Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Konsep Teori


2.1.1 Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
2.1.1.1 Pengertian Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu
penanganan intervensi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK), dengan cara
membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami penyempitan
atau penyumbatan.29 Terdapat beberapa indikasi untuk dilakukan CABG antara
lain asymptomatic/ mild angina dengan ditemukannya sumbatan pada left main,
triple vessel disease; stable angina; unstable/ non-ST elevation MI; ST elevation
MI; fungsi ventrikel kiri yang buruk; aritmia ventrikel yang mengancam jiwa;
Percutaneus Coronary Intervention (PCI) gagal dan riwayat CABG sebelumnya.
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan pembuluh darah dari bagian
tubuh lain untuk pintasan arteri yang menghalangi pesokan darah ke jantung.
Pembuluh darah yang sering duganakan adalah arteri mamaria interna, arteri
radialis, dan vena safena magna.

2.1.1.2 Tujuan Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Tujuan CABG adalah untuk revaskularisasi aliran darah koroner akibat
adanya penyempitan atau sumbatan ke otot jantung (Muttaqin, 2014).Sedangkan
menurut Smetzer dan Bare (2013) tujuan CABG adalah : Meningkatkan
sirkulasi darah ke arteri koroner, mencegah terjadinya iskemia yang luas,
meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan toleransi aktifitas.

2.1.1.3 Indikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Indikasi CABG menurut American Heart Association (AHA) (Hilis, et
al., 2012) adalah :
a. Stenosis Left Mean Coronary Artery yang signifikan
b. Angina yang tidak dapat di kontrol dengan terapi medis
c. Angina yang tidak stabil
d. Iskemik yang mengancam dan tidak respon terhadap terapi non bedah yang
maksimal
e. Gagal pompa ventrikel yang progresif dengan stenosis koroner yang
mengancam daerah miokardium.
f. Sumbatan yang tidak dapat ditangani dengan PTCA dan trombolitik
g. Sumbatan /stenosis LAD dan LCx pada bagian proksimal > 70 %
h. Satu atau dua vessel disease tanpa stenosis LAD proksimal yang signifikan.
i. Pasien dengan komplikasi kegagalan PTCA.
j. Pasien dengan sumbatan 3 pembuluh darah arteri (three vessel disease)
dengan angina stabil atau tidak stabil dan pada pasien dengan 2 sumbatan
pembuluh darah dengan angina stabil atau tidak stabil dan pada pasien
dengan 2 sumbatan pembuluh darah dengan angina stabil atau tidak stabil
dan lesi proksimal LAD yang berat.
k. Pasien dengan stenosis (penyempitan lumen > 70%) pada 3 arteri yaitu
arteri koronaria komunis sinistra, bagian proksimal dari arteri desenden
anterior sinistra.

2.1.1.4 Kontraindikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Adapun kontraindikasi pelaksanaan CABG ialah :
a. Faktor Usia yang sangat tua
b. Pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner kronik akibat diabetes
mellitus dan EF yang sangat rendah <15%
c. Sklerosis aorta yang sangat berat
d. Struktur arteri koroner yang berat
e. Struktur arteri koroner yang tidak mungkin disambung

2.1.1.5 Manajemen Pasien Paska Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Manajemen perawatan pasien paska CABG (Rachel Matthews,2008)
dibagi menjadi 3 tahap yaitu :
1. Immediate Postoperative Care (Perawatan paska operasi segera)
2. Post operatif care in the ward (Perawatan paska operasi di ruangan
perawatan)
3. Discharge and convalescence (Pemulangan dan pemulihan)
Dalam makalah ini kami hanya membahas tahap awal perawatan paska
operasi CABG atau Immediate Postoperative Care. Yaitu perawatan paska
operasi segera setelah pasien dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU). Prinsip
dan fokus dari tahap ini adalah mengidentifikasi dan memperbaiki dari masalah
yang terjadi, memastikan manajemen nyeri yang efektif dan memberikan
dukungan psikologis pasien dan keluarga Apabila kondisi pasien paska CABG
stabil dan tidak ada tanda tanda komplikasi serta pengaruh sedasi sudah hilang,
tindakan weaning (penyapihan dari alat bantu nafas) dan ekstubasi segera harus
dilakukan, hal ini sesuai dengan Hilary P. Grocott, MD, FRCPC The Journal of
Thoracic and Cardiovascular Surgery “Early extubation after cardiac surgery:
The evolution continues ( November 2017).
Sedangkan kriteria weaning ventilator pada pasien dengan bedah jantung
menurut (St.Joseph Hospital, 2006) diantaranya yaitu : Jumlah perdarahan
dibawah 100 cc / jam, tekanan darah dalam batas normal, Cardiac Indek jantung
≥ 2, tidak ada aritmia ventrikel, pasien bernafas spontan dan FiO2 <.50 %.
Setelah dilakukan ektubasi pemilihan terapi oksigen yang tepat dan
sesuai kebutuhan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya hipoksemia hal
ini sesuai dengan jurnal “Oxygen delivery to patients after cardiac surgery”
(Critical Rescue, 2009) bahwa terapi oksigen masih diperlukan pada pasien
paska CABG terutama pada 24 jam pertama dan jenis terapi oksigen yang
diberikan adalah binasal kanul atau sungkup muka sederhana atau disesuaikan
dengan kebutuhan pasien.

