Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Arteri koroner adalah serabut pembuluh darah yang memasok oksigen


dan nutrien ke otot jantung. Lama-kelamaan arteri akan tersumbat oleh lemak dan
kolesterol yang menumpuk. Akibatnya, jantung tidak mendapatkan pasokan darah
yang memadai sehingga menimbulkan penyakit jantung iskemik atau penyakit
arteri koroner (Coronary Artery Disease, CAD. Kadang CAD tidak menyebabkan
rasa nyeri sampai pasokan darah ke jantung menjadi sangat kurang dan otot mulai
kaku. Gejala awal CAD dalam kasus ini mungkin serangan jantung yang bisa
menyebabkan kematian.
Kemajuan dalam diagnostik, penatalaksanaan medis, tehnik anestesi dan
bedah, pintasan jantung paru, perawatan yang diberikan di unit perawatan kritis
serta program rehabilitasi telah banyak membantu pembedahan menjadi pilihan
penanganan yang aman untuk klien dengan penyakit arteri koroner atau Coronary
Artery Disease (CAD).
Sejak tahun 1960-an penyakit arteri koroner ditangani melalui tindakan
Revaskulerisasi Miokard, dan tindakana yang sangat populer setelah 40 tahun
kemudian adalah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG), yaitu suatu prosedur
pembedahan untuk mengatasi stenosis arteri koroner.
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), adalah teknik yang
menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh yang lain untuk memintas
(melakukan bypass) arteri yang menghalangi pemasokan darah ke jantung. Vena
kaki atau arteri mamari (payudara) internal bisa digunakan untuk operasi bypass.
Operasi ini membantu memulihkan aliran darah yang normal ke otot jantung yang
tersumbat
Operasi untuk mengalihkan aliran darah dari bagian yang tersumbat
dengan suatu cangkok pintas sehingga aliran darah ke miokardium setelah lesi
arterosklerosis pada arteri-arteri bisa diperbaiki dengan indikasi utama tindakan

1
CABG adalah pada pasien dengan kriteria angina pectoris yang tidak dapat
ditangani dengan obat atau PCI (Percutaneous Coronary Intervention),left main
stenosis 60%, oklusi 70% arteri koroner pada satu atau lebih pembuluh darah dan
pada pasien dengan PCI bermasalah..( Hinkle & Cheeve, 2015).
Wanita menunjukan frekwensi angka yang sedikit terhadap tindakan
CABG dibanding pria, Wanita yang mendapat tindakan CABG biasa yang
berumur sangat tua serta mempunyai penyakit seperti diabetes. ( perry et al, 2010
dalam Hinkle & Cheeve, 2015).
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit tidak menular yang menjadi
penyebab utama kematian secara global yaitu sebesar tiga puluh sembilan persen
(39%) (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2012). Di Amerika Serikat sekitar
600.000 orang meninggal karena penyakit jantung di setiap tahun dan penyakit
jantung koroner menewaskan lebih dari 385.000 orang per tahun. Di Indonesia
tahun 2010 tingkat kefatalan (CFR) penyakit jantung ada Rawat Inap Rumah
Sakit tahun 2009-2010 sebesar 8,7% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI,
2012). Pada penanganan penyakit jantung koroner diperlukan operasi jantung
yaitu Coronary Artery Bypass Grafting (CABG). Ini adalah pengobatan untuk
pasien dengan penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah jantung (Medical
Surgical Nursing vol 1, 2000). CABG adalah pilihan yang baik untuk masalah ini
karena mengembalikan aliran darah normal kembali ke otot jantung, mengurangi
gejala (biasanya angina) dan juga dapat meningkatkan harapan hidup pasien
(NICOR, 2011).
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Rumah
Sakit Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita tahun 2016, menunjukkan
jumlah operasi CABG periode Januari sampai dengan Agustus 2016 adalah 446
kasus. Data dibuku register ruang ICUD Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita. ( Register ICUD, 2016).
Perawatan pasien pasca bedah jantung pada umumnya dilakukan di unit
perawatan kritis atau intensive care unit ( ICU ). Asuhan keperawatan yang
spesifik pada pasien pasca bedah jantung sangat menentukan keberhasilan pasien
melewati masa – masa kritis pasca pembedahan.

2
Berdasarkan latar belakang diatas, penulia mengangkat judul studi kasus
ini yaitu “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PASCA BEDAH
CORONARY ARTERI BYPASS GRAFT (CABG) DI RUANG ICUD RUMAH
SAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA
JAKARTA TAHUN 2016 “.

1.2. Tujuan Studi Kasus

Tujuan Dari penulisan makalah ini adalah :

1. Tujuan Umum
Mampu memahami konsep asuhan keperawatan pada pasien post
operasi CABG.
2. Tujuan Khusus
a. Memahami pengertian dari CABG.
b. Mengetahui tujuan CABG.
c. Mengetahui indikasi CABG.
d. Mengetahui komplikasi dari CABG.
e. Mengatahu dan memahami penatalaksaan pasien CABG.
1.2. Manfaat Studi Kasus
1.2.1. Bagi penulis
Dapat lebih memahami tentang konsep dan praktik asuhan
keperawatan pada pasien dengan paska bedah Coronary Arteri
Bypass Graft (CABG)
1.2.2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menjadi tambahan referensi dalam pembelajaran mengenai
asuhan keperawatan pada pasien dengan paska bedah Coronary
Arteri Bypass Graft (CABG)

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep CABG

2.1.1. Pengertian

Coronary Artery Bypass Graft (CABG) adalah bedah pintas koroner,


merupakan bentuk intervensi bedah untuk memperbaiki aliran darah koroner
(reperfusi) dengan cara mencangkok sebagian pembuluh darah. (Hinkle &
Cheeve, 2015).

CABG adalah Pintasan jantung paru yang merupakan suatu alat mekanis
untuk sirkulasi dan oksigen darah untuk seluruh tubuh pada saat memintas jantung
paru. (Aspiani, 2015).

Rekomendasi untuk melakukan CABG didasarkan atas beratnya keluhan


angina dalam aktivitas sehari – hari. Respon terhadap intervensi nonbedah ( PCI
atau stenting dan obat – obatan serta harapan hidup pasca operasi yang didasarkan
atas fungsi jantung secara umum sebelum operasi ( woods, et all 2000 ).

CABG merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk membuat jalur


pintasan aliran darah melalui pencangkokan pembuluh darah melewati area
stenosis agar kebutuhan miokard terhadap oksigen dan nutrisi dapat terpenuhi.

2.1.2. Indikasi
Menurut Hinkle & Cheeve (2015), indikasi mayor atau utama untuk
tindakan CABG adalah :

1. Angina yang tidak dapat dikontrol lagi dengan obat-obatan atau PCI
2. Stenosis di cabang utama arteri koroner kiri( Left Coronary Artery/ LCA)
atau terdapat banyaknya lesi di pembuluh darah koroner.
3. Pencegahan dan penanganan untuk Miokard Infark, Dysritmia atau gagal
jantung.

4
4. Penanganan terhadap komplikasi dari kegagalan tindakan PCI.

Indikasi CABG menurut Guideline for Coronary Artery Bypass Graft


Surgery ACCF( A Report of the American College of Cardiology Foundation)
/AHA( American Heart Association ) tahun 2011, adalah :

1. Indikasi CABG pada pasien tanpa gejala klinis / angina ringan


a. Kelas I :
1) Stenosis left main coronary artery yang signifikan
2) Left main equivalen : stenosis signifikan 70% dari LAD proksimal
dan LCX proksimal
3) Three vessel desease ( angka harapan hidup lebih besar dengan fungsi
LV terganggu misal LV EF 50%
b. Kelas II :
1) Stenosis LAD proksimal dengan 1 atau 2 vessel desease
Akan menjadi kelas I bila terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan
non invasif atau LV EF 50%.

