Anda di halaman 1dari 27

Nama : Lidya Aprilian

Nim : DK23065
MK : kepemimpinan dan manajemen keperawatan
Dosen : frenny ravika mbaloto Ns,.M.kep

5 pilar MPKP/SP2KP
1. Professional value
Nilai-nilai professional menjadi komponen utama pada praktik
keperawatan profesional. Nilai-nilai professional ini merupakan inti dari
MPKP. Nilai-nilai seperti penghargaan atas otonomi klien, menghargai
klien, dan melakukan yang terbaik untuk klien harus tetap ditingkatkan
dalam suatu proses keperawatan.
2. Management approach
Seorang perawat dalam melakukan asuhan keperawatan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia harus melakukan pendekatan penyelesaian
masalah, sehingga dapat diidentifikasi masalah klien, dan nantinya dapat
diterapkan terapi keperawatan yang tepat untuk masalah klien.
3. Kompensasi dan penghargaan (Compensation & Reward).
Pada suatu profesi, seorang professional mempunyai hak atas kompensasi
dan penghargaan. Kompensasi yang didapat merupakan imbalan dari
kewajiban profesi yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Kompensasi dan
penghargaan yang diberikan pada MPKP dapat disepakati di setiap
institusi dengan mengacu pada kesepakatan bahwa layanan keperawatan
adalah pelayanan profesional.
4. Hubungan profesional (Profesional Relationship)
Asuhan kesehatan yang diberikan kepada klien melibatkan beberapa
anggota tim kesehatan yang mana focus pemberian asuhan kesehatan
adalah klien. Karena banyaknya anggota tim kesehatan yang terlibat, maka
perlu adanya kesepakatan mengenai hubungan kolaborasi dalam
pemberian asuhan kesehatan tersebut.
5. Sistem pemberian asuhan keperawatan (Care Delivery System)
Dalam perkembangan keperawatan menuju layanan yang profesional,
digunakan beberapa metode pemberian asuhan keperawatan, misalnya
metodekasus, fungsional, tim, dan keperawatan primer, serta manajemen
kasus. Dalam praktik keperawatan profesional, metode yang paling
memungkinkan pemberian asuhan keperawatan professional adalah
metode yang menggunakan the breath of keperawatan primer.

Pilar – pilar Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP)


Model praktek keperawatan profesional terdiri dari 4 pilar diantaranya:

Pilar I yaitu Pendekatan Manajemen Keperawatan


MPKP mensyaratkan pendekatan manajemen sebagai pilar praktek
keperawatan profesional yang pertama.
Pada pilar I terdiri dari:
Perencanaan yaitu kegiatan Model Praktek Keperawatan Profesional.
Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran ddan penentuan secara
matang hal-hal yang akan dikerjakan dimasa mendatang dalam rangka
pencapaian tujuan
Melalui visi, misi, filosofi dan kebijakan. Sedangkan untuk jenis
perencanaan jangka pendek melalui rencana kegiatan harian, bulnan,
mingguan dan tahunan.
 Visi
Merupakan pernyataan singkat yang menyatakan mengapa organisasi
itu terbentuk serta tujuan organisasi tersebut. Visi di MPKP adalah
mengoptimalkan kemampuan kepada klien.
 Misi
Merupakan pernyataan yang menjelaskan tujuan organisasi dalam
mencapai visi yang telah ditetapkan.
 Filosofi
Yakni seperangkat nilai-nilai MPKP yang menjadi rujukan semua
kegiatan.
 Kebijakan
Pernyataan yang menjadi acuan organisasi dalam mengambil
keputusan.
 Rencana jangka pendek di ruang Model Prktek
KeperawatanProfesional
Kegiatan yang dlaksanakan oleh perawat sesuai dengan perannya
masing-masing yang dibuat setiap shif. Rencana harian dibuat sebelum
melakukan operan.
 Rencana harian kepala ruangan

Melalui:

 Asuhan keperawatan
 Supevisi ketua tim
 Supervisi tenaga selain perawat dan kerja sama dengan tim lain
yang terkait.
 Rencana harian ketua tim
 Menyelenggarakan asuhan keperawatan pasien pada tim yang
menjadi tanggung jawab
 Melakukan supervisi perawat pelaksana
 Kolaborasi dengan dokter atau tim kesehatan lain
 Alokasi pasien sesuai dengan perawat yang dinas
 Rencana harian perawat pelaksana:
 Pelaksanaan shif sore atau malam
 Memberikan asuhan keperawatan pada pasien.
 Rencana bulanan kepala ruangan
Akhir bulan kepala ruangan melakukan evaluasi hasil keempat
pilar. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut kepala ruangan akan
membuat rencana bulanan ketua tim.
 Rencana tahunan kepala ruangan
Akhir tahun kepala ruangan melakukan evaluasi hasil kegiatan
dalam satu tahun yang dijadikan acuan rencana tindak lanjut serta
penyusunan rencana tahunan.

Rencana kegiatan tahunan Model Praktek Keperawatan Profesional


(MPKP):

 Menyusun laporan tahun yanhg berfungsi tentang kinerja model


praktek keperawatan profesional serta evaluasi mutu pelayanan.
 Melakukan rotasi tim untuk penyegaran anggota masing – masing
tim.
 Pengembangan sumber daya manusia peningkatan jenjang karis
perawat pelaksana menjadi ketua tim dan ketua tim menjadi kepala
ruangan.
 Membuat jadwal-jadwal pelatihan.
 Pengorganisasian yaitu kegiatan dan tenaga perawat.
Merupakan pengelompokaan aktifitas untuk mencapai tujuan
melalui struktur organisasi MPKP, menyusun daftar dinas,
menyusun daftar alokasi asuhan keperawatan pasien.
Penugasan kelompok tenaga keperawatan
 Struktur oganisasi
Susunan komponen – komponen dalam suatu organisasi, pada
pengertian struktur oganisasi adanya pembagian kerja.
 Daftar dinass ruangan
Daftar yang berisi jadwal dinas perawat yang bertugas,
penanggung jawab dinas/shif.
 Daftar pasien
Daftar yang berisi nama pasien, nama dokter, nama perawat dalam
tim, penanggung jawab pasien dan alokasi perawat saan
menjalankan dinas setiap shif.
1) Pengarahan yaitu bentuk tindakan dalam rangka mencapai tujuan
organisasi.