2.1.1.6 Komplikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


a. Nyeri pasca operasi
Setelah dilakukan bedah jantung, pasien dapat mengalami nyeri yang
diakibatkan luka insisi dada atau kaki, selang dada atau peregangan iga
selama operasi. Ketidaknyamanan insisi kaki sering memburuk setelah
pasien berjalan khususnya bila terjadi pembengkakan kaki. Peregangan
otot punggung dan leher saat iga diregangkan dapat menyebabkan
ketidaknyamanan punggung dan leher. Nyeri dapat merangsang sistem
saraf simpatis, meningkatkan frekuensi jantung dan tekanan darah yang
dapat mengganggu hemodinamik pasien. Ketidaknyamanan dapat juga
mengakibatkan penurunan ekspansi dada, peningkatan atelektasis dan
retensi sekresi. Tindakan yang harus dilakukan yaitu memberikan
kenyamanan maksimal, menghilangkan faktor-faktor peningkatan
persepsi nyeri seperti ansietas, kelelahan dengan memberikan penghilang
nyeri.
b. Penurunan curah jantung
Disebabkan adanya perubahan pada frekuensi jantung, isi sekuncup atau
keduanya. Bradikardia atau takikardi pada paska operasi dapat
menurunkan curah jantung. Aritmia sering terjadi 24 jam – 36 jam paska
operasi. Takikardi menjadi berbahaya karena mempengaruhi curah
jantung dengan menurunkan waktu pengisian diastolik ventrikel, perfusi
arteri koroner dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Bila
penyebab dasar dapat diidentifikasikan maka dapat diperbaiki.
c. Perubahan cairan
Setelah operasi Coronary Bypass Grafting (CABG) volume cairan tubuh
total meningkat sebagai akibat dari hemodilusi. Peningkatan vasopressin,
dan perfusi non perfusi ginjal yang mengaktifkan mekanisme renin-
angiotensin-aldosterone (RAA).
d. Ketidakseimbangan elektrolit pasca operasi paling umum adalah
kadar kalsium abnormal. Hipokalemia dapat diakibatkan oleh
hemodilusi, diuretik dan efek-efek aldosteron yang menyebabkan sekresi
kalium ke dalam urine pada tubulus distal ginjal saat natrium diserap.
Hiperkalemia dapat terjadi sebagai akibat jumlah besar larutan
kardioplegia atau gagal ginjal akut
e. Perubahan tekanan darah
Setelah bedah jantung ditemukan adanya hipertensi atau hipotensi
intervensi. Keperawatan diarahkan pada antisipasi perubahan dan
melakukan intervensi untuk mencegah atau untuk memperbaiki dengan
segala tekanan darah pada rentang normotensi.
f. Tamponade jantung awal
Tamponade jantung terjadi apabila darah terakumulasi di sekitar jantung
akibat kompresi jantung kanan oleh darah atau bekuan darah dan
menekan miokard. Hal ini mengancam aliran balik vena, menurunkan
curah jantung dan tekanan darah. Tindakan meliputi pemberian cairan
dan vasopressor untuk mempertahankan curah jantung dan tekanan darah
sampai dekompresi bedah dilakukan. Untuk menghindari adanya
komplikasi paska bedah CABG maka manajamen perawatan yang benar
dan tepat harus dilakukan. (Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare,
2008)
2.1.2 Mitral Valve Replacment
2.1.2.1 Pengertian Mitral Valve Replacment (MVR)
Penatalaksanaan regurgitasi mitral meliputi pemberian medikamentosa,
dan operasi katup jantung (perbaikan atau penggantian katup). Penatalaksanaan
medikamentosa seperti pemberian vasodilatator, diuretik, anti aritmia, suplemen
elektrolit, antikoagulan (Bravo-jaimes et al., 2018; PERKI, 2016).
Mitral Valve Replacement adalah presedur bedah jantung yang dilakukan
untuk mengganti katup mitral yang sudah tidak dapat di perbaiki lagi, dan
diganti dengan katup jantung buatan. MVR dilakukan untuk mengatasi kurang
atau terhambatnya suplai darah dariatrium kiri ke ventrikel kiri akibat dari mitral
deases baik itu mitral stenosis maupun mitral regurgitasi. (Fadilah 2016)
Operasi katup jantung merupakan strategi pengobatan utama untuk
penyakit katup jantung (Li et al.,2019). Operasi penggantian katup jantung
mitral atau Mitral Valve Replacement (MVR) adalah prosedur operasi jantung
yang dilakukan untuk mengganti katup mitral pasien dengan menggunakan
katup jantung buatan (baik itu mekanik maupun bioprostetik).
Stenosis mitral adalah kondisi katup mitral yang tidak sepenuhnya
terbuka. Hal ini terjadi karena katup mitral secara patologis mengalami
penyempitan sehingga aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase
diastolik terhambat. Pembukaan katup mitral biasanya seluas 4-5 cm2 , tetapi
pada kodisi ini menurun menjadi setengah ukuran normal bahkan lebih kecil.
Pasien dengan stenosis mitral ringan sampai sedang sering tidak
menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Kondisi klinis pasien tersebut mirip
dengan orang normal seusianya. Namun, stenosis mitral berat atau yang
bergejala dapat terjadi sebagai dampak buruk jangka panjang dari stenosis mitral
yang tidak ditangani secara mekanis.

