Anda di halaman 1dari 8

MAKNA MUHASABAH, MURAQABAH DAN MUWAJAHAH

SERTA PENGARUHNYA DALAM KEHIDUPAN

A.         PENDAHULUAN

Bahagia di dua kehidupan dunia dan akhirat, sangat bergantung kepada kebersihan dan
kesucian batin manusia. Demikian juga sebaliknya, kesengsaraan juga tidak terlepas dari
sikap dan perilaku serta kekotoran jiwa manusia. Sebagian orang mengira, bahwa adab
(sopan santun) hanya berlaku untuk orang lain saja, dan tidak untuk diri sendiri. Padahal adab
juga diperlukan untuk diri sendiri, supaya disegani, dihormati oleh orang banyak tidak
direndahkan dan dilecehkan. Bahkan lebih dari itu diharapkan, agar selamat hidup di dunia
dan di akhirat.
Dalam Al-Quran banyak dikemukakan mengenai diri (jiwa seseorang). Diantaranya
disebutkan:
‫ خاب من دسّاها‬:‫قد أفلح من ز ّكاها وقد‬
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams:9-10)
Firman Allah:
‫ اسم ربّه فصلّى‬:‫قد أفلح من تز ّكى وذكر‬
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dengan beriman, dan dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (QS. Al-A’laa:14-15)

Dari ayat diatas dapat kita ambil suatu kesimpulan, bahwa seorang dituntut:
1.      Membersihkan (mensucikan) jiwanya dan tidak mengotorinya.
2.      Beramal shalih, saling mengingatkan tentang kebenaran dan berlalu sabar menghadapi segala
macam cobaan dan tidak mendustakan ayat-ayat Allah dan bersifat sombong.
Dari beberapa ayat Al-Quran diatas, untuk lebih memahami “Muhasabah, Muraqabah, dan
Muwajahah” berikut pembahasannya:

