Anda di halaman 1dari 7

KEYSTONE &

INTRODUCED SPESIES

Jenis & Peran Dalam Ekosistem

OKTOBER, 2023

Dosen : Nesya Ayu Putri, S.Hut., M.Si.

Kelompok :
Hendra Gunawan | Diki Afriansyah | Michael Rumawas | Tutang
Hermawan | Indratmoko

1
Keystone species
Keystone Spesies adalah spesies yang berdampak besar terhadap lingkungan hingga dapat
mempengaruhi ekosistem. Ekosistem bergantung pada mereka dan dapat berubah apabila mereka
punah, karena keberadaan mereka mempengaruhi jumlah dan karakteristik spesies lain di suatu
komunitas. Keystone Spesies mempunyai dampak sangat besar terhadap ekosistem tertentu jika
dibandingkan dengan populasinya. Keystone spesies juga penting untuk keseluruhan struktur dan
fungsi suatu ekosistem, dan mempengaruhi jenis tumbuhan dan hewan lain yang membentuk
ekosistem tersebut. Oleh karena itu, tanpa adanya keystone spesies, banyak ekosistem yang akan
punah. Contoh umum keystone spesies dalam konteks biologi konservasi adalah hubungan predator-
mangsa. Predator kecil yang memakan spesies herbivora mencegah herbivora tersebut memusnahkan
spesies tumbuhan di ekosistem, dan dianggap sebagai keystone spesies. Dalam skenario ini, meskipun
jumlah predator yang diperlukan untuk mempertahankan populasi spesies herbivora rendah, tanpa
spesies kunci ini, populasi herbivora akan terus bertambah, dan dengan demikian memakan semua
spesies tanaman dominan di ekosistem.

Contoh Keystone Species:

1. Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii)


Musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii) adalah musang yang sedikit diketahui dan endemis
di Sulawesi. Hewan ini didaftarkan sebagai spesies rentan oleh International Union for Conservation of
Nature karena penurunan populasi yang diperkirakan lebih dari 30% selama 3 generasi terakhir
(dicurigai selama 15 tahun) yang diduga akibat kerusakan habitat dan degradasi lingkungan.
Macrogalidia adalah genus monospesifik

Karakteristik
Musang sulawesi memiliki lapisan tipis dan pendek berwarna kastanye cokelat muda dengan sejumlah
campuran bulu halus. Bagian tubuh bawahnya beragam dari kuning kemerahan hingga putih; dadanya
sedikit berwarna kemerahan. Ada sepasang garis membujur yang tak jelas dan beberapa titik gelap di
bagian tersembunyi di punggung. Cambangnya bercampur antara cokelat dan putih. Ekornya ditandai
dengan cincin gelap dan cokelat muda yang berselang-seling, yang tidak dapat dibedakan di
permukaan bawah, dan lenyap menuju ujung yang gelap. Panjang kepala dan tubuhnya sekitar 35 in
(89 cm) dengan ekor sepanjang 25 in (64 cm). Tengkorak dengan palatum durum banyak terbentuk
ke belakang, namun sebaliknya menyerupai Paradoxurus hermaphroditus. Giginya berbeda dari semua
spesies Paradoxurus karena 2 seri pipinya sejajar daripada divergen luas ke arah belakang.

Distribusi dan habitat


Musang sulawesi tercatat berada di hutan dataran rendah, hutan montane atas dan bawah, semak
belukar dan dekat pertanian. Mereka tampak lebih umum di hutan daripada di daerah pertanian.
Meskipun tampaknya generalis sehingga mungkin dapat mentoleransi beberapa derajat habitat yang
terganggu, tidak ada bukti yang baik bila populasi itu dapat bertahan tanpa hutan lebat.

Ekologi dan perilaku


Musang sulawesi adalah omnivora yang memakan mamalia kecil, buah, dan rumput. Kadang-kadang,

2
musang sulawesi memakan burung dan hewan pertanian. Kisaran tempat tinggalnya diperkirakan
sekitar 150 ha (0,58 sq mi).

2. Tarsius tarsier (Binatang Hantu/Kera Hantu/Monyet Hantu)


Tarsius tarsier (Binatang Hantu/Kera Hantu/Monyet Hantu) adalah suatu jenis primata kecil, memiliki
tubuh berwarna cokelat kemerahan dengan warna kulit kelabu, bermata besar dengan telinga
menghadap ke depan dan memiliki bentuk yang lebar.