2) 1 atau 2 vessel desease tidak pada LAD


Jika terdapat daerah miokardium viable yang besar dan termasuk
kriteria resiko tinggi dari hasil pemeriksaan non invasif akan menjadi
kelas I

2. Indikasi CABG untuk angina stabil


a. Kelas I
1) Stenosis left main coronary artery yang signifikan
2) Left main equivalen stenosis 70% dari LAD proksimal dan LCX
proksimal
3) Three vessel desease ( angka harapan hidup lebih besar pada
pasien dengan fungsi LV terganggu misal LV EF 50%
4) Two vassel desease dengan stenosis LAD proksimal dan atau LV
EF 50% atau terdapat iskemik pada pemeriksaan non invasif

5
5) 1 atau 2 vessel desease stenosis LAD yang signifikan tetapi
terdapat daerah miokardium viable yang besar dan termasuk
kriteria cukup tinggi dari pemeriksaan non invasif
6) Angina refaktur terhadap pengobatan yang maksimal tindakan
bedah dapat dilakukan dengan resiko yang dapat diterima
b. Kelas II
1) Stenosis LAD proksimal dengan 1 vessel desease Dapat menjadi
kelas I bila terdapat iskemik berdasarkan pe,riksaan non invasif
atau LV EF 50%
2) 1 atau 2 vessel tanpa stenosis LAD proksimal yang signifikan tetapi
dengan daerah moikardium viable yang sedang dan terdapat
iskemik pada pemeriksaan non invasif
c. Kelas III
1) 1 atau 2 vesle desease tanpa LAD yang signifikan pada :
 Pasien dengan gejala ringan yang bukan berasal dari iskemik
miokardium / belum menerima pengobatan yang maksimal dan
atau memiliki daerah miokardium viable yang kecil
 Pada pasien tanpa iskemik pada pemeriksaan non infasif
2) Stenosis coronary pada ambang batas ( 50 – 60% diameter pada
lokasi non left main coronary artery ) dan tidak terdapat iskemik
pada pemeriksaan non invasif
a. Stenosis coronary nonsignifikan ( kurang dari 50% diameter )

3. Indikasi untuk CABG pada unstable angina / non Q wave MI


a. Kelas I
1) Stenosis left main coronary artery yang signfikan
2) Left main equivalent : stenosis signifikan ( 70% ) dari LAD
proksimal dan LCX proksimal
3) Iskemik yang mengancam dan tidak responsif pada terapi non bedah
yang maksimal
b. Kelas IIA
Stenosis LAD proksimal dengan 1 atau 2 vessel disease

6
Akan menjadi kelas I bila terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan non
invasif dan atau LV EF < 50%. Jika terdapat daerah miokardium viable
yang besar dan termasuk kriteria resiko tinggi dari hasil pemeriksaan non
invasif akan menjadi kelas I

c. Kelas IIB
Satu atau Dua vessel disease tidak pada LAD

4. Indikasi untuk CABG pada ST segmen elevation Q wave MI

b. Kelas IIA
Iskemik yang mengancam / infark yang tidak responsif pada terapi non
bedah yang maksimal

c. Kelas IIB
1) Gagal pompa ventrikel kiri yang progresif dengan stenosis
kororner yang mengancam daerah miokardium viable diluar lokasi
infark awal
2) Untuk reperfusi pada jam – jam pertama ( 6 – 12 j ) pada STEMI
d. Kelas III
Untuk reperfusi primer lambat ( lebih dari 12 jam ) pada STEMI tanpa
iskemi yang mengancam

5. Indikasi untuk CABG pada fungsi ventrikel kiri yang buruk


a. Kelas I
1) Stenosi left main coronary arteri yang signifikan
2) Left main equivalen : stenosis signifikan ( 70% ) dari LAD
proksimal dan LCX proksimal
3) Stenosis LAD proksimal dengan 2 atau 3 vessel disease
b. Kelas II
Fungsi LV buruk dengan area miokardium viable terrevaskularisasi
tanpa adanya perubahan atau kelainan anatomis

c. Kelas III

7
Fungsi LV buruk tanpa adanya tanda dan gejala iskemi intermiten dan
tanpa adanya daerah miokardium yang viable dan terrevaskulariasi

6. Indikasi untuk CABG artimi ventrikel yang mengancam nyawa


a. Kelas I
1) Stenosis pada left main coronary artery
2) Three vessel disease
b. Kelas IIA
1) 1 atau 2 vessel disease yang dapat dilakukan baypass
Akan menjadi kelas I bila terdapat iskemi berdasarkan pemeriksaan
non invasif dan atau LV EF < 50%

Jika terdapat daerah miokardium yang besar dan termasuk kriteria


resiko tinggi dari hasil pemeriksaan non invasif akan menjadi kelas
I

2) Stenosis LAD proksimal dengan 1 -2 vessel disease


c. Kelas III
Tacikardi ventrikel tanpa skor dan tanpa bukti ada iskemik

7. Indikasi V CABG pasca kegagalan PTCI:


a. Kelas I

1) Iskemia yang mengancan atau oklusi pada area miocardium yang


signifikan.

2) Ketidak stabilan haemodinamik

b. Kelas IIA

1) Benda asing pada lokasi anatomi yang penting

2) Ketidak stabilan haemodinamik pada pasien dengan kelainan sistim


koagulasi dan tidak memiliki riwayat sternotomi.

c. Kelas IIB

8
Ketidakstabilan haemodinamik pada pasien dengan kelainan koagulasi
dan memiliki riwayat sternotomi.

d. Kelas III

1) Tidak iskemi

2) Revaskularisasi yang gagal oleh karena keadaan anatomi atau

miocardium yang tidak viable lagi/no-reflow state

8. Indikasi untuk CABG pada pasien dengan riwayat CABG:


a. Kelas I
Angina refraktur terhadap pengobatab non invasif maksimal ( jika angina
tidak khas, harus dibuktikan adanya iskemi )

b. Kelas IIA
Stenosis yang nyata pada koroner distal yang memungkinkan dilakukan
bypass dengan daerah miocardium besar yang terancam pada
pemeriksaan

c. Klas IIB
Iskemia pada daerah distribusi non LAD dengan graff arteri mamaria
interna paten ke LAD yang memperdarahi area miocardium fungsional
dan tanpa usaha pengobatan medikal mentosa dan/refaskularisasi
perkutan yang agresif

2.1.3. Kontra Indikasi

Adapun kontraindikasi CABG secara mutlak tidak ada, namun secara


relatif CABG dikontraindikasikan bila terdapat berbagai faktor yang akan
memperberat atau meningkatkan resiko selama dan sesudah operasi seperti
sklerosis aorta yang berat.

9
2.1.4. Patofisiologi CABG
v
Faktor resiko: merokok, hiperlipidemia, hipertensi, obesitas, dan diabetes mellitus

Umur diatas 40 tahun, jenis kelamin (pria lebih banyak dari pada wanita)

Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah koroner

Sel endotel menghasilkan sel adhesion molecule seperti sitokin, kemokin dan growth factor

Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan migrasi
dari endotelium ke sub endotel

Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengambil LDH


teroksidasi yang bersifat lebih anterhogenik dibanding LDL

Gangguan vasodilatasi dan mencetuskan efek protrombik Respon dari


dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi angiotensin II

LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilakan


respon inflamasi

Sindrom koroner akut

CAD Iskemia Miokard Infark Angina

10
Revaskularisasi

PCI Medikamentos
CABG
a

Oklusi RCA > 70% Oklusi Left Main > 60%

Tranplantasi vena safena Oklusi LCx >70% Oklusi LAD >70%

atau arteri radialis

Transplantasi vena
safena Transplantasi LIMA

2.1.5. Pembuluh Darah Yang digunakan untuk CABG


Berdasarkan Guideline for Coronary Artery Bypass Graft Surgery ACCF(
A Report of the American College of Cardiology Foundation) /AHA( American
Heart Association ) tahun 2011 dan Hinkle & Cheeve (2015), pembuluh darah
yang dapat digunakan adalah :
1. Pembuluh darah arteri
Arteri yang biasa digunakan untuk graft arteri koroner yaitu Left Arteri
Mammari Internal dan Right Arteria Mammari Internal, Arteri Radialis kanan
atau kiri, dengan prinsipnya dari proximal ke distal graff.