B.         PEMBAHASAN

1.        Pengertian Muhasabah dan Pengaruhnya dalam Kehidupan


Muhasabah dalam bahasa Arab berasal dari kata hasaba-yahsubu[1] yang artinya
memperhitungkan.Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri
sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri.Seseorang yang mengadakan introspeksi diri,
tidak mesti sesudah melakukan suatu perbuatan, benar atau salah, berhasil atau gagal. Masa
lalu dan masa kini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menghadapi masa depan.
Seharusnya masa kini, lebih baik dari masa lalu, dan masa yang akan dating harus lebih baik
dari masa sekarang.[2]
Dari firman Allah Q.S Al-Hasyr ayat 18
ۖ ‫يأيها الذين ءامنوا اتقوا هللا ولتنظر نفس ما ق ّدمت‬
ّ ‫لغد واتقوا هللا‬
)١٨( ‫إن هللا خبير بما تعملون‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
 Dalam firman Allah diatas tersirat suatu perintah untuk senantiasa melakukan
muhasabah supaya hari esok akan lebih baik. Maka dalam melakukan muhasabah, seorang
muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik ataukah lebih banyak
berbuat kesalahan dalam kehidupan sehari-harinya. Dia mesti objektif melakukan
penilaiannya dengan menggunakan Al-Quran dan Sunnah sebagai dasar penilaiannya bukan
berdasarkan keinginan diri sendiri. Oleh karena itu, melakukan muhasabah atau introspeksi
diri merupakan hal yang sangat penting untuk menilai apakah amal perbuatannya sudah
sesuai dengan ketentuan Allah. Tanpa introspeksi, jiwa manusia tidak akan menjadi baik.
Imam Tirmidzi meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga Maimun bin
Mihran mengenai urgensi muhasabah. Umar bin Khattab mengemukakan;
‫حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا‬
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk
akhirat (yaumul hisab).”
Ketika kita mengetahui kesalahan-kesalahan kita, hisablah diri kita dan segera
bertaubatlah kepada Allah selagi masih di dunia.  Siapa yang menghisab dirinya sendiri
mengingat kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa di dunia, maka kelak dia akan diringankan
hisabnya di hari kiamat, dan barangsiapa yang lalai menghisab dirinya di dunia, barangkali ia
akan menyesal yang berkepanjangan di hari kiamat kelak. Orang yang menghisab dirinya
maka ia akan sibuk dengan dosa-dosa dirinya sendiri. Maka dari itu, orang yang berakal ia
tidak memikirkan dosa-dosa orang lain. Setiap jiwa akan ditanya dosanya sendiri masing-
masing. Semenjak kita bangun tidur hingga kita akan tidur kembali. Dosa-dosa apa saja yang
kita perbuat, kemudian segera beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Hisablah sebelum ajal
menjemput kita dan penyesalan akan datang jika kita tidak menghisab apa saja amalan yang
telah kita perbuat.
Al-Hasan mengatakan: orang mukmin selalu menghisab atau mengevaluasi dirinya
karena Allah. Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang
yang menghisab dirinya di dunia. Maimun bin Mihran menyampaikan: “Seorang hamba
tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya
dari mana makanan dan pakaian.”  Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang
kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri-sendiri
untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya.
Firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:
)٩٥( ‫وكلهم ءاتيه يوم القيامة فردا‬
 “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-
sendiri.”  (QS. Maryam:95)
Aspek-aspek yang perlu dimuhasabahi, firman Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz-Dzariyat:56). Berdasarkan
ayat tersebut, maka yang harus dimuhasabahi meliputi seluruh aspek kehidupan kita, baik
yang berhubungan dengan Allah (ubudiyah) maupun hubungan dengan sesama manusia
(muamalah) yang mengandung nilai ibadah. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah:
1.      Aspek Ibadah yang berhubungan dengan Allah.
Dalam pelaksanaan ibadah ini harus sesuai dengan ketentuan dalam Al-Quran dan Sunnah.
dalam hal ini Rasulullah telah bersabda: “Apabila ada suatu urusan duniamu, maka kamu
lebih mengetahui. Dan apabila ada urusan agamamu, maka rujuklah kepadaku.” (HR.
Ahmad)
2.      Aspek Pekerjaan dan Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering dilupakan bahkan ditinggalkan. Karena aspek ini dianggap semata-
mata urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah bersabda: “Tidak akan bergerak telapak kaki ibnu Adam pada hari
kiamat, hingga ia ditanya tentang lima perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa
mudanya kemana dipergunakannya, hartanya dari mana ia memperolehnya dan kemana
dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.” (HR. Turmudzi)
3.      Aspek Kehidupan Sosial
Aspek kehidupan sosial dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama
manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting sebagaimana yang digambarkan
Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: “Tahukah
kalian siapakah orang yang bangkrut itu? Sahabat menjawab: orang yang bangkrut diantara
kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan. Rasulullah
bersabda: Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa)
menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka
orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala
kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka
dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka” (HR.
Muslim)
Apabila melalaikan aspek ini, maka pada akhir hayatnya orang akan membawa pahala amal
ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu ia juga membawa dosa yang terkait
dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain.

4.      Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam
segala aspek; sosial, politik, ekonomi dan juga substansi dari dakwah itu sendiri mengajak
orang pada kebersihan jiwa, akhlakul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan
ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, memperbanyak istighfar dan taubat.

Jadi, muhasabah dapat diraih dengan melakukan hal-hal berikut ini:


1.      Melakukan perbandingan sehingga menjadi terlihat kelalaian yang selama ini belum disadari.
2.      Memikirkan kelemahan yang ada dalam diri.
3.      Hendaknya ditanamkan dalam diri rasa takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
4.      Menanamkan ke dalam dirinya perasaan bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah dan bahwa
Allah melihat semua yang tersembunyi dalam dirinya, karena sesungguhnya tiada sesuatu
apapun yang tersembunyi dari pengetahuan Allah. Seperti yang tersirat dalam firman-
Nya: “dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.”  (QS.
Qaaf:16)
Orang yang bermuhasabah diri biasanya sudah dapat membuat perhitungan sebelum
berbuat. Apapun yang dikerjakan, seharusnya sudah dibuat perhitungannya, apakah
pekerjaannya itu ada hasilnya atau tidak. Demikian hubungan kita dengan Allah, perlu
diperhitungkan dengan cermat. Sebelum diadakan perhitungan pada hari kiamat (hari
pengadilan), seharusnya sudah diperhitungkan lebih dahulu, apakah amal yang dibawa sudah
memadai atau belum. Apakah akan menuju ke surga atau neraka. Biasanya, bila bicara urusan
dagang dan usaha apapun namanya, orang sangat cermat memperhitungkan laba-rugi. Namun
bila sampai membicarakan masa yang kekal (akhirat), orang kurang berminat, dan
mengabaikan. Padahal kehidupan disana yang banyak memerlukan persiapan, yang
seharusnya berbicara soal laba-rugi, tidak soal rugi, persiapan menuju surga bukan neraka.
Kendatipun tidak tepat benar perhitungan seseorang, tetapi telah ada niat untuk melihat
langkah-langkah yang sudah dilalui dan kemudian akan melihat lebih jauh langkah
selanjutnya, terutama menghadapi hari akhir.