Melalui pendelegasian, supervisi, komunikasi efektif


mencakup pre dan post konferens serta manajemen konflik.

a) Pendelegasian
Melakukan pekerjaan melalui orang lain dalam
pengorganisasian, pendelegasian dilakukan agar aktifitas
organisasi tetap berjalan untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan.
Pendelegasian dilakukan melalui proses:
- Buat rencana tugas yang dituntaskan
- Identifikasi keterampilan dan tingkatkan pengetahuan
yang diperlakukan untuk melaksanakan tugas
- Pilih orang yang mampu melaksanakan tugas yang
didelegasikan
- Evaluasi kerja setelah tugas selesai
- Pendelegasian terdiri dari tugas dan wewenang
b) Supervisi
Proses memastikan kegiatan dilaksanakan sesuai dengan
tujuan organisasi, dengan cara melakukan pelaksanaan
terhadap pelaksanaan kegiatan.
Penerapan supervisi di MPKP adalah:
- Kepala seksi keperawatan atau konsultan melakukan
pengawasan terhadap kepala ruangan.
- Kepala ruangan melakukan pengawasan terhadap ketua
tim dan perawat pelaksana.
- Ketua tim melakukan pengawasan kepasa perawat
pelaksana.
c) Komunikasi efektif
Fungsi pokok manajemen, komunikasi yang kurang baik dapat
mengganggu kelancaran organisasi dalam mencapai tujuan
organisasi (Swanbrug, 2000)
Penerapan organisasi di Model praktek keperawatan
profesional antara lain:
- Pre konferens
Komunikasi ketua tim dengan perawat pelaksana setelah
selesai operan untuk rencana kegiatan pada shif tersebut
dipimpin oleh ketua tim atau penanggung jawab.
- Operan
Komunikasi serah terima anta shif pagi, siang dan malam.
- Post konferens
Komunikasi ketua tim dengan perawat pelaksana tentang
hasil kegiatan sepanjang shif sebelum operan kepada shif
berikutnya.
d) Manajemen konflik
Perbedaan pandangan atau ide antara satu orang dengan
orang lain. Perbedaan konflik mudah terjadi demikian juga
diruang MPKP maka perlu dibudidayakan upaya-upaya
mengantisipasi konflik antara petugas tim.
Cara – cara penanganan konflik melalui:
 Berkolaborasi, yaitu upaya yang ditempuh untuk
memuaskan kedua belah pihak yang sedang berkonflik.
Cara ini adalah salah satu bentuk kerja sama, berbagai
pihak yang terlibat konflik, didorong menyelesaikan
masalah yang mereka hadapi dengan jalan mencari dan
menemukan persamaan kepentingan dan bukan perbedaan.
Situasi yang diinginkan adalah tidak ada satu pihakpun
yang dirugikan. Istilah lain cara penyelesaian konflik ini
adalah win – win solution.
 Berkompromi, yaitu cara penyelesaian konflik dimana
semua pihak yang berkonflik mengorbankan
kepentingannya demi terjaminnya keharmonisan hubungan
kedua belah pihak tersebut. dalam upaya ini tidak ada salah
satu pihak yang menang atau kalah. Istilah lain cara
penyelesaian konflik ini adalah lose – lose solution.
Dimana masing – masing pihak akan mengorbankan
kepentingannya agar hubungan yang dijalin tetap harmonis.
2) Pengendalian yaitu proses memastikan aktifitas sebenarnya sesuai
dengan aktifitas yang direncanakan. Melalui audit, strukturl, audit
proses dan audit hasil.
Langkah – langkah yang harus dilakukan dalam engendalian
meliputi:
a) Menetapkan standar dan menetapkan metode dan pengukuran
prestasi kerja.
b) Menetapkan apakah prestasi kerja sesuai dengan standar:
 Audit struktur
Berfokus pada sumber daya manusia, lingkungan, peratan,
peralatan standar dan indikator dengan menggunakan
check list (√)
 Audit proses
Pengukuran pelaksanaan pelayanan keperawatan untuk
menentukan apakah hasil keperawatan tercapai.
 Audit hasil
Audit pokok kerja berupa kondisi pasien, kondisi sumber
daya manusia atau indikator mutu.
b. Pilar II yaitu sistem penghargaan pada tenaga keperawatan.
Kemampuan perawat melakukan praktek profesional perlu
dipertahankan dan ditingkatkan melalui manajemen sumber daya
manusia, sehingga perawat mendapatkan kompensasi berupa
penghargaan sesuai dengan apa yang dikerjakan (Nursalam, 2007).
Sistem penghargaan ini melalui proses rekruitmen, seleksi kerja,
orientasi, penilaian kinerja dan pengembangan staff perawat.
1) Proses rekruitmen
Penentuan perawat yang dibutuhkan diruang MPKP yang
mempunyai kriteria:
a) Kepala ruangan
- Pendidikan minimal S1 keperawatan. Jika belum ada
masa transisi boleh D3 bila diruangan tersebut belum
ada perawat yang berpendidikan S1 dengan syarat
mempunyai jiwa kepemimpinan.
- Pengalaman menjadi kepala ruangan minimal 2 tahun
dan bekerja pada area keperawatan minimal 2 tahun.
- Sehat jasmani dan rohani
- Pernah mengikuti pelatihan antara lain:
o Manajemen bangsal
o Pelatihan Model Praktek Keperawatan
Profesional
o Komunikasi keperawatan
- Lulus tes tulis dan wawancara
b) Ketua tim
- Pendidikan minimal S1 keperawatan. Jika belum ada masa
transisi boleh D3 dengan syarat mempunyai jiwa
kepemimpinan.
- Pengalama kerja minimal 2 tahun
- Sehat jasmani dan rohani
- Pernah mengikuti pelatihan, antara lain:
o Manajemen bangsal
o Pelatihan Model Praktek Keperawatan Profesional
o Komunikasi keperawatan
- Lulus tes tulis dan wawancara
c) Perawat pelaksana
- Pendidikan minimal D3
- Pengalaman kerja minimal 1 tahun
- Sehat jasmani dan rohani
- Pernah mengikuti pelatihan
- Lulus tes tulis dan wawancara.
2) Kerja orientasi
Perawat yang akan bekerja di ruang MPKP harus melalui masa
orientasi yang disebut pelatihan awal sebelum bekerja pada unit
kerja MPKP.
3) Penilaian kerja.
Penilaian kinerja di ruang MPKP ditujukan pada kepala ruangan,
ketua tim, perawat pelaksana menggunakan supervsi baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
4) Pengembangan staf
Membantu masing-masing perawat mencapai kinerja sesuai
dengan posisi dan untuk penghargaan terhadap kemampuan
profesional, bentuk pengembangan karir, pendidikan berkelanjutan
dari D3 ke S1.