Nama Tarsius diambil karena ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang
memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3
meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius juga memiliki ekor panjang yang
tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang
panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan
untuk grooming.

Yang paling istimewa dari Tarsius adalah matanya yang besar. Ukuran matanya lebih besar jika
dibandingkan besar otaknya sendiri. Mata ini dapat digunakan untuk melihat dengan tajam dalam
kegelapan tetapi sebaliknya, hewan ini hampir tidak bisa melihat pada siang hari. Kepala Tarsius dapat
memutar hampir 180 derajat baik ke arah kanan maupun ke arah kiri, seperti burung hantu. Telinga
mereka juga dapat digerakkan untuk mendeteksi keberadaan mangsa.

Tarsius adalah primata mungil karena hanya memiliki panjang sekitar 10–15 cm dengan berat sekitar
80 gram. Bahkan Tarsius pumilus atau Pygmy tersier yang merupakan jenis tarsius terkecil hanya
memiliki panjang tubuh antara 93–98 milimeter dan berat 57 gram. Panjang ekornya antara 197–205
milimeter.

Ukuran
Tarsius adalah primata mungil karena hanya memiliki panjang sekitar 10–15 cm dengan berat sekitar
80 gram. Bahkan Tarsius pumilus atau Pygmy tersier yang merupakan jenis tarsius terkecil hanya
memiliki panjang tubuh antara 93–98 milimeter dan berat 57 gram. Panjang ekornya antara 197–205
milimeter.

Habitat Tarsius (Sulawesi)


Tarsius adalah makhluk nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari.
Oleh sebab itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah serangga
seperti kecoa, jangkrik, dan kadang-kadang reptil kecil, burung, dan kelelawar. Habitatnya adalah di
hutan-hutan Sulawesi Utara hingga Sulawesi Selatan, juga di pulau-pulau sekitar Sulawesi seperti Suwu,
Selayar, dan Peleng. Tarsius juga dapat ditemukan di Filipina. Di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Tarsius lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan "balao
cengke" atau "tikus jongkok" jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia.

Tarsius tarsier ditemukan di hutan hujan primer dan sekunder, meskipun mereka lebih memilih hutan
pertumbuhan sekunder. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kelimpahan makanan yang melimpah di
hutan pertumbuhan sekunder. Habitat mereka berkisar dari hutan hujan evergreen dataran rendah di
dekat permukaan laut ke hutan hujan pegunungan rendah sampai 1500 m. Tarsius spektral juga
3
ditemukan di hutan mangrove dan semak belukar.

Tarsius menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan ini menandai pohon daerah
teritori mereka dengan urine. Tarsius berpindah tempat dengan cara melompat dari pohon ke pohon.
Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan dengan terus bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak
dapat berjalan di atas tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.

Rumpun bambu digunakan tarsius sebagai tempat tidur dan tempat berlindung (cover), di mana tarsius
membangun sarang di bagian bawah rumpun bambu yang cukup rapat dan terlindung dari
kemungkinan serangan predator, misalnya ular.

Pada saat tidur, tarsius menempati bagian bawah rumpun bambu. Satwa ini keluar dari tempat
tidurnya pada pukul 6 sore hari, kemudian mereka mencari makan dan kembali ke tempat tidur/sarang
sekitar pukul 5 dinihari. Tempat tidur tarsius dapat diketahui dengan mudah karena ketika keluar dari
sarang, tarsius mengeluarkan suara sebagai penanda teritori, dan hal yang sama dilakukan ketika
kembali ke sarang pagi hari. Sesekali suara tarsius dapat terdengar ketika mereka sedang mencari
makan (foraging), memberi tahu keberadaan dari pasangan masing-masing. Selain itu, keberadaan
tarsius di suatu pohon atau rumpun bambu dapat diketahui dari bau urinenya yang sangat khas.

Perilaku
Seseorang yang masuk ke hutan, lebih sering mendengar suara tarsius daripada melihat satwanya itu
sendiri, karena itu hanya beberapa orang yang betul-betul kenal tarsius, apalagi suara satwa ini
sepintas seperti suara serangga (nada crit-crit-crit……., berulang kali) atau suara kelelawar kecil yang
terbang malam hari. Tarsius aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal), makanan utamanya
adalah berbagai jenis serangga yang aktif pada malam hari. Selain serangga, tarsius juga makan
berbagai jenis reptilia kecil serta burung berukuran kecil di antaranya burung kacamata (Zosterops sp.)