Keparahan MVA cm2 Gradien PAPS mmHg


mmHg
Ringan >1.5 <5 <30
Sedang 1.0-1.5 5-10 30-50
Berat <1.0 >10 >50
Tabel 1.1 Tingkat keparahan stenosis mitral sesuai panduan ACC/AHA

Keadaan klinik Rekomendas Level of


i kelas evidence
Operasi Stenosis Mitral
Pasien simtomatik (NYHA III, IV) dengan I B

stensosis mitral sedang atau berat ketika:


Balloon valvotomy tidak tersedia. Balloon
valvotomy kontraindikasi karena trombus atau
regurgitasi mitral. Morfologi mitral tidak baik
untuk balloon valvotomy.
Pasien simtomatik dengan stenosis mitral I C

sedang sampai berat yang juga memiliki mitral


regurgitasi sedang sampai berat
Pasien simtomatik sedang (NYHA I,II) dengan IIa C

stenosis mitral berat dan hipertensi pulmonal


berat (PASP>60mmHg).
Pasen asimtomatik dengan stenosis mitral IIb C

sedang sampai berat dan emboli berulang


meskipun telah menerima antikoagulan yang
adekuat, ketika kemungkinan kesuksesan MVr
adalah tinggi.
MVr dengan stenosis mitral ringan. III C

Closured commissurotomy pada MVr ; open III C

commissurotomy harus dilakukan


Tabel 1.2 Panduan operasi katup mitral menurut ACC/AHA
MVR atau Mitral Valve Replacement adalah prosedur operasi jantung
yang dilakukan untuk mengganti katup mitral pasien yang sudah tidak dapat
diperbaiki dengan katup jantung buatan (baik itu mekanik maupun bioprostetik).

