Anda di halaman 1dari 5

MEMAKNAI ULANG ARTI HIJRIAH

Oleh ; Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I.

(Hakim Pratama Utama Pengadilan Agama Manna)

Pendahuluan

Allah swt berfirman dalam QS. At Taubah ayat 36:

‫ِإَّن ِع َّدَة الُّش ُهوِر ِع ْنَد ِهَّللا اْثَنا َع َش َر َشْهًرا ِفي ِكَتاِب ِهَّللا َيْو َم َخ َلَق الَّس َم اَو اِت َو األْر َض ِم ْنَها َأْر َبَع ٌة ُحُر ٌم َذ ِلَك الِّديُن اْلَقِّيُم َفال َتْظِلُم وا ِفيِهَّن َأْنُفَس ُك ْم‬
)٣٦( ‫َو َقاِتُلوا اْلُم ْش ِرِكيَن َك اَّفًة َك َم ا ُيَقاِتُلوَنُك ْم َك اَّفًة َو اْعَلُم وا َأَّن َهَّللا َم َع اْلُم َّتِقيَن‬

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu ia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka anganlah
kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-
orang yang bertakwa.” (QS At-Taubah: 36)

Tahun baru selalu identik dengan sesuatu hal serba baru. Hanya saja sesuatu yang baru selalu
diidentikkan dengan hal-hal yang bersifat fisik atau material semata. Padahal dibalik yang bersifat
materil tersimpan mutiara abadi yang akan mengantarkan manusia bertemu dengan Allah Swt.

Waktu terus silih berganti dari detik ke menit, ke jam, ke hari, ke minggu, ke bulan, ke tahun, lalu
menghantarkan ke tahun berikutnya, sehingga membawa kita dari abad ke melenium. Pergantian waktu
bergulir membawa manusia dengan kedatangan tahun baru Hijriah seiring munculnya tanggal 1
Muharram.

Rutinitas sehari-hari, terkadang manusia lengah sehingga waktu berlalu begitu saja tanpa disadari.
Waktu bergulir secara otomatis apa adanya dengan meninggalkan kenangan tahun sebelumnya. Saat
tahun baru Hijriah menyapa, seolah-olah kita tersentak betapa berharganya waktu dan miskinnya nilai
kebaikan yang telah dirajut selama satu tahun telah berlalu.

Pengertian Hijriah

Kata Hijriah secara harfiyah diartikan dengan pindah dari suatu negeri ke negeri lain ( ‫) الجرج من بلد اجرى‬,
atau berubah dari satu keadaan kepada satu keadaan lain. Secara defenitif pindahnya Nabi dan umatnya
dari Makkah al Mukarramah ke Madinah al Munawwarah untuk kelangsungan dakwah Islam. Pengertian
Hijrah sebagaimana defenisi tersebut tidak akan pernah akan terjadi lagi, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad saw:

‫(الهجرة بعد الفتح ولكن جهاد ونية واذاستنفرتم فانفروا (رواه بخارى‬

“Tidak akan pernah ada Hijrah pasca penaklukan Kota Makkah (fath al makkah), akan tetapi yang
dimaksud hijrah setelah ini adalah jihad, dan niat. Jika kamu diminta untuk itu maka jangan
menghindar.” (HR. Bukhari).
Dalam pengertian lain Hijrah adalah meninggalkan sesuatu yang dilarang. Ini berdasarkan hadis dari
Abdullah bin Habsyi, bahawa Rasulullah saw bersabda yang bermaksud dengan orang yang berhijrah
adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah. (HR. Abu Dawud).

Mempergunakan Waktu

Oleh karena waktu terus bergulir tanpa memberitahu manusia, maka sangatlah wajar Nabi Muhammad
saw selalu mengingatkan umatnya tentang waktu, sehingga dapat difahami betapa pentingnya waktu,
dan bagaimana seharusnya digunakan semaksimal mungkin dan tidak berlalu begitu saja sehingga akan
menjadi waktu yang sia-sia alias mubazir.

Maka jangan heran dimensional waktu ini, secara obyektivitas orang Barat pun mengibaratkan waktu itu
adalah emas.

