Anda di halaman 1dari 26

DIKLAT RS JANTUNG & PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN NY. S DENGAN CAD 3VD POST CABG
X3 (LIMA-LAD, SVG-OM, SVG-PDA) DI RUANG ICU DEWASA RUMAH SAKIT
JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA JAKARTA

STUDI KASUS

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK D PKKvTD ANGKATAN 1 TAHUN 2024

1. Jamy Karman, S.ST. Kep., Ners


2. Ns. Nanda Riski Oktavia Scorpiolita, S.Kep.
3. Risda Nurhaliza, A.Md.Kep.
4. Tika Indriyani, S.Kep., Ners
5. Ns. Citra Danurwenda Rahmah, S.Kep.

PROGRAM PELATIHAN KEPERAWATAN KARDIOVASKULAR TINGKAT


DASAR RS JANTUNG & PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA

JAKARTA

FEBRUARI

2024
BAB I

PENDAULUAN

1.1 Latar Belakang

Coronary Artery Disease (CAD) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang
disebabkan karena otot miokard kekurangan suplai darah akibat adanya penyempitan
arteri koroner dan tersumbatnya pembuluh darah jantung (AHA, 2017). Bash (2015)
dalam studi Biopsycosocial Spiritual Factors Impacting African American Patient’s
Cardiac Rehabilitation Refferal and Participation menyatakan bahwa sebagian besar
dari pasien CAD memiliki historical assessment obesitas (35%), gaya hidup (30%),
hipertensi (33%), sindrom metabolik (35%), pre diabetes melitus (38,2%), diabetes
melitus (8,3%), dan merokok (20,5%) laki-laki dan (15,9%) wanita berkontribusi pada
peningkatan prevalensi Atherosclerotic Cardiovascular Disease (ASCVD).

Setiap tahunnya tujuh belas juta orang tutup usia karena penyakit jantung dan
pembuluh darah. Sebanyak 7,3 juta diantaranya terjadi akibat penyakit jantung koroner
(WHO, 2014). Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia pada tahun 2018
meningkat secara signifikan menjadi 1,5% dari yang sebelumya pada tahun 2013
sebanyak 0,13%, dengan prevalensi tertinggi di provinsi Kalimantan Utara yaitu 2,2 %
dari total penduduk semua umur, sedangkan Provinsi DKI Jakarta menduduki peringkat
ke-5 (Riskesdas, 2018).

Coronary Artery Disease (CAD) atau penyakit jantung koroner merupakan


penyakit yang dapat mengancam jiwa dan menjadi masalah kesehatan yang serius bagi
masyarakat. Arteri koroner merupakan pembuluh darah yang menyuplai aliran darah
menuju otot-otot jantung, sehingga jika terbentuk sumbatan di dalamnya, aliran darah
menuju otot-otot jantung dapat berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian
pada sel-sel jantung (infark) yang disebut juga serangan jantung atau bahkan terhentinya
jantung memompa darah secara keseluruhan (cardiac arrest). Dua jenis tindakan yang
sering digunakan untuk mengobati penyakit ini adalah Coronary Artery Bypass Graft
(CABG) atau dikenal juga sebagai operasi bedah pintas arteri koroner dan Percutaneous
Coronary Intervention (PCI) (Francis DP, 2022).

Baik CABG maupun PCI bertujuan untuk mengembalikan aliran darah


(revaskularisasi) melalui arteri koroner yang tersumbat sehingga menjadi lancar kembali.
CABG merupakan tindakan operasi terbuka, di mana dokter bedah memotong dada
pasien dan menyambungkan pembuluh darah baru dari aorta ke arteri koroner dengan
melewati area yang tersumbat pada arteri. Terdapat dua teknik yang dapat digunakan
dalam prosedur ini, yaitu on-pump CABG yang menggunakan mesin jantung-paru untuk
menghentikan jantung dan off-pump CABG dimana mesin jantung-paru tidak digunakan
dan jantung dioperasi dalam keadaan berdetak (Ramakrishna H, 2019).

Di sisi lain, PCI adalah tindakan non-invasif menggunakan suatu selang kecil
yang disebut kateter. Alat ini dimasukkan melalui pembuluh darah yang ada di pangkal
paha atau pergelangan tangan dan kemudian didorong hingga mencapai ke dalam arteri
koroner yang tersumbat di jantung. Setelah itu, balon yang berada di ujung kateter
dikembangkan untuk melebarkan bagian arteri yang menyempit. Selanjutnya stent atau
ring jantung dapat ditempatkan di area yang tersumbat untuk membantu menjaga
pembuluh darah tetap terbuka (Bhatt DL, 2018).

Kedua jenis tindakan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.


CABG biasanya lebih efektif pada pasien yang memiliki penyakit jantung koroner yang
lebih parah dan melibatkan tiga atau lebih arteri yang tersumbat. Selain itu, beberapa
penelitian juga menunjukkan CABG memiliki hasil yang lebih baik pada pasien diabetes
mellitus yang memiliki sumbatan pada dua atau lebih arteri koroner dibandingkan
prosedur PCI (PJNHK, 2023).