2.        Pengertian Muraqabah dan Pengaruhnya dalam Kehidupan


Muraqabah yang berasal dari kata ra-qa-ba yang artinya menjaga, memperhatikan
dengan teliti. Muraqabah ialah merasa selalu diawasi oleh Allah sehingga dengan kesadaran
ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Muraqabatullah bermakna seseorang merasakan eksistensi atau keberadaan Allah dalam
kehidupannya sehingga dia merasa aman dan nyaman tanpa ada ketakutan serta kecemasan,
di samping itu dia menyakini bahwa Allah selalu memperhatikannya dan memantau segala
gerak geriknya, sehingga muncullah rasa malu, malu melakukan kesalahan dan perbuatan
yang tercela serta berusaha melakukan perbuatan baik dan mulia.[3] Sesungguhnya manusia
hakikatnya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan
keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah
kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seorang hamba jika meyakini bahwa
Allah senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan
kesuksesan itu dibangun diatas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu
muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua, hendaknya ilmu yang
engkau miliki tampak dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” Syeikh Abu Utsman Al
Maghriby mengatakan, “Abu Hafs mengatakan kepadaku, manakala engkau duduk mengajar
orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan
dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka
hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah memperhatikan wujud batinmu.”
Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus
disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak
berlepas diri dari kewajiban yang difardukan Allah yang mesti dilaksanakan dan dilarang
yang wajib dihindari. Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang
sehingga ia menjadi manusia yang jujur. Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil
apapun dan dimana pun engkau berada. Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus
engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri. Ikatlah
ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu.
Allah Maha Mengetahui segala hal di dalam batin.
ّ ‫وأن ليس لإلنسان إالّ ما سعى‬
ّ :‫وأن سعيه سوف يرى ث ّم يجزاه الجزاء األوفى‬
‫وأن إلى ربّك المنتهى‬
‫وأنّه هو أضحك وأبكى وأنّه هو أمات وأحيا‬
“Dan bahwasanya seorang hamba tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan
bahwasanya kepada Tuhan-Mu lah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya Dia yang
menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dia yang mematikan dan yang
menghidupkan.” (QS. An-Najm:39-44)
Seseorang yang selalu memohon ampunan kepada Allah serta meninggalkan perbuatan
buruknya akan memberikan rasa aman dalam jiwa, namun seseorang yang membiarkan
dirinya dalam perbuatan dosa dan maksiat akan mengalami kegelisahan dan berkecamuk jiwa
yang tidak bertepi, selalu cemas dan gelisah, hidup menjadi tidak berarti, tidak sedikit orang
yang berusaha lari dari kegelisahan hati dengan mengakhiri kehidupannya.[4]

Firman Allah Subhanaahu wa Ta’ala,


ّ
.... )١( ‫إن هللا كان عليكم رقيبا‬
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa:1)