Dalam mencari makan, tarsius mengintai mangsanya, sambil mengendap perlahan, kemudian secara
tiba-tiba dengan gerakan yang sangat cepat menyergap mangsanya dengan cara kedua tangan
memegang mangsa, dan kedua kaki membantu kedua tangan menekan mangsa, sampai mangsa bisa
dikuasai sepenuhnya. Seperti halnya jenis primata lainnya, tarsius dapat menggenggam sempurna
mangsanya dengan kedua tangannya secara sempurna karena satwa ini memiliki lima jari tangan dan
lima jari kaki. Pada jari kaki tengah, terdapat kuku yang menonjol, seperti gigi agak melengkung yang
memudahkan tarsius dalam mencengkram mangsanya. Karena makanan tarsius adalah berbagai jenis
serangga, satwa ini tidak dianggap hama oleh petani dan pemilik kebun di sekitar hutan.

Tarsius hidup berpasangan atau membentuk kelompok kecil di mana dalam satu kelompok hanya
terdapat satu ekor jantan dan betina dewasa. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari dua
individu, maka dapat dipastikan bahwa kelompok tersebut terdiri dari jantan dan betina dewasa serta
anak yang sudah beranjak dewasa dan anak yang masih kecil yang masih disapih oleh induknya. Setiap
kelompok tarsius memiliki daerah teritori yang jelas, di mana teritori dapat ditandai dengan air seni
dan kotorannya serta bau badannya. Teritori dijaga secara ketat dari masuknya kelompok tarsius yang
lain, di mana pelanggaran teritori dapat menyebabkan perkelahian antar kelompok.

Selama ini, mereka sering merawat dirinya sendiri dengan menjilati dan menggaruk bulunya dengan
4
cakar toilet mereka. Jika terjadi hujan deras, tarsius menemukan daerah kering dan tetap tidak aktif.
Mereka bergerak melalui pepohonan dan bisa melompati lebih dari 40 kali panjang tubuhnya. Saat
mendekati pagi, tarsius spektral "bernyanyi" saat mereka kembali ke tempat tidur mereka, baik sebagai
duet dengan pasangan mereka atau dalam paduan suara keluarga. Lagu-lagu ini memberi isyarat
kepada kelompok tetangga yang wilayahnya ditempati. Tarsius tarsier sangat teritorial dan terlibat
dalam sengketa dengan kelompok tetangga yang memasuki batas-batas mereka. Mereka menandai
wilayah mereka dengan urin dan sekresi kelenjar.

Tarsius tarsier juga terlibat dalam perilaku bermain, meringkuk, allogrooming, dan berbagi makanan.
Persaingan untuk pangan menghasilkan peningkatan waktu mencari makan. Individu tampaknya
mendapat keuntungan dari kehidupan kelompok, terutama saat tekanan predasi tinggi, ketika
perempuan menerima secara seksual, dan bila ada kemungkinan besar menghadapi laki-laki yang
berpotensi infantis.

Reproduksi
Mayoritas tarsius adalah monogami; Namun, tarsius spektral mungkin mempraktekkan monogami
fakultatif atau poligini. Monogami tampaknya merupakan sistem kawin yang lazim di spesies ini karena
terbatasnya jumlah situs tidur bermutu tinggi. Masing-masing betina membutuhkan tempat tidur
berkualitas tinggi untuk dirinya dan anak-anaknya. Pohon ara dengan diameter besar lebih disukai tapi
jarang, yang umumnya dijadikan oleh Tarsius jantan dan betina untuk berbagi tempat tidur dan dengan
demikian membentuk pasangan monogami.

Kelompok poligini terjadi 19% dari waktu. Kelompok monogami sering terdiri dari dua atau tiga betina
dengan satu betina yang bereproduksi dan satu laki-laki teritorial, sedangkan kelompok poligini terdiri
dari enam atau lebih individu dengan beberapa wanita reproduksi dan satu laki-laki. Kehadiran testis
besar di T. tarsier menunjukkan bahwa poligini cukup umum, karena testis besar terkait dengan sistem
perkawinan acak.