11
a. Arteri Mammari Interna (AMI)
AMI adalah cabang kedua dari arteri subklavia dan turun kebawah
dinding arteriol dada tepat dilateral terhadap sternum dibelakang
cartilage costae. Untuk mengisolasi AMI, ruang pleura yang dimasuki
AMI di diseksi bebas dan cabang – cabangnya di kauterisasi. AMI kiri
dan kanan dapat digunakan, AMI kiri lebih panjang dan lebih lebar dari
AMI kanan, oleh karena itu dapat digunakan untuk bypass arteri koroner
decenden anterior kiri, sedangkan AMI kanan dianastomosiskan ke arteri
koroner kiri atau arteri koroner sirkumfleks. Adapun keuntungan dan
kerugian Arteri Mammari Internal untuk revaskularisasi miokard adalah
sebagai berikut :

1) Keuntungan :
a) Memperbaiki potensi frekwensi jangka pendek dan panjang
pada tandur vena safena.
b) Diameternya mendekati arteri koroner.
c) Tidak dibutuhkan anastomosis aortic.
d) AMI mempertahankan intervasi system saraf dan mempunyai
kemampuan mengadaptasi ukuran untuk memberi aliran darah
sesuai dengan kebutuhan miokard.
e) Tidak ada insisi kaki.
f) Endotelium vaskuler beradaptasi terhadap tekanan arteri dan
aliran tinggi mengakibatkan penurunan hiperplasi intima dan
arterosklerosis.
2) Kerugian :
a) Diseksi AMI lebih panjang mengakibatkan waktu bypass lebih
panjang.
b) Diseksi ekstensif dapat meningkatkan resiko perdarahan pasca
operasi.
c) Memasuki ruang pleura sehingga selang pleura dada diperlukan
pasca operasi.
d) Nyeri pasca operasi dapat meningkat karena masuk keruang
pleura dan diseksi luas.

12
.

Gambar. 2.1. Artery Mamaria

b. Arteri Radialis
Terdapat dua arteri dibagian lengan bawah yaitu arteri radial.
Kebanyakan orang menerima aliran darah yang adekuat pada lengan dari
arteri ulnar sendiri dan tidak ada efek samping apabila arteri radial
digunakan sebagai graft. Arteri radial di insisi dilengan bawah kira – kira

13
2 inchi dari siku dan berakhir kira – kira 1 inchi dari pergelangan tangan.
Arteri radial tidak dapat digunakan sebagai graft apabila terdapat keluhan
seperti jari – jari sering sakit dalam udara dingin. Untuk itu diperiksa
allen test. Pada pasien yang menggunakan graft arteri radialis harus
mendapat therapy Calcium Chanel Blocker selama 6 bulan setelah
operasi untuk menjaga agar arteri radial tetap terbuka lebar.

Gambar. 2.2. Arteri Radialis

c. Arteri gastroepiploika ke perut, dan arteri epigastrika inferior ke dinding


perut kurang umum digunakan untuk pencangkokan.

14
Gambar.2.3. Arteri gastroepiploika

2. Pembuluh Darah Vena


Sedangkan pada vena biasanya digunakan Vena Safena Magma kiri
atau kanan, Vena Safena Parva, Vena Basilica kanan atau kiri dan Vena
Sefalika, dengan prinsipnya dari distal ke proximal graff.

Vena safena dapat diambil dari lutut atas atau bawah, tetapi vena
safena dari lutut bawah sangat diminati oleh karena diameternya mendekati
ukuran arteri koroner. Vena safena diambil dari insisi yang dibuat sepanjang
bagian dalam kaki. Obstruksi pada arteri koroner di Bypass dengan membuat
anastomosis satu ujung vena tandur ke aorta (anastomosis proksimal dan ujung
yang lain ke arteri tepat melewati obstruksi/ anastomosis distal).

15
Gambar. 2.4. Vena sevana

2.1.6. Tehnik operasi CABG


1. On Pump
a. Idealnya operasi jantung dilakukan pada keadaan jantung yang diam
dan tidak berdarah. Cara konvensional yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan kondisi ini adalah dengan penggunaan mesin
Cardiopulmonary Bypass (CPB) serta sternotomy.
b. Pada teknik on-Pump CABG, cross-clamp Aorta digunakan serta
cairan cardioplegik dimasukkan untuk mencegah iskemik
miokardium. Darah yang tidak teroksigenasi dialirkan ke dalam
reservoar vena melalui kanula yang dipasang pada atrium kanan, atau
dapat juga dipasang di vena cava superior dan vena cava inferrior.
Pada operasi CABG pada umumnya digunakan satu kanula vena yang
dipasangkan di atrium kanan.
c. Pada operasi on pump prosedur yang dijalankan menggunakan alat
mekanis mesin jantung paru atau CPB (Cardiopulmonary Bypass).
Mesin Cardiopulmonary Bypass atau CPB adalah sirkulasi
extracorporeal dimana darah bersirkulasi di luar pembuluh darah yaitu

16
melalui kateter disambungkan pada vena cava superior dan inferior
atau atrium kanan bertujuan agar darah tidak masuk ke ventrikel
kanan. Darah kemudian masuk kedalam reservoar, reservoar juga
berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan obat-obatan atau
komponen darah apabila diperlukan. Setelah memasuki reservoar,
darah akan masuk ke dalam oksigenator. Oksigenator merupakan
proses paling vital dimana oksigenator mengambil alih fungsi paru.
Oksigenator terdiri dari mikroporus membrane yang memisahkan
komponen gas dari darah. Membran oksigenator menambahkan
sekitar 470 ml oxygen dan mengekstrak 350 ml karbondioksida.
Mesin pengatur suhu juga dihubungkan dengan oksigenator untuk
menurunkan suhu darah sesuai dengan prosedur masing-masing
Institusi. Selama proses pumping berlangsung, banyak microbubble
yang terbentuk. Penggunaan membrane oksigenator dan mikrofilter
mampu menyaring mikrobubble agar tidak ikut masuk ke peredaran
darah. Pada teknik operasi ini, suhu diturunkan menjadi 28-30 derajat
Celcius, yang bertujuan untuk menurunkan kebutuhan jaringan akan
oksigen seminimal mungkin, nadi dipertahankan 60-80 kali per menit,
dan tekanan arteri 70-80 mmHg (Botham, 2007).

17
Gambar 2.5 Skema mesin Cardiopulmonary Bypass (CPB)

2. Off Pump
Operasi bedah jantung off pump tidak memakai mesin jantung paru
atau CPB. Dengan teknik ini jantung tetap berdetak normal dan paru-paru
berfungsi seperti biasa. Hal ini jelas menghilangkan penempatan pipa khusus
untuk mesin pada ruang-ruang pembuluh darah jantung, penggunaan sirkulasi
buatan dan manipulasi aorta yang berlebihan.

18
Teknik off pump adalah prosedur yang sangat khusus dan saat ini
dilakukan oleh beberapa ahli bedah yang berpengalaman dan memperoleh
hasil yang baik. Off pump CABG adalah teknik baru dengan manfaat tingkat
komplikasi yang lebih rendah.

Pemilihan prosedur harus tergantung pada tingkat kenyaman dokter bedah


dalam melakukan prosedur pada pasien tertentu.

