Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“MUSABAHAH DIRI”

Dosen Pengampu : Yulizar Bila, S.Pd.I, M.Ed

Oleh :
Muhammad Aldo Fakhrozi
NIM : 17087166

JURUSAN PENDIDIKAN KEPElATIHAN OLAHRAGA


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
BAB I
PEDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Setiap muslim diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan perbuatan
baik di dunia. Namun, adakalanya manusia juga melakukan beberapa kesalahan.
Untuk memperbaikinya, kita dianjurkan untuk melakukan muhasabah
diri.Muhasabah diri perlu dilakukan setiap muslim untuk memperbaiki
hubungannya dengan Allah SWT, manusia, dan dirinya sendiri. Dengan
melakukan muhasabah, seseorang akan menjadi pribadi yang lebih baik.
Muhasabah dalam agama kita mengandung arti yang begitu mendalam bila
kita mengetahui hakikat muhasabah itu sendiri. Terutama dalam kehidupan dunia
dan juga kehidupan akherat nan kekal abadi. Mengerti, memahami akan arti
definisi muhasabah dalam Islam perlu untuk setiap mukmin dalam rangka
memperbaiki dirinya ke dalam hal-hal yang baik dan positif. Secara bahasa,
muhasabah berasal dari kata hasiba yahsabu hisab yang artinya perhitungan.
Sedangkan secara istilah, muhasabah adalah usaha untuk introspeksi diri dengan
mengevaluasi kesalahan yang telah diperbuat dan menggantinya dengan
kebaikan-kebaikan.
Hakikat muhasabah bukan mengingat dosa-dosa yang telah lalu, kemudian
menyesali dan menangisinya. Namun, hakikat muhasabah adalah memaksakan
diri untuk taat melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala
larangannya. Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak
hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh
dari nilai-nilai dakwah itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


1.      Apa Pengertian Muhasabah secara bahasa dan Istilah?
2.      Apa Saja Hal Yang Penting Dalam Muhasabah ?
3.      Apa Saja Aspek- Aspek yang perlu dimuhasabahi ?
4.      Bagaimana indikasi kegagalan dan kesuksesan dalam Muhasabah?
5.      Apa Manfaat dan Tujuan Muhasabah?

1.3 Tujuan
1.      Untuk mengetahui Makna Muhasabah secara bahasa dan Istilah
2.      Untuk mengetahui hal yang penting dalam muhasabah
3.      Untuk mengetahui aspek – aspek yang perlu dimuhasabahi
4.      Untuk mengetahui indikasi kegagalan dan kesuksesan dalam Muhasabah
5.      Untuk mengetahui Manfaat dan Tujuan Muhasabah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Muhasabah


Muhasabah adalah evaluasi diri sendiri. Sehingga penjabaran akan makna
arti muhasabah berasal dari kata hasiba yang artinya adalah menghisab atau pun
menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai
diri sendiri atau mengevaluasi, atau pun introspeksi diri.
Muhasabah menurut Rasulullah SAW sama artinya dengan jihad nafs atau
jihad memerangi dan mengekang hawa nafsu. Rasulullah SAW dalam sabdanya
yang lain menegaskan jihad nafs adalah salah satu jihad paling besar dan
termasuk ke dalam hakikat seorang mujahid. ''Mujahid adalah orang yang
mengekang jiwanya untuk taat kepada perintah Allah.'' (HR Ahmad).
Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang
telah dilakukan dari masa-masa yang telah lalu. Manusia yang beruntung adalah
manusia yang tahu akan dirinya sendiri. Dan manusia beruntung akan selalu
mempersiapkan dirinya untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir di
akhirat yang pasti adanya.
Dari pengertian di atas, jelas bahwa hakikat muhasabah bukan mengingat
dosa-dosa yang telah lalu, kemudian menyesali dan menangisinya. Namun,
hakikat muhasabah adalah memaksakan diri untuk taat melaksanakan semua
perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya.
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya
menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari
nilai-nilai dakwah itu sendiri
Dalil yang berkaitan dengan makna muhasabah ini juga banyak.
Diantaranya yaitu hadist Rasulullah SAW yang artinya adalah :
"Dari Syadad bin Aus r.a, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau berkata, "Orang
yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta
beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah
adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap
Allah SWT". (HR. Imam Turmudzi)
Dalil Al-Qur'an yang berkaitan dengan muhasabah juga telah Allah
Firman kan dalam Al-Qur'an yaitu Q.S.Al-Hasyr (59):18:
ْ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو ْلتَنظُرْ نَ ْفسٌ َّما قَ َّد َم‬
َ‫ت لِ َغ ٍد َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ َخبِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akherat), dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan"
2.2 Indikasi Kegagalan dan Kesuksesan dalam Muhasabah
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya
mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw.
sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga
menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya
setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh
Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk
kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan
Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena
muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau
perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam
penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa
evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya
yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan
dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw,
dengan ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang
mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak
memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi
perjalanan hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-
angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’ Maksudnya, adalah
sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi,
sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya
ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah
meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah
akan mengampuni dosa-dosanya.