.... )٥٢( ‫وكان هللا على ك ّل شيء رقيبا‬


“Dan Allah adalah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzaab:52)
Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
)‫(متفق عليه‬ ‫أعبد هللا كأنّك تراه فإن لم تكن تراه فإنّه يراك‬
“Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak dapat
melihat-Nya (dan memang tidak dapat), maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (Muttafaq
Alaih)
Orang yang merasa selalu diawasi oleh Allah tentu tidak akan melakukan perbuatan
dosa dan perbuatan maksiat lainnya, karena dia menyadari bahwa apapun yang melintas
dalam hatinya pasti diketahui oleh Allah. Semuanya telah terekam dengan rapi. Bacaan
dengan shalat yang dilakukan lima waktu sehari semalam dan ditambah dengan shalat sunnah
lainnya, adalah salah satu cara muraqabah. Jadi paling kurang, lima kali dalam sehari
semalam mengadakan muraqabah. Barangkali penghayatan amaliyah shalat yang perlu
ditingkatkan, sehingga kita terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
Berkenaan dengan muraqabah ini, ada baiknya diambilkan suatu peristiwa yang terjadi
pada masa Umar bin Khattab Abdullah bin Diinar menceritakan, bahwa suatu ketika dia
bepergian dengan Umar bin Khattab, setelah sampai pada suatu tempat, turunlah dari sebuah
bukit seorang pengembala kecil dengan gembalaannya. Umar berkata pada pengembala itu
(maksudnya menguji), “Juallah kepada kami seekor kambing itu.” Pengembala itupun
menjawab: “Kambing ini bukan milik saya, tetapi milik majikan.” “Katakan kepada
majikanmu itu, kambing itu telah dimakan serigala.” Kata Umar. “Kalau begitu dimana
Allah?”  Jawab pengembala (budak) itu. Umar pun menangis, tidak dapat menahan air
matanya. Sesudah itu Umar pun menemui majikannya dan membeli budak itu dan
memerdekakannya.
Demikianlah, bila iman sudah menghujam dalam ke lubuk hati, tidak dapat dibujuk
rayu oleh siapapun. Iman seorang budak beliau mungkin lebih tinggi dari iman seorang
majikan. Iman seseorang petani, mungkin lebih tinggi dari penguasa negara, bahkan dari para
ulama.[5]
Seseorang yang dapat merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya adalah orang yang
memiliki iman, semakin kuat keimanan seseorang semakin merasakan keberadaan Allah dan
hilang rasa takut dan cemas dimana saja dia berada. Pada saat Abu Bakar As-Shiddiq merasa
cemas di dalam gua Tsur bersama Rasulullah, khawatir persembunyian mereka diketahui oleh
para pemuda kafir Quraisy yang sedang mengejar mereka, lalu Rasulullah berkata kepadanya:
)‫(متفق عليه‬ .‫ ما ظنّك باثنين هللا ثالثهما‬,‫يا أبا بكر‬
“Wahai Abu Bakar, bagaimana pandanganmu apabila ada dua orang yang ketiganya
adalah Allah?”  (Muttafaq Alaih)[6]
Segala kecemasan di hati Abu Bakar sirna berganti dengan rasa tenang karena
merasakan akan kehadiran Allah pada saat itu.
Muraqabatullah akan memupuk keimanan seseorang menjadi semakin kuat, semakin
sadar dan semakin insaf akan makna kehidupan ini sehingga orientasi hidupnya adalah untuk
memperoleh ridho Allah, sifat ikhlas akan mewarnai setiap perbuatan baik yang dia lakukan,
perhargaan atau tidak dihargai orang sudah tidak lagi mempengaruhi dia dalma melakukan
kebaikan, rasa keimanan ini membuat jiwanya menjadi bahagia setiap selesai melakukan
perbuatan baik terhadap orang lain.
Muraqabatullah mendorong dia untuk memperhatikan fenomena alam, keindahan yang
dia lihat di alam sekitarnya seperti gunung-gunung yang menjulang tinggi dengan lembah
yang penuh keindahan, pepohonan yang beraneka ragam dan buah-buahan yang beraneka
rasa serta keindahan air yang mengalir dan desiran angin yang menyejukkan, sungguh
suasana keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, hanya rasa takjub dan rasa
betapa Maha Besar dan Maha Suci Allah Sang Pencipta, lahirlah ucapan dari dalam
dirinya: “Maha Suci Engkau Ya Allah, tiada yang sia-sia yang Engkau ciptakan.” Semakin
dalam rasa keimanan dalam dirinya.
  