1. Kriteria pasien off pump :


 Pasien yang direncanakan operasi elektif
 Hemodinamik stabil
 Ejection fraction normal
 Pembuluh distal cukup besar
2. Keuntungan dari teknik off pump :
 Meminimalkan efek trauma operasi
 Mobilisasi paska operasi dapat dilakukan lebih dini
 Drainage paska bedah minimal
 Transfuse darah dan komponennya minimal
 Dapat cepat kembali pada pekerjaan semula
2.1.7. Komplikasi Tindakan CABG
Menurut Hinkle & Cheeve (2015), dan Smelzer & Bare, (2002), potensial
komplikasi dari CABG adalah:

1. Sistem kardiovaskuler
a. Penurunan curah jantung
Terjadi akibat hipovolumia, hal ini disebabkan karena oleh kehilangan
darah saat pembedahan, vasodilatasi pembuluh darah karena perubahan
suhu yang semula hipotermik yang mulai meningkat maka diperlukan
banyak volume untuk mengisi ruang intravaskuler. Peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan cairan masuk keruang interstitial.

b. Gangguan Afterload
Terjadi akibat hipotermik yang mencetus terjadinya vasokontriksi
pembuluh darah

19
c. Tamponade jantung
Tamponade jantung dapat menurunkan preload ke jantung dengan
menghalangi masuknya darah kejantung. Cairan yang terkumpul dalam
ruang perikardium menekan jantung dari luar, menghalangi darah
memasuki ventrikel, hal ini dapat menyebabkan hipotensi
arteri,takikardiia, bunyi jantung lemah dan penurunan haluaran urine.

d. Infark miokard
Gejala infark miokard dapat tertutup oleh ketidaknyamanan pascaoperasi
atau tindakan anestesi-analgesia, hal ini perlu dicurigai bila terjadi
penurunan darah rerata dengan preload yang normal. Tahanan vaskuler
sistemik dan frekuensi jantung dapat meningkat untuk mengkompensasi
kontraktilitas yang buruk.

e. Bradikardi, sebagai akibat trauma karena pembedahan dan edema akan


berdampak terhadap sistem konduksi jantung
f. Perdarahan
Pintasan jantung paru dan hipotermik menyebabkan fungsi trombosit
terganggu, sehingga darah tidak bisa membeku secara normal, prosedur
pembedahan menyebabkan trauma jaringan dan pembuluh darah tetap
merember mengeluarkan darah. Cairan drainase yang berwarna merah
tidak boleh melebihi 200 ml/jam untuk 4 sampai 6 jam pertama.

g. Hipertensi,
Peningkatan Afterload sebagai akibat keadaan hipotermik yang
mencetuskan vasokontrik pada pembuluh darah menyebabkan sistemik
vascular respon meningkat sehingga memunculkan hipertensi.

2. Sistem Respirasi
Kegagalan pertukaran gas dapat terjadi karena efek dari anestesi yang
menyebabkan meningkatnya produksi mukus, dan nyeri karena insisi dinding
dada mungkin menurunkan efektifitas ventilasi paru.

20
3. Sistem Neurologi
Emboli dan trombus mungkin menyebabkan infark serebral, gangguan pada
sistem neurologi harus segera dikaji segera saat pasien mulai pulih dari efek
anestesi
4. Sistem Renal
Gagal ginja akut dan elektrolit imbalan Terjadi akibat hipoperfusi keginjal
atau karena pemakaian obat yang bersifat toksik terhadap ginjal.
Ketidakseimbangan Potasium, sodium, kalium, kalsium dan gula darah
berhubungan kehilangan saat pembedahan, perubahan metabolik, pemakaian
obat.

5. Komplikasi lain
a. Pembedahan dan anestesi menyebabkan stres di liver
b. Infeksi, pemakaian alat-alat invasif untuk monitor dan support pasien
membuka jalan untuk terjadinya infeksi, maka sangat penting adanya
source infection control

2.2. Konsep Pasca Operasi


Perawatan pasca bedah dimulai sejak pasien masuk ke ICU, maka setiap
jam selama 8 jam pertama harus dilakukan pengkajian lengkap mengenai semua
sistim untuk menentukan status pascaoperatif (Hinkle & Cheeve ,2015).

Pemberian asuhan keperawatan membantu memulihkan klien dalam memenuhi


aktivitas yang berguna mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan
(Wilkinson & Ahern, 2013).

Perawatan pasca bedah klien bedah jantung memacu pemikiran kritis


perawat dalam menghadapi perubahan yang dapat terjadi dengan cepat pada klien.
Pengkajian kondisi pra bedah klien serta peristiwa yang terjadi pada intra bedah
dapat menjadi dasar pertimbangan intervensi keperawatan klien pasca bedah. Hal
ini penting bagi perawat untuk mengantisipasi kemungkinan komplikasi sehingga
intervensi yang tepat dimulai pada waktu yang tepat untuk memastikan hasil yang
positif bagi klien (Martin & Turkelson, 2006).

21
Tujuan utama perawatan paska bedah: meliputi restorasi curah jantung,
pertukaran gas yang adekuat, pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit,
berkurangnya gejala penginderaan yang berlebihan, penghilangan nyeri, usaha
untuk beristirahat, pemeliharaan perfusi jaringan yang memadai, pemeliharaan
perfusi ginjal yang memadai, pemeliharaan suhu tubuh normal, mempelajari
aktivitas perawatan diri dan tidak adanya komplikasi.

Dalam Aspiani (2015) dan Hinkle & Cheeve (2015), disebutkan bahwa
beberapa paremeter penting yang harus dikaji pada pasien pasca bedah
diperawatan ICU, yaitu diantaranya :

1. Sistem neurologi
Kesadaran dipantau sejak pasien mulai bangun atau masih diberikan obat
sedatif pelumpuh otot, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, kesemetrisan
muka, jika pasien mulai bangun maka minta ia untuk menggerakkan seluruh
ektremitas, dan kekuatan genggaman tangan
2. Sistem Kardiovaskuler
Tahap pertama adalah dilakukan serah terima pasien antara petugas kamar
operasi dengan petugas diruang ICU. Pemantauan tekanan vena central,
tekanan atrium kanan dan kiri, denyut jantung, tekanan darah, curah jantung,
obat-obat yang digunakan dan alat-alat yang dipakai misalnya IABP, pacu
jantung dan lain-lain.
3. Sistem respirasi
Bisanya pasien masih belum sadar sampai ke icu karena pemberian sedasi
sebelum dipindakan, respirator segera di pasang, perhatikan gerakan dada,
suara napas, pengaturan ventilator (frekuensi, volume tidal, konsentrasi
oksigen, mode, tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP), kecepatan napas,
saturasi oksigen arteri (SaO2) , CO2, pipa drainase rongga dada, gas darah
arteri.
4. Status pembuluh darah perifer
Denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku, mukosa, bibir dan cuping
telinga, suhu kulit, edema, kondisi balutan dan pipa invasif.

22
5. Fungsi Ginjal dan keseimbangan cairan dan elektrolit; haluaran urin,
osmolaritas, serum creatinin dan ureum
6. Drain
Produksi drain harus diobsevasi setiap jam, bila terjadi perdarahan maka
observasi setiap 30 menit. Jumlah perdarahan lebih dari 200 cc/jam pada
dewasa mungkin perlu tindakan retoraktomi.
7. Laboratorium
Setelah sampai di ICU maka dilakukan pemeriksaan terhadap hemoglobin,
hematokrit, trombosit, analisa gas darah, albumin, ureum, kreatinin, gula
darah, dan enzim CK-CKMB. Gula darah; kadar gula diperiksa setiap 6 jam
bila pasien menderita Diabetes
8. EKG
Pencatatan lengkap EKG minimal dilakukan satu kali dalam sehari dan
tergantung masalah yang dihadapi terutama jika terdapat perubahan irama
dasar jantung yang membahayakan.
9. Foto thorak
Pemeriksaan foto thorak dilakukan segera setelah sampai ICU untuk melihat
kateter vena central, kateter swangans. Umumnya jika fungsi jantung normal
penyapihan terhadap respirator segera dimulai dan begitu juga ekstubasi
beberapa jam setelah pascabedah.
10. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada harus sesegera mungkin dikerjakan termasuk pada klien yang
terpasang ventilator, jika sudah ekstubasi fisioterapi tetap dilakukan untuk
mencegah retensi sputum.
Begitu pasien sadar dan mengalami kemajuan selama periode
pascaoperatif, perawat harus mengembangkan pengkajian dengan memasukan
parameter yang menunjukkan status psikologis dan emosional. Pasien dapat
menunjukkan tingkah laku yang mencerminkan penolakan dan depresi pasca
kardiaktomi. Tanda khas psikosis adalah ilusi persepsi sementara, halusinasi
dengar dan penglihatan, disorientasi dan waham paranoid. Kebutuhan
keluarga juga harus diperhatikan apakah mereka telah memperoleh informasi
yang memadai mengenai kondisi pasien