2.1.2.2 Tujuan Mitral Valve Replacment (MVR)


Tujuan dari tindakan operasi ini adalah memperbaiki atau mengganti
katup jantung yang mengalami kerusakan, mengurangi gejala fisik, dan
morbiditas serta meningkatkan kualitas hidup (Cohn & Adams, 2018).
Mengkoreksi kelainan anatomis atau fungsi jantung, misalnya pada
katup. Jika perbaikan katup tidak memungkinkan, pembedahan penggantian
katup (Mitral Valve Replacement/MVR) merupakan pengobatan yang paling
banyak digunakan untuk penyakit katup Mitral. Tersedia dua jenis pengganti
katup untuk MVR, yaitu katup mekanis dan biologis (bioprostetik). Katup
mekanis sering direkomendasikan pada orang dewasa karena tingkat operasi
ulang yang lebih rendah dibandingkan katup bioprostetik. Namun, pasien akan
membutuhkan antikoagulan seumur hidup karena peningkatan
trombogenisitasnya (Etnel, et al., 2019).

2.1.2.3 Indikasi Mitral Valve Replacment (MVR)


Adapun indikisi dilakukan tindakan pengantian katup adalah sebagai
berikut; regurgitasi mitral akut bisa dilakukan operasi sesegera mungkin,
sedangkan bila regurgitasi mitral kronik mengikuti beberapa pertimbangan
antara lain pada pasien yang simtomatik merupakan indikasi untuk dilakukan
operasi. Pada pasien regurgitasi berat asimptomatik indikasi operasi bila telah
timbul disfungsi ventrikel kiri, left ventricular end-systolic diameter (LVESD) >
45 mm, left ventricular ejection fraction (LVEF)< 60%. Adanya penyulit: Atrial
Fibrilasi (AF) dan atau hipertensi pulmonal (tekanan sistolik arteri pulmonal >
50 mmHg). Pasien dengan LVESD >55 mm dan/atau EF <30% perlu
pertimbangan, mengingat risiko operasi yang tinggi dan hasil belum tentu
maksimal. Adanya stenosis mitral dengan area katup mitral <1.5 cm2 (Falk et
al., 2017; Nishimura et al., 2017; PERKI,2016).

2.1.2.4 Kontra indikasi Mitral Valve Replacment (MVR)


Pasien dengan MR parah harus dievaluasi oleh ahli bedah jantung yang
berpengalaman dalam bedah katup mitral. Evaluasi pra-operasi standar harus
dilakukan untuk menentukan kandidat pembedahan, termasuk penilaian arteri
koroner, penyakit penyerta medis, dan riwayat pembedahan sebelumnya. Pasien
dengan kalsifikasi aorta, disfungsi RV, atau MAC parah dianggap sebagai
kontraindikasi relatif. Perhitungan risiko Society of Thoracic Surgeons (STS)
dapat dilakukan untuk membantu penentuan risiko pembedahan, termasuk
mortalitas dan morbiditas utama. Disfungsi ventrikel kiri yang parah juga
merupakan kontraindikasi karena perbaikan katup mitral menghasilkan katup
yang kompeten, sehingga meningkatkan afterload pada ventrikel kiri. Dengan
demikian, fungsi LV sebelum operasi dan fraksi ejeksi biasanya melebih-
lebihkan fungsi ventrikel kiri yang sebenarnya pada kasus MR berat karena
katup regurgitasi bertindak sebagai katup "pop-off". Emfisema berat, penyakit
paru restriktif, dan hipertensi pulmonal (PHT) juga sering terlihat sebagai
komorbiditas dengan MR parah yang sudah berlangsung lama dan menimbulkan
kontraindikasi relatif terhadap pembedahan.
2.1.2.5 Manajemen Pasien Paska Mitral Valve Replacment (MVR)
Pasien yang akan menjalani operasi MVR membutuhkan persiapan yang
matang. Tatalaksana preoperasi merupakan hal yang sangat penting dan
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dari suatu tindakan operasi.
Morbiditas dan mortalitas operasi jantung dapat diminimalkan melalui penilaian
dan optimalisasi preoperasi yang menyeluruh, serta perencanaan perawatan
perioperatif dan pasca operasi yang cermat (Whittle & Kelleher, 2015).