Keputusan mengenai jenis operasi yang tepat harus dibuat oleh dokter dan pasien
secara bersama-sama. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keputusan ini adalah
usia pasien, kesehatan umum, jumlah dan lokasi arteri yang tersumbat, dan preferensi
pasien. Pada beberapa pasien, CABG dipilih karena banyaknya arteri koroner yang
tersumbat dan dapat menghindari kemungkinan pengulangan tindakan revaskularisasi di
masa depan (PJNHK, 2023).

Sebagai alternative terakhir penatalaksanaan penyakit jantung koroner, tindakan


CABG memiliki komplikasi yang tidak sedikit bagi pasien. Hipovolemia, perdarahan,
tamponade jantung, infeksi pneumonia, atelektasis bahkan kegagalan proses weaning
dari ventilator dapat terjadi akibat komplikasi dari tindakan. Tindakan Untuk mencegah
dan mengatasi komplikasi perlu penanganan yang tepat dan cepat. Pencegahan terhadap
kejadian komplikasi juga harus dilakukan secara dini agar pasien terhindar dari masalah
baru yang dapat memperlambat proses penyembuhan. Perawat turut berperan penting
dalam upaya preventif terhadap komplikasi paska operasi (Smeltzer, 2008 dalam
Santoso, 2020).

Penyakit jantung koroner memberi dampak sangat besar dalam kehidupan


penderitanya. Tindakan pembedahan pintas jantung koroner memberi harapan bagi
pasien untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Perawat
berperan penting dalam mendampingi dan memberikan asuhan yang tepat sehingga
pasien dapat melalui paska operasi dengan baik, lancar dan tanpa komplikasi. Pada
akhirnya pasien akan menjalani perawatan sesuai pathway yang diharapkan, mengurangi
lama rawat di rumah sakit dan tentunya mengurangi biaya perawatan. Pemberian asuhan
keperawatan yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan pasien paska operasi CABG
salah satunya adalah monitoring hemodinamik, monitoring intake dan output,
memperbaiki ekspansi paru dan oksigenasi pasien. Hal inilah yang membutuhkan peran
penting perawat untuk melakukan asuhan secara komprehensif. Keseluruhan aspek perlu
dikaji, dimonitor dan dievaluasi. Setiap intervensi yang diberikan harus dilakukan
evaluasi secara menyeluruh. Kerjasama interdisipliner diperlukan untuk dapat
memberikan asuhan yang terbaik dan maksimal kepada pasien (Santoso, 2020).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami tertarik melakukan asuhan


keperawatan pada pasien dengan CAD post CABG di Ruang ICU RS Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan kita.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari studi kasus ini adalah adalah perawat mampu melakukan
asuhan keperawatan pada pasien pasca bedah jantung Coronary Artery Bypass
Graft (CABG) secara komprehensif melalui pendekatan proses asuhan
keperawatan yang profesional.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan studi kasus ini adalah:
1. Perawat mampu menjelaskan pengkajian keperawatan pada kasus pasca
bedah Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
2. Perawat mampu merumuskan dan menjelaskan diagnosa keperawatan
berdasarkan data pasien dan membuat prioritas diagnosa
3. Perawat mampu merumuskan dan menjelaskan hasil atau luaran yang ingin
dicapai dari pasien dan intervensi yang sesuai
4. Perawat mampu menjelaskan tentang tindakan keperawatan, baik yang
bersifat mandiri maupun yang bersifat kolaboratif pada pasien pasca bedah
Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
5. Perawat mampu menejelaskan evaluasi terhadap tindakan yang telah
diberikan pada pasien pasca bedah Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari studi kasus ini adalah :
1.3.1 Perawat dapat membandingkan temuan klinis pada kasus pasca bedah
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dengan teori konseptual yang ada
1.3.2 Perawat dapat mengikuti perkembangan pasien pasca bedah Coronary Artery
Bypass Graft (CABG)
1.3.3 Perawat dapat mengetahui efektifitas proses asuhan keperawatan yang telah
diberikan
1.3.4 Hasil dari studi kasus ini dapat dijadikan referensi untuk kegiatan ilmiah
keperawatan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Coronary Artery Disease (CAD)