c. Pilar III yaitu hubungan profesional komunikasi horizontal antara


kepala ruangan dengan ketua tim dan perawat pelaksana serta antara
ketua tim dengan perawat pelaksana. Komunikasi diagonal yang
dilakukan perawat dengan profesi lainnya.
Hubungan profesional di ruang Model Praktek Keperawatan
profesional adalah:
1) Rapat perawat ruangan
2) Pere dan post konferens
3) Rapat tim kesehatan
4) Visit dokter
d. Pilar IV Manajemen asuhan keperawatan, yaitu memberikan asuhan
keperawatan pada pasien secara sistematis dan terorganisir. Manajemen
asuhan keperawatan merupakan pengaturan sumber daya dalam
menjalankan kegiatan kebutuhan klien atau menyelesaikan masalah
klien.

1. Metode penugasan Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) dalam


keperawatan.
a. Metode kasus
Metode kasus merupakan metode pemberian asuhan yang pertama
kali digunakan. Sampai perang dunia II metode tersebut merupakan
metode pemberian asuhan keperawatan yang paling banyak
digunakan. Pada metode ini satu perawat akan memberikan asuhan
keperawatan kepada seorang klien secara total dalam satu periode
dinas. Jumlah klien yang dirawat oleh satu perawat bergantung pada
kemampuan perawat tersebut dan kompleksnya kebutuhan klien.
(Sitorus, 2006).
Setelah perang dunia II, jumlah pendidikan keperawatan dari berbagai
jenis program meningkat dan banyak lulusan bekerja di rumah sakit.
Agar pemanfaatan tenaga yang bervariasi tersebut dapat maksimal dan
juga tuntutan peran yang diharapkan dari perawat sesuai dengan
perkembangan ilmu kedokteran, kemudian dikembangkan metode
fungsional. (Sitorus, 2006).
Kelebihan metode kasus:
1) Kebutuhan pasien terpenuhi.
2) Pasien merasa puas.
3) Masalah pasien dapat dipahami oleh perawat.
4) Kepuasan tugas secara keseluruhan dapat dicapai.

Kekurangan metode kasus:


1) Kemampuan tenga perawat pelaksana dan siswa perawat yang
terbatas sehingga tidak mampu memberikan asuhan secara
menyeluruh
2) Membutuhkan banyak tenaga.
3) Beban kerja tinggi terutama jika jumlah klien banyak sehingga
tugas rutin yang sederhana terlewatkan.
4) Pendelegasian perawatan klien hanya sebagian selama perawat
penaggung jawab klien bertugas.

b. Metode fungsional
Pada metode fungsional, pemberian asuhan keperawatan
ditekankan pada penyelesaian tugas atau prosedur. Setiap perawat
diberi satu atau beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada semua
klien di satu ruangan. (Sitorus, 2006).
Pada metode ini, kepala ruang menentukan tugas setiap perawat
dalam satu ruangan. Perawat akan melaporkan tugas yang
dikerjakannya kepada kepala ruangan dan kepala ruangan tersebut
bertanggung jawab dalam pembuatan laporan klien. Metode
fungsional mungkin efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas apabila
jumlah perawat sedikit, tetapi klien tidak mendapatkan kepuasan
asuhan yang diterimanya. (Sitorus, 2006).
Kelebihan dari metode fungsional adalah:
1) Sederhana
2) Efisien.
3) Perawat terampil untuk tugas atau pekerjaan tertentu.
4) Mudah memperoleh kepuasan kerja bagi perawat setelah selesai
tugas.
5) Kekurangan tenaga ahli dapat diganti dengan tenaga yang
kurangberpengalaman untuk satu tugas yang sederhana.
6) Memudahkan kepala ruangan untuk mengawasi staff atau peserta
didik yang praktek untuk ketrampilan tertentu.
Namun, Metode ini kurang efektif karena (Sitorus, 2006) :
1) Proritas utama yang dikerjakan adalah kebutuhan fisik dan kurang
menekankan pada pemenuhan kebutuhan holistik.
2) Mutu asuhan keperawatan sering terabaikan karena pemberian
asuhan keperawatan terfragmentasi.
3) Komunikasi antar perawat sangat terbatas sehingga tidak ada satu
perawat yang mengetahui tentang satu klien secara komprehensif,
kecuali mungkin kepala ruangan.
4) Keterbatasan itu sering menyebabkan klien merasa kurang puas
terhadap pelayanan atau asuhan yang diberikan karena seringkali
klien tidak mendapat jawaban yang tepat tentang hal-hal yang
ditanyakan.
5) Klien kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan
perawat.