2.1.2.6 Komplikasi Mitral Valve Replacment (MVR)


Operasi jantung terbuka merupakan operasi dengan berbagai komplikasi
meliputi perdarahan, infeksi, aritmia, distres napas, gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Perdarahan masif, aritmia, cedera ginjal akut dan gangguan
serebrovaskular merupakan komplikasi berat setelah bedah jantung terbuka, dan
hal tersebut dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan.
(Icu-cne 2016) Tatalaksana pascaoperasi setelah bedah jantung terbuka sangat
penting untuk mencegah, mendeteksi dan memberikan tatalaksana komplikasi
yang mungkin terjadi. (Icu-cne 2016)
Perdarahan masif dapat dipengaruhi oleh penggunaaan cardiopulmonary
bypass (CPB) pada saat operasi, pasien geriatri, anemia prabedah, indeks masa
tubuh yang rendah, konsumsi antitrombotik atau antikoagulan sebelum operasi,
disfungsi status koagulasi dan penyakit komorbid. Insidens perdarahan masif
setelah bedah jantung terbuka bervariasi, bergantung pada definisi yang
digunakan, dan diprediksi sekitar 2-10%. Perdarahan masif merupakan masalah
yang signifikan yang dapat mengakibatkan gangguan kardiovaskular, kerusakan
organ akhir dan kematian. (Petrou et al 2016)
Aritmia pasca operasi lazim ditemukan setelah bedah jantung dan
memengaruhi morbiditas dan mortalitas pascaoperasi secara signifikan.
Signifikansi klinis aritmia setelah bedah jantung tergantung pada respon
ventricular, durasi aritmia, fungsi jantung dan penyakit komorbid.3 Faktor risiko
aritmia pascaoperasi dapat dibagi menjadi faktor bedah dan faktor yang
berhubungan dengan pasien seperti usia, gangguan jantung struktural dan
komorbid ekstrakardiak.(Peretto G et al 2014) Faktor bedah meliputi trauma,
inflamasi, stres hemodinamik, gangguan iskemik, obat yang dikonsumsi dan
imbalans elektrolit. (Peretto G et al 2014) Tatalaksana aritmia pascaoperasi
meliputi koreksi faktor yang memengaruhi dan pemberian agen atiaritmia.
Cedera ginjal akut merupakan komplikasi yang dapat berkembang
menjadi gangguan ginjal kronik jika tidak ditangani dengan segera. Prognosis
fungsi ginjal sangat dipengaruhi oleh durasi pasien menderita cedera ginjal akut.
Prevalensi cedera ginjal akut yang membutuhkan terapi pengganti ginjal dalam
waktu 60 hari pascaoperasi adalah 52.6% dan 90 hari pascaoperasi adalah
44.7%. (Vives M et al 2019)
Gangguan serebrovaskular dapat terjadi selama masa perioperatif. Struk
perioperatif didefinisikan sebagai struk iskemik atau hemoragik yang terjadi
selama operasi hingga 30 hari pascaoperasi. Prevalensi struk pada operasi non-
kardiak, non-neurologik dan operasi minor sekitar 0.1-1.9%. Namun, gangguan
serebrovaskular perioperatif pada operasi kardiak dan neurologik mencapai
10%. Prevalensi perdarahan intrakranial setelah bedah katup mitral sekitar 1%.
Namun, risiko perdarahan intrakranial meningkat pada pasien dengan operasi
katup jantung multipel. (Ko SB 2018)
1. Teknik Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Ada 2 teknik yang digunakan pada operasi CABG yaitu tindakan CABG
yang menggunakan mesin Cardio Pulmonary Bypass (CPB) sering disebut On-
Pump Coroanary Artery Bypass atau tanpa menggunakan mesin CPB yang
sering disebut Off-Pump Coronary Artery Bypass (OPCAB).
Ada beberapa parameter dalam memilih tehnik operasi off-pump atau on-
pump antara lain yaitu, status hemodinamik harus stabil, karena status
hemodinamik yang tidak stabil, memerlukan pemberian obat, dan apabila
pemberian obat tidak memberikan hasil yang baik, maka menggunakan tehnik
operasi on-pump lebih dipilih. Kemudian evaluasi pembuluh darah yang akan
dioperasi, karena pada pasien obesitas dengan lapisan lemak epikardium yang
tebal atau pembuluh darah target yang terlalu dalam di lapisan miokardium atau
pembuluh darah yang terlalu kecil. Keadaan ini akan mempersulit penggunaan
tehnik operasi off-pump.
Teknik operasi Off-Pump Coronary Bypass Graft belum banyak
digunakan karena teknik ini merupakan teknik baru, tanpa menggunakan mesin
CPB. Tehnik ini mempunyai tingkat mortalitas dan morbiditas yang rendah.
Namun bukan berarti teknik ini lebih baik. Penggunaan teknik On-pump
Coronary Artery Bypass Graft lebih banyak dari pada teknik Off-Pump
Coronary Bypass Graft.
Pada operasi On-pump Coronary Artery Bypass Graft, prosedur
dilakukan dengan alat mekanis mesin jantung paru atau CPB. Mesin ini
meminimalkan perdarahan saat operasi berlangsung, dan perfusi jantung dapat
dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di tubuh. Gambaran umum
pembuatan arteri pintas pada jantung seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 9. Coronary Artery Bypass Graft.

2. Komplikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Komplikasi yang mungkin terjadi segera setelah operasi maupun dalam
waktu yang lebih lama antara lain:
a. Komplikasi kardiovaskuler meliputi disritmia, penurunan curah jantung
dan hipotensi persisten.
b. Komplikasi hematologi meliputi perdarahan dan pembekuan.
c. Komplikasi ginjal dapat terjadi gagal ginjal ketika terjadi penurunan
curah jantung.
d. Komplikasi paru termasuk atelektasis, pneumoni, edem
pulmo,
e. hemothorax/pneumothorax.
f. Komplikasi neurologi dapat muncul sangat jelas termasuk stroke dan
encephalopathy, delirium, cerebrovascular accident.
g. Disfungsi gastrointestinal seperti stress ulcer, ileus paralitik.
h. Rapid Restenosis Graft (dalam waktu 6 bulan) atau vena graft colap.

3. Managemen Pasien Post CABG


Manajemen perawatan pasien paska CABG (Rachel Matthews,2008)
dibagi
menjadi 3 tahap yaitu :
a. Immediate Postoperative Care (Perawatan paska operasi segera)
b. Post operatif care in the ward (Perawatan paska operasi di ruangan
perawatan)
c. Discharge and convalescence (Pemulangan dan pemulihan)
Dalam penelitian ini peneliti hanya membahas tahap awal perawatan
paska operasi CABG atau Immediate Postoperative Care. Yaitu perawatan paska
operasi segera setelah pasien dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU). Prinsip
dan fokus dari tahap ini adalah mengidentifikasi dan memperbaiki dari masalah
yang terjadi, memastikan manajemen nyeri yang efektif dan memberikan
dukungan psikologis pasien dan keluarga Apabila kondisi pasien paska CABG
stabil dan tidak tanda tanda komplikasi serta pengaruh sedasi sudah hilang,
tindakan weaning (penyapihan dari alat bantu nafas) dan ekstubasi segera harus
dilakukan, hal ini sesuai dengan Hilary P. Grocott, MD, FRCPC The Journal of
Thoracic andCardiovascular Surgery “Early extubation after cardiac surgery:
The evolution continues ( November 2017).
Sedangkan kriteria weaning ventilator pada pasien dengan bedah jantung
menurut (St.Joseph Hospital, 2006) diantaranya yaitu : Jumlah perdarahan
dibawah 100 cc / jam, tekanan darah dalam batas normal, Cardiac Indek jantung
≥ 2, tidak ada aritmia ventrikel, pasien bernafas spontan dan FiO2 <.50 %.
Setelah dilakukan ektubasi pemilihan terapi oksigen yang tepat dan sesuai
kebutuhan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya hipoksemia hal ini
sesuai dengan jurnal “Oxygen delivery to patients after cardiac surgery”
(Critical Rescue, 2009) bahwa terapi oksigen masih diperlukan pada pasien
paska CABG terutama pada 24 jam pertama dan jenis terapi oksigen yang
diberikan adalah binasal kanul atau sungkup muka sederhana atau disesuaikan
dengan kebutuhan pasien.
a. Konsep Dasar Pasca Bedah Jantung
1. Perawatan pasca bedah jantung
Perawatan pasca bedah dimulai sejak penderita masuk ke ICU. Untuk
mengetahui problem pasca bedah dianjurkan untuk mengetahui problem
penderita prabedah dan intra bedah sehingga dapat diantisipasi dengan baik
misalnya problem pernapasan, diabetes dan lain-lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada perawatan pasien pasca bedah
menurut Hudak & Gallo (2014) terbagi atas:
2. Perawatan di ICU, monitoring Hemodinamik :
a. CVP
b. Denyut jantung/ heart rate (HR)
c. Wedge presure (PCWP) dan PAP.
d. Tekanan Darah dan MAP
e. Curah jantung (CO), cardiac index(CI)
f. Peripheral oxygen saturation (SpO2)
g. Systemic vascular resistant (SVR), PVR
h. Obat-obat inotropik yang digunakan untuk support fungsi jantung,
dosisnya, rutenya dan lain-lain.
i. Alat lain yang dipakai untuk membantu seperti IABP, pacu jantung dll.