3.        Pengertian Muwajahah dan Pengaruhnya dalam Kehidupan
Dalam bahasa Arab muwajahah yaitu bertatap muka atau menghadapkan diri hanya
kepada Allah. Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan menghantarkan kepada
sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang harus berpikir positif. Misalnya seseorang
melihat orang lain dengan penampilan fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa
dirinya rendah karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang
tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang tersebut. Ini adalah
pikiran yang tidak di kehendaki Allah.Jika ridha Allah yang dicari, maka seharusnya ia
menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan Allah yang
sempurna. Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah
ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah agar menambah keindahan
orang tersebut di akhirat.
Ketika menjalankan tugas mereka, para Nabi dan Rasul tidak pernah menunggu upah
atau imbalan tertentu, baik berupa materi maupun non-materi. Salah satu semboyan mereka
yang diabadikan oleh Al-Quran dalam beberapa ayatnya adalah ungkapan yang pernah
dilontarkan oleh beberapa Rasul yang berbunyi: “....upahku tidak lain hanyalah dari Allah
belaka....” (QS. Yunus:72 dan QS. Hud:29).
ۖ ‫فإن تولّيتم فما سألتكم من‬
)٧٢( ‫أجر إن أجرى إالّ على هللا ۖ وأمرت أن أكون من المسلمين‬
“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari
padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku
termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)” (QS. Yunus:72)
ۖ ‫ ال أسئلكم عليه‬:‫وياقوم‬
‫ ربّهم‬:‫ماال إن أجرى إالّ على هللا ۚ وما أناْ بطارد اللذين ءامنوا ۚ إنّهم مالقوا‬
)٢٩( ‫ولكنّي أرىكم قوما تجهلون‬
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu
(sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan
mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan
Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.”  (QS.
Hud:29)
Sementara kita, kalaupun kita tidak mengharap imbalan materi atas sebuah amal, maka
kita sering mengharapkan imbalan non-materi dalam bentuk pahala. Hal seperti itu sama
sekali tidak pernah ada pada diri para Rasul. Mereka sama sekali tak pernah mengharapkan
imbalan dari siapapun, karena apa yang mereka lakukan sepenuhnya merupakan perintah
Allah. Kalaupun kita ingin membayangkan sesuatu yang mustahil seperti misalnya andai saja
para nabi dan rasul tahu bahwa mereka akan masuk neraka, maka hal itu pastilah tidak akan
membuat mereka ragu untuk menunaikan tugas mereka dan tidak akan membuat mereka lari
dari tujuan mesti hanya sesaat.
Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang selalu siap siaga. Mereka selalu siap
mengorbankan seluruh jiwa raga mereka di jalan dakwah yang mereka tempuh. Jadi, harapan
masuk surga atau takut akan neraka bukanlah faktor yang menggerakkan mereka untuk
berusaha melaksanakan tugas berat yang mereka pikul. Alih-alih berharap pamrih, keridhoan
Allah dan perkenan-Nya merupakan puncak dari segala yang mereka harapkan.
Semua amal yang dilakukan para nabi memang ikhlas dilakukan hanya karena Allah.
Terlebih pada diri Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam., prinsip seperti ini
telah mencapai puncaknya. Ketika masih di dunia Rasulullah berkata: “umatku...”  dan kelak
di padang mahsyar hari kiamat, beliau kembali berkata: “umatku...umatku...”[7] jadi, betapa
tingginya tingkat keikhlasan Rasulullah, sebab ketika pintu surga terbuka lebar merindukan
beliau masuk kedalamnya, ternyata beliau terus saja sibuk dengan nasib umat Islam. Demi
kitalah kelak Rasulullah rela berlama-lama di padang mahsyar dari pada berleha-leha di
dalam surga. Dan hebatnya Rasulullah tidak melakukan semua itu hanya untuk para kerabat
beliau saja, melainkan juga terhadap seluruh umat beliau termasuk para pendosa diantara
mereka.
Jendela-jendela jiwa para nabi dan rasul memang hanya terbuka bagi satu tujuan yang
sama, yaitu keridhaan Allah. Sedangkan terhadap segala hal yang selain itu, jiwa mereka
selalu tertutup rapat. Oleh sebab itu, bagi siapapun yang saat ini melakukan dakwah dan
tabligh seperti yang dulu dilakukan para rasul, hendaknya mereka selalu berhati-hati dan peka
terhadap masalah ini, sebab ia merupakan sebuah perkara yang sangat penting dan sensitif.
Ingat, besar atau kecilnya efek dari ucapan yang dilontarkan seseorang tidak bergantung pada
kefasihan dan kecanggihan struktur bahasanya, melainkan berhubungan langsung dengan
keikhlasan orang yang mengucapkannya.
)٢١( ‫اتّبعوا من ال يسئلكم أجرا وهم مهتدون‬
“Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin:21)
Bermuwajahah-lah hanya kepada Allah untuk mendapatkan keridhaan dari-Nya di
dunia dan akhirat. Bahagia didua kehidupan dunia dan akhirat sangat bergantung kepada
kebersihan dan kesucian batin manusia. Demikian juga sebaliknya, kesengsaraan tidak
terlepas dari sikap dan perilaku serta kekotoran jiwa manusia. Sikap muwajahah ini sangat
berpengaruh pada kehidupan ini, yang tiada lain semuanya ini atas kekuasaan Allah.  