2.3 Hal yang Penting dalam Muhasabah


Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan
ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran, serta Ibnu
Katsir Rahimahullah dalam tafsirannya, Imam Al-Badawy rahimahullah dalam
tafsirannya mengenai Hal yang penting dalam muhasabah.
a. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya
hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab
(evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami
benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas,
Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan
meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan
akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum
mendapatkan hisab dari Allah swt.
b. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:
‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya
sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur.
Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi
muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan.
Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya
sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang
yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa,
pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
c. Hal yang penting dalam muhasabah lainnya dari muhasabah adalah karena
setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt dengan
kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal
perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka
akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS.
Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].
d. Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya:
ْ ‫ َو ْلتَنظُرْ نَ ْفسٌ َّما قَ َّد َم‬, maksudnya introspeksilah diri kalian
"Firman Allah ‫ت لِ َغ ٍد‬
sebelum kalian dihisab, dan perhatikan amalan sholeh yang telah kalian
persiapkan untuk hari kemudian dan pertanggung jawaban di hadapan Allah.
e. Imam Al-Badawy rahimahullah berkata dalam tafsirnya: "Al-Hasan berkata:
Maknanya sungguh beruntunglah orang yang mensucikan, memperbaiki dan
mengarahkan dirinya untuk taat pada Allah 'Azza Wa Jalla

2.4 Aspek – Aspek Yang Perlu Di Muhasabahi


Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia
menjadi orang yang pandai dan sukses.
a. Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah.
Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi
ini.

َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬


‫س إِاَّل لِيَ ْعبُدُو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
b. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan
dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian
menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan
pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah
saw. bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau
bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat,
hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya,
masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia
memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana
pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)
c.  Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek
kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan
sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting,
sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah
kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang
bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak
memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari
umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat,
puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh,
mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain.
Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya.
Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan
kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya,
lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana
digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan
membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan
itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan
interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh,
memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala
kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena
kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-
dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya.
Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat
tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
d. Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena
menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga
substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa,
akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah,
mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek
dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik
dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari
dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’
dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu
sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi
lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi,
evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam
bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak
hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang
jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi
bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah:
“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108].

2.5 Manfaat Dan Keutamaan Muhasabah


a. Dengan bermuhasabah diri, maka diri setiap muslim akan bisa mengetahui
akan aib serta kekurangan dirinya sendiri. Baik itu dalam hal amalan ibadah,
kegiatan yang memberikan manfaat untuk banyak manusia. Sehingga dengan
demikian akan bisa memperbaiki diri apa-apa yang dirasa kurang pada dirinya.
b. Dalam hal ibadah, kita akan semakin tahu akan hak kewajiban kita sebagai
seorang hambaNya dan terus memperbaiki diri dan mengetahui hakekat ibadah
bahwasannya manfaat hikmah ibadah adalah demi kepentingan diri kita
sendiri. Bukan demi kepentingan Allah Ta'ala. Karena kita lah manusia yang
lemah dan penuh dosa yang memerlukan akan pengampunan dosa-dosa kita
yang banyak.
c.  Mengetahui akan segala sesuatu baik itu kecil maupun besar atas apa yang kita
lakukan di dunia ini, akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akherat.
Inilah salah satu hikmah muhasabah dalam diri setiap manusia.
d. Membenci hawa nafsu dan mewaspadainya. Dan senantiasa melaksanakan
amal ibadah serta ketaatan dan menjauhi segala hal yang berbau kemaksiatan,
agar menjadi ringan hisab di hari akhirat kelak.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Muhasabah atau introspeksi diri sangat dibutuhkan seorang muslim dalam
bertasawwuf serta untuk membangun akhlaknya. Muhasabah akan senantiasa
memajukan peradaban Islam selama muslim masih memakainya. Sehingga tidak
timbul lagi dikemudian hari, sebuah Negara non-muslim yang Islami atau Negara
muslim yang non-Islami. Muhasabah sendiri adalah salah satu jihad terbesar,
yakni jihad melawan hawa nafsu.

3.2 Saran
Manusia tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu kita sebagai manusia
harus memperbaikinya, cara untuk memperbaikinya dapat dilakukan dengan
melakukan muhasabah diri. Muhasabah diri perlu dilakukan setiap muslim untuk
memperbaiki hubungannya dengan Allah SWT, manusia, dan dirinya sendiri.
Dengan melakukan muhasabah, seseorang akan menjadi pribadi yang lebih baik.
DAFTAR PUSAKA

http://www.safiyhati.com/2013/06/muhasabah-dalam-islam.html
http://www.hilman.web.id/posting/blog/1052/pengertian-makna-dan-hakikat-
muhasabah.html
Husain Al-Habsyi, Kamus Al-Kautsar Lengkap, (Bangil: Yayasan Pesantren Islam,
1986).
http://www.safiyhati.com/2013/06/muhasabah-dalam-islam.html
http://www.hilman.web.id/posting/blog/1052/pengertian-makna-dan-hakikat-
muhasabah.html
http://www.safiyhati.com/2013/06/muhasabah-dalam-islam.html
http://www.dakwatuna.com/2007/09/17/258/makna-muhasabah/#axzz2guMJ9vXj
https://islamhouse.com/id/articles/178714/

Anda mungkin juga menyukai