2.1.1 Definisi
Coronary Artery Disease (CAD) atau penyakit jantung koroner merupakan
penyakit yang mengacu pada perubahan patologis di dalam dinding arteri koroner
(pembuluh darah arteri yang menyuplai darah ke otot jantung dengan membawa
O2 yang banyak) yang mengakibatkan berkurangnya aliran darah yang melalui
pembuluh ini (Fikriana, 2018).
Coronary Artery Disease (CAD) adalah penyempitan atau penyumbatan
arteri coroner yang menyalurkan darah ke otot jantung. Bila aliran darah
melambat, jantung tak mendapat cukup O2 dan zat nutrisi. Hal ini biasanya
mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina. Bila satu atau lebih dari arteri
koroner tersumbat sama sekali, akibatnya adalah serangan jantung dan kerusakan
pada otot jantung (Antara et al., 2019).
Hal ini terjadi karena terbentuk plak akibat dari terkumpulnya kolesterol
dalam jangka waktu yang cukup lama. Proses ini disebut aterosklerosis. Kondisi
tersebut menyebabkan otot jantung melemah dan menimbulkan komplikasi
seperti gagal jantung dan gangguan irama jantung (Suyanti & Rahayu, 2020).
Arteri koroner sendiri dibagi menjadi 2 bagian, yakni arteri koroner kanan
(Right Coronary Artery/RCA) dan arteri koroner kiri (Left Main/LM). Arteri
koroner kiri (LM) memiliki 2 cabang, yaitu arteri desendens anterior kiri (Left
Anterior Desendens/LAD) dan arteri sirkumfleksa kiri (Left Circumflex/LCX).
LAD memperdarahi dinding anterior ventrikel kiri. LCX memperdarahi dinding
lateral ventrikel. Sementara RCA memperdarahi ventrikel dan atrium kanan
(Hastuti & Mulyani, 2019).
2.1.2 Etiologi Coronary Artery Disease (CAD)
Menurut Muthmainnah (2019) faktor risiko PJK dapat menjadi:
1. Faktor yang Tidak Dapat Diubah (Non-modifiable)
a. Usia : Pada laki-laki dan perempuan, kadar kolesterol mulai meningkat
di usia 20 tahun.
b. Jenis Kelamin: Pada perempuan yang menopause, cenderung memiliki
risiko lebih cepat terkena PJK dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan
karena hormon estrogen dan endogen pada perempuan yang bersifat
protektif membuat risiko tersering penyakit jantung lebih rendah. Laki-
laki 2-3x berisiko lebih besar terkena PJK dibanding perempuan.
c. Riwayat Keluarga (Genetik) : Jika ayah terkena serangan jantung pada
usia <60 tahun atau ibu terkena <65 tahun, maka keturunannya berisiko
lebih besar terkena PJK.
2. Faktor yang Dapat Diubah (Modifiable)
a. Hipertensi : Hipertensi yang terjadi secara terus-menerus menyebabkan
sistem pembuluh darah rusak dengan perlahan-lahan. Hipertensi menjadi
penyebab utama PJK. Pada mulanya, terjadi hipertropi dari tunika
media, lalu hialinisasi setempat serta penebalan fibrosis dari tunika
intima, lalu berakhir dengan terjadinya penyempitan pembuluh darah.
b. Hiperlipidemia : Tingginya kadar kolesterol HDL, sementara kolesterol
LDL meningkat sejalan dengan peningkatan risiko koronaria berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit PJK.
c. Penyakit Diabetes Melitus : DM meningkatkan kadar lemak dalam
darah, termasuk kolesterol tinggi. Ini terjadi karena resistensi insulin
yang mengontrol penyebaran glukosa melalui aliran darah ke sel-sel di
seluruh tubuh. Timbul proses penebalan membran kapiler dan arteri
koroneria sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke jantung.
d. Merokok : Menurunnya konsumsi O2 akibat dari efek rokok
menyebabkan elastisitas pembuluh darah berkurang sehingga
meningkatkan pengerasan pembuluh darah arteri dan membuat platelet
menjadi lengket. Akibatnya, terbentuk gumpalan yang menyebabkan
beban miokard bertambah.
e. Obesitas : Risiko terkena PJK meningkat jika berat badan tidak ideal.
Kelebihan jumlah lemak pada tubuh >19% dan >21% pada perempuan
dikategorikan obesitas. Obesitas dapat meningkatkan kadar kolesterol
dan seringkali berbarengan dengan DM dan hipertensi.
f. Stres : Tekanan darah dan Katekolamin dapat meningkat jika seseorang
mengalami stres berkepanjangan, sehingga dapat menyebabkan
penyempitan pembuluh darah arteri.
g. Kurang Aktivitas Fisik/Latihan : Latihan fisik dapat membantu
menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kesegaran jasmani,
menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh yang berlebihan
berkurang.
2.1.3 Klasifikasi Coronary Artery Disease (CAD)
Penyakit jantung koroner menurut Chia et al., (2013) diklasifikasikan menjadi 3,
antara lain sebagai berikut:
1. Silent Ischaemeia (Asimtotik)
Penderita tidak merasakan adanya tanda penyakit.
2. Angina Pectoris
Seseorang merasakan nyeri pada bagian dada daerah sternum,
substernal/dada sebelah kiri dan seringkali menjalar ke bagian lengan
sebelah kiri, rahang, punggung, leher, bahkan sampai ke lengan kanan.
Nyeri ini ditandai dengan adanya rasa tertekan benda berat dan terasa panas.
Durasinya sekitar 1-5 menit dan nyeri akan muncul saat melakukan aktivitas
dan berkurang dengan istirahat.
Gambaran EKG dan foto rontgen dada memperlihatkan bentuk jantung yang
normal saat istirahat. Jika hasil EKG menunjukkan depresi segmen ST,
maka perlu dilakukan exercise test.