C.         KESIMPULAN

1.    Muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi
diri.Seseorang yang mengadakan introspeksi diri, tidak mesti sesudah melakukan suatu
perbuatan, benar atau salah, berhasil atau gagal. Dari firman Allah Q.S Al-Hasyr ayat 18
tersirat suatu perintah untuk senantiasa melakukan muhasabah supaya hari esok akan lebih
baik. Maka dalam melakukan muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah dirinya
lebih banyak berbuat baik ataukah lebih banyak berbuat kesalahan dalam kehidupan sehari-
harinya.
2.    Muraqabah ialah merasa selalu diawasi oleh Allah sehingga dengan kesadaran ini
mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Muraqabatullah bermakna seseorang merasakan eksistensi atau keberadaan Allah dalam
kehidupannya sehingga dia merasa aman dan nyaman tanpa ada ketakutan serta kecemasan,
di samping itu dia menyakini bahwa Allah selalu memperhatikannya dan memantau segala
gerak geriknya, sehingga muncullah rasa malu, malu melakukan kesalahan dan perbuatan
yang tercela serta berusaha melakukan perbuatan baik dan mulia.
3.  Dalam bahasa Arab muwajahah yaitu bertatap muka atau menghadapkan diri hanya kepada
Allah. Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan menghantarkan kepada sebuah
kesimpulan yang benar, maka seseorang harus berpikir positif. Bermuwajahah-lah hanya
kepada Allah untuk mendapatkan keridhaan dari-Nya di dunia dan akhirat. Bahagia didua
kehidupan dunia dan akhirat sangat bergantung kepada kebersihan dan kesucian batin
manusia. Demikian juga sebaliknya, kesengsaraan tidak terlepas dari sikap dan perilaku serta
kekotoran jiwa manusia. Sikap muwajahah ini sangat berpengaruh pada kehidupan ini, yang
tiada lain semuanya ini atas kekuasaan Allah.  

DAFTAR PUSTAKA
Askar. Kamus Arab-Indonesia Al-Azhar, Jakarta: Senayan Publishing. 2009 M
Ali Hasan. Kumpulan Tulisan M. Ali Hasan. Jakarta: Prenada Media. 2003 M
Ibdalsyah. Muraqabatullah Lailan Wa Nahaaran. Bogor: AzamDunya 2016 M
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Fiqh al-Sirah, Dar al-Fikr. 1980 M
Al-Bukhari, at-Tauhid, 32; Muslim, al-Iman
Muhammad Jamil Jaho. Tazhkirah al-Qulub Fii Muraqabah ‘Allamil Ghuyub. Jakarta:
Yayasan Emiliyatil Abbasiyah. 2002 M
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Minhajul Muslim, Terj. Pedoman Hidup Muslim. Bogor: PT.
Litera InterNusa. 2008 M
Hasan Ayub. Fiqh Muamalat al-Maliyah. Mesir: Daar al-Salam. 2003 M
https://muslimah.or.id/5833-muhasabah-dan-muraqabah-1-tingkatan-pertama
musyarathah.html

[1]Askar, Kamus Arab-Indonesia Al-Azhar, Jakarta: Senayan Publishing. Tahun 2009 M. hlm. 100.
[2] Muhammad Ali Hasan, Kumpulan Tulisan M. Ali Hasan. Jakarta: Prenada Media. Tahun 2003 M.
hlm. 195.
[3]Ibdalsyah, MuraqabatullahLailanWaNahaaran. Bogor: AzamDunya Bogor. Tahun 2016.Hlm. 13.
[4] Muhammad JamilJaho, Tazhkirah al-QulubFiiMuraqabah ‘AllamilGhuyub. Jakarta:
YayasanEmiliyatilAbbasiyah. Tahun 2002.
[5] Muhammad Ali Hasan, Kumpulan Tulisan M. Ali Hasan. Jakarta: Prenada Media. Tahun 2003 M.
hlm. 197-198.
[6]Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah, Dar al-Fikr, 1980. Hlm. 180.
[7] Al-Bukhari, at-Tauhid, 32; Muslim, al-Iman, 326.

Anda mungkin juga menyukai