Anda di halaman 1dari 16

Ikhlas Beramal

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hadits Akhlak

Penyusun :

1. Khoirilia Ramadhani (06010123009)


2. Yusuf Firmansyah (06020123080)
3. Achmad Chadziq Wajdi (06040123084)

Dosen Pengampu :

Ismail Anas, Lc, M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang menjelaskan tentang Kedudukan dan Peran
Guru dalam Islam.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah


membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Baik itu teman-teman, dosen dan
semua pihak yang telah membantu kami yang mana tidak kami sebutkan satu per
satu.

Besar harapan kami agar makalah ini dapat bernilai baik, dan dapat
digunakan dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari bahwa makalah yang kamu
susun ini belum sempurna, untuk itu kami mengharapakan kritik dan saran dalam
rangka penyempurnaan untuk pembuatan makalah selanjutnya. Sebelum dan
sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

Surabaya, 06 Maret 2024

Tim Penyusun

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................II
DAFTAR ISI..........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Niat Saat Beramal.........................................................................................2
B. Cara Menjauhi Perbuatan Riya.....................................................................6
C. Cara Menjauhi Perbuatan Ujub dan Sombong..............................................9
BAB III PENUTUP...............................................................................................12
A. Kesimpulan.................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam praktik keagamaan dan kehidupan sehari-hari, konsep ikhlas


beramal memiliki peran penting. Ikhlas beramal merupakan landasan spiritual
yang memengaruhi kualitas dan dampak dari setiap tindakan yang dilakukan
oleh individu. Namun, dalam realitasnya, mencapai keikhlasan dalam beramal
tidaklah mudah dan sering kali dihadapkan pada tantangan-tantangan tertentu
sepertiBagaimana cara yang tepat untuk mencapai keikhlasan dalam beramal,
baik dari segi niat maupun tindakan konkret yang dilakukan? Apa saja tanda-
tanda dan cara menghindari perbuatan riya, yang dapat mengganggu proses
mencapai keikhlasan dalam beramal? Bagaimana cara efektif untuk menjauhi
perbuatan ujub dan sombong, yang sering kali menjadi hambatan dalam
mencapai keikhlasan dalam beramal?
Dengan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini, diharapkan dapat
ditemukan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya ikhlas
beramal dan langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk mencapainya
dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara ikhlas dalam beramal?


2. Bagaimana cara menjauhi perbuatan riya?
3. Bagaimana cara menjauhi perbuatan sombong dan ujub?

C. Tujuan

1. Untuk mengatahui cara ikhlas dalam beramal.


2. Untuk mengetahui cara menjauhi perbuatan riya.
3. Untuk mengetahui cara menjauhi perbuatan ujub dan sombong.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Niat Saat Beramal

Secara bahasa, niat berasal dari bahasa Arab nawaa-yanwi-niyyatan (- ‫نية‬


‫ نوى‬- ‫(ينوي‬. Di mana lafaz ini memiliki beberapa makna, di antaranya adalah
alqoshdu (suatu maksud/tujuan) dan al-hifzhu (penjagaan). Sedangkan secara
istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan niat. Kalangan al-
Malikiyyah mendefinisikan niat sebagai suatu tujuan dari suatu perbuatan
yang hendak dilakukan oleh seorang manusia. Dan dengan makna ini, maka
niat muncul sebelum perbuatan itu sendiri. Imam al-Qarafi al-Maliki (w. 684
H) menjelaskannya di dalam kitabnya adz-Dzakhirah: 1

‫ِه َق ُد اِإل ْن اِن ِبَق ْلِبِه ا ِر يُد ِبِف ِلِه‬.


‫َم ُي ُه ْع‬ ‫َي ْص َس‬

Niat adalah tujuan yang diinginkan oleh hati manusia melalui


perbuatannya. Sedangkan kalangan asy-Syafi’iyyah mendefinisikan niat
sebagai suatu tujuan dari suatu perbuatan yang muncul bersamaan dengan
perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana didefinisikan oleh imam al-Jamal (w.
1204 H) dalam Hasyiah al-Jamal ‘ala al-Manhaj:2

‫َف ُد الَّش ِء ْق ِرَت َنا ِبِف ِلِه‬


‫ْع‬ ‫ْي ُم‬ ‫ْص‬

Tujuan untuk melakukan suatu perbuatan, yang bersamaan dengan perbuatan


tersebut.1

Pengertian ikhlas menurut Imam Al-Qusyairi di dalam kitabnya yang


berjudul Risalatul Qusyairiyah (1990: 183) yaitu ikhlas adalah bermaksud
menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya sesembahan.