3. Infark Miokard Akut


Disebabkan karena jaringan otot jantung mati dan kekurangan O2 dalam
darah dalam beberapa waktu, ditandai dengan nyeri dada sebelah kiri,
menjalar ke lengan kiri. Nyeri timbul terus-menerus dan berangsur lama,
tidak mudah sembuh dengan hanya beristirahat. Infark miokard akut
berdasarkan EKG 12 sadapan dapat diklasifikasikan menjadi STEMI (ST-
segmen Elevasi Miokard Infark) dan NSTEMI (Non ST- segmen Elevasi
Miokard Infark).
2.1.4 Patofisiologi Coronary Artery Disease (CAD)
Menurut Lemone (2015 dalam Tuslamia 2022), penyebab utama PJK
adalah aterosklerosis. Pada aliran darah, lemak diangkut dengan menempel
pada potein yang disebut apoprotein. Hiperlipidemia dapat merusak
endotelium arteri dan kelebihan tekanan darah dalam sistem arteri. Rusaknya
endotel dapat meningkatkan pelekatan dan agregasi trombosit, juga menarik
leukosit ke area tersebut. Akibatnya, LDL (lemak jahat) ada dalam darah.
Semakin banyak LDL yang menumpuk, maka akan mengalami proses
oksidasi.
Plak dapat mengurangi ukuran lumen pada arteri mengganggu aliran darah,
menyebabkan ulkus penyebab terbentuknya thrombus. Thrombus akan
terbentuk pada permukaan plak dan penimbunan lipid terus-menerus. Hal
tersebut dapat menyumbat pembuluh darah.
Lesi yang kaya lipid biasanya tidak stabil, cenderung robek dan terbuka.
Bila fibrosa pembungkus plak pecah, maka debris lipid akan terhanyut dalam
aliran darah dan dapat menyumbat arteri, sehingga otot jantung pada area
tersebut mengalami gangguan aliran darah dan dapat menimbulkan aliran O2
ke otot jantung berkurang. Hal itu mengakibatkan sel miokardium menjadi
iskemik, sehingga terjadi hipoksia. Akibatnya, proses pada miokardium
berpindah ke metabolisme anaerobic yang menghasilkan asam laktat, sehingga
merangsang ujung saraf otot merasakan nyeri.
Jaringan menjadi iskemik dan akhirnya infark (mati) karena suplai darah ke
area miokardium terganggu. Pada saat sel miokardium mati, sel hancur dan
melepaskan beberapa isoenzim jantung ke dalam sirkulasi. Kenaikan kadar
kreatinin kinase, serum dan troponin spesifik jantung adalah indikator infark
miokardium.

2.1.5 Manifestasi Klinis Coronary Artery Disease (CAD)


Gejala-gejala penyakit jantung korner menurut Soeharto (2015 dalam Tuslamia
2022) manifestasi klinik yang biasa terjadi pada kasus Coronary Artery Disease
(CAD) meliputi:
1. Nyeri dada
Nyeri muncul secara spontan, berlangsung terus-menerus, terletak di bagian
bawah sternum dan perut atas, biasa menyebar ke bahu dan lengan, biasanya
lengan kiri.
2. Perubahan Pola EKG
Bisa depresi pada segmen ST, normal pada istirahat. Gelombang T-inverted
menunjukkan iskemia, gelombang Q menunjukkan nekrosis. Disritmia dan
blok jantung disebabkan kondisi yang memengaruhi sensitivitas sel miokard
ke impuls saraf seperti iskemia, ketidakseimbangan elektrolit dan stimulus
saraf simpatis, dapat berupa takikardi, bradikardi, premature ventlrikel,
ventrikel fibrilasi.
3. Sesak Napas
Jantung mulai gagal dan tidak mampu memompa darah ke paru- paru,
sehingga O2 di paru-paru berkurang.
4. Diaphoresis
Terjadi pelepasan Katekolamin pada fase awal yang meningkatkan stimulasi
simpatis, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Akibatnya,
kulit lembab, dingin dan berkeringat.
5. Pusing
Suplai O2 ke otak berkurang karena jantung tidak dapat memompa darah ke
otak, sehingga timbulah rasa pusing.
6. Kelelahan
Terjadi karena penyempitan pembuluh darah yang mengakibatkan jantung
kekurangan O2.
7. Mual dan Muntah
Nyeri yang menjalar dari dada ke area perut, bisa merangsang pusat muntah.
Area yang infark, akan merangsang refleks vasofagal, sehingga timbul
perasaan mual dan muntah.

2.1.6 Penatalaksanaan Medis Coronary Artery Disease (CAD)


Penatalaksanaan pada penyakit jantung koroner menurut Lemone (2015) yang
perlu dilakukan, meliputi:
1. Pengobatan Farmakologi
a. Aspirin : Untuk mengurangi risiko agregasi trombosit dan pembentukan
thrombus. Biasanya, dosis rendah (80-325 mg/hari).
b. Anti Kolesterol : Statin berperan sebagai anti trombotik, anti inflamasi
dan dapat menurunkan risiko komplikasi aterosklerosis.
c. Revaskularisasi Miokardium : Operasi dilakukan untuk memperbaiki
aliran darah yang menuju miokardium, mengalihkan aliran dan bagian
yang tersumbat dengan suatu cangkok pintas, bernama Coronary Artery
Bypass Graft (CABG).
2. Non Farmakologi : pola hidup yang sehat dengan berolahraga ringan,
mengontrol pola makan, membatasi aktivitas yang memperberat aktivitas
jantung, melakukan teknik distraksi dan relaksasi dengan cara napas dalam.
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Coronary Artery Disease (CAD)
Menurut Black & Hawks (2014) pemeriksaan penunjang pada Coronary
Artery Disease (CAD) diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Laboratorium
2. Elektrokardiogram (EKG)
3. Foto Rontgen Dada
4. Echocardiography
5. Katerisasi Jantung
6. Angiography
2.1.8 Komplikasi Coronary Artery Disease (CAD)
1. Gagal Jantung Kongestif
2. Syok Kardiogenik
3. Edema Paru (Wicaksono, 2019).
2.1.9 Pathway Coronary Artery Disease (CAD)
Usia, Gaya Hidup, Diabetes,
Hipertensi

Asterosklerosis

Penyempitan Lumen Arteri Coroner

Gangguan Oksigenasi

Suplai Oksigen Menurun Pada


Arteri Koronari

Miokardium

Hipoksia Kekuatan Kontraksi Miokard


menurun

Metabolisme Anaerob
Suplai Darah ke Jaringan Penurunan Curah Jantung
Tidak Adekuat
Asam Laktat Meningkat

Ketidakefektifan Perfusi Kelemahan


Pengeluaran HBP Jaringan

(Histamin, Bradikinin, Prostaglandin)


Intoleransi Aktifitas

Respon Nyeri

Impuls Ke Otak Nyeri dipersepsikan

Nyeri Akut
2.2 Konsep Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
2.2.1 Definisi Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
Bachar & Manna, 2020 menjelaskan Coronary artery bypass grafting
(CABG) adalah operasi bedah besar di mana penyumbatan ateromatosa di arteri
koroner pasien adalah dilewati dengan saluran vena atau arteri yang diambil.
Operasi bedah pintas arteri koroner adalah tindakan operasi yang dilakukan
pada penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) yaitu pasien yang mengalami
penyempitan atau sumbatan pada pembuluh darah arteri koroner baik dengan
atau tanpa riwayat serangan jantung sebelumnya (PJNHK, 2021).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan tindakan CABG adalah tindakan
operasi yang dilakukan pada penyumbatan arteri di koroner untuk membuat
aliran secara langsung yang mengalami sumbatan agar saluranya pembuluh
darah coroner kembali normal.

2.2.2 Indikasi
Menurut Bachar & Manna (2020 ) menyebutkan Indikasi dari Coronary
Artery Bypass Grafting (CABG) adalah mereka yang hasil kateterisasi jantung
ditemukan adanya : CABG umumnya direkomendasikan ketika ada
penyumbatan tingkat tinggi di salah satu arteri koroner utama dan/atau koroner
perkutan intervensi (PCI) telah gagal untuk membersihkan penyumbatan. Kelas
satu rekomendasi dari pedoman (ACCF/AHA, 2011 ) adalah sebagai berikut :
1. Penyakit utama kiri lebih dari 50%.
2. Penyakit arteri koroner tiga pembuluh darah lebih besar dari 70% dengan atau
tanpa keterlibatan LAD proksimal.
3. Penyakit dua pembuluh darah: LAD ditambah satu arteri utama lainnya.
4. Satu atau lebih stenosis signifikan lebih besar dari 70% pada pasien dengan:
a.Gejala angina yang signifikan meskipun terapi medis maksimal
b. Penyakit satu pembuluh darah lebih besar dari 70% pada pasien yang
selamat
dari serangan jantung mendadak dan kematian dengan takikardia ventrikel
terkait iskemia.