Filusuf Perancis Henry Bergson mengatakan ada 2 macam waktu:[1]

Pertama, waktu kuantitatif yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat diukur dan dibagi-bagi.
Dalam konsep ini, ia menganalisis waktu dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan yang homogeny, seperti
melenium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit dan detik. Inilah waktu yang berada
pada tataran dimensi objektif-fisis. Dalam istilah Perancisnya, Bergson menyebutnya sebagai tems,
waktu yang digunakan secara umum dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Dari sinilah terasa akan
sebuah pengalaman yang bersentuhan dengan waktu kuantitatif ini yang dinamakan dengan
pengalaman fenomenal, yaitu pengalaman yang banal dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan
pengalaman ini nyaris dilakoni oleh mayoritas manusia.

Kedua, waktu kualitatif yang tidak ada hubungannya dengan ruang (tempat) bersifat kontinuitas dan
mengalir terus-menerus tak terbagi. Waktu jenis yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat
diukur dan dibagi-bagi Bergson menamakannya dengan durre, yang berarti lamanya waktu yang
digunakan manusia secara pribadi-pribadi. Pengalaman kita seringkali bersentuhan dengan waktu
kualitatif tersebut yang dinamakan dengan pengalaman eksistensial yakni pengalaman yang dirasakan
oleh aspek mental, emosional, bahkan menyentuh ranah sukma spiritual kita yang terpendam.

Sedangkan menurut Filusuf Jerman Martin Heidegger ada 2 macam waktu; yaitu waktu objektif dan
waktu subjektif. Waktu objektif merupakan waktu yang digunakan oleh kronometer, alat pengukur
waktu, seperti arloji, kelender dan berbagai petunjuk waktu secara umum. Sedangkan waktu subjektif
adalah waktu yang dialami oleh orang perorangan secara individual. Jika waktu objektif berada di luar
sana yang dirasakan sama oleh manusia secara umum, maka waktu secara subjektif berada di dalam
sini, yang dirasakan secara unik oleh setiap pribadi dan berbeda antara seorang dengan orang yang lain.

Secara objektif orang memandang waktu sehari semalam adalah 24 jam, namun durasinya begitu terasa
bagaikan 24 menit bagi sepasang sejoli kekasih yang sedang kencan di bawah terik gairah asmara. Bagi
orang yang berpestapora waktu 12 jam terasa begitu cepat berlalu. Namun sangat berbeda bagi orang
yang sedang sakit atau yang sedang sekarat diserang penyakit kronis waktu itu sungguh-sungguh terasa
sangat lama.
Fakta yang sering kita rasakan secara emperik waktu 1 jam sangat berbeda bagi yang menunggu dan
yang sedang ditunggu. Padahal ukuran waktu itu secara nilai matematis yang 24, 12, 6, 3, 1 atau ½ jam
tidaklah ada bedanya, karena memang waktu itu bergulir secara objektif di mana dan kapan pun. Albert
Einstein menggambarkan pengalaman eksistensial ini secara kontradiktif: “Jika dua jam bersama dengan
gadis yang baik, orang merasa dua menit, jika dua menit duduk di atas open panas, orang merasa dua
jam.”

Hakikat Hijriah

Bagi umat Islam momentum tahun baru Hijriah harus bermuara pada pertanyaan introspektif-
kontemplatif seperti yang dikatakan Khalifah Umar bin Khatthab:

‫حسبوا انفسكم قبل أن تحسبوا وزنوا انفسكم قبل أن توزنوا‬

“Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung, dan timbang-timbanglah dirimu sebelum ditimbang.”

Sasarannya kita harus menginstropeksi diri sejauh mana mungukir waktu dengan amal kebaikan jangan
sampai bergelimang dosa. Kita harus menanamkan bentangan usia dilalui dengan sebuah direnda puspa
ragam pesona kebajikan, keberkahan, dan ketaatan wajib menjauhi dengan rajutan kelalaian,
kemaksiatan, kemungkaran dan kepongahan atau dengan kata lain bahwa hidup hanya dalam tititsan
sia-sia saja.

Sangat wajar jauh-jauh Nabi Muhammad saw mengingat umatnya agar dari waktu ke waktu adanya
perubahan agar menjadi orang beruntung, jangan sampai menjadi orang yang merugi apalagi sampai
menjadi golongan orang celaka:

)‫( رواه الحاكم‬.‫ ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون‬.‫ ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون‬.‫من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح‬

“Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa
yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari
ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka." (HR. Al Hakim).