1
Insan Ansory, Fiqih Niat, ed. Maemunah (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019).

2
Salah satu kata kunci islam yang pasti dipahami oleh setiap muslim adalah
ikhlas. Merupakan suatu kewajiban baginya ketika bersahadat, meyakini
keesaan Allah, dan mengingkari tuhan-tuhan selainnya (hak ibadah). Adapun
kata ikhlas yang merupakan kunci surga ini, tidak dapat dipahami kecuali
hanya seorang mukhlis (orang yang bertauhid). Banyak ayat-ayat al-quran
yang menyitir kaum yang tidak mengikhlaskan penghambaan diri kepada
Allah. Di antaranya surat Al’Ankabut, ayat 65

‫َفِإَذا َر ِكُبوا يِف اْلُفْلِك َدَعُو ا الَّلَه ْخُمِلِص َني َلُه الِّديَن َفَلَّم ا جَن َنُه ْم ِإىَل اْلَبِّر ِإَذا ُه ْم ُيْش ِر ُك وَن‬

Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan
mereka sampai ke darat, tiba-tiba tiba mereka (Kembali) mempersekutukan
(Allah).2

Ikhlas merupakan amalan hati yang perlu mendapatkan perhatian khusus


secara mendalam dan dilakukan secara terus-menerus. Baik ketika hendak
beramal, sedang beramal, maupun ketika sudah beramal. Hal ini dilakukan
agar amalan yang dilakukan bernilai di hadapan Allah.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.

Maksud dari agama yang lurus dari ayat tersebut adalah kita terjauhkan
dari hal-hal syirik dan menuju kepada tauhid. Disinilah kedudukan ikhlas
yang begitu penting dalam amal ibadah, agar amalan-amalan tidak sia-sia dan
tidak mendapatkan azab di dunia maupun akhirat kelak.3

Ciri-ciri seorang Mukhlis:

Pertama, tidak terpengaruh atau termakan oleh pujian dan cercaan orang
lain. Bagi mereka segala pujian yang indah atau cercaan yang buruk adalah
2
Muhammad Fahmi Luthfil Hikam et al., Bunga Rampai Islam Dalam Disiplin Ilmu (Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 2022).
3
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA, “Pentingnya Ikhlas Dalam Beramal,” INDONESIA, UNIVERSITAS
ISLAM, last modified 2020, accessed March 6, 2024, https://www.uii.ac.id/pentingnya-ikhlas-
dalam-beramal/.

3
sama nilainya. Salah satu ulama salaf, Ibnul Jauzy rahimahullah pernah
berkata: “Alangkah sedikitnya orang yang beramal ikhlas hanya karena Allah
Ta’ala, karena kebanyakan manusia ingin ibadah mereka terlihat oleh orang
lain.

Kedua, tidak mengharapkan balasan atau ganjaran dari amal kebajikan


yang pernah dilakukan, tetapi dia hanya mengharapkan keridaan Ilahi.
Rasulullah SAW bersabda: ''Pada hari kiamat nanti, dunia akan dibawa,
kemudian dipisah-pisahkan, apa yang dikerjakan karena Allah dan apa yang
dilakukan bukan karena Allah, lalu dicampakkan ke dalam api neraka.''
(Hadits riwayat Baihaqi)

Ketiga, orang yang tidak pernah mengungkit-ungkit kembali segala


kebaikan yang pernah dilakukan. Artinya, orang yang selalu menyebut
tentang kebaikan yang pernah dilakukan, apalagi menghina dan memburuk-
burukkan orang yang pernah diberikan bantuan, maka sesungguhnya dia
sangat jauh dari golongan orang yang ikhlas. Rasulullah SAW pernah
memerintahkan kita agar bersedekah secara diam-diam, jauh dari penglihatan
orang banyak. Umpama tangan kanan memberi sedangkan tangan kiri tidak
mengetahuinya. Sabda Rasulullah SAW: ''Bahwa sesungguhnya Allah tidak
melihat kepada tubuh dan rupa kamu, tetapi Dia hanya melihat kepada hati
kamu.'' (Hadits riwayat Muslim)4

Bagaimana cara menumbuhkan rasa ikhlas dalam hati? Berikut beberapa


cara untuk menumbuhkan rasa ikhlas.