2.2.3 Jenis penatalaksanaan CABG


Berdasarkan PJNHK (2021) Pada umumnya, pembedahan jantung
mencakupi berbagai variasi tindakan operasi pada jantung yang mengalami
kelainan, antara lain mengganti katup jantung, menutup kebocoran sekat
jantung, atau bahkan mengobati kelainan irama jantung. Akan tetapi
pembahasan kita hari ini akan berfokus pada tindakan yang paling sering
dilakukan pada pasien dewasa, yaitu Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK).
BPAK, yang sering juga dikenal dengan istilah “operasi
bypass”,merupakan penanganan bedah pada kasus sumbatan pembuluh darah
koroner, dimana dokter bedah membuat jalan pintas, atau “bypass”, melewati
sumbatan tersebut dengan menggunakan pembuluh darah yang diambil dari
dinding dada, lengan, atau kaki. Dengan adanya pembuluh darah tersebut, maka
darah akan dapat kembali mengalir lancar dan menyuplai oksigen dan nutrisi ke
otot-otot jantung.
Tindakan BPAK sendiri dapat dilakukan dengan berbagai teknik, yang
masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri. Yang paling
sering dilakukan adalah BPAK konvensional atau juga sering dikenal sebagai
teknik “on pump”. Disebut “on pump” karena metode ini memerlukan
pemakaian mesin pintas jantung paru atau Cardio-Pulmonary Bypass (CPB),
yang bertugas mengambil alih fungsi jantung dalam “memompa” darah selama
operasi berlangsung. Pada metode konvensional ini, jantung benar-benar
dihentikan dan dikosongkan dari darah, sehingga memudahkan dokter bedah
dalam melihat serta melakukan penyambungan pembuluh darah pintas ke
pembuluh darah jantung. Akan tetapi, metode memiliki kekurangan, yaitu risiko
terjadinya reaksi inflamasi akibat kontak darah dengan benda asing yang
merupakan komponen dari mesin pintas jantung paru tersebut, yang nantinya
dapat menimbulkan komplikasi pasca operasi antara lain gangguan irama
jantung, gangguan kesimbangan elektrolit, gangguan pembekuan darah, atau
reaksi sepsis menyeluruh.
Teknik lain yang juga dipakai oleh dokter bedah jantung adalah teknik
tanpa menggunakan mesin pintas jantung paru. Dikenal dengan nama “off
pump” atau lebih lengkapnya Off-Pump Coronary Artery Bypass (OPCAB),
teknik BPAK ini dipilih karena dapat mengurangi insiden komplikasi pasca
operasi yang disebabkan oleh penggunaan mesin pintas jantung paru, seperti
yang telah disebutkan diatas. Pada metode ini, jantung tetap dibiarkan berdetak
selama operasi dengan hanya menstabilkan area-area tertentu yang sedang
dikerjakan oleh dokter bedah dengan menggunakan alat-alat khusus.
Kekurangan dari metode ini adalah karena dilakukan pada kondisi jantung yang
masih berdetak, dibutuhkan tingkat ketrampilan yang tinggi untuk
mengerjakannya, sehingga teknik ini tidak dipraktikan seluas teknik
konvensional.
Apabila pembuluh darah jantung yang tersumbat hanya pembuluh darah
jantung yang terletak di kiri depan, yang dikenal dengan istilah left anterior
descending (LAD), maka dokter bedah jantung dapat menyarankan operasi
Minimally Invasive Direct Coronary Artery Bypass (MIDCAB). Tindakan
pembedahan ini sangat menguntungkan bagi pasien, karena lapangan operasi
tidak perlu diakses dengan membelah tulang dada, melainkan melalui luka
sayatan sekecil lima sentimeter di sela iga, di bawah putting susu. Dengan luka
yang kecil tersebut, masa pemulihan pasca operasi akan lebih singkat, serta
perawatan luka pun akan lebih minimal. Luka bekas operasi pun akan lebih
tidak terlihat. Tetapi operasi ini sangat selektif, karena hanya bisa dilakukan
untuk mengobati sumbatan pada satu pembuluh darah jantung saja. Selain itu,
dengan luka sayatan yang kecil, lapangan operasi pun menjadi sangat sempit,
sehingga dibutuhkan ketrampilan khusus untuk dapat mengerjakan metode ini.
Melihat beberapa metode diatas, pasien yang disarankan untuk dilakukan
tindakan BPAK tidak perlu lagi merasa takut mendengar kata-kata “bedah
jantung”. Ada beberapa alternatif yang dapat dieksplorasi bersama dengan
dokter bedah jantung sebelum menentukan tindakan yang paling tepat dan
aman. Gunakan waktu konsultasi bersama dokter bedah untuk mendapatkan
informasi lengkap mengenai keuntungan serta kerugian masing-masing teknik
BPAK. Semoga informasi yang telah disampaikan diatas dapat membantu
mengurangi jumlah pasien yang menolak alternatif bedah sebagai solusi dari
penanganan penyakit jantung koroner.

2.2.4 Pemeriksaan Diagnostik Sebelum CABG


Berikut ini tes atau prosedur diagnostik sebelum CABG untuk menentukan
seberapa serius penyakit jantung iskemik Anda dan dimana arteri koroner
menyempit (NHLBI, 2021) :
1. Elektrokardiogram (EKG atau EKG) untuk merekam aliran listrik aktivitas
jantung. EKG dapat menunjukkan tanda-tanda kerusakan jantung.
2. Tes stres untuk mengukur seberapa baik jantung Anda bekerja selama stres
fisik. Stres mungkin latihan fisik, seperti: berjalan di atas treadmill, atau
mungkin obat yang diberikan untuk efek yang sama.
3. Ekokardiogram untuk menilai fungsi jantung. Ini termasuk apakah katup
atau pemompaan tidak normal.
4. Angiografi koroner untuk melihat bagaimana darah mengalir melalui arteri
koroner . Ini dilakukan bersama dengan kateterisasi jantung, Angiogram
menunjukkan seberapa parah penyakitnya, arteri mana terpengaruh, dan
lokasi arteri yang terkena.
5. CT angiografi untuk mengambil gambar pembuluh darah Koroner, tindakan
ini adalah alternatif untuk kateterisasi jantung yang menggunakan suntikan
pewarna di lengan bersama dengan pencitraan computed tomography (CT).
Karena itu tidak melibatkan memasukkan kateter ke dalam jantung sebagai
kateterisasi jantung, CT angiografi mungkin lebih aman untuk beberapa
pasien.
6. Pemindaian kalsium koroner untuk mendapatkan gambar kalsium dalam
dinding arteri koroner Anda, yang terkait dengan arteri koroner penyakit.
Tes ini menggunakan pencitraan CT.
2.2.5 Komplikasi
Berdasarkan PJNHK (2020) menyebutkan komplikasi operasi CABG, sebagai
berikut :
1. Gangguan irama jantung, yang mencakup aritmia atrial, aritmia ventrikel,
dan komplikasi yang memerlukan pemasangan pacu jantung sementara atau
tetap.
2. Gangguan selaput jantung (perikardium), yang mencakup sindrom paska
perikardiotomi, efusi perikardial, dan perikarditis konstriktif.
3. Endokarditis bakterialis
4. Infeksi serius pada dada, tulang dada, darah, tungkai, atau lengan.
5. Gangguan saluran pernapasan, yang mencakup aspirasi, emboli paru,
gangguan dinding dada, komplikasi luka pada sternum, gangguan jalan
napas, dan paru kolaps.
6. Gangguan saluran pencernaan, yang mencakup gangguan lambung dan usus,
gangguan hati, gangguan pankreas, gangguan limpa, dan gangguan kantung
dan saluran empedu, gangguan ginjal sehingga harus menjalani cuci darah.
7. Gangguan sel-sel darah, yang terdiri atas hemolisis, trombositopenia dan
trombosis terinduksi heparin, kelainan hematologik aplastik, dan perubahan
imunologik.
8. Gangguan sistem saraf, yang mencakup kejang, status vegetatif, refleks
primitif, gangguan saraf tepi penurunan kesadaran, hingga koma, stroke;
9. Gangguan penglihatan, yang terdiri atas emboli retina, infark retina, dan
gangguan lapang pandang.
10. Gangguan di pembuluh balik kaki akibat bekuan darah atau gangguan
kejiwaan, mencakup depresi dan psikotik.
11. Reaksi alergi terhadap pengobatan.
12. Penyebaran penyakit melalui transfusi darah.
13. Kematian.
Trombilitik
2.2.6 Pathway CABG
Hiperlipidemia, Hipertensi, DM,
Obesitas, Usia, Jenis Kelamin, Riw. Angiografi Koroner
Keluarga, Gaya Hidup, dan Stress

Stenosis Arteri
Ruptur Plak Arteri 1 or 2
Koroner
Aterosklerotik Koroner VD 3 VD

Suplai O2 Ke Miokard Menurun


Aktivasi Cascade Pembekuan Dan Platelet Significant
(>50% LM)

Fungsi Miokard Menurun


Pembekuan Trombus

Fungsi Pompa Jantung Menurun


Aliran Darah Koroner Tersumbat

Cardiac Output Menurun


Medical Therapy PTCA/PCI Intervensi CABG

Penurunan Curah Jantung


Luka Insisi

Anastesi (Sedasi dan Port De Entry Ransangan Reseptor


Relaksasi) Mikroorganisme Nyeri Perdarahan

Depresi Pusat Pernapasan Resiko Infeksi Nyeri


Tindakan WSD

Intubasi
Volume Intravascular Produksi Darah
Menurun Meningkat

Ventilasi Mekanik
Resiko Perdarahan
Alat Mesin CPB

Ketidak Efektifan Ketidak Efektifan


Pola Napas Bersihan Jalan Off Pump
Napas Off Pump
Kardioplegik Diurentik

Aritmia Resiko
Ketidakseimbangan
Elektrolit
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dalam melakukan asuhan keperawatan.
Menurut Elvira (2020), proses pengkajian pada pasien kritis meliputi pre arrival
assessment, admission and quick check, comprehensive assessment dan on going
assessment.
2.3.1 Pre Arrival
Pengkajian ini dimulai ketika perawat sudah mendapatkan informasi dari unit
lain bahwa akan ada pasien kritis yang akan dirawat. Pengkajian ini dilakukan
sebelum pasien masuk ke ruang ICU. Untuk pasien post operasi, unit kamar
bedah akan memberikan catatan mengenai kondisi pasien selama pre dan
intraoperasi serta alat-alat kesehatan dan obat- obatan yang akan diberikan ke
pasien. Tujuan dilakukan pengkajian ini adalah agar saat pasien datang ke ruang
ICU, semua peralatan kesehatan sudah tersedia dan siap digunakan
2.3.2 Admission and quick check
Pengkajian ini dimulai saat pasien masuk dan dirawat di ICU, kemudian
perawat mengobservasi secara general dan melakukan pengkajian ABCDE
(airway, breathing, circulation, drugs and equipment).
2.3.3 Comprehensive assessment
Pengkajian ini merupakan pengkajian lengkap meliputi riwayat kesehatan masa
lalu, status kesehatan sekarang, bio psiko, sosio, spiritual dan pengkajian fisik.
Pengkajian fisik yang dilakukan meliputi :
1. Status Kardiovaskular
Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena
sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji paru (PCWP), bentuk
gelombang pada tekanan darah invasif, curah jantung dan cardiac index,
drainase rongga dada, fungsi pacemaker.
2. Status Respirasi
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui secara dini
tanda dan gejala tidak adekuatnyaventilasi dan oksigenasi. Perawat mengkaji
status respirasi pasien selama bedah, ukuran endotrakeal tube, masalah yang
dihadapi selama intubasi, lama penggunaan alat mesin jantung paru.
Selanjutnya kaji gerakan dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi
pernafasan/RR, volume tidal, konsentrasi oksigen, Mode, PEEP), kecepatan
nafas, tekanan ventilator, saturasi oksigen, analisa gas darah.
3. Status Neurologi
Kesadaran dipantau sejak klien mulia bangun atau masih diberikan obat
sedatif. Jika klien mulai bangun maka minta klien untuk menggerakkan
seluruh ekstremitas. Kaji juga tingkat responsifitas, ukuran pupil dan reaksi
terhadap cahaya, reflex, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman
tangan.
4. Status pembuluh darah perifer
Denyut nadi perifer, warna kulit, warna kuku, mukosa bibir, suhu kulit,
edema dan CRT.
5. Sistem perkemihan
Observasi produksi urin setiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat
hemolisis dan lain-lain. Pemeriksaan ureum kreatinin harus dikerjakan jika
fasilitas memungkinkan.
6. Status Cairan dan elektrolit
Haluaran semua selang drainase, parameter curah jantung dan indikasi
ketidak seimbangan elektrolit.
7. Nyeri
Kaji sifat, jenis, lokasi, durasi, respon terhadap analgesic
8. Status Gastro intestinal
Auskultasi bising usus, palpasi abdomen, nyeri pada saat palpasi.
9. Status alat yang dipakai
Kepatenan alat dan pipa untuk menentukan baik atau tidak kondisinya
meliputi, pipa endotrakeal, ventilator, monitor saturasi, kateter arteri paru,
infus intravena, pacemaker, sistem drainase dan urin. Selanjutnya jika pasien