Selama beberapa tahun menggunakan metode fungsional beberapa


perawat pemimpin (nurse leader) mulai mempertanyakan
keefektifan metode tersebut dalam memberikan asuhan
keperawatan profesional kemudian pada tahun 1950 metode tim
digunakan untuk menjawab hal tersebut. (Sitorus, 2006).

c. Metode tim
Metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan,
yaitu seorang perawat profesional memimpin sekelompok tenaga
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada
sekelompok klien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif. Metode
tim didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok
mempunyai kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan
keperawatan sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab yang tinggi.
(Sitorus, 2006).
Pelaksanaan metode tim berlandaskan konsep berikut (Sitorus, 2006) :
1) Ketua tim, sebagai perawat profesional harus mampu
menggunakan berbagai teknik kepemimpinan. Ketua tim harus
dapat membuat keputusan tentang prioritas perencanaan,
supervisi, dan evaluasi asuhan keperawatan. Tanggung jawab
ketua tim adalah :
a) Mengkaji setiap klien dan menetapkan renpra
b) Mengkoordinasikan renpra dengan tindakan medis
c) Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap
anggota kelompok dan memberikan bimbingan melalui
konferensi
d) Mengevaluasi pemberian askep dan hasil yang dicapai serta
mendokumentasikannya
2) Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas renpra terjamin.
Komunikasi yang terbuka dapat dilakukan melalui berbagai cara,
terutama melalui renpra tertulis yang merupakan pedoman
pelaksanaan asuhan, supervisi, dan evaluasi.
3) Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim.
4) Peran kepala ruangan penting dalam metode tim. Metode tim akan
berhasil baik apabila didukung oleh kepala ruang untuk itu kepala
ruang diharapkan telah :
a) Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf
b) Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan
c) Memberi kesempatan pada ketua tim untuk pengembangan
kepemimpinan
d) Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim
keperawatan
e) Menjadi narasumber bagi ketua tim
f) Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset
keperawatan
g) Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka.
Kelebihan metode ini adalah:

a. Saling memberi pengalaman antar sesama tim.


b. Pasien dilayani secara komfrehesif
c. Terciptanya kaderisasi kepemimpinan.
d. Tercipta kerja sama yang baik .
e. Memberi kepuasan anggota tim dalam hubungan interpersonal
f. Memungkinkan menyatukan anggota tim yang berbeda-beda
dengan aman dan efektif.

Kekurangan metode ini:

Kesinambungan asuhan keperawatan belum optimal sehingga pakar


mengembangkan metode keperawatan primer (Sitorus, 2006).
Selain itu:

a. Tim yang satu tidak mengetahui mengenai pasien yang bukan


menjadi tanggung jawabnya.
b. Rapat tim memerlukan waktu sehingga pada situasi sibuk rapat
tim ditiadakan atau trburu-buru sehingga dapat mengakibatkan
kimunikasi dan koordinasi antar anggota tim terganggu
sehingga kelanncaran tugas terhambat.
c. Perawat yang belum terampil dan belum berpengalaman selalu
tergantung atau berlindung kepada anggota tim yang mampu
atau ketua tim.
d. Akontabilitas dalam tim kabur.

d. Metode Perawat Primer


Menurrut Gillies (1989) “Keperawatan primer merupakan suatu
metode pemberian asuhan keperawatan, dimana terdapat hubungan yang
dekat dan berkesinambungan antara klien dan seorang perawat tertentu
yang bertanggungjawab dalam perencanaan, pemberian, dan koordinasi
asuha keperawatan klien, selama klien dirawat.” (Sitorus, 2006). Pada
metode keperawatan primer perawat yang bertanggung jawab terhadap
pemberian asuhan keperawatan disebut perawat primer (primary nurse)
disingkat dengan PP. (Sitorus, 2006).
Metode keperawatan primer dikenal dengan ciri yaitu akuntabilitas,
otonomi, otoritas, advokasi, ketegasan, dan 5K yaitu kontinuitas,
komunikasi, kolaborasi, koordinasi, dan komitmen. (Sitorus, 2006). Setiap
PP biasanya merawat 4 sampai 6 klien dan bertanggungjawab selama 24
jam selama klien tersebut dirawat dirumah sakit atau di suatu unit. Perawat
akan melakukan wawancara mengkaji secara komprehensif, dan
merencanakan asuhan keperawatan. Perawat yang peling mengetahui
keadaaan klien. Jika PP tidak sedang bertugas, kelanjutan asuhan akan di
delegasikan kepada perawat lain (associated nurse). PP bertanggungjawab
terhadap asuhan keperawatan klien dan menginformasikan keadaan klien
kepada kepala ruangan, dokter, dan staff keperawatan. (Sitorus, 2006).
Seorang PP bukan hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan
asuhan keperawatan, tetapi juga mempunyai kewengangan untuk
melakukan rujukan kepada pekerja sosial, kontrak dengan lembaga sosial
di masyarakat, membuat jadwal perjanjian klinik, mengadakan kunjungan
rumah dan lain lain. Dengan diberikannya kewenangan, dituntut
akuntabilitas perawat yang tinggi terhadap hasil pelayanan yang diberikan.
Metode keperawatan primer memberikan beberapa keuntungan terhadap
klien, perawat, dokter, dan rumah sakit (Gillies, 1989). (Sitorus, 2006).
Keuntungan yang dirasakan klien ialah mereka merasa lebih dihargai
sebagai manusia karena terpenuhi kebutuhannya secara individu, asuhan
keperawatan yang bermutu tinggi dan tercapainya layanan yang efektif
terhadap pengobatan, dukungan, proteksi, informasi, dan advokasi. Metode
itu dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan karena (Sitorus, 2006) :
1) Hanya ada 1 perawat yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan
koordinasi asuhan keperawatan
2) Jangkauan observasi setiap perawat hanya 4-6 klien
3) PP bertanggung jawab selama 24 jam
4) Rencana pulang klien dapat diberikan lebih awal
5) Rencana asuhan keperawatan dan rencana medik dapat berjalan
paralel.