3. EKG
Pemantauan EKG setiap saat harus dikerjakan dan dilihat irama dasar
jantung dan adanya kelainan irama jantung seperti AF, VES, blok atrioventrikel
dll. Rekording/pencatatan EKG lengkap minimal 1 kali dalam sehari dan
tergantung dari problem yang dihadapi terutama bila ada perubahan irama dasar
jantung yang membahayakan.
4. Sistem pernapasan
Penderita dari kamar bedah masih belum sadar. Sampai di ICU
segera pasang alat bantu nafas dan dilihat :
a. Ukuran dan kedalaman ETT yang dipakai
b. Tidal volume dan minut volume, RR, FiO2, PEEP, Mode ventilator
c. Lihat cairan yang keluar dari bronkhus / tube, apakah lendirnya normal,
kehijauan, kental atau berbusa kemerahan sebagai tanda edema paru. Bila
perlu diperiksa kultur.
5. Sistem neurologis
Kesadaran dilihat dari pasien mulai bangun atau masih diberikan obat -
obatan sedatif dan relaxan. Bila pasien mulai bangun maka disuruh untuk
menggerakkan keempat ekstremitasnya.
6. Sistem ginjal
Dilihat produksi urine tiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat
hemolisis dan lain-lain. Dilakukan pemerikasaan ureum dan kreatinin.
7. Gula darah
Bila pasien menderita DM maka kadar gula darah harus dikontrol
8. Laboratorium :
a. HB, HT, trombosit, leukosit
b. Analisa gas darah
c. SGOT/SGPT, Albumin, ureum, kreatinin, gula darah
d. Enzim CK dan CKMB
9. Water Seal Drain
Drain vaskuler yang dipasang harus diketahui sehingga perdarahan dari
mana mungkin bisa diketahui. Jumlah drain tiap satuan waktu biasanya tiap jam
tetapi bila ada perdarahan maka observasi dikerjakan tiap ½ jam atau tiap ¼ jam.
Perdarahan yang terjadi lebih dari 3 cc/kgBB/jam dianggap sebagai perdarahan
pasca bedah dan mungkin memerlukan re-open untuk menghentikan perdarahan.
10. Foto thoraks
Pemerikasaan foto thoraks di ICU segera setelah sampai di ICU untuk
melihat alat-alat dirongga thorak. Perawatan pasca bedah di ICU harus
disesuaikan dengan problem yang dihadapi seperti komplikasi yang dijumpai.
Umumnya bila fungsi jantung normal, penyapihan terhadap respirator segera
dimulai dan begitu juga ekstubasi beberapa jam setelah pasca bedah.
11. Fisioterapi.
Fisioterapi harus segera mungkin dikerjakan termasuk penderita dengan
ventilator. Bila sudah ekstubasi fisioterapi penting untuk mencegah retensi
sputum (napas dalam, vibrilasi, postural drainase).
12. Perawatan setelah dari ruang ICU
Setelah klien keluar dari ICU maka pemantauan terhadap fungsi semua organ terus dilanjutkan.
Biasanya pindah dari ICU adalah pada hari pertama pasca bedah dengan hemodinamik stabil.
Umumnya pemeriksaan hematologi rutin dan thoraks foto telah dikerjakan termasuk
laboratorium yaitu Elektrolit, Darah lengkap, AGDA, Faal Hemostatis, Enzim CKMB dan
troponin T. Hari ketiga lihat dan diperiksa antara lain : Elektrolit, thrombosit, Ureum,
Gula darah, Thoraks foto dan EKG 12 lead. Hari keempat lihat keadaan, pemeriksaan atas
indikasi. Hari kelima Hematologi, LFT, Ureum dan bila perlu elektrolit, foto thoraks tegak. Hari
ke 6-10 pemerikasaan atas indikasi, misalnya thrombosit. Biasanya diberikan analgetik karena
rasa sakit daerah dada waktu batuk akan mengganggu pernapasan klien. Obat-obat lain seperti
anti hipertensi, anti diabet dan vitamin harus sudah dimulai, expectoransia, bronchodilator,
juga diperlukan untuk mengeluarkan sputum yang banyak sampai hari ke 7 atau sampai klien
pulang. Perawatan luka dapat dilakukan dengan teknik tertutup atau terbuka. Bila ada tanda-
tanda infeksi seperti kemerahan dan bengkak pada luka apalagi dengan tanda-tanda panas,
leukositosis, maka luka harus dibuka jahitannya sehingga nanah yang ada bisa bebas keluar.
Bila luka sembuh dengan baik jahitan sudah dapat di buka pada hari ke delapan atau sembilan
pasca bedah. Untuk klien yang mengalami obesitas dan diabetus melitus jahitan dipertahankan
lebih lama untuk mencegah luka terbuka. Mobilisasi diruangan mulai dengan duduk ditempat
tidur, turun dari tempat tidur, berjalan disekitar tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan
keluar dari ruangan dengan dibimbing oleh fisioterapis atau oleh perawat