Tarsius tarsier berkembang biak dua kali dalam setahun, dan kopulasi terjadi pada bulan Mei atau
November. Masa kehamilan kira-kira 6 bulan, dan kelahiran juga biasanya terjadi pada bulan Mei atau
November. Betina melahirkan satu keturunan tunggal, yang lahir sepenuhnya berbulu dan dengan
matanya terbuka. Bayi baru lahir bersifat precocial dan mampu memanjat hanya pada satu hari usia. Di
antara mamalia, keturunan tarsius adalah yang terbesar relatif terhadap massa tubuh ibu. Berat badan
bayi baru lahir rata-rata 23,7 g, hampir 22% dari massa tubuh ibu. Sebagian besar berat badan mereka
diinvestasikan dalam massa otak, mata, dan tengkorak.

Laktasi umumnya berlangsung hingga 80 hari. Penyapihan terjadi antara usia 4 dan 10 minggu, dan
kemandirian terjadi secara langsung setelah disapih karena keturunan mampu memburu sendiri.
Tarsius spektral mencapai kematangan seksual pada usia 17 bulan. Betina memiliki rahim bicornuate
dan plasenta haemochorial.

Makanan
Mereka terutama memangsa serangga terbang seperti ngengat, belalang, kumbang dan jangkrik.
Mereka kadang-kadang makan vertebrata kecil, seperti kadal atau kelelawar. Tarsius tarsier
mendengarkan dengan telinga mereka yang bergerak secara mandiri untuk menemukan mangsa
5
potensial. Begitu item mangsa ditargetkan, seekor tarsius menyergap mangsanya dengan serangan
mendadak, menangkapnya dengan jari-jarinya yang panjang dan ramping, dan gigitan untuk
membunuhnya. Tarsius kemudian kembali ke tempat bertenggernya untuk mengkonsumsi mangsanya.
Bentuk berburu penyergapan ini membutuhkan koordinasi mata-tangan yang bagus. Tarsius
tarsierdapat mengumpulkan mangsa mereka dari udara, di tanah, atau di lepas daun dan dahan.
Tarsius bisa makan 10% dari berat tubuh mereka sendiri setiap 24 jam, dan mereka minum air
beberapa kali sepanjang malam.

Tarsius tarsier tampaknya memanfaatkan cahaya bulan saat mencari makan. Ini adalah perilaku yang
tidak biasa, karena kebanyakan mamalia nokturnal kecil menunjukkan fobia lunar sebagai mekanisme
penghindaran predator. Tarsius mengatasi peningkatan risiko predasi ini dengan mencari makan dalam
kelompok.

Introduced Species
Introduced Species atau Spesies Asing adalah spesies yang hidup di luar daerah asalnya, yang sampai
ke daerah tersebut karena aktivitas manusia, baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Spesies
pendatang dapat menimbulkan berbagai efek pada ekosistem lokal. Beberapa di antaranya berdampak
negatif dan merusak ekosistem setempat, sedangkan beberapa spesies pendatang lain tidak
berpengaruh atau hanya menimbulkan perubahan kecil.

Pada bidang pertanian, beberapa spesies sengaja didatangkan ke dalam suatu ekosistem untuk
memerangi hama. Spesies yang dimanfaatkan untuk tujuan ini disebut agens pengendali hayati dan
digunakan sebagai alternatif bagi pestisida. Dalam beberapa kasus, masuknya spesies pendatang ke
dalam suatu ekosistem masih belum diketahui apakah akan menguntungkan atau merugikan dalam
jangka panjang. Pengaruh spesies pendatang pada lingkungan alam masih menjadi subjek yang
kontroversial, dan menjadi hal yang masih dicermati oleh ilmuwan, pemerintah, petani, dan pihak lain.
Spesies pendatang yang tersebar luas dan menimbulkan masalah yang signifikan dikenal
sebagai spesies invasif.

Contoh Introduced Species di Pulau Sulawesi:

Buaya Amerika (Alligator mississippiensis)


Buaya Amerika adalah contoh spesies yang diperkenalkan di beberapa wilayah Sulawesi sebagai hewan
peliharaan eksotis. Kehadiran buaya Amerika yang tidak alami ini dapat mengganggu ekosistem asli
karena mereka dapat menjadi predator yang merusak bagi spesies lokal dan mungkin mengganggu
ekosistem air tawar.

Pohon Akasia (Acacia spp.)


Beberapa spesies akasia, yang bukan spesies asli Sulawesi, telah diperkenalkan ke pulau ini untuk
tujuan kehutanan dan pertanian. Akasia dapat menjadi spesies invasif dan mengganggu ekosistem asli
karena pertumbuhan yang cepat dan kemampuannya untuk bersaing dengan tumbuhan lokal.

6
7

Anda mungkin juga menyukai