23
2.3. Asuhan Keperawatan
Pengkajian keperawatan disesuikan dengan pengkajian pasien pasca
operatif berdasarkan Aspiani (2015) dan Hinkle & Cheeve (2015), yaitu :
2.3.1. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Keluhan Utama
3. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Riwayat Penyakit dahulu
c. Riwayat penyakit keluarga
4. Pengkajian sesuai sistem tubuh
5. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
b. Pemeriksaan darah
c. Foto thorak
2.3.2. Diagnosa Keperawatan
Dalam Aspiani (2015), mengaplikasikan konsep NIC & NOC, dan
Hinkle & Cheeve (2015), diagnosa pasca bedah yang sering muncul
adalah

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan


fungsi jantung yang terganggu
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi
sekret akibat anestesi
3. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma akibat
pembedahan dada
4. Resiko kekurangan volume cairan dan keseimbangan elektrolit
berhubungan dengan berkurangnya aliran darah yang beredar
5. Nyeri akut berhubungan dengan trauma operasi dan pemakaian
selang dada

24
6. Resiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan statis vena,
embolisasi, penyakit arteriosklerosis, efek vasopresor atau masalah
pembekuan darah
7. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan
8. Resiko perubahan perfusi ginjal berhubungan dengan penurunan
curah jantung, hemolisis atau terapi obat vasopresor
9. Resiko hipertemia berhubungan dengan infeksi atau sindrome pasca
perikardiotomi
10. Kurang pengetahuan mengenai pengetahuan mengenai aktivitas
perawatan diri.
2.3.3. Rencana Keperawatan

N Diagnosa
Tujuan Intervensi
o. Keperawatan

1. Resiko penurunan Setelah dilakukan Mandiri:


curah jantung asuhan keperawatan
- Pantau tanda-tanda vital
berhubungan selama 1.x24 jam
- Monitor irama jantung
dengan klien menunjukkan
- Monitor tanda-tanda penurunan
terganggunya curah jantung
curah jantung
fungsi jantung optimal, dengan
- Merekam EKG 12 lead
kriteria:
- Ukur intake output/24 jam
- Hemodinamik - Batasi aktifitas fisik
stabil - Batasi pemberian makanan yang
- Tanda-tanda vital dapat meningkatkan kerja
normal jantung
- Cardiac output 2,5
- 4 L/menit/m2
Kolaborasi:
- MAP > 65 mmHg
- HR 60 – - Pemberian terapi sesuai program
100x/menit - Berikan oksigen sesuai
- Pasien sadar kebutuhan

25
- Orientasi baik - Berikan cairan intravena sesuai
- Tidak ditemukan instruksi
gagal jantung - Pasang hemodinamik
monitoring invasive
- Urin output > 0,5-1 - Berikan inotropik sesuai
cc/kg/jam instruksi dokter
- Kapiler renfil < 3
dtk
- Akral hangat
2 Gangguan Setelah dilakukan Acid Base Management :
pertukaran gas asuhan keperawatan
1. Monitor level AGD, seperti
berhubungan selama 1x24 jam
penurunan atau peningkatan
dengan trauma klien menunjukkan
pH
pembedahan dada pertukaran gas
2. Monitor intake dan output
ekstensif adekuat, dengan
pasien
kriteria hasil :
3. Posisikan pasien untuk
- Status mental mengoptimalkan ventilasi
dalam rentang (semifowler)
normal 4. Monitor transpor oksigen ke
- Klien bernafas jaringan melalui PaO2, SaO2,
dengan mudah Hb, dan cardiac output jika
- Tidak ada memungkinkan
dispneu 5. Monitor terjadinya
- Tidak ada ketidakseimbangan elektrolit
kegelisahan yang berhubungan dengan
- Tidak ada asidosis metabolik seperti
sianosis hiponatremia, hiperkalemia,
- Tidak ada hipokalemia, hipokalsemia,
somnolen hipopospatemia,
- PaO2 dalam batas hipomagnesemia, jika ada.
normal 6. Monitor manifestasi

26
- PCO2 dalam kardiopulmonal pada asidosis
batas normal metabolik (seperti hipotensi,
- pH dalam batas hipoksia, aritmia, dan pola
normal nafas kussmaul)
- Saturasi O2 7. Monitor tanda dan gejala
dalam batas penurunan HCO3 seperti
normal lemah, disorientasi, sakit
- Ventilasi perfusi kepala, anoreksia, pH urine <6,
seimbang HCO3 level <22 mEq/l, pH
darah <7,35, hiperkalemia.

Airway Management

1. Posisikan pasien untuk


mencapai ventilasi optimal
2. Auskultasi suara nafas, untuk
mengevaluasi bersihan jalan
nafas dan lapang paru
3. Monitor status respiratori dan
oksigenasi

Artificial Airway Management

1. Berikan hidrasi yang cukup via


intravena
2. Monitor adanya krakles dan
ronchi
3. Kolaborasi untuk melakukan
rontgen dada untuk
mengevaluasi kepatenan letak
ETT

27
Cough Enhancement

1. Ajarkan pasien untuk menarik


nafas dalam
2. Ajarkan pasien untuk menarik
nafas dalam, tahan selama 2
detik, dan batukkan 2-3 kali
3. Instruksikan pasien untuk
bernafas dalam, hembuskan
secara berlahan, dan batukkan
di akhir ekspirasi
4. Fasilitasi klien untuk memeluk
bantal saat batuk efektif untuk
mencegah tekanan yang terlalu
tinggi di rongga dada

Oxygen Therapy

1. Pastikan kepatenan jalan nafas


2. Berikan terapi oksigen sesuai
indikasi
3. Gunakan alat terapi oksigen
yang sesuai dengan kondisi
pasien
4. Monitor efektifivitas dari
oksigen terapi melalui hasil
SPO2 dan analisa gas darah
5. Monitor tanda-tanda
keracunan oksigen

28
Respiratory Monitoring

1. Monitor RR, ritme, kedalaman


nafas, dan usaha untuk
bernafas dan penggunaan otot
bantu pernafasan
2. Monitor pergerakan dada dan
penggunaan otot bantu
pernafasan
3. Monitor pola nafas pasien
4. Auskultasi suara nafas dan
suara paru
5. Monitor kemampuan pasien
untuk batuk efektif
Vital sign Monitoring

1. Monitor tekanan darah, nadi,


temperatur, dan status
respiratorik
2. Monitor SpO2
3. Observasi akral, pulsasi, dan
kelembaban
3 Resiko ketidak Setelah dilakukan Fluid management
seimbangan asuhan keperawatan
1. Timbang popok/pembalut jika
volume cairan selama 1x24 jam
diperlukan
dan elektrolit klien menunjukkan
2. Pertahankan catatan intake
berhubungan keseimbangan cairan
dan output yang akurat
dengan output dan hidrasi yang
3. Monitor status hidrasi (
yang berlebih baik dengan kriteria
kelembaban membran
hasil :
mukosa, nadi adekuat,
 Mempertahankan tekanan darah ortostatik ),
urine output jika diperlukan

29
sesuai dengan 4. Monitor vital sign
usia dan BB, BJ 5. Monitor masukan makanan /
urine normal, HT cairan dan hitung intake
normal kalori harian
 Tekanan darah, 6. Lakukan terapi IV
nadi, suhu tubuh 7. Monitor status nutrisi
dalam batas 8. Dorong masukan oral
normal 9. Berikan penggantian
 Tidak ada tanda nesogatrik sesuai output
tanda dehidrasi, 10. Kolaborasi dokter jika tanda
Elastisitas turgor cairan berlebih muncul
kulit baik, meburuk
membran mukosa
lembab, tidak ada
rasa haus yang
berlebihan