Momentum tahun baru Hijriah ini seyogianya menghadirkan kegelisahan eksistensi semacam itu,
karena umur merupakan modal setiap saat berkurang dan akan sia-sia akan mebawa celaka apabila
tidak diinvestasikan untuk pengabdian sebagai khalifah Allah swt di muka bumi ini. Ingat waktu sedetik
pun yang dihembuskan tidak akan pernah kembali lagi, tidak bisa ditarik kembali. Artinya umur
senantiasa berkurang seiring dengan berganti waktu, sudah berapa umur yang kita jalani dalam arena
kehidupan di dunia ini.

Problematika standarnya apakah umur yang telah dihabiskan membawa suatu keberuntungan atau
kerugian. Sebesar apapun modal yang dikeluarkan sudah pasti hasil yang dipetik sesuai modal yang
diinvestasikan.

Dari perspektif ini kita selayaknya merefleksikan butir-butir mutiara tahun baru Hijriah, agar menghargai
waktu, mumpung ada waktu, dalam konteks positif. Jikalau hari ini sama dengan hari kemarin sudah
tergolong yang merugi (maqfun); namun jika hari ini lebih baik dari hari kemarin termasuk yang
beruntung (roobih), dengan ungkapan lain: “Today must be better than yesterday and tomorrow must
be better than today.” Dalam sebuah hadis Nabi pun bersabda:

‫ (رواه طبرانى‬.‫(خير الناس من طال عمره وحسن عمله وشر الناس من طال عمره وساء عمله‬

“Sebaik-baik manusia orang yang panjang umurnya, dan baik perbuatannya. Dan sejelek-jelek manusia
orang yang panjang umurnya, dan buruk kelakuannya.” (HR. Thabrani).

Spirit Hijriah Masa Kini

Sesungguhnya spirit Hijrah rasanya masih relevan diperbincangkan agar direfleksikan dalam kehidupan
person maupun kolektif, berbangsa dan bernegara dengan moral addin (regelius) menuju masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai sipil dalam wadah masyarakat madani (social sovety) sebagaimana
yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw setelah kemenangan Kota Makkah (fathul makkah) terkenal
dengan konsep Piagam Madinah dimana masyarakat dalam kehidupan sosialnya bercampur baur tanpa
membedakan ras, suku dan keyakinan, hidup saling menghargai dan berdampingan dibawa payung panji
kebesaran Piagam Madinah langsung di bawah komando Nabi Muhammad saw. selaku imamul ummah
sebagai otoritas tertinggi kekuasaan umat Islam dan juga bagi non Islam, dan sekaligus sebagai nabi dan
rasul.

Dalam konteks ekinian Hijrah yang disambut setiap tahun lebih kepada memperingati peristiwa
penghijrahan Rasulullah dan sahabat dari Kota Makkah al-Mukarramah ke Kota Madinah al-
Munawwarah. Dari peristiwa hijrah ini menyingkap satu perjuangan yang pantang menyerah atau
mengaku kalah di samping menjadi garisan pemisah di antara kebenaran dan kebatilan. Hijriah juga
diibaratkan sebagai satu jembatan yang menghubungkan antara dua tahap masa perjuangan Nabi yaitu,
periodesasi Makkah selama lebih kurang 13 tahun, dan periodesasi Madinah selama 10 tahun.

Bentuk Hijriah

Sejalan dengan refleksi tahun baru Hijriah kali ini jika dicermati dalam suasana kehidupan umat Islam
dewasa ini, paling tidak ada 4 hal yang harus ditranspormasi dalam makna memperingati tahun baru
Hijriah sebagai berikut:

Pertama, Hijrah dalam kategori ‘Itiqadiyah (keyakinan) yang merupakan ideologi tauhidiyah seorang
muslim, dimana dalam pelaksanaan keyakinan dan ibadah hanya semata-mata ikhlas karena Allah swt.
tanpa dicampuri dengan anasir-anasir mengandung kemusyrikan, tahayul, khurafat, bid’ah dan
keyakinan nenek moyang yang tidak ada dasar hukumnya. Akhir-akihir ini keyakinan sebagian umat
Islam telah mulai melenceng dari ruh tauhid, orang lebih percaya kepada paranormal ketimbang ulama,
percaya kepada mistisme ketimbang qudrat dan iradat Allah swt. percaya dengan nabi aspal (nabi asli
tapi palsu) ketimbang nabi akhiruzzaman Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini umat Islam harus kembali
kepada tauhid yang benar yaitu Aqidah Islamiyah. Konsep hijrah dalam kategori ini wajib didakwakan
oleh segenap umat Islam untuk meluruskan keyakinan dan aqidah mereka agar jangan tersesat.

Kedua, Hijrah dalam kategori Fikriyah (pemikiran), yakni pemikiran yang dilandasi dengan control wahyu
ilahiyah, bukan cara berfikir liberalisme yang menafikan nilai-nilai wahyu, yang hanya memakai kekuatan
akal fikiran semata, padahal tanpa disadari ternyata akal fikiran manusia sewaktu-waktu bisa tidak
normal, namun jika dilandasai wahyu akal manusia akan tetap stabil, oleh karenanya tujuan hukum
Islam salah satunya dalam rangka menjamin terpeliharanya akal fikiran. Fenomena yang terjadi
sekarang orang sering hilang akal sehatnya, sehingga menghalalkan segala cara untuk memenuhi
ambisinya, sesungguhnya dengan Hijrah fikiriyah ini akan mengembalikan manusia sebagai makhluk
yang berakal yang terdapat dalam diri manusia yang tidak ternilai harganya sebagai anugrah Tuhan yang
tidak diberikan-Nya kepada makhluk lainnya, sekiranya manusia tidak berakal niscaya keadaan dan
perbuatannya akan sama dengan hewan.

Ketiga, Hijrah dalam kategori Syuriyah (perasaan) yang muaranya pada ketenangan jiwa (psikologis),
sebagaimana yang diuraikan sebelumnya terkait dengan perasaan dan kesadaran, aspek psikologis
manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis, hanya dengan banyak
mendekatkan diri kepada Allah swt lewat zikir (dalam arti luas beribadah) untuk menuju ketenangan
jiwa, lupakan konsep-konsep meditasi melalui semedi di gua, kuburan dan tempat-tempat yang
dianggap membawa wangsit. Dengan perasaan dan jiwa yang tenang hidup akan terasa nikmat.

Keempat, Hijrah dalam kategori Sulukiyah (prilaku), dalam konteks ini dimensi pengalaman sehari-hari
tentunya harus diperhatikan, betapa banyak manusia hidupnya bermasalah karena ulah tingkah lakunya
yang tidak memperhatikan moral atau akhlak, dalam sehari-hari selalu bergelimang dengan maksiat dan
dosa, momen tahun baru ini mari kembali kepada prilaku Islami, sementara yang telah berprilaku Islami
konsisten dalam mempraktekannya. Dari sinilah terasa akan sebuah pengalaman (emperik) yang
bersentuhan dengan waktu kuantitatif yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu
pengalaman yang dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris dilakoni oleh mayoritas
manusia, prilaku yang Islami-lah yang akan menyelamatkan kelangsungan hidup umat manusia di dunia
ini.

Hijriah di sini kemampuan kita untuk menjadikan perilaku kita sebagai titik awal untuk berubah menjadi
baik dan atau lebih baik dari sebelumnya. Inilah semangat hijrah yang sesungguhnya, sehingga perayaan
pergantian tahun hijriah dari tahun ke tahun memang seharusnya dilakukan dengan cara sederhana dan
lebih banyak diarahkan untuk muhasabah dan introspeksi diri.

Penutup

Dari uraian di atas Hijrah membawa pengertian yang luas yakni keluar dari medan perjuangan yang
sempit ke gelanggang yang lebih luas dan pemisah di antara yang hak dengan yang batil, atau
perpindahan kepada hidup yang lebih baik, lebih maju, lebih mulia dan lebih bermakna, lebih
bermatabat serta berada dalam lingkungan rahmat dan keredhan Allah swt. Demikian, yang dapat
disajikan dalam tulisan singkat ini, semoga bermamfaat adanya.

Manna, Oktober 2014.M

Zulhijjah 1435.H

Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I

Anda mungkin juga menyukai