1. Selalu Menghadirkan Kebesaran Allah Ta’ala


Cobalah bertanya dalam diri, apa sebenarnya tujuan hidup kita di
dunia? Bukankah jelas Allah menciptakan jin dan manusia semata-
mata hanya untuk menyembah-Nya. Lantas apa yang bisa kita
harapkan dari manusia, semisal Ia bisa memuji terhadap apa yang kita
lakukan? Tidak ada, selain justru menumbuhkan perasaan ria dalam
diri yang justru mengurangi pahala dari Allah SWT.

4
Hikam et al., Bunga Rampai Islam Dalam Disiplin Ilmu.

4
Munculkanlah perasaan bahwa Allah adalah dzat Maha Besar yang
ada di semesta. Sehingga kita akan terhindar dari perasaan sombong
dalam melakukan sesuatu, pasalanya ada Dzat yang lebih besar
dibanding semua yang kita miliki di dunia ini.
2. Berdoa Kepada Allah agar Diberi Keikhalasan
Rasa merupakan bentuk kasih sayang dan karunia Allah yang
disematkan dalam hati manusia. Jika Dia berkehendak maka Ia akan
memberikan ‘rasa’ yang kita minta. Sebaliknya jika Dia menghendaki,
mungkin Dia akan menjauhkan dari ‘rasa’ untuk berbuat baik. Maka
dari itu, sebaiknya berdoa agar diberi perasaan ikhlas saat melakukan
suatu amalan atau saat menerima musibah.
Dan sungguh benar apa yang dikatakan Ibnul Qoyyim rahimahullah,
bahwa kehinaan adalah ketika Allah meninggalkan seorang hamba
dengan dirinya sendiri.
3. Mengingat Pahala Keikhlasan
Ikhlas merupakan satu-satunya jalan menuju surga. Tanpa keikhlasan
suatu amal tidak akan diterima, dan tanpanya juga seorang hamba
akan terjerumus ke dalam neraka. Berusahalah untuk mengingat hal
ini, ketika perasaaan tidak ikhlas itu kembali hadir.
Juga selalu mengevaluasi diri dan bersungguh sungguh. Baik sebelum,
ketika, dan setelah beramal. Sebelum memulai, berhentilah sejenak,
tanyakan kepada jiwa kita, apa yang kita ingingkan dengan amalan
ini? Jika yang diinginkannya adalah ridha Allah, atau pahala dari
Allah ta’ala, maka hendaklah seseorang meneruskan amalannya.
Namun sebaliknya, jika ternyata yang diinginkan hal lain selain Allah
Ta’ala, maka hendaknya seseorang tidak melanjutkan amalannya
sampai meluruskan niatnya.
Ketika sedang beramalpun tetaplah melihat hati kita, jangan sampai
berubah niatnya, jika kemudian muncul niat lain selain Allah, maka
segera palingkan kepada Allah ta’ala. Begitu juga setelah beramal.
Jangan sampai muncul keinginan untuk diketahui oleh manusia,

5
hingga kemudian menceritakan amalannya sambil berharap pujian
dari mereka.
4. Memperbanyak Ketaatan
Taat merupakan apa yang sudah diperintahkan oleh Allah SWT.
Dengan memperbanyak melakukan ketaatan, hati kita terbiasa dekat
dengan Allah. Sehingga saat melakukan sesuatu yang teringat
hanyalah Allah SWT.
5. Tidak Takjub dengan Diri Sendiri
Takjub dengan diri sendiri, membuat kita menyekutukan Allah dengan
diri sendiri. Seakan akan dia telah berjasa kepada Allah dengan
amalannya. Padahal, hakekatnya justru sebaliknya. Seorang bisa
beramal merupakan taufik dari Allah ta’ala.5

B. Cara Menjauhi Perbuatan Riya

Dalam kamus ilmu al-Qur’a>n yang di susun oleh Ahsin W. al-Hafidz di


jelaskan bahwa riya’ adalah sifat ingin menonjolkan diri untuk mendapatkan
pujian/perhatian orang lain, bukan karna ingin mendapat keridhaan Allah. Hal
itu biasa dilakukan oleh orang-orang munafik sebagaimana diisyaratkan
dalam QS. Al-Baqarah /2: 264, QS. An-Nisa’/4: 38 dan 142, QS. Al-Anfal/8:
47, dan QS. Al-Maun /105: 6. Orang-orang demikian biasa disebut sebagai
orang yang suka mengambil muka untuk mencari ketenangan sesa’at.1
Sedangkan Abu Ja’far mengartikan riya’ ialah suka mendapat pujian dari
orang lain atas perbuatan baik yang ia lakukan.2 Secara bahasa, riya’ artinya
memperlihatkan amalan kebaikan agar dapat dilihat orang lain.3 Secara
harfiyah, kata riya atau ria’a ( ‫( رئاء‬berakar dari kata ra’a (‫( رأى‬mempunyai
makna melihat. Menurut bahasa, kata ria’a merupakan mut}abaqah dari
wazan fi’al (‫( فعال‬yang berarti melakukan suatu perbuatan agar dilihat oleh
manusia. Dalam Lisan al-arab, kata ini mengandung arti menunjukkan suatu
perbuatan secara berlebihan demi Memperlihatkan amalan kebaikan agar

5
Inmas Aceh, “Cara Menumbuhkan Rasa Ikhlas,” Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Aceh, last modified 2016, accessed March 7, 2024, https://aceh.kemenag.go.id/baca/cara-
menumbuhkan-rasa-ikhlas.

6
dapat dilihat orang lain. Amalan. tersebut dilakukan dihadapan orang-orang
sehingga mereka memberikan pujian kepadanya. Sementara dalam
peristilahan syariat, riya’ adalah mengerjakan ibadah sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ditujukan untuk sesuatu yang bersifat
duniawi.4
Sebab-sebab Penyakit Riya’
Dalam buku Dahsyatnya Ikhlas Bahayanya Riya’ Ubaid bin Salim al-Amri
menjelaskan pokok dari riya’ digolongkan kepada tiga sebab, yaitu: senang
terhadap sanjungan, takut pada cela’an manusia, dan rakus (sangat
menginginkan) apa yang tampak pada orang lain.27 Keadaan ini diperkuat
melalui riwayat Abu Musa al-‘Asyari RA, hingga ada seorang laki-laki yang
datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah jika ada
seseorang yang berperang karena rasa fanatisme (ia tidak mau dikalahkan
atau dihina), kemudian ada seseorang yang berperang dengan gagah berani
(agar namanya disebut-sebut dan dipuji sebagai orang yang gagah berani),
dan ada seseorang yang berperang dengan unsur riya’ (agar kedudukannya
diketahui orang lain). Dari ketiga hal di atas manakah yang berada di jalan
Allah?” kemudian Nabi SAW menanggapi: “Barangsiapa yang berperang
dengan tujuan agar kalimat Allah yang paling tinggi, maka itulah fisabilillah”
(HR. Bukhari dan Muslim).28 Boleh jadi seseorang itu tidak tertarik dengan
pujian, tetapi ia takut terhadap hinaan. Seperti seorang yang penakut di antara
para pemberani. Dia berusaha menguatkan hati agar tidak direndahkan. Dan
sekali-kali seseorang menyampaikan fatwa tanpa ilmu karena mencegah
hinaan agar tidak dikatakan seperti orang bodoh.29
Cara Menghindari dan Mengobati Penyakit Riya’
Jika dalam hati ada tekad untuk mendapat pujian dari orang lain, maka
ketahuilah bahwa itu adalah salah satu keangkuhan ' yang memicu kemurkaan
Allah, akan membuat amal kita menjadi hilang, Sebagaimana disadari bahwa
kemauan agar orang lain untuk menyadari apa yang sedang dilakukan adalah
keinginan yang dihembuskan setan untuk mendorong seseorang melakukan
riya’'. Dengan demikian, mengetahui resiko melakukan riya' akan membawa
kepada kebencian terhadap melakukannya.52

7
Dalam jurnal Tasauf dan Kesehatan, karya Muzakkir ia menjelaskan
beberapa cara menghindari bahaya riya’ diantaranya sebagai berikut:
1. Membiasakan diri menyembuyikan amalan Menurut Sa’id Hawwa cara
ini terus dilakukan hingga tidak memerlukan orang lain mengetahui
ibadah yang telah dilakukan, akan tetapi cukup Allah SWT yang
mengetahuinya53. Sungguh tidak ada obat yang paling mujarab untuk
penyakit riya’ selain sembunyi-sembunyi dalam beribadah. Ini memang
sulit dilakukan bagi orang yang baru memulainya, tetapi semakin lama
beban itu ia hadapi, maka beban yang awalnya sangat berat akan menjadi
ringan dan akhirnya ia akan merasakan kasih saying lewat taufik dan
hidayah yang diberikan-Nya.54
2. Memahami dan mengingat bahaya riya’ Terkadang keinginan untuk
melakukan riya' sering muncul dalam diri seseorang karena setan tidak
akan meninggalkannya bahkan pada saat beribadah, dia akan terus
mengucapkan bisikan-bisikan riya' kepadanya. Jika dia tahu tentang
risiko riya’, kemurkaan Allah dan azab yang dia dapatkan, ketakutan dan
kebencian akan muncul. Terlebih lagi, apa gunanya sanjungan dari orang
lain jika itu hanya membuat Allah murka.55
3. Berdoa kepada Allah SWT agar terhindar dari penyakit riya’ Abu Musa
al-'Asy'ari, berkata, suatu hari Nabi SAW menguliahi kita: "Hai manusia
takutlah akan sanjungan (riya’') karena itu lebih tertutup daripada
merayapnya serangga bawah tanah." Kemudian, pada saat itu salah satu
dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami
mewaspadainya? Beliau menjawab: “Ya Allah, kami berlindung kepada
engkau dari mempersekutukan sesuatu dengan-Mu apa yang kami
ketahui dan kami memohon ampunan dari apa yang kami tidak ketahui”
(HR. Ahmad). 56
4. Bersihkan dan perbaiki tujuan dalam setiap perbuatan , amal shaleh dan
latih sikap ikhlas dalam setiap perbuatan Pahami bahwa Allah SWT
secara konsisten menyadari apa pun yang kita lakukan, perbuatan syrik
yang kita lakukan. Bersamaan dengan itu, kita harus menyadari bahwa
Allah SWT akan mengganti semua perbuatan kebajikan tersebut. Kita

8
akan merasa sangat senang dan puas hanya dengan diketahui oleh Allah
saja, merasa takut dan berharap hanya kepada-Nya. Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat biji dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)-Nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat biji
dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya pula (Q.S al-
Zalzalah/99: 7-8).576

C. Cara Menjauhi Perbuatan Ujub dan Sombong

Pengertian Ujub Ujub dalam bahasa arab yang pengertiannya secara umum
adalah membanggakan diri sendiri merasa heran terhadap diri sendiri sebab
adanya satu dan lain hal.

Menurut Al-Junjani ujub adalah anggapan seseorang terhadap ketinggian


dirinya, padahal ia tidak berhak untuk anggapan itu. Ujub merupakan cela dan
perasaan yang sangat buruk. Hati manusia yang ujub, disaat ia merasa ujub
adalah buta sehingga ia melihat dirinya sebagai orang yang selamat padahal ia
adalah celaka, ia melihat dirinya sebagai orang yang benar padahal ia adalah
salah. Orang yang ujub selalu meremehkan atas perbuatan dosa yang
dilakukan dan selalu melupakan dosa yang telah diperbuatnya, bahkan
hatinya buta sehingga melihat perbuatan dosa yang dilakukan sebagai
perbuatan bukan dosa dan selalu memperbanyak perbuatan dosa itu. Orang
yang ujub selalu mengecilkan perasaan takutnya kepada Allah SWT dan
memperbesar rasa kesombongan kepadaNya

Macam-macam ujub di antaranya:

1. Ujub atas kepintaran dan kesombongan


2. Ujub atas garis keturunan (nasab)
3. Ujub atas harta
4. Ujub atas pendapat yang salah

Pengertian Takabur Takabur adalah berbangga diri dan cenderung


memandang diri berada diatas orang lain. Allah SWT

6
Kiki Maharani Avrilia, “Riya’ Menurut Hamka Dalam Tafsir Al-Ahzar,” Skripsi (2021): 1–74.

9
berfirman”sesungguhnya orang-orang yang takabur tentang penyembahan
pada-Ku, niscaya akan aku masukkan ke dalam neraka Jahannam kekal
didalamnya.”(Ghafir ayat 60)

Takabur bisa diartikan dengan sikap dan sifat menolak kebenaran (al-Kibr
batharu alhaqq), ia menjadi salah satu sifat yang menyebabkan kejelekan dan
keburukan seseorang. sifat dan sikap ini bisa menjadikan seseorang tertutup
(terhijab) hatinya dari cahaya Allah.

Kekaguman pada diri sendiri bisa berakibat timbulnya sikap sombong dan
angkuh terhadap orang lain dan merendahkan serta meremehkan mereka
dalam pergaulan. Dalam al-Qur‟an banyak terdapat ayat-ayat yang mencela
ketakaburan orang-orang musyrik dan munafik serta keengganan mereka
untuk menerima kebenaran karena rasa angkuh yang mereka miliki.

Terdapat banyak sekali penyebab timbunya sifat sombong, diantaranya


adalah ilmu, amal dan ibadah, garis keturunan, good looking, harta, kekuatan,
kaum/pengikut/pendukung7

Cara menghindari ujub dan takabbur

1. Kita harus memiliki sifat percaya diri ( ), tetapi jika sudah memasuki
ketakaburan dan menganggap rendah terhadap yang lain, inilah yang
dikatakan ujub yang di larang agama. Hal tersebut harus dihindari dengan
cara bahwa kita harus percaya diri tetapi ingat bahwa kita tetap punya sisi
lemah. Orang lain juga mempunyai potensi dan kita harus menghargai
potensi tersebut.

2. Kita harus ingat dan sadar, bahwa dalam sejarah, orang yang ujub, takabur
dengan kekuatannya, maka Allah yang akan menghancurkannya

3. Kita juga harus sadar bahwa ilmu yang kita miliki sangatlah sedikit
dibandingkan dengan ilmu Allah Swt. Bakhan sesungguhnya ilmu kita
lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang sekitar kita. Kita hanya

7
Ulfa Dj. Nurkamiden, “Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub Dan Takabur,” Tadbir: Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam 4, no. 2 (2016): 115–126.

10
paham sesuatu yang pernah kita lihat, kita baca dan kita dengarkan,
selebihnya kita tidak mengerti.

4. Kita harus sadar bahwa fisik yang gagah, wajah yang tampan rupawan,
cantik jelita adalah anugrah Allah dan sifatnya sementara, yaitu ketika
masih usia Hal tersebut juga merupakan ukuran kemulianseseorang di
hadapan Allah Swt. Karena yang menentukan kemulian adalah
ketakwaannya.

5. Kita juga harus ingat bahwa harta yang kita miliki juga titipan Allah yang
harus dijaga dan digunakan untuk jalan yang Harta bukan untuk
disombong-sombongkan seperti yang dilakukan oleh Qarun.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Melihat dari keterangan yang telah di paparkan di atas, dapat di ambil


kesimpulan bahwa dalam beramal, penting bagi kita untuk memahami dan
mengamalkan prinsip-prinsip keikhlasan. Untuk mencapai keikhlasan dalam
beramal, kita perlu menghindari perbuatan riya, yang merupakan tindakan
yang dilakukan semata-mata untuk mendapatkan pujian atau pengakuan dari
orang lain. Selain itu, kita juga perlu menjauhi perbuatan ujub dan sombong,
yang dapat menghambat kita dari mencapai keikhlasan sejati. Proses ini
melibatkan refleksi diri yang mendalam, kesadaran akan motif di balik
tindakan-tindakan kita, serta kesediaan untuk menjaga kesederhanaan dan
kerendahan hati dalam segala hal yang kita lakukan. Dengan demikian,
kesempurnaan amal tidak hanya terletak pada tindakan fisik yang dilakukan,
tetapi juga pada keadaan hati yang bersih dan ikhlas yang mengiringi setiap
langkah kita dalam beribadah dan beramal.

12
DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Inmas. “Cara Menumbuhkan Rasa Ikhlas.” Kantor Wilayah Kementerian


Agama Provinsi Aceh. Last modified 2016. Accessed March 7, 2024.
https://aceh.kemenag.go.id/baca/cara-menumbuhkan-rasa-ikhlas.

Ansory, Insan. Fiqih Niat. Edited by Maemunah. Jakarta: Rumah Fiqih


Publishing, 2019.

Avrilia, Kiki Maharani. “Riya’ Menurut Hamka Dalam Tafsir Al-Ahzar.” Skripsi
(2021): 1–74.

Hikam, Muhammad Fahmi Luthfil, Muhammad Busro, Ziyadatul Mustaghfiroh,


Wina Widiasari, Eriko Elsa Daje, Vony Hanna Retnaning Peny, and Yua
Piyur Alifa. Bunga Rampai Islam Dalam Disiplin Ilmu. Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 2022.

INDONESIA, UNIVERSITAS ISLAM. “Pentingnya Ikhlas Dalam Beramal.”


INDONESIA, UNIVERSITAS ISLAM. Last modified 2020. Accessed March
6, 2024. https://www.uii.ac.id/pentingnya-ikhlas-dalam-beramal/.

Ulfa Dj. Nurkamiden. “Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub Dan Takabur.” Tadbir:
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 4, no. 2 (2016): 115–126.

13

Anda mungkin juga menyukai