4 Nyeri Setelah dilakukan Mandiri:


berhubungan asuhan keperawatan
1. Kaji tanda-tanda nyeri
dengan trauma selama 1x24 jam
2. Observasi keluhan nyeri, catat
pembedahan dan klien dapat:
lokasi dan intensitas (Skala 0-
iritasi pleura
1. Pasien 10)
akibat selang
menyatakan 3. Beri posisi yang nyaman untuk
dada
nyeri berkurang pasien
secara verbal 4. Ajarkan teknik relaksasi dan
2. Pasien terlihat napas dalam
tenang 5. Beri lingkungan yang nyaman
3. TTV dalam
batas normal
Kolaborasi:

30
Berikan medikasi sesuai instruksi
dokter

5 Resiko tinggi - Setelah dilakukan 1. Cuci tangan sebelum dan


terjadi infeksi tindakan keperawatn sesudah tindakan/ kontak dengan
berhubungan selama 1x24 jam pasien
dengan dengan - diharapkan infeksi 2. Kaji adanya tanda-tanda infeksi
Luka operasi dan tidak terjadi pada seperti nyeri, kemerahan,
pemasangan alat- daerah penusukan bengkak
alat invasif di - dan luka operasi, 3. Observasi perubahan suhu tubuh
tubuh - dengan kriteria hasil 4. jaga pasien dan lingkungan agar
sbb: slalu bersih
- 5. lakukan perawatan luka operasi
Tanda-tanda infeksi
dengan teknik septik dan anti
tidak terjadi
septik
- 6. monitor lingkungan dan batasi
pengunjung untuk mengurangi
sumber infeksi
- 7. kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian therapy antibiotik

31
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1. PENGKAJIAN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. E
Umur : 77 Tahun. (05-07-1939)
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Salendro Raya No. 18Lengkong Bandung
Jawa Barat
BB / TB : 65 Kg / 163 Cm
Tgl Masuk : 01-03-2017, jam 15.45
Tgl Pengkajian : 15-03-2017, jam 13.10
Diagnosa Medis : CAD 3VD, LM, EF 27%

Diagnosa. Post Op : Post CABG x3

LIMA to LAD

SVG to OM

SVG to RCA distal

3.1.1 Keluhan Utama/ kondisi saat ini:

Pasien masih dalam pengaruh anastesi, terpasang ETT dengan ventilator,


CVC, arteri line di radialis kiri, drain dada dan kateter urine.

32
3.1.2 Riwayat Penyakit

1). Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masih dalam pengaruh obat (sedatif). Pasien sudah dilakukan


operasi CABG tidak ada kontra indikasi selama operasi dan
hemodinamik stabil.

2). Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien diketahui menderita penyakit jantung sejak 5 bulan yang lalu.


Pasien juga memiliki riwayat penyakit DM dan Hipertensi, sejak usia 40
tahun.

3). Riwayat penyakit keluarga

Istri pasien mengatakan suaminya mempunyai penyakit diabetes. Dan


tidak ada keluarga lain yang mengalami penyakit seperti pasien.

3.1.3 Pengkajian fisik


1. Sistem Neurologi
a. Kesadaran: SAS (Sedation Agitastion Scale) 3 sulit untuk
dibangunkan tetapi terbangun oleh rangsangan lisan atau
digoyangkan dan mengikuti perintah sederhana namun kembali ke
kondisi tidak sadar
b. Keadaan umum: sakit berat
c. Perilaku : Ketika mulai bangun, pasien dapat menggerakkan
keempat extremitas, wajah simetris
2. Sistem kardiovaskuler
a. Frekuensi dan irama jantung: 88 kali/menit, irama teratur
b. Suara jantung: S1-S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
c. Tekanan darah arteri: 124/84 mmHg.(MAP: 104 mmHg ).
d. Denyut nadi perifer: denyut nadi teraba kuat, heart rate 88 x/mnt
e. Inspeksi dan palpasi jantung: bentuk prekordium normal, denyut
apeks tampak terlihat di sela iga ke 4 kiri mid clavicula, tidak ada

33
peningkatan vena jugularis. tampak luka post operasi midsternum
tertutup verban, drain di substernal (28) dan intrapleura kiri (24),
cairan produktif, warna merah tersambung ke WSD, CVP line di
subklavia sinistra.
f. CVP : 11 mmHg
g. Perkusi dan palpasi: tidak dilakukan mengingat kondisi pasien
tidak memungkinkan.
3. Sistem pernafasan
a. Gerakan dada : simetris kiri dan kanan
b. Suara paru-paru : vesikuler kanan dan kiri, ronchi (-), wheezing (-)
c. Frekuensi nafas: 16 kali/menit
d. Ventilator : terpasang ETT nomor 8, batas bibir 21 cm. Ventilasi
mekanik mode PSIMV PEEP 5 cmH2O, FiO2 50% dan Sa O2
100%
e. Drain : drainase rongga thorak terpasang, warna merah, 200
cc/jam dalam 2jam pertama
4. Sistem pencernaan
a. Status nutrisi : pasien masih dipuasakan, NGT (-)
b. Cairan : Jam 12.00 Loading RL 500 + 200, jam 14.00 gelofusin
500 cc, sampai jam 20.00 balance minus 462 cc
c. Balance cairan di OK : -750 cc
d. Diet cair : 1400-1550 kalori, total cairan 2500 ml (bila peristaltik
baik dan pasien sadar)
5. Sistem perkemihan
Terpasang kateter urine no. 16, jumlah urine: rata-rata 200 cc/jam,
warna kuning terang, tidak ada edema perifer

6. Sistem muskuloskeletal
Bentuk simetris, terpasang arteri line di radialis kiri, luka jahitan
tertutup verban di ekstremitas bawah sebelah kanan, tingkat aktivitas:
pasien tidak sadar, masih dalam pengaruh obat-obatan, kekuatan otot
lemah

34
7. Sistem integumen:
Akral dingin, warna kuku pucat, pulsasi arteri perifer +/+, turgor kulit
elastis, edema (-), suhu 35,6 oC, Tanda-tanda infeksi pada luka bekas
operasi: kalor, rubor, tumor dan keterbatasan fungsi tidak ada,
sedangkan dolor (+)
8. Ketidaknyamanan
Pasien mendapatkan Morphin drip syringe pump 1mg/jam, Skala nyeri
3/12 (menggunakan Behavior Pain Scale)

3.1.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Hasil Angiografi coroner

Gambar 3.1.4 Angiografi Coroner

2. EKG

35
Gambar. EKG post Operasi

Interprestasi :

Irama : reguler
Heart rate : 93 x/menit
Gelombang P : ada (morfologi P normal, selalu diikuti
QRS kompleks)
PR interval : 0,12 s (normal)
Kompleks QRS : 0,08 s (normal)
Segmen ST : isoelektris (normal)
Q patologis : tidak ada
Axis : normo axis
Kesimpulan : sinus rhythm

36
3. Foto Rontgen

Gambar photo thorak post operasi

Interprestasi :

COR : 55%, apek tertanam segmen pulmonal tidak menonjol,


mediastinum superior tidak melebar, Aorta kalsifikasi.

Paru : Hilus tidak dilatasi, vaskuler paru tidak meningkat, Sinus


kostofrenikus dan diafragma baik, parenkim paru dalam batas normal.

CVP : Tip proyeksi vcz multiple sternal wire

Kesan : kardiomegali ec ASHD, Pulmo dalam batas normal.

4. Hasil Laboratorium

NO Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


1 Hemoglobin 14,0 13,3 – 16,6
Lekosit 6580 3.580 – 8.150
Hematokrit 39,8 41,3 – 52,1
Trombosit 277 172 – 359
CKMB 15 0 – 24

37
Hs Troponin T - < 14
Ureum 45,0 16,6 – 48,5
BUN 21 8 – 23,0
Creatinin 1,43 0,67 – 1,17
GDS 122 70 – 99
100 – 1225
 126.
Natrium 138 136 – 145
Kalium 4,85 3,5 – 5,1
Kalsium Total 2,25 2,2 – 2,55
Chlorida 103 98 – 107
Magnesium 2,11 1,6 – 2,6
Ph 7,359 7,35 – 7,45
PCO2 35,6 35-45
PO2 90,3 80 – 100
Laktat 1,1 0–2
HCO3 20,3 22 – 26

3.1.5 Laporan Operasi

Induksi anestesi berjalan lancar, dipasang monitor AL, CVP. Preparasi kulit
dengan clhorhexidine 4%, dilanjutkan dengan draping. Vena di ambil dari tungkai
kanan untuk graft. Insisi median sternotomi. LIMA diambil secara pedicled.
Heparin diberikan. Perikardium dibuka, tampak seperti temuan. Dilakukan
anastomosis distal LIMA ke LAD dengan menggunakan stabilizer. Dilanjutkan
dengan anastomosis distal SVG ke OM1 dan SVG ke RCA distal dengan
menggunakan octopus dan stabilizer. Perdarahan dirawat seksama. Protamin
diberikan. Setelah itu dipasang drain substernal 28 Fr dan 24 Fr intrapleura kiri.
Dinding dada ditutup kembali dengan wire, luka operasi ditutup seperti biasa
dengan benang absorbable sintetik. Hemodinamik stabil ABP: 105/57 mmHg,
HR: 72 x/menit, CVP 11 mmHG dengan support adrenalin 0,05 mcg/kgbb/menit
dan NTG 0,5 mcg/kgbb/menit.

38
3.1.6 Penatalaksanaan Medis :

1. Simvastatin 1x20 mg
2. Aptor 1x100 mg
3. Paracetamol 3x1000mg
4. Captopril 3x3,125 mg
5. Bisoprolol 1x1,25mg
6. Fluimucil 3x400mg
7. Ventolin 4x1
8. Ondancentron 2x4mg
9. Ranitidin 2x50mg
10. Vascon
11. Adrenalin 0,05 mcg/kgbb/menit
12. Morfin 20 mcg/kgbb/jam
13. Dopamine 3 mcg/kgbb/menit
14. Yall 2x1 supp
15. Total cairan 1cc/kgbb/jam

3.1.7 Analisa data

Masalah
No Data Fokus Etiologi
Keperawatan

1. DS : - Perubahan Penurunan curah


preload dan jantung
DO:
afterload
- EF 61 %
- CVP 7 mmHG
- Tidak ada peningkatan Vena
jugular
- Berat badan pasien 109 kg
- TD: 153/91 (110) mmHg, Nadi:
88 x/mnt, Denyut nadi teraba

39
kuat.
- Akral teraba dingin, warna kuku
pucat, pulsasi arteri perifer +/+,
turgor kulit elastis, edema (-),
suhu 35,6 oC
- Kapiler renfil 4 dtk
- Urine output 200cc/jam
- Produksi drain 20-30 cc/jam
- Balance cairan dari OK -50 cc
- Intake cairan parenteral RL
2000 cc
- Balance cairan sampai jam
20.00 (8 jam perawatan) -462
cc
- Gambaran EKG post Op : sinus
rhytm
- Photo thorax post Op :
Kardiomegali
- S1-S2 normal, Murmur (-),
gallop(-).
- Bentuk prekordium Normal
- Kesadaran pasien SAS 3 (masih
pengaruh obat-obatan anestesi)
- Terpasang dobutamin 5
mikro/kgBB/mnt, pro syring
pump
2 DS: - Prosedur invasif Nyeri

DO:

- Skala nyeri 5/12 (menggunakan


Behavior Pain Scale)
- Terdapat luka operasi di bagian

40
midsternum, tungkai bawah kiri
dan kanan Post CABG
- Terpasang CVP di subclavia
sinistra.
- Terpasang arteri line di arteri
radialis sinistra.
- Terpasang drain intrapleura kiri
dan substernal.
- Terpasang dower catheter
ukuran No. 16 Fr.
- Terpasang ETT no. 8 kedalaman
21 cm.
- Tanda-tanda infeksi kalor,rubor,
tumor,dan keterbatasan fungsi
tidak ada, sedangkan dolor ada
- Skala nyeri 5/12 (menggunakan
Behavior Pain Scale)
- Drip Morphin 20 ug/kgbb/jam
3 DS : - Luka operasi dan Resiko infeksi
pemasangan alat-
DO :
alat invasif di
- TD: 153/91 (110) mmHg, Nadi: tubuh
88 x/mnt, Denyut nadi teraba
kuat.
- Leukosit : 8000
- Terdapat luka operasi di bagian
midsternum, tungkai bawah kiri
dan kanan.
- Terpasang CVP di subclavia
sinistra.
- Terpasang arteri line di arteri
radialis sinistra.

41
- Terpasang drain intrapleura kiri
dan substernal
- Terpasang dower catheter
ukuran No. 16 Fr.
- Terpasang ETT no. 8 kedalaman
21 cm
- Tanda-tanda infeksi kalor,rubor,
tumor,dan keterbatasan fungsi
tidak ada, sedangkan dolor ada
- Skala nyeri 5/12 (menggunakan
Behavior Pain Scale)

Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas :

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan preload dan


afterload.
2. Nyeri berhubungan dengan prosedure invasif.
3. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan Luka operasi dan
pemasangan alat-alat invasif di tubuh.

3.1.8 Rencana asuhan keperawatan

No Diagnosa
Tujuan Intervensi
Keperawatan

1 Penurunan curah Setelah dilakukan asuhan Mandiri:

42
jantung berhubungan keperawatan selama 2x24 - Pantau tanda-tanda
dengan Perubahan jam klien menunjukkan vital
preload dan afterload curah jantung optimal, - Monitor irama jantung
dengan kriteria: - Monitor tanda-tanda
penurunan curah
- Hemodinamik stabil
jantung
- Tanda-tanda vital
- Merekam EKG 12 lead
normal
- Ukur intake output/24
- MAP > 80 mmHg
jam
- HR 60 – 100x/menit
- Batasi aktifitas fisik
- Pasien sadar
Kolaborasi:
- Orientasi baik
- Tidak ditemukan gagal - Pemberian terapi sesuai
jantung program
- Urin output > 0,5 - Berikan inotropik
cc/kg/jam sesuai instruksi dokter
- Berikan oksigen sesuai
kebutuhan
- Berikan cairan
intravena sesuai
instruksi
- Pasang hemodinamik
monitoring invasive

2 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan asuhan Mandiri:


dengan prosedur keperawatan selama 2x24
6. Kaji tanda-tanda nyeri
invasif jam klien dapat:
7. Observasi keluhan
4. Pasien menyatakan nyeri, catat lokasi dan
nyeri berkurang intensitas (Skala 0-10)
secara verbal 8. Beri posisi yang
5. Pasien terlihat nyaman untuk pasien

43
tenang 9. Ajarkan teknik
6. Tanda-tanda vital relaksasi dan napas
dalam batas normal dalam
10. Beri lingkungan yang
nyaman
Kolaborasi:

Berikan medikasi sesuai


instruksi dokter

3 Resiko tinggi terjadi Setelah dilakukan 1. Cuci tangan sebelum


infeksi berhubungan tindakan keperawatn dan sesudah tindakan/
dengan dengan Luka selama 3x24 jam kontak dengan pasien
operasi dan diharapkan infeksi tidak 2. Kaji adanya tanda-
pemasangan alat-alat terjadi pada daerah tanda infeksi seperti
invasif di tubuh penusukan dan luka nyeri, kemerahan,
operasi, dengan kriteria bengkak
hasil sbb: 3. Observasi perubahan
suhu tubuh
Tanda-tanda infeksi tidak
4. Jaga pasien dan
terjadi
lingkungan agar slalu
bersih
5. Lakukan perawatan
luka operasi dengan
teknik septik dan anti
septik
6. Monitor lingkungan
dan batasi pengunjung
untuk mengurangi
sumber infeksi
7. Kolaborasi dengan
dokter untuk
pemberian therapy

44
antibiotik

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Tn.T, 51 tahun masuk ruang rawat IWB (RSJPD Harapan Kita)
tanggal 23 Agustus 2016 jam 15.45 WIB untuk persiapan operasi CABG dengan
diagnosa CAD 3VD dengan EF 61 %. Rencana operasi CABG dijadwalkan
tanggal 24 agustus 2016 jam 08.00 WIB. Sebelumnya, pasien terdeteksi
mempunyai penyakit jantung sudah 5 bulan yang lalu disertai penyakit yang lain
seperti DM dan hipertensi yang sudah diderita sejak usia 40 tahun. Dalam minggu
terakhir ini, pasien sering mengeluh lemas dan mudah capek. Pada tanggal 24
agustus 2016 jam 08.00 WIB, dilakukan operasi CABG sekitar 5 jam.

Berdasarkan hasil pengkajian dan dilihat dari tinjauan teori, maka akan
dibahas beberapa aspek.

1. Berdasarkan indikasi
Menurut AHA, CABG dapat dilakukan pada pasien dengan
sumbatan/stenosis di LAD dan LCx pada bagian proksimal > 70%. Dan
pasien dengan tiga sumbatan arteri (three Vessels Deseas).
Berdasarkan hasil PACR pada 4 Januari 2016 ditemukan LAD diffuse
Desease, stenosis 90-95%, di mid setelah D1.
LCX total oklusi setelah OM1 , distal terisis dari Rca.
RCA Dominan, stenosis 70% di proksimal, Lesi tandem. Stenosis 70%
di distal dan stenosis 80-90% sebelum percabangan PDA-PL.
Kesimpulan : 3VD.
Hal tersebut diatas sesuai dengan indikasi CABG.

2. Asuhan keperawatan

45
a. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan teori, pasien pasca operasi CABG dapat ditegakkan 6


diagnosa keperawatan.

Dari hasil pengkajian yang dilakukan diangkat beberapa diagnosa


keperawatan dan dirutkan berdasarkan prioritas sesuai dengan klinis
pasien.

Diagnosa yang muncul sessuai prioritas adalah :

1) Penurunan curah jantung b.d kehilangan darah dan fungsi jantung


yang terganggu. Penurunan curah jantung merupakan ancaman
bagi pasien yang baru saja menjalani operasi bedah jantung,
termasuk CABG. Hal ini dapat terjadi karena gangguan preload,
gangguan afterload, gangguan frekuensi jantung, dan gangguan
kontraktilitas.
Gangguan preload dapat terjadi akibat perdarahan yang terus
menerus, tamponade jantung atau cairan yang berlebihan.
Gangguan afterload dapat terjadi karena arteri dan kapiler yang
terlalu konstriksi dan dilatasi karena perubahan suhu dan atau
hipertensi. Gangguan kontraktilitas terjadi pada kondisi gagal
jantung, miokardinfark, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Pada kasus pasien, pemantauan hemodinamik dilakukan secara


ketat tiap jam dan didokumentasikan.

2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma akibat


pembedahan dada ekstensif
Semua jaringan tubuh memerlukan suplai oksigen dan nutrisi yang
adekuat untuk bertahan hidup. Untuk mencapai hal tersebut pada
pasca pembedahan perlu dipasang slang endotrakeal dengan
bantuan ventilator hingga 48 jan. Bantuan venilasi dilanjutkan
hingga nilai gas darah pasien normal dan pasien menunjukkan

46
kemampuan bernafas sendiri. Pasien yang stabil dapat diekstubasi
setelah 4 jam pasca pembedahan. Hal ini juga dapat mengurangi
kecemasan pasien terhadap pemasangan alat-alat dan gangguan
komunikasi.
Pada kasus pasien terdapat kesesuaian antara teori dan hasil
pengkajian, Dimana pasien dilakukan ekstubasi kurang dari 24
jam, berdasarkan hasil analisa gas darah dalam batas normal, dan
pernafasan spontan adekuat.

3) Resiko volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan kehilangan cairan aktif. Gangguan keseimbangan cairan
dapat terjadi pada pasien pasca pembedahan jantung. Untuk itu
perlu pemantauan asupan dan haluaran. Hasil pengukuran CVP,
tingkat hematokrit, distensi vena leher dan edema. Hal yang paling
penting di ketahui adalah nilai elektrolit. Pada kasus pasien, jumlah
urine diobservasi dan didokumentasikan tiap jam, berkisar 100-
200cc/jam. Nilai elektrolit dalam batas normal.

4) Resiko Infeksi berhubungan dengan proses pembedahan.


Pasien pasca opearasi sangat mungkin mengalami reiko infksi
karena terdapatnya perlukaan pada area tindakan operasi. Untuk itu
dalam melakukan tindakan keperawatan, harus selalu
mempertahankan teknik aseptik dan antiseptik.
Dalam kasus pasien, tidak terdapat tanda-tanda infeksi. Mengganti
balutan dengan alat lat steril, selalu mencuci tangan sebelum dan
setelah melakukan tindakan.

5) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi


sekret, efek anestesi. Akumulasi sekret jalan nafas

b. Intervensi dan Implementasi

47
Intervensi dan implementasi yang berikan pada pasien dilakukan
dengan intensiv dan pemantauan pada semua fungsi organ,
mempertahankteknik aseptik dan mencegah terjadinya
komplikasi. Diharapkan semua rencana yang disusun dapat
dikaukan dengan baik didukung dengan fasilitas yang memadai.
Selanjutkan intervensi yang masih diperlukan.

c. Evaluasi
Merupakan proses pencapaian tujuan dari asuhan keperawatan
yang diberikan. Diharapkan hasil yang diharapkan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Reassesmen diperlukan untuk
meningkatkan kualitas auhan yang diberikan dan

48
BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Penyakit jantung coroner atau penyakit arteri koroner (penyakit jantung


artherostrofik) merupakan suatu manifestasi khusus dan arterosclerosis pada arteri
koroner. Plaque terbentuk pada percabangan arteri yang ke arah ateriol kiri, arteri
koronaria kanan dan agak jarang pada arteri sirkumflex. Aliran darah ke distal
dapat mengalami obstruksi secara permanen maupun sementara yang di sebabkan
oleh akumulasi plaque atau penggumpalan.
Coronary Artery Bypass Graft merupakan salah satu penanganan
intervensi dari PJK dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner
yang mengalami penyempitan atau penyumbatan.Arteri dan vena yang digunakan
untuk graft selama operasi bypass adalah Arteri radialis, Arteri mammary interna,
bilateral arteri mammary interna, Arteri gastroepiploica, vena saphenous.
Arteri radialis memberikan lebih banyak kemampuan revaskularisasi
dalam waktu yang lebih lama dibandingkan menggunakan vena saphenous.
Penyumbatan arteri coronaria dengan bilateral arteri mammary Interna
menghasilkan revaskularisasi yang sama dibandingkan dengan penyumbatan
Arteri Coronaria kanan dengan Vena Shapenous.
Penanaman saluran baru dengan menggunakan bilateral arteri mammary
interna memberikan hasil yang lebih baik dengan kelangsungan hidup pasien yang
lebih lama dibandingkan dengan menggunakan single arteri mammary interna.

49
DAFTAR PUSTAKA

Reny Yuli Aspiani (2015). Buku ajar Asuhan Keperawatan klien dengan
gangguan kardiovaskuler, aplikasi NIC & NOC. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Grace, Pierce A.et All, (2006). At a Glance Ilmu Bedah, Edisi Ketiga.
Jakarta. Erlangga
Carpenito, Lynda Juall, (2000). Diagnosa Keperawatan. Ed.8. Jakarta : EEC
Http://www.helpfulhealthtips.com/atherosclerosis-arteriosclerosissymptoms-
causes-suggestions/, diakses 24 Mei 2010

Http://www.singhealth.com.sg/PatientCare/OverseasReferral/bh/Procedures/Pages
/CardiothoracicSurgeryPackages.aspx diakses 24 Mei 2010.
Http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/11/penyakit-jantung-koroner/,
diakses 24 Mei 2010
Http://ruslanpinrang.blogspot.com/2009/03/penyakit-jantung-koroner.html,
diakses 24 Mei 2010
Http://cakmoki86.wordpress.com/2008/11/02/penyakit-jantung-koroner/,
diakses 24 Mei 2010

50

Anda mungkin juga menyukai