sudah sadar dan mengalami perkembangan yang baik perawat harus
mengembangkan pengkajian terhadap status psikologis dan emosional pasien
dan risiko akan komplikasi.
10. Sistem Integumen
Kaji integritas kulit pasien, termasuk kondisi luka seperti warna, adanya pus,
hematome, suhu. Pengkajian mencakup area insersi alat pemantauan seperti
WSD, CV line, Arterial line, dsb.
11. Sistem Muskuloskeletal
Kepatenan alat dan pipa untuk menentukan baik atau tidak kondisinya
meliputi, pipa endotrakeal, ventilator, monitor saturasi, kateter arteri paru,
infus intravena, pacemaker, sistem drainase dan urin. Selanjutnya jika pasien
sudah sadar dan mengalami perkembangan yang baik, perawat harus
mengembangkan pengkajian terhadap status psikologis dan emosional pasien
dan risiko akan komplikasi.
2.3.4 On going assessment
Pada fase ini pengkajian lebih terfokus dan lebih sering dilakukan untuk
mengetahui kondisi kestabilan pasien. Pemantauan lanjutan ini dilakukan 1-2
jam sekali pada pasien yang status fisiologisnya menurun dan 2-4 jam sekali
pada pasien yang sudah stabil. Tetapi bahkan per 15 menit saat kondisi pasien
kritis. Hal ini perlu dikaji meliputi tanda vital, hemodinamik, alat-alat yang
dipasang kepada pasien serta obat-obatan. Selanjutnya jika pasien sudah sadar
dan mengalami perkembangan yang baik, perawat harus mengembangkan
pengkajian terhadap status psikologis, emosional pasien dan resiko akan
komplikasi.
2.3.5 Diagnosis Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan pada pasien post operasi adalah :
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung,
frekuensi jantung, perubahan kontraktilitas, preload dan afterload
2. Gangguan Ventilasi Spontan berhubungan dengan Gangguan Metabolisme
3. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan adanya sekresi
yang tertahan
4. Nyeri Akut berhubungan dengan prosedur operasi
5. Risiko Infeksi berhubungan dengan terpasangnya alat-alat invasive dan efek
prosedur pembedahan
6. Risiko Perdarahan berhubungan dengan Tindakan pembedahan.
7. Risiko Ketidakseimbangan Cairan berhubungan dengan prosedur
pembedahan
(PPNI, 2017)
2.3.6 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Penurunan curah jantung Tujuan : 1. Identifikasi tanda/ gejala


berhubungan dengan perubahan Keadekuatan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan primer penurunan curah
irama jantung, frekuensi jantung, metabolisme tubuh meningkat. jantung (meliputi dispnea,
perubahan kontraktilitas, preload
dan afterload Kriteria Hasil : kelelahan, edema, ortopnea,
1. Kekuatan nadi perifer meningkat
PND, peningkatan CVP )
2. Ejection fraction (EF) meningkat 2. Identifikasi tanda/ gejala
3. Cardiac Index (CI) meningkat sekunder penurunan curah
4. Left venticular stroke work index (LVSWI) meningkat. jantung (meliputi peningkatan
berat badan, hepatomegali,
5. Stroke volume index (SVI) meningkat
distensi vena jugularis,
6. Palpitasi menurun
palpitasi, ronkhi basah, oliguri,
7. Bradikardia menurun batuk, kulit pucat)
8. Takhicardia menurun 3. Monitor tekanan darah
9. Gambaran EKG aritmia menurun 4. Monitor intake dan output
5. Monitor saturasi oksigen
10. Lelah menurun
6. Monitor EKG 12 sadapan
11. Edema menurun
7. Monitor aritmia (kelainan
12. Distensi vena jugularis menurun irama dan frekuensi)
13. Dispnea menurun 8. Monitor keluhan nyeri dada
14. Oliguri menurun (mis. Intensitas, lokasi, radiasi,

15. Pucat/sianosis menurun presipitasi yang mengurangi


nyeri)
16. Hepatomegali menurun 9. Monitor nilai laboratorium
jantung (mis. Elektrolit, enzim
17. Pulmonary Vascular Resistance (PVR) menurun
jantung, BNP, NT pro-BNP )
18. Systemic vascular resistance (SVR) menurun
10. Posisikan pasien semi fowler/
19. Tekanan darah membaik fowler dengan kaki ke bawah
20. Pengisian kapiler membaik atau posisi nyaman
11. Berikan diit jantung yang
sesuai (mis. batasi asupan
kafein, natrium, kolesterol dan
makanan tinggi lemak)
12. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen > 94%
13. Anjurkan beraktifitas fisik
secara bertahap
14. Kolaborasi pemberian obat anti
aritmia, jika perlu
2.

Anda mungkin juga menyukai