Keuntungan yang dirasakan oleh PP adalah memungkinkan bagi PP


untuk pengembangan diri melalui implementasi ilmu pengetahuan. Hal ini
dimungkinkan karena adanya otonomi dalam membuat keputusan tentang
asuhan keperawatan klien. Staf medis juga merasakan kepuasannya
dengan metode ini karena senantiasa mendapat informasi tentang kondisi
klien yang mutakhir dan komprehensif. (Sitorus, 2006). Informasi dapat
diperoleh dari satu perawat yang benar-benar mengetahui keadaan klien.
Keuntungan yang diperoleh oleh rumah sakit adalah rumah sakit tidak
harus memperkerjakan terlalu banyak tenaga keperawatan, tetapi harus
merupakan perawat yang bermutu tinggi. (Sitorus, 2006).Di negara maju
pada umumnya perawat yang ditunjuk sebagai PP adalah seorang spesialis
perawat klinis (clinical nurse specialist) dengan kualifikasi master
keperawatan. Menurut Ellis dan Hartley (1995), Kozier et al (1997)
seorang PP bertanggung jawab untuk membuat keputusan yang terkait
dengan asuhan keperawatan klien oleh karena itu kualifikasi kemampuan
PP minimal adalah sarjana keperawatan/Ners. (Sitorus, 2006).
Kelebihan metode perawat primer:
1) Mendorong kemandirian perawat.
2) Ada keterikatan pasien dan perawat selama dirawat
3) Berkomunikasi langsung dengan Dokter
4) Perawatan adalah perawatan komfrehensif
5) Model praktek keperawatan profesional dapat dilakukan atau
diterapkan.
6) Memberikan kepuasan kerja bagi perawat
7) Memberikan kepuasan bagi klien dan keluarga menerima asuhan
keperawatan.
Kelemahan metode perawat primer:

1) Perlu kualitas dan kuantitas tenaga perawat


2) Hanya dapat dilakukan oleh perawat profesional.
3) Biaya relatif lebih tinggi dibandingkan metode lain.

e. Differentiated practice
National League for Nursing (NLN) dalam kozier et al (1995)
menjelaskan bahwa differentiated practice adalah suatu pendekatan yang
bertujuan menjamin mutu asuhan melalui pemanfaatan sumber-sumber
keperawatan yang tepat. Terdapat dua model yaitu model kompetensi dan
model pendidikan. Pada model kompetensi, perawat terdaftar (registered
nurse) diberi tugas berdasarkan tanggung jawab dan struktur peran yang
sesuai dengan kemampuannya. Pada model pendidikan, penetapan tugas
keperawatan didasarkan pada tingkat pendidikan. Bedasarkan pendidikan,
perawat akan ditetapkan apa yang menjadi tnggung jawab setiap perawat
dan bagaimana hubungan antar tenaga tersebut diatur (Sitorus, 2006).
f. Manajemen kasus
Manajemen kasus merupakan system pemberian asuhan kesehatan
secara multi disiplin yang bertujuan meningkatkan pemanfaatan fungsi
berbagai anggota tim kesehatan dan sumber-sumber yang ada sehingga
dapat dicapai hasil akhir asuhan kesehatan yang optimal. ANA dalam
Marquis dan Hutson (2000) mengatakan bahwa manajemen kasus
merupakan proses pemberian asuhan kesehatan yang bertujuan
mengurangi fragmentasi, meningkatkan kualitas hidup, dan efisiensi
pembiayaan. Focus pertama manajemen kasus adalah integrasi, koordinasi
dan advokasi klien, keluarga serta masyarakat yang memerlukan pelayanan
yang ektensif. Metode manajemen kasus meliputi beberapa elemen utama
yaitu, pendekatan berfokus pada klien, koordinasi asuhan dan pelayanan
antar institusi, berorientasi pada hasil, efisiensi sumber dan kolaborasi
(Sitorus, 2006).
2. Karakteristik Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP)
a. Penetapan jumlah tenaga keperawatan. Penetapan jumlah tenaga
keperawatan berdasarkan jumlah klien sesuai dengan derajat
ketergantungan klien.
b. Penetapan jenis tenaga keperawatan. Pada suatu ruang rawat MPKP,
terdapat beberapa jenis tenaga yang memberikan asuhan keperawatan
yaitu Clinical Care Manager (CCM), Perawat Primer (PP), dan
Perawat Asosiet (PA). Selain jenis tenaga tersebut terdapat juga
seorang kepala ruang rawat yang bertanggung jawab terhadap
manajemen pelayanan keperawatan di ruang rawat tersebut. Peran dan
fungsi masing-masing tenaga sesuai dengan kemampuannya dan
terdapat tanggungjawab yang jelas dalam sistem pemberian asuhan
keperawatan.
c. Penetapan standar rencana asuhan keperawatan (renpra). Standar
renpra perlu ditetapkan, karena berdasarkan hasil obsevasi, penulisan
renpra sangat menyita waktu karena fenomena keperawatan mencakup
14 kebutuhan dasar manusia
d. Penggunaan metode modifikasi keperwatan primer. Pada MPKP
digunakan metode modifikasi keperawatn primer, sehingga terdapat
satu orang perawat profesional yang disebut perawat primer yang
bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas asuhan keperawatan
yang diberikan. Disamping itu, terdapat Clinical Care Manager
(CCM) yang mengarahkan dan membimbing PP dalam memberikan
asuhan keperawatan. CCM diharapkan akan menjadi peran ners
spesialis pada masa yang akan datang.