B. Askep Keperawatan Pasca Bedah Jantung


1. Pengkajian
Setelah selesai operasi, pasien segera dipindahkan keruang ICU, segera
setelah pasien tiba di ICU, perawat harus segera melakukan pengkajian
meliputi semua sistem organ untuk menentukan status pasca bedah
dibandingkan dengan prabedah dan mengetahui perubahan yang mungkin
terjadi selama pembedahan.
2. Status Kardiovaskular
Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena
sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji paru (PCWP), bentuk
gelombang pada tekanan darah invasive, curah jantung dan cardiac index,
drainase rongga dada, fungsi pacemaker.
3. Status Respirasi
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui secara dini
tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Perawat mengkaji
status respirasi pasien selama bedah, ukuran endotrakeal tube, masalah yang
dihadapi selama intubasi, lama penggunaan alat mesin jantung paru.
Selanjutnya kaji gerakan dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi
pernafasan/RR, volume tidal, konsentrasi oksigen, Mode, PEEP), kecepatan
nafas, tekanan ventilator, saturasi oksigen, analisa gas darah.
4. Status Neurologi
Kesadaran dipantau sejak klien mulia bangun atau masih diberikan obat
sedative. Jika klien mulai bangun maka minta klien untuk menggerakkan
seluruh ekstremitas. Kaji juga tingkat responsifitas , ukuran pupil dan reaksi
terhadap cahaya, reflex, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman
tangan.
5. Sistem percernaan
Observasi status cairan, asupan nutrisi
6. Status pembuluh darah perifer
Denyut nadi perifer, warna kulit, warna kuku, mukosa bibir, suhu kulit,
edema.
7. Sistem perkemihan
Observasi produksi urine setiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat
hemolisis dan lain-lain. Pemeriksaan ureum kreatinin harus dikerjakan jika
fasilitas memungkinkan.
8. Status Cairan dan elektrolit.
Haluaran semua selang drainase, parameter curah jantung, dan indikasi
ketidak seimbangan elektrolit.
9. Nyeri
Kaji sifat, jenis, lokasi, durasi, respon terhadap analgesik
10. Status Gastro intestinal
Auskultasi bising usus, palpasi abdomen, nyeri pada saat palpasi.
11. Status alat yang dipakai
Kepatenan alat dan pipa untuk menentukan baik atau tidak kondisinya
meliputi, pipa endotrakeal, ventilator, monitor saturasi, kateter arteri paru,
infus intravena, pacemaker, sistem drainase dan urine. Selanjutnya jika pasien
sudah sadar dan mengalami perkembangan yang baik, perawat harus
mengembangkan pengkajian terhadap status psikologis dan emosional pasien
dan risiko akan komplikasi.
C. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi antara lain :
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah, gangguan
fungsi miokardium (preload, afterload, kontraktilitas).
2. Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma
p embedahan dada ekstensif.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret.
4. Risiko volume cairan dan elektrolit kurang berhubungan dengan
kehilangan cairan aktif.
5. Nyeri berhubungan dengan trauma bedah dan akibat slang drain di dada.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka insisi dan prosedur pembedahan.

D. Rencana Asuhan Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai