorang guru akan berbeda dari keluhan
serak pada seorang penyanyi ataupun seorang mandor banngunan. Serak secara luas digunakan
untuk berbagai variasi dari fenomena dari yang merujuk dari adanya perubahan kualitas suara,

16
kelelahan fonasi, kekerasan suara, frekuensi yang terbatas, peningkatan usaha untuk bersuara,
pernafasan yang terganggu, kualitas menyanyi yang terganggu, ataupun gangguan lain. Gejala ini
bukan selalu yang ditemukan oleh para klinisi yang akan mengganggu pasien.

Persepsi beratnya dari masing-masing keluhan juga tergantung dari masing-masing


intrepetasi personal. Masing-masing individu memiliki harapan dan kebutuhan dari suaranya
yang tidak selalu merupakan kebutuhan dari pekerjaannya ataupun faktor lain yang mungkin
mudah diperkirakan dan seringkali berbeda dengan yang diasumsikan oleh para ahli-THT.
Kebanyakan orang dengan disfonia tidak datang ke tenaga medis dan tidak sadar akan adanya
masalah yang terjadi. Yang lainnya hanya ingin dipastikan apakah disfonia yang terjadi padanya
bukan karena suatu keganasan. Masih ada yang lainnya yang mengeluhkan gangguan fonasi
yang yang nampaknya bukan merupakan problem bagi orang biasa dan biasanya terkait dengan
aktivitas sosialnya. Dalam usaha untuk membantu menggali karakteristik dari keluhan suara
seorang individu, beberapa kuesionair yang telah terstandar dan tervalidasi secara statistik telah
dikembangkan. Diantaranya, Voice Handicaped Index (VHI) (44) dan Voice Related Quality Of
Life (V-RQOL) (45) adalah yang paling banyak digunakan. VHI-10 (46) adalah hasil pengembangan
dari kuesionaer sebelumnya dan makin membuatnya makin mudah digunakan tanpa kehilangan
validitas statistiknya. Kuesioner ini akan berguna untuk memahami bagaimana motivasi pasien
dan memberikan rekomendasi terapi yang benar. Saat digunakan sebelum dan sesudah terapi
kuesioner ini juga dapat digunakan untuk menilai keluaran terapi, yang dapat memberikan
perbandingan antar intervensi, teknik dan penelitian.

Kita telah melihat bahwa fonasi tergantung dari integritas siklus glotis. Dalam ruang
lingkup pada umumnya , siklus glotis berulang pada sekitar 100 kali per detik pada laki-laki dan
220 kali per detik pada wanita. Stress fisik pada jaringan dari atap plica vocalis hanya merupakan
permulaan dari hal-hal yang harus dikarakteristik oleh investigator, namun dapat
dipertimbangkan. Stress ini juga dikenal sebagai phonotrauma, memiliki potensi untuk untuk
menyebabkan perubahan pada komponen osilator pada plica vocalis dan bahkan dapat
menyebabkan cedera jaringa lokal. Ketika seorang indivdu menggunakan suaranya secara
ekstensif atau dalam ruang lingkup lain phonotrauma maka potensi kerusakan dari plica vocalis
berkembang. Karena phonotrauma dapat menjadi penyebab tunggal yang paling penting yang

17
mendasari adanya lesi jinak pada plica vocalis , menilai bagaimana kebiasaan penggunaan sura
merupakan hal yang esensial pada anamnesa.

Sebagai faktor medis independen, phonotrauma terkait dengan jumlah dan intensitas dari
penggunaan suara (dimana dapat merupakan hasil dari kebutuhan suara, yang biasanya
diakibatkan sebagai kebutuhan pekerjaan seseorang) dan kegiatan bersuara yang eksesif serta
tidak tepat, yang biasanya ada pada orang yang cerewet dan dengan kepribadian ekstrovert.
Seorang guru sebagai contoh seringkali menjadi pasien dengan gangguan suara akibat
pekerjaannya yang membutuhkan suara yang tiada henti dan bukan akibat kebiasaan
personalnya. Membedakan antara kebutuhan dan kecenderungan personal merupakan hal yang
penting untuk membuat rencana terapi yang sesuai. Seorang ahli THT biasanya hanya menerima
sedikit atau bahkan tidak menerima pelatihan mengenai aspek kebiasaan dalam fonasi.
Kemungkinan akibatnya “vocal abuse” seperti juga serak merupakan istilah yang digunakan
secara luas dan tidak dapat didiskriminasi dalam bidang THT sebagai sinonim dari phonotrauma.
Bagaimanapun hal ini tidak selalu benar, dan sering kali tidak membantu, secara simpel hanya
menyalahkan pasien atas kebiasaannya menggunakan suaranya.

Seorang ahli patologi bicara-bahasa dimana memiliki kema puan dan pengalaman di
bidang manajemen dari masalah suara dapat memberikan pertimbangan yang dalam pada
evaluasi dari problem suara terutama yang terkait dengan masalah kebiasaan. Ahli patologi
bicara-bahasa dapat memfokuskan pada faktor-faktor pada anamnesa dan teknik vokal dari
seseorang yang dapat berkontribusi pada terjadinya phonotrauma dan dapat juga bereksperimen
dengan teknik terapi pada kunjungan awalnya. Tidak hanya hal ini dapat membantu untuk
menentukan bagaimana cara terbaik untuk mengetahui letak masalah pada kebiasaan pasien,
namun juga dapat membedaka adanya gangguan malingering atau gangguan psikogenik dengan
gangguan organik dan juga dapat memfasilitasi pemeriksaan laring itu sendiri dengan menilai
akibat dari kebiasaan seperti hiperfungsi plica vocalis pada kasus-kasus dengan insufisiensi
glotis.

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan suara memiliki elemen-elemen khusus, tidak kurang darinya adalah dengan
mengggunakan telinga sebagai instrumen diagnostik. Pemeriksaan ini dimulai dengan penilaian

18
kualitatif dari suara sebelum pemeriksaan dengan menggunakan laringoskop. Abnormalitas
secara kasar dapat dengan mudah diketahui saat pasien menjelaskan bagaimanakah keluhannya,
lebih lajut lagi pemeriksaan memerlukan manuver khusus dan penugasan fonasi untuk mencari
dimanakah kesalahan yang terjadi dalam proses fisiologi fonasi. Fonasi dengan intensitas rendah
dan bernada tinggi yang berakibat pada terjadinya berhentinya suara , iregularitas, dan
keterlambatan pada onset suara menandakan adanya lesi mukosa yang kecil. Berkurangnya
waktu fonasi maksimum (normalnya lebih dari 20 detik) dan limitasi dari volume menunjukkan
adanya penutupan glotis yang tidak sempurna. Hal ini dapat membutuhkan pengucapan huruf
vokal yang terus menerus untuk mengetahui adanya tremor atau ketidakstabilan lainnya. Seorang
klinisi sebaiknya mengembangkan kesan diagnostiknya berdasarkan hal-hal ynag ditemuka dari
anamnesa dan penilaian suara daripada pemeriksaan visual terhadap laring. Ketidak sesuaian
antara pemeriksaan diagnostik awal dengan penemuan pada saat laringoskopi seharusnya
memberikan peringatan bahwa evaluasi klinis belum lengkap dilakukan. Pemeriksaan dengan
fiberoptic fleksibel yang menunjukkan tidak adanya patologi pada mukosa ketika kualitas suara
menunjukkan adanya gangguan merupakan situasi klinis yang tidak jarang terjadi. Daripada
bertahan dengan diagnosis yang tidak spesifik dan samar-samar seperti laringitis kronis dan
refluks yang merupakan favorit saat ini, para dokter sebaiknya melanjutkan ke endoskopi rigid,
stroboskopi, dan bahkan teknik yang lebih khusus untuk memecahkan ketidaksesuaian ini.

Skala yang secara luas diketahui yaitu Grade, Roughness, Breathiness, Asthenia, and
(47)
Strain (GRBAS) dan yang lebih baru adalah Consensus Auditory-Perceptual Evaluation of
(48)
Voice (CAPE-V) menunjukkan adanya usaha untuk mensistematisasikan penilaian kualitatif
terhadap suara dan menstandarrdisasi istilah yang digunakan. Skala ini lebih memberikan
kegunaan deskriptif daripada diagnostik. Meskipun bukan merupakan hal yang esensial bagi
pemeriksaan klinis secara rutin skala ini berguna untuk memfokuskan penilaian dan untuk
menilai keluaran klinis dan juga efikasi.

Laring dapat secara langsung diperiksa dengan berbagai cara. Pemeriksaan yang patut
diutamakan dengan menggunakan kaca laring akan memberikan keuntungan resolusi optik yang
tajam dan fidelitas dari warna, namun dalam prakteknya pemeriksaan ini tidak dapat
memberikan kemampuan untuk mencatat hasil pemeriksaan dan seringkali kesulitan dalam
teknik pemeriksaan. Laringoskop fiberoptik fleksibel telah tersedia luas pada hampir setiap

19
kantor dari ahli THT dan akan memberikan visualisasi yang maksimal pada plica vocalis. Hanya
sebagian kecil pasien yang tidak dapat mentoleransi pemeriksaan ini. Laringoskopi fiberoptik
fleksible juga hanya sedikit mengganggu dari dinamika laring, membolehkan visualisasi saat
pasien sedang berbicara yang merupakan fasilitas dari laringoskop fleksibel yang membuatnya
menjadi instrumen pilihan dalam pemeriksaan dari sebagian besar gangguan neurologis (lihat
bab 62). Penemuan yang sering dari spasmodik disfonia, tremor, dan kelainan lain dapat berubah
atu menghilang ketika lidah ditarik ke depan atau pada saat laringoskopi peroral. Dinamika glotis
pada kasus kasus dengan paralisis atau paresis plica vocalis akan lebih akurat apabila dilakukan
tanpa melakukan traksi dari lidah. Bagaimanapun karena tergantung pada fiberoptik instrumen
laringoskop fleksibel fiberoptik secara optik masih dibawah dari semua pemeriksaan laring lain
termasuk dengan menggunakan kaca laring dan terkadang tidak dapat memperlihatkan adanya
lesi mukosa yang kecil. Rancangan yang baru telah mengubah snyal optik menjadi sinyal digital
pada ujung dari endoskop (yang dinamakan “chip-tip”) dapat memperbaiki kualitas gambarnya.
Laringoskopi rigid yang mentransmisikan gambar melalui eyepiece melalui pipa kaca
memberikan kualitas optik dengan resolusi tinggi dengan harga kebutuhan kemampuan teknik
pemeriksaan yang juga tinggi mirip dengan kesulitan yang terjadi saat pemeriksaan dengan kaca
laring. Sebagai kesimpulannya alat ini merupakan alat yang superior untuk mengevaluasi adanya
lesi masa atau kelainan anatomis lain namun tidak untuk kelainan dinamika laring.

Persepsi yang terbatas dari semua teknik pemeriksaan laring yang seringkali digunakan di
kantor akan membatasi terhadap fungsi laring secara tiga dimensional seperti yang kita lihat dari
pergerakan plica vocalis secara kasar dan penutupan glotis. Usaha untuk menghilangkan
keterbatasan ini dengan melaksanakan pemeriksaan yang teliti tidak selalu memberikan hasil
yang akurat dan dapat menyebabkan kebingungan diagnostik yang signifikan. Para endoskopis
harus selalu menyimpan hal ini di dalam benaknya.

Stroboskopi menggunakan sumber cahaya pulsasi untuk memberikan ilusi dari osilasi
pergerakan lambat dan kontinyu. Frekuensi dari pulsasi cahaya sedikit berbeda dari siklus glotis,
menghasilkan serial gambar pada plica vocalis pada titik yang berbeda sedikit sepanjang siklus
glotis, yang kemudian difusikan oleh mata pemeriksa secara kontinyu. Efek dari stroboskopi
bergantung dari waktu yang akurat dari pulsasi cahaya dalam hubungannya dengan frekuensi
dari fonasi dan oleh karenanya akan lebih akurat pada saat osilasi plica vocalis berjalan secara

20
periodik. Saat ini kita telah mengetahui bahwa adanya gangguan pada periode merupakan
komponen yang penting dari terjadinya disfonia. Apabila berat, hal ini akan mempengaruhi dari
waktu penyinaran dari stroboskop dan kualitas dari pemeriksaan. Meskipun dengan kelemahan
ini, stroboskopi merupakan satu-satunya cara untuk memperlihatkan okualitas optik silasi dari
mukosa secara rutin di klinik, dan erupakan pemeriksaan yang optimal-biasanya satu-satunya-
untuk mengidentifikasi pliabilitas yang abnormal dari mukosa. Tampaknya pemeriksaan ini
merupakan instrumen diagnostik tunggalpaling kuat pada kebanyakan kasus dengan disfonia
terutama pada kelainan yang terkait dengan gangguan dari vibrasi mukosa (sebagai contoh bekas
luka atau sulcus).

Stroboskopi seringkali dipertimbangkan merupakan sinonim dengan pemeriksaan


menggunakan endoskopi rigid dan perekam video. Karena kualitas optiknya endoskopi rigid
merupakan kendaraaan yang ideal untuk pemeriksaan stroboskopi. Meskipun juga mungkin
melakukan pemeriksaan dengan endoskopi fleksibel, dengan kualitas optik yang lebih inferior
dibandingkan dengan endoskopi rigid. Pada setiap pemeriksaan laringoskopi namun lebih khusus
pada stroboskopi, perekam video merupakan dokumentasi yang penting dan digunakan untuk
meningkatkan kekuatan diagnostik dari pemeriksaan. Jika diperhatikan, baik kecepatan normal
atau menurun menunjukkan aspek patologi tidak dapat dilihat pada pemeriksaan awal, walaupun
dilakukan pemeriksaan yang sangat teliti dan tidak terburu-buru. Rekaman video penting untuk
perbandingan sepanjang waktu dan akurat dalam pemeriksaan dan memberikan penilaian klinis.

Buku ini hanya menjelaskan peralatan yang seringkali tersedia untuk menilai fungsi dari
laring. Masih banyak alat yang lain yang tersedia untuk melengkapi pemeriksaan inti, termasuk
anamnesa dan perseptual serta penilaian laringoskopi. Diantaranya adalah peralatan pencintraan
plica vocalis seperti fotografi kecepatan tinggi, videokimografi, dan yang lebih baru ct-scan tiga
dimensi. Elektroglotografi dan fotoglotografi membolehkan penilaian dari pembukaan dan
penutupan glotis secara bersamaan, dan pengukuran akustik dan aerodinamik akan memberikan
penilaian lebih lanjut mengenai dinamika dan efisiensi dari fonatori. Para pembaca yang ingin
mencari informasi lebih dalam mengenai instrumen untuk evaluasi laring dibatasi juga oleh
beberapa standar operasi kerja (49,50).

21
KESIMPULAN

Pemahaman mengenai struktur anatomi dan proses fisiologi yang terlibat dalam fonasi tidak
dapat dipisahkan dengan praktek dalam bidang laringologi. Sebagian besar perkembangan medis
dalam beberapa dekade terakhir telah mengalami kemajuan dalam bidang laringologi, sebuah
bentuk pengetahuan baru pendekatan klinis tentang pengobatan efektif gangguan bicara.
Pemeriksaan elemen anatomi dan fisiologi yang berperan dalam produksi suara perlu diketahui,
dan seorang otolaringologis harus menggunakannya untuk menemukan penyakit dan menyusun
rencana terapi. Laringologi modern, pembedahan laring telah berkembang. Tujuan tindakan ini
tidak hanya untuk mencari patologi tetapi juga untuk mengembalikan fungsi fonasi yang normal.
Agar berhasil, penting bagi klinisi mengerti pengetahuan dasar laring dan berjuang keras untuk
mendapat perkembangan baru agar tercapai standar yang lebih tinggi dari rehabilitasi bicara.

22

Anda mungkin juga menyukai