3. Tingkatan Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP)


a. Model Praktek Keperawatan Profesional III
Melalui pengembangan model PKP III dapat berikan asuhan
keperawatan profesional tingkat III. Pada ketenagaan terdapat tenaga
perawat dengan kemampuan doktor dalam keperawatan klinik yang
berfungsi untuk melakukan riset dan membimbing para perawat
melakukan riset sera memanfaatkan hasil-hasil riset dalam
memberikan asuhan keperawatan.
b. Model Praktek Keperawatan Profesional II.
Pada model ini akan mampu memberikan asuhan keperawatan
profesional tingkat II. Pada ketenagaan terdapat tenaga perawat
dengan kemampuan spesialis keperawatan yang spesifik untuk cabang
ilmu tertentu. Perawat spesialis berfungsi untuk memberikan
konsultasi tentang asuhan keperawatan kepada perawat primer pada
area spesialisnya. Disamping itu melakukan riset dan memanfaatkan
hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan. Jumlah
perawat spesialis direncanakan satu orang untuk 10 perawat primer
pada area spesialisnya. Disamping itu melakukan riset dan
memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan
keperawatan. Jumlah perawat spesialis direncanakan satu orang untuk
10 perawat primer (1:10).
c. Model Praktek Keperawatan Profesional I.
Pada model ini perawat mampu memberikan asuhan keperawatan
profesional tingkat I dan untuk itu diperlukan penataan 3 komponen
utama yaitu: ketenagaan keperawatan, metode pemberian asuhan
keperawatan yang digunakan pada model ini adalah kombinasi metode
keperawatan primer dan metode tim disebut tim primer.
d. Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula.
Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula (MPKPP)
merupakan tahap awal untuk menuju model PKP. Model ini mampu
memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat pemula. Pada
model ini terdapat 3 komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan,
metode pemberian asuhan keperawatan dan dokumentasi asuhan
keperawatan.
(Sudarsono, 2000 dalam sitorus, 2006)
4. Langkah – langkah dalam Model Praktek Keperawatan Profesional
(MPKP)
a. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan penerapan MPKP ini ada beberapa hal yang
harus dilakukan, yaitu (Sitorus, 2006).:
1) Pembentukan Tim
Jika MPKP akan diimplementasikan di rumah sakit yang
digunakan sebagai tempat proses belajar bagi mahasiswa
keperawatan, sebaiknya kelompok kerja ini melibatkan staf dari
institusi yang berkaitan. Sehingga kegiatan ini merupakan kegiatan
kolaborasi antara pelayanan/rumah saklit dan institusi pendidikan.
Tim ini bisa terdiri dari seorang koordinator departemen, seorang
penyelia, dan kepala ruang rawat serta tenaga dari institusi
pendidikan. (Sitorus, 2006).
2) Rancangan Penilaian Mutu
Penilaian mutu asuhan keperawatan meliputi kepuasan
klien/keluarga kepatuhan perawat terhadap standar yang diniali
dari dokumentasi keperawatan, lama hari rawat dan angka infeksi
noksomial. (Sitorus, 2006).
3) Presentasi MPKP
Selanjutnya dilakukan presentasi tentang MPKP dan hasil
penilaian mutu asuhan kepada pimpinan rumah sakit,
departemen,staf keperawtan, dan staf lain yang terlibat. Pada
presentasi ini juga, sudah dapat ditetapkan ruang rawat tempat
implementasi MPKP akan dilaksanakan. (Sitorus, 2006).
4) Penempatan Tempat Implementasi MPKP
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penempatan tempat
implementasi MPKP, antara lain (Sitorus, 2006) :
a) Mayoritas tenaga perawat merupakan staf baru di ruang
tersebut. Hal ini diperlukan sehingga dari awal tenaga perawat
tersebut akan mendapat pembinaan tentang kerangka kerja
MPKP.
b) Bila terdapat ruang rawat, sebaiknya ruang rawat tersebut
terdiri dari 1 swasta dan 1 ruang rawat yang nantinya akan
dikembangkan sebagai pusat pelatihan bagi perawat dari ruang
rawat lain.
5) Penetapan Tenaga Keperawatan
Pada MPKP, jumlah tenaga keperawatan di suatu ruang
rawat ditetapkan dari klasifikasi klien berdasarkan derajat
ketergantungan. Untuk menetapkan jumlah tenaga keperawtan
di suatu ruangrawat didahului dengan menghitung jumlah
klien derdasarkan derajat ketergantungan dalam waktu
tertentu, minimal selama 7 hari berturut-turut. (Sitorus, 2006).
6) Penetapan Jenis Tenaga
Pada MPKP metode pemberian asuhan keperawatan
yang digunakan adalah metode modifikasi keperawatan primer.
Dengan demikian, dalam suatu ruang rawat terdapat beberapa
jenis tenaga, meliputi (Sitorus, 2006).:
a) Kepala ruang rawat
b) Clinical care manager
c) Perawat primer
d) Perawat asosiet
7) Pengembangan Standar rencana asuhan Keperawatan.
Pengembangan standar renpra bertujuan untuk
mengurangi waktu perawat menulis, sehingga waktu yang
tersedia lebih banyak dilakukan untuk melakukan tindakan
sesuai kebutuhan klien. Adanya standar renpra menunjukan
asuhan keperawtan yang diberikan berdasarkan konsep dan
teori keperwatan yang kukuh, yang merupakan salah satu
karakteristik pelayanan professional. Format standar renpra
yang digunakan biasanya terdiri dari bagian-bagian tindakan
keperawatan: diagnose keperawatan dan data penunjang,
tujuan, tindakan keperawatan dan kolom keterangan. (Sitorus,
2006).
8) Penetapan Format Dokumentasi Keperawatan
Selain standar renpra, format dokumentasi keperawatan
lain yang diperlukan adalah (Sitorus, 2006) :
a) Format pengkajian awal keperawatan
b) Format implementasi tindakan keperawatan
c) Format kardex
d) Format catatan perkembangan
e) Format daftar infuse termasuk instruksi atau pesanan
dokter
f) Format laporan pergantian shif
g) Resume perawatan
9) Identifikasi Fasilitas
Fasilitas minimal yang dibutuhkan pada suatu ruang MPKP sama
dengan fasilitas yang dibutuhkan pada suatu ruang rawat. Adapun
fasilitas tambahan yang di perlukan adalah (Sitorus, 2006) :
a) Badge atau kartu nama tim
Badge atau kartu nama tim merupakan kartu identitas tim
yang berisi nama PP dan PA dalam tim tersebut. Kartu ini
digunakan pertama kali sat melakukan kontrak dengan
klien/keluarga.
b) Papan MPKP
Papan MPKP berisi darfat nama-nama klien, PP, PA, dan
timnya serta dokter yang merawat klien.
b. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan MPKP dilakukan langkah-langkah
berikut ini (Sitorus, 2006) :
1) Pelatihan tentang MPKP
Pelatihan MPKP diberikan kepada semua perawat yang
terlibat di ruang yang sudah ditentukan.
2) Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam
melakukan konferensi.
Konferensi merupakan pertemuan tim yang dilakukan
setiap hari. Konferensi dilakukan setelah melaukan operan
dinas, sore atau malam sesuai dengan jadwal dinas PP.
Konferensi sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri sehingga
dapat mengurangi gangguan dari luar. (Sitorus, 2006).
3) Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam
melakukan ronde dengan porawat asosiet (PA).
Ronde keperawatan bersama dengan PA sebaiknya juga
dilakukan setiap hari. Ronde ini penting selain untuk supervisi
kegiatan PA, juga sarana bagi PP untuk memperoleh tambahan
data tentang kondisi klien. (Sitorus, 2006).
4) Memberi bimbingan kepada PP dalam memanfaatkan standar
renpra.
Standar renpra merupakan acuan bagi tim dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Semua masalah dan
tindakan yang direncenakan mengacu pada standar tersebut.
(Sitorus, 2006).
5) Memberi bimbingan kepada PP dalam membuat
kontrak/orientasi dengan klien/keluarga.
Kontrak antara perawat dan klien/keuarga merupakan
kesepakatan antara perawat dan klien/keluarganya dalam
pemberian asuhan keperawatan. Kontrak ini diperlukan agar
hubungan saling percaya antara perawat dan klien dapat
terbina. Kontrak diawali dengan pemberian orientasibagi klien
dan keluarganya. (Sitorus, 2006).
6) Memberi bimbingan kepada PP dalam melakukan presentasi
kasus dalam tim.
PP secara teratur diharapkan dapat mempresentasikan kasus-
kasus klien yang dirawatnya. Melalui kasus ini PP dan PA
dapat lebih mempelajari kasus yang ditanganinya secara
mendalam. (Sitorus, 2006).
7) Memberi bimbingan kepada Critical Care Manager (CCM)
dalam membimbing PP dan PA.
Bimbingan CCM terhadap PP dan PA dalam melakukan
implementasi MPKP dilakukan melalui supervisi secara
berkala. Agar terdapat kesinambungan bimbingan, diperlukan
buku komunikasi CCM. Buku ini menjadi sangat diperlukan
karena CCM terdiri dari beberapa orang yaitu anggota
tim/panitia yang diatur gilirannya untuk memberikan
bimbingan kepada PP dan PA. Bila sudah ada CCM tertentu
untuk setiap ruangan, buku komunikasi CCM tidak diperlukan
lagi. (Sitorus, 2006).
8) Memberi bimbingan kepada tim tentang dokumentasi
keperawatan.
Dokumentasi keperawatan menjadi bukti tanggung jawab
perawat kepada klien. Oleh karena itu, pengisisan dokumentasi
secara tepat menjadi penting.
9) Tahap Evaluasi
Evaluasi proses dapat dilakukan dengan menggunakan
instrumen evsluasi MPKP oleh CCM. Evaluasi prses dilakukan
oleh CCM dua kali dalam seminggu. Evaluasi ini bertujuan
untuk mengidentifikasi secara dini maslah-masalah yang
ditemukan dan dapat segera diberi umpan balik atau
bimbingan. Evluasi hasil (outcome) dapat dilakukan dengan
(Sitorus, 2006) :
a) Memberika instrumen evaluasi kepuasan klien/keluarga
untuk setiap klien pulang.
b) Mengevaluasi kepatuhan perawat terhadap standar yang
dinilai berdasarkan dokumentasi.
c) Penilaian infeksi nosokomial (biasanya ditetapkan per
ruang rawat).
d) Penilaian rata-rata lama hari rawat.
10) Tahap Lanjut
MPKP merupakan penataan struktur dan proses (sistem)
pemberian asuhan keperawatan. Agar implementasi MPKP
memberikan dampak yang lebih optimal, perlu disertai dengan
implementasi substansi keilmuan keperawatan. Pada ruang
MPKP diuji coba ilmu dan teknologi keperawatan karena
sudah ada sistem yang tepat untuk menerapkannya. (Sitorus,
2006).
a) MPKP pemula ditingkatkan menjadi MPKP tingkat I. Pada
tingkat ini, PP pemula diberi kesempatan meningkatkan
pendidikan sehingga mempunyai kemampuan sebagai
SKp/Ners. Setelah mendapatkan pendidikan tambahan
tersebut berperan sebagai PP (bukan PP pemula). (Sitorus,
2006).
b) MPKP tingkat I ditingkatkan menjadi MPKP tingkat II.
Pada MPKP tingkat I, PP adalah SKp/Ners. Agar PP dapat
memberikan asuhan keperawatan berdasarkan ilmu dan
teknologi mutakhir, diperlukan kemampuan seorang Ners
sepeialis yang akan berperan sebagai CCM. Oleh karena
itu, kemampuan perawat SKp/ Ners ditingkatkan menjadi
ners spesialis. (Sitorus, 2006).
c) MPKP tingkat II ditingkatkan menjadi MPKP tingkat III.
Pada tingkat ini perawat denga kemampuan sebagai ners
spesialis ditingkatkan menjadi doktor keperawatan.
Perawat diharapkan lebih banyak melakukan penelitian
keperawatan eksperimen yang dapat meningkatkan asuhan
keperwatan sekaligus mengembangkan ilmu keperawatan.
(Sitorus, 2006).

5. Studi Penelitian mengenai Penerapan Model Praktek Keperawatan


Profesional (MPKP) Di beberapa Rumah Sakit.
Penerapan MPKP menjadi salah satu daya ungkit pelayanan yang
berkualitas. Beberapa rumah sakit telah berhasil menerapkan MPKP
dengan baik diukur dari tingkat kepuasan klien sebelum dan sesudah
dilaksanakan MPKP. Hasil riset tentang efektifitas pelaksanaan Model
Praktik KeperawatanProfesional atau MPKP dengan kualitaspelayanan
keperawatan di dua rumah sakitpemerintah di Jakarta menunjukkan
bahwapada kelompok intervensi kepuasaan pasiendengan pelayanan
keperawatan sebelumpenerapan MPKP yaitu dengan kategoripuas (15%),
kategori cukup puas (44,1%)dan kategori kurang puas (40,9%).
Setelahpenerapan MPKP hasil didapatkan yaitukategori puas (73,9%),
kategori cukup puas (25,3%) dan kategori kurang puas (1,7%). (Sitorus,
2012 dalam jurnal keperawatan Rantung, 2013). Demikian juga di RS
Advent Bandung juga didapatkan bahwakepuasan pasien di ruang MPKP
dan ruangfungsional berbeda secara signifikan (Supit,2012 dalam jurnal
keperawatan Rantung, 2013 ). Selain itu metode ini sangat menekankan
kualitas kinerja tenaga keperawatan yang berfokus pada profesionalisme
keperawatan antara lain melalui penerapan standar asuhan keperawatan. Di
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau, nilai-nilai profesional perawat
mempunyai hubungan yang bermakna dengan pelaksanaan pemberian
pelayanan keperawatan (Waty, 2010 dalam jurnal keperawatan Rantung,
2013). Penelitian lain yang dilakukan di RS PGI Cikini Jakarta juga
menyatakan bahwa penerapan MPKP ini mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kepuasan kerja perawat. (Sirait, 2012 dalam jurnal
keperawatan Rantung, 2013).
Namun beberapa rumah sakit masih ada yang belum mencapai nilai
baik dalam memberikan pelayanan keperawatan meskipun sudah
menerapkan MPKP. Hal ini seperti yang terjadi pada Rumah sakit daerah.
Dari hasil riset yang dilakukan oleh wati (2011) dalam jurnal Analisa
Pelaksanaan Pemberian Pelayanan Keperawatan Di Ruang Murai I Dan
Murai II Rsud Arifin Achmad Provinsi Riau adalah bahwa gambaran
komponen dari MPKP (nilai-nilai profesional, manajemendan pemberian
askep serta pengembanganprofesional diri perawat) dalam pelaksanaan
pemberian pelayanan keperawatan secara keseluruhan belum mencapai
kategori baik. Kemungkinan hal ini dikarenakan oleh banyak faktor yang
menjadi hambatan, baik internal maupun ekstemal. Faktor internal
didapatkan dari kesiapan tenaga perawat yang akan melaksanakan
pemberian pelayanan keperawatan tersebut, dan faktor ekstemal
didapatkan dari kesiapan komponen-komponen pendukung yang
digunakan untuk mewujudkan pelaksanaan pemberian pelayanan
keperawatan profesional seperti SDM, sarana dan prasarana, dan teknik
manejerial.

Dalam jurnal lain yang berjudul “Kajian Penerapan Model Praktik


Keperawatan Profesional (MPKP) dalam pemberian asuhan Keperawatan
di rumah sakit” memberikan gambaran bahwa pelaksanaan MPKP di
rumah sakit tempat penelitian belum menggambarkan model MPKP yang
normative. Pelaksanaan asuhan keperawatan adalah model modifikasi tim
dan modifikasi MPKP pemula. Selain itu, pembinaan bangsal percontohan
dengan evaluasi yang terus menerus belum dilakukan, serta pimpinan
rumah sakit sebagai pembuat kebijakan masih kurang dalam pengetahuan
tentang ilmu manajemen keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai