Anda di halaman 1dari 185

UNIVERSITAS DIPONEGORO

KAJIAN KUALITAS JALUR PEJALAN KAKI PASCA


REVITALISASI KORIDOR JALAN JENDRAL SUDIRMAN DKI
JAKARTA

PROPOSAL TUGAS AKHIR

MARTINUS ADITYA DWISADANA


21040117130117
PEMBIMBING: Dr. Ir. Retno Widjajanti, MT

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
HALAMAN LEMBAR ORISINALITAS

Proposal Tugas Akhir yang berjudul “KAJIAN KUALITAS JALUR PEJALAN KAKI
PASCA REVITALISASI KORIDOR JALAN JENDRAL SUDIRMAN DKI JAKARTA” ini
adalah hasil karya saya dengan dibimbing oleh Dr. Ir. Retno Widjajanti, MT dan semua sumber
baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Martinus Aditya Dwisadana


NIM : 21040117130117

Tanda Tangan :
Tanggal : 5 April 2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

Proposal Tugas Akhir ini diajukan oleh:

Nama : Martinus Aditya Dwisadana


NIM : 21040117130117
Departemen : Perencanaan Wilayah dan Kota
Judul Proposal Tugas Akhir : Kajian Kualitas Jalur Pejalan Kaki Pasca Revitalisasi Koridor
Jalan Jendral Sudirman

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji Sidang Proposal dan diterima untuk
dilanjutkan pada proses penyusunan Tugas Akhir pada Program Studi S1 Departemen Perencanaan
Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

TIM PENGUJI

Pembimbing : Dr. Ir. Retno Widjajanti, MT

Penguji : Grandy Loranessa Wungo, ST, MT

Semarang, 5 April 2022


Mengetahui
Ketua Program Studi S1
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota

Dr. Yudi Basuki,S.T., M.T


NIP. 19720617000121001

ii
ABSTRAK

Jalur pejalan kaki merupakan salah satu elemen perancangan kota yang keberadaannya menjadi
suatu urgensi di kawasan perkotaan. Tidak hanya keberadaannya, namun kualitas jalur pejalan kaki yang
tersedia pun harus tetap dijaga. Jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman mengalami revitalisasi
pada tahun 2019 hingga 2020 yang dilakukan guna mewujudkan fungsi jalur pejalan kaki sebagai penghubung
antar ruang terbangun, sebagai linier park untuk menampung aktivitas rekreasi, dan memenuhi pembangunan
Kawasan TOD (Transit Oriented Development) yang menyambungkan antar moda transportasi pada koridor
Jalan Jendral Sudirman. Selain itu, salah satu visi DKI Jakarta tahun 2022 adalah menuju Jakarta walkable
atau ramah pejalan melalui penciptaan ruang pejalan kaki yang lengkap, aman, nyaman, humanis, dan
mendukung peningkatan penggunaan transportasi public. Kendati sudah dilakukan revitalisasi, masih
terdapat beberapa masalah terkait kenyamanan, seperti penyalahgunaan ruang jalur pejalan kaki sebagai
perparkiran, perhentian sementara ojek online, dan tempat berjualan pedagang kaki lima, serta tidak
tersedianya tempat meneduh (shelter) saat hujan. Selain itu terkait keamanan pejalan kaki, terdapat bollard
yang belum fungsional, bahkan mengganggu dan membahayakan pergerakan pejalan kaki, masih terdapat
beberapa orang bermain skateboard yang mengganggu pergerakan dan membahayakan pejalan kaki, serta
pejalan kaki masih merasa kurang aman bila melakukan penyeberangan pada beberapa ruas atau
persimpangan. Untuk mewujudkan kualitas kawasan yang berkelanjutan dan menciptakan Jakarta yang
walkable melalui perancangan jalur pejalan kaki pada kawasan komerisal, maka perhatian pada pergerakan
manusia yang paling mendasar berupa berjalan kaki perlu difokuskan. Upaya perbaikan tersebut perlu
didukung oleh studi yang mendalam tentang perencanaan dan penyediaan jalur pejalan kaki, maka dari itu
peneliti akan mengkaji kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan kelengkapan, keamanan, kenyamanan, dan
inklusifitas jalur pejalan kaki. Studi ini akan mengkaji kualitas jalur pejalan berdasarkan elemen pembentuk
dan pendukung jalur pejalan kaki. Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif kuantitatif, dengan metode
analisis kualitas jalur pejalan kaki yaitu Pedestrian Environmental Quality Index (PEQI). Luaran penelitian
ini berupa klasifikasi kualitas jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman. Rekomendasi yang
dihasilkan melalui penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran bagi penulis lain yang melakukan
pengujian terhadap kasus perencanaan yang serupa, dan memiliki potensi sebagai percontohan perencanaan
bagi kawasan yang relevan.

Kata Kunci: Jalur Pejalan Kaki, Kualitas Jalur Pejalan Kaki, Koridor Jalan Jendral Sudirman,
Pedestrian Environmental Quality Index (PEQI).

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya,
sehingga Proposal Tugas Akhir dengan judul “KAJIAN KUALITAS JALUR PEJALAN KAKI
PASCA REVITALISASI KORIDOR JALAN JENDRAL SUDIRMAN DKI JAKARTA”
sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana dapat terselesaikan dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Penyusunan proposal ini tidak lepas dari bimbingan, arahan, dan dukungan dari
berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan yang Maha Esa atas segenap kuasa dan kehendaknya dalam memberikan
penyertaan selama perjalanan hidup penulis hingga saat ini dan waktu mendatang.
2. Dr. Ir. Retno Widjajanti, MT selaku dosen pembimbing yang telah membimbing,
memberikan saran, dan memberikan segala kepedulian dalam penyusunan Proposal
Tugas Akhir.
3. Dosen penguji yang telah memberikan saran, kritik, dan masukan dalam penyusunan
Proposal Tugas Akhir yang lebih baik.
4. Seluruh dosen pengajar dan karyawan Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro Semarang, yang telah memberikan ilmu dan membantu dalam
proses penyusunan Proposal Tugas Akhir.
5. Kedua orang tua, kakak, serta seluruh keluarga penulis yang senantiasa memberikan doa,
motivasi, semangat dan dukungan selama penyusunan Proposal Tugas Akhir.
6. Segenap teman dan kerabat penulis, khususnya teman-teman mahasiswa S1 Perencanaan
Wilayah dan Kota yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan semangat dalam
penyusunan Proposal Tugas Akhir.
7. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Dalam penyusunan Proposal Tugas Akhir ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan
yang jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, diharapkan adanya masukan, kritikan, dan saran dari
pembaca, agar pelaksanaan penelitian tugas akhir menjadi lebih baik dan bermanfaat.

Semarang, 5 April 2022

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN LEMBAR ORISINALITAS ....................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................................... ii
ABSTRAK ....................................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL.......................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Sasaran.............................................................................................................. 4
1.3.1 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 4
1.3.2 Sasaran Penelitian................................................................................................... 4
1.4 Manfaat ............................................................................................................................. 5
1.5 Ruang Lingkup .................................................................................................................... 5
1.5.1 Ruang Lingkup Wilayah......................................................................................... 5
1.5.2 Ruang Lingkup Materi ........................................................................................... 8
1.6 Keaslian Penelitian .............................................................................................................. 9
1.7 Posisi Penelitian dalam Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota .......................................... 23
1.8 Kerangka Pikir ................................................................................................................... 24
1.9 Sistematika Penulisan ........................................................................................................ 25
BAB II KAJIAN PUSTAKA: JALUR PEJALAN KAKI .......................................................... 26
2.1 Perancangan Kota .............................................................................................................. 26
2.1.1 Elemen Perancangan Kota .................................................................................... 27
2.2 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways) ............................................................................... 31
2.2.1 Definisi Jalur Pejalan Kaki ................................................................................... 31
2.2.2 Fungsi dan Manfaat Jalur Pejalan Kaki ................................................................ 32
2.2.3 Urgensi Perencanaan Jalur Pejalan Kaki .............................................................. 33
2.2.4 Tipologi Jalur Pejalan Kaki .................................................................................. 34
2.2.5 Karakteristik Fisik Jalur Pejalan Kaki .................................................................. 37
2.2.6 Jenis Aktivitas Jalur Pejalan Kaki ........................................................................ 55
2.3 Pejalan Kaki (Pedestrian).................................................................................................. 56

v
2.3.1 Definisi Pejalan Kaki ............................................................................................ 56
2.3.2 Karakteristik Pejalan Kaki .................................................................................... 57
2.3.3 Dimensi Fisik Pejalan Kaki .................................................................................. 60
2.3.4 Kebutuhan Pejalan Kaki ....................................................................................... 61
2.3.5 Kebutuhan Penyandang Disabilitas ...................................................................... 65
2.4 Sintesa Teori ...................................................................................................................... 69
2.5 Variabel dan Indikator Penelitian ...................................................................................... 82
BAB III GAMBARAN UMUM JALUR PEJALAN KAKI KORIDOR JALAN JENDRAL
SUDIRMAN .................................................................................................................................... 90
3.1 Karakteristik Jalan Jendral Sudirman ................................................................................ 90
3.1.1 Lokasi (Wilayah) .................................................................................................. 90
3.1.2 Guna Lahan .......................................................................................................... 91
3.1.3 Jenis Bangunan ..................................................................................................... 93
3.2 Karakteristik Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman .................................... 94
3.2.1 Lokasi ................................................................................................................. 94
3.2.2 Permasalahan ........................................................................................................ 95
3.2.3 Kondisi Fisik ........................................................................................................ 95
3.2.4 Kondisi Non Fisik (Pejalan Kaki) ........................................................................ 97
BAB IV METODE PENELITIAN................................................................................................ 99
4.1 Pendekatan Penelitian ........................................................................................................ 99
4.2 Kebutuhan Data ................................................................................................................. 99
4.3 Teknik Pengumpulan Data .............................................................................................. 101
4.3.1 Data Primer......................................................................................................... 102
4.3.2 Data Sekunder .................................................................................................... 103
4.4 Teknik Sampling ............................................................................................................. 104
4.5 Metode Analisis Kualitas Jalur Pejalan Kaki .................................................................. 106
4.5.1 Analisis Kualitas Berdasarkan Kondisi Fisik Jalur Pejalan Kaki ....................... 107
4.5.2 Analisis Kualitas Berdasarkan Persepsi Pejalan Kaki ........................................ 120
4.6 Kerangka Analisis ........................................................................................................... 126
BAB V RENCANA PELAKSANAAN PENELITIAN.............................................................. 127
5.1 Kegiatan Penelitian .......................................................................................................... 127
5.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian ...................................................................................... 127
5.3 Instrumen Pelaksanaan Penelitian ................................................................................... 128
5.4 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ........................................................................................ 129
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 130

vi
LAMPIRAN .................................................................................................................................. 135

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Tabel Keaslian Penelitian ................................................................................................... 9


Tabel 2.1 Kecepatan pejalan kaki berdasarkan umur dan jenis kelamin .......................................... 57
Tabel 2.2 Karakteristik pejalan kaki berdasarkan usia ..................................................................... 58
Tabel 2.3 Penyebab kecelakaan penyeberang anak-anak dan lansia ................................................ 59
Tabel 2.4 Lebar jalur pejalan kaki berdasarkan jumlah pejalan kaki ............................................... 61
Tabel 2.5 Sintesa Teori..................................................................................................................... 69
Tabel 2.6 Variabel dan Indikator Penelitian..................................................................................... 82
Tabel 4.1 Kebutuhan Data.............................................................................................................. 100
Tabel 4.2 Kebutuhan Data Berdasarkan Identifikasi Melalui Telaah Dokumen ............................ 104
Tabel 4.3 Kebutuhan Data PEQI Melalui Observasi Lapangan ..................................................... 107
Tabel 4.4 Penilaian Kualitas Jalur Pejalan Kaki Berdasarkan Metode PEQI ................................ 109
Tabel.5 Klasifikasi Kualitas Jalur Pejalan Kaki Berdasarkan Skor PEQI ...................................... 119
Tabel 4.6 Identifikasi Data Karakteristik Pejalan Kaki .................................................................. 121
Tabel 4.7 Kebutuhan Data Persepsi Pejalan Kaki .......................................................................... 121
Tabel 5.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ....................................................................................... 129

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Wilayah Penelitian.................................................................................................. 6


Gambar 1.2 Peta Jenis Aktivitas Koridor Jalan Jendral Sudirman ..................................................... 7
Gambar 1.3 Kerangka Posisi Penelitian ........................................................................................... 23
Gambar 1.4 Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................................. 24
Gambar 2.1 Perspektif Sidewalk ...................................................................................................... 35
Gambar 2.2 Perspektif Promenade ................................................................................................... 35
Gambar 2.3 Perspektif Arcade ......................................................................................................... 36
Gambar 2.4 Perspektif Green Pathway ............................................................................................ 36
Gambar 2.5 Perspektif Underground ............................................................................................... 36
Gambar 2.6 Perspektif Elevated ....................................................................................................... 37
Gambar 2.7 Dimensi Fisik Pejalan Kaki .......................................................................................... 60
Gambar 2.8 Dimensi Fisik Pejalan Kaki Berdasarkan Karakteristik Fisik ...................................... 60
Gambar 2.9 Ruang Pejalan Kaki dengan Tongkat Tuna Netra ........................................................ 66
Gambar 2.10 Ruang Pejalan Kaki dengan Kruk .............................................................................. 66
Gambar 2.11 Ruang Pejalan Kaki dengan Kursi Roda .................................................................... 66
Gambar 2.12 Ubin Pengarah dan Ubin Peringatan .......................................................................... 67
Gambar 3.1 Peta Lokasi Jalan Jendral Sudirman ............................................................................. 91
Gambar 3.2 Peta Tata Guna Lahan Koridor Jalan Jendral Sudirman............................................... 92
Gambar 3.3 Peta Jenis Bangunan Koridor Jalan Jenderal Sudirman ............................................. 943
Gambar 3.4 Peta Segmentasi Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman .......................... 94
Gambar 3.5 Peta Permasalahan Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman .................... 965
Gambar 3.6 Peta Kodisi Fisik Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman ...................... 966
Gambar 3.7 Peta Pusat Aktivitas Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman............................. 97
Gambar 4.1 Diagram Kerangka Analisis ....................................................................................... 126

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta ............................................................................................................................. 135


Lampiran 2 Form Observasi Lapangan .......................................................................................... 137
Lampiran 3 Form Kuisioner ........................................................................................................... 142

x
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut (Carr, 1992), kota, pemerintahan, dan ruang terbuka publik merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ruang kota memiliki makna yang kompleks dalam keterkaitan
antara aktivitas kota, interaksi sosial, dan properti yang ada didalamnya. Beberapa kegiatan pada
ruang publik kota berdasarkan kebutuhan manusia seperti bersosialisasi, mobilisasi, olahraga,
relaksasi, pertunjukan budaya lokal, atau bahkan demonstrasi (Dobbins, 2009). Keberhasilan vitalitas
kehidupan perkotaan sangat didukung oleh unsur-unsur bentuk fisiknya, yang tidak lain adalah
delapan elemen perancangan kota menurut teori ‘The Urban Design Process’ oleh Shirvani (1985).
Menyimak pandangan yang diungkapkan oleh Cohen (1999) melalui bukunya yang berjudul
'Urban Conservation', salah satu alasan mengapa kota dapat hidup semarak adalah tersedianya
kejelasan jaringan jalan, bentuk, dan dimensi sebagai penghubung (link), yang memiliki potensi
tertentu menjadi pusat kehidupan kota. Shirvani (1985) juga mengungkapkan bahwa salah satu
bentuk perancangan kota adalah mempertimbangkan perencanaan jalan utama kawasan perkotaan
yang dipenuhi ruang terbangun, dan menyelaraskan dengan jalur pejalan kaki melalui penggunaan
pembatas, sehingga mencirikan kondisi perkotaan pada negara besar.
Berjalan merupakan sistem transportasi yang terbaik, meskipun terdapat batasan dalam
kecepatan (Spreiregen, 1965). Jalur pejalan kaki menjadi sistem kenyamanan dan elemen pendukung
bagi area vital pada kawasan perkotaan, karena kegiatan berjalan kaki merupakan alat pergerakan
internal kota, dan satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka dalam aktivitas
komersial dan kultural di kawasan perkotaan (Shirvani, 1985). Jalur pejalan kaki diperuntukan
khusus untuk pejalan kaki, sehingga berfungsi sebagai sistem penghubung kota dan sebagai pembatas
dari bangunan ke bangunan lainnya (Panduri et al, 2015).
Jalur pejalan kaki sebagai ruang publik perkotaan menjadi suatu urgensi, karena
keberadaannya dapat mendukung aktivitas komersial dan mewadahi aktivitas sosial masyarakat
(Unterman, 1984). Tidak hanya keberadaannya, namun kualitas ruang publik pun harus terjaga, oleh
karena itu fungsi jalur pejalan kaki tidak dapat disalahgunakan (Sopirová et al, 2017). Jalur pejalan
kaki tidak hanya berperan penting pada kawasan perkotaan, namun juga pada setiap kawasan dengan
aktivitas yang memicu mobilisasi penggunanya dengan berjalan kaki.
Kegiatan perancangan kota dengan paradigma yang bertumpu pada masyarakat, memerlukan
keterlibatan peran dan partisipasi masyarakat dalam memberi masukan, saran, dan pengamatan
terhadap setiap produk rancangan kota (Anggriani, 2009). Jalur pejalan kaki sendiri tidak dapat
terpisah dari pejalan kaki, karena pejalan kaki sebagai pengguna merupakan elemen utama yang

1
2

memberikan pengaruh terbesar terhadap perkembangan jalur pejalan kaki (Rubenstein, 1992).
Terdapat dua aspek yang mempengaruhi persepsi pejalan kaki terhadap kondisi lingkungan, yaitu
kenyamanan dan keamanan saat menggunakan jalur pejalan kaki. Untuk mengetahui tingkat
kepuasan masyarakat terhadap jalur pejalan kaki, maka perlu dibandingkan antara kondisi eksisting
jalur pejalan kaki dengan harapan dan keinginan pejalan kaki (Fruin et al, 1971).
Jalur pejalan kaki yang terencana dapat berperan dalam mengurangi ketergantungan
masyarakat terhadap penggunaan kendaraan bermotor, meningkatkan daya tarik masyarakat untuk
mengunjungi wilayah lain pada kota, meningkatkan kualitas lingkungan (udara), mengembangkan
sistem skala manusia, dan menciptakan aktivitas retail (World Bank, 1975). Perencanaan jalur
pejalan kaki yang optimal menunjukkan kualitas kenyamanan dan kuantitas pejalan kaki yang
maksimal, sehingga menciptakan lingkungan perkotaan yang sehat dengan mengurangi polusi dan
konsumsi energi (Wicaksono et al, 2019). Jalur pejalan kaki yang berkualitas dapat berperan dalam
menunjang peningkatan pejalan kaki. Selain itu, aktivitas pada tingkat jalur pejalan kaki dapat
membentuk ruang yang lebih manusiawi, nyaman, dan aman (Batteate, 2008).
Isu utama perencanaan jalur pejalan kaki adalah keseimbangan antara jalur kendaraan dan
jalur pejalan kaki, yaitu interaksi antara pejalan kaki dengan pengendara (Shirvani, 1985). Begitupun
permasalahan jalur pejalan kaki pada kawasan perkotaan di Indonesia, yaitu belum terpenuhinya
kebutuhan pejalan kaki, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, karena pengembangan jalur pejalan
kaki belum menjadi prioritas dibandingkan pengembangan fasilitas kendaraan bermotor. Jalur
pejalan kaki dirasa cukup selama mampu hadir dan memfasilitasi pejalan kaki untuk sekedar
berjalan, tanpa berfungsi secara maksimal.
Hingga saat ini perhatian terhadap kelengkapan dan pemanfaatan elemen jalur pejalan kaki
masih kurang (Shirvani, 1985). Belum semua jalur pejalan kaki di Indonesia memenuhi fungsi
kenyamanan dan keamanan, karena belum adanya pendekatan perencanaan yang memperhitungkan
karakteristik lingkungan dan perilaku serta preferensi pejalan kaki (Tanan, 2011). Beberapa
contohnya adalah terjadinya pengalihan fungsi ruang jalur pejalan kaki sebagai lahan parkir atau
tempat berjualan PKL, dan kurangnya kelengkapan fasilitas pendukung pejalan kaki (Iswanto, 2006).
Begitu pula setelah kehadirannya, jalur pejalan kaki dirasa tidak efektif dalam menunjang vitalitas
pejalan kaki yang menunjang vitalitas kehidupan kota, karenanya penting untuk memahami elemen
fisik kota, terutama jalur pejalan kaki dalam mendukung vitalitas kehidupan kota (Anggriani, 2009).
Dalam perkembangannya, Indonesia sebagai negara berkembang mulai menerapkan jalur
pejalan kaki seperti negara maju. Beberapa penerapan perencanaan jalur pejalan kaki pada kawasan
perkotaan yang terwujud dengan baik adalah jalur pejalan kaki pada Jalan Walikota Mustajab di Kota
Surabaya, Jalan Asia Afrika di Kota Bandung, Jalan Malioboro di Kota Yogyakarta, dan Jalan M.H.
Thamrin hingga Jendral Sudirman di Kota Jakarta Pusat.
3

ITDP dalam bukunya yang berjudul “Panduan Desain Fasilitas Pejalan Kaki: DKI Jakarta
2017-2022” menjelaskan bahwa fasilitas jalur pejalan kaki di DKI Jakarta hanya sepanjang 540
kilometer dari 6.956 kilometer jaringan jalan yang ada (Provinsi DKI Jakarta Dalam Angka, 2016).
Berdasarkan data Ditlantas Polda Metro Jaya (2014), sebanyak 1 pejalan kaki tewas setiap 6 hari di
Jakarta. ITDP juga melakukan kampanye #PedestrianFirst yang berlangsung pada bulan tertib
trotoar, yaitu pada tanggal 1 Agustus sampai dengan 5 September 2017, dan menampung keluhan
terkait pelanggaran fasilitas jalur pejalan kaki di DKI Jakarta sejumlah 643 laporan (Kota Jakarta
Pusat sebanyak 18,3% laporan dan Kota Jakarta Selatan sebanyak 30% laporan).
Kawasan perkotaan terbesar yang menjadi Ibu Kota Negara Indonesia adalah Provinsi DKI
Jakarta. Jalan Jendral Sudirman merupakan salah satu jalan pada pusat kota Jakarta, yang terletak
pada kawasan Sudirman yang berfungsi sebagai pusat kegiatan finansial dan bisnis (CBD), yang
telah direvitalisasi pada tahun 2019 guna mengembangkan kawasan menjadi berkelanjutan melalui
pengadaan unsur walkability bagi penggunanya. Revitalisasi juga dilakukan karena Jalan Jendral
Sudirman merupakan salah satu jalan utama (protokol) yang menjadi wajah kawasan kota Jakarta.
Peningkatan kualitas fisik melalui revitalisasi bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan
aksesibilitas kawasan (Danisworo, 2000). Revitalisasi jalur pejalan kaki bertujuan untuk
memperbaiki kondisi fisik jalur pejalan kaki dan meningkatkan fungsinya sebagai wadah
perpindahan pejalan kaki (Khairunnisa, 2017). Revitalisasi jalur pejalan kaki juga bertujuan untuk
meningkatkan minat masyarakat untuk berjalan, sehingga mengurangi kemacetan dan polusi udara
akibat kendaraan bermotor (Ridwan et al, 2018).
Salah satu visi DKI Jakarta pada tahun 2022 adalah menuju Jakarta walkable atau ramah
pejalan kaki, yang diwujudkan melalui penciptaan ruang pejalan kaki yang lengkap, aman, nyaman,
humanis, dan mendukung peningkatan penggunaan transportasi publik (ITDP, 2019). Upaya
pengembangan tersebut perlu didukung oleh studi yang mendalam tentang perencanaan dan
penyediaan jalur pejalan kaki, maka perhatian pada pergerakan manusia yang paling mendasar
berupa berjalan kaki perlu difokuskan (Tanan, 2011). Kondisi pasca revitalisasi menjadi potensi bagi
koridor Jalan Jendral Sudirman untuk berperan sebagai percontohan (benchmark) perencanaan dan
pengembangan jalur pejalan kaki pada kawasan perkotaan DKI Jakarta, sehingga koridor Jalan
Jendral Sudirman dipilih sebagai lokasi penelitian.
Ruang jalur pejalan kaki di Indonesia kerap digunakan untuk kegiatan lain seperti tempat
berdagang, rekreasi, olahraga, ataupun parkir, sehingga menata ruang jalur pejalan kaki menjadi
salah satu perhatian utama dalam penataan kawasan kota (Iswanto, 2006). Penataan ruang pejalan
kaki sesuai dengan fungisnya, yaitu yang mewadahi seluruh aktivitas pejalan kaki, akan memberikan
manfaat bagi penggunanya, sehingga jalur pejalan kaki menjadi aman dan nyaman untuk digunakan
oleh para pejalan kaki di suatu kawasan kota (Wicaksono et al, 2019).
4

Adapun sampai dengan saat ini, pembahasan mengenai penataan fisik pada ruang pejalan
kaki, kelengkapan fasilitas pada ruang pejalan kaki, kualitas dan kuantitas ruang pejalan kaki masih
sangat sedikit yang membahas kaitannya dengan revitalisasi penataan fisik ruang pejalan kaki
(Ridwan et al, 2018). Berdasarkan urgensi dan kebaruan penelitian di atas, maka akan dilakukan
pengkajian kualitas jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman sebagai potensi percontohan
perencanaan jalur pejalan kaki pada kawasan perkotaan.

1.2 Rumusan Masalah


Pada tahun 2019 dilakukan revitalisasi pada jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral
Sudirman yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas fisik jalur pejalan kaki dan minat masyarakat
untuk berjalan kaki, sehingga mendukung peningkatan aktivitas pada jalur pejalan kaki dan
aksesibilitas kawasan melalui berjalan kaki atau sistem Transit Oriented Development (TOD).
Revitalisasi dilakukan di sepanjang koridor Jalan Jendral Sudirman, namun hanya segmen pertama
dan keempat yang menjadi fokus keramaian aktivitas jalur pejalan kaki. Kendati telah dilakukan
revitalisasi, masih terdapat permasalahan terkait kenyamanan dan keamanan pada kondisi fisik jalur
pejalan kaki, terutama pada segmen keempat.
Beberapa permasalahan pada kondisi fisik jalur pejalan kaki adalah terdapat penyalahgunaan
ruang jalur pejalan kaki pada beberapa titik sebagai area parkir sepeda motor, perhentian sementara
ojek online, dan lapak PKL, serta tidak tersedia tempat meneduh (shelter) bagi pejalan kaki saat
cuaca hujan. Selain itu, terdapat bollard yang penempatannya mengganggu dan membahayakan
pergerakan pejalan kaki, serta pejalan kaki merasa kurang aman saat melakukan penyeberangan pada
ruas jalan dan persimpangan karena kondisi kecepatan arus kendaraan yang tinggi.
Dari permasalahan kondisi fisik pada segmen keempat pasca revitalisasi yang telah
diuraikan, timbul pertanyaan penelitian (research question), yaitu “Bagaimanakah kualitas jalur
pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman pasca revitalisasi berdasarkan kondisi fisik jalur
pejalan kaki dan persepsi pejalan kaki?”

1.3 Tujuan dan Sasaran


1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji kualitas jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral
Sudirman pasca revitalisasi dari segi kelengkapan, keamanan, dan kenyamanan berdasarkan kondisi
fisik jalur pejalan kaki, yaitu elemen pembentuk dan pendukung, serta berdasarkan persepsi pejalan
kaki terhadap kondisi fisik jalur pejalan kaki.
1.3.2 Sasaran Penelitian
Sasaran untuk mencapai tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:
5

a. Mengidentifikasi kelengkapan jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman


berdasarkan elemen pembentuk jalur pejalan kaki.
b. Mengidentifikasi keamanan jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman
berdasarkan elemen pendukung keamanan pejalan kaki.
c. Mengidentifikasi kenyamanan jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman
berdasarkan elemen pendukung kenyamanan pejalan kaki.
d. Menganalisis kualitas jalur pejalan kaki koridor Jalan Jenderal Sudirman dari segi
kelengkapan, keamanan, dan kenyamanan jalur pejalan kaki, berdasarkan kondisi fisik
jalur pejalan kaki dan persepsi pejalan kaki.

1.4 Manfaat
Penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu rancang kota
sebagai bagian dari ilmu PWK, khususnya dalam mengkaji jalur pejalan kaki sebagai elemen fisik
rancang kota, yaitu:
a. Melalui proses analisa dan pemahaman mengenai jalur pejalan kaki sebagai salah satu
dari delapan elemen perancangan kota, dapat bermanfaat secara langsung dan tidak
langsung terhadap peningkatan kualitas dan citra kawasan perkotaan yang menunjang
perancangan kota dan segala aspeknya dengan lebih baik kedepannya.
b. Hasil pengkajian kualitas jalur pejalan kaki pasca revitalisasi berpotensi menjadi
percontohan (benchmark) bagi pembelajaran dan pengembangan jalur pejalan kaki pada
kawasan yang relevan, sehingga mendukung pernciptaan Jakarta yang walkable, melalui
penciptaan aspek walkability yang mendukung keberlanjutan kawasan.
c. Kajian kualitas jalur pejalan kaki dari segi kelengkapan, keamanan, dan kenyamanan
berdasarkan kondisi fisik jalur pejalan kaki dan persepsi pejalan kaki dapat dimanfaatkan
bagi praktisi lain untuk mengkaji kualitas jalur pejalan kaki, yang juga bermanfaat bagi
kedalaman ilmu perencanaan wilayah dan kota, khususnya ilmu rancang kota melalui
penambahan referensi dalam mengkaji fungsi jalur pejalan kaki.

1.5 Ruang Lingkup


1.5.1 Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah penelitian berada pada koridor Jalan Jendral Sudirman yang terletak
pada wilayah administrasi Kota Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, yang mencakup 4 kecamatan, yaitu
Kecamatan Menteng, Tanah Abang, Setiabudi, dan Kebayoran Baru, serta mencakup 10 kelurahan,
yaitu Kelurahan Menteng, Kebon Melati, Karet Tengsin, Bendungan Hilir, Gelora, Setiabudi, Karet,
Karet Kuningan, Karet Semanggi, dan Senayan. Jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman
terbagi menjadi empat segmen berdasarkan aktivitas dan permasalahan pada jalur pejalan kaki, yaitu:
6

1. Segmen I: Batas utara Jalan Jendral Sudirman yaitu Bundaran HI hingga Stasiun Dukuh
Atas atau Taman Spot Budaya, dengan panjang segmen 1 kilometer, dan guna lahan
campuran yang didominasi aktivitas perdagangan dan jasa, serta hunian.
2. Segmen II: Taman Spot Budaya atau Stasiun Transjakarta Dukuh Atas hingga flyover
Jalan K.H. Mas Mansyur, dengan panjang segmen 1,1 kilometer, dan guna lahan yang
didominasi aktivitas perkantoran.
3. Segmen III: Flyover Jalan K.H. Mas Mansyur hingga flyover Semanggi, dengan panjang
segmen 600 meter, dan guna lahan yang didominasi aktivitas perkantoran.
4. Segmen IV: Flyover Semanggi hingga Batas selatan Jalan Jendral Sudirman, dengan
panjang segmen 1,4 kilometer, dan guna lahan campuran yang didominasi aktivitas
perkantoran, perdagangan dan jasa, serta penggunaan lain berupa ruang terbuka hijau.
Berikut merupakan peta guna lahan yang menggambarkan aktivitas berdasarkan
segmentasi jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman:

Gambar 1.1 Peta Wilayah Penelitian


Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2021

Pada tahun 2019 dilakukan revitalisasi jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas fisik jalur pejalan kaki dan minat masyarakat untuk
berjalan kaki, sehingga mendukung peningkatan aktivitas pada jalur pejalan kaki dan aksesibilitas
kawasan melalui berjalan kaki atau sistem Transit Oriented Development (TOD). Revitalisasi
dilakukan di sepanjang koridor Jalan Jendral Sudirman, namun hanya segmen pertama dan keempat
7

yang menjadi fokus keramaian pejalan kaki, karena tata guna lahannya didominasi oleh aktivitas
perdagangan dan jasa serta ruang terbuka hijau, yang memicu aktivitas pada jalur pejalan kaki.
Penelitian akan difokuskan pada segmen keempat jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral
Sudirman, karena masih terdapat permasalahan terkait kondisi fisik jalur pejalan kaki, kendati telah
dilakukan revitalisasi. Selain itu, segmen keempat juga menjadi fokus aktivitas pejalan kaki,
sehingga permasalahan tersebut tentu mempengaruhi keamanan dan kenyaman pejalan kaki, yang
mana juga berpengaruh terhadap penilaian kualitas jalur pejalan kaki sebagai potensi percontohan
(benchmark) perencanaan dan pengembangan jalur pejalan kaki pada kawasan perkotaan DKI
Jakarta. Berikut merupakan peta komik permasalahan kondisi fisik pada jalur pejalan kaki segmen
keempat koridor Jalan Jendral Sudirman:

Gambar 1.2 Peta Jenis Aktivitas Koridor Jalan Jendral Sudirman


Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2021

Gambar pertama menjelaskan terdapatnya penyalahgunaan ruang pejalan kaki sebagai lapak
berjualan PKL yang menggunakan sepeda atau motor. Gambar kedua menjelaskan penempatan
bollard yang belum efektif dalam mencegah motor untuk masuk dan menggunakan ruang pejalan
kaki, sehingga menimbulkan penyalahgunaan ruang jalur pejalan kaki sebagai area parkir, dan
mengganggu serta membahayakan pergerakan pejalan kaki. Gambar ketiga menjelaskan belum
8

tersedianya fasilitas peneduh berupa pepohonan atau atap-atap (kanopi) di sepanjang jalur pejalan
kaki, dan shelter sebagai tempat meneduh terutama saat cuaca hujan.
1.5.2 Ruang Lingkup Materi
Beberapa substansi yang akan dibahas pada penelitian mengenai kualitas jalur pejalan kaki
koridor Jalan Jendral Sudirman dari segi kelengkapan, keamanan, dan kenyamanan berdasarkan
kondisi fisik jalur pejalan kaki dan persepsi pejalan kaki adalah:
a. Kelengkapan jalur pejalan kaki adalah penyediaan jaringan jalur pejalan kaki sebagai
complete streets yang utuh (tidak terpotong) dengan satu kesatuan fungsi yang
menghubungkan berbagai jenis guna lahan, aktivitas, fasilitas umum, dan titik transit
transportasi public, serta mampu mewujudkan jalur pejalan kaki yang mudah digunakan
dan cukup untuk mengakomodasi semua golongan pejalan kaki berdasakan gender,
usia, dan kondisi fisik. Komponen yang membentuk kelengkapan jalur pejalan kaki
adalah zonasi ruang jalur pejalan kaki, permukaan jalur pejalan kaki (surface), bahan jalur
pejalan kaki (material), jalur pemandu (guiding block/tactile), pelandaian (ramp),
konektivitas jalur pejalan kaki (connectivity), dan ruang terbangun kawasan (buildings).
b. Keamanan jalur pejalan kaki adalah menempatkan pejalan kaki sebagai prioritas dengan
menjaga keselamatan dan keamanan ruang pejalan kaki terhadap resiko kecelakaan lalu
lintas dan tindak kriminalitas, melalui penyediaan elemen pendukung keamanan pejalan
kaki yang terdiri dari fasilitas penyeberangan (crossings), rambu (signals), pembatas
(curb, barrier, dan bollard), dan penerangan (lighting).
c. Kenyamanan jalur pejalan kaki adalah tersedianya fasilitas yang mendukung kegiatan
berjalan, dan dapat dinikmatinya kegiatan berjalan tanpa gangguan. Kenyamanan jalur
pejalan kaki dipengaruhi oleh elemen penunjang kenyamanannya yang terdiri dari
papan penunjuk jalan dan informasi (signage / wayfingding), drainase (drainage),
pepohonan dan jalur hijau (trees and greenways), peneduh (shades), tempat duduk
(seating), tempat sampah (waste bin), halte dan shelter bus.
d. Kualitas jalur pejalan kaki merupakan tingkat baik atau buruknya jalur pejalan kaki
yang berfungsi sebagai ruang sirkulasi berdasarkan kondisi fisik jalur pejalan kaki yang
terdiri dari elemen pembentuk kelengkapan jalur pejalan kaki, elemen pembentuk
keamanan dan kenyamana pejalan kaki.
9

1.6 Keaslian Penelitian


Keaslian penelitian berguna untuk membandingkan penelitian dengan penelitian terdahulu yang telah dilaksanakan. Tujuan dari keaslian
penelitian adalah untuk melihat variabel dan metode apa saja yang telah digunakan pada penelitian terdahulu, serta hasil beserta pembahasannya pada
penelitian terdahulu yang relevan. Berikut merupakan table keaslian penelitian:

Tabel 1.1 Tabel Keaslian Penelitian


Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Pattisinai 2013 Kajian Mengkaji kualitas jalur Penelitian merupakan penelitian Pola intensitas penggunaan jalur pejalan kaki saat weekday dipengaruhi oleh kualitas jalur pejalan
Kualitas pejalan kaki berdasarkan terapan dengan jenis evaluation kaki, yaitu pada penggal jalan yang memiliki tempat duduk (penggal I dan II), intensitas
Jalan karakteristik aktivitas research yang memberi masukan penggunaan jalur pejalan kaki tergolong sedang. Pada penggal III yang tidak memiliki tempat
Pahlawan dan penggunanya, atau mendukung pengembangan duduk, intensitas pejalan kaki tergolong rendah. Pada beberapa titik jalur pejalan kaki, pengguna
sebagai dengan wilayah perencanaan agar (dominasi dewasa dan remaja) juga merasa kesulitan melintas karena terdapat tenda pameran oleh
Jalur mempertimbangkan memiliki kualitas lebih tinggi. instansi pemerintah, sehingga pejalan kaki cenderung menggunakan badan jalan.
Pejalan kriteria PEQI Pendekatan penelitian Jalan Pahlawan merupakan jalan kolektor dengan kualitas jalur pejalan kaki pada tataran dapat
Kaki di (Pedestrian menggunakan paradigma diterima (reasonable) dan basis (dasar) berdasarkan perhitungan PEQI. Segmen I timur merupakan
Kota Environmental Quality kuantitatif dimana proses jalur pejalan kaki yang paling berkualitas dengan nilai 70,35, sementara segmen III timur
Semarang Index), untuk dapat pengambilan kesimpulan didasari merupakan jalur pejalan kaki dengan kualitas paling rendah, yaitu dengan nilai 50,16. Hal ini
memberikan penilaian alasan yang diajukan berdasarkan disebabkan belum lengkapnya elemen pelengkap pada persimpangan maupun tiap penggal Jalan
terhadap kualitas jalur hasil analisis data. Pahlawan. Hal ini juga dibuktikan berdasarkan KETENTUAN UMUM PU NO.032/T/BM/1999
pejalan kaki, sehingga Proses pengambilan kesimpulan tentang perencanaan jalur pejalan kaki bahwa terdapat beberapa komponen pejalan kaki yang
mewadahi pilihan yang dengan cara deduksi didasari oleh belum terpenuhi oleh Jalan Pahlawan.
lebih luas terhadap alasan yang benar dan valid, atau Intensitas aktivitas wajib di Jalan Pahlawan tidak terlalu terpengaruh oleh kualitas jalur pejalan
pejalan kaki dan dengan menguji hipotesis dengan kaki berdasarkan indicator PEQI. Kualitas jalur pejalan kaki yang tergolong basis dan dapat
menggunakan data empiris. diterima tidak mampu menarik minat pejalan kaki untuk melintas pada pagi hari. Aktivitas wajib
10

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
aktivitas yang beragam Analisisnya mencakup analisis yang dilakukan hampir tidak ada, sehingga arus pejalan kaki sangat rendah dan ruang pejalan kaki
di Jalan Pahlawan. aktivitas pejalan kaki, analisis menjadi tidak fungsional.
pengguna berdasarkan usia, jenis Pada aktivitas pilihan, kualitas jalur pejalan kaki yang tergolong basis dan dapat diterima telah
kelamin dan pekerjaan, analisis banyak menarik minat pejalan kaki. Intensitas aktivitas pilihan terutama pada malam hari sangat
kualitas penggal jalur pejalan berkembang jika dibandingkan dengan aktivitas wajib. Aktivitas pilihan yang dilakukan adalah
kaki berdasarkan perhitungan berjalan santai, menikmati pemandangan dan berolahraga, sehingga arus pejalan kaki sangat besar
PEQI, dan analisis kualitas jalur pada malam hari dan saat car free day.
pejalan kaki berdasarkan Pada kenyataannya, aktivitas pilihan dan sosial menjadi dominan dan berkembang pada jalur
karakteristik aktivitas dan pejalan kaki Jalan Pahlawan, bahkan hampir tidak ada aktivitas wajib. Aktivitas pilihan dengan
penggunanya. intensitas yang sangat besar muncul akibat perbaikan jalur pejalan kaki. Pada tataran kualitas yang
normal saja, Jalan Pahlawan mampu menjadi magnet bagi aktivitas pilihan, karena berbatasan
langsung dengan kawasan Simpang Lima yang memberikan gravitasi bagi pergerakan manusia.
Wicakso 2019 Analisis Menggali kriteria jalur Pendekatan kuantitatif digunakan Secara umum, kualitas jalur pedestrian di setiap ruas sudah memiliki kualitas dasar, namun jika
no et al Kualitas pedestrian yang nyaman untuk mengetahui kualitas jalur ditarik dari perhitungan, ruas Jalan Sudirman dan Jalan Asia Afrika merupakan jalur pedestrian
Jalur dan faktor yang pedestrian berdasarkan beberapa yang paling baik di kawasan kota lama, karena telah memiliki beberapa komponen perabot jalan,
Pedestrian mempengaruhi kualitas kriteria. sehingga dapat dilalui dengan nyaman. Selain itu, karena ruas jalur ini merupakan jalur arteri lokal.
di jalur pedestrian. Metode yang dipakai dalam Poin ini menjadi penting karena ruas Jalan Sudirman dan Jalan Asia Afrika merupakan jalur
Kawasan Mengidentifikasi mengukur kualitas jalur pedestrian yang dilewati pengunjung jika berwisata pada kawasan kota lama, dan jalur ini
Kota Lama fasilitas pendukung jalur pedestrian adalah pendekatan menghubungkan kawasan dengan gedung-gedung bersejarah dan destinasi wisata yang ada di
Bandung pedestrian. Pedestrian Environmental sekitar kawasan Kota Lama Bandung.
Berdasark Mengidentifikasi Quality Index (PEQI) yang Berdasarkan perhitungan PEQI, jalur pedestrian Jalan Otto Iskandardinata sudah baik, namun
an PEQI masalah pada jalur memberikan skor kualitas pada memiliki kualitas yang paling buruk dibanding dua jalan lainnya, karena banyak pedagang yang
pedestrian dan mengkaji masing-masing ruas jalan dan memakai jalur pedestrian pada siang hari, dan belum tersedia perabot jalan. Sebaiknya jalur ini
11

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
tingkat kenyamanan menjadi indikator kelengkapan dibuat senyaman mungkin untuk pejalan kaki, karena jalur ini menjadi komponen yang penting
pejalan kaki berdasarkan fasilitas pejalan kaki. pada kawasan niaga, sehingga pengunjung dapat berbelanja dari satu toko ke toko lainnya dengan
factor pengaruh kualitas Analisis kualitas jalur pedestrian mudah tanpa terganggu oleh keberadaan PKL. Para pedagang juga harus diberikan ruang khusus
jalur pedestrian. dibagi dalam beberapa segmen untuk berjualan agar tidak mengganggu pejalan kaki, sehingga kawasan Kota Lama Bandung
Menganalisis kualitas ruas jalan, yang menggambarkan dapat memiliki ruas jalur pedestrian yang walkable bagi pengunjung dan masyarakat.
jalur pejalan kaki kualitas keamanan dan Analisis kualitas jalur pedestrian pada Kota Lama Bandung menjadi penting, agar setiap pihak
berdasarkan kriteria kenyamanan jalur pedestrian dapat menyadari pentingnya keberadaan jalur pedestrian yang nyaman dan aman pada kaasan
kenyamanan jalur berdasarkan indeks PEQI. Hasil niaga. Jalur pedestrian yang berkualitas, khususnya di kawasan Kota Lama Bandung dapat menjadi
pedestrian, untuk analisis tersebut akan daya tarik tersendiri bagi para pengunjung maupun masyarakat setempat.
mengetauhi kelayakan memberikan nilai kualitas pada
jalur pejalan kaki di setiap ruas jalur pedestrian, yang
Kota Lama Bandung. terbagi menjadi kelas ideal, dapat
diterima (reasonable), dasar,
buruk, dan tidak layak digunakan.
Revina 2016 Kajian Mengetahui kualitas Dibutuhkan data primer dan Segmen I sudah dilengkapi dengan penerangan, pohon, penanda pengurang kecepatan, halte, dan
et al Kualitas dan tingkat pelayanan sekunder. Teknik pengumpulan tempat penyeberangan, namun tidak ditemukan tempat sampah, tempat duduk, peneduh, rambu
dan jalur pejalan kaki data primer adalah observasi, tambahan untuk pejalan kaki, dan papan informasi. Tempat penyeberangan pada segmen I berupa
Tingkat berdasarkan kondisi kuesioner, dan traffic counting. zebra cross yang sudah tidak terlihat catnya dan beberapa material paving ditemukan dalam
Pelayanan fisik dan non fisik jalur Teknik pengumpulan data kondisi rusak. Segmen II memiliki lebar fisik yang terbatas karena adanya halangan, dan masih
Jalur pejalan kaki. sekunder adalah telaah dokumen ditemukan material yang rusak. Pada segmen II ditemui tanda pengurangan kecepatan kendaraan
Pejalan Menganalisis kualitas instansi terkait dan pemetaan. untuk menjaga keselamatan pejalan kaki, dan penerangan publik yang terdapat pada terowongan.
Kaki di jalur pejalan kaki Penelitan dengan populasi Lebar jalur pejalan kaki segmen I sebesar 2 meter dan segmen II sebesar 2,35 meter, yang mana
Stasiun berdasarkan pejalan kaki yang tidak diketahui sesuai dengan lebar minimum yang mencukupi arus pejalan kaki. Kondisi tersebut nyatanya
12

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Manggarai kelengkapan sarana menggunakan teknik non- berbeda dengan tanggapan pejalan kaki yang dirasa tidak mencukupi menurut 55% pejalan kaki
Jakarta prasarana jalur pejalan probability sampling, yaitu segmen I dan 61% pejalan kaki segmen II. Segmen I dan II memiliki ketinggian 27 cm, dan
Selatan kaki. Menganalisis sampling aksidental. Penelitian material berupa paving, yang sudah sesuai menurut pejalan kaki. Ditemukan halangan pada
tingkat pelayanan jalur menggunakan rumus Lemeshow segmen I dan II berdasarkan responden pejalan kaki segmen I dan II, yang dominan berupa kios,
pejalan kaki berdasarkan untuk mengetahui jumlah sampel, area parkir, dan tiang. Menurut pejalan kaki, keberadaan halangan menandakan adanya peralihan
kemampuan yaitu 96 (100) sampel. fungsi jalur pejalan kaki yang mengganggu. Selain itu, ditemui sarana prasarana yang belum
menampung arus Metode menggunakan lengkap dan kondisi sarana prasarna yang perlu diperbaiki.
pejalan kaki. pendekatan kuantitatif dengan Kualitas persimpangan jalur pejalan kaki segmen I berada pada kelas kualitas 4 (buruk), dan
Keselamatan (safety) analisis deskriptif dan evaluatif. segmen II memiliki kualtias persimpangan yang termasuk dalam kelas 5 (tidak layak), sehingga
dan kemampuan Analisis deskriptif digunakan kualitas persimpangan jalur pejalan kaki di sekitar Stasiun Manggarai memiliki kualitas yang
berjalan kaki untuk mengolah informasi rendah karena belum lengkapnya sarana prasarana keselamatan persimpangan. Kualitas jalur
(walkability) pejalan mengenai kondisi fisik, kondisi pejalan kaki segmen I dan II berada pada kelas 3 (dasar), sehingga ruas jalur pejalan kaki di sekitar
kaki diketahui non fisik, kualitas, dan tingkat Stasiun Manggarai dapat disimpulkan memiliki kualitas yang dasar karena jalur pejalan kaki sudah
berdasarkan kualitas pelayanan jalur pejalan kaki. memiliki sarana prasarana, namun tidak lengkap dan kondisinya memerlukan perbaikan.
jalur pejalan kaki. Analisis evaluatif digunakan Jalur pejalan kaki segmen I memiliki tingkat pelayanan berdasarkan arus yang lebih rendah
Kenyamanan pejalan untuk memberikan penilaian dibanding segmen II, dikarenakan volume pejalan kaki segmen I yang lebih tinggi dan hambatan
kaki dapat diketahui kualitas jalur pejalan kaki yang lebih besar dibanding dengan segmen II. Tingkat pelayanan berdasarkan arus pada jalur
melalui tingkat berdasarkan pendekatan pejalan kaki segmen I menunjukan tingkat pelayanan E (buruk) dan analisis tingkat pelayanan
pelayanan. Pedestrian Environmental berdasarkan ruang memiliki hasil tingkat pelayann A (sangat baik). Tingkat pelayanan berdasarkan
Quality Index, dan memberikan arus pada segmen II memiliki tingkat pelayanan C (cukup baik) dan tingkat pelayanan berdasarkan
penilaian tingkat pelayanan jalur ruang memiliki tingkat pelayanan A (sangat baik).
pejalan kaki berdasarkan Hambatan yang lebih besar menandakan hambatan yang mengganggu pelayanan jalur pejalan
pendekatan Level of Service kaki. Jalur pejalan kaki segmen I dan II memiliki tingkat pelayanan berdasarkan ruang yang sama,
13

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
(HCM, 2000), serta berdasarkan yaitu sangat baik. Kondisi itu dikarenakan sedikitnya pejalan kaki yang berdiri untuk menunggu
Peraturan Pemerintah Pekerjaan di jalur pejalan kaki sehingga tidak mengganggu pejalan kaki lainnya. Pejalan kaki pada kedua
Umum No. 3 Tahun 2014. segmen umumnya lebih banyak bergerak dibandingkan diam untuk mengunggu.
Damia et 2020 Kualitas Meninjau tingkat Metode penelitian berjenis Berdasarkan hasil kuesioner, 44.4% responden merasa pedestrian ways nyaman, karena ketiga
al dan kenyamanan jalur kualitatif, yaitu membangun segmen memiliki trotoar yang lebar serta memiliki cukup banyak pohon peneduh. Sejumlah 16.7%
Kenyama pedestrian Jalan Slamet pernyataan berdasarkan responden menjawab bahwa ketiga segmen tidak nyaman, dengan salah satu alasan masih terdapat
nan Jalur Riyadi menurut pengalaman individu dan nilai pengguna sepeda motor yang melintas pada pedestrian ways. Pada segmen 3, ditemukan juga
Pedestrian pengguna, dan sosial, untuk membangun pola mobil yang melintasi pedestrian untuk mencapai toko atau bangunan.
di mengetahui kesesuaian pengetahuan atau teori tertentu. Sebanyak 58.3% responden mengatakan pernah menggunakan fasilitas di pedestrian ways, berupa
Penggalan jalur pedestrian Pengumpulan data dilakukan bangku dan tempat sampah, terutama untuk beristirahat atau melakukan aktivitas sosial. Sebanyak
Jalan berdasarkan fungsi serta dengan observasi dan kuesioner. 38.9% responden menyatakan kondisi bangku dan tempat sampah biasa saja, karena layak pakai,
Slamet standar menurut Observasi lapangan dilakukan namun diharapkan dapat dipercantik dengan dicat ulang. Sebanyak 75% responden menyatakan
Riyadi peraturan yang berlaku. untuk memperoleh data fisik jalur jumlah bangku pada ketiga segmen belum cukup, salah satunya karena jarak antar bangku dan
Surakarta pedestrian. Hasil observasi tempat sampah relatif berjauhan, terutama pada segmen 3 yang tidak ditemukan bangku maupun
lapangan yang mencakup tempat sampah. Bangku pada segmen 2 juga dirasa masih kurang, tapi terbantu oleh bangku yang
komponen jalur pedestrian yang berada di area Stadion dan Taman Sriwedari.
mempengaruhi tingkat Ditemukan juga vegetasi sebagai salah satu pendukung keindahan dan kenyamanan pedestrian
kenyamanan pejalan kaki, ways. Berdasarkan hasil kuesioner, terdapat 7 responden yang menganggap bahwa pepohonan di
ditujukan untuk memunculkan sepanjang area buffer berpengaruh terhadap persepsi kenyamanan pejalan kaki, yaitu dirasa teduh
pertanyaan pada survei kuesioner. dan mengurangi panas pada pedestrian ways.
Selanjutnya dilakukan survei Berdasarkan hasil observasi lapangan dan kuisioner, didapatkan kualitas kenyamanan jalur
wawancara atau kuesioner secara pedestrian penggal Jalan Slamet Riyadi masih kurang. Belum seluruh responden menyatakan
online yang terbagi menjadi nyaman. Ketidaknyamanan di ketiga segmen disebabkan oleh:
14

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
pertanyaan tertutup mengenai 1. Keberadaan fasilitas sarana prasarana yang tidak sama, diantaranya jarak antar bangku dan
umur dan domisili sebagai target tempat sampah, tidak tersedianya bangku (segmen 3), sehingga menyulitkan pejalan kaki
responden, dan pertanyaan ketika akan beristirahat.
terbuka mengenai komponen 2. Jalur pedestrian yang kotor dan banyak terdapat sampah, penyebabnya tidak tersedia tempat
terkait kenyamanan pejalan kaki sampah terutama pada segmen 3.
sebagai peninjauan tingkat 3. Jarak lampu penerang pedestrian 40-50 m, padahal standar Permen-PU Nomor
kenyamanan pedestrian ways. 03/PRT/M/2014 adalah 10 m, sehingga ketika malam hari kondisi pedestrian cukup gelap.
Kesesuaian ditinjau berdasarkan Pedestrian penggal Jalan Slamet Riyadi dapat berfungsi dan memberikan kualitas kenyamanan
kondisi fisik jalur pedestrian yang baik, apabila terdapat kerjasama antara pihak yang bertanggungjawab dalam mengelola dan
melalui observasi lapangan. merawat pedestrian, serta masyarakat dalam menggunakan sarana dan prasarana yang tersedia
dengan sebaik mungkin sesuai aturan, agar dapat terpelihara.
Surya et 2016 Pemanfaat Melakukan inventarisasi Digunakan metode analisis Berdasarkan peta indeks walkability, kawasan wisata Malioboro memiliki 3 urban unit kategori
al an Indeks sarana dan prasarana kualitatif-kuantitatif dengan tinggi, 2 urban unit kategori sedang, dan 1 urban unit kategori rendah. Masing-masing kelas indeks
Walkabilit jalur pedestrian. Sistem Informasi Geografis walkability memiliki jumlah populasi dan sampel yang telah ditentukan. Data sampel uji validasi
y Melakukan penilaian (SIG) sebagai alat bantu analisis. penilaian indeks walkability kemudian dijadikan acuan untuk menentukan titik-titik sampel
(Kenyama variasi tingkat Penelitian ini mengambil kajian sebagai lokasi pelaksanaan wawancara.
nan walkability jalur populasi berupa studi kasus untuk Kelas walkability rendah memiliki 5 segmen unit sampel jalur pedestrian, dan diperoleh 10
Pejalan pedestrian dan pemetaan Kawasan wisata Malioboro responden. Kelas walkability sedang memiliki 6 segmen dan diperoleh 20 responden, sedangkan
Kaki) dan tingkat walkability. Yogyakarta melalui kegiatan kelas walkability tinggi memiliki 10 segmen dan diperoleh 30 responden. Melalui komposisi
Hubungan Melakukan uji validasi interpretasi visual citra dan survei tersebut, hasil wawancara pada kelas walkability rendah, sedang, dan tinggi telah mewakili tipe-
nya penilaian tingkat lapangan sebagai metode tipe pejalan kaki. Pejalan kaki yang diwawancara pada segmen jalan di semua kelas indeks
dengan walkability jalur pengumpulan data. walkability berpendapat bahwa, secara umum jalur pedestrian belum nyaman.
Kualitas pedestrian.
15

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Jalur Metode analisis yang digunakan Kondisi sarana prasarana pada jalur pedestrian yang dikaji secara umum menunjukkan bahwa jalan
Pedestrian adalah inventarisasi dan skoring Ahmad Yani pada bagian selatan kawasan wisata Malioboro memiliki kondisi sarana dan
di sarana dan prasarana jalur prasarana paling baik, sedangkan Jalan Pajeksan dan Jalan Dagen memiliki kondisi sarana dan
Kawasan pedestrian, serta penilaian dan uji prasarana paling buruk.
Wisata validasi berdasarkan indeks Penilaian variasi tingkat walkability menunjukkan hasil bahwa bagian selatan kawasan wisata
Malioboro walkability. Malioboro memiliki tingkat walkability paling baik, bagian tengah dan sisi timur kawasan
Yogyakart Melalui analisis tersebut, memiliki tingkat walkability sedang, dan sisi utara kawasan memiliki tingkat walkability buruk.
a dihasilkan rekomendasi Hasil penilaian tingkat walkability pada kelas sedang dan tinggi tidak sesuai dengan persepsi
penyediaan jalur pedestrian. pejalan kaki, karena persepsi pejalan kaki lebih mempertimbangkan faktor adanya titik utama ikon
pariwisata daripada ketersediaan fasilitas pedestrian.
Wijayan 2020 Kualitas Mengidentifikasi pola Pendekatan penelitian adalah Berdasarkan hasil komparasi survei walkthrough dengan kebijakan perencanaan jalur pejalan kaki
ti et al Walkabilit penggunaan lahan deskriptif-evaluatif, karena perkotaan didapatkan bahwa indikator perilaku pengendara tergolong tidak disiplin, sehingga
y Jalur kawasan, dan perilaku penelitian akan mengevaluasi berpengaruh terhadap indikator keselamatan pejalan kaki saat menyebrang. Terdapatnya konflik
Pejalan pergerakan pejalan kaki kesesuaian kondisi eksisting antar pejalan kaki dengan moda transportasi lainnya menyebabkan tingkat keamanan berjalan
Kaki pada berdasarkan tujuan dengan kriteria walkability index maupun tindak kriminal menjadi sangat rendah. Infrastruktur penunjang pejalan kaki
Kawasan perjalanan. menggunakan uji model validasi. berkebutuhan khusus tidak ditemukan kemenerusannya, sehingga dapat menimbulkan masalah.
Bisnis Mengetahui distribusi, Untuk mendapatkan gambaran Hambatan yang sering ditemukan pada jalur pejalan kaki adalah terdapatnya kegiatan PKL dan
Simpur kualitas, dan kuantitas kondisi eksisting terkait kualitas parkir pada jalur pejalan kaki, sehingga merugikan pejalan kaki karena travel time menjadi lebih
Center dan fasilitas jalur pejalan walkability, dilakukan survei panjang. Hal ini menjadi rekomendasi dalam merumuskan rencana penyediaan jalur pejalan kaki
Sekitar kaki, dan tingkat lapangan oleh peneliti dengan di kawasan bisnis sekitar jalur pejalan kaki.
walkability yang diukur teknik walkthrough, yaitu Mayoritas pejalan kaki memanfaatkan jalur pejalan kaki untuk mendukung kegiatan belanja,
berdasarkan elaborasi pengamatan secara langsung sesuai dengan pola guna lahan yang tersedia. Jalur pejalan kaki memiliki skala penilaian buruk,
indeks walkability dan baik dari penyediaan fisik dan lingkungan sekitar. Hambatan samping yang ditemukan di
16

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
kebijakan perencanaan dengan berjalan menyusuri sepanjang jalur pejalan kaki, seperti adanya pedagang kaki lima, on street parking dan angkot yang
jalur pejalan kaki kawasan bisnis simpur center. sering berhenti menunggu penumpang, mengakibatkan kemacetan dan menurunkan tingkat
perkotaan. Data sekunder didapatkan keamanan. Berdasarkan hasil survei dan anlisis, dapat dievaluasi perencanaan jalur pejalan kaki
Merekomendasikan melalui telaah undang-undang yang masih membutuhkan banyak perbaikan sesuai dengan peraturan perencanaan jalur pejalan
penyediaan jalur pejalan dan kebijakan terkait jalur kaki di perkotaan, dan kelengkapan fasilitas penunjang terutama bagi pejalan kaki disable atau
kaki berdasarkan pejalan kaki perkotaan. berkebutuhan khusus. Jalur pejalan kaki secara keseluruhan tidak memenuhi syarat kemenerusan
identifikasi pola guna Untuk melihat pola pergerakan atau kontinuitas, dimana syarat ini penting untuk menciptakan jalur pejalan kaki yang walkable.
lahan kawasan, perilaku pejalanan kaki dari tujuan Penilaian kualitas walkability lebih baik dilakukan dengan menanyakan langsung dengan
pergerakan pejalan kaki, berjalan, dilakukan penyebaran kuesioner kepada pejalan kaki sebagai pengguna, dan wawancara kepada stakeholder selaku
dan tingkat walkability. kuesioner online kepada penyedia. Penilaian kualitas juga dapat dimodelkan untuk menyusun jalur pejalan kaki yang
masyarakat Kota Bandarlampung walkable tidak hanya pada kawasan bisnis, tetapi juga pada kawasan pemerintahan, pendidikan,
yang pernah berjalan di jalur ibadah dan lainnya.
pejalan kaki kawasan bisnis
simpur center dan sekitarnya.
Mihardj 2020 Kualitas Mengetahui tingkat Pendekatan penelitian Kawasan Senen sebagai pusat kegiatan sekunder Kota Jakarta direncanakan untuk
a et al Kenyaman kualitas jalur pedestrian rasionalistik, dengan jenis mengembangkan konsep TOD (Transit Oriented Development), namun hal tersebut tidak
an Jalur dan hubungannya penelitian deskriptif kualitatif- diimbangi peningkatan kualitas kenyamanan jalur pedestrian yang merupakan prinsip penting
Pedestrian dengan kepentingan kuantitatif. Analisis tingkat dalam konsep TOD, sehingga sudah tidak memadai untuk melayani 132.000 orang per hari. Selain
di kenyamanan pejalan kualitas dan kepentingan itu, terdapat banyak pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, sehingga mengurangi daya tarik
Kawasan kaki, sebagai masukan kenyamanan jalur pedestrian kawasan. Kualitas kenyamanan jalur pedestrian Kawasan Senen yang sesuai dengan preferensi
Senen bagi jalur pedestrian melalui: pejalan kaki diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan.
berdasarka Kawasan Senen yang 1. Observasi lapangan Berdasarkan hasil interpretasi skor analisis weight means score, sebagian besar variabel
n kenyamanan pada jalur pedestrian memiliki kualitas yang cukup baik, yaitu variabel material
17

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Preferensi sudah maupun belum 2. Kuisioner dengan skala likert penyusun, elemen pendukung, iklim (peneduhan), kebersihan, keindahan, keamanan, ketersediaan
Pejalan direvitalisasi. bagi 50 responden pejalan fasilitas penyandang disabilitas, kebisingan, dan aroma. Tingkat hambatan dan jalur
Kaki Variabel kenyamanan kaki Jalan Stasiun Senen penyeberangan memiliki nilai kurang baik yang dipengaruhi oleh banyaknya PKL pada jalur
mencakup material, 3. Analisis hasil kuisioner pedestrian, dan jalur penyeberangan yang tidak memiliki garis zebra cross. Kualitas baik dimiliki
elemen pendukung, dengan weight means score, oleh variabel aksesibilitas dan dimensi karena mampu mempermudah pergerakan pejalan kaki.
peneduhan, keamanan, dan interpretasi kategori Selain itu, jumlah vegetasi dan tempat sampah tergolong sangat sedikit, dan minim terdapat lampu
kebersihan, keindahan, kualitas dan kepentingan penerangan, yang menyebabkan berkurangnya tingkat keamanan.
hambatan permanen dan kenyamanan jalur pedestrian. Berdasarkan hasil interpretasi skor analisis weight means score, sebagian besar pejalan kaki pada
sementara, jalur Analisis hubungan kualitas dan Jalan Stasiun Senen menilai sangat penting pada semua variabel, kecuali variabel desain jalur
penyeberangan, fasilitas kepentingan tingkat kenyamanan pedestrian dengan nilai penting, karena responden berpendapat bahwa desain belum menjadi
penyandang disabilitas, jalur pedestrian melalui: kebutuhan yang berpengaruh besar terhadap kenyamanan pejalan kaki.
kebisingan, aroma, 1. Analisis korelasi Kendall’s Sebagian variabel berkorelasi antara kualitas dan kepentingan kenyamanan, diantaranya variabel
dimensi, dan tau-b berdasarkan hasil material penyusun, elemen pendukung, keindahan, hambatan, fasilitas penyandang disabilitas,
aksesibilitas jalur kuisioner kualitas dan kebisingan, dan aksesibilitas. Sebagian lagi tidak berkorelasi antara kualitas dan kepentingan
pedestrian. kepentingan kenyamanan kenyamanan, yaitu variabel iklim (peneduhan), keamanan, kebersihan, jalur penyeberangan,
jalur pedestrian aroma, dan dimensi. Hal tersebut menggambarkan bahwa sebagian kualitas kenyamanan jalur
2. Mengaitkan hasil analisis pedestrian di Jalan Stasiun Senen belum memenuhi keinginan pejalan kaki.
korelasi dengan hasil
observasi di lapangan.
Mamuaj 2018 Analisa Mengetahui kondisi Metode penelitian yang Kondisi eksisting jalur pedestrian ditinjau dari aspek kenyamanan berdasarkan teori tentang
a et al Tingkat eksisting dan fasilitas digunakan adalah deskriptif- kenyamanan adalah: terik matahari, pemandangan di jalur pedestrian, kejelasan sirkulasi antara
Kenyaman penunjang jalur pejalan persentase, yang menggambarkan pejalan kaki dan pengguna lain, kebisingan kendaraan, aroma tidak sedap, bentuk dan kualitas
an Pejalan kaki terkait kenyamanan keadaan eksisting subjek atau jalur pedestrian, keamanan dari tindakan kejahatan & kriminal, keamanan dari jalur pedestrian itu
18

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Kaki di pejalan kaki. objek penelitian berdasarkan sendiri (kelandaian, licin, dll). Selain itu, dimensi jalur pedestrian sudah memenuhi standar
Kota Menganalisis persepsi & fakta-fakta yang tampak atau minimum jalur pedestrian di perkotaan.
Tomohon preferensi pejalan kaki sebagaimana adanya. Hasil perhitungan analisis prioritas utama fungsi jalur pedestrian menunjukkan sebanyak 33
terkait kenyamanan jalur Metode analisis yang digunakan responden memberikan pilihan prioritas fungsi jalur khusus pejalan kaki cukup baik.
pejalan kaki. Mengkaji adalah analisis statistik yang Hasil analisis deskriptif persentase memberikan keterangan berdasarkan 50 responden pejalan
kenyamanan jalur berdasarkan pengambilan sampel kaki, bahwa kondisi eksisting tergolong dalam kriteria tingkat kenyamanan cukup baik. Rata-rata
pejalan kaki berdasarkan data. persepsi pejalan kaki umumnya merasa cukup nyaman dalam memanfaatkan jalur pedestrian.
aspek klimatik, visual, Komponen yang diharapkan responden dalam meningkatkan kenyamanan jalur pejalan kaki
dan fisik. adalah penambahan pohon peneduh di tengah jalur pejalan kaki untuk mengurangi terik matahari.
Merekomendasi
peningkatan kualitas
pelayanan jalur pejalan
kaki.
Salim et 2017 Kajian Mengkaji keadaan fisik Metode penelitian deskriptif Elemen pedestrian berdasarkan teori Rubenstein (1992) belum semua terbentuk. Material paving
al Keberadaa dan fungsi jalur pejalan kualitatif, yang memberikan jalur pedestrian belum memenuhi standar. Material eksiting tidak mudah pecah, namun tampak
n Jalur kaki sebagai gambaran mengenai kegiatan licin saat hujan, dan belum terdapat material khusus bagi penyandang cacat. Dimensi dari tinggi
Pejalan penghubung antara atau pada lokasi penelitian. dan lebar juga belum memenuhi standar. Penanda menggunakan tiang mandiri, yang sering
Kaki pada aktivitas pada koridor Dilakukan studi pustaka dan menjadi penghambat laju pejalan kaki. Peletakkan tiang penanda belum tertata dengan baik, karena
Koridor jalan utama pusat Kota penentuan batasan lokasi belum tersedia aturan tentang penanda yang menggunakan tiang mandiri. Keberadaan tanaman
Jalan Balige. penelitian untuk mempermudah peneduh yang seharusnya menciptakan kenyamanan bagi pejalan kaki, justru menjadi penghambat
Utama di Menghasilkan konsep proses analisis. laju pejalan kaki, karena akarnya merusak jalur pedestrian.
Pusat Kota perencanaan jalur Pengumpulan data dilakukan Kualitas jalur pedestrian masih jauh dari kata layak, karena keberadaannya hanya berfungsi
Balige pejalan kaki untuk melalui observasi lapangan, yaitu sebagai pelengkap sarana dan prasarana pusat Kota Balige, tanpa memperhatikan kelayakan bagi
19

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
pengembangan kawasan pengamatan kondisi jalur pejalan penggunanya. Jalur pejalan kaki Jalan Sisingamangaraja masih belum maksimal, hal tersebut
pusat kota sebagai pusat kaki yang ditinjau dari elemen ditandai dengan banyak ditemui titik jalur pedestrian yang tidak layak bagi pejalan kaki, sehingga
pelayanan komersial, jalur pedestrian. kualitas fisik jalur pejalan kaki dan fungsi penghubung (linkage) belum tercipta.
yang mendukung Metoda kualitatif digunakan Untuk menciptakan kenyaman bagi pejalan kaki, sebaiknya diciptakan elemen-elemen pedestrian
kegiatan wisata Kota untuk menganalisis data hasil yang sesuai dengan karakter Kota Balige. Selain, itu peran pemerintah diperlukan dalam penataan
Balige. observasi lapangan dan studi jalur pedestrian dan kesadaran masyarakat untuk menjaga jalur pedestrian, sehingga tujuan Kota
literatur. Balige sebagai kota wisata dapat terwujud.
Muchtar 2010 Identifika Mengidentifikasi Metode pendekatan penelitian Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan bahwa Jalan Kedoya Raya hingga Arjuna Selatan
si Tingkat permasalahan eksisting, adalah analisis deskriptif umumnya sudah dilengkapi dengan trotoar yang memenuhi standar yang berlaku, yaitu trotoar
Kenyaman kebutuhan ruang, dan persentase, untuk mengetahui berada pada sisi luar bahu jalan atau di luar jalur lalu lintas, dan dibuat sejajar dengan jalan.
an Pejalan fasilitas jalur pedestrian keadaan secara kualitatif, dengan Permasalahan terkait aspek fisik trotoar terdiri dari permasalahan pada dimensi trotoar adalah
Kaki Studi berdasarkan persepsi penafsiran persentase data penyempitan ruang gerak bagi pejalan kaki karena penggunaan trotoar oleh fungsi lain dan
Kasus pejalan kaki. kuantitatif. Pendekatannya: penempatan perlengkapan trotoar yang berada di ruang gerak bebas pejalan kaki. Masalah juga
Jalan Mengkaji kebijakan 1. Pendekatan teori untuk ditemui pada lapisan permukaan trotoar, yaitu kerusakan permukaan yang bergelombang dan
Kedoya pemerintah daerah menganalisa masalah dengan pecah, karena beratnya beban trotoar akibat tingginya intensitas pengunaan trotoar oleh pejalan
Raya- terkait jalur pedestrian merujuk pada teori. kaki, dan terbukanya penutup saluran pembuangan dari jalur lalu lintas, sehingga terbentuk
Arjuna sebagai pertimbangan 2. Tinjauan kebijakan untuk genangan air di beberapa tempat. Lapisan permukaan umumnya tidak memerlukan dan memiliki
Selatan pada pemecahan menganalisa masalah dengan kemiringan, karena trotoar menggunakan material paving blok. Pada ramp ditemui masalah trotoar
masalah. merujuk pada peraturan yang terputus dan tidak tersedi ramp tepi jalan. Permasalahan pada fasilitas penyeberangan adalah
Menganalisis kondisi pemerintah daerah. kurangnya penyediaan dan perawatan fasilitas penyeberangan. Permasalahan pada drainase adalah
fisik jalur pedestrian 3. Pendekatan lapangan melalui penutup drainase yang sudah rusak dan menonjol keluar, akibat tidak adanya perbaikan.
terhadap kebijakan, observasi langsung, guna Permasalahan pada kelengkapan fasilitas trotoar adalah tidak tersedianya lampu penerangan di
sehingga menjadi sepanjang trotoar dikarenakan dinas penerangan jalan umum belum terlibat dalam penyediaan
20

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
pertimbangan dalam mengetahui lingkungan dan lampu trotoar. Selain itu, tidak tersedia tempat duduk dan istirahat di sepanjang trotoar. Terdapat
menilai fasilitas permasalahan pedestrian. juga masalah terkait kurang memadainya jumlah halte, dan tidak tersedianya fasilitas penunjang
pedestrian berdasarkan Metode pengumpulan data primer halte seperti lampu penerangan, rute bus, telepon umum, dan tempat sampah. Lalu terdapat
kriteria kenyamanan. melalui survei primer, kuisioner, masalah terkait rambu yang tidak memadai bagi pejalan kaki, termasuk pejalan kaki dengan
Menghasilkan dan wawancara. Data sekunder keterbatas fisik, dan terdapat rambu dengan penempatan yang terhalang karena kurangnya
rekomendasi bersumber dari artikel media perhatian pemerintah terhadap kondisi kebutuhan informasi pejalan kaki.
peningkatan kualitas cetak, tinjauan pustaka dari Permasalahan pada jalur taman adalah kurangnya pepohonan dan tidak tersedianya pemisah jalan,
kenyamanan jalur perpustakaan, hasil studi, laporan, karena penanaman pohon yang sebatas kontinuitas pada satu segmen saja. Permasalahan terkait
pedestrian berdasarkan standar, dan peraturan terkait. kebersihan adalah kurangnya penyediaan tempat sampah, karena kurangnya perhatian pemerintah
hasil analisis. Metode analisis yang digunakan: dalam penyediaan sarana tempat sampah, sehingga terjadi penumpukan sampah di beberapa
Analisis aspek fisik dan non fisik tempat yang dapat menyumbat aliran drainase.
pedestrian melalui perbandingan Permasalahan terkait aspek non fisik trotoar terdiri dari berubahnya fungsi trotoar yang disebabkan
kondisi eksisting terhadap oleh keberadaan pangkalan ojek di atas trotoar. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sanksi
standar kebijakan pemerintah. yang tegas PKL, pangkalan ojek, dan pengendara yang berjualan dan menggunakan trotoar sebagai
Untuk memudahkan analisis, lahan parkir. Selain itu terdapat pengguna sepeda motor dan pelaku komersial pada trotoar, yang
perlu diketahui skor hasil mana mengganggu dan menghambat pergerakan pejalan kaki, serta membahayakan keselamatan
pengisian kuisioner oleh pejalan kaki terhadap ancaman arus lalu lintas kendaraan. Hal ini disebabakan kurangnya
responden, sehingga dapat ketegasan hukum dan pemantauan bagi pengguna trotoar selain pejalan kaki. Terdapat juga
ditentukan tetapan hasil skor. masalah terkait kurangnya perawatan kondisi trotoar yang disebabkan oleh tidak adanya tindak
Analisis persepsi pejalan kaki lanjut dan koordinasi antar instansi yang terlibat dalam pemeliharaan trotoar dan bertanggung
terhadap tingkat kenyamanan jawab terhadap kerusakan trotoar.
pedestrian. Untuk membahas Berdasarkan analisis deskriptif persentase terkait tingkat kenyamanan yang ditinjau dari aspek
hasil penelitian secara deskripsi fisik dan non fisik, didapatkan persepsi kenyamanan pejalan kaki berdasarkan 100 responden
21

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
persentase, dilakukan dengan hasil pada frekuensi tertinggi. Responden zona A menyatakan “kondisi kenyamanan
pengkualitatifan skor melalui pedestrian” 47% dibandingkan dengan 41% responden zona B. Total responden kedua zona yang
kuisioner. Hasil kuantitatif dari memilih “kondisi kenyamanan pedestrian” kurang dari 50%, sehingga dapat diambil kesimpulan
perhitungan selanjutnya diubah kurangnya kualitas kenyamanan terhadap kondisi dan penyediaan fasilitas trotoar pada lokasi
menjadi perhitungan kalimat studi. Secara keseluruhan, kondisi trotoar belum memenuhui standar, dan belum mengakomodasi
kualitatif, sehingga dapat kebutuhan fasilitas pendukung untuk kenyamanan, keamanan dan keselamatan lalu lintas pejalan
ditentukan kriteria kenyamanan kaki, termasuk pejalan kaki dengan keterbatasan fisik
pejalan kaki.
Dwisada 2022 Analisis Mengidentifikasi Pendekatan penelitian deduktif Pada tahun 2019 dilakukan revitalisasi di sepanjang jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral
na Kualitas kondisi eksisting terkait yang berlandaskan kajian pustaka Sudirman yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas fisik jalur pejalan kaki dan minat
Jalur permasalahan dan & teori terkait jalur pejalan kaki. masyarakat untuk berjalan kaki, namun hanya segmen I (Bundaran HI hingga Stasiun Dukuh Atas
Pejalan aktivitas pada jalur Metode pengumpulan data atau Taman Spot Budaya) dan segmen IV (Flyover Semanggi hingga batas selatan Jalan Jendral
Kaki Pasca pejalan kaki untuk primer, yaitu kondisi fisik jalur Sudirman) yang menjadi fokus keramaian pejalan kaki. Hal tersebut disebabkan oleh tata guna
Revitalisas menentukan segmen pejalan kaki melalui observasi lahan pada kedua segmen yang didominasi oleh aktivitas perdagangan dan jasa serta RTH.
i Koridor jalur pejalan kaki lapangan oleh peneliti, dan Kendati telah dilakukan revitalisasi, masih terdapat permasalahan pada kondisi fisik jalur pejalan
Jalan sebagai lokasi penelitian persepsi pejalan kaki melalui kaki terkait kenyamanan dan keamanan pejalan kaki, terutama pada segmen keempat, yaitu
Jendral Mengkaji pustaka terkait kuisioner bagi pejalan kaki. penyalahgunaan ruang pejalan kaki pada beberapa titik sebagai area parkir motor, perhentian
Sudirman kualitas jalur pejalan Metode analisis berjenis sementara ojek online, dan lapak PKL, serta belum tersedia fasilitas peneduh berupa pepohonan
DKI kaki, aspek fisik dan non kuantitatif dilakukan dengan: atau atap-atap pada beberapa titik saat cuaca panas, dan tempat meneduh (shelter) saat cuaca hujan.
Jakarta fisik yang analisis deskriptif hasil observasi Selain itu, terdapat bollard yang penempatannya mengganggu dan membahayakan pergerakan
mempengaruhi, dan lapangan terhadap kondisi fisik pejalan kaki, serta pejalan kaki merasa kurang aman saat melakukan penyeberangan pada ruas
metode analisisnya. (kelengkapan, keamanan, dan jalan dan persimpangan karena kondisi kecepatan arus kendaraan yang tinggi.
kenyamanan) jalur pejalan kaki,
22

Judul
Peneliti Tahun Fokus Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Mengidentifikasi dan analisis statistik deskriptif Berdasarkan hasil observasi lapangan, dapat diidentifikasi bahwa komponen yang membentuk
kelengkapan, keamanan, hasil kuisioner. kelengkapan jalur pejalan kaki adalah zonasi ruang jalur pejalan kaki, permukaan jalur pejalan kaki
dan kenyamanan jalur Analisis evaluatif kualitas jalur (surface), bahan jalur pejalan kaki (material), jalur pemandu (guiding block/tactile), pelandaian
pejalan kaki. pejalan kaki berdasarkan pada: (ramp), konektivitas jalur pejalan kaki, dan ruang terbangun kawasan. Selain itu, dapat
Menganalisis kualitas 1. hasil observasi lapangan diidentifikasi elemen pendukung keamanan pejalan kaki yang terdiri dari fasilitas penyeberangan
jalur pejalan kaki terkait dengan teknik skoring dan (crossings), rambu (signals), pembatas (curb, barrier, dan bollard), dan penerangan (lighting),
fungsi kelengkapan, pendekatan penilaian PEQI serta elemen pendukung kenyamanan pejalan kaki yang terdiri dari papan penunjuk jalan dan
keamanan, dan 2. hasil kuisioner dengan teknik informasi (signage/wayfingding), drainase (drainage), vegetasi (trees and greenways), peneduh
kenyamanan, distribusi frekuensi dan (shades), tempat duduk (seating), tempat sampah (waste bin), halte dan shelter bus.
berdasarkan kondisi pendekatan penilaian PEQI Berdasarkan hasil kuisioner, dapat diidentifikasi bahwa pejalan kaki koridor Jalan Jendral
fisik jalur pejalan kaki Sudirman didominasi oleh jenis kelamin laki-laki pada kelas umur dewasa (19-40 tahun) dengan
dan persepsi pejalan kondisi tubuh normal, yang melakukan perjalanan pada akhir pekan (weekend) secara berkelompok
kaki, sehingga dalam jumlah 3-5 orang dengan jenis aktivitas pilihan yang tidak dilakukan secara rutin dan dapat
menghasilkan klasifikasi dipengaruhi cuaca, seperti rekreasi (jalan-jalan), wisata kota, olahraga, duduk-duduk dan bersantai.
dan rekomendasi Hasil analisis skoring berdasarkan kondisi fisik jalur pejalan kaki melalui pendekatan penilaian
peningkatan kualitas PEQI diperkirakan memiliki hasil pada Kelas II, yang berarti kualitas jalur pejalan kaki dapat
jalur pejalan kaki. diterima. Hasil analisis distribusi frekuensi berdasarkan kuisioner pejalan kaki melalui pendekatan
penilaian PEQI, diperkirakan memiliki hasil pada kelas ideal, yaitu kualitas jalur pejalan kaki
sesuai dengan kebutuhan dan harapan pejalan kaki. Hasil analisis kualitas jalur pejalan kaki dapat
dijadikan gambaran kelayakan jalur pejalan kaki sebagai percontohan (benchmark) perencanaan
jalur pejalan kaki pada kawasan yang relevan.
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022
23

1.7 Posisi Penelitian dalam Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota


Berikut merupakan diagram yang dapat menjelaskan posisi dan kedudukan penelitian pada
ilmu perencanaan wilayah:

Gambar 1.3 Kerangka Posisi Penelitian


Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022
24

1.8 Kerangka Pikir


Kerangka pikir penelitian yang berbentuk diagram akan menjelaskan secara garis besar pola
pikir dan alur logika serta substansi penelitian yang dilakukan. Tujuannya adalah untuk
mempermudah penyusunan pelaksanaan penelitian agar lebih terstruktur dan menggambarkan
bagaimana proses penyusunan dan analisis data yang dilakukan. Kerangka pikir yang disusun oleh
penulis terdiri dari latar belakang, lokasi penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan,
sasaran, dan hasil penelitian. Berikut merupakan diagram kerangka pikir penelitian:

Gambar 1.4 Kerangka Pikir Penelitian


Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022
25

1.9 Sistematika Penulisan


Sistematika penelitian yaitu menjelaskan secara singkat setiap bagian-bagian pada laporan
penelitian. Laporan penelitian terdiri dari lima bab dengan penjelasan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan penelitian dengan komponen latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
sasaran penelitian, manfaat peneilitan, ruang lingkup wilayah dan materi penelitian, keaslian
penelitian, posisi penelitian, kerangka pikir dan sistematika penulisan proposal penelitian.
BAB II KAJIAN PUSTAKA JALUR PEJALAN KAKI
Kajian pustaka yang menjelaskan, mendukung, dan menjadi dasar penelitian, serta
didapatkan melalui pengkajian teori (textbook), mengutip dan menelaah beberapa jurnal ilmiah atau
penelitian, dan artikel yang relevan secara materi dan waktu penelitian. Beberapa hal yang dijelaskan
dalam kajian pustaka yaitu perancangan kota, jalur pejalan kaki, pejalan kaki, dan berjalan kaki.
BAB III GAMBARAN UMUM KORIDOR JALAN JENDRAL SUDIRMAN
Karakteristik jalur pejalan kaki sebagai objek penelitian pada wilayah studi penelitian, yaitu
jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman. Beberapa komponen yang dijelaskan mengenai
jalur pejalan kaki adalah karakteristik fisik dan non fisik jalan serta jalur pejalan kaki koridor Jalan
Jendral Sudirman, tata guna lahan dan jenis aktivitas koridor Jalan Jendral Sudirman.
BAB IV METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan mengenai kebutuhan dan jenis data yang dibutuhkan, teknik
pengumpulan data, metode atau teknik analisis, serta kerangka analisis penelitian ini.
BAB V RENCANA PELAKSANAAN PENELITIAN
Rencana pelaksanaan penelitian dengan komponen tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian,
time schedule (jadwal kegiatan), instrument penelitian dan rencana outline penelitian sebagai tugas
akhir penulis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA: JALUR PEJALAN KAKI

2.1 Perancangan Kota


Suatu kota pada hakikatnya akan senantiasa tumbuh dan berkembang, baik melalui rencana
maupun tanpa rencana kota. Kondisi yang membedakan adalah apabila suatu kota tumbuh tanpa
direncanakan terlebih dahulu, maka yang akan terjadi adalah suatu bentuk kota yang alami, tumbuh
secara spontan dan cenderung tidak dapat dikendalikan. Sebaliknya apabila suatu kota telah melalui
proses perencanaan dan perancangan yang matang, maka pertumbuhan dan perkembangan kota
menjadi lebih terarah dan dapat dikendalikan dengan baik (Anggriani, 2009).
Perancangan kota merupakan bagian dari proses perencanaan yang sangat berhubungan
dengan bentuk dan kualitas lingkungan fisik kota (Shirvani, 1985). Perancangan kota umumnya lebih
memperhatikan bentuk fisik perkotaan yang direfleksikan sebagai fasad bangunan, bentuk jaringan
jalan, dan elemen lain yang mempengaruhi bentuk wilayah perkotaan. Perancangan kota merupakan
kelanjutan dari urban planning (perencanaan kota) sebab bagaimanapun hasil perencanaan kota
belum selesai atau belum diinterpretasikan tanpa adanya rancang desain. Dalam melakukan
penelitian yang berkaitan dengan perancangan kota, terdapat kewajiban untuk mempelajari ruang
kota sebagai strukturnya secara keseluruhan.
Salah satu bentuk perancangan kota adalah mempertimbangkan perencanaan jalan utama
kawasan perkotaan yang dipenuhi oleh ruang terbangun berupa gedung eksklusif yang diselaraskan
dengan jalur pejalan kaki yang menggunakan pembatas berupa dinding kosong dan kokoh yang
mencirikan bangunan nampak dalam, yang mencirikan kondisi perkotaan pada negara besar
(Shirvani, 1985). Perancangan kota mencakup perencanaan ruang antar bangunan yang diciptakan
guna memenuhi kebutuhan aktivitas manusia sehari-hari. Terkadang perancangan kota yang tidak
maksimal mengakibatkan ketidaknyamanan pejalan kaki dalam berjalan kaki pada sepanjang jalur
pejalan kaki, karena terlalu sempitnya ruang berjalan kaki dan terlalu padatnya lalu lintas pejalan
kaki. Pada kondisi yang lainnya, beberapa pejalan kaki mengalami kondisi yang berkebalikan,
dimana mereka merasakan kondisi “kesepian” dimana mereka menjadi satu-satunya pejalan kaki
pada jalur pejalan kaki yang terlalu lebar (Shirvani, 1985).
Contoh perancangan kawasan perkotaaan yang berorientasi pada jalur pejalan kaki adalah
perencanaan ulang Kota Philadelphia yang telah berevolusi selama kurang lebih 20 tahun.
Perencanaan ulang tersebut melibatkan struktur desain yang berorientasi pada jalur pejalan kaki yang
dimulai pada bagian kota distrik Society Hill dan sebagaimana setelah itu meluas dan melibatkan
seluruh pusat kota (Bacon, 1974). Hal tersebut dikarenakan dua elemen utama yang dipertimbangkan

26
27

dalam mewujudkan struktur desain pada tahun 1960-an adalah jalur pergerakan manusia dan struktur
massa bangunana besar pada distrik Society Hill dan Washington Square (Bacon, 1974).
2.1.1 Elemen Perancangan Kota
Kegiatan rancang kota memiliki beberapa elemen perancangan yang perlu diperhatikan
sekaligus sebagai materi obyek yang patut dipertimbangkan keberadaannya. Hal tersebut juga berarti
perancangan kota harus memperhatikan keterpaduan antar elemen-elemen yang terdapat di
dalamnya, sehingga dapat menciptakan struktur kota yang berfungsi dengan baik (Anggriani, 2009).
Delapan elemen perancangan kota yang disebutkan oleh Shirvani (1985) dalam bukunya yang
berjudul ‘The Urban Design Process’, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain, dan saling terkait fungsinya, yaitu meliputi:
1. Pemanfaatan Lahan (Land Use)
Tata guna lahan adalah upaya merencanakan penggunaan lahan pada suatu kawasan,
yang menjadi salah satu faktor penentu dalam pengelolaan lingkungan. Perencanaan tata
guna lahan merupakan sebuah aktivitas penilaian secara sistematis terhadap potensi lahan
dalam rangka untuk memilih, mengadopsi, dan menentukan jenis penggunaan lahan terbaik
pada suatu ruang berdasarkan potensi dan kondisi eksisting guna meningkatkan
produktivitas dan ekuitas serta menjaga kualitas lingkungan (Sumbangan, 2012).
Tata guna lahan dan aktivitas pejalan kaki dapat menggambarkan beberapa isu utama
perancangan kota. Aktivitas pada tingkat jalur pejalan kaki dapat membentuk ruang yang
manusiawi, nyaman, dan aman, sehingga penting untuk mempertimbangkan tata guna lahan
melalui dua perspektif, yaitu menyeluruh dan pada tingkat pejalan kaki (Shirvani, 1985).
2. Tata Bangunan (Building Form and Massing)
Tata bangunan merupakan aktivitas perencanaan bentuk fisik bangunan yang mencakup
tinggi bangunan, batas garis sempadan bangunan, kepejalanan bangunan, penutupan lahan
yang meliputi KLB dan KDB. Terdapat pula pengaturan skala bangunan, material,
penggunaan bahan, serta warna bangunan.
Bangunan yang mewadahi aktivitas pejalan kaki, seperti perdagangan dan jasa, retail,
restoran, dan hiburan, dapat meningkatkan aktivitas pada tingkat jalur pejalan kaki, dan
minat masyarakat untuk menggunakan jalur pejalan kaki. Kafe, pedagang kaki lima, dan
kegiatan publik lainnya perlu didorong guna meningkatkan penggunaan jalur pejalan kaki
dalam menampung aktivitas dan keperluan penggunanya (Shirvani, 1985).
3. Sirkulasi dan Perparkiran (Circulation and Parking)
Elemen sirkulasi merupakan salah satu alat yang paling kuat dalam membentuk dan
menata lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat membentuk, mengarahkan, dan mengatur pola
aktivitas dan perkembangan kawasan perkotaan, begitu juga sistem transportasi pada jalan,
28

jalur pejalan kaki, dan ruang transit yang menyambungkan dan memfokuskan pergerakan
masyarakat. Sirkulasi juga menjadi prinsip penataan kota, yaitu dengan mendefinisikan dan
menjadi karakter pada bentuk perkotaan sebagai distrik atau area (Shirvani, 1985).
Dalam membentuk sirkulasi kawasan yang ideal, diperlukan elemen jaringan jalan yang
berfungsi sebagai penghubung antar ruang pada kawasan, dengan orientasi yang jelas bagi
penggunanya. Beberapa fungsi bangunan pada kawasan perkotaan seperti perparkiran belum
terintegrasi dengan jalur pejalan kaki, sehingga belum layak bagi bangunan yang berada atau
berorientasi (menghadap) pada jalur pejalan kaki (Shirvani, 1985).
4. Ruang Terbuka (Open Space)
Ruang terbuka memiliki beberapa interpretasi, yaitu dalam konteks perancangan kota
sebagai landscape, hardscape (jalan dan jalur pejalan kaki), taman, dan ruang rekreasi.
Ruang terbuka juga dapat didefinisikan sebagai ruang berupa tanah, air, dan penerangan
yang tidak tertutup oleh ruang terbangun (bangunan atau kendaraan). Ruang terbuka juga
dideskripsikan dari sudut pandang pengguna sebagai ruang yang memungkinkan untuk
berbagai jenis aktivitas seperti aktivitas penting, opsional, dan social (Gehl, 1987). Ruang-
ruang kosong yang terbengkalai pada kawasan perkotaan dapat terbentuk karena pembaruan
ruang kota yang tidak memanfaatkan ruang terbuka, sehingg hal tersebut menjadi cara utama
dalam menggolongkan ruang terbuka pada kawasan perkotaan (Shirvani, 1985).
Elemen ruang terbuka terdiri dari taman, alun-alun, plaza, ruang terbuka hijau,
begitupun jalur pejalan kaki, pengairan, paving, dan berbagai objek lain yang dapat
ditemukan pada ruang publik. Jalur pejalan kaki dan fasilitas publik lainnya juga termasuk
dalam elemen ruang terbuka (Shirvani, 1985). Ruang terbuka selalu menjadi elemen yang
membentuk dan menciptakan area yang penting, sehingga penting dalam pertimbangan
perancangan kota. Kunci elemen ruang terbuka adalah desainnya yang tidak hanya menjadi
tambahan dalam proses perancangan kota, namun menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari ruang terbangun (Shirvani, 1985).
Pengaturan spasial menjadi salah satu kunci yang harus dipertimbangkan dalam
merencanakan ruang terbuka atau mengembangkan lingkungan perkotaan. Heckscher (1977)
mengatakan bahwa, model perencanaan ruang terbuka pada kawasan perkotaan di Eropa
tidak selalu dapat diterapkan pada kawasan perkotaan lainnya, karena ketidaksesuaian
karakteristik lingkungan, sehingga harus dilakukan penyesuaian apabila ingin mengadaptasi
desain ruang terbuka guna menampung aktivitas sesuai karakteristik penggunanya.
Penyesuaiannya termasuk jalur pejalan kaki, jalur sepeda, area berjalan yang bernilai
historis, area perbatasan pengairan (waterfront), dan ruang terbuka sebagai penghubung blok
bangunan dengan aktivitas yang berbeda seperti budaya, komersial, dan pemerintahan.
29

5. Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)


Jalur pejalan kaki pada kawasan perkotaan memiliki fungsi utama, yaitu sebagai sistem
penghubung kota, sebagai ruang terbuka publik perkotaan, serta sebagai pembatas antar
bangunan. Bagi pejalan kaki, jalur pejalan kaki merupakan sarana untuk memenuhi aktivitas
pada sektor formal maupun informal, yang dapat menghidupkan ruang terbuka pada kawasan
perkotaan melalui perancangan yang terintegrasi antar kedua elemen tersebut. Jalur pejalan
kaki menjadi elemen yang penting dalam perancangan kota karena tidak lagi hanya
berorientasi pada keindahan, tetapi juga pada kenyamanan penggunanya (Anggriani, 2009).
Elemen jalur pejalan kaki seharusnya dapat membantu interaksi antara elemen dasar
perancangan kota, melalui integrasi dengan ruang terbangun, pola aktivitas masyarakat, dan
penyesuaian terhadap perubahan dan perkembangan struktur fisik kota (Shirvani, 1985).
Isu utama pada perencanaan jalur pejalan kaki adalah mengenai keseimbangan antara
jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki, yaitu interaksi antar pejalan kaki dan pengendara.
Pemanfaatan keseimbangan jalur pejalan kaki juga harus mendukung kelayakan dan daya
tarik ruang publik, serta mendukung aktivitas lain seperti aksesibilitas, properti individu, dan
bongkar muat. Selanjutnya, fasilitas umum pada jalur pejalan kaki harus dipertimbangkan
sebagai elemen pendukung pejalan kaki, seperti tempat duduk, penghijauan, pencahayaan,
dan lainnya, karena hingga saat ini perhatian terhadap kelengkapan dan pemanfaatan fungsi
elemen pendukung tersebut masih kurang (Shirvani, 1985).
6. Aktivitas Pendukung (Activity Support)
Aktivitas pendukung merupakan aktivitas yang tumbuh dan berkembang karena adanya
satu atau lebih aktivitas utama pada kawasan perkotaan, dan bersifat mendukung aktivtas
utamanya. Aktivitas pendukung yang membentuk ruang publik kawasan perkotaan, meliputi
fungsi (kegunaan) dan aktivitas ruang, karena aktivitas dan bentuk fisik ruang selalu
melengkapi. Bentuk, lokasi, dan karakteristik suatu ruang dapat mempengaruhi fungsi,
kegunaan, dan aktivitas pada ruang tersebut. Desain kawasan perkotaan dapat menarik
beberapa jenis aktivitas dan kegiatan, karena keterkaitan antara ruang dan aktivitasnya
merupakan elemen yang berpengaruh dalam perancangan kota (Shirvani, 1985).
Aktivitas pendukung kerap direncanakan dan ditempatkan tanpa pemahaman terhadap
cara kerja, dampak, dan implikasinya terhadap perkembangan kawasan perkotaan. Sebagai
contoh, pemanfaatan mall (pusat perbelanjaan) menjadi kurang efektif bila belum menjadi
penghubung antar dua pusat aktivitas (Shirvani, 1985). Begitupun jalur pejalan kaki, yang
tidak hanya berperan penting pada kawasan perkotaan, namun pada setiap kawasan dengan
aktivitas yang menimbulkan mobilisasi penggunanya dengan berjalan kaki.
30

Integrasi antara aktivitas dalam dan luar ruang terbangun juga menjadi dimensi yang
penting dalam perencanaan aktivitas pendukung, sehingga diperlukan koordinasi antara
aktivitas pendukung dengan kondisi lingkungannya. Sebagai contoh akses jalur pejalan kaki
dengan atraksi, yang dalam segi desain fisik, target ini menentukan tujuan, jalan masuk, dan
tata guna lahan yang jelas, yaitu aktivitas retail dan pelayanan. Outdoor café (kafe luar
ruangan) merupakan contoh teknik desain dan pemasaran yang mengkombinasikan beberapa
fitur tersebut dengan menggabungkan jalan dan bangunan. (Whyte, 1980).
7. Rambu (Signage)
Signage merupakan elemen visual berupa penanda yang berfungsi memberi informasi
mengenai penunjuk tempat, identifikasi suatu tempat, peraturan, peringatan dan pelarangan
bagi pengguna kawasan. Pada kawasan perkotaan, tentunya jumlah signage semakin
meningkat karena munculnya atau berubahnya berbagai aktivitas di berbagai area kawasan
perkotaan, sehingga diperlukan keseimbangan signage untuk kepentingan ruang umum dan
privat, agar dampak visual tidak berlebihan. (Shirvani, 1985)
Penanda sebagai iklan, sudah menjadi salah satu elemen visual yang penting dan terus
mengalami peningkatan, serta tidak terlepas dari kontroversi pada kawasan perkotaan.
Dampak dan pengaruh penanda terhadap kualitas lingkungan perkotaan perlu
dipertimbangkan. Bila dilihat dari sudut pandang perancangan kota, desain dan ukuran
penanda sebagai iklan seharusnya memiliki ketentuan tersendiri yang terspesifikasi secara
langsung dan tidak langsung, guna mendukung kesesuaian kualitas visual dan mengurangi
kebingungan, serta konflik terhadap rambu lalu lintas (Shirvani, 1985).
Studi jalur pejalan kaki yang dilakukan di The Charlotte Uptown menunjukkan contoh
penanda yang tidak difungsikan dengan baik, yang ditandakan dengan penanda yang
memiliki informasi publik yang saling bertentangan, membingungkan, tidak jelas, tidak
lengkap, dan mirip, sehingga diperlukan penekanan pentingnya desain penanda pada kualitas
visual kawasan perkotaan secara menyeluruh. Contoh lain adalah Kota Boston yang telah
menempatkan pedoman pengadaan penanda pada kerangka hukum, sehingga menandakan
kepentingan kota dalam mewujudkan dan menjamin kualitas visual (Shirvani, 1985).
8. Preservasi dan Konservasi (Preservation)
Preservasi merupakan sudut pandang (kepentingan) mengenai bentuk dan struktur
ruang yang membentuk suatu kawasan melalui nilai sosial budaya berdasarkan sejarah
kawasan. Preservasi tidak hanya berfokus pada nilai sejarahnya, namun juga pada struktur
ruang kondisi eksisting, baik yang permanen atau sementara. Preservasi dalam peracangan
kota dilakukan karena pada dasarnya aktivitas pada ruang dengan nilai sejarah tidak dapat
31

dipindahkan atau ditiadakan, karena aktivitas tersebut yang membentuk struktur ruang
dengan karakteristik penggunanya seiring berjalannya waktu (Shirvani, 1985).
Preservasi dalam perancangan kota merujuk pada pelestarian dan perlindungan ruang
dengan nilai sejarah. Bukan untuk mengatakan bahwa semua ruang harus dilestarikan,
melainkan usaha untuk melestarikan harus dilakukan selama ruang tersebut vital atau
memiliki peran yang penting terhadap perekonomian dan kebudayan kota. Preservasi juga
berfokus pada pelestarian aktivitas, khususnya aktivitas pada lokasi bersejarah yang dapat
dipertahankan dan disesuaikan dengan struktur ruangnya. Preservasi sudah menjadi salah
satu fokus perancangan kota, dan pembelajarannya telah menekankan kepada para ahli,
bahwa pelestarian dan pengembangan lokasi bersejarah dapat menarik masyarakat untuk
menggunakan ruang tersebut. Contohnya adalah Vieux Carre di New Oorleands,
Georgetown, Washington D.C., dan Ghiradelli Square di Kota San Fransisco.

2.2 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)


2.2.1 Definisi Jalur Pejalan Kaki
Pedestrian berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata pedos yang berarti kaki, sehingga
pedestrian dapat diartikan sebagi orang yang berjalan kaki. Jalan (ways) merupakan media di atas
permukaan bumi yang memudahkan manusia dalam mencapai tujuannya, maka pedestrian ways
memiliki arti pergerakan atau perpindahan manusia dari satu tempat menuju tempat lain dengan
berjalan kaki (Iswanto, 2006). Jalur pejalan kaki dalam konteks perkotaan dimaksudkan sebagai
ruang khusus pejalan kaki yang berfungsi sebagai sarana pencapaian yang dapat melindungi pejalan
kaki dari bahaya mendatang seperti kendaraan bermotor. Masyarakat Indonesia lebih mengenal
istilah trotoar sebagai jalan khusus memanjang sebagai ruang umum berjalan kaki (Iswanto, 2006).
Jalur pejalan kaki merupakan ruang dari koridor sisi jalan yang secara khusus digunakan
orang untuk berjalan kaki, biasanya di sepanjang sisi jalan, dan menjadi bagian dari jalan yang
berfungsi secara khusus sebagai pemisah ruang sirkulasi pejalan kaki dan sirkulasi kendaraan. Jalur
pejalan kaki merupakan penghubung antar lokasi dan antar moda transportasi (Fruin, 1979). Jalur
pejalan kaki juga menjadi alat transportasi yang berguna untuk menghubungkan satu fungsi kawasan
dengan kawasan lainnya, seperti kawasan perdagangan, kawasan budaya, dan kawasan permukiman,
sehingga suatu kota menjadi lebih manusiawi (Gideon, 1977).
Rubenstein (1992) mendefinisikan jalur pejalan kaki sebagai sarana pergerakan, sirkulasi,
dan perpindahan manusia dari satu titik asal (origin) menuju titik lain sebagai tujuan (destination)
dengan berjalan kaki, atau dapat dikatakan sebagai ruang menuju suatu tempat yang secara fisik
terletak pada sisi jalan, atau ruang transisi yang menghubungkan bangunan dengan jalan.
32

Sejak dahulu, perancangan desain jalur pejalan kaki kawasan perkotaan selalu
dikesampingkan. Shirvani (1985) mengemukakan bahwa jalur pejalan kaki merupakan elemen yang
penting dalam perancangan kota, bukan hanya menjadi program yang memperindah lingkungan kota.
Begitu juga yang dikemukakan oleh Mauliani et al (2010), jalur pejalan kaki merupakan salah satu
kelengkapan suatu kota, yang kehadirannya sangat dibutuhkan oleh publik dalam kota, agar dapat
bergerak dengan mudah, aman, dan nyaman dari tempat asal menuju tujuan.
Jalur pejalan kaki merupakan komponen penting dalam kawasan perkotaan terutama pada
pusat perkotaan berupa zona komersial (perkantoran, perdagangan dan jasa), karena pengguna
membutuhkan tempat yang memadai untuk mengakses kawasan secara mudah (praktis), cepat, dan
efektif (Simanjuntak et al, 2011). Keberadaan jalur pejalan kaki pada kawasan perkotaan dapat
mendukung aktivitas komersial dan mewadahi aktivitas sosial masyarakat.
Jalur pejalan kaki menjadi salah satu bagian yang membentuk jaringan jalan sebagai
complete streets. Pada dasarnya, istilah complete streets merujuk pada jalan yang dapat
mengakomodasi berbagai pengguna jalan berdasarkan keberagaman gender, usia, dan kemampuan
fisik. Selain itu, jalan yang dimaksud harus aman, nyaman, dan lengkap melalui desain yang sesuai
dengan kebutuhan pejalan kaki. Perlu dipahami bahwa dalam perwujudan complete streets, pola pikir
penggunaan jalan juga seharusnya berubah dengan menempatkan ruang pejalan kaki terlebih dahulu
sebelum jalur kendaraan bermotor (Tanan, 2011). Adapun pola pikir untuk membagi ruang yang
berorientasi pada perwujudan complete streets adalah sebagai berikut:
1. Memastikan terlebih dahulu, bahwa terdapat ruang jalan yang dapat mengakomodasi
ruang untuk pejalan kaki. Apabila jalan yang dimaksud belum memiliki jalur pejalan
kaki, maka dahulukan pengadaan ruang pejalan kaki.
2. Menyelenggarakan ruang untuk pesepeda berupa jalur yang aman dan dipisahkan secara
fisik, atau juga dapat berupa jalur berbagi dengan moda lainnya.
3. Setelah ruang berjalan dan bersepeda tersedia, maka tambahkan ruang untuk
transportasi umum berbasis jalan, yakni bus. Ruang yang dimaksud terdiri dari jalur bus
dan fasilitas pendukungnya seperti halte dan shelter bus.
4. Kemudian barulah disediakan ruang untuk kendaraan bermotor. Jalur kendaraan dapat
digunakan baik itu mobil pribadi, taksi, motor, dan lain sebagainya.
5. Bila terdapat sisa ruang, dapat digunakan untuk mendukung tata guna lahan dan
aktivitas kawasan, seperti penambahan parkir on-street (kantung parkir).
2.2.2 Fungsi dan Manfaat Jalur Pejalan Kaki
Jalur pejalan kaki berfungsi sebagai fasilitas pergerakan bagi semua pejalan kaki, termasuk
dengan keterbatasan fisik, dimana penggunanya merasa mudah, lancar, aman, dan nyaman dalam
bergerak (Shirvani, 1985). Jalur pejalan kaki juga berfungsi sebagai penghubung ke berbagai obyek
33

alami ataupun buatan yang dapat dilalui manusia dengan berjalan kaki. Menurut Unterman (1984),
fungsi utama jalur pejalan kaki adalah memberikan fasilitas untuk pejalan kaki sehingga
meningkatkan kualitas pada aspek kelancaran, keamanan, dan kenyamanan.
Fungsi utama jalur pejalan kaki adalah sebagai wadah yang menjaga keamanan pejalan kaki
dan menghilangkan rasa takut, baik terhadap kendaraan maupun sesama pejalan kaki saat bergerak
dari satu tempat menuju tempat lain, bahkan jalur pejalan kaki menjadi sistem kenyamanan dan
elemen pendukung bangunan retail dan area vital kawasan perkotaan (Shirvani, 1985). Jalur pejalan
kaki juga berfungsi sebagai ruang yang mampu menampung pejalan kaki dan masyarakat di
sekitarnya untuk beraktivitas, atau sebagai wadah aktivitas kawasan, sekaligus menjadi ruang terbuka
untuk melakukan kontak sosial, rekreasi, bahkan perdagangan dan jasa (Kaliongga et al, 2014).
Fungsi jalur pejalan kaki yang disesuaikan dengan perkembangan kota adalah sebagai
fasilitas pejalan kaki, unsur keindahan kota, media interaksi sosial, sarana konservasi kota, tempat
berkreasi, bersantai, dan bermain (Anggriani, 2009). Keberadaan jalur pejalan kaki dapat memberi
kesan ramah pejalan kaki (walkable) dan mendukung livability kawasan perkotaan, oleh karena itu
fungsi jalur pejalan kaki harus terjaga dan tidak dapat dialihfungsikan.
Seperti yang telah dikemukakan Shirvani (1985), jalur pejalan kaki harus dapat difungsikan
secara maksimal dan dapat memberikan rasa nyaman bagi pejalan kaki. Salah satu contoh penerapan
sistem jalur pejalan kaki yang baik terdapat di pusat Kota Minneapolis, Amerika Serikat, dengan
peran elemen jalur pejalan kaki dan skyway system yang terintegrasi dan saling melengkapi. Menurut
Murtomo et al (1991) jalur pejalan kaki pada kawasan perkotaan mempunyai manfaat terhadap
perkembangan kehidupan kota, antara lain:
1. Pedestrianisasi dapat menumbuhkan aktivitas sehat yang mengurangi kriminalitas.
2. Pedestrianisasi dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomi, sehingga menumbuhkan
kawasan bisnis yang menarik.
3. Pedestrianisasi menguntungkan sebagai ajang kegiatan promosi, pameran, periklanan,
kampanye dan lain sebagainya.
4. Pedestrianisasi dapat menarik bagi kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual.
5. Pedestrianisasi mampu menghadirkan suasana dan lingkungan yang spesifik, unik dan
dinamis di lingkungan pusat kota.
6. Pedestrianisasi berdampak pula terhadap upaya penurunan tingkat pencemaran udara
dan suara karena berkurangnya kendaraan bermotor yang lewat
2.2.3 Urgensi Perencanaan Jalur Pejalan Kaki
Suatu ruas jalan dianggap perlu dilengkapi dengan jalur pajalan kaki apabila di sepanjang
jalan terdapat penggunaan lahan yang memiliki potensi menimbulkan aktivitas pejalan kaki.
Bangunan dengan fungsi formal seperti perkantoran, bank, dan lainnya cenderung menciptakan
34

aktivitas jalur pejalan kaki yang rendah dan seharusnya tidak dikembangkan sebagai fungsi utama
ruang di sepanjang jalur pejalan kaki (Shirvani, 1985). Ian Bentley (1985) menyatakan bahwa hampir
semua jaringan jalan dirancang untuk penggunaan gabungan yang mencakup kendaraan bermotor
dan pejalan kaki, maka dari itu perlu adanya perancangan secara terperinci sehingga kendaraan
bermotor tidak mengalahkan pejalan kaki.
Kawasan yang dapat dilalui dengan berjalan kaki (walkable environment) memerlukan
rancangan jalur pejalan kaki yang nyaman (Lubis, 2018). Muslihun (2013) mengemukakan bahwa,
jalur pejalan kaki direncanakan sesuai dengan kebijakan dan standar (ketentuan) perencanaan jalur
pejalan kaki dengan mempertimbangkan dan mengutamakan aspek kenyamanan dan keamanan
pejalan kaki (Wicaksono et al, 2019). Terkadang dalam perencanaan kota, jalur pejalan kaki
terlupakan untuk dirancang agar memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Beberapa situasi yang
telah diteliti dan diidentifikasi oleh Whyte (1980) menjadi bukti bahwa terdapat beberapa acuan atau
aturan dalam merancang dan mendesain sistem jalur pejalan kaki.
The Uptown Pedestrian, merupakan studi perancangan kota yang disiapkan oleh pemerintah
Kota Charlotte, Carolina Utara untuk menjadi contoh perencanaan dan desain jalur pejalan kaki
secara detail. Studi tersebut membagi isu jalur pejalan kaki menjadi tiga grup, yaitu fungsi dan
kebutuhan, serta kenyamanan psikologis dan fisik. Pedoman perencanaan dan desain menjadi
penyelesaian setiap isu yang berfokus pada karakteristik pejalan kaki, lalu menyarankan jenis
fasilitas publik yang harus diadakan sebagai elemen pendukung jalur pejalan kaki (Shirvani, 1985).
Sejatinya, tidak ada solusi instan yang dapat menyelesaikannya permasalahan pada jalur
pejalan kaki secara umum. Konteks permasalahan kawasan dan koordinasi fungsi serta sistem
transportasi, merupakan kunci utama dalam merencanakan jalur pejalan kaki. Pengubahan
keseimbangan ruang jalan untuk meningkatkan alur pejalan kaki, sebagai contoh dapat menjadi isu
yang kompleks terkait aktivitas pendukung di sepanjang sarana jalan tersebut. Ketentuan tersebut
tentunya berada pada peraturan yang ditetapkan oleh instansi pemerintah setempat (Wood, 1988).
2.2.4 Tipologi Jalur Pejalan Kaki
Jalur pejalan kaki memiliki beberapa jenis tipologi yang didasarkan pada fungsi, bentuk atau
struktur fisiknya, dan lokasi penggunaannya. Menurut Anggriani (2009) tipologi jalur pejalan kaki
berdasarkan lokasi penggunaannya dan struktur fisiknya adalah sebagai berikut:
35

1. Jalur pejalan kaki di sisi jalan (sidewalk), yaitu bagian dari sistem jalur pejalan kaki
yang berada di tepi jalan raya hingga bagian terluar lahan milik bangunan. Berikut
merupakan perspektif jalur pejalan kaki di sisi jalan:

Gambar 2.1 Perspektif Sidewalk


Sumber: Anggriani, 2009

2. Jalur pejalan kaki di sisi perairan (promenade), yaitu ruang bagi pejalan kaki dengan
salah satu sisinya berbatasan dengan kawasan air. Berikut merupakan perspektif jalur
pejalan kaki di sisi perairan:

Gambar 2.2 Perspektif Promenade


Sumber: Anggriani, 2009

3. Jalur pejalan kaki pada kawasan komersial (arcade), merupakan ruang bagi pejalan kaki
yang letaknya berdampingan dengan bangunan perdagangan dan jasa atau perkantoran.
Jalur pejalan kaki pada kawasan komersial (pusat kota) harus dirancang untuk
mengakomodir volume yang lebih besar dari pejalan kaki. Berikut merupakan
perspektif jalur pejalan kaki pada kawasan komersial:
36

Gambar 2.3 Perspektif Arcade


Sumber: Anggriani, 2009

4. Jalur pejalan kaki pada RTH (green pathway), yaitu ruang pejalan kaki yang berada di
antara ruang terbuka hijau, dan menjadi pembatas antara ruang hijau dan ruang sirkulasi
pejalan kaki, sehingga pejalan kaki tidak berjalan di atas vegetasi. Ruang ini
menyediakan penyangga terhadap sirkulasi kendaraan, dan dapat dilengkapi dengan
fasilitas pendukung. Berikut merupakan perspektif jalur pejalan kaki pada RTH:

Gambar 2.4 Perspektif Green Pathway


Sumber: Anggriani, 2009

5. Jalur pejalan kaki bawah tanah (underground), yaitu ruang pejalan kaki yang berada di
bawah permukaan tanah atau merupakan bagian dari suatu bangunan di atasnya. Berikut
merupakan perspektif jalur pejalan kaki bawah tanah:

Gambar 2.5 Perspektif Underground


Sumber: Anggriani, 2009
37

6. Jalur pejalan kaki di atas tanah (elevated), yaitu ruang pejalan kaki berupa fasilitas
penyebarangan tidak sebidang. Jalur pejalan kaki ini biasanya dibangun agar jalur
pejalan kaki tidak saling terputus dan memudahkan pergantian jalur yang berbeda.
Berikut merupakan perspektif jalur pejalan kaki di atas tanah:

Gambar 2.6 Perspektif Elevated


Sumber: Anggriani, 2009

2.2.5 Karakteristik Fisik Jalur Pejalan Kaki


Perancangan elemen jalur pejalan kaki memperhatikan standar minimum perancangan jalur
pejalan kaki, sesuai dengan tuntutan pemakaian oleh pengguna kawasan dengan berbagai kebutuhan
dan aktivitasnya. Kenyamanan merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan fisik jalur pejalan
kaki. Keselamatan juga memiliki peran yang penting pada desain fisik jalur pejalan kaki beserta
elemen pendukungnya (Whyte, 1980). Selain itu, kondisi fisik jalur pejalan kaki harus menyediakan
kelancaran bagi pejalan kaki dengan merancang sesuai dengan tuntutan pemakaian masyarakat
pengguna kawasan dengan berbagai karakteristik dan kebutuhan aktivitasnya (Shirvani, 1985).
Menurut Anggriani (2009), kondisi fisik atau komponen yang membentuk jalur pejalan kaki
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu elemen pembentuk dan elemen pendukung jalur pejalan kaki.
Perencanaan elemen jalur pejalan kaki memerlukan pendekatan secara optimal terhadap lokasi jalur
pejalan kaki. Selain itu, pertimbangan komposisi, warna, bentuk, ukuran dan tekstur juga menjadi
penting dalam perencanaan elemen jalur pejalan kaki. Berikut merupakan penjelasan elemen jalur
pejalan kaki beserta komponennya, yaitu:
2.2.5.1 Elemen Pembentuk Jalur Pejalan Kaki
Elemen pembentuk jalur pejalan kaki terdiri dari zonasi ruang jalur pejalan kaki, permukaan
jalur pejalan kaki, material komponen (fasilitas) jalur pejalan kaki, konektivitas jalur pejalan kaki,
dan ruang terbangun kawasan (Anggriani, 2009). Selain itu terdapat fasilitas yang mendukung
kelengkapan jalur pejalan kaki sebagai complete streets, yaitu pelandaian (ramp) pada perbedaan
ketinggian dan jalur pemandu (guiding block) bagi penyandang tuna netra (ITDP, 2019). Berikut
merupakan ketentuan elemen yang membentuk dan melengkapi jalur pejalan kaki:
38

1. Zonasi (pembagian ruang) jalur pejalan kaki


Kawasan pusat kota mengakomodir volume pejalan kaki yang lebih besar dibanding
kawasan lainnya. Jalur pejalan kaki pada kawasan ini difungsikan untuk berbagai tujuan,
yang dimaksudkan agar dapat melayani pejalan kaki dengan nyaman dan aman (Anggriani,
2009). Berikut merupakan visualisasi pembagian ruang pada jalur pejalan kaki:

Gambar 2. Zonasi Jalur Pejalan Kaki


Sumber: ITDP, 2019

Melihat ilustrasi di atas, ruang jalur pejalan kaki terdiri dari empat zona yang dapat
dibedakan berdasarkan fungsinya, dengan urutan dan ketentuan sebagai berikut:
a. Zona bagian depan gedung (frontage zone) adalah area antara dinding (fasad)
gedung dan zona pejalan kaki. Pejalan kaki dapat merasa tidak nyaman bila
berjalan berdekatan dengan dinding gedung atau pagar, untuk itu perlu ada jarak
minimum yang berukuran 0,6 meter dari sisi depan gedung, atau tergantung pada
penggunaan kawasan. Zona bagian depan gedung dapat ditingkatkan sebagai ruang
tambahan bagi pembukaan pintu di sisi jalan atau kegiatan lainnya.
Penyandang tuna netra dapat menggunakan suara atau getaran dari gedung yang
berdekatan sebagai orientasi pergerakan pada zona bagian depan gedung. Selain
itu, pengguna tongkat tuna netra harus dapat mendeteksi zona ini melalui
penyediaan jalur pemandu yang berjarak 0,3 hingga 1,2 meter dari sisi depan
bangunan, yang juga terbebas dari berbagai halangan atau objek yang menonjol.
b. Zona pejalan kaki (pedestrian zone) adalah area sisi koridor jalan yang secara
khusus digunakan bagi pejalan kaki. Penyediaan ruang pejalan kaki harus bersifat
39

humanis, yaitu tersedia ruang yang cukup lebar untuk mengakomodasi berbagai
karakteristik pejalan kaki. Ruang jalur pejalan kaki minimal memiliki lebar 1,5
hingga 1,8 meter, yang didasarkan pada kebutuhan ruang orang dewasa dan
kebutuhan ruang untuk mendahului dikarenakan kecepatan berjalan yang berbeda-
beda (ITDP, 2019). Lebar ruang pejalan kaki tidak boleh kurang dari 1,2 meter,
yang merupakan kebutuhan lebar minimum orang yang membawa barang.
Jalur pejalan kaki pada jalan arteri atau jalan utama memiliki lebar minimal 1,8
meter untuk memenuhi tingkat pelayanan yang diinginkan sesuai fungsi kawasan,
khususnya pada kawasan dengan intensitas pejalan kaki yang tinggi, sehingga
memberi kesempatan bagi pejalan kaki untuk berjalan berdampingan atau
beberlawanan arah satu dengan yang lain (Anggriani, 2009).
Ruang pejalan kaki memiliki kebebasan vertical minimal setinggi 2,5 meter, dan
jarak terhadap tepi badan jalan minimal selebar 1 meter. Ruang pejalan kaki juga
harus terbebas dari halangan berupa penghalang vertical atau objek menonjol, yang
berbahaya bagi pejalan kaki, terutama penyandang keterbatasan penglihatan, yang
juga mengganggu aktivitas pejalan kaki, karena mengurangi ruang berjalan dan
mengganggu pergerakan pejalan kaki (Anggriani, 2009).
Aktivitas olahraga termasuk bersepeda diperbolehkan, jika lebar jalur pejalan kaki
memungkinkan, yaitu minimal 2,5 meter (1,5 meter bagi pejalan kaki dan 1 meter
bagi pesepeda). Pada kondisi volume pejalan kaki tinggi, harus disediakan jalur
khusus untuk bersepeda minimal selebar 1 meter untuk satu arus sepeda (Neufert,
1996). Untuk arcade dan promenade yang berada di daerah komersial atau wisata
kota harus memiliki area untuk window shopping atau fungsi sekunder minimal
selebar 2 meter (ASCE, 1981). Ruang tambahan juga diperlukan untuk tempat
pemberhentian pejalan kaki dan halte atau shelter bus.
Halangan yang diakibatkan oleh situasi konstruksi sementara harus disertai dengan
jalur pejalan kaki alternatif dengan ruang yang cukup untuk mengakomodasi dan
menjaga keamanan pejalan kaki. Diperlukan pemisahan pejalan kaki dari konflik
dengan kendaraan pada area konstruksi, yaitu melalui penyediaan fasilitas ruang
pejalan kaki berupa jalur yang aman, nyaman, dan mudah diakses. Beberapa
ketentuan jalur pejalan kaki pada area konstruksi adalah lebar minimal mengikuti
jalur pejalan kaki, yaitu 1,5 meter, namun bila kondisi tidak memungkinkan, maka
cukup 0,75 meter, dengan penggunaan pagar setinggi 1 hingga 1,2 meter, dan bila
konstruksi berdurasi singkat atau pada lokasi dengan kecepatan lalu lintas rendah,
maka cukup menggunakan kerucut atau barikade.
40

c. Zona fasilitas pendukung (street furniture zone) merupakan zona dengan lebar
minimal 1,5 meter, yang berfungsi sebagai penyangga, dan diperuntukkan sebagai
penempatan fasilitas pendukung jalur pejalan kaki. Adanya konflik yang erat antara
pejalan kaki dengan kendaraan bermotor menjadi sebab fasilitas pendukung harus
terletak di pinggir jalur kendaraan. Zona ini berfungsi sebagai penahan antara zona
pembatas dengan zona pejalan kaki, dan dibuat sehingga penempatan fasilitas
pendukung tidak mengganggu pergerakan pejalan kaki.
d. Zona pembatas (buffer zone) merupakan bagian integral dari jalan yang memiliki
fungsi keamanan sebagai pembatas (pemisah) antara zona kendaraan dengan zona
pejalan kaki, sehingga pejalan kaki merasa lebih aman saat berjalan. Perbedaannya
dengan pembatas, yaitu zona pembatas dapat dimanfaatkan sebagai jalur hijau,
jalur sepeda, atau area parkir. Zona pembatas disaranakan memiliki lebar 0,3 meter
bila dilengkapi pembatas, dan tidak lebih sempit dari 0,5 meter bila tidak
dilengkapi pembatas. Diperlukan juga jalur pelindung ekstra selebar 0,75 meter
bila berdampingan atau bersamaan dengan jalur sepeda (Neufert, 1996).
2. Permukaan jalur pejalan kaki
Permukaan jalur pejalan kaki harus menyesuaikan ukuran standar manusia dan memberi
kemudahan bagi pejalan kaki, agar menimbulkan rasa nyaman dan kebebasan melangkah
(Hakim et al, 2002). Permukaan jalur pejalan kaki harus luas dan terbebas dari hambatan,
dengan kualitas yang baik, dan dilengkapi penghijauan, sehingga memberi fungsi keamanan
dan kenyamanan (Lamour et al, 2019). Hasil penelitian Prijadi et al (2014) mengungkapkan
bahwa permukaan jalur pejalan kaki yang meliputi struktur, dimensi, warna dan tekstur
berpengaruh terhadap kenyamanan pejalan kaki. Permukaan yang tidak sesuai dengan
ketentuan, dapat mengakibatkan penyalahgunaan ruang pejalan kaki.
Jalur pejalan kaki dan jalur kendaraan harus memiliki ketinggian yang berbeda, pada
umumnya permukaan jalur pejalan kaki lebih tinggi guna mewadahi pejalan kaki berjalan
dengan aman dan nyaman (Pratitis, 2015). Perbedaan ketinggian jalur pejalan kaki dengan
jalur kendaraan adalah setinggi satu langkah kaki orang dewasa, yaitu 61 – 64 cm (Neufert,
1996). Permukaan jalur pejalan kaki juga harus bersifat rata dengan meminimalisir
perbedaan ketinggian, dan tidak boleh bergelombang, sehingga tidak terjadi penggenangan
air, yaitu dengan tingkat kelandaian secara melintang sebesar 2 – 4% dan secara memanjang
sebesar 8% (1 : 12), atau maksimum sebesar 12% (1 : 8).
Permukaan jalur pejalan kaki yang berkualitas menyediakan perkerasan yang tidak
rusak, kokoh, dan padat, yaitu direkomendasikan berupa blok beton, ubin, atau paving blok
(Tanan, 2011). Kondisi jalur pejalan kaki terkait rusak atau tidaknya permukaan jalur pejalan
41

kaki perlu diperhatikan, karena dapat menggangu kenyamanan dan keselamatan pergerakan
pejalan kaki, yaitu resiko tersandung atau terjatuh akibat kerusakan (Batteate, 2008).
Kerusakan biasanya berupa permukaan yang berlubang dan paving yang hilang atau pecah.
3. Bahan (Material) Jalur Pejalan Kaki
Jenis material yang digunakan pada jalur pejalan kaki dapat mempengaruhi
kenyamanan jalur pejalan kaki, sehingga terdapat beberapa ketentuannya, yaitu:
a. Penggunaan material bersifat padat, kokoh (stabil), dan memiliki daya tahan kuat,
sehingga dapat digunakan di berbagai tempat.
b. Menghindari permukaan licin karena mengurangi keselamatan dan mempersulit
pengguna alat bantu jalan, melalui penggunaan material yang dapat menyerap air
dengan cepat, sehingga menghindari genangan air yang menyebabkan licin.
c. Menghindari penggunaan material yang menyilaukan pengguna jalan.
d. Permukaan dibuat dengan konsistensi tekstur agar mempermudah pejalan kaki
dengan keterbatasan pengelihatan kemampuan.
e. Paving dibuat dengan variasi visual (bentuk, motif, dan warna).
Beberapa rekomendasi pemilihan jenis material jalur pejalan kaki adalah beton, metal,
dan batu. Batu merupakan salah satu material dengan daya tahan kuat, mudah didapat dan
dirawat, dengan tekstur yang dapat menyerap air dan panas dengan cepat, tetapi cenderung
mudah retak dan permukaannya bertekstur, sehingga mempersulit pengguna alat bantu jalan.
Pemilihan material juga berpengaruh terhadap kemenarikan visual jalur pejalan kaki,
sehingga diperlukan permukaan yang dekoratif melalui pembentukan pola pada material
agar tidak terlihat monoton penggunaan kumpulan batu yang diperindah atau menonjol, yaitu
sebagai contoh batu granit. Cat termoplastik dapat digunakan sebagai marka, namun bersifat
licin bila basah. Bentuk pada material dapat dibuat pola dan dapat.
4. Konektivitas
a. Akses terhadap transit (Access to transit)
Mendukung penciptaan jalur pejalan kaki yang lengkap berarti menghubungkan
jaringan jalur pejalan kaki terhadap sistem angkutan masal atau transportasi publik.
Pengadaan jalur pejalan kaki di sekitar area transit menjadikan keutuhan fungsi jalur
pejalan kaki yang melengkapi mobilitas perkotaan. Pengukuran yang menunjang fungsi
ini berjarak 500 hingga 1.000 meter atau sama dengan 10 menit berjalan kaki terhadap
halte atau stasiun dengan kapasitas tinggi, atau dengan direct transit service.
b. Akses terhadap makanan (Access to food)
Jalur pejalan kaki yang lengkap juga menghubungkan jaringan jalur pejalan kaki
terhadap sumber pangan. Pengukuran yang menunjang fungsi ini adalah tempat untuk
42

mendapatkan sumber makanan dan minuman seperti pasar, PKL, minimarket,


supermarket, hypermarket atau pasar dengan satuan waktu tertentu, berada dalam radius
500 meter terhadap atau pada jalur pejalan kaki.
c. Akses terhadap ruang terbangun dan terbuka (Permeable frontage)
Permeable frontage adalah akses terhadap ruang tertentu khusus pejalan kaki dari
sisi depan ruang yang berbatasan langsung dengan jalur pejalan kaki, yaitu akses khusus
pejalan kaki masuk bangunan seperti toko, restoran, kafe, dan menuju ruang terbuka
publik seperti taman, lapangan, atau plaza. Jalur pejalan kaki pada area ini menjadi
prioritas, sebab dapat memicu tingginya aktivitas manusia dan pergerakan pejalan kaki.
Aksesibilitas jalur pejalan kaki pada skala kawasan harus menyediakan setidaknya
rata-rata 3 permeable frontage setiap jarak 100 meter pada jalur pejalan kaki, dengan
ketentuan mendukung aksesibilitas kawasan bila terdapat 5 atau lebih, dan tidak
mendukung aksesibilitas kawasan apabila berjumlah kurang dari 3.
5. Ruang Terbangun Kawasan
a. Muka bangunan (visually active frontage)
Muka bangunan (fasad) adalah sisi depan bangunan yang berbatasan langsung
dengan ruang pejalan kaki, dan disebut aktif secara visual apabila minimal 20% dari
permukaan muka bangunan yang setingkat dengan jalur pejalan kaki, yaitu berupa
transparent wall, jendela, atau rolling door, sehingga terbuka atau setidaknya terlihat
saat jam padat pejalan kaki. Upaya pengaktifan muka bangunan dapat berupa
penambahan eksterior yang dapat dilihat pada sisi bangunan yang pasif.
Muka bangunan yang aktif secara visual, dapat meningkatkan kenyamanan
sekaligus keamanan pejalan kaki, dan memiliki peran penting dalam menjaga suasana
serta menciptakan pengalaman berjalan yang menyenangkan. Aktivitas pada muka
bangunan yang aktif dapat mengalihkan rasa lelah atau penat, sehingga pejalan kaki
dapat berjalan lebih lama atau lebih jauh. Selain itu, aktivitas pada muka bangunan yang
aktif juga meningkatkan keamanan pejalan kaki, yaitu menjadikan jalur pejalan kaki
turut aktif dan lebih hidup, sehingga meminimalisir kemungkinan tindak kriminal.
Dalam skala kawasan, setidaknya dibutuhkan 50% muka bangunan aktif untuk
mencapai penciptaan kawasan berkonsep TOD. Kawasan dengan skala muka bangunan
aktif lebih dari 90% memiliki nilai tertinggi dalam mencapai penciptaan kawasan
berkonsep TOD, namun bila skala muka bangunan aktif kurang dari 50%, maka
kawasan memiliki nilai terendah dalam mencapai penciptaan kawasan berkonsep TOD,
atau tergolong sebagai kawasan yang kurang mendukung kegiatan berjalan kaki.
b. Blok bangunan
43

Kawasan dengan blok bangunan kecil memberi kemudahan bagi pejalan kaki untuk
berpindah antar ruas jalan, melalui penyingkatan jarak perjalanan, sekaligus
memberikan pilihan jalan pintas. Bangunan dengan panjang 150 meter atau lebih dapat
digolongkan sebagai blok bangunan besar yang kurang nyaman bagi pejalan kaki,
sedangkan bangunan dengan panjang kurang dari 110 meter merupakan blok bangunan
kecil yang nyaman bagi pejalan kaki dan dapat menciptakan kawasan berkonsep TOD.
Pemotongan pada blok bangunan besar dapat dilakukan dengan menambah akses
khusus pejalan kaki setidaknya 15 jam per hari, sehingga pejalan kaki dapat mencapai
jalan yang berdampingan dengan blok bangunan tanpa harus memutari bangunan.
c. Intensitas potongan jalur kendaraan (Driveway density)
Driveway density adalah jumlah potongan jalur kendaraan (driveway cut) pada
jalur pejalan kaki, yang diatur dengan membatasi jumlahnya, yaitu 2 atau kurang setiap
jarak 100 meter, sehingga meningkatkan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki
(ITDP, 2019). Driveway cut yang dimaksud adalah ramp atau jalan masuk (akses)
kendaraan menuju bangunan yang memotong jalur pejalan kaki.
2.3.5.1 Elemen Pendukung Jalur Pejalan Kaki
Elemen pendukung jalur pejalan kaki adalah segala sesuatu pada ruang pejalan kaki yang
menunjang fungsi jalur pejalan kaki. Street furniture adalah seluruh elemen yang ditempatkan secara
kolektif pada suatu lanskap jalan untuk kenyamanan, kesenangan, informasi, pengendalian sirkulasi,
perlindungan, dan kenikmatan pengguna jalan (Harris et al, 1998). Fasilitas publik pada jalur pejalan
kaki harus dipertimbangkan sebagai elemen pendukung, karena hingga saat ini perhatian terhadap
kelengkapan dan pemanfaatan fungsi fasilitas publik masih kurang (Shirvani, 1985).
Elemen pendukung jalur pejalan kaki membantu fungsi jalur pejalan kaki dalam
menyediakan kualitas ruang yang memenuhi kebutuhan para penggunanya, sehingga menjadi
komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji jalur pejalan kaki (Iswanto, 2006). Fungsi
jalan yang mempengaruhi aktivitas (pergerakan) manusia menjadi sebab sarana dan prasarana jalan
harus memadai dan tersistem demi mendukung kelancaran aktivitas (pergerakan) masyarakat.
Aktivitas masyarakat yang bersifat akseleratif dan sinergis menuntut efektivitas fasilitas pendukung
yang memperhatikan kenyamanan, sehingga aktivitas pejalan kaki lebih produktif (Anggriani, 2009).
Jalur pejalan kaki sebagai ruang publik tidak bermanfaat secara optimal apabila tidak
didukung fasilitas penunjangnya. Elemen pendukung merupakan komponen fisik yang dapat menjadi
solusi terhadap permasalahan jalur pejalan kaki, dengan memperhatikan fungsi kenyamanan dan
keamanan (Anggriani, 2009). Perencanaan fasilitas pendukung harus bersifat fleksibel terkait
pertimbangan penentuan dan pengadaan elemen pendukung menjadi struktur yang tetap. Struktur
elemen pendukung harus disesuaikan dengan ukuran standar manusia, agar skala yang dibentuk
44

mempunyai rasa manusiawi yang nyaman (Hakim et al, 2002). Penggunaan juga harus
dipertimbangkan, yaitu termasuk visibilitas lalu lintas, konektivitas terhadap kendaraan umum dan
aktivitas sekitar, ketersediaan informasi mengenai titik transit, pengarahan, integrasi signage atau
penandaan, dan kenyamanan skala serta pengaturan letak.
Melihat pentingnya keamanan dan kenyamanan pada jalur pejalan kaki, maka perlu
disediakan fasilitas pendukung bagi pejalan kaki. Fasilitas pendukung jalur pejalan kaki harus
memperhatikan lebar jalur pejalan kaki, sehingga keberadaannya tidak mengganggu fungsi utama
jalur pejalan kaki sebagai ruang pergerakan pejalan kaki, serta harus merefleksikan karakteristik
lingkungan sekitar. Penyediaan fasilitas pendukung harus disesuaikan dengan jenis kebutuhan
pengguna kawasan (Anggriani, 2009). Berikut merupakan komponen fasilitas pendukung:
1. Fasilitas penyeberangan (Crossing)
Fasilitas penyeberangan merupakan jalur yang digunakan untuk menyeberang guna
mengatasi dan menghindari konflik dengan kendaraan, sehingga pejalan kaki merasa
nyaman dan aman ketika menyeberang. Penyeberangan yang efektif dilakukan melalui
penataan elemen penyeberangan, yaitu kebutuhan informasi (petunjuk) yang dapat dilihat
dan diakses, seperti rambu lalu lintas, rambu tempat penyeberangan, termasuk
penyeberangan bagi pejalan kaki penyandang disabilitas (Anggriani, 2009).
Penyeberangan dibuat dengan memperhatikan jarak pandang pengguna jalan,
aksesibilitas yang tepat, pola dan tahapan lalu lintas, durasi waktu penyeberangan pejalan
kaki, dan ukuran aman lalu lintas bagi pejalan kaki melintas. Terdapat beberapa jenis dan
ketentuan fasilitas penyeberangan yang menyesuaikan kebutuh kawasan, yaitu:
a. Penyeberangan sebidang
 Penyeberangan pada persimpangan (Crosswalk)
Penyeberangan sebidang pada persimpangan harus terletak pada setiap sisi
atau kaki persimpangan, yang dinyatakan dengan marka berupa zebracross untuk
membantu mengarahkan pejalan kaki dan pengendara. Penyeberangan harus
dilengkapi dengan rambu yang membantu memperingati pengendara akan adanya
aktivitas penyeberangan pada persimpangan. Jika penyeberangan melintasi dua
atau lebih arus kendaraan, maka harus dilengkapi dengan median penyeberangan
sebagai ruang tunggu pejalan kaki, yang dapat mengakomodasi penyandang
disabilitas. Apabila kecepatan arus kendaraan lebih besar dari 40 km/jam dan
terdapat permasalahan lalu lintas, maka lampu lalu lintas persimpangan harus
dilengkapi dengan lampu pejalan kaki, dan pemberian waktu penyeberangan
menjadi satu kesatuan dengan lampu lalu lintas persimpangan (Tanan, 2011).
45

 Penyeberangan pada ruas jalan (Pelican crossing)


Kawasan perkotaan dengan jarak antar persimpangan yang cukup jauh
membutuhkan penyeberangan pada ruas jalan, yaitu penyeberangan pelikan, agar
pejalan kaki dapat mengkases sisi jalan yang jauh dari persimpangan dengan
praktis, mudah, dan aman. Pengadaan penyeberangan pelikan dipertimbangkan
pada lokasi yang memungkinkan untuk mengumpulkan atau mengarahkan
konsentrasi pejalan kaki yang cukup tinggi untuk menyeberang pada satu lokasi.
Penyeberangan pelikan diadakan pada ruas jalan dengan batas kecepatan tidak
lebih dari 72 km/jam, dan diletakkan pada jarak 300 meter dari titik penyeberangan
lain, kecuali pada pusat kota, CBD, atau lokasi yang memerlukan penyeberangan.
Penyeberangan pelikan dan rambunya harus memiliki penerangan, sehingga
memberikan jarak pandang yang cukup bagi pengguna jalan (Anggriani, 2009).
Jika jalur penyeberangan melintasi dua atau lebih arus kendaraan, maka harus
dilengkapi dengan median penyeberangan, sehingga penyeberangan
berkonsentrasi pada satu arah. Apabila kecepatan arus kendaraan lebih besar dari
40 km/jam, maka penyeberangan wajib dilengkapi dengan lampu pejalan kaki yang
menggunakan alat hitung mundur, dan rambu lalu lintas yang memberi peringatan
bagi pengendara akan adanya aktivitas penyeberangan di ruas jalan pada jarak
tertentu setelah rambu (Tanan, 2011).
b. Penyeberangan tidak sebidang: Jembatan penyeberangan (Elevated)
Jalur penyeberangan dengan struktur fisik berupa jembatan layang di atas ruas jalan
dapat menjamin keamanan pejalan kaki. Jembatan digunakan apabila penyeberangan
sebidang tidak dapat digunakan, atau penyeberangan pelikan sudah menganggu lalu
lintas kendaraan, dan pada ruas jalan dengan frekuensi kecelakaan lalu lintas yang
cukup tinggi, serta pada ruas jalan dengan kecepatan arus kendaraan lebih dari 70
km/jam dan arus pejalan kaki cukup ramai (Tanan, 2011).
Jembatan pennyeberangan harus memiliki struktur yang aman dan nyaman bagi
pejalan kaki, yaitu melalui kebebasan vertikal jembatan terhadap jalan minimal sebesar
5 meter, panjang segmen jalur penyeberangan minimum 1,5 meter, lebar jalur dan
landasan penyeberangan minimum 2 meter, dan dilengkapi dengan pembatas berupa
tangga dan pegangan tangan (railing) pada kedua sisi tepi jalur penyeberangan, serta
atap. Jalur melandai dengan kelandaian maksimum 10% (20º) harus disediakan sebagai
akses seluruh fasilitas penyeberangan, namun jika tidak memungkinkan, dapat
disediakan tangga dengan ketinggian anak tangga 28 hingga 30 cm (Neufert, 1996).
46

c. Median penyeberangan (Pulau pejalan kaki)


Median penyeberangan disediakan sebagai ruang tunggu yang aman dan nyaman
bagi pejalan kaki, sebelum menyeberang pada penyeberangan yang melewati lebih dari
dua lajur lalu lintas, atau pada kondisi ruas jalan dengan kecepatan dan volume
kendaraan yang tidak memungkinkan pejalan kaki untuk melakukan penyeberangan
sekali jalan (single-stage crossing) (ITDP, 2019).
Penyeberangan mid block dengan kondisi lalu lintas yang tinggi, dapat
menggunakan potongan median (median cut through), yaitu ruang dengan ukuran ideal
panjang 10 – 12 meter dan lebar 1,8 – 2,4 meter sebagai ruang tunggu, sehingga
memberi kesan luas bagi pejalan kaki. Pulau pejalan kaki harus terlihat secara jelas,
terutaman saat malam hari, melalui penyediaan penerangan, agar kendaraan yang
melintas dapat mengurangi kecepatannya, dan melihat jelas jalur penyeberangan,
sehingga pejalan kaki terlindungi. Pulau pejalan kaki sebaiknya memiliki tepi (median
tips) berupa perpanjangan jalur penyeberangan, yang sejajar dengan batas jalur pejalan
kaki, dan dapat dilengkapi bollard dan curb bila diperlukan. Pada ruas jalan dengan
kecepatan arus kendaraan di atas 30 km/jam, dapat ditambahkan lampu pejalan kaki,
dan penanda berupa rambu petunjuk serta peringatan (Anggriani, 2009).
d. Marka penyeberangan
Marka penyeberangan berupa zebracross yang dicat berwarna putih pada fasilitas
penyeberangan sebidang, berfungsi sebagai pengarah jalur penyeberangan bagi pejalan
kaki dan batas pemberhentian bagi kendaraan. Zebracross harus memiliki ruang yang
cukup untuk menampung banyaknya penyeberang, melalui ketentuan sebagai berikut:
 Garis-garis membujur yang tersusun melintang sebagai penanda jalur
penyeberangan pejalan kaki, dengan lebar garis minimal 0,3 meter, panjang
garis minimal 2,5 meter, dan celah antar garis minimal sama dengan lebar
garis (0,3 meter), atau maksimal dua kali lebar garis (0,6 meter).
 Dua garis melintang sebagai penanda batas pemberhentian kendaraan, dengan
lebar garis minimal 0,3 meter, dan jarak minimal antar garis selebar 2,5 meter.
e. Lampu pejalan kaki (Pedestrian light)
Lampu pejalan kaki adalah perangkat elektronik yang menggunakan sinyal lampu
dan bunyi untuk mengatur lalu lintas pengguna jalan pada fasilitas penyeberangan.
Lampu pejalan kaki dilengkapi dengan waktu penghitung mundur yang mengatur kapan
lalu lintas berhenti dan pejalan kaki dapat menyeberang berdasarkan pada perhitungan
waktu tempuh menyeberang yang berkorelasi dengan jarak penyeberangan, untuk
47

membantu pejalan kaki memperkirakan waktu yang tepat untuk menyeberang, sehingga
menyediakan keamanan bagi pengguna jalan.
Cara kerja lampu pejalan kaki pada penyeberangan ruas jalan adalah dengan
menekan tombol yang otomatis mengaktifkan sinyal lampu dan bunyi yang
mengarahkan kendaraan untuk berhenti, sehingga pejalan kaki memiliki waktu untuk
menyeberang, sedangkan pada penyeberangan persimpangan, sinyal lampu dan bunyi
bersifat otomatis dan menjadi satu kesatuan dengan lampu lalu lintas persimpangan.
2. Rambu (Signal)
Rambu merupakan alat utama yang mengatur, memberi peringatan, dan mengarahkan
pengguna jalan agar pergerakan lalu lintas menjadi aman dan terarah. Penempatan rambu
menyesuaikan jarak pengguna jalan, agar menyediakan waktu yang cukup bagi pengguna
jalan dalam memberikan respon. Rambu direkomendasikan diletakkan pada ruang fasilitas
pendukung dan di luar ruang pejalan kaki. Pemilihan lokasi pengadaan rambu didasarkan
pada kebutuhan dan kondisi ruas jalan (ITDP, 2019). Desain warna, bentuk, ukuran, dan
tingkat retrorefleksi rambu harus menarik perhatian dan mendapat respek pengguna jalan,
serta memberikan pesan yang sederhana dan mudah dimengerti pengguna jalan.
Keseragaman bentuk dan ukuran rambu dapat mempermudah pengguna jalan dalam
mengenal dan memahami rambu. Konsistensi desain rambu akan menghasilkan konsistensi
persepsi dan respon pengguna jalan (Anggriani, 2009).
Rambu dapat dibagi menjadi dua, yakni rambu kendaraan dan rambu pejalan kaki.
Pengaturan ketinggian rambu mengacu pada cakupan visibilitas pengguna jalan, yaitu rambu
kendaraan tentunya lebih tinggi dari rambu pejalan kaki. Untuk memenuhi kebutuhan
keselamatan lalu lintas, diperlukan pertimbangan dalam pembuatan rambu sebagai berikut:
a. Rambu Pejalan Kaki
Rambu pejalan kaki menyediakan informasi berupa lambang, huruf, angka,
kalimat, atau perpaduan keempatnya sebagai larangan, perintah, atau petunjuk bagi
pejalan kaki. Rambu pejalan kaki dipasang pada jangkauan visibilitas manusia, yaitu
pada ketinggian antara 2 hingga 3 meter. Terdapat beberapa jenis rambu pejalan kaki
dengan ketentuannya, yaitu:
 Rambu larangan
Rambu yang menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pejalan
kaki, seperti dilarang masuk bagi pejalan kaki atau dilarang membuang sampah
sembarangan. Rambu larangan berbentuk lingkaran dengan lambang aktivitas
larangan berwarna hitam, tepi dan coretan diagonal rambu berwarna merah, serta
latar rambu berwarna putih.
48

 Rambu perintah
Digunakan untuk menyatakan perintah wajib dilakukan oleh pejalan kaki,
seperti perintah melakukan pergerakan atau aktivitas pada ruang pejalan kaki.
Rambu perintah berbentuk lingkaran dengan lambang aktivitas perintah dan tepi
rambu perintah berwarna putih, serta latar rambu berwarna biru.
 Rambu petunjuk
Rambu yang menyatakan petunjuk mengenai arah, jalan, situasi, pengaturan,
dan fasilitas pejalan kaki, seperti petunjuk lokasi fasilitas penyeberangan. Rambu
petunjuk berbentuk persegi panjang dengan lambang aktivitas petunjuk berwarna
hitam dan tepi lambang aktivitas berwarna putih, serta latar rambu berwarna biru.
b. Rambu Kendaraan Bermotor
Rambu kendaraan bermotor menyediakan informasi berupa lambang, huruf, angka,
kalimat, atau perpaduan keempatnya sebagai regulasi (peraturan) dan peringatan bagi
pengendara terhadap keselamatan lalu lintas yang menyangkut pejalan kaki. Rambu
kendaraan bermotor diletakkan pada ketinggian lebih dari 3 meter, sehingga pengendara
dapat melihat informasi yang ditujukan dari kejauhan secara jelas. Penjelasan beberapa
jenis rambu kendaraan bermotor, yaitu:
 Rambu peringatan
Rambu yang memberi peringatan bagi pengendara terhadap kemungkinan
bahaya (resiko) konflik lalu lintas pada bagian jalan selanjutnya. Rambu peringatan
diletakkan pada jarak 5 hingga 10 meter sebelum fasilitas penyeberangan atau area
konflik. Rambu peringatan berbentuk belah ketupat dengan lambang aktivitas
peringatan dan tepi rambu berwarna hitam, serta latar rambu berwarna kuning.
Beberapa jenis rambu peringatan berdasarkan informasi peringatan terdiri dari:
- Peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki
- Peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki berupa anak-anak
- Peringatan aktivitas penyeberangan
- Peringatan alat pengatur lalu lintas
- Peringatan lampu pejalan kaki
- Penegasan peringatan
 Rambu (regulasi) batas kecepatan (Speed regulation)
Berdasarkan beberapa studi (Pasanen, 1993; DETR, 1998; Rosen et al, 2009;
dan Tefft, 2011), terdapat hubungan antara kecepatan laju kendaraan dengan
tingkat resiko kematian pejalan kaki, sehingga pembatasan kecepatan kendaraan
dapat membantu menciptakan jalur pejalan kaki yang aman. Kecepatan kendaraan
49

dapat mempengaruhi jarak berhenti dan keluasan pandang pengendara, yaitu


semakin cepat kendaraan melaju, maka semakin sempit pandangan pengendaranya
(semakin tidak terlihat aktivitas pejalan kaki oleh pengemudi), dan semakin jauh
kebutuhan jarak pengereman kendaraan, maka semakin meningkat resiko
kecelakaan lalu lintas, yang dapat menyebabkan kematian pengguna jalan.
Pembatasan kecepatan merupakan regulasi yang penerapan fisiknya berupa
papan rambu bagi kendaraan untuk membatasi kecepatannya. Jalan pada tingkat
arteri dan kolektor (jalan utama) pada umumnya menggunakan rambu batas
kecepatan untuk mengurangi resiko kecelakaan lalu lintas. Pembatasan kecepatan
pada jalan arteri adalah 60 km/jam, namun pada jalan arteri pada kawasan
perkotaan dengan berbagai hambatannya adalah 40 km/jam.
3. Drainase
Drainase merupakan jaringan pembuangan air berbentuk saluran, yang terletak
berdampingan atau di bawah ruang jalur pejalan kaki, guna mengalirkan limbah cair kawasan
dan menampung aliran air jalan serta jalur pejalan kaki, sehingga mencegah terjadinya banjir
atau genangan air saat hujan, baik pada ruas jalan maupun jalur pejalan kaki Drainase yang
terletak berdampingan dengan jalur pejalan kaki biasanya berbentuk terbuka, sedangkan
drainase yang terletak di bawah jalur pejalan kaki biasanya berbentuk tertutup.
Drainase memiliki standar dimensi, yaitu lebar 50 cm dan kedalaman 50 cm, dengan
kemiringan minimum sebesar 2%. Desain drainase direkomendasikan tertutup, karena selain
menambah lebar ruang pejalan kaki, drainase tertutup juga menghambat bau tidak sedap dari
limbah cair yang dapat mengurangi kenyamanan pejalan kaki. Drainase direkomendasikan
berbahan PVC (polivinil klorida), tanah liat, beton, atau batu, serta dilengkapi dengan lubang
kontrol setiap jarak 10 meter atau setiap belokan.
4. Pembatas (Curb, barrier, dan bollard)
Pembatas merupakan struktur fisik sebagai pemisah antara jalur pejalan kaki dengan
jalur kendaraan atau jalur sepeda, sehingga mencegah kendaraan untuk menggunakan ruang
pejalan kaki atau sekedar masuk ke dalamnya. Pembatas dapat berupa peninggian tepi jalur
pejalan kaki (curb), pagar pembatas (barrier), dan tonggak pembatas (bollard).
Curb berfungsi memisahkan perbedaan ketinggian antara jalur pejalan kaki dengan
badan jalan, sehingga meminimalisir konflik pejalan kaki dengan kendaraan, dan sebagai
akses untuk mengalirkan air dari badan jalan (ITDP, 2019). Curb harus terbuat dari beton
yang memiliki daya tahan kuat, dengan ketinggian minimal 64 cm dari permukaan jalan,
dengan ketebalan atau lebar tapak 21 cm dan lebar bagian atas 18 cm (Amelia et al, 2013).
50

Pemasangan curb disesuaikan dengan fasilitas penyeberangan, sehingga dapat diakses oleh
seluruh golongan pejalan kaki.
Barrier berfungsi sebagai pelindung pejalan kaki terhadap bahaya lalu lintas kendaraan,
sehingga tidak terjadi konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan (ITDP, 2019). Pada jalan
dengan lebar lebih dari 10 meter atau lebih dari 4 lajur atau pada titik tertentu yang
berbahaya, diperlukan pelindung berupa pagar pembatas berbahan metal atau beton kuat
yang tahan terhadap cuaca dan kerusakan dengan ketinggian 90 cm (Anggriani, 2009).
Bollard merupakan patok sebagai pengarah dan pembatas agar kendaraan bermotor
tidak masuk ke jalur pejalan kaki. Bollard dapat mengurangi resiko kecelakaan lalu lintas,
sehingga berpengaruh dalam meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki, serta
mencegah rusaknya permukaan jalur pejalan kaki dan fasilitas pendukungnya. Keberadaan
bollard harus fungsional, dan tidak boleh mengganggu ruang pejalan kaki, khususnya jalur
pemandu. Bollard diletakkan pada ruang konflik, seperti akses masuk kendaraan ke
bangunan (driveway), persimpangan, dan fasilitas penyeberangan (ITDP, 2019).
Umumnya bollard berbentuk tonggak dengan dimensi ketinggian 0,6 sampai 1,2 meter
dan diameter 30 cm. Terdapat pula bollard yang lebih pendek, berbentuk bola, atau
dilengkapi dengan penanda. Bollard diletakkan pada jarak 30 hingga 45 cm dari curb,
dengan jarak penempatan antar bollard disesuaikan dengan kebutuhan pejalan kaki yang
menggunakan alat bantu pergerakan atau membawa barang bawaan, yaitu 75 sampai 90 cm.
Bahan bollard yang direkomendasikan adalah beton yang diperkeras (Foundry, 2021).
5. Pelandaian (Ramp)
Perbedaan ketinggian yang signifikan pada permukaan jalur pejalan kaki dapat
menyulitkan pergerakan pengguna alat bantu jalan dan membahayakan pejalan kaki saat
kondisi gelap, maka diperlukan pengadaan ramp yang menciptakan kelandaian (Anggriani,
2009). Ramp berfungsi untuk memfasilitasi atau memudahkan pergerakan pejalan kaki,
khususnya penyandang disabilitas dan pengguna alat bantu jalan, sehingga tidak ada
perbedaan ketinggian sebagai penyangga yang menyulitkan pergerakannya (ITDP, 2019).
Menurut Neufert (1996), terdapat tiga bagian ramp dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Slope
Slope merupakan segmentasi atau pembagian ramp menjadi beberapa tahap, dengan
ketentuan lebar setidaknya sama dengan lebar ruang pejalan kaki, yakni minimal selebar
1,8 meter, dengan panjang segmen maksimal 6 meter, dan rasio kelandaian slope
direkomendasikan sebesar 6%.
b. Landing
51

Landing merupakan area yang bersifat datar atau memiliki kelandaian lebih kecil
dari slope. Landing direkomendasikan memiliki panjang 1,2 – 1,8 meter, dengan lebar
sama dengan slope, yaitu minimal 1,8 meter. Terdapat tiga jenis landing, yaitu top
landing pada sisi atas ramp dan bottom landing pada sisi bawah ramp sebagai
penyambung antara ramp dengan jalur pejalan kaki atau ruang lain, dan intermediate
landing sebagai penyambung antar segmen slope.
c. Side flares
Side flares merupakan tepi pada kedua sisi ramp dengan lebar minimal 25 cm dan
elevasi setinggi 5 cm dari permukaan ramp, yang mencegah bahaya (resiko) tersandung
bagi penyandang disabilitas saat bermanuver. Side flares dilengkapi dengan pegangan
tangan yang tidak licin, dengan ketinggian 75 – 80 cm, dan memiliki kelebihan
sepanjang 30 cm atau panjangnya melebihi anak tangga terakhir.
Beberapa pertimbangan lain dalam perancangan ramp adalah:
 Permukaan ramp menggunakan material yang bersifat anti slip, dan tidak boleh
dibuat alur, karena alur dapat terisi air dan membuat ramp menjadi licin.
 Ramp dilengkapi dengan jalur pemandu dan penerangan yang mencukupi.
 Bila batas maksimal kemiringan ramp sebesar 6% pada tidak tercapai, maka
ramp dapat didesain dengan kemiringan sebesar 8 – 10%.
 Bila ramp didesain berundak, maka batas maksimal perbedaan ketinggian
adalah sebesar 2,5 cm, yang masih baik untuk diatasi.
6. Halte dan shelter bus
Halte bus merupakan bagian dari jalur pejalan kaki, yang penempatannya
memperhatikan kondisi pinggir jalan pada titik potensial kawasan yang padat lalu lintas, dan
besarannya sesuai dengan kebutuhan. Harris et al (1998) mengemukakan bahwa halte bus
harus memberikan kebebasan pandangan menuju kendaraan yang data, baik dalam posisi
berdiri maupun duduk. Halte bus dapat ditempatkan pada tepi jalur pejalan kaki dengan jarak
bagian paling depan halte sekurang-kurangnya 1 meter dari tepi badan jalan. Halte bus
seharusnya didesain tertutup dan terbuat dari bahan dengan daya tahan dan durabilitas tinggi
seperti metal, agar dapat melindungi pejalan kaki dari cuaca panas dan hujan.
Halte bus memiliki panjang minimum sama dengan panjang bus, sehingga
memungkinkan penumpang naik atau turun melalui pintu depan dan belakang (Anggriani,
2009). Halte sebagai titik transit bus dengan kapasitas tinggi, yang menggunakan direct
transit service seharusnya terhubung dengan titik transit sebelumnya pada jarak 5 km.
Shelter bus harus diletakan setiap radius 300 meter.
52

7. Vegetasi (Pepohonan dan jalur hijau)


Tanaman tidak hanya mengandung keindahan atau nilai estetik saja, namun juga
berfungsi meningkatkan kualitas kehidupan. Tanaman dapat mengontrol cuaca bahkan
iklim, memperbaiki kondisi udara, menyaring polutan, menambah penyediaan oksigen, dan
berperan sebagai daerah resapan, sehingga meningkatkan kualitas lingkungan dan kesehatan
manusia. Salah satu penerapan penghijauan pada kawasan perkotaan adalah melalui
penyediaan tanaman pada jalur pejalan kaki, sehingga menyeimbangkan kualitas lingkungan
yang terdegradasi akibat kendaraan bermotor. Salah satu contohnya adalah kawasan
Pennsylvania Avenue di Kota Washington D.C., dengan skema penanaman tanaman di
sepanjang jalur pejalan kaki yang bersebelahan dengan badan jalan, sehingga
menyeimbangkan kualitas udara, suara, dan cuaca (Shirvani, 1985).
Fungsi utama tanaman pada jalur pejalan kaki adalah sebagai kontrol pandangan (visual
control), yang diletakkan di tepi atau tengah jalan dapat menambah keindahan dan nilai
estetik, dan sebagai pengendali iklim (climate control) yang mengatur radiasi sinar matahari,
suhu, dan kelembapan. Tanaman akan menyerap panas sinar matahari dan memantulkannya,
sehingga menurunkan suhu dan iklim mikro, serta memberikan kelembapan yang cukup bagi
pejalan kaki. (Anggriani, 2009). Hal tersebut menjadikan jalur pejalan kaki sebagai ruang
publik yang mendukung kenyamanan manusia dan kualitas lingkungan kota (ITDP, 2019).
Pepohonan pada tepi jalan yang berbentuk jalur hijau (RTH pasif), berfungsi sebagai
peneduh dan pembatas antara jalur pejalan kaki dengan jalur kendaraan (Anggriani, 2009).
Jalur hijau dan elemen lansekap lainnya juga berkaitan dengan visualisasi jalur pejalan kaki
sebagai ruang publik, yaitu menciptakaan suasana berjalan yang menyenangkan dan
berpengaruh dalam penciptaan karakteristik atau identitas kawasan.
Pepohonan sebaiknya ditanam secara berbaris, sehingga membentuk pola sebagai jalur
hijau, dengan lebar minimal 1.5 meter, dan elevasi dari permukaan jalur pejalan kaki sebesar
0,15 meter. Pohon direkomendasikan bermassa daun padat, sehingga dapat meredam
kebisingan, dan memiliki percabangan dengan bentuk tidak merunduk, minimal 2 meter di
atas tanah, sehingga berfungsi sebagai peneduh atau pelindung pejalan kaki terhadap cuaca
panas dan hujan. Jenis pohon yang direkomendasikan antara lain Angsana, Tanjung, dan
Kiara Payung. Pepohonan yang membentuk jalur hijau diletakan Dapat juga diadakan tree
gates yang dapat memberikan resapan air sempurna ke dalam tanah (ITDP, 2019).
8. Penerangan (Lighting)
Menurut Harris et al (1998), penerangan jalan bertujuan untuk mengakomodasi
pergerakan yang aman bagi pejalan kaki dan kendaraan. Lampu penerangan dibutuhkan
pejalan kaki untuk membantu penglihatan saat kondisi gelap atau malam hari, menghidupkan
53

jalur pejalan kaki, dan menekan kemungkinan tindak kriminalitas. Lampu penerangan
memiliki kriteria desain yang fungsional, sederhana, geometris, modern, dan berbahan anti
vandalism, serta memiliki durabilitas tinggi melalui penggunaan metal atau beton, juga
sebaiknya dapat mengakomodasi signage atau banner iklan (Anggriani, 2009).
Lampu penerangan harus fungsional dengan tinggi struktur 4 – 6 meter, dan distribusi
pencahayaan vertikal mencapai 2 meter, sehingga penglihatan pejalan kaki tetap jelas
(Neufert, 1996). Lampu penerangan harus memastikan tingkat pencahayaan yang
menyesuaikan skala pejalan kaki dan kendaraan, serta sesuai dengan peruntukkan kawasan,
contohnya pada kawasan komersial, lampu penerangan memiliki kekuatan 75 watt, sehingga
pencahayaan cukup terang namun tidak menyilaukan pengguna jalan (Anggriani, 2009).
Lampu penerangan memiliki jarak penempatan 10 – 15 meter, sehingga tidak ada bagian
jalur pejalan kaki yang tidak mendapat penerangan (dark spots), khususnya pada ramp dan
fasilitas penyeberangan. Peletakkan lampu penerangan diusahakan tidak mengganggu ruang
pejalan kaki dan jalur pemandu, dengan jarak minimum lampu dari tepi jalur pejalan kaki
selebar 0,8 meter (ITDP, 2019). Sifat penerangan pada jalur pejalan kaki sebaiknya tidak
seragam, yaitu penggunaan sistem menerus dan parsial yang bergantian pada tepi sisi kanan
dan kiri jalur pejalan kaki (Amelia et al, 2013).
9. Tempat Duduk (Seating)
Tempat duduk disediakan untuk memfasilitasi pejalan kaki duduk atau beristirahat
sesaat, sehingga meningkatkan kenyamanan pejalan kaki. Desain dan warna tempat duduk
disesuaikan dengan ketersediaan, fungsi dan karakteristik lingkungan kawasan. Jenis tempat
duduk dapat terbagi menjadi tempat duduk sendiri dan berkelompok (Anggriani, 2009).
Tempat duduk diprioritaskan pada posisi yang strategis, yaitu berdekatan dengan area
pusat aktivitas pejalan kaki, seperti kawasan wisata, taman, fasilitas olahraga, kios, dan
kawasan komersial lainnya, sehingga pertimbangan utamanya adalah intensitas penyediaan
tiap jarak tertentu, yang disediakan setiap jarak 10 – 20 meter (Harris et al, 1998).
Konfigurasi atau tata letak tempat duduk diatur menyesuaikan kondisi dan lebar jalur pejalan
kaki, yaitu diletakkan pada ruang fasilitas pendukung, dengan ketentuan bila menghadap
bangunan, maka jarak terhadap curb adalah 100 cm, dan bila menghadap ke arah jalan, maka
berjarak 200 cm dari curb (ITDP, 2019).
Kualitas tempat duduk yang memenuhi kriteria kenyamanan menurut Harris et al (1998)
adalah ukurannya mempertimbangkan standar dimensi manusia, yaitu lebar 40 – 50
centimeter, panjang 150 centimeter, dan bentuknya bervarisi sesuai skala kebutuhan, yang
dilengkapi dengan sandaran tangan dan punggung, serta menyediakan ruang kaki yang
cukup, sehingga tidak mengganggu pergerakan pejalan kaki. Tempat duduk juga sebaiknya
54

memiliki ketahanan terhadap kerusakan, melalui penggunaan bahan seperti metal dan beton
cetak yang memiliki durabilitas tinggi (Anggriani, 2009).
10. Tempat sampah (Waste container)
Kebersihan merupakan salah satu unsur pembentuk kenyamanan pada jalur pejalan
kaki. Jalur pejalan kaki yang bersih, terbebas dari sampah yang berserakan dan bau yang
tidak sedap, mampu mendorong terciptanya suasana berjalan yang menyenangkan. Salah
satu cara untuk mewujudkannya adalah melalui penyediaan tempat sampah sebagai
penampung sampah sementara pada jalur pejalan kaki. Tempat sampah hendaknya bersifat
fungsional yang mencakup tiga jenis sampah, yaitu sampah kering (anorganik), basah
(organik), dan plastic (recycleable) (Anggriani, 2009).
Tempat sampah sebaiknya disediakan dalam jumlah yang banyak, terutama pada lokasi
dengan aktivitas pejalan kaki yang menimbulkan sampah, seperti kawasan komersial dan
ruang publik. Tempat sampah diletakkan pada jarak 15 hingga 20 meter terhadap
persimpangan atau fasilitas penyeberangan, dengan jarak penempatan antar tempat sampah
sekurang-kurangnya 20 meter. Tempat sampah disarankan diletakkan dalam satu garis pada
ruang fasilitas pendukung, sehingga tidak mengganggu pejalan kaki (Anggriani, 2009).
Dimensi tempat sampah mengacu pada karakteristik kawasan, dengan pertimbangan
ukuran yang cukup untuk menampung sampah sesuai kebutuhan kawasan, struktur yang
mudah dilihat dan dikenali pejalan kaki, serta mudah dijangkau tangan dalam memasukkan
sampah, yaitu dengan ketinggian 60 hingga 70 cm (ITDP, 2019). Desain tempat sampah
direkomendasikan tertutup, sehingga menghambat bau tidak sedap yang disebabkan sampah.
Tempat sampah sebaiknya terbuat dari metal atau beton cetak dengan durabilitas tinggi dan
tahan air (Harris et al, 1998).
11. Penunjuk Jalan dan Informasi (Signage atau Wayfinding)
Fasilitas jalur pejalan kaki yang mendukung aksesibilitas kawasan, mampu memberikan
informasi yang mencakup lokasi, arah, dan jarak, yang berkaitan dengan jalur pejalan kaki
terhadap fasilitas, titik, ruang, area, atau kawasan yang dihubungkan. Salah satunya adalah
melalui penyediaan signage atau wayfinding, yang secara langsung dapat memberikan
informasi mengenai orientasi lokasi pejalan kaki, dan petunjuk (arah) mengenai multi moda
dan titik transit, atau lokasi fasilitas terdekat. Penyediaan wayfinding dapat menambah
kenyamanan pejalan kaki, karena mengetahui informasi keberadaannya, lokasi di sekitarnya,
dan arah serta jarak terhadap titik transit atau fasilitas publik terdekat (ITDP, 2019).
Wayfinding disediakan pada waktu tempuh 5 sampai dengan 10 menit terhadap lokasi
strategis dengan arus pejalan kaki yang padat, seperti titik transit (halte dan stasiun), titik
interaksi sosial, dan ruang terbuka publik, serta disediakan pada jarak 8 hingga 10 meter
55

pada satu atau kedua sisi persimpangan, sehingga memberikan orientasi lokasi dan arah pada
persimpangan (ITDP, 2019). Wayfinding ditempatkan pada tempat terbuka yang tidak
tertutup atau terhalang, dengan bentuk dan ukuran ketinggian yang menyesuaikan skala
manusia, agar informasi dapat ditangkap oleh visibilitas pejalan kaki (Anggriani, 2009).
Penanganan fisik wayfinding dapat berupa papan informasi atau papan digital dengan
instalasi listrik dan lampu, yang berisikan infografis (tulisan dan peta atau gambar), yang
terbuat dari bahan dengan durabilitas tinggi dan tidak menimbulkan efek silau. Pemilihan
bahasa, desain grafis, dan peta yang dimuat harus dapat dipahami secara universal, karena
pejalan kaki bisa berasal dari mana saja. Jenis dan ukuran huruf pada informasi harus terbaca
secara jelas. (ITDP, 2019). Pada desain yang lebih baik, wayfinding mampu mengakomodasi
penyandang tuna netra melalui penyediaan informasi dalam huruf braille atau sinyal suara
otomatis. Penyatuan wayfinding dengan lampu penerangan atau fasilitas lainnya dapat
mengefisiensikan dan memudahkan orang membaca (Anggriani, 2009).
2.2.6 Jenis Aktivitas Jalur Pejalan Kaki
Jalur pejalan kaki tentunya tidak bisa lepas dari karakteristik aktivitas yang berlangsung di
sepanjang sisinya (Anggriani, 2009). Aktivitas pada jalur pejalan kaki muncul sebagai kondisi
dimana terdapat dua buah atau lebih pusat kegiatan, sehingga terjadi pergerakan pejalan kaki antar
aktivitas. Seiring berjalannya waktu, fungsi jalur pejalan kaki mengalami perkembangan, sehingga
dapat difungsikan untuk kegiatan rekreatif, yaitu bersosialisasi dan berinterkasi antar masyarakat
(Unterman, 1984). Dalam hal ini, jalur pejalan kaki didefinisikan sebagai ruang untuk beraktivitas
dan memberikan pelayanan kepada pejalan kaki, sehingga dapat meningkatkan kualitas jalur pejalan
kaki (Hayuni et al, 2014). Beberapa aktivitas pada jalur pejalan kaki selain berjalan adalah bertemu,
duduk, berdiri, dan berinterkasi, sehingga jalur pejalan kaki menjadi ruang yang menarik untuk
melaksanakan aktivitas sosial, seperti bertegur sapa, bertemu atau berkumpul bersama kelompok,
berekreaksi, dan menikmati pemandangan serta suasana kota (Carmona et al, 2003).
Aktivitas pada jalur pejalan kaki tidak hanya mempertimbangkan ketentuan jalur pejalan
kaki, tetapi juga tata guna lahan kawasan. Perencanaan aktivitas jalur pejalan kaki bertujuan untuk
mengintegrasikan aktivitas utama dengan tempat yang paling fungsional, melalui pelengkapan fungsi
dan konektivitas keduanya melalui sistem pergerakan (jaringan) jalur pejalan kaki yang aman,
beragam, menarik, dan didesain khusus untuk fungsi dan kebutuhan pejalan kaki (Shirvani, 1985).
Dalam proses pemilihan rute, kondisi tata guna lahan dan jenis aktivitasnya sangat berpengaruh
dalam menentukan potensi besaran atau jumlah pejalan kaki. Sebagai contoh, bangunan dengan
fungsi formal seperti perkantoran dan bank cenderung menciptakan aktivitas jalur pejalan kaki yang
rendah, dan seharusnya tidak dikembangkan sebagai fungsi utama ruas jalan (Shirvani, 1985).
56

Perancangan aktivitas jalur pejalan kaki harus kontekstual terhadap kawasan, sehingga
sesuai dengan karakteristik lingkungan dan mendukung kenyamanan pejalan kaki (Anggriani, 2009).
Kawasan perencanaan perlu menghadirkan keragaman sesuai karakteristik lokal, sehingga
perancangan aktivitas memiliki konteks lingkungan dan aspek kultural kawasan. Karakteristik
lingkungan yang menyangkut pemanfaatan lahan dan fasilitas pada jalur pejalan kaki akan
mempengaruhi persepsi kenyamanan pejalan kaki dalam beraktivitas. Sebagai contoh, jalur pejalan
kaki pada area komersil dirancang untuk mengakomodir volume pejalan kaki yang lebih besar dari
kawasan lainnya, sehingga memberi ruang yang memadai bagi penggunanya untuk mengakses
kawasan secara mudah (praktis), cepat, dan efektif (Simanjuntak et al, 2011)
Aktivitas jalur pejalan kaki perlu mempertimbangkan fungsi utama dan penggunaan jalur
pejalan kaki sebagai wadah pergerakan pejalan kaki, dengan demikian aktivitas tersebut dapat
berperan dalam menggerakkan fungsi utama kota menjadi lebih hidup, ramai, dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, aktivitas jalur pejalan kaki membutuhkan ruang yang memadai dengan kelengkapan
fasilitas pendukungnya, sehingga memungkinkan interaksi antar pengguna (Anggriani, 2009).
Karakteristik pejalan kaki menjadi salah satu pengaruh pada jenis aktivitas yang dilakukan
pada jalur pejalan kaki. Terdapat tiga jenis penggolongan aktivitas pada jalur pejalan kaki yang terdiri
dari aktivitas penting, aktivitas pilihan, dan aktivitas sosial (Gehl dalam Pattisinai, 2013). Berikut
merupakan penjelasan ketiga aktivitas tersebut:
1. Aktivitas Penting (Necessary Activities)
Dilakukan karena adanya suatu kebutuhan (urgensi), yaitu untuk bergerak dari tempat kerja,
sekolah, pasar, dan tempat lainnya. Pejalan kaki juga tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan
untuk tetap beraktivitas menggunakan jalur pejalan kaki.
2. Aktivitas Pilihan (Optional Activities)
Tidak dilakukan secara rutin dan sangat terpengaruh oleh kondisi lingkungan. Aktivitas
pilihan contohnya adalah rekreasi, olahraga, duduk-duduk, bersantai, dan aktivitas lainnya.
3. Aktivitas Social (Social Activities)
Dilakukan oleh beberapa orang (berkelompok), seperti pertemuan komunitas, demonstrasi,
pertunjukkan terbuka, dan aktivitas yang bergantung pada kehadiran orangnya.

2.3 Pejalan Kaki (Pedestrian)


2.3.1 Definisi Pejalan Kaki
Istilah pedestrian berasal dari bahasa Latin pedester, yaitu orang yang berjalan kaki.
Pedestrian juga berasal dari bahasa Yunani pedos yang berarti kaki, sehingga pedestrian dapat
diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki. Pedestrian juga diartikan sebagai
pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat ke titik asal (origin)
57

ketempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki (Rubenstein, 1992). Pejalan kaki
merupakan istilah dalam transportasi yang digunakan untuk menjelaskan orang yang berjalan pada
jalur pejalan kaki, baik di pinggir jalan, trotoar, ruang khusus pejalan kaki ataupun fasilitas
penyeberangan. Pejalan kaki adalah pengguna jalan yang menjadi prioritas, karena rentan
keselamatannya terhadap arus lalu lintas, sehingga jalur pejalan kaki menjadi sarana pencapaian yang
berperan dalam melindungi pejalan kaki dari bahaya lalu lintas (WHO, 2015).
Pejalan kaki adalah elemen yang memberikan pengaruh terbesar terhadap perkembangan
jalur pejalan kaki, sehingga jalur pejalan kaki tidak dapat terpisah dari pejalan kaki sebagai
pengguna. Setiap pergerakan dan aktivitas manusia tentu membutuhkan ruang sebagai wadahnya,
maka dari itu jalur pejalan kaki menjadi wadah yang memberikan pelayanan penignkatan kelancaran,
keamanan, dan kenyamanan bagi pergerakan dan aktivitas pejalan kaki (Kaliongga et al, 2014).
2.3.2 Karakteristik Pejalan Kaki
Karakteristik pejalan kaki merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam
perencanaan jalur pejalan kaki, sehingga kajian karakteristik pejalan kaki penting untuk menentukan
dimensi dan pemilihan jenis fasilitas jalur pejalan kaki yang akan diimplementasikan (Budi, 2008).
Keberagaman karakteristik pejalan kaki sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan personal manusia,
sehingga dilakukan pengelompokan berdasarkan gender, usia, kondisi tubuh, dan tujuan pergerakan
atau aktivitas pejalan kaki pada jalur pejalan kaki (Czogalla, 2010). Berdasarkan perspektif sosial
kemasyarakatan, jalur pejalan kaki membutuhkan perhatian penuh terhadap setiap pejalan kaki tanpa
memandang kondisi personalnya, sehingga fasilitasnya dapat mengakomodir semua karakteristik
pejalan kaki. Mengetahui pentingnya keberagaman pejalan kaki, maka dilakukan penggolongan
berdasarkan komponen yang mendefinisikan pejalan kaki menurut Czogalla (2010), yaitu:
1. Jenis Kelamin (Gender)
Karakteristik jenis kelamin secara nyata menunjukkan perbedaan berdasarkan batas
biologis, sehingga mempengaruhi kecepatan berjalan kaki. Kecepatan berjalan memiliki
sedikit kemungkinan meningkat untuk laki-laki daripada perempuan (Tanan, 2011). Berikut
merupakan tabel kecepatan pejalan kaki berdasarkan umur dan jenis kelamin:

Tabel 2.1 Kecepatan pejalan kaki berdasarkan umur dan jenis kelamin
Umur dan Jenis Kelamin Kecepatan Berjalan (meter per detik)
Laki-laki, 55 tahun ke bawah 1,65
Laki-laki, 55 tahun ke atas 1,52
Wanita, 55 tahun ke bawah 1,39
Wanita, 55 tahun ke atas 1,3
Wanita bersama anak-anak 0,72
58

Anak-anak (6-10 tahun) 1,12


Remaja 1,79
Sumber: Tanan, 2011
De Goede (2009) menyebutkan bahwa perbedaan gender juga berpengaruh dalam
penggunaan petunjuk untuk menemukan rute berjalan kaki yang tepat hingga menuju tempat
tujuan, dimana perempuan dan pria memiliki ketergantungan terhadap penanda yang berbeda
selama berjalan dalam sebuah rute perjalanan. Salah satu contoh hasil survey di Alameda
County menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang berjalan lebih sedikit dari laki-laki.
2. Usia
Pejalan kaki dengan kelompok usia yang berberda tentu memiliki kemampuan dan
karakteristik berjalan yang berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memiliki jangkauan
pemanfaatan ruang yang berbeda dengan orang dewasa, dan anak kecil memiliki pemahaman
lingkungan yang berbeda dengan anak remaja, sehingga membutuhkan pengawasan orang
dewasa sampai mampu memahami secara mandiri. Anak kecil biasanya berjalan lebih
perlahan dan memiliki ketinggian pandangan yang lebih rendah dari orang dewasa. Selain
itu, manula membutuhkan waktu yang lebih lama saat menyeberang jalan (Tanan, 2011).
Kemampuan pejalan kaki dalam mengatasi permukaan jalur pejalan kaki bergantung
pada kelompok usianya. Berikut merupakan tabel klasifikasi karakteristik jalur pejalan kaki
berdasarkan kelompok usia menurut AASHTO (2004):

Tabel 2.2 Karakteristik pejalan kaki berdasarkan usia


Usia
Karakteristik
(Tahun)
Belajar berjalan, membutuhkan pengawasan dari orang dewasa, mengembangkan
0–4
kemampuan melihat dan kemampuan persepsi
Meningkatkan kemandirian, namun masih membutuhkan pengawasan, dan kurang
5–8
mampu menerjemahkan suatu persepsi
Rentan terhadap persimpangan karena sering berlari secara tiba-tiba atau tergesa-gesa,
9 – 13
dan mengambil keputusan yang gegabah
Meningkatnya kesadaran tentang lingkungan lalu lintas, dan pengambilan keputusan
14 – 18
yang cenderung gegabah
19 – 40 Aktif dan berhati-hati terhadap lalu lintas
41 – 65 Menurunnya kemampuan reflek
Kesulitan menyeberang jalan, penglihatan yang kurang baik, sulit mendengar
65+ kendaraan yang mendekat dari belakang, mempunyai tingkat kematian yang tinggi jika
tertabrak atau terjadi kecelakaan
Sumber: AASHTO, 2004
59

Selain itu, karakteristik pejalan kaki dalam melakukan penyeberangan juga dipengaruhi
oleh usia. Penyeberang berdasarkan kondisi atau kemampuan fisiknya dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu penyandang disabilitas atau pengguna alat bantu jalan, anak-anak, dan
penyeberang lansia (Dewar, 1992). Penyeberang anak-anak adalah penyeberang pada usia 0
sampai 12 tahun yang sering mengalami kecelakaan dibanding golongan usia lainnya, yang
biasanya disebabkan oleh anak-anak tersebut berlari, penglihatan pengemudi yang terhalang,
dan fasilitas penyeberangan yang tidak terkontrol lalu lintasnya. Beberapa faktor penyebab
kecelakaan saat menyeberangan, berdasarkan karakteristik fisik pada anak-anak dan lansia:

Tabel 2.3 Penyebab kecelakaan penyeberang anak-anak dan lansia


Kategori Faktor
Tinggi badan anak relatif kecil, sehingga menyulitkan mereka untuk
mengevaluasi situasi lalu lintas dengan tepat
Anak-anak sulit membedakan kiri dan kanan
Anak -
Anak-anak yakin bahwa cara menyeberang teraman adalah dengan berlari
anak
Anak-anak minim pengetahuan mengenai penggunaan fasilitas penyeberangan
Anak-anak mempunyai kesulitan untuk menerka kecepatan lalu lintas dan asal
bunyi klakson
Lansia memiliki kelemahan fisik
Lansia
Lansia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyeberang (faktor usia)
Sumber: Dewar, 1992

3. Kondisi Tubuh
Kondisi tubuh pejalan kaki berpengaruh pada kecepatan dan kebutuhan ruang saat
berjalan. Kondisi tubuh pejalan kaki dapat digolongkan menjadi normal, kaum berkebutuhan
khusus (difabilitas), dan kaum penyandang cacat (disabilitas). Kaum berkebutuhan khusus
terdiri dari balita, anak kecil, lansia, ibu hamil, ataupun orang sakit. Kaum penyandang cacat
seperti tuna daksa, tuna netra, tuna rungu wicara, dan tuna grahita merupakan pejalan kaki
yang membutuhkan alat bantu gerak (tongkat tuna netra, kruk, dan kursi roda) (Tanan, 2011).
Kaum difabilitas dan disabilitas membutuhkan ruang gerak yang terbebas dari
hambatan, karena kemampuan bergerak yang berbeda dari manusia dengan kondisi tubuh
normal. Kaum disabilitas dengan keterbatasan pengelihatan, membutuhkan fasilitas
tambahan (khusus) berupa jalur pemandu dengan tekstur pembeda (ubin pengarah dan ubin
peringatan), pegangan tangan pada ramp, sinyal pengeras suara pada fasilitas penyeberangan
dan fasilitas lainnya, serta permukaan jalan yang berbeda (lubang tertentu tempat tongkat
atau kursi roda) pada fasilitas penyeberangan. (Dewar, 1992).
60

2.3.3 Dimensi Fisik Pejalan Kaki


Karakteristik pejalan kaki yang terdiri dari dimensi tubuh dan daya gerak memberikan
pengaruh terbesar terhadap penggunaan ruang pribadi (personal space), sehingga penting untuk
memahami kebutuhan ruang pejalan kaki. Karakteristik dimensi tubuh dan gerak manusia yang
bergerak selama berjalan, digunakan untuk mengetahui kebutuhan ruang gerak. Selain itu, pejalan
kaki yang membawa barang bawaan (payung, plastik belanja, dan tas) dan berjalan bersama sambil
berbincang menjadi penyebab ruang gerak pejalan kaki bertambah (Fruin, 1979).
Pandangan perencana terhadap ukuran tubuh pejalan kaki ditentukan oleh lebar bahu sebagai
sisi panjang dan tebal tubuh sebagai sisi pendek. Berdasarkan observasi oleh Fruin (1979),
dinyatakan bahwa 99% manusia memiliki lebar bahu ±52,5 cm, dengan tolerasnsi 3,8 cm, dan tebal
tubuh ±33 cm. Direkomendasikan untuk memakai ukuran sekitar 45,7 cm x 61 cm atau ekuivalen
dengan ellips seluas 0,21 m², untuk memberi kesempatan gerak bebas bagi pejalan kaki dengan
kondisi membawa barang bawaan di kedua tangan. Bagi masyarakat Indonesia, dimensi tersebut
seharusnya sudah memadai. Berikut merupakan penggambaran dimensi fisik pejalan kaki:

Gambar 2.7 Dimensi Fisik Pejalan Kaki


Sumber: Fruin, 1979

Menurut ITDP (2019), pejalan kaki tentu memiliki karakteristik tersendiri berdasarkan
kondisi fisiknya. Berikut merupakan kebutuhan ruang pejalan kaki berdasarkan kondisi fisiknya:

Gambar 2.8 Dimensi Fisik Pejalan Kaki Berdasarkan Karakteristik Fisik


Sumber: ITDP, 2019
61

Jumlah pejalan kaki yang melakukan perjalanan secara berombongan (berkelompok) juga
mempengaruhi kebutuhan ruang gerak pada jalur pejalan kaki. Bila jumlah pejalan kaki semakin
tinggi, maka lebar jalur pejalan kaki dianjurkan juga semakin tinggi. Berikut merupakan tabel
ketentuan ukuran lebar jalur pejalan kaki berdasarkan jumlah atau besar kelompok pejalan kaki:

Tabel 2.4 Lebar jalur pejalan kaki berdasarkan jumlah pejalan kaki
Jumlah pejalan kaki (orang) Lebar minimal jalur pejalan kaki (meter)
6 orang 5 meter
3 orang 2,30 meter
2 orang 1,50 meter
1 orang 0,90 meter
Sumber: Tanan, 2011

2.3.4 Kebutuhan Pejalan Kaki


Jalur pejalan kaki perlu memperhatikan bahwa area tersebut harus memberi kesempatan bagi
pejalan kaki untuk mengembangkan rasa sosial, kebebasan, dan kesempatan berekreasi, sehingga
diperlukan adanya rasa aman, nyaman, dan kemudahan mengakses jalur pejalan kaki (Anggriani,
2009). Kenyamanan pada dasarnya berkaitan dengan faktor yang mendukung keamanan dan
keselematan diri manusia dalam melakukan aktivitas pada suatu ruang, karena dengan menyediakan
keamanan, secara tidak langsung penggunanya juga merasa nyaman (Anggriani, 2009). Ian Bentley
(1985) mengemukakan bahwa keamanan dan kenyamanan jalur pejalan kaki memiliki peran penting
dalam menunjang peningkatan pejalan kaki. Menurut Fruin et al (1971), terdapat dua aspek yang
mempengaruhi persepsi pejalan kaki terhadap kondisi fisik jalur pejalan kaki, yaitu kenyamanan dan
keamanan saat berjalan, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Keamanan (Safety)
Tanudjaja dalam Ipak (2015) menyatakan bahwa manusia memiliki jenjang kebutuhan
utama yang salah satunya adalah keamanan (safety need), sehingga dirinya merasa
terlindungi dari berbagai gangguan atau ancaman, pada setiap aktivitas dan pergerakan.
Hakim et al (2002) mengemukakan bahwa keamanan merupakan keperluan yang bersifat
mendasar, karena masalah keamanan dapat menghambat aktivitas yang dilakukan. Pejalan
kaki perlu mendapatkan perlindungan terhadap resiko kecelakaan lalu lintas dan ancaman
kriminal. Keamanan pejalan kaki terhadap kendaraan perlu diutamakan, sehingga disediakan
jalur pejalan kaki yang berdampingan dengan jalur kendaraan, sebagai fasilitas penunjang
yang melindungi pejalan kaki. Untermann (1984) menyatakan bahwa jalan yang tidak
terkonsep dapat menyebabkan dominasi kendaraan dan menciptakan no man’s land.
62

Keamanan pejalan kaki adalah sejauh mana jalur pejalan kaki dapat memberikan rasa
aman, berdasarkan persepsi pejalan kaki sendiri (Anggriani, 2009). Keamanan pejalan kaki
dapat berkurang akibat sirkulasi yang kurang baik, misal tidak ada pembagian ruang yang
jelas antara kendaraan dan pejalan kaki, sehingga terjadi penyalahgunaan ruang pejalan kaki
(Ipak, 2015), maka perhatian terhadap pemanfaatan ruang dan sirkulasi jalur pejalan kaki
perlu diutamakan (Bentley, 1985). Pada hal ini, keamanan pejalan kaki sering terancam
penyalahgunaan ruang pejalan kaki untuk aktivitas lain, seperti lapak pedagang kaki lima,
area parkir, dan bangunan permanen maupun non permanen (kios, gerai, pos polisi, dan
lainnya). Hal tersebut tentu mengganggu pergerakan pejalan kaki, sehingga pejalan kaki
terpaksa berjalan di bahu jalan, yang mana mengancam keselamatan pejalan kaki.
Keamanan menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat kecelakaan pada jalur pejalan
kaki. Pengendara dengan kecepatan tinggi dapat meningkatkan resiko kecelakaan, yang
mana membahayakan keselamatan pejalan kaki, maka dari itu jalur pejalan kaki dibuat
terpisah dari jalur kendaraan melalui peninggian menggunakan curbs. Selain itu, ruang
pejalan kaki harus memiliki area pembatas terhadap badan jalan, yang dapat dimanfaatkan
sebagai jalur hijau, jalur sepeda, atau area parkir, sebagai jarak antara pejalan kaki dengan
kendaraan, sehingga mengurangi resiko kecelakaan. Keamanan pejalan kaki juga didukung
oleh penyediaan fasilitas pendukung keamanan pejalan kaki, seperti pembatas berupa barrier
dan bollard pada tepi jalur pejalan kaki. Jalur pejalan kaki yang aman juga dapat digunakan
baik pada siang maupun malam hari, melalui penyediaan lampu peneranangan, agar aktivitas
yang berhubungan dengan waktu dapat berjalan dengan aman (Anggriani, 2009).
2. Kenyamanan (Convenience)
Kenyamanan merupakan salah satu nilai vital yang selayaknya harus dinikmati oleh
manusia ketika beraktivitas pada suatu ruang (Anggriani, 2009). Menurut Hakim et al
(2002), kenyamanan adalah segala sesuatu yang memperlihatkan penggunaan ruang secara
sesuai dan harmonis, melalui unsur bentuk, tekstur, warna, simbol atau tanda, suara, cahaya,
dan bau. Kenyamanan pergerakan dapat diartikan sebagai ruang yang mudah dilalui dari
berbagai tempat melalui penyediaan elemen pelindung dari cuaca yang buruk, terdapatnya
tempat istirahat sementara, terhindar dari hambatan dan ruang yang sempit, serta permukaan
yang nyaman digunakan oleh siapapun termasuk penyandang disabilitas (Lubis, 2018).
Kenyamanan dapat dikatakan sebagai kenikmatan atau kepuasan manusia berdasarkan
kesan selama beraktivitas. Kenyamanan dapat dicapai melalui pemenuhan keinginan dan
kebutuhan yang harusnya tersedia, sehingga kenyamanan merupakan suatu kepuasan psikis
manusia dalam melakukan aktivitasnya (Anggriani, 2009). Kenyamanan pejalan kaki adalah
penyediaan jalur pejalan kaki sebagai fasilitas yang mendukung kegiatan berjalan secara
63

nyaman, dan dapat dinikmatinya tanpa adanya gangguan dari aktivitas lain (Murtomo et al,
2009). Jalur pejalan kaki yang nyaman tentunya mempertimbangkan aspek manusiawi, yang
mana dipengaruhi oleh kenyamanan lingkungan (environmental comfort) berdasarkan faktor
alam (cuaca), dan kenyamanan fisik (physical comfort) berdasarkan kondisi fisik jalur
pejalan kaki termasuk penyediaan fasilitas penunjang (Anggriani, 2009).
Pergerakan pejalan kaki membutuhkan lingkungan yang nyaman, yang mana timbul bila
lingkungan bersifat menarik, menyenangkan, terpelihara, dan memberi kesempatan untuk
terjadinya outdoor activities, salah satunya melalui penyediaan elemen atau fasilitas
pelengkap yang memenuhi kebutuhan aktivitas pejalan kaki. Jalur pejalan kaki yang
dilengkapi fasilitas pendukung dapat menumbuhkan keinginan masyarakat untuk berjalan
kaki. Semakin tinggi tingkat kenyamanan jalur pejalan kaki, semakin banyak masyarakat
yang memilih untuk berjalan sebagai moda transportasi. Fasilitas penunjang kenyamanan
pejalan kaki mempertimbangkan aspek kesesuaian bentuk dan desain terhadap lingkungan,
serta aspek lain yang mempengaruhi keinginan berjalan kaki (Lubis, 2018).
Hakim et al (2002) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kenyamanan pejalan kaki saat berjalan kaki, antara lain:
a. Sirkulasi
Penataan sistem sirkulasi pada pemanfaatan fungsi ruang dapat mempengaruhi
kenyamanan pergerakan penggunanya. Hubungan sirkulasi antar ruang yang tidak
komprehensif dan akses yang tidak terencana dapat mengakibatkan sirkulasi yang
kurang nyaman bagi penggunanya. Pola penataan secara sepotong-potong dan tumpang
tindihnya fungsi ruang, dapat menyebabkan sirkulasi antar ruang yang kurang lancar,
sehingga pergerakan pejalan kaki menjadi terganggu, dan menciptakan pola penataan
yang tidak lagi bermanfaat bagi kepentingan sosial (Hakim et al, 2002).
Kenyamanan suatu ruang dapat berkurang akibat sirkulasi yang tidak tertata,
misalnya tidak ada kejelasan hierarki sirkulasi dan tidak jelasnya pembagian fungsi
ruang, terutama sirkulasi antara pejalan kaki dengan kendaraan. Jalan berperan sebagai
prasarana lalu lintas, dan ruang transisi serta ruang terbuka, untuk wadah kegiatan
beraktivitas, kontak sosial, rekreasi, dan aktivitas perekonomian, sehingga diperlukan
penataan ruang yang fungsionalis demi terciptanya kelancaran sirkulasi, baik antar
pengguna ruang maupun antar aktivitas (Hakim et al, 2002).
b. Iklim (Cuaca)
Perubahan cuaca yang biasanya terjadi di negara tropis adalah terik matahari dan
curah hujan. Iklim yang kurang baik menjadi kendala yang dapat mengurangi keinginan
orang untuk berjalan kaki, sehingga diperlukan perlindungan bagi pejalan kaki terhadap
64

cuaca yang tidak menentu melalui penyediaan fasilitas peneduh. Fasilitas peneduh dapat
berjenis alami seperti pepohonan, ataupun buatan seperti atap-atap, kanopi bangunan,
dan ruang meneduh (shelter atau gazebo) (Chiara et al, 1994).
Kondisi curah hujan sering menimbulkan gangguan terhadap aktivitas pejalan kaki,
terutama saat musim penghujan, oleh karena itu perlu disediakan tempat berteduh
berupa shelter yang diletakkan setiap 300 meter pada jalur pejalan kaki. Selain itu,
terdapat kendala panas sinar matahari yang mampu mengurangi kenyamanan pejalan
kaki. Karyono dalam Ipak (2015) menyatakan bahwa ruas jalan yang didominasi oleh
perkerasan perlu dilindungi dari radiasi sinar matahari langsung, melalui penanaman
pohon sebagai peneduh dan penyedia kesejukan di sepanjang tepi jalan, serta pengadaan
atap atau kanopi di beberapa area. Jalur pejalan kaki dapat digolongkan sebagai teduh,
apabila pada jam paling terik, ruang berjalan sudah tertutupi bayangan yang ada di
sekitarnya dan pejalan kaki tidak terpapar sinar matahari secara langsung (ITDP, 2019).
c. Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu aktivitas dalam tingkat
tertentu, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan. Tingginya tingkat kebisingan oleh kendaraan pada jalan yang bersebelahan
dengan jalur pejalan kaki, dapat menjadi permasalahan terhadap kenyamanan pejalan
kaki. Terdapat juga kebisingan yang muncul akibat penyalahgunaan ruang pejalan kaki,
seperti suara musik, transaksi perdagangan PKL, dan parkir liar. Kebisingan tersebut
sulit dihindari kecuali adanya pengalokasian ruang yang tepat bagi aktivitas tersebut.
Kebisingan dapat direduksi dengan memberi barrier atau penghalang antara sumber
kebisingan dengan pengguna ruang. Untuk meminimalisir tingkat kebisingan
kendaraan, dapat disediakan tanaman dengan pola dan ketebalan yang rapat, serta
tersusun mulai dari bahu jalan hingga batas saluran atau rumija (Tanan et al, 2015).
d. Aroma (Bau)
Aroma atau bau tidak sedap dapat disebabkan oleh saluran pembuangan (drainase)
terbuka yang tidak lancar, sampah yang berserakan, bak sampah yang tidak terurus, dan
asap kendaraan bermotor. Pada kondisi tertentu, terdapat area pembuangan sampah
yang tidak jauh dari jaringan jalan, sehingga bau tidak sedap akan tercium, dan dapat
mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Untuk mengurangi gangguan aroma menyengat
atau bau tidak sedap, maka disediakan tempat sampah dengan desain tertutup, dan
sistem saluran pembuangan (drainase) tertutup yang lancar. Selain itu dapat dibuat
penghalang berupa sekat penutup atau tanaman yang cukup tinggi di sekitar tempat
sampah, atau peninggian permukaan tanah sekitar tempat sampah (Sanjaya et al, 2017).
65

e. Kebersihan
Jalur pejalan kaki yang bersih dapat menambah daya tarik masyarakat untuk
berjalan kaki, dan menciptakan kenyamanan bagi pejalan kaki. Salah satu penyebab
utama berkurangnya kebersihan adalah sampah yang berserakan pada permukaan jalur
pejalan kaki, karena keberadaannya dapat menimbulkan bau tidak sedap, mengurangi
kualitas lingkungan dan keindahan jalur pejalan kaki, sehingga mengurangi
kenyamanan dan minat masyarakat untuk berjalan kaki (Erna et al, 2016).
Untuk menjaga kebersihan jalur pejalan kaki, perlu disediakan tempat sampah yang
menampung sampah yang dihasilkan pejalan kaki. Penempatan dan jumlah penyediaan
tempat sampah pada jalur pejalan kaki sangat berpengaruh terhadap kebersihan jalur
pejalan kaki. Pengadaan sistem drainase yang mengalirkan air hujan ataupun limbah
cair dari jalur pejalan kaki dan jalur kendaraan juga diperlukan guna menghindari banjir
(genangan air) yang dapat membawa kotoran dan sampah (Hakim et al, 2002).
f. Keindahan (Kemenarikan visual)
Keindahan adalah kebutuhan pejalan kaki untuk memperoleh suasana yang
menyenangkan dan nyaman ketika beraktivitas pada jalur pejalan kaki. Keindahan
mencakup persoalan kepuasan batin (persepsi) berdasarkan panca indera pejalan kaki.
Untuk memperoleh kenyamanan yang optimal, maka elemen fisik dan aktivitas jalur
pejalan kaki harus dirancang melalui pertimbangan segi bentuk, warna, dan komposisi
tanaman pada terhadap kesesuaiannya dengan karakteristik lingkungan (Iswanto, 2006).
Keindahan tidak hanya berkaitan dengan jalur pejalan kaki, namun juga lingkungan
sekitarnya, yang mana dapat dipenuhi dengan menempatkan elemen estetik seperti
pepohonan, tanaman perdu, taman, ornamen lantai, atau objek estetik, sehingga jalur
pejalan kaki bersifat dekoratif dan menambah kenyamanan pejalan kaki (Wardianto,
2017). Pemandangan di sepanjang jalur pejalan kaki, yang mencakup penghijauan
merupakan hal yang menarik minat pejalan kaki (Koh et al, 2013).
2.3.5 Kebutuhan Penyandang Disabilitas
2.3.5.1 Kebutuhan Ruang
Kebutuhan ruang gerak penyandang disabilitas dengan alat bantu jalan memiliki ukuran
khusus yang bergantung pada ukuran alat bantu jalan yang digunakan. Berikut merupakan beberapa
gambaran kebutuhan ruang gerak pengguna alat bantu jalan menurut Neufert (1996):
66

Gambar 2.9 Ruang Pejalan Kaki dengan Tongkat Tuna Netra


Sumber: Neufert, 1996

Gambar 2.10 Ruang Pejalan Kaki dengan Kruk


Sumber: Neufert, 1996

Gambar 2.11 Ruang Pejalan Kaki dengan Kursi Roda


Sumber: Neufert, 1996

2.3.5.2 Kebutuhan Kondisi Fisik dan Elemen Pendukung


Kebutuhan ruang gerak penyandang disabilitas perlu diatur secara khusus, yaitu permukaan
jalur pejalan kaki tidak boleh licin dan harus terbebas dari segala hambatan yang berpotensi
mengancam keselamatan pergerakan penyandang disabilitas. Standar lebar satu arus ruang gerak
bagi kaum penyandang disabilitas ditetapkan berdasarkan ukuran pejalan kaki yang menggunakan
alat bantu gerak seperti kursi roda, kruk, atau tongkat tuna netra, yaitu minimal selebar 1,5 meter.
67

Selain itu, penyandang disabilitas juga perlu mengenali permukaan jalan yang lurus atau
kondisi perubahan ketinggian yang curam dengan mudah. Perbedaan ketinggian pada jalur pejalan
kaki harus disesuaikan melalui pengadaan elemen pendukung berupa pelandaian (ramp), dengan
tingkat kelandaian tidak melebihi 6%, sehingga membantu pergerakan penyandang disabilitas untuk
mudah melalui perbedaan ketinggian. Ramp diletakkan pada setiap perbedaan ketinggian, khusunya
pada setiap sisi persimpangan dan fasilitas penyeberangan, serta seluruh potongan jalur pejalan kaki.
Ramp harus memiliki penerangan yang cukup, dan dilengkapi dengan jalur pemandu untuk
mendukung pergerakan penyandang tuna netra, serta pegangan tangan (railing) pada kedua sisinya.
Jalur pemandu (guiding blocks) yang merupakan fasilitas pendukung, juga perlu disediakan
bagi penyandang tuna netra (keterbatasan penglihatan), sehingga berfungsi sebagai pengarah dan
penanda pergerakan penyandang tuna netra. Jalur pemandu dapat diletakkan pada jalur pejalan kaki
dengan lebar minimal 1,5 meter dan kelandaian tidak lebih dari 5%, yang terbebas dari halangan
(bahaya) berupa lubang, objek melintang dan menonjol atau tajam, yang berpotensi mengancam
keselamatan penyandang disabilitas. Jalur pemandu diletakkan di sepanjang jalur pejalan kaki,
dengan memanfaatkan pengubahan tekstur, warna, dan bahan ubin atau permukaan jalur pejalan kaki,
sehingga pejalan kaki menyadari adanya pembeda jalur pemandu pada jalur pejalan kaki. Jalur
pemandu diusahakan disusun secara lurus, dan melengkung pada pergantian arah atau belokannya.
Terdapat dua jenis ubin (tactile) dengan fungsi yang berbeda pada jalur pemandu, yaitu ubin
pengarah dengan tekstur garis-garis (stripes), yang menandakan ruang berjalan dengan mengikuti
susunan ubin pengarah selanjutnya, dan ubin peringatan dengan tekstur titik-titik (dots), yang
menandakan peringatan untuk berhenti sebentar atau berhati-hati sebab akan memasuki pergantian
ruang pejalan kaki atau area konflik. Kedua ubin memiliki ukuran 30 x 30 cm, dan memiliki warna
kuning atau jingga sebagai pembeda. Berikut merupakan gambaran ubin pengarah dan peringatan:

Gambar 2.12 Ubin Pengarah dan Ubin Peringatan


Sumber: Fruin, 1979

Beberapa ketentuan ubin pengarah dan peringatan adalah:


1. Ubin pengarah ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki dan menjadi penyambung
atau terhubung (diawali dan diakhiri) dengan ubin peringatan
2. Ubin peringatan ditempatkan pada setiap perubahan ruang (situasi) pejalan kaki, area
konflik dengan kendaraan, dan perbedaan ketinggian jalur pejalan kaki, seperti:
68

a. Pelandaian (ramp) sebagai akses atau potongan jalur pejalan kaki, akses bangunan,
akses persimpangan dan fasilitas penyeberangan, akses titik transit transportasi
umum, dan potongan jalur kendaraan (driveway cut)
b. Akses fasilitas umum bagi pejalan kaki
c. Akses perbedaan ketinggian berupa tangga
d. Akses menuju ruang terbangun (pintu masuk dan keluar)
3. Ubin pengarah direkomendasikan memiliki ruang kosong minimal selebar 0,6 meter
pada sisi kiri dan kanan ubin, terutama pada kawasan pertokoan atau wisata.
4. Lebar minimal melintang (strip) ubin peringatan adalah 0,6 meter (3 susun ubin), untuk
memperjelas deteksi peringatan bagi penyandang disabilitas.
5. Ubin pengarah dan peringatan perlu menyediakan bahan, tekstur, dan warna yang
berbeda secara signifikan dengan permukaan jalur pejalan kaki, sehingga tidak terjadi
kebingungan dalam membedakan ubin pengarah dan peringatan.
Penyandang tuna netra juga memiliki kebutuhan terhadap informasi, yang menyebabkan
mereka mengandalkan kemampuan untuk mendengar dan merasakan saat berjalan. Isyarat dalam
lingkungan yang termasuk suara lalu lintas, penyangga jalan yang landai, pesan berupa suara,
merupakan tanda yang menjadi sumber peringatan untuk dapat dideteksi oleh penyandang tuna netra.
Untuk mengakomodir kebutuhan tersebut, perlu disediakan informasi yang dapat dideteksi melalui
penyediaan fasilitas pendukung berupa:
1. Aksesibilitas penyandang tuna netra pada fasilitas penyeberangan, berupa lubang bagi
tongkat bantu jalan yang menandakan tempat menyeberang
2. Sinyal pengeras suara pada fasilitas penyeberangan yang dapat didengar (pesan verbal)
3. Informasi dalam bentuk huruf braille pada signage atau wayfinding
4. Jalur pemandu dengan tekstur pembeda, yang diletakkan berdekatan dengan muka
bangunan sebagai informasi lewat getaran
69

2.4 Sintesa Teori


Sintesa teori merupakan rangkuman teori-teori yang digunakan dari beberapa sumber berupa
buku, jurnal, maupun artikel yang digunakan sesuai dengan identfikasi yang akan dilakukan pada
penelitian yang berfokus pada jalur pejalan kaki. Berikut merupakan tabel sintesa teori yang
digunakan dalam penelitian kualitas jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman:

Tabel 2.5 Sintesa Teori


Teori Kesimpulan
Fungsi dan Kualitas Jalur Pejalan Kaki
Fungsi utama jalur pejalan kaki merupakan fasilitas pergerakan pejalan kaki yang dapat
mengakomodasi berbagai karakteristik pejalan kaki, sehingga penggunanya merasa mudah,
Kualitas jalur pejalan kaki mencakup:
lancar, aman, dan nyaman dalam bergerak, melalui desain yang sesuai dengan kebutuhan
1. Kelengkapan
pejalan kaki (Shirvani, 1985).
2. Keamanan
Kualitas jalur pejalan kaki adalah tingkat baik atau buruknya jalur pejalan kaki yang dapat
3. Kenyamanan
dilihat dari bagaimana pejalan kaki dapat berjalan dan menggunakan jalur pejalan kaki sesuai
Kualitas jalur pejalan kaki diuji
fungsinya (Revina, 2016).
berdasarkan:
Terdapat dua aspek yang mempengaruhi persepsi pejalan kaki terhadap jalur pejalan kaki,
1. Kondisi fisik jalur pejalan kaki
yaitu kenyamanan dan keamanan saat berjalan. Untuk mengetahui tingkat kepuasan
2. Persepsi pejalan kaki
masyarakat, maka perlu dibandingkan antara kondisi eksisting jalur pejalan kaki dengan
harapan dan keinginan pejalan kaki (Fruin et al, 1971).
Karakteristik Pejalan Kaki
Jenis kelamin (gender) menunjukkan perbedaan berdasarkan batas biologis yang Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan
mempengaruhi kecepatan berjalan, dimana kecepatan berjalan sedikit meningkat untuk laki- perempuan, berpengaruh terhadap
laki daripada perempuan (Tanan, 2011). Perbedaan gender juga berpengaruh dalam kecepatan berjalan dan penggunaan
penggunaan petunjuk untuk menemukan rute berjalan, dimana perempuan dan pria memiliki petunjuk oleh pejalan kaki untuk
ketergantungan terhadap penanda yang berbeda dalam sebuah rute berjalan (De Geode, 2009). menemukan rute berjalan.
Penggolongan usia dilakukan karena setiap kelompok usia memiliki kemampuan yang
Usia pejalan kaki yang terbagi
berbeda dalam mengatasi berbagai permukaan jalur pejalan kaki. Seorang anak memiliki
menjadi balita, anak kecil, anak-anak,
jangkauan pemanfaatan ruang yang berbeda dengan orang dewasa, seperti berjalan lebih
remaja, dewasa, orang tua, dan lanjut
perlahan dan memiliki ketinggian pandangan yang lebih rendah (Tanan, 2011).
usia, menunjukkan jangkauan
Selain itu, usia juga berpengaruh terhadap kecepatan berjalan, dimana balita bersama ibunya
pemanfaatan ruang berjalan yang
memiliki kecepatan paling rendah, lalu anak-anak usia 6 – 10 tahun, lalu usia 55 tahun ke atas
berbeda, yaitu kemampuan mengatasi
(lansia), lalu orang dewasa usia 19 – 55 tahun, lalu remaja usia 10 – 19 tahun memiliki
berbagai permukaan jalur pejalan
kecepatan paling tinggi (Tanan, 2011).
kaki, kecepatan dan pandangan
Selain itu, usia juga mempengaruhi kecepatan pejalan kaki dalam melakukan penyeberangan.
berjalan, serta cara penyeberangan.
Manula membutuhkan waktu yang lebih lama saat menyeberang jalan (Dewar, 1992).
Kondisi tubuh pejalan kaki digolongkan menjadi normal, kaum berkebutuhan khusus Kondisi tubuh pejalan kaki yang
(difabilitas) yang terdiri dari balita, anak kecil, lansia, ibu hamil, ataupun orang sakit, dan terbagi menjadi normal, berkebutuhan
70

Teori Kesimpulan
kaum penyandang cacat (disabilitas) yang terdiri dari tuna daksa, tuna netra, tuna rungu khusus (difabilitas), penyandang
wicara, dan tuna grahita, yang mana merupakan pejalan kaki yang membutuhkan alat bantu cacat (disabilitas), menunjukkan
gerak (tongkat tuna netra, kruk, atau kursi roda). Kondisi tubuh berpengaruh pada kecepatan perbedaan pada cakupan ruang dan
berjalan dan kebutuhan ruang pejalan kaki (Tanan, 2011). kecepatan berjalan, serta kebutuhan
Kaum difabilitas dan penyandang cacat membutuhkan ruang berjalan yang terbebas dari ruang dan fasilitas pendukung pada
hambatan, karena kemampuan bergerak yang terbatas ataupun berbeda, sehingga dibutuhkan jalur pejalan kaki.
beberapa fasilitas pendukung seperti pelandaian (ramp) pada perbedaan ketinggian beserta
pegangan tangan pada ramp, jalur pemandu dengan tekstur pembeda, sinyal suara pada
fasilitas penyeberangan, dan informasi berupa huruf braille atau sinyal suara (Dewar, 1992).
Kondisi dan karakteristik jalur pejalan kaki berdasarkan pemanfaatan lahan dan kelengkapan
fasilitasnya akan mempengaruhi persepsi kenyamanan pejalan kaki dalam beraktivitas pada
jalur pejalan kaki (Gehl, 1987). Terdapat tiga jenis aktivitas pejalan kaki, yaitu: Pemanfaatan lahan (guna lahan dan
1. Aktivitas penting (Necessary activities), yang dilakukan secara rutin karena adanya suatu fungsi bangunan) dan kelengkapan
kebutuhan, sehingga tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti pergerakan antar fasilitas pendukung pada jalur pejalan
ruang dan moda transportasi, yaitu bergerak dari tempat kerja, sekolah, atau pasar. kaki dapat mempengaruhi
2. Aktivitas pilihan (Optional activities), yang tidak dilakukan secara rutin dan dipengatuhi kenyamanan pejalan kaki dalam
oleh kondisi lingkungan, seperti rekreasi (wisata kota), olahraga, berbelanja, menikmati melakukan aktivitasnya, yang terdiri
pemandangan, duduk-duduk dan bersantai. dari aktivitas penting, pilihan, dan
3. Aktivitas sosial (Social activities), yang dilakukan oleh beberapa orang (berkelompok) sosial.
pada satu area yang sama, seperti pertemuan komunitas, demonstrasi, pertunjukkan
terbuka, dan aktivitas yang bergantung pada kehadiran orangnya.
Kelengkapan Jalur Pejalan Kaki
Kelengkapan jalur pejalan kaki adalah
Jaringan jalur pejalan kaki sebagai complete street, yaitu memiliki satu kesatuan fungsi, tidak terwujudnya fungsi jalur pejalan kaki
sepotong-potong atau sebagian, dan menghubungkan berbagai jenis guna lahan, aktivitas, dan yang utuh sebagai fasilitas
titik transit transportasi public (ITDP, 2019). penghubung antar ruang yang dapat
Selain itu, sebagai complete streets, jalur pejalan kaki dapat diakses, digunakan, dan mengakomodasi seluruh karakteristik
menyediakan ruang yang cukup untuk mengakomodasi semua golongan pejalan kaki pejalan kaki, melalui beberapa elemen
berdasakan gender, usia, maupun kemampuan fisik, sehingga menggiatkan berjalan kaki pembentuk, yaitu:
sebagai pilihan mobilitas perkotaan (Tanan, 2011). 1. Zonasi ruang jalur pejalan kaki
Menurut ITDP (2019), beberapa komponen yang membentuk kelengkapan jalur pejalan kaki 2. Permukaan jalur pejalan kaki
adalah zonasi ruang jalur pejalan kaki (walkways), permukaan jalur pejalan kaki (surface), 3. Material jalur pejalan kaki
bahan jalur pejalan kaki (material), jalur dan ubin pemandu (guiding block / tactile), 4. Jalur dan ubin pemandu
pelandaian (ramp), konektivitas jalur pejalan kaki (connectivity), dan ruang terbangun 5. Pelandaian
kawasan (building). 6. Konektivitas jalur pejalan kaki
7. Ruang terbangun kawasan
71

Teori Kesimpulan
Pembagian ruang jalur pejalan kaki bertujuan untuk menyediakan ruang bebas gerak pejalan
kaki, sehingga sirkulasi pejalan kaki menjadi lancar, aman, dan nyaman (Anggriani, 2009).
Ruang jalur pejalan kaki yang lengkap
Ruang jalur pejalan kaki yang lengkap terdiri dari 4 zona dengan urutan dan ketentuan, yaitu:
bertujuan untuk menyediakan ruang
1. Zona bagian depan gedung (frontage zone) merupakan area antara dinding (fasad) gedung
bebas gerak pejalan kaki, sehingga
dan zona pejalan kaki yang memerlukan jarak minimum berukuran 0,6 meter dari sisi
sirkulasi pejalan kaki menjadi lancar,
depan gedung. Penyandang tuna netra yang menggunakan tongkat, dapat mendeteksi zona
aman, dan nyaman, yang mana terdiri
ini melalui penyediaan jalur pemandu yang berjarak 0,3 – 1,2 meter dari sisi depan
dari 4 zona dengan ketentuan dan
bangunan. Bagian depan gedung juga harus terbebas dari berbagai halangan.
urutan dari sisi dalam menuju luar,
2. Zona pejalan kaki (pedestrian zone) adalah area pada sisi koridor jalan yang digunakan
yaitu:
khusus untuk pergerakan pejalan kaki dengan lebar minimum 1,5 – 1,8 meter, berdasarkan
1. Zona bagian depan gedung
kebutuhan ruang orang dewasa, dan kebutuhan ruang untuk mendahului pejalan kaki
dengan lebar ≥0,6 meter dan
lainnya (ITDP, 2019), namun direkomendasikan pada 1,8 – 3,0 meter, untuk memenuhi
terbebas dari halangan
tingkat pelayanan sesuai fungsi kawasan, khususnya pada intensitas pejalan kaki tinggi
2. Zona pejalan kaki dengan lebar
(Anggriani, 2009). Ruang pejalan kaki memiliki kebebasan vertical minimum 2,5 meter,
≥1,8 meter, kebebasan vertikal
dan berjarakn minimum 1 meter dari tepi trotoar. Ruang pejalan kaki juga harus terbebas
≥2,5 meter, dan yang berjarak 1
dari halangan berupa objek vertical atau menonjol yang berbahaya bagi pejalan kaki,
meter dari tepi jalan, yang
khususnya bagi penyandang disabilitas atau pengguna alat bantu jalan. Aktivitas olahraga
terbebas dari halangan, dan
diperbolehkan, jika lebar jalur pejalan kaki memungkinkan, yaitu minimal 5 meter. Ruang
menyediakan jalur alternatif pada
tambahan juga diperlukan untuk tempat tunggu menuju halte atau shelter bus (Anggriani,
area konstruksi dengan lebar
2009). Area konstruksi sementara pada jalur pejalan kaki harus disertai dengan jalur
minimal 1,5 meter yang
alternatif dengan ruang yang mampu mengakomodasi dan menjaga keamanan pejalan
menggunakan pagar setinggi 1 –
kaki, yaitu penyediaan jalur berjalan atau jalan setapak dengan lebar minimal 1,5 meter,
1,2 meter sebagai pemisah, atau
(atau 0,75 meter bila tidak memungkinkan), dengan pagar setinggi 1 – 1,2 meter sebagai
cone dan barikade.
pemisah, atau cukup menggunakan cone atau barikade.
3. Zona fasilitas pendukung dengan
3. Zona fasilitas pendukung (street furniture zone) berfungsi sebagai penyangga dan ruang
lebar ≥1,5 meter sebagai
penempatan fasilitas pendukung jalur pejalan kaki dengan lebar minimal 1,5 meter,
penempatan seluruh fasilitas
sehingga penempatan fasilitas pendukung tidak mengganggu pergerakan pejalan kaki.
pendukung
4. Zona pembatas (buffer zone) merupakan bagian integral jalan dengan fungsi keamanan,
4. Zona pembatas dengan lebar
yaitu sebagai pembatas (pemisah) antara badan jalan dengan zona fasilitas pendukung
minimal 0,5 meter dan dilengkapi
atau jalur pejalan kaki. Zona pembatas memiliki lebar minimal 0,3 meter bila dilengkapi
dengan pembatas.
dengan pembatas, dan minimal 0,5 meter bila tidak dilengkapi dengan pembatas. Zona
pembatas dapat dimanfaatkan sebagai jalur hijau, jalur sepeda, atau area parkir on street.
Permukaan jalur pejalan kaki memiliki ketinggian 1 langkah kaki (61 – 64 cm) lebih tinggi
Permukaan jalur pejalan kaki:
dari permukaan jalan (Neufert, 1996), guna mewadahi pejalan kaki berjalan dengan aman dan
1. Lebih tinggi dibandingkan jalur
nyaman (Pratitis, 2015), bersifat rata dengan meminimalisir perbedaan ketinggian, dan tidak
kendaraan (ketinggian 61–64 cm)
bergelombang dengan tingkat kelandaian yang direkomendasikan secara melintang sebesar 2
72

Teori Kesimpulan
– 4% dan 8% secara memanjang, atau tidak lebih dari 12%, sehingga tidak terjadi 2. Rata dengan meminimalisir
penggenangan air (Amelia et al, 2013), serta tidak licin dengan tidak beralur atau berpola. perbedaan ketinggian, dan tidak
Permukaan jalur pejalan kaki harus terhindari dari hambatan, halangan, atau kerusakan bergelombang.
(lubang, paving hilang, atau retak) yang menimbulkan resiko tersandung, dengan struktur 3. Tidak licin
permukaan yang kokoh, kuat, dan stabil melalui penggunaan perkerasan berupa blok beton, 4. Terhindar dari hambatan,
paving, atau ubin (Tanan, 2011), serta digunakan sesuai fungsinya (tidak ada penyalahgunaan halangan, dan kerusakan
ruang untuk parkir liar atau PKL), serhingga memberikan kesan luas, kebebasan melangkah, 5. Jenis perkerasan: blok beton,
dan menimbulkan rasa aman serta nyaman pada pergerakan pejalan kaki (Batteate, 2008). paving, atau ubin
Material fasilitas jalur pejalan kaki:
Fasilitas jalur pejalan kaki harus memiliki struktur yang kokoh dan padat, serta daya tahan
1. Kokoh (padat dan stabil), dan
yang kuat, melalui penggunaan jenis material beton atau metal. Fasilitas jalur pejalan kaki
daya tahan kuat (tahan lama)
harus menghindari permukaan yang licin melalui penggunaan material yang dapat menyerap
2. Tidak licin, dapat menyerap air,
air atau cepat kering, karena menyulitkan pengguna alat bantu jalan, dan tidak boleh
dan cepat kering
menyilaukan pengguna jalan (Hakim et al, 2002).
3. Tidak menyilaukan
Material jalur pejalan kaki harus memiliki variasi bentuk, tekstur, pola, dan warna, sehingga
4. Jenis material: beton, metal, dan
memberi kemenarikan visual dan memiliki unsur estetik (keindahan) atau dekoratif, melalui
batu granit
penggunaan batu yang diperindah atau kumpulan batu menonjol dengan jenis batu granit
5. Memiliki variasi bentuk, pola,
(Amelia et al, 2013).
tekstur, dan warna
Jaringan jalur pejalan kaki yang lengkap sebagai complete street berarti memberikan
Konektivitas jalur pejalan kaki:
aksesibilitas bagi kebutuhan pejalan kaki, seperti sistem transportasi publik, sumber pangan,
1. Titik transit (halte atau stasiun)
dan berbagai aktivitas (guna lahan), sehingga mendukung penciptaan konsep TOD dan
dapat diakses pada jarak 500 –
peningkatan penggunaan jalur pejalan kaki (ITDP, 2019), melalui beberapa komponen, yaitu:
1.000 meter dari jalur pejalan
1. Pengadaan jalur pejalan kaki pada area transit membentuk fungsi jalur pejalan kaki yang
kaki, atau sama dengan 10 menit
melengkapi mobilitas perkotaan. Pengukuran jarak yang menunjang fungsi akses
berjalan kaki.
terhadap transit adalah 500 – 1.000 meter dari titik halte atau stasiun, atau sama dengan
2. Sumber makanan dan minuman
10 menit berjalan kaki.
berada dalam radius 500 meter
2. Jaringan jalur pejalan kaki yang terhubung dengan sumber pangan. Pengukuran jarak
pada jalur pejalan kaki
yang menunjang fungsi akses terhadap makanan adalah dalam radius 500 meter dari
3. Terdapat 5 atau lebih akses
aktivitas perdagangan dan jasa, titik transit, atau sumber makanan.
terhadap bangunan dan ruang
3. Terdapat setidaknya 5 permeable frontage setiap jarak 100 meter jalur pejalan kaki pada
terbuka publik (permeable
kawasan, yaitu akses khusus pejalan kaki menuju bangunan dari muka bangunan yang
frontage) setiap jarak 100 meter
berbatasan langsung dengan jalur pejalan kaki, yang menjadi penting karena memicu
jalur pejalan kaki.
tingginya aktivitas dan pergerakan pejalan kaki.
Ruang terbangun sebagai karakteristik kawasan memberi pengaruh pada jalur pejalan kaki
Ruang terbangun sebagai
yang membantu mewujudkan suasana dan pengalaman berjalan yang menyenangkan atau
karakteristik kawasan yang
berkesan secara visual, menciptakan rute berjalan yang mudah, sehingga mendukung kegiatan
melengkapi jalur pejalan kaki:
berjalan yang aman dan nyaman ITDP (2019), melalui beberapa komponen, yaitu:
73

Teori Kesimpulan
1. Muka bangunan (fasad) yang berbatasan langsung dengan jalur pejalan kaki harus aktif 1. Kawasan memiliki lebih dari
secara visual (visually active frontage), yaitu berupa transparent wall, jendela, atau 90% muka bangunan yang aktif
rolling door toko yang berada pada satu level dengan jalur pejalan kaki, dan harus terbuka secara visual
atau dapat dilihat saat jam padat pejalan kaki. Dalam skala kawasan, setidaknya terdapat 2. Kawasan didominasi oleh blok
lebih dari 90% muka bangunan aktif untuk meningkatkan kenyamanan pejalan kaki. bangunan kecil yang berukuran
2. Keberadaan blok bangunan kecil, yaitu panjang bangunan kurang dari 110 meter akan kurang dari 110 meter
memperpendek jarak perjalanan dan memberikan pilihan jalan pintas, sehingga memberi 3. Terdapat 2 atau kurang potongan
kemudahan pergerakan bagi pejalan kaki dalam perpindahan antar ruas jalan. jalur kendaraan setiap jarak 100
3. Driveway density adalah ramp atau potongan pada jalur pejalan kaki (driveway cut) bagi meter pada jalur pejalan kaki
kendaraan masuk menuju bangunan, yang perlu dibatasi jumlahnya, yaitu sebaiknya
berjumlah 2 atau kurang setiap jarak 100 meter pada jalur pejalan kaki, sehingga tetap
menjaga keamanan dan kenyamanan pergerakan pejalan kaki.
Jalur pemandu (guiding blocks) perlu disediakan di sepanjang jalur pejalan kaki sebagai
Jalur pemandu memiliki lebar ≥1,5
pengarah dan penanda bagi penyandang tuna netra (pengguna tongkat bantu jalan). Jalur
meter, kelandaian ≤5%, yang terbebas
pemandu memanfaatkan pengubahan tekstur melalui ubin dengan pola dan warna yang
dari halangan, dan meminalisir
berbeda, sehingga pejalan kaki menyadari adanya jalur khusus penyandang tuna netra. Jalur
belokan, serta melengkung pada
pemandu memiliki lebar minimal 1,5 meter dan kelandaian maksimal 5%, yang harus terbebas
belokannya. Terdapat dua jenis ubin
dari halangan. Penyusunan jalur pemandu sedapat mungkin meminimalisir belokan dan
pemandu dengan ukuran 30x30 cm,
melengkung pada belokannya (ITDP, 2019).
dengan ketentuan:
Menurut Anggriani (2009), terdapat dua jenis ubin (tactile) dengan ukuran 30x30 cm yang
1. Ubin pengarah diletakkan di
digunakan pada jalur pemandu, yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
sepanjang jalur pejalan kaki
1. Ubin pengarah: Menandakan arah berjalan dengan mengikuti susunan ubin di sepanjang
dengan ruang kosong ≥0,6 meter
jalur pejalan kaki, yang bertekstur garis-garis dan berwarna kuning atau jingga sebagai
pada sisi ubin. Bertekstur garis-
pembeda, dengan ruang kosong minimal 0,6 meter pada kiri dan kanan ubin.
garis dan berwarna kuning/jingga
2. Ubin peringatan: Memberi peringatan untuk berhenti sebentar atau berhati-hati sebab
2. Ubin peringatan diletakkan pada
terdapat perubahan situasi, atau memasuki pergantian ruang jalur pejalan kaki.
perpindahan ruang jalur pejalan
Ditempatkan pada sebelum dan sesudah inrit atau potongan jalur kendaraan, ujung jalur
kaki, perbedaan ketinggian,
pejalan kaki (ramp), depan pintu atau akses bangunan, akses titik transit angkutan umum
perbuahan situasi, dan fasilitas
dan area penumpang, tangga atau jalur penyeberangan dengan perbedaan ketinggian, di
umum. Bermotif titik-titik (dots)
depan pintu masuk dan keluar, serta akses menuju pemandu arah atau fasilitas umum
dan berwarna kuning/jingga.
lainnya. Bermotif bulat-bulat atau titik-titik (dots) dan berwarna kuning atau jingga
Lebar melintang ubin peringatan
sebagai pembeda, dengan lebar minimal strip (melintang) ubin peringatan selebar 0,6
≥0,6 meter (3 ubin).
meter (3 ubin) untuk memperjelas peringatan.
Pelandaian (ramp) diperlukan pada perbedaan ketinggian guna memfasilitasi pergerakan Ramp diletakkan pada perbedaan
penyandang disabilitas dengan alat bantu jalan. Ramp diletakkan pada setiap perbedaan ketinggian dan akses jalur pejalan
ketinggian, seperti akses atau potongan jalur pejalan kaki terhadap ruang lain dan sisi kaki, dengan permukaan berbahan
persimpangan atau jalur penyeberangan. Material permukaan ramp bersifat anti slip dan tidak anti slip, tidak beralur, dan dilengkapi
74

Teori Kesimpulan
beralur, sehingga tidak licin, dan memiliki penerangan yang cukup, serta dilengkapi jalur penerangan serta jalur pemandu.
pemandu (Anggriani, 2009). Menurut Neufert (1996), ramp terdiri dari tiga bagian, yaitu: Ramp terdiri dari tiga bagian dengan
a. Slope: Segmen ramp atau pembagian ramp menjadi beberapa tahap dengan maksimal ketentuan sebagai berikut:
panjang satu segmennya adalah 6 meter. Rasio kelandaian yang dianjurkan adalah 6%. 1. Slope dengan panjang ≤6 meter,
Slope memiliki ruang selebar ruang pejalan kaki, yakni minimal selebar 1,7 meter. 2. Landing dengan tiga bagian
b. Landing: Penyambung jalur pejalan kaki dengan slope atau antar slope, dengan landing, yaitu top, bottom, dan
kelandaian yang lebih kecil dibandingkan slope, atau bersifat datar. Landing intermediate landing, yang
direkomendasikan memiliki panjang 1,2 – 1,8 meter, dengan lebar sama dengan slope. memiliki lebar sama dengan
Terdapat tiga bagian landing, yaitu top landing pada sisi atas ramp dan bottom landing slope, dan kelandaian <8%.
pada sisi bawah ramp sebagai akses ramp terhadap ruang lain, serta intermediate landing 3. Side Flares pada kedua sisi ramp
yang menyambungkan antar segmen slope. dengan lebar minimal 25 cm, dan
c. Side flares: Tepi pada kedua sisi ramp untuk mencegah bahaya tersandung bagi dilengkapi pegangan tangan pada
pengguna alat bantu jalan saat bermanuver, dengan lebar minimal 25 cm dan permukaan kedua sisinya, dengan ketinggian
setinggi 5 cm dari permukaan ramp, yang dilengkapi pegangan tangan dengan 75 – 80 cm, dan panjangnya
permukaan yang tidak licin, ketinggian 75 – 80 cm, dan panjang yang melebihi anak harus melebihi anak tangga
tangga terakhir atau memiliki kelebihan sepanjang 30 cm. terakhir, atau memiliki kelebihan
Beberapa pertimbangan lain dalam perancangan ramp adalah bila ramp memiliki desain sepanjang 30 cm, serta tidak
berundak, maka batas maksimal perbedaan ketinggian adalah sebesar 2,5 cm yang masih baik licin.
untuk diatasi, dan bila batas maksimal kemiringan ramp sebesar 6% tidak tercapai, maka
dapat didesain dengan kemiringan sebesar 8 – 10%.
Keamanan Jalur Pejalan Kaki
Keamanan jalur pejalan kaki adalah
Keamanan jalur pejalan kaki adalah menempatkan pejalan kaki sebagai prioritas dengan memprioritaskan dan memberikan
menjaga keselamatan dan keamanan ruang pejalan kaki, menimalisasi tindak kriminalitas rasa aman bagi pejalan kaki dengan
yang mungkin terjadi kepada pejalan kaki, dan mencegah terjadinya kecelakaan yang menjaga keselamatan dan keamanan
berpotensi terjadi pada pejalan kaki (Anggriani, 2009). ruang pergerakannya melalui
Menurut ITDP (2019), keamanan jalur pejalan kaki dilihat dari sejauh mana jalur pejalan kaki penyediaan fasilitas pendukung yaitu:
dapat memberikan rasa aman bagi penggunanya melalui penyediaan beberapa elemen 1. Fasilitas penyeberangan
pendukung seperti fasilitas penyeberangan (crossings), rambu (signals), pembatas (curb, 2. Rambu
barrier, dan bollard), dan penerangan (lighting). 3. Pembatas
4. Penerangan
Jalur penyeberangan merupakan fasilitas untuk pejalan kaki menyeberang secara aman dan Fasilitas penyeberangan yang
nyaman, serta menghindari konflik dengan kendaraan. Struktur penyeberangan yang aman, dibutuhkan pada jalur pejalan kaki
nyaman, dan praktis mempertimbangkan penataan komponen fasilitas penyeberangan dengan yang terletak di kawasan perkotaan
memperhitungkan jarak pandang, aksesibilitas, pola dan tahapan lalu lintas, durasi waktu terdiri dari:
penyeberangan, dan ukuran aman lalu lintas pejalan kaki (Anggriani, 2009). Berikut 1. Penyeberangan pada
merupakan jenis fasilitas penyeberangan: persimpangan yang terletak pada
75

Teori Kesimpulan
1. Penyeberangan pada persimpangan (Crosswalk) setiap sisi persimpangan,
Penyeberangan pada persimpangan harus terletak pada setiap sisi atau kaki persimpangan, dilengkapi marka zebracross,
yang dinyatakan dengan marka penyeberangan berupa zebracross untuk membantu rambu petunjuk dan peringatan
mengarahkan pejalan kaki dan pengendara. Penyeberangan dilengkapi dengan rambu untuk penyeberangan, median
membantu memperingati pengguna jalan akan adanya aktivitas penyeberangan pada penyeberangan, serta lampu
persimpangan. Jika panjang penyeberangan melintasi dua atau lebih arus lalu lintas, maka pejalan kaki.
harus dilengkapi pulau penyeberangan sebagai ruang tunggu pejalan kaki yang dapat 2. Penyeberangan pada ruas jalan
mengakomodasi penyandang disabilitas. Apabila kecepatan arus lalu lintas lebih dari 40 yang diletakkan pada jarak 300
km/jam, maka harus dilengkapi dengan lampu pejalan kaki (Anggriani, 2009). meter dari persimpangan, dan
2. Penyeberangan pada ruas jalan (Pelican crossing) dilengkapi marka zebracross,
Penyeberangan pelikan dibutuhkan agar pejalan kaki dapat mengkases sisi jalan yang jauh median penyeberangan, rambu
dari persimpangan dengan praktis. Penyeberangan pelikan yang dinyatakan dengan marka petunjuk dan peringatan
penyeberangan berupa zebracross, diletakkan pada jarak minimum 300 meter dari penyeberangan, lampu pejalan
persimpangan atau fasilitas penyeberangan lain, terkecuali pusat kota, CBD, atau lokasi yang kaki, serta lampu penerangan
memerlukan penyeberangan. Penyeberangan harus dilengkapi lampu pejalan kaki, rambu 3. Jembatan penyeberangan dengan
petunjuk dan peringatan, yang membantu memperingati pengguna jalan terhadap aktivitas ketinggian ≥5 meter, akses
penyeberangan pada ruas jalan. Jika penyeberangan melewati dua atau lebih arus lalu lintas, berupa tangga (ketinggian anak
maka harus dilengkapi pulau penyeberangan sebagai ruang tunggu pejalan kaki yang dapat tangga 28 – 30 cm) atau
mengakomodasi penyandang disabilitas. Penyeberangan juga harus memiliki penerangan, permukaan landai (miring)
sehingga memberi jarak pandang yang baik bagi pengguna jalan (Anggriani, 2009). dengan panjang segmen jalur
3. Jembatan penyeberangan pelandaian ≥1,5 meter, lebar jalur
Fasilitas penyeberangan pada ruas jalan dengan struktur berupa jembatan layang di atas jalan penyeberangan ≥2 meter, dan
digunakan apabila penyeberangan pelikan tidak dapat digunakan atau sudah menganggu lalu kemiringan jalur penyeberangan
lintas kendaraan, dan pada ruas jalan dengan kecepatan arus kendaraan di atas 70 km/jam, ≤10% (≤20º), serta dilengkapi
arus pejalan kaki yang ramai, dan frekuensi kecelakaan lalu lintas yang cukup tinggi, sehingga pagar pembatas pada tepi
keamanan pengguna jalan dapat terjamin (Tanan, 2011). Jembatan harus memiliki struktur jembatan penyeberangan.
yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki, yaitu kebebasan vertikal minimal sebesar 5 meter, 4. Median penyeberangan terletak
akses berupa jalur pelandaian dengan kelandaian maksimum 10% (20º), atau tangga dengan pada penyeberangan sebidang
tinggi anak tangga 28 – 30 cm, jalur penyeberangan minimal selebar 2 meter dan panjang yang melalui lebih dari dua arus
segmennya minimal 1,5 meter, dan dilengkapi peneduh berupa atap, pembatas pada kedua sisi kendaraan, dengan ruang tunggu
tepinya berupa pagar dan pegangan tangan, serta jalur pemandu (Anggriani, 2009). yang memiliki panjang 10 – 12
4. Median penyeberangan meter dan lebar 1,8 – 2,4 meter,
Median penyeberangan disediakan pada jalur penyeberangan mid-block yang melewati dua yang dilengkapi rambu
atau lebih arus lalu lintas, atau pada kondisi kecepatan dan volume kendaraan tidak peringatan dan petunjuk
memungkinkan pejalan kaki untuk melakukan penyeberangan sekali jalan (single-stage penyeberangan, lampu
crossing). Pada jalan dengan kecepatan kendaraan lebih dari 40 km/jam, median penerangan, serta tepiannya
penyeberangan harus dilengkapi lampu pejalan kaki dan rambu peringatan serta petunjuk berupa perpanjangan jalur
76

Teori Kesimpulan
sebelum penyeberangan, yang memberi jarak pandang yang cukup bagi pengendara untuk penyeberangan yang sejajar
melihat dan mengurangi kecepatannya, serta lampu penerangan agar jelas terlihat pada malam dengan batas jalur pejalan kaki,
hari. Komponen median penyeberangan terdiri dari potongan median (median cut through), yang dilengkapi curb dan
yang menyediakan ruang tunggu bagi pejalan kaki saat menyeberang, dengan ukuran ideal bollard.
panjang 10 – 12 meter dan lebar 1,8 – 2,4 meter, serta tepi median (median tips) berupa 5. Marka berupa zebracross
perpanjangan jalur penyeberangan yang sejajar dengan batas jalur pejalan kaki, dan dilengkapi berwarna putih pada
curb serta bollard bila diperlukan (ITDP, 2019). penyeberangan sebidang yang
5. Marka penyeberangan terdiri dari garis-garis membujur
Marka penyeberangan pada fasilitas penyeberangan sebidang berupa zebracross yang dicat dengan lebar garis 0,3 meter,
berwarna putih, berfungsi sebagai penanda ruang penyeberangan pejalan kaki dan batas panjang ≥2,5 meter, jarak antar
pemberhentian kendaraan, dengan ruang yang cukup untuk menampung banyaknya pejalan garis (celah) selebar 0,3 - 0,6
kaki yang menyeberang (Anggriani, 2009). Komponen marka penyeberangan terdiri dari meter, dan dua garis melintang
garis-garis utuh membujur yang tersusun melintang, yang menandakan jalur penyeberangan dengan lebar garis 0,3 meter dan
pejalan kaki, dengan lebar garis minimal 30 cm dan panjang 2,5 meter, serta celah antar garis jarak antar kedua garis ≥2,5
minimal sama (30 cm) atau maksimal dua kali lebar garis membujur (60 cm), serta dua garis meter
melintang yang menjepit garis-garis membuujur, yang menandakan batas pemberhentian 6. Lampu pejalan kaki berupa
kendaraan, dengan jarak antar garis minimal 2,5 meter dan lebar garis 30 cm. perangkat elektronik dengan
6. Lampu pejalan kaki (Pedestrian light) pengaktifan melalui tombol yang
Lampu pejalan kaki adalah perangkat elektronik yang menggunakan sinyal lampu dan bunyi menghasilkan sinyal
untuk mengatur penyeberangan pada persimpangan atau ruas jalan. Cara kerja lampu pejalan penyeberangan pejalan kaki dan
kaki pada penyeberangan ruas jalan adalah dengan menekan tombol pengaktifan sinyal lampu pemberhentian kendaraan berupa
dan bunyi yang mengarahkan kendaraan untuk berhenti, sehingga pejalan kaki memiliki waktu lampu dan bunyi yang
untuk menyeberang. Pada penyeberangan persimpangan, sinyal lampu dan bunyi bersifat diperkeras, dengan ketinggian >3
otomatis dan menjadi satu kesatuan dengan lampu lalu lintas persimpangan (Tanan, 2011). meter, dan dilengkapi alat hitung
Lampu pejalan kaki yang aman memiliki ketinggian ≥3 meter, sehingga mencakup pandangan mundur, serta menjadi satu
pengguna jalan, dan dilengkapi alat penghitung mundur berdasarkan perhitungan waktu kesatuan dengan lampu lalu lintas
tempuh menyeberang yang berkorelasi dengan jarak penyeberangan, sehingga membantu pada persimpangan.
pejalan kaki memperkirakan waktu yang tepat untuk menyeberang (Tanan, 2011).
Rambu pejalan kaki dengan
Rambu merupakan penanda yang berfungsi mengatur, memberi peringatan, dan mengarahkan
ketinggian 2- 3 meter dan bersifat
pengguna jalan agar pergerakan lalu lintasnya menjadi aman dan terarah. Rambu diletakkan
reflektif, yang terdiri dari:
pada ruang fasilitas pendukung dengan penempatan yang menyesuaikan jarak pengguna jalan,
a. Rambu larangan bagi pejalan kaki
agar menyediakan waktu yang cukup dalam memberikan respon. Rambu memiliki pengaturan
berbentuk lingkaran dengan
ketinggian tertentu yang harus mencakup visibilitas pengguna jalan. Desain rambu yang
lambang aktivitas berwarna
mencakup warna, bentuk, ukuran, dan tingkat retrorefleksi harus menarik perhatian dan
hitam, tepi dan coretan diagonal
mendapat respek pengguna jalan, serta memberikan pesan yang sederhana dan mudah
berwarna merah, serta latar rambu
dimengerti (Anggriani, 2009). Keseragaman dan konsistensi desain rambu akan
berwarna putih.
77

Teori Kesimpulan
mempermudah pengguna jalan dalam mengenal, memahami dan memberikan respon, serta b. Rambu perintah bagi pejalan kaki
menghasilkan konsistensi persepsi dan respon pengguna jalan (ITDP, 2019). berbentuk lingkaran dengan
Menurut Harris et al (1998), rambu dapat dibagi menjadi dua, yakni: lambang aktivitas perintah dan
1. Rambu pejalan kaki dengan ketinggian 2 – 3 meter yang bersifat reflektif tepi rambu berwarna putih, serta
a. Rambu larangan yang menyatakan perbuatan terlarang bagi pejalan kaki, seperti latar rambu berwarna biru.
dilarang masuk bagi pejalan kaki atau dilarang membuang sampah sembarangan. c. Rambu petunjuk bagi pejalan
Berbentuk lingkaran dengan lambang larangan aktivitas berwarna hitam, tepi dan kaki berbentuk persegi panjang
coretan rambu secara diagonal berwarna merah, serta latar rambu berwarna putih. dengan lambang aktivitas
b. Rambu perintah yang menyatakan perintah wajib bagi pejalan kaki, seperti bergerak petunjuk berwarna hitam, latar
pada jalur khusus pejalan kaki. Berbentuk lingkaran dengan lambang aktivitas dan lambang berwarna putih, dan latar
tepi rambu perintah berwarna putih, serta latar rambu berwarna biru. rambu berwarna biru.
c. Rambu petunjuk yang menyatakan petunjuk mengenai arah, jalan, pengaturan, dan Rambu kendaraan bermotor dengan
fasilitas lainnya bagi pejalan kaki, seperti petunjuk lokasi fasilitas penyeberangan. ketinggian >3 meter dan bersifat
Berbentuk persegi panjang dengan lambang aktivitas petunjuk berwarna hitam dan reflektif, yang terdiri dari:
latar tepi lambang aktivitas petunjuk berwarna putih, serta latar rambu berwarna biru. a. Rambu peringatan yang
2. Rambu kendaraan bermotor dengan ketinggian lebih dari 3 meter yang bersifat reflektif diletakkan pada jarak 5 – 10
a. Rambu peringatan yang diletakkan pada jarak 5 – 10 meter sebelum fasilitas meter sebelum jalur
penyeberangan. Berbentuk belah ketupat dengan lambang aktivitas peringatan dan penyeberangan atau
tepi rambu berwarna hitam, serta latar rambu berwarna kuning. Beberapa jenis persimpangan, yang berbentuk
rambu peringatan berdasarkan informasi peringatan yang diberikan, yaitu: belah ketupat dengan lambang
 Peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki aktivitas peringatan dan tepi
 Peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki berupa anak-anak rambu berwarna hitam, serta latar
 Peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki menggunakan fasilitas penyeberangan rambu berwarna kuning.

 Peringatan alat pemberi isyarat lalu lintas b. Rambu batas kecepatan (speed

 Peringatan lampu isyarat penyeberangan jalan regulation) pada kecepatan

 Penegasan peringatan (tanda seru) 40km/jam, yang berbentuk

b. Rambu (regulasi) batas kecepatan (speed regulation) lingkaran dengan lambang angka

Berupa papan rambu berbentuk lingkaran dengan angka batas kecepatan berwarna hitam, batas kecepatan berwarna hitam,

latar rambu berwarna putih, dan tepi rambu berwarna merah. Pembatasan kecepatan pada latar rambu berwarna putih, dan

jalan arteri dalam kota dengan berbagai hambatan adalah 40 km/jam. tepi rambu berwarna merah.

Pembatas merupakan struktur fisik antara jalur pejalan kaki dengan jalan (jalur kendaraan atau Terdapat tiga jenis struktur fisik yang
jalur sepeda), yang mencegah kendaraan untuk masuk dan menggunakan ruang pejalan kaki. berfungsi sebagai pembatas jalur
Pembatas dapat berupa peninggian tepi jalur pejalan kaki (curb), pagar pembatas (barrier), pejalan kaki terhadap kendaraan
dan patok pembatas (bollard) (ITDP, 2019). bermotor, yaitu:
Curb berfungsi memisahkan perbedaan ketinggian antara jalur pejalan kaki dengan badan 1. Curb berbahan beton yang
jalan, sehingga meminimalisir konflik pejalan kaki dengan kendaraan, dan juga digunakan diletakkan di sepanjang jalur
sebagai akses pengaliran air dari badan jalan menuju drainase (ITDP, 2019). Curb memiliki pejalan kaki, dengan ketinggian
78

Teori Kesimpulan
ketinggian minimal 64 cm dari permukaan jalan dengan ketebalan tapak 21 cm dan lebar minimal 25 cm dari permukaan
bagian atas 18 cm, serta terbuat dari beton (Amelia et al, 2013). jalan, dan ketebalan tapak 21 cm,
Barrier berfungsi sebagai pelindung atau pengaman pejalan kaki terhadap bahaya lalu lintas serta lebar bagian atas 18 cm.
kendaraan, sehingga tidak terjadi konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan (ITDP, 2019). 2. Barrier berbahan metal atau
Pada jalan dengan lebar lebih dari 10 meter atau lebih dari 4 lajur, dan pada titik yang beton dengan ketinggain 90 cm,
berbahaya, diperlukan pelindung berupa pagar pembatas (barrier) dengan ketinggian yang diletakkan pada titik rawan
minimum 90 cm yang berbahan metal atau beton (Anggriani, 2009). kecelakaan atau pada jalan
Bollard merupakan patok (tonggak) pada jalur pejalan kaki dengan fungsi pengarah dan dengan lebar lebih dari 10 meter
pembatas, yang berpengaruh dalam meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pergerakan atau lebih dari 4 lajur.
pejalan kaki dengan mencegah kendaraan bermotor masuk dan menggunakan ruang pejalan 3. Bollard berbahan beton, yang
kaki, sehingga mengurangi resiko kecelakaan lalu lintas dan mencegah rusaknya jalur pejalan diletakkan 30 – 45 cm dari curb
kaki (ITDP, 2019). Bollard dipasang pada ruang pertemuan (konflik) pejalan kaki dengan dengan diameter 30 cm,
kendaraan, seperti potongan jalur kendaraan (driveway cut) dan fasilitas penyeberangan, ketinggian 60 – 120 cm, dan
sehingga fungsional dan tidak mengganggu ruang pejalan kaki atau jalur pemandu. Pada berjarak 75 – 90 cm antar
umumnya, bollard berbentuk tiang dengan dimensi ketinggian 0,6 – 1,2 meter dan diameter bollard.
30 cm, yang ditempatkan pada jarak 30 – 45 cm dari curb, dengan jarak penempatan antar
bollard disesuaikan dengan kebutuhan pejalan kaki dengan alat bantu pergerakan atau barang
bawaan, sehingga direkomendasikan pada jarak 75 – 90 cm antar bollard. Material pembentuk
bollard yang direkomendasikan adalah beton (Foundry, 2021).
Menurut Harris et al (1998), lampu penerangan berfungsi untuk mengakomodasi pergerakan
pejalan kaki yang aman, dengan memberikan penerangan yang membantu penglihatan pejalan
Lampu penerangan memiliki struktur
kaki saat kondisi gelap, dan menekan kemungkinan tindak kriminalitas, serta menghidupkan
tinggi 4-6 meter dengan jarak
suasana jalur pejalan kaki. Penerangan harus cocok secara desain dan fungsional, serta dalam
penempatan 10 – 15 meter, distribusi
skala yang sesuai kebutuhan kawasan, baik bagi pejalan kaki maupun kendaraan.
pencahayaan vertikal mencapai 2
Menurut Anggriani (2009), lampu penerangan di sepanjang jalur pejalan kaki harus memiliki
meter, dan kekuatan lampu minimal
ukuran yang sesuai skala manusia, dengan ketinggian 4 – 6 meter, distribusi pencahayaan
75 watt. Jarak minimum tiang lampu
vertikal mencapai 2 meter, tingkat penerangan dengan kekuatan lampu minimal 75 watt, dan
dari tepi jalur pejalan kaki adalah 0,8
memastikan tidak ada bagian jalur pejalan kaki yang gelap melalui penempatan setiap jarak
meter. Bahan yang digunakan adalah
10 – 15 meter, dan terbuat dari metal atau beton yang anti vandalism. Menurut Amelia et al
metal atau beton. Sebaiknya
(2013), sistem penerangan sebaiknya bersifat menerus dan parsial, yaitu bergantian pada sisi
mengakomodasi papan informasi,
kanan dan kiri jalur pejalan kaki, dan penempatannya minimal berjarak 0,8 meter dari tepi
penunjuk jalan, atau banner iklan.
jalur pejalan kaki, sehingga tidak mengganggu ruang gerak pejalan kaki. Lampu penerangan
sebaiknya mengakomodasi papan informasi, penunjuk jalan, dan banner.
Kenyamanan Jalur Pejalan Kaki
Kenyamanan jalur pejalan kaki adalah tersedianya fasilitas yang mendukung kegiatan berjalan Kenyamanan jalur pejalan kaki adalah
dan dapat dinikmatinya kegiatan berjalan tanpa adanya gangguan (Murtomo et al, 2009). tersedia fasilitas pendukung kegiatan
79

Teori Kesimpulan
Kenyamanan jalur pejalan kaki dapat menjadikan perjalanan pejalan kaki menyenangkan dan berjalan yang berkesan dan dapat
berkesan. Dalam mewujudkan rasa nyaman pada jalur pejalan kaki, pejalan kaki akan dinikmati tanpa gangguan, yaitu:
melibatkan panca indera manusia (Anggriani, 2009). 1. Signage / wayfinding
Kenyamanan pejalan kaki dipengaruhi oleh fasilitas penunjang kenyamanan jalur pejalan kaki 2. Drainase
yang terdiri dari papan penunjuk jalan dan informasi (signage / wayfinding), drainase 3. Vegetasi
(drainage), vegetasi (pepohonan dan jalur hijau), peneduh (shades), tempat duduk (seating), 4. Peneduh
tempat sampah (waste container), halte dan shelter bus (ITDP, 2019). 5. Tempat duduk
6. Tempat sampah
7. Halte dan shelter bus
Wayfinding merupakan fasilitas pendukung aksesibilitas kawasan, yang memberikan Wayfinding memberikan informasi
informasi mengenai multi moda transit, orientasi lokasi, petunjuk arah dan jarak titik transit mengenai multi moda transit,
atau fasilitas umum terdekat, sehingga pejalan kaki merasa lebih nyaman (ITDP, 2019). orientasi lokasi, petunjuk arah dan
Wayfinding ditempatkan pada lokasi strategis dengan arus pejalan kaki padat, seperti titik jarak titik transit serta fasilitas umum
transit transportasi umum, titik interaksi sosial, dan ruang terbuka publik. Pemasangannya terdekat, yang ditempatkan pada titik
dilakukan setiap waktu tempuh 5 – 10 menit berjalan terhadap lokasi strategis, dan pada jarak transit transportasi umum, area
8 – 10 meter terhadap persimpangan pada seluruh sisinya, sehingga memberikan orientasi interaksi sosial, dan ruang terbuka
lokasi dan arah berjalan sesuai kebutuhan kawasan (ITDP, 2019). publik, serta dipasang setiap jarak 5 –
Bentuk dan ukuran wayfinding menyesuaikan kebutuhan dan skala manusia, agar informasi 10 menit berjalan terhadap lokasi
dapat ditangkap oleh pandangan pejalan kaki. Jenis dan ukuran huruf pada informasi harus strategis, dan pada jarak 8 – 10 meter
terbaca secara jelas. Penggunaan bahasa, kalimat, grafis, dan peta juga harus mudah dipahami dari persimpangan pada seluruh
secara universal, karena keberagaman pejalan kaki (ITDP, 2019). sisinya. Jenis dan ukuran huruf
Wayfinding ditempatkan pada tempat terbuka yang tidak terhalang, dengan ketinggian sejajar informasi harus terbaca secara jelas.
kondisi jalan atau dapat ditangkap oleh pandangan pejalan kaki, dan dapat disatukan dengan Penggunaan bahasa, kalimat, grafis,
lampu penerangan atau fasilitas lainnya, sehingga efisien dan memudahkan orang membaca. dan peta harus mudah dipahami.
Pada desain yang lebih baik, wayfinding mampu mengakomodasi kebutuhan penyandang tuna Infromasi juga disediakan dalam
netra melalui penyediaan informasi dalam huruf braille atau sinyal suara (Anggriani, 2009). bentuk huruf braille atau sinyal suara.
Drainase merupakan jaringan pembuangan air berbentuk saluran yang mengalirkan limbah
cair kawasan, termasuk aliran air jalan dan jalur pejalan kaki. Keberadaan drainase dapat Drainase pada jalur pejalan kaki
mencegah terjadinya banjir dan genangan pada jalur pejalan kaki saat hujan. Drainase dapat direkomendasikan berbentuk tertutup
diletakkan berdampingan dengan ruang pejalan kaki yang didesain terbuka, atau di bawah (terletak di bawah jalur pejalan kaki)
ruang pejalan kaki yang didesain tertutup (Anggriani, 2009). dan terbuat dari PVC atau beton,
Drainase memiliki dimensi minimal, yaitu lebar 50 cm, kedalaman 50 cm, dan kemiringan dengan struktur minimal lebar 50 cm,
2%, sehingga dapat mengalirkan limbah cair dengan lancar, dan direkomendasikan dengan kedalaman 50 cm, dan kemiringan
desain tertutup, sehingga dapat menghambat bau tidak sedap oleh limbah cair, dan dilengkapi 2%, yang dilengkapi lubang kontrol
lubang kontrol setiap jarak 10 meter atau setiap belokan. Drainase direkomendasikan terbuat setiap jarak 10 meter.
dari PVC (polivinil klorida), tanah liat, beton, dan batu bata atau kali (Amelia et al, 2013).
80

Teori Kesimpulan
Berkaitan dengan jalur pejalan kaki, fungsi utama tanaman adalah sebagai pengendali iklim
(climate control) yang menyerap panas dari sinar matahari, sehingga dapat menurunkan suhu
dan iklim mikro, serta memberikan kelembapan bagi pejalan kaki. Jalur hijau sebagai ruang Pepohonan memiliki massa daun
terbuka pasif berfungsi sebagai pembatas antara jalur pejalan kaki dengan jalur kendaraan, padat, dengan percabangan minimal 2
yang mendukung keamanan pejalan kaki, serta sebagai kontrol pandangan (visual control) meter di atas tanah yang bentuknya
ruang publik dengan menambah keindahan dan nilai estetik jalur pejalan kaki. Keberadaan tidak merunduk, dan ditanam secara
tanaman secara keseluruhan dapat menciptakan karakter atau identitas kawasan yang berbaris, sehingga membentuk jalur
mendukung peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan pejalan kaki (Anggriani, 2009). hijau atau taman linier dengan lebar
Pepohonan direkomendasikan memiliki dimensi massa daun padat, dengan percabangan tidak minimal 1,5 meter dan perbedaan
merunduk pada ketinggian minimal 2 meter di atas tanah, sehingga berperan sebagai peneduh ketinggian 1,5 meter terhadap jalur
bagi pejalan kaki terhadap cuaca panas dan hujan, serta dapat meredam kebisingan, yang pejalan kaki. Jenis pohon yang
menambah kenyamanan pejalan kaki. Pepohonan juga direkomendasikan ditanam secara dianjurkan adalah Angsana, Tanjung,
berbaris, sehingga membentuk pola sebagai jalur hijau, dengan lebar minimal 1,5 meter dan Kiara Payung, atau tanaman perdu.
perbedaan ketinggian dengan jalur pejalan kaki minimal sebesar 0,15 meter. Jenis pohon yang
direkomendasikan adalah Angsana, Tanjung, Kiara Payung, dan tanaman perdu (ITDP, 2019).
Iklim yang tidak menentu dapat mengurangi keinginan berjalan, sehingga perancangan jalur
pejalan kaki memerlukan perlindungan bagi pejalan kaki terhadap cuaca panas atau hujan
melalui penyediaan fasilitas peneduh, yaitu jenis alami seperti pepohonan, ataupun jenis Terdapat dua jenis peneduh, yaitu
buatan seperti kanopi, atap bangunan, dan ruang meneduh (Chiara et al, 1994). peneduh alami berupa pepohonan
Salah satu kendala iklim adalah curah hujan yang mengganggu aktivitas pejalan kaki, oleh perdu yang diletakkan di sepanjang
karena itu perlu disediakan tempat berteduh berupa shelter / gazebo yang diletakkan setiap jalur pejalan kaki, dan peneduh
jarak 300 meter pada jalur pejalan kaki (ITDP, 2019). Panas sinar matahari yang menyengat buatan berupa atap-atap atau kanopi
juga dapat mengurangi kenyamanan pejalan kaki. Ipak (2015) menyatakan bahwa ruas jalan dan tempat meneduh berupa shelter
yang didominasi oleh perkerasan perlu dilindungi dari radiasi sinar matahari langsung, atau gazebo yang diletakkan setiap
melalui penanaman pohon sebagai peneduh dan penyedia kesejukan di sepanjang tepi jalan, jarak 300 meter pada jalur pejalan
serta pengadaan atap atau kanopi pada beberapa area. Jalur pejalan kaki dapat digolongkan kaki.
sebagai teduh, apabila pada jam paling terik sudah tertutupi oleh bayangan di sekitarnya,
sehingga pejalan kaki tidak terpapar sinar matahari secara langsung (ITDP, 2019).
Kebersihan merupakan salah satu unsur pembentuk kenyamanan pada jalur pejalan kaki. Jalur Tempat sampah diletakkan pada
pejalan kaki yang terbebas dari sampah dan bau menyengat, mampu mendorong terciptanya ruang fasilitas pendukung, berada
suasana berjalan yang menyenangkan, salah satunya melalui penyediaan tempat sampah pada jarak 15 – 20 meter terhadap
(waste container) pada jalur pejalan kaki (Anggriani, 2009). persimpangan atau fasilitas
Pertimbangan pengadaan tempat sampah adalah bentuknya mudah dilihat dan dikenali, serta penyeberangan, dan jarak
ditempatkan dalam jumlah yang banyak pada titik dengan intensitas aktivitas manusia yang penempatan antar tempat sampah
tinggi, seperti pada kawasan komersial dan ruang publik, sehingga mudah dijangkau. maksimal setiap 20 meter. Desain
Peletakkan tempat sampah tidak boleh mengganggu ruang pejalan kaki, dan disarankan tempat sampah berbentuk tertutup.
diletakkan pada ruang fasilitas pendukung dalam satu garis lurus (ITDP, 2019). Ketinggian tempat antara 60 – 70 cm.
81

Teori Kesimpulan
Tempat sampah harus memiliki dimensi yang cukup untuk menampung jumlah sampah sesuai Tempat sampah mencakup tiga jenis
kebutuhan. Bahan yang digunakan harus memiliki durabilitas tinggi dan tahan air (Harris et sampah, yaitu tempat sampah kering
al, 1998). Peletakkan tempat sampah berada pada jarak 15 – 20 meter terhadap fasilitas (anorganik), basah (organik), dan
penyeberangan, dan jarak penempatan antar tempat sampah sekurang-kurangnya 20 meter. plastic (recycleable).
Desain tempat sampah direkomendasikan berbentuk tertutup dan rutin dikelola (diangkut),
sehingga menghambat bau tidak sedap dari sampah. Selain itu, struktur tempat sampah harus
mudah dijangkau tangan, yaitu pada ketinggian 60 – 70 cm. Tempat sampah hendaknya
bersifat fungsional, yang mencakup tiga jenis penampungan sampah, yaitu tempat sampah
kering (anorganik), basah (organik), dan plastik (recycleable) (Anggriani, 2009).
Tempat duduk disediakan untuk memfasilitasi pejalan kaki duduk atau beristirahat sesaat,
sehingga meningkatkan kenyamanan pejalan kaki. Pertimbangan utama penyediaan tempat
duduk adalah intensitas tiap jarak tertentu, pemilihan posisi yang strategi, dan ditempatkan
pada ruang fasilitas pendukung. Struktur tempat duduk yang memenuhi kriteria nyaman, Tempat duduk diletakkan pada ruang
teridir dari bentuk yang sederhana, mudah pemeliharaannya, daya tahan yang kuat, dan bentuk fasilitas pendukung, dan diletakkan
serta ukurannya divariasikan sesuai kebutuhan (Harris et al, 1998). setiap 10 – 20 meter Bila tempat
Prioritas peletakkan tempat duduk adalah berdekatan dengan area yang mengundang banyak duduk menghadap bangunan, maka
aktivitas manusia seperti kawasan wisata, taman, fasilitas olahraga, kios, dan fasilitas minimal berjarak 1 meter terhadap
komersial lainnya. Tempat duduk diletakkan setiap jarak 10 – 20 meter pada ruang fasilitas curb, dan bila diletakkan menghadap
pendukung dengan lebar minimal 1,5 meter. Bila tempat duduk menghadap bangunan, maka jalan, maka minimal berjarak 2 meter
jarak minimal tempat duduk terhadap curb adalah 1 meter. Bila diletakkan menghadap ke arah terhadap curb. Tempat duduk
jalan, maka jarak minimal tempat duduk terhadap curb adalah 2 meter (Anggriani, 2009). berbahan metal dan beton cetak,
Tempat duduk yang nyaman mempertimbangkan standar skala manusia, yaitu lebar 40 – 50 dengan lebar minimal 150 cm dan
cm, panjang 150 cm, dan bahan yang digunakan adalah bahan dengan durabilitas tinggi seperti panjang 40 – 50 cm, yang dilengkapi
metal atau beton. Kenyamanan tempat duduk dapat ditingkatkan melalui variasi desainnya, sandaran tangan dan punggung.
yaitu dilengkapi sandaran tangan dan sandaran punggung, serta menyediakan ruang kaki yang
cukup, sehingga tidak mengganggu pergerakan pejalan kaki. Pemilihan desain dan warnanya
dapat disesuaikan dengan karakteristik lingkungan (Anggriani, 2009).
Halte bus merupakan bagian dari jalur pejalan kaki yang mendukung aksesibilitas dan Halte dapat memberi kebebasan
konektivitas kawasan melalui sistem TOD, dengan peletakkan dan besaran yang pandangan menuju kendaraan yang
memperhatikan titik potensial sesuai kebutuhan kawasan. Penempatan halte bus harus datang. Halte didesain tertutup,
memperhatikan kondisi pinggir jalan yang padat lalu lintas, sehingga memberi kebebasan sehingga dapat melindungi pejalan
pandangan menuju kedatangan kendaraan, dalam posisi berdiri dan duduk (Harris et al, 1998). kaki dari cuaca panas dan hujan.
Halte bus seharusnya dapat melindungi pejalan kaki dari cuaca (panas atau hujan) melalui Panjang halte minimum sama dengan
desainnya yang tertutup. Panjang halte minimum sama dengan panjang bus kota, sehingga panjang bus kota. Halte ditempatkan
memungkinkan penumpang naik dan turun dari pintu depan atau belakang. Halte ditempatkan pada ruang fasilitas pendukung
pada tepi jalur pejalan kaki dengan jarak bagian depan halte sekurang-kurangnya 1 meter dari dengan jarak bagian depan halte
tepi jalan. Halte bus dengan kapasitas tinggi yang menggunakan direct transit service harus minimal 1 meter dari tepi jalan.
82

Teori Kesimpulan
menghubungkan kawasan tersebut dengan titik transit sebelumnya pada jarak 5 km. Shelter Shelter diletakan setiap radius 300
bus harus diletakan setiap radius 300 meter. Halte bus terbuat dari bahan dengan daya tahan meter. Halte terbuat dari bahan metal
dan durabilitas tinggi seperti metal (Anggriani, 2009). dan beton.
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022

2.5 Variabel dan Indikator Penelitian


Berdasarkan beberapa teori jalur pejalan kaki yang telah dirangkum pada tabel sintesa teori,
maka dihasilkan variabel dan indikator yang digunakan pada penelitian kualitas jalur pejalan kaki
koridor Jalan Jendral Sudirman. Berikut merupakan tabel variabel dan indikator penelitian:

Tabel 2.6 Variabel dan Indikator Penelitian


Identifikasi Variabel Sub Variabel Indikator
Kualitas jalur pejalan kaki harus memenuhi fungsi kelengkapan, keamanan, dan
Laki-laki
Gender (Jenis kenyamanan, sehingga dapat digunakan oleh pejalan kaki dengan jenis kelamin laki-
kelamin) laki ataupun perempuan, dengan perbedaan kecepatan berjalan dan penggunaan
Perempuan
petunjuk untuk menemukan rute berjalan.
Balita
Kualitas jalur pejalan kaki harus memenuhi fungsi kelengkapan, keamanan, dan
Anak kecil
kenyamanan, sehingga dapat digunakan oleh pejalan kaki pada kelompok usia balita,
Anak-anak
anak kecil, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, maupun lanjut usia, dengan
Usia (Umur) Remaja
perbedaan jangkauan pemanfaatan ruang berjalan, yaitu kemampuan mengatasi
Dewasa
berbagai permukaan jalur pejalan kaki, kecepatan dan pandangan berjalan, serta cara
Orang tua
Karakteristik menyeberang.
Lanjut usia
pejalan kaki
Normal Kualitas jalur pejalan kaki harus memenuhi fungsi kelengkapan, keamanan, dan
kenyamanannya, sehingga dapat digunakan oleh pejalan kaki dengan kondisi tubuh
Kondisi tubuh Difabilitas
normal, berkebutuhan khusus (difabilitas), maupun penyandang cacat (disabilitas),
(fisik)
Penyandang yang menunjukkan perbedaan pada cakupan ruang dan kecepatan berjalan, serta
disabilitas kebutuhan ruang dan fasilitas pendukung pada jalur pejalan kaki.
Kualitas jalur pejalan kaki termasuk penataan guna lahan (pemanfaatan ruang), harus
Penting
memenuhi fungsi kelengkapan, keamanan, dan kenyamanannya, sehingga dapat
Jenis aktivitas Pilihan digunakan oleh pejalan kaki dengan aktivitas penting, pilihan, maupun sosial, yang
menunjukkan perbedaan pada kebutuhan terhadap fasilitas pendukung masing-masing
Sosial aktivitasnya.
Zona bagian  Lebar zona bagian depan ≥0,6 meter
Zonasi ruang
depan gedung  Terbebas dari halangan
83

Identifikasi Variabel Sub Variabel Indikator


 Lebar zona pejalan kaki ≥1,8 meter
 Kebebasan vertikal ≥2,5 meter
 Kedalaman minimal 1 meter dari tepi badan jalan
Zona pejalan
 Terbebas dari halangan atau hambatan
kaki
 Jalur alternatif pada area konstruksi minimal selebar 1,5 atau 0,75 meter
 Penggunaan pagar setinggi 1 – 1,2 meter sebagai pemisah pada jalur alternatif,
atau cone dan barikade bila memungkinkan
Zona fasilitas  Lebar zona fasilitas pendukung ≥1,5 meter
pendukung  Penempatan seluruh fasilitas pendukung
 Minimal memiliki lebar 0,3 meter bila terdapat pembatas, dan 0,5 meter bila tidak
terdapat pembatas
Zona pembatas
 Dapat dimanfaatkan sebagai jalur hijau, jalur sepeda, area parkir on-street, atau
ruang kosong sebagai jarak
 Permukaan jalur pejalan kaki lebih tinggi dari permukaan jalan
 Permukaan setinggi 1 langkah kaki orang dewasa: 61 – 64 cm
 Permukaan terhindar dari hambatan dan kerusakan
Permukaan  Permukaan rata (minim perbedaan ketinggian) dan tidak bergelombang:
Kelengkapan
(Surface) kemiringan melintang 2 – 3% dan kemiringan memanjang ≤7%
jalur pejalan
 Perkerasan: blok beton, paving, atau ubin
kaki
 Permukaan tidak beralur, sehingga tidak licin atau menyulitkan penyandang cacat
dengan alat bantu gerak
 Tidak licin: dapat menyerap air atau cepat kering
 Tahan lama: material batu, beton, dan metal
Bahan
 Kokoh (padat dan stabil)
(Material)
 Tidak menyilaukan
 Terdapat ornament atau elemen estetik: penggunaan material batu granit
 Titik transit dapat diakses dengan jarak kurang dari 500 meter dari titik manapun,
atau sama dengan kurang dari 5 menit berjalan kaki: nilai tinggi
Akses terhadap  Titik transit dapat diakses dengan jarak 500 – 1.000 meter dari titik manapun, atau
transit sama dengan 5 hingga 10 menit berjalan kaki: nilai tengah
Konektivitas  Titik transit dapat diakses dengan jarak lebih dari 1.000 meter dari titik manapun,
(Connectivity) atau sama dengan lebih dari 10 menit berjalan kaki: nilai rendah
 Sumber makanan dan minumam (secara fisik atau pada platform online) berada
Akses terhadap dalam radius 500 meter dari titik manapun
makanan  Sumber makanan dan minumam (secara fisik atau pada platform online) berada
dalam radius 500 – 1.000 meter dari titik manapun
84

Identifikasi Variabel Sub Variabel Indikator


 Sumber makanan dan minumam (secara fisik atau pada platform online) berada
diluar radius 1.000 meter dari titik manapun
1. Terdapat >5 permeable frontage setiap jarak 100 meter
Permeable
2. Terdapat 3 – 5 permeable frontage setiap jarak 100 meter
Frontage
3. Terdapat <3 permeable frontage setiap jarak 100 meter
1. Kawasan memiliki >90% muka bangunan aktif
Muka
2. Terdapat 50 – 90% muka bangunan aktif
bangunan aktif
3. Terdapat <50% muka bangunan aktif
1. Kawasan dengan mayoritas blok bangunan kecil (panjang bangunan <110 meter)
Bangunan Blok bangunan 2. Kawasan dengan mayoritas blok bangunan sedang (panjang bangunan 110 – 150
(Buildings) kecil meter)
3. Kawasan dengan mayoritas blok bangunan besar (panjang bangunan >110 meter)
Kepadatan 1. Tidak terdapat driveway cut setiap jarak 100 meter: nilai tinggi
potongan jalur 2. Terdapat 1 – 2 driveway cut setiap jarak 100 meter: nilai tengah
kendaraan 3. Terdapat >2 driveway cut setiap jarak 100 meter: nilai rendah
 Jalur pemandu memiliki kemiringan ≤5%
 Jalur pemandu ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki
Jalur Pemandu  Jalur pemandu berjarak 0,3 – 1,2 meter dari sisi depan bangunan.
(guiding  Jalur pemandu disusun lurus dan melengkung pada belokan
blocks)  Ubin pemandu memiliki ukuran 30 cm x 30 cm
 Ubin pemandu bermaterial beton cetak
 Ubin pemandu memiliki warna kuning atau jingga
 Ubin pengarah disusun menyambung, dan dipisahkan (diawali dan diakhiri) oleh
ubin peringatan
 Ubin pengarah ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki, yaitu pada zona sisi
Ubin Pengarah
depan gedung
Ubin Pemandu  Terdapat ruang kosong pada kiri dan kanan ubin pengarah selebar 0,6 m
(Tactile)  Tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis
 Ubin peringatan ditempatkan pada pelandaian, antara jalur pejalan kaki dengan
Ubin jalur penyeberangan, bangunan, dan ujung jalur pejalan kaki
Peringatan  Lebar minimal melintang ubin peringatan adalah 0,6 meter
 Tekstur ubin peringatan bermotif titik-titik (dots)
 Ramp (slope) tersedia pada setiap perbedaan ketinggian,
Pelandaian  Permukaan ramp (slope) menggunakan bahan anti slip dan tidak beralur
Slope
(Ramp)  Panjang segmen slope ≤6 meter
 Lebar slope ≥1,7 meter
85

Identifikasi Variabel Sub Variabel Indikator


 Kemiringan slope 6%

 Memiliki lebar yang sama dengan slope


 Kelandaian landing direkomendasikan 0% atau <6%
 Panjang area landing 1,2 – 1,8 meter
Landing  Terdapat 3 bagian landing:
- Top landing pada sisi atas ramp
- Bottom landing pada sisi bawah ramp
- Intermediate landing berada di antara slope
 Terdapat Side Flares pada kedua sisi ramp
 Lebar sideflares ≥25 cm
 Tinggi sideflares 5 cm dari tinggi permukaan ramp
Side Flares
 Sideflares dilengkapi pegangan tangan dengan ketinggian 75 – 80 cm
 Panjang pegangan tangan harus melebihi anak tangga terakhir, atau memiliki
kelebihan sepanjang 30 cm, serta tidak licin.
 Terletak pada setiap sisi persimpangan
Penyeberangan  Dilengkapi marka penyeberangan sebidang (zebracross)
pada  Dilengkapi dengan lampu pejalan kaki yang menjadi satu kesatuan dengan lampu
persimpangan lalu lintas persimpangan
(crosswalk)  Dilengkapi rambu peringatan dan rambu petunjuk
 Penyediaan median jika melewati dua arus lalu lintas
 Terletak pada jarak 180 – 300 meter dari persimpangan
Penyeberangan
 Dilengkapi marka penyeberangan sebidang (zebracross)
pada ruas jalan
 Dilengkapi dengan lampu pejalan kaki
(pelican
Fasilitas  Dilengkapi rambu peringatan dan rambu petunjuk
Keamanan crossing)
penyeberangan  Penyediaan median jika melewati dua arus lalu lintas
pejalan kaki
(Crossings)  Ketinggian (kebebasan vertical) jembatan ≥5 meter
 Panjang segmen jalur naik dan turun ≥1,5 meter
Penyeberangan
 Lebar jalur jembatan ≥2 meter
tidak sebidang
 Kemiringan jalur melandai atau tangga ≤10% (≤20º)
(jembatan)
 Dilengkapi pembatas pada tepi jalur penyeberangan berupa pagar melandai
 Bila aksesibilitas menggunakan tangga, tinggi anak tangga 28 – 30 cm
 Zebracross: garis-garis membujur dan dua garis melintang dicat berwarna putih
Marka
 Ukuran garis membujur: lebar garis 0,3 meter, panjang ≥2,5 meter, jarak antar
penyeberangan
garis (celah) selebar 0,3 - 0,6 meter
sebidang
 Ukuran garis melintang: lebar garis 0,3 meter dan jarak antar garis ≥2,5 meter
86

Identifikasi Variabel Sub Variabel Indikator


 Menyediakan ruang dengan panjang 10 – 12 m dan lebar 1,8 – 2,4 m
 Dilengkapi rambu peringatan dan rambu petunjuk, serta lampu pejalan kaki
Pulau  Dilengkapi curb dan bollard pada tepiannya
penyeberangan  Tepi pulau penyeberangan berupa perpanjangan jalur penyeberangan
 Tepi median sejajar dengan batas jalur pejalan kaki.
 Lokasinya mengikuti peletakkan penyeberangan mid block.
 Lampu pejalan kaki berupa perangkat elektronik dengan pengaktifan melalui
tombol yang menghasilkan sinyal lampu penyeberangan pejalan kaki dan
Lampu pejalan pemberhentian kendaraan
kaki  Lampu pejalan kaki memiliki ketinggian lebih dari 3 meter
(Pedestrian  Lampu pejalan kaki dilengkapi alat hitung mundur
light)  Lampu pejalan kaki dilengkapi sinyal berupa bunyi yang diperkeras
 Lampu pejalan kaki pada persimpangan menjadi satu kesatuan dengan lampu lalu
lintas dan bersifat otomatis
 Rambu berupa larangan aktivitas tertentu bagi pejalan kaki
 Rambu memiliki ketinggian 2 – 3 meter
 Rambu bersifat reflektif (memantulkan) terhadap cahaya
Rambu
 Rambu berbentuk lingkaran
larangan
 Lambang aktivitas larangan berwarna hitam
 Tepi dan coretan diagonal rambu berwarna merah
 Latar rambu berwarna putih
 Rambu berupa aktivitas tertentu yang wajib dilakukan pejalan kaki
 Rambu memiliki ketinggian 2 – 3 meter
Rambu pejalan Rambu  Rambu bersifat reflektif (memantulkan) terhadap cahaya
kaki perintah  Rambu berbentuk lingkaran
 Lambang aktivitas perintah dan tepi rambu berwarna putih
 Latar rambu berwarna biru
 Rambu berupa petunjuk arah, jalan, dan fasilitas bagi pejalan kaki
 Rambu memiliki ketinggian 2 – 3 meter
 Rambu bersifat reflektif (memantulkan) terhadap cahaya
Rambu
 Rambu berbentuk persegi panjang (portrait)
petunjuk
 Lambang aktivitas petunjuk berwarna hitam
 Latar (tepi) lambang aktivitas petunjuk berwarna putih
 Latar rambu berwarna biru
Rambu  Rambu memiliki ketinggian >3 meter
peringatan  Rambu bersifat reflektif (memantulkan) terhadap cahaya
87

Identifikasi Variabel Sub Variabel Indikator


 Rambu diletakkan pada jarak 5 – 10 meter sebelum fasilitas penyeberangan
 Rambu berbentuk belah ketupat
 Lambang aktivitas peringatan dan tepi rambu berwarna hitam
 Latar rambu berwarna kuning
 Jenis rambu peringatan: peringatan banyak lalu lintas pejalan kaki, banyak lalu
lintas pejalan kaki berupa anak-anak, banyak lalu lintas pejalan kaki menggunakan
Rambu fasilitas penyeberangan, lampu lalu lintas persimpangan, alat pemberi isyarat lalu
kendaraan lintas, dan penegasan peringatan
bermotor  Rambu memiliki ketinggian >3 meter
 Rambu bersifat reflektif (memantulkan) terhadap cahaya
Rambu batas
 Papan rambu berbentuk lingkaran atau papan elektronik
kecepatan
 Lambang angka batas kecepatan berwarna hitam
(speed
 Latar rambu berwarna putih
regulation)
 Tepi rambu berwarna merah
 Pembatasan kecepatan pada angka 40 km/jam
 Ketinggian 4 – 6 meter
 Jarak penempatan 10 – 15 meter
Lampu  Pencahayaan vertikal minimal 2 meter
penerangan  Jarak terhadap tepi jalur pejalan kaki minimal 0,8 meter
(Lighting)  Sistem penempatan bersifat menerus dan parsial
 Lampu minimal berkekuatan 75 watt
 Dapat mengakomodasi banner / signage menggantung
 Curb terletak di sepanjang jalur pejalan kaki
Peninggian  Tinggi curb 25 cm dari permukaan jalan
jalur pejalan  Lebar tapak curb 21 cm
kaki (Curb)  Lebar bagian atas curb 18 cm
 Curb terbuat dari beton yang diperkeras
 Barrier diletakkan pada titik rawan kecelakaan atau pada jalan dengan lebar lebih
Pagar
dari 10 meter atau lebih dari 4 lajur
Pembatas pembatas
 Tinggi barrier 90 cm
(Barrier)
 Barrier terbuat dari metal atau beton
 Diletakkan 30 hingga 45 cm dari curb
Patok atau
 Diameter 30 cm
tonggak
 Ketinggian 0,6 – 1,2 meter
pembatas
 Berjarak 90 – 140 cm antar bollard
(Bollard)
 Bahan: beton yang diperkeras
88

Identifikasi Variabel Sub Variabel Indikator


 Memberikan informasi mengenai multi moda transit, orientasi lokasi, petunjuk
arah, jarak titik transit terdekat, dan lokasi fasilitas umum lain
Papan  Ditempatkan pada lokasi strategis, yaitu titik transit transportasi umum, area
penunjuk jalan interaksi sosial, dan ruang terbuka publik
dan informasi  Dipasang pada setiap waktu berjalan 5-10 menit terhadap lokasi strategis
(signage /  Dipasang pada jarak 8-10 meter dari persimpangan, dan diletakkan pada salah satu
wayfinding) atau kedua sisi persimpangan
 Tidak tertutup atau terhalang
 Tidak menyilaukan (tidak reflektif terhadap cahaya)
 Memiliki kemiringan ≥2%
 Dimensi minimal: lebar 50 cm dan kedalaman 50 cm
Drainase
 Desain drainase tertutup
(Drainage)
 Dilengkapi lubang kontrol setiap jarak 10 m dan setiap belokan
 Bahan: PVC, tanah liat, beton, batu bata, atau batu kali
 Diletakkan pada zona pembatas (buffer zone)
 Pepohonan disusun pola berbaris pada ruang pembatas sebagai jalur hijau
Kenyamanan Vegetasi  Jalur hijau (pepohonan) memiliki lebar ≥1,5 meter
jalur pejalan (Pepohonan  Memiliki percabangan ≥2 meter di atas tanah dengan bentuk tidak merunduk
kaki dan jalur hijau)  Jalur hijau memiliki perbedaan ketinggian ≥0,15 meter
 Jenis pohon: Angsana, Tanjung, atau Kiara Payung
 Pepohonan memiliki massa daun padat, tebal, dan rapat
 Terdapat pepohonan yang bersifat teduh (massa daun padat / perdu)
Peneduh
 Terdapat atap-atap
(Shades)
 Terdapat shelter atau gazebo yang diletakkan setiap 300 meter
 Diletakkan minimal setiap 10 meter
 Lebar 40 – 50 cm
Tempat duduk
 Panjang minimal 150 cm
(Seating)
 Dilengkapi sandaran tangan dan punggung
 Material berupa metal dan beton cetak
 Desain tempat sampah tertutup
 Ketinggian 60 – 70 cm
Tempat
 Tempat sampah diletakkan setiap 15 – 20 meter
sampah (Waste
 Mencakup 3 jenis sampah: anorganik, organik, dan plastic (recyclable)
container)
 Material berupa metal dan beton cetak
 Terdapat sekat penutup di sekitar tempat sampah
89

Identifikasi Variabel Sub Variabel Indikator


 Desain tertutup
 Bagian depan diletakkan ≥1 meter dari badan jalan
Halte dan  Panjang minimal sama dengan panjang bus
shelter bus  Jarak maksimal antar titik transit (halte bus) adalah 5 km.
 Shelter bus feeder diletakkan minimal setiap 300 meter
 Material berupa metal dan beton
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022
BAB III
GAMBARAN UMUM JALUR PEJALAN KAKI KORIDOR JALAN JENDRAL
SUDIRMAN

3.1 Karakteristik Jalan Jendral Sudirman


3.1.1 Lokasi (Wilayah)
Jalan Jendral Sudirman membentang sepanjang 4,8 kilometer dan terletak pada perbatasan
antara Kota Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Wilayah Administrasi Kota Jakarta Pusat memiliki
area seluas 48,12 km² dengan batasan wilayah yaitu sebelah utara dibatasi oleh wilayah Jakarta Utara
dan Barat, sebelah timur dengan Jakarta Timur, batas selatan dengan Jakarta Selatan serta di sebelah
barat dengan Jakarta Barat. Wilayah administrasi Kota Jakarta Selatan memiliki area seluas 141,27
km², dan berbatasan langsung dengan Kota Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Kota
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Depok.
Jalan Jendral Sudirman mencakup 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Menteng, Tanah Abang,
Kebayoran Baru, dan Setiabudi. Jalan Jendral Sudirman melewati dua kecamatan pada wilayah
administrasi Kota Jakarta Pusat, yaitu Kecamatan Menteng dan Tanah Abang. Kecamatan Menteng
memiliki wilayah seluas 6,53 km² yang mencakup 13,57% dari total luas wilayah Kota Jakarta Pusat.
Salah satu kelurahan yang dilewati oleh Jalan Jendral Sudirman adalah Kelurahan Menteng dengan
wilayah seluas 2,44 km². Kecamatan Tanah Abang memiliki wilayah seluas 9,30 km² yang mencakup
19,33% dari total luas wilayah Kota Jakarta Pusat. Keempat kelurahan yang dilewati Jalan Jendral
Sudirman pada Kecamatan Tanah Abang adalah Kelurahan Karet Tengsin dengan wilayah seluas
1,53 km², Kelurahan Bendungan Hilir dengan wilayah seluas 1,58 km², Kelurahan Kebon Melati
dengan wilayah seluas 1,26 km², dan Kelurahan Gelora dengan wilayah seluas 2,59 km².
Jalan Jendral Sudirman juga melewati dua kecamatan pada wilayah administrasi Kota
Jakarta Selatan, yaitu Kecamatan Kebayoran Baru dan Setiabudi. Kecamatan Kebayoran Baru
memiliki wilayah seluas 12,19 km², yang mencakup 9,15% dari total luas wilayah administratif Kota
Jakarta Selatan. Satu kelurahan yang dilewati oleh Jalan Jendral Sudirman, yaitu Kelurahan Senayan
dengan wilayah seluas 1,53 km². Kecamatan Setiabudi memiliki wilayah seluas 8,85 km² yang
mencakup 6,26% dari total luas wilayah Kota Jakarta Selatan. Beberapa kelurahan pada Kecamatan
Setiabudi yang dilewati oleh Jalan Jendral Sudirman adalah Kelurahan Karet Semanggi dengan
wilayah seluas 0,90 km², Kelurahan Karet Kuningan dengan wilayah seluas 1,79 km², Kelurahan
Karet dengan wilayah seluas 0,94 km², dan Kelurahan Setiabudi dengan wilayah seluas 0,74 km².
Berdasarkan data di atas dapat ditentukan luas wilayah penelitian koridor Jalan Jendral
Sudirman mencakup 10 kelurahan, yaitu Kelurahan Menteng, Kebon Melati, Karet Tengsin,

90
91

Setiabudi, Karet, Karet Kuningan, Karet Semanggi, Bendungan Hilir, Senayan, dan Gelora yang
memiliki total wilayah seluas 15,3 km². Berikut peta administrasi kelurahan wilayah penelitian:

Gambar 3.1 Peta Lokasi Jalan Jendral Sudirman


Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2021

3.1.2 Guna Lahan


Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Rencana
Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi, Jalan Jendral Sudirman terklasifikasi menjadi jalan arteri
sekunder. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara daya guna.
Koridor Jalan Jendral Sudirman juga termasuk dalam rencana peningkatan jalan arteri sekunder,
yaitu pelebaran jalan yang diperuntukkan bagi pengembangan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda.
Kota Jakarta Pusat yang berada di jantung Ibukota Jakarta mempunyai kekhususan sebagai
pusat pemerintahan nasional dan pusat keuangan serta bisnis, sehingga Jalan Jendral Sudirman yang
terletak pada pusat kawasan kota memiliki aktivitas utama perekonomian. Berdasarkan peraturan
zonasi yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi, koridor Jalan Jenderal Sudirman termasuk ke
dalam zona perkantoran, perdagangan, dan jasa. Berikut merupakan peta yang dapat menggambarkan
kondisi eksisting tata guna lahan pada koridor Jalan Jendral Sudirman:
92

Gambar 3.2 Peta Guna Lahan Koridor Jalan Jendral Sudirman


Sumber: Analisis Penulis, 2021

Berdasarkan peta di atas, tata guna lahan yang mendominasi pada koridor Jalan Jendral
Sudirman adalah perkantoran dan perdagangan, hunian, dan ruang terbuka hijau (RTH). Berdasarkan
Perda DKI Jakarta Nomor 01 Tahun 2012 tentang RTRW 2030, Koridor Jalan Jendral Sudirman
termasuk dalam rencana pengembangan kawasan perkantoran melalui penyediaan fasilitas pejalan
kaki terpadu dengan pengembangan sistem angkutan umum massal di sepanjang koridor Sudirman
hingga Thamrin, serta penerapan konsep superblok di Kawasan Segitiga Emas Terpadu untuk
kegiatan campuran perkantoran, perdagangan dan jasa, serta perumahan horisontal dan vertikal.
Koridor Jalan Jendral Sudirman juga memiliki fungsi sebagai kawasan perdagangan dan jasa, yaitu
melalui pengembangan kawasan multifungsi bertaraf internasional secara terpadu pada Kawasan
Niaga Terpadu Sudirman dan Kawasan Segitiga Kuningan.
Kawasan Sudirman termasuk ke dalam “Kawasan Segitiga Emas”, yaitu sebuah daerah
berbentuk segitiga imajiner yang membentang dari Jakarta Pusat hingga Jakarta Selatan. Sebagian
besar aktivitas bisnis, keuangan (finansial), dan diplomatik (pemerintahan) terjadi pada kawasan
yang meliputi Thamrin, Sudirman, Kuningan, dan Setiabudi. Kawasan ini memiliki aktivitas
perekonomian terbesar di DKI Jakarta. Segitiga ini dibentuk oleh beberapa jalan utama yakni Jalan
M. H. Thamrin, Jenderal Sudirman, H. R. Rasuna Said, dan Jenderal Gatot Subroto.
93

Pengembangan koridor Jalan Jendral Sudirman juga memperhatikan moda transportasi


lainnya, seperti sepeda melalui rencana penyediaan jalur sepeda yang menghubungkan pusat
kegiatan sekunder dan tersier dengan mempertimbangkan kapasitas jalan terutama Kawasan Pusat
Niaga Terpadu Sudirman dan Kemang. Selain itu, kawasan Sudirman hingga Thamrin juga termasuk
ke dalam rencana pengembangan kawasan pariwisata perkotaan, yaitu melalui pengembangan dan
perbaikan kawasan wisata konvensi.
3.1.3 Jenis Bangunan
Pada kondisi eksisting guna lahannya, koridor Jalan Jendral Sudirman merupakan kawasan
komersial yang didominasi oleh guna lahan berupa perkantoran, perdangangan dan jasa. Berikur
merupakan peta jenis bangunan pada koridor Jalan Jendral Sudirman DKI Jakarta:

Gambar 3.3 Peta Jenis Bangunan Koridor Jalan Jendral Sudirman


Sumber: Analisis Penulis, 2021

Berdasarkan peta jenis bangunan di atas, jenis bangunan yang mendominasi pada segmen
pertama adalah perkantoran dan bisnis, pusat perbelanjaan, mall, dan plaza, serta rumah besar. Jenis
bangunan yang mendominasi pada segmen kedua adalah perkantoran dan bisnis, serta ruang terbuka
hijau berupa taman. Jenis bangunan yang mendominasi pada segmen ketiga adalah perkantoran dan
bisnis, serta perkantoran pemerintahan nasional. Pada segmen keempat, jenis bangunan yang
mendominasi adalah rung terbuka hijau berupa gelanggang olahraga, perkantoran dan bisnis, rumah
susun, dan perkantoran pemerintahan nasional.
94

3.2 Karakteristik Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman


3.2.1 Lokasi
Jalur pejalan kaki sebagai objek penelitian terletak pada kedua sisi koridor Jalan Jendral
Sudirman, dan terbagi menjadi 4 segmen berdasarkan permasalahan dan fokus aktivitas pada jalur
pejalan kaki. Berikut merupakan cakupan wilayah keempat segmen tersebut, yaitu:
4. Segmen I: Batas utara Jalan Jendral Sudirman yaitu Bundaran HI hingga Stasiun Dukuh
Atas atau Taman Spot Budaya, dengan panjang segmen yaitu 1 kilometer.
5. Segmen II: Taman Spot Budaya atau Stasiun Transjakarta Dukuh Atas hingga flyover
Jalan K.H. Mas Mansyur, dengan panjang segmen yaitu 1,1 kilometer.
6. Segmen III: Flyover Jalan K.H. Mas Mansyur hingga flyover Semanggi, dengan panjang
segmen yaitu 600 meter.
7. Segmen IV: Flyover Semanggi hingga Batas selatan Jalan Jendral Sudirman, dengan
panjang segmen yaitu 1,4 kilometer.
Berikut merupakan peta segmentasi jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman:

Gambar 3.4 Peta Segmentasi Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman
Sumber: Analisis Penulis, 2021
95

3.2.2 Permasalahan
Wilayah penelitian akan difokuskan pada segmen keempat dengan beberapa jenis guna lahan
yang memicu aktivitas pada jalur pejalan kaki, seperti aktivitas rekreasi (wisata kota), olahraga, dan
sosial. Segmen ini juga menjadi fokus permasalahan seperti yang dapat digambarkan oleh peta komik
permasalahan pada segmen pertama jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman:

Gambar 3.5 Peta Permasalahan Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman
Sumber: Analisis Penulis, 2021

Gambar pertama menjelaskan terdapatnya penyalahgunaan ruang pejalan kaki sebagai lapak
berjualan PKL yang menggunakan sepeda atau motor. Gambar kedua menjelaskan penempatan
bollard yang belum efektif dalam mencegah motor untuk masuk dan menggunakan ruang pejalan
kaki, sehingga menimbulkan penyalahgunaan ruang jalur pejalan kaki sebagai area parkir, dan
mengganggu serta membahayakan pergerakan pejalan kaki. Gambar ketiga menjelaskan belum
tersedianya fasilitas peneduh berupa pepohonan atau atap-atap (kanopi) di sepanjang jalur pejalan
kaki, dan shelter sebagai tempat meneduh terutama saat cuaca hujan.
3.2.3 Kondisi Fisik
Jalan Jendral Sudirman telah melalui revitalisasi pada tahun 2019 yang berfokus pada
perbaikan jalur pejalan kaki. Revitalisasi dilakukan guna mendukung salah satu visi DKI Jakarta,
96

yaitu menuju Jakarta Walkable 2022, melalui penciptaan ruang pejalan kaki yang lengkap, aman,
nyaman, dan humanis, serta mendukung peningkatan penggunaan transportasi publik. Revitalisasi
dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap kondisi fisik jalur pejalan kaki. Revitalisasi
diharapkan dapat meningkatkan fungsi jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman yang
terletak di pusat kawasan perkotaan sebagai penghubung antar ruang terbangun dan antar moda
transportasi, serta sebagai taman linier (linear park), sehingga mewujudkan kawasan Sudirman yang
berkelanjutan. Berikut merupakan peta komik yang dapat menggambarkan kondisi fisik jalur pejalan
kaki koridor Jalan Jendral Sudirman berdasarkan kondisi eksisting pada bulan Juni tahun 2021:

Gambar 3.6 Peta Kondisi Fisik Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2021

Gambar 1 menggambarkan kondisi fasilitas penyeberangan di persimpangan pada segmen


1, gambar 2 menggambarkan taman sebagai bagian dari jalur pejalan kaki yang terletak pada segmen
1, gambar 3 menggambarkan ruang pejalan kaki pada segmen 2, gambar 4 menggambarkan potongan
97

jalur kendaraan pada segmen 3, gambar 5 menggambarkan ruang fasilitas pendukung dengan
beberapa fasilitas pendukungnya pada segmen 3, gambar 6 menggambarkan ruang pejalan kaki pada
segmen 3, gambar 7 menggambarkan ruang pejalan kaki pada segmen 4, dan gambar 8
menggambarkan fasilitas bollard dan potongan jalur kendaraan pada ruang pejalan kaki pada segmen
4 koridor Jalan Jendral Sudirman.
3.2.4 Kondisi Non Fisik (Pejalan Kaki)
Aktivitas pada jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman bergantung terhadap dua
hal, yaitu tata guna lahan dan karakteristik pejalan kaki. Bila dilihat berdasarkan karakteristik
penggunanya, terdapat tiga jenis aktivitas, yaitu pejalan kaki dengan aktivitas penting, aktivitas
pilihan, dan aktivitas social. Pejalan kaki dengan aktivitas penting memanfaatkan jalur pejalan kaki
sebagai ruang untuk melakukan perpindahan ruang maupun moda transportasi. Pejalan kaki dengan
aktivitas pilihan memanfaatkan jalur pejalan kaki sebagai ruang untuk melaksanakan aktivitas
rekreasi. Pejalan kaki dengan aktivitas sosial memanfaatkan jalur pejalan kaki sebagai ruang untuk
memenuhi kebutuhan olahraga dan bersosialisasi. Berikut merupakan peta pusat aktivitas
(pergerakan) pejalan kaki pada jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman:

Gambar 3.7 Peta Pusat Aktivitas Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman
Sumber: Analisis Penulis, 2021
98

Berdasarkan peta di atas, pemanfaatan lahan dan fungsi bangunan di sepanjang koridor Jalan
Jendral Sudirman juga berpengaruh terhadap jenis aktivitas pada jalur pejalan kakinya. Segmen
pertama dan keempat didominasi oleh pusat perdagangan dan jasa dengan jenis bangunan berupa
mall dan plaza, sehingga menimbulkan banyak aktivitas rekreasi atau wisata kota pada jalur pejalan
kaki, seperti yang digambarkan pada gambar 1, 12, dan 13. Segmen pertama dan keempat juga
dilengkapi ruang terbuka publik seperti taman dan gelanggang olahraga, sehingga menjadi wadah
bagi pejalan kaki melakukan aktivitas olahraga maupun sosial, seperti yang digambarkan pada
gambar 2, 3, 6, 10 dan 11. Selain itu, segmen pertama dan keempat juga dilengkapi beberapa fasilitas
transit transportasi publik, sehingga menimbulkan pergerakan pejalan kaki di sekitarnya, seperti yang
digambarkan pada gambar 4, 5, dan 9. Segmen kedua dan ketiga didominasi oleh guna lahan berupa
perkantoran dengan jenis bangunan berupa gedung kantor, sehingga tidak menimbulkan banyak
aktivitas pada jalur pejalan kaki, hanya aktivitas perpindahan antar ruang atau moda transportasi,
seperti yang digambarkan pada gambar 7 dan 8.
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Pendekatan Penelitian


Kegiatan penelitian mengacu pada ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis.
Penelitian menggunakan penalaran deduktif, yaitu cara berpikir yang mengimplementasikan kondisi
umum yang selanjutnya dikaitkan dengan aspek-aspek tertentu. Secara umum arti deduksi adalah
penarikan kesimpulan dari situasi yang umum, memperoleh yang khusus dari hal yang umum.
Pendekatan deduktif merupakan penalaran yang memakai logika untuk membuat satu atau lebih
kesimpulan berlandaskan beberapa premis yang diberikan.
Deduksi adalah aktivitas berpikir yang berdasar pada hal umum (teori, konsep, prinsip,
keyakinan) yang mengarah pada pengambilan kesimpulan yang khusus. Saat melaksanakan
penelitian deduktif, peneliti harus selalu memulai dengan teori, karena maksud dari penalaran secara
deduktif adalah menguji teori tersebut. Pada pendekatan deduktif, kebenaran sudah dipahami secara
umum, selanjutnya kebenaran tersebut akan mencapai pengetahuan baru mengenai isu atau indikasi
khusus. Pendekatan deduktif yang bersifat kompleks dapat menghasilkan lebih dari satu kesimpulan.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif, yaitu metode berlandaskan
filsafat positivisme dengan tujuan melakukan kajian terhadap suatu populasi atau sampel tertentu
yang dilengkapi dengan penggunaan serangkaian instrumen penelitian dalam pengumpulan data,
dimana data yang dihasilkan berupa data kuantitatif atau data statistik (Sugiyono, 2011). Penelitian
kuantitatif menekankan pada aspek pengukuran dan hasil yang objektif terhadap suatu kondisi, yang
dapat menghasilkan eksplorasi lebih lanjut, menemukan (identifikasi) beberapa fakta, dan menguji
teori yang berkaitan dengan penelitian.
Penelitian kuantitatif mementingkan kedalaman data, yaitu merekam data sebanyak-
banyaknya dari populasi yang luas. Penelitian kuantitatif menggunakan data yang bersifat terukur,
dan hasilnya bersifat objektif (Asnawi, 2009). Beberapa jenis data yang digunakan pada metode
kuantitatif adalah data nominal, ordinal, interval, dan rasio. Berdasarkan kriteria kebutuhan data
tersebut, pengumpulan data secara triangulasi (kombinasi) dari berbagai sumber melalui berbagai
metode dapat mendukung kebutuhan data.

4.2 Kebutuhan Data


Data yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan informasi yang didapatkan
melalui sumbernya secara langsung. Data adalah fakta yang secara pasti diketahui melalui
serangkaian informasi yang ada, dan dilengkapi dengan serangkaian bukti (Teguh, 2005). Penelitian
ini memerlukan data yang bersifat primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh

99
100

langsung dari sumber, yaitu objek dan subjek penelitian, sedangkan data sekunder merupakan data
yang sudah diterbitkan atau digunakan pihak lain (Suharyadi, 2003). Menurut Sugiyono (2011) data
primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli, tidak melalui media
perantara. Menurut Indriantoro dalam Asnawi (2009), data sekunder merupakan sumber data yang
diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara.
Data primer merupakan data yang dibutuhkan guna melakukan analisis, sedangkan data
sekunder dibutuhkan untuk mendukung dan melengkapi analisis penelitian. Data primer didapatkan
melalui identifikasi langsung terhadap objek penelitian melalui observasi lapangan dan kuisioner,
sedangkan data sekunder didapatkan melalui telaah dokumen perencanaan dan pemetaan. Berikut
merupakan tabel yang menjelaskan kebutuhan data penelitian:

Tabel 4.1 Kebutuhan Data


Sub Teknik Tah
Variabel Data Bentuk Sumber
Variabel Pengumpulan un
Gender Jenis kelamin pejalan kaki Kuisioner Keterangan Pejalan kaki 2022
Usia Golongan usia pejalan kaki Kuisioner Keterangan Pejalan kaki 2022
Karakteristik
Kondisi Golongan (kaum) pejalan kaki
pejalan kaki Kuisioner Keterangan Pejalan kaki 2022
tubuh berdasarkan kondisi tubuh
Aktivitas Jenis aktivitas pejalan kaki Kuisioner Keterangan Pejalan kaki 2022
Ruang jalur Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Zonasi jalur pejalan kaki 2022
pejalan kaki dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Permukaan Permukaan jalur pejalan kaki 2022
dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Material pembentuk jalur pejalan Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Bahan 2022
kaki dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
 Akses terhadap transit
Konektivita  Akses terhadap makanan Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Kelengkapan 2022
s  Akses ruang terbangun dan dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
jalur pejalan
ruang terbuka
kaki
 Muka bangunan aktif
Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Bangunan  Blok bangunan 2022
dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
 Potongan jalur kendaraan
Jalur dan  Jalur pemandu
Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
ubin  Ubin pengarah 2022
dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
pemandu  Ubin peringatan
 Slope Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Kelandaian 2022
 Landing dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
101

 Side flare
 Penyeberangan persimpangan
 Penyeberangan pada ruas jalan
Fasilitas
 Jembatan penyeberangan Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
penyeberan 2022
 Marka penyeberangan sebidang dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
gan
 Pulau penyeberangan
Keamanan  Lampu pejalan kaki
jalur pejalan  Rambu pejalan kaki Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Rambu 2022
kaki  Rambu kendaraan bermotor dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Penerangan Lampu penerangan pejalan kaki 2022
dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
 Curb
Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Pembatas  Barrier 2022
dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
 Bollard
Signage / Papan penunjuk jalan dan Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
2022
Wayfinding informasi dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Drainase Saluran drainase 2022
dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Vegetasi Pepohonan dan jalur hijau 2022
dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Kenyamanan  Pepohonan
Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
jalur pejalan Peneduhan  Atap-atap atau kanopi 2022
dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
kaki  Shelter atau gazebo
Tempat Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Tempat duduk 2022
duduk dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Tempat Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
Tempat sampah 2022
sampah dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Halte dan  Halte bus Observasi lapangan Foto dan Lapangan dan
2022
shelter bus  Shelter bus dan kuisioner Keterangan pejalan kaki
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022

4.3 Teknik Pengumpulan Data


Berdasarkan jenis data yang dibutuhkan, teknik pengumpulan data terbagi menjadi dua jenis,
yaitu teknik pengumpulan data primer dan teknik pengumpulan data sekunder. Berikut merupakan
penjelasan beberapa teknik pengumpulan data primer yang digunakan, yaitu:
102

4.3.1 Data Primer


Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan terhadap elemen
pembentuk dan pendukung jalur pejalan kaki, sehingga data primer didapatkan secara langsung pada
lokasi penelitian atau interaksi langsung dengan subjek penelitian.
4.3.1.1 Observasi Lapangan
Mengkaji kualitas jalur pejalan kaki dapat dilakukan melalui pengamatan langsung pada
komponen fisik jalur pejalan kaki, yang kemudian hasilnya harus dapat diukur dengan jelas
(Pattisinai, 2013). Berdasarkan penjelasan tersebut, akan dilakukan observasi lapangan oleh peneliti
untuk mendapatkan data terkait kondisi eksisting komponen fisik jalur pejalan kaki koridor Jalan
Jendral Sudirman. Observasi lapangan merupakan kegiatan pengamatan secara langsung terhadap
fenomena atau kondisi yang ditemui pada saat di lapangan (Margono, 1997). Observasi lapangan
dilakukan oleh peneliti secara langsung dengan teknik walkthrough, yaitu peneliti mengamati
komponen fisik jalur pejalan kaki dengan berjalan menyusuri jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral
Sudirman, dan didukung serta dilengkapi dengan pengambilan foto dan ploting peta.
Observasi lapangan akan dilakukan pada segmen keempat jalur pejalan kaki koridor Jalan
Jendral Sudirman, yang menjadi fokus lokasi penelitian, karena masih terdapat permasalahan terkait
kondisi fisik jalur pejalan kaki, kendati telah dilakukan revitalisasi, sehingga permasalahan tersebut
tentu mempengaruhi penilaian kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan kelengkapan, keamanan, dan
kenyamanan kondisi fisik jalur pejalan kaki.
Data hasil identifikasi melalui observasi lapangan akan dianalisis secara deskriptif. Analisis
deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan suatu peristiwa, keadaan, atau objek terkait variabel
peneitian melalui penjelasan menggunakan angka maupun kata-kata (Punaji, 2010). Analisis
deskriptif dilakukan dengan menjelaskan, menjabarkan, dan menggambarkan kondisi eksisting objek
penelitian melalui gambar, foto, tabel atau diagram, dan keterangan (Ghozali, 2016). Analisis
deskriptif data hasil observasi lapangan ditujukan untuk mengidentifikasi kelengkapan, keamanan,
dan kenyamanan jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman, melalui foto dan keterangan
dalam bentuk tabel, yaitu tabel hasil observasi lapangan (lampiran 2), sebagai variabel untuk
menganalisis kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan kondisi fisik jalur pejalan kaki.
4.3.1.2 Kuisioner
Untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat terhadap jalur pejalan kaki, maka perlu
dibandingkan antara kondisi eksisting jalur pejalan kaki dengan harapan dan keinginan pejalan kaki.
Terdapat dua aspek yang mempengaruhi persepsi pejalan kaki terhadap kondisi lingkungan, yaitu
kenyamanan dan keamanan saat melakukan aktivitas pada jalur pejalan kaki (Fruin et al, 1971).
Berdasarkan penjelasan tersebut, akan dilakukan pengambilan data terkait persepsi pejalan kaki
terhadap kondisi fisik jalur pejalan kaki melalui kuisioner.
103

Menurut Sugiyono (2011), kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk
dijawab. Responden adalah orang yang memberikan jawaban atau tanggapan (respon) atas suatu
pertanyaan atau pernyataan. Kuisioner dilakukan guna mengidentifikasi data terkait persepsi pejalan
kaki terhadap kondisi fisik jalur pejalan kaki yang mencakup variabel kelengkapan, keamanan, dan
kenyamanan, melalui pemberian pertanyaan yang ditujukan bagi pejalan kaki sebagai responden,
terkait kondisi komponen pembentuk kelengkapan jalur pejalan kaki, dan fasilitas pendukung
keamanan serta kenyamanan pejalan kaki. Kuisioner berbentuk form akan disebarkan secara online
kepada para responden melalui media Google Form, dan secara langsung di lokasi penelitian pada
dua kurun waktu yang mempengaruhi jenis aktivitas pejalan kaki, yaitu hari kerja (Senin – Jumat)
dan akhir pekan (Sabtu – Minggu), bila kondisi memungkinkan.
Jenis kuisioner yang digunakan adalah kuisioner tertutup, yaitu jawaban yang sudah
dirancang oleh peneliti berdasarkan dari sumber teori dengan pilihan jawaban tertentu yang wajib
dipilih oleh responden. Sesuai dengan jenisnya, dan untuk memudahkan penilaian terhadap data hasil
kuisioner, maka digunakan skoring (pemberian bobot) pada kuisioner. Skoring pada kuisioner
dinyatakan dalam skala likert, yaitu metode pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat dan persepsi sesorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial berdasarkan definisi
operasional yang telah ditetapkan oleh peneliti (Sugiono, 2012). Skala likert biasa digunakan pada
kuisioner dalam riset berupa survei yang melibatkan persepsi masyarakat.
Data hasil pengisian kuisioner akan dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif.
Analisis statistik deskriptif berfungsi untuk menjelaskan karakteristik data yang dilihat dari nilai rata-
rata, standar deviasi, varian, nilai minimum, nilai maksimum, sum, dan range (Sugiyono, 2015).
Analisis statistik deskriptif bertujuan untuk menganalisis karakteristik pejalan kaki dan persepsi
pejalan kaki terhadap kondisi fisik jalur pejalan kaki berdasarkan pengisian kuisioner, sehingga
didapatkan statistik karakteristik pejalan kaki dan persepsi pejalan kaki yang disajikan dalam bentuk
tabel atau diagram.
4.3.2 Data Sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui telaah dokumen perencanaan serta
pemetaan menggunakan aplikasi, sehingga data sekunder didapatkan secara tidak langsung melalui
sumber dokumen perencanaa, buku, maupun data digital. Berikut merupakan penjelasan beberapa
teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu:
4.3.2.1 Telaah Dokumen
Telaah dokumen digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang bersumber pada
dokumen perencanaan terkait jalur pejalan kaki. Data yang dikumpulkan melalui metode ini
digunakan sebagai identifikasi gambaran umum obyek penelitian yang mencakup karakteristik Jalan
104

Jendral Sudirman dan jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman. Berikut merupakan data-
data yang didapatkan pada kedua identifikasi tersebut melalui telaah dokumen:

Tabel 4.2 Kebutuhan Data Berdasarkan Identifikasi Melalui Telaah Dokumen


Identifikasi Komponen
Lokasi dan cakupan (administrasi kelurahan) Jalan Jendral Sudirman
Karakteristik Jalan Jendral
Tata guna lahan koridor Jalan Jendral Sudirman
Sudirman
Jenis dan fungsi bangunan koridor Jalan Jendral Sudirman
Karakteristik jalur pejalan Segmentasi jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman
kaki koridor Jalan Jendral Permasalahan segmen 4 jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman
Sudirman Aktivitas segmen 4 jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2021

4.3.2.2 Pemetaan
Pemetaan digunakan untuk menggambarkan lokasi penelitian secara spasial, dengan output
yang dihasilkan berupa peta atau gambar spasial terkait jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral
Sudirman. Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder berupa shapefile (.shp) terbaru yang
bersumber dari GIS BPBD DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta, dan Geoportal Jakarta Satu. Data
yang didapatkan kemudian diolah dengan metode pemetaan menggunakan software ArcGis yang
menghasilkan beberapa peta sebagai gambaran umum wilayah penelitian, yaitu:
1. Peta wilayah penelitian (administrasi kelurahan) koridor Jalan Jendral Sudirman
2. Peta segmentasi jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman
3. Peta guna lahan segmen 4 koridor Jalan Jendral Sudirman
4. Peta fungsi bangunan segmen 4 koridor Jalan Jendral Sudirman
5. Peta aktivitas jalur pejalan kaki segmen 4 koridor Jalan Jendral Sudirman
Selain itu, pemetaan juga digunakan untuk menggambarkan hasil identifikasi permasalahan
jalur pejalan kaki melalui peta komik permasalahan jalur pejalan kaki segmen 4 koridor Jalan Jendral
Sudirman, dan menggambarkan hasil identifikasi kondisi fisik jalur pejalan kaki melalui peta komik
kondisi fisik jalur pejalan kaki segmen 4 koridor Jalan Jendral Sudirman.

4.4 Teknik Sampling


Pengumpulan data kuisioner menggunakan teknik sampling sebagai pemilihan sampel dari
populasi penelitian. Menurut Sugiyono (2011), populasi merupakan kumpulan obyek atau subyek
pada suatu wilayah generalisasi yang ditetapkan oleh peneliti karena memiliki kualitas dan
karakteristik tertentu untuk dipelajari, yang kemudian dapat ditarik kesimpulan dari
pembelajarannya. Sampel adalah suatu bagian atau proporsi dari populasi yang menjadi kajian atau
perhatian (Suharyadi, 2003). Untuk mengumpulkan data, peneliti akan mengambil beberapa sampel
105

dengan karakteristik yang serupa dengan populasi, sehingga sampel yang dianalisis dapat mewakili
populasi yang diamati (Sugiyono, 2011). Sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah pejalan
kaki koridor Jalan Jendral Sudirman pasca revitalisasi. Untuk mengetahui secara benar bahwa sampel
memenuhi kriteria, maka pengambilan data akan bersumber dari komunitas “Koalisi Pejalan Kaki
atau Kopeka” sebagai populasi penelitian, dan menyebar langsung pada pejalan kaki yang ditemui
di koridor Jalan Jendral Sudirman pada dua waktu berbeda (hari kerja dan akhir pekan) terkait
perbedaan aktivitas dan karakteristik pejalan kaki pada berdasarkan waktu pengamatan.
Teknik sampling adalah proses pengambilan atau pemilihan sebuah elemen tertentu dari
populasi penelitian yang berukuran (Lohr, 2000). Teknik sampling digunakan untuk mendapatkan
sampel representatif (mewakili) yang dapat menggambarkan populasinya. Pada lokasi studi, populasi
dan karakteristik pejalan kaki tidak dapat diketahui secara pasti, maka teknik sampling yang
digunakan adalah non probability sampling. Non probability sampling berarti setiap populasi pejalan
kaki tidak memiliki peluang yang sama sebagai sampel. Kelebihan pengambilan sampel ini adalah
lebih mudah dibandingkan teknik sampling yang lainnya, namun terdapat kekurangan, yaitu hasil
sampling kurang representatif karena pemilihan sampel penelitian yang cenderung subjektif.
Jenis teknik sampling non probability yang akan digunakan adalah sampling aksidental,
yaitu penentuan sampel secara kebetulan dan dianggap sesuai dengan karakteristik populasi, maka
akan dijadikan sampel. Menurut Santoso dan Tjiptono (2001), aksidental sampling adalah prosedur
sampling yang memilih sampel dari orang atau unit yang paling mudah ditemukan, sedangkan
menurut Sugiyono (2011), aksidental sampling mengambil responden sebagai sampel berdasarkan
kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dan cocok sebagai sumber
data dengan kriteria utama dapat digunakan sebagai sampel.
Teknik sampling aksidental digunakan karena jumlah pejalan kaki koridor Jalan Jendral
Sudirman pasca revitalisasi yang tidak menentu, sehingga teknik ini dirasa tepat untuk mengambil
sampel yang mewakili karakteristik populasi, termasuk mencakup seluruh karakteristik pengguna
jalur pejalan kaki. Penelitian ini menjadikan pejalan kaki dengan kriteria utama pernah menggunakan
jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman pada kondisi pasca revitalisasi sebagai sampel.
Jumlah sampel untuk pejalan kaki yang jumlahnya tidak menentu dapat dihitung secara pasti
menggunakan rumus Lemeshow (1997) sebagai berikut:

𝑃(1 − 𝑃) 0,5(1 − 0,5) Keterangan:


2 2
𝑛=𝑧 𝑥 = 1,96 𝑥
𝑑2 0,12 n: Jumlah sampel
0,5(0,5) Z: Skor Z 95% = 1,96
𝑛 = 3,84 𝑥 = 96 ≈ 100
0.01 P: Maksimal estimasi = 0,5
d: Alpha (nilai error maksimal yang diharapkan) = 0,1
106

Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sampel pejalan kaki minimal yang harus diambil
adalah 96 orang, namun agar angka yang dipakai lebih bulat, maka jumlah sampel yang akan
digunakan adalah 100 orang. Semakin banyak jumlah sampel, maka akan semakin banyak data yang
didapatkan. Semakin banyak data yang didapatkan, maka hasil penelitian akan lebih akurat. Data
dari responden sebagai sampel akan digunakan untuk menganalisis kualitas jalur pejalan kaki
berdasarkan persepsi pejalan kaki, sehingga dibutuhkan 100 pejalan kaki koridor Jalan Jendral
Sudirman pasca revitalisasi sebagai responden kuisioner.

4.5 Metode Analisis Kualitas Jalur Pejalan Kaki


Metode analisis adalah teknik yang digunakan untuk mengolah data menjadi sebuah
informasi, sehingga dapat menjawab sasaran penelitian. Jenis analisis yang digunakan pada
penelitian ini adalah analisis evaluatif, yang bertujuan untuk mengkaji suatu sampel dari populasi
terhadap pertanyaan penelitian, sehingga didapatkan data melalui pengujian tersebut (Sugiyono,
2011). Analisis evaluatif merupakan tahapan lanjutan, yang dapat dilakukan bila kebutuhan data
primer dan sekunder sudah diidentifikasi dan terkumpul secara lengkap, sehingga siap diolah.
Kualitas jalur pejalan kaki adalah tingkat baik atau buruknya jalur pejalan kaki yang dapat
dilihat dari bagaimana pejalan kaki dapat berjalan dan melakukan aktivitas pada jalur pejalan kaki
sesuai dengan fungsinya, terutama dalam menghadirkan rasa aman dan nyaman. Analisis kualitas
jalur pejalan kaki digunakan untuk mengetahui kondisi eksisting jalur pejalan kaki, yang dapat
mendeskripsikan seberapa ideal atau optimalnya jalur pejalan kaki berdasarkan penyediaan fungsi
jalur pejalan kaki dan penggunaannya (Revina et al, 2016).
Kualitas jalur pejalan kaki dapat dikaji menggunakan pendekatan Pedestrian Enviromental
Quality Index (PEQI), yang digunakan untuk menganalisis jalur pejalan kaki skala mikro dan
memberikan gambaran mengenai kondisi eksisting (Batteate, 2008). Pendekatan PEQI muncul
sebagai pioner penilaian kualitas jalur pejalan kaki di berbagai kota besar di dunia seperti San
Fransisco, Spanyol, Meksiko dan China. Menurut Batteate dalam Pattisinai (2013), PEQI
memberikan beberapa aspek penataan yang meruntut pada kriteria fisik dan menjadi pertimbangan
dalam menilai kualitas jalur pejalan kaki.
Pendekatan PEQI adalah instrumen kuantitatif yang mengkaji kualitas jalur pejalan kaki
sebagai ruang yang menghadirkan keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki, berdasarkan kondisi
fisik jalur pejalan kaki dan persepsi pejalan kaki sebagai factor utama yang paling berpengaruh
(Pattisinai, 2013). Pendekatan PEQI mencerminkan sejauh mana faktor kondisi fisik yang
dipengaruhi oleh pejalan kaki dan lingkungan dapat mendukung keamanan dan kenyamanan jalur
pejalan kaki. Menurut Zhao dalam Revina (2016), PEQI juga bertujuan untuk meningkatkan
intensitas aktivitas pada jalur pejalan kaki.
107

Indeks PEQI memiliki keunggulan dibanding analisis lain karena menjelaskan dan menilai
kualitas jalur pejalan kaki tidak hanya pada jalurnya, tetapi juga pada kebutuhan pejalan kaki. PEQI
juga memberi gambaran mengenai kondisi eksisting jalur pejalan kaki, maka dari itu salah satu
kelebihan pendekatan PEQI dalam menilai kualitas jalur pejalan kaki adalah pendekatannya yang
berskala mikro atau mendetail dalam melakukan penilaian (Revina, 2016). Beberapa kriteria
penilaian kualitas jalur pejalan kaki yang terdapat dalam metode PEQI, akan disesuaikan dengan
karakteristik jalur pejalan kaki pada kawasan perkotaan di Indonesia.
Peneliti menggunakan dua teknik analisis dalam mengkaji kualitas jalur pejalan kaki melalui
pendekatan PEQI, yaitu analisis skoring dan distribusi frekuensi. Analisis skoring digunakan untuk
menilai kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan kondisi fisik jalur pejalan kaki, yang menggunakan
data hasil analisis identifikasi kondisi eksisting komponen fisik jalur pejalan kaki. Analisis distribusi
frekuensi digunakan untuk menilai kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan persepsi pejalan kaki, yang
menggunakan data hasil analisis identifikasi persepsi pejalan kaki.
Hasil analisis kualitas jalur pejalan kaki melalui teknik skoring dan distribusi frekuensi,
selanjutnya dapat dinilai dengan pendekatan PEQI, sehingga hasil penelitian dapat menggambarkan
secara detail kajian kualitas jalur pejalan kaki koridor Jalan Jenderal Sudirman berdasarkan kondisi
fisik jalur pejalan kaki dan persepsi pejalan kaki. Berikut merupakan penjelasan analisis kualitas jalur
pejalan kaki berdasarkan kondisi fisik jalur pejalan kaki dan persepsi pejalan kaki:
4.5.1 Analisis Kualitas Berdasarkan Kondisi Fisik Jalur Pejalan Kaki
Analisis kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan kondisi fisik jalur pejalan kaki,
menggunakan teknik analisis skoring, yaitu teknik pengambilan keputusan pada proses yang
melibatkan beberapa factor dengan cara memberikan nilai pada masing-masing faktor. Teknik
skoring digunakan sehingga setiap variabel penelitian dapat diperhitungkan secara objektif, dan
dapat ditentukan tingkat secara keseluruhan sebagai hasil penelitian.
Variabel yang mencakup kelengkapan, keamanan, dan kenyamanan jalur pejalan kaki,
didapatkan berdasarkan pengkajian teori terkait kondisi fisik (elemen pembentuk kelengkapan jalur
pejalan kaki, dan elemen pendukung keamanan serta kenyamanan pejalan kaki) yang mempengaruhi
kualitas jalur pejalan kaki. Berikut merupakan tabel kebutuhan data analisis kualitas jalur pejalan
kaki koridor Jalan Jendral Sudirman:
Tabel 4.3 Kebutuhan Data Analisis Skoring
Variabel Sub Variabel Data
Ruang jalur pejalan kaki Zonasi jalur pejalan kaki

Kelengkapan Permukaan Permukaan jalur pejalan kaki


jalur pejalan kaki Bahan Material jalur pejalan kaki

Konektivitas Akses terhadap transit


108

Akses terhadap makanan

Akses bangunan dan ruang terbuka public

Muka bangunan aktif

Bangunan Blok bangunan

Kepadatan potongan jalur kendaraan

Jalur pemandu

Jalur dan ubin pemandu Ubin pengarah

Ubin peringatan

Slope

Pelandaian (ramp) Landing

Side flares

Penyeberangan pada persimpangan

Penyeberangan pada ruas jalan

Jembatan penyeberangan
Fasilitas penyeberangan
Pulau penyeberangan

Marka penyeberangan sebidang

Lampu penyeberangan pejalan kaki

Rambu larangan
Keamanan jalur
Rambu pejalan kaki Rambu perintah
pejalan kaki
Rambu petunjuk

Rambu peringatan
Rambu kendaraan bermotor
Regulasi batas kecepatan

Curb

Pembatas Barrier

Bollard

Penerangan Lampu penerangan

Penunjuk jalan dan informasi Signage / wayfinding

Drainase Saluran drainase


Kenyamanan
Vegetasi Pepohonan dan jalur hijau
jalur pejalan kaki
Peneduhan Peneduh jalur pejalan kaki

Tempat duduk Tempat duduk


109

Tempat sampah Tempat sampah

Titik transit Halte dan shelter bus


Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2021

Menurut Batteate (2008), penilaian kualitas jalur pejalan kaki memiliki parametrik tersendiri
yang menjadi indikator atau kriteria dalam penilaiannya. Indikator setiap komponen didapatkan
melalui pengoperasionalan teori terkait kualitas jalur pejalan kaki. Setiap indikator komponen
memiliki nilai (bobot) tertentu dengan skala data ordinal, yaitu skor konsisten dalam rentang 1 (satu)
hingga 5 (lima). Nilai pada setiap indikator komponen ditetapkan berdasarkan kesesuaian kondisi
eksisting komponen fisik jalur pejalan kaki terhadap indikator komponennya. Komponen fisik yang
memenuhi atau paling sesuai dengan kriteria akan diberikan nilai terbesar, yaitu 5 (lima), dan
sebaliknya bagi komponen jalur pejalan kaki yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kriteria
akan diberikan nilai terkecil, yaitu 1 (satu).
Tabel penilaian digunakan sebagai tolak ukur kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan kondisi
fisik jalur pejalan kaki, melalui penilaian setiap komponen fisiknya terhadap indikator sebagai
paramater penilaian. Data setiap komponen yang dibutuhkan pada tabel penilaian didapatkan melalui
observasi lapangan kondisi eksisting komponen fisik jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral
Sudirman. Berikut merupakan tabel penilaian yang telah dijelaskan sebelumnya:

Tabel 4.4 Penilaian Kualitas Jalur Pejalan Kaki Berdasarkan Metode PEQI
No. Komponen Parametrik Skor
I. Kategori Kelengkapan Jalur Pejalan Kaki
Terdapat 4 zona jalur pejalan kaki sesuai dengan urutannya: zona bagian depan bangunan dengan
lebar ≥0,6 meter, zona pejalan kaki dengan lebar ≥1,8 meter dan kebebasan vertical ≥2,5 meter
5
yang terbebas dari halangan, zona fasilitas pendukung dengan lebar ≥1,5 meter, dan zona
pembatas dengan lebar ≥0,5 meter
Terdapat 3 zona jalur pejalan kaki sesuai dengan urutannya: zona pejalan kaki dengan lebar ≥1,8
meter dan kebebasan vertical ≥2,5 meter yang terbebas dari halangan, zona fasilitas pendukung 4
1. Zonasi ruang dengan lebar ≥1,5 meter, dan zona pembatas dengan lebar ≥0,5 meter
Terdapat 2 zona jalur pejalan kaki sesuai dengan urutannya: zona pejalan kaki dengan lebar ≥1,8
meter dan kebebasan vertical ≥2,5 meter yang terbebas dari halangan dan zona pembatas dengan 3
lebar ≥0,5 meter
Terdapat 1 zona jalur pejalan kaki: zona pejalan kaki dengan lebar ≥1,8 meter dan kebebasan
2
vertical ≥2,5 meter yang terbebas dari halangan
Terdapat 1 zona jalur pejalan kaki: zona pejalan kaki, namun tidak sesuai ketentuan 1
Permukaan Permukaan jalur pejalan kaki lebih tinggi dari permukaan jalan, memiliki ketinggian 15 – 20 cm
2. 5
(Surface) dari permukaan jalan, terhindar dari hambatan dan kerusakan, bersifat rata dan tidak
110

bergelombang dengan kemiringan melintang 2 – 3% dan kemiringan memanjang ≤7%,


perkerasan berupa blok beton, paving, atau ubin, dan tidak beralur (bermotif)
Permukaan jalur pejalan kaki lebih tinggi dari permukaan jalan, memiliki ketinggian 15 – 20 cm
dari permukaan jalan, terhindar dari hambatan dan kerusakan, bersifat rata dan tidak
4
bergelombang dengan kemiringan melintang 2 – 3% dan kemiringan memanjang ≤7%, serta
perkerasan berupa blok beton, paving, atau ubin.
Permukaan jalur pejalan kaki lebih tinggi dari permukaan jalan, terhindar dari hambatan dan
kerusakan, bersifat rata dan tidak bergelombang dengan kemiringan melintang 2 – 3% dan 3
kemiringan memanjang ≤7%, serta perkerasan berupa blok beton, paving, ubin.
Permukaan jalur pejalan kaki lebih tinggi dari permukaan jalan, dan terhindar dari hambatan dan
2
kerusakan.
Permukaan jalur pejalan kaki lebih tinggi dari permukaan jalan 1
Bersifat tidak licin (menyerap air atau cepat kering), kokoh (padat dan stabil), tidak menyilaukan,
tahan lama (penggunaan beton, metal, dan batu), dan memiliki nilai estetik (penggunaan 5
ornament berbahan batu granit)
Bersifat tidak licin (menyerap air atau cepat kering), kokoh (padat dan stabil), tidak menyilaukan,
Bahan 4
3. dan tahan lama (penggunaan beton, metal, dan batu)
(Material)
Bersifat tidak licin (menyerap air atau cepat kering), kokoh (padat dan stabil), dan tahan lama
3
(penggunaan beton, metal, dan batu)
Berisfat kokoh (padat dan stabil) dan tahan lama (penggunaan beton, metal, dan batu) 2
Berisfat kokoh (padat dan stabil) 1
Titik transit dapat diakses pada jarak <500 meter, atau kurang dari 5 menit berjalan 5
Akses terhadap
Titik transit dapat diakses pada jarak 500 – 1.000 meter atau 5 hingga 10 menit berjalan 3
transit
Titik transit dapat diakses pada jarak >1.000 meter atau lebih dari 10 menit berjalan 1
Sumber makanan dan minuman berada dalam radius 500 meter 5
Akses terhadap
4. Sumber makanan dan minuman berada pada radius 500 – 1.000 meter 3
makanan
Sumber makanan dan minuman berada diluar radius 1.000 meter 1
Akses Terdapat >5 permeable frontage setiap jarak 100 meter jalur pejalan kaki 5
bangunan dan Terdapat 3 – 5 permeable frontage setiap jarak 100 meter jalur pejalan kaki 3
ruang terbuka Terdapat <3 permeable frontage setiap jarak 100 meter jalur pejalan kaki 1
Koridor jalur pejalan kaki memiliki >90% muka bangunan aktif 5
Muka
Koridor jalur pejalan kaki memiliki 50 – 90% muka bangunan aktif 3
bangunan aktif
Koridor jalur pejalan kaki memiliki <50% muka bangunan aktif 1
Kawasan dengan mayoritas blok bangunan kecil (panjang bangunan <110 meter) 5
5.
Blok bangunan Kawasan dengan mayoritas blok bangunan sedang (panjang bangunan 110 – 150 meter) 3
Kawasan dengan mayoritas blok bangunan besar (panjang bangunan >150 meter) 1
Kepadatan Tidak terdapat driveway cut setiap jarak 100 meter pejalan kaki 5
driveway cut Terdapat 1 – 2 driveway cut setiap jarak 100 meter pejalan kaki 3
111

Terdapat >2 driveway cut setiap jarak 100 meter pejalan kaki 1
Ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki, berjarak 0,3 – 1,2 meter dari sisi depan bangunan,
5
disusun lurus (meminimalisir belokan), dengan kemiringan ≤5%, dan bermaterial beton cetak
Ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki, berjarak 0,3 – 1,2 meter dari sisi depan bangunan,
4
disusun lurus (meminimalisir belokan), dengan kemiringan ≤5%
Jalur Pemandu
Ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki, berjarak 0,3 – 1,2 meter dari sisi depan bangunan,
(Guiding block) 3
dengan kemiringan ≤5%
Ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki dan berjarak 0,3 – 1,2 meter dari sisi depan
2
bangunan
Ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki 1
Disusun menyambung dan dipisahkan oleh ubin peringatan, memiliki ruang kosong pada kedua
sisinya selebar ≥0,6 meter, bertekstur (motif) garis-garis, berukuran 30 x 30 cm, dan berwarna 5
kuning atau jingga
Disusun menyambung dan dipisahkan oleh ubin peringatan, memiliki ruang kosong pada kedua
4
Ubin Pengarah sisinya selebar ≥0,6 meter, bertekstur garis-garis, dan berukuran 30 x 30 cm
Disusun menyambung dan dipisahkan oleh ubin peringatan, memiliki ruang kosong pada kedua
3
6. sisinya selebar ≥0,6 meter, dan bertekstur garis-garis
Disusun menyambung dan dipisahkan oleh ubin peringatan dan bertekstur garis-garis 2
Disusun menyambung dan dipisahkan oleh ubin peringatan 1
Ditempatkan pada ujung (akses) atau potongan jalur pejalan kaki, belokan, pelandaian, akses
fasilitas penyeberangan, akses fasilitas pendukung, dan akses bangunan, memiliki lebar
5
melintang ≥0,6 meter (minimal 3 ubin), bertekstur (motif) titik-titik (dots), dan berwarna kuning
atau jingga
Ditempatkan pada ujung (akses) atau potongan jalur pejalan kaki, belokan, pelandaian, akses
fasilitas penyeberangan, akses fasilitas pendukung, dan akses bangunan, memiliki lebar 4
Ubin
melintang ≥0,6 meter (minimal 3 ubin), dan bertekstur titik-titik (dots)
Peringatan
Ditempatkan pada ujung (akses) atau potongan jalur pejalan kaki, belokan, pelandaian, akses
fasilitas penyeberangan, akses fasilitas pendukung, dan akses bangunan, serta bertekstur titik- 3
titik (dots)
Ditempatkan pada ujung (akses) atau potongan jalur pejalan kaki, belokan, pelandaian, akses
2
fasilitas penyeberangan, akses fasilitas pendukung, dan akses bangunan
Tidak terdapat ubin peringatan pada seluruh tempat yang membutuhkan 1
Tersedia pada setiap perbedaan ketinggian (akses atau potongan jalur pejalan kaki, akses fasilitas
penyeberangan, sisi perimpangan, akses bangunan, dan akses menuju ruang lain), memiliki lebar
7. Slope minimal 1,5 – 1,8 meter atau 2,0 – 2,4 meter, memiliki kelandaian 8% (1:12) – 10% (1:10), 5
dengan ketinggian slope 0,15 meter dan panjang slope 1,5 – 1,8 meter, dan dilengkapi jalur
pemandu
112

Tersedia pada setiap perbedaan ketinggian (akses atau potongan jalur pejalan kaki, akses fasilitas
penyeberangan, sisi perimpangan, akses bangunan, dan akses menuju ruang lain), memiliki
4
kelandaian 8% (1:12) – 10% (1:10), dengan ketinggian slope 0,15 meter dan panjang slope 1,5
– 1,8 meter, dan dilengkapi jalur pemandu
Tersedia pada setiap perbedaan ketinggian (akses atau potongan jalur pejalan kaki, akses fasilitas
penyeberangan, sisi perimpangan, akses bangunan, dan akses menuju ruang lain) dan dilengkapi 3
jalur pemandu
Tersedia pada setiap perbedaan ketinggian (akses atau potongan jalur pejalan kaki, akses fasilitas
2
penyeberangan, sisi perimpangan, akses bangunan, dan akses menuju ruang lain)
Tidak tersedia ramp (slope) pada seluruh tempat yang membutuhkannya 1
Memiliki kelandaian yang rata (0% atau <8%), terbagi menjadi 3 bagian, yaitu top landing (sisi
atas ramp), bottom landing (sisi bawah ramp), dan intermediate landing (antar slope), serta 5
memiliki lebar minimal 1,5 – 1,8 meter atau 2,0 – 2,4 meter
Memiliki kelandaian yang rata (0% atau <8%), terbagi menjadi 3 bagian, yaitu top landing (sisi
4
atas ramp), bottom landing (sisi bawah ramp), dan intermediate landing (antar slope)
Memiliki kelandaian yang rata (0% atau <8%), namun hanya memiliki dua bagian landing, yaitu
Landing
top landing (sisi atas ramp), bottom landing (sisi bawah ramp), atau intermediate landing (antar 3
slope)
Memiliki kelandaian yang rata (0% atau <8%), namun hanya memiliki salah satu bagian landing,
yaitu top landing (sisi atas ramp), bottom landing (sisi bawah ramp), atau intermediate landing 2
(antar slope)
Tidak terdapat landing pada ramp 1
Terdapat side flares pada kedua sisi ramp dengan lebar ≥25 cm yang dilengkapi pegangan tangan
pada kedua sisinya dengan ketinggian 0,8 meter dan panjang melebihi 300 milimeter (satu anak 5
tangga) dari panjang ramp, dan permukaannya tidak licin
Terdapat side flares pada kedua sisi ramp dengan lebar ≥25 cm yang dilengkapi pegangan tangan
pada kedua sisinya dengan ketinggian 0,8 meter dan panjang melebihi 300 milimeter (satu anak 4
Side Flares
tangga) dari panjang ramp
Terdapat side flares pada kedua sisi ramp dengan lebar ≥25 cm yang dilengkapi pegangan tangan
3
pada kedua sisinya
Terdapat side flares pada kedua sisi ramp dengan lebar ≥25 cm 2
Terdapat side flares pada kedua sisi ramp 1
II. Kategori Keamanan Jalur Pejalan Kaki
Penyeberangan Terletak pada setiap sisi persimpangan yang dilengkapi marka penyeberangan sebidang, lampu
pada pejalan kaki yang menjadi satu kesatuan dengan lampu lalu lintas persimpangan, rambu
8. 5
persimpangan peringatan dan petunjuk, dan penyediaan median (pulau penyeberangan) jika melewati dua arus
(Crosswalk) lalu lintas
113

Terletak pada setiap sisi persimpangan yang dilengkapi marka penyeberangan sebidang, rambu
peringatan dan petunjuk, dan penyediaan median (pulau penyeberangan) jika melewati dua arus 4
lalu lintas
Terletak pada setiap sisi persimpangan yang dilengkapi marka penyeberangan sebidang dan
3
penyediaan median (pulau penyeberangan) jika melewati dua arus lalu lintas
Terletak pada setiap sisi persimpangan yang dilengkapi marka penyeberangan sebidang 2
Terletak pada setiap sisi persimpangan 1
Terletak pada jarak 180 – 300 meter dari persimpangan, dilengkapi marka penyeberangan
sebidang, lampu pejalan kaki, rambu peringatan dan petunjuk, serta penyediaan median (pulau 5
penyeberangan) jika melewati dua arus lalu lintas
Penyeberangan
Terletak pada jarak 180 – 300 meter dari persimpangan, dilengkapi marka penyeberangan
pada ruas jalan 4
sebidang, lampu pejalan kaki, rambu peringatan dan petunjuk
(Pelican
Penyeberangan pelikan dilengkapi marka penyeberangan sebidang, lampu pejalan kaki, rambu
crossing) 3
peringatan dan petunjuk
Penyeberangan pelikan dilengkapi marka penyeberangan sebidang dan lampu pejalan kaki 2
Penyeberangan pelikan dilengkapi marka penyeberangan sebidang 1
Memiliki ketinggian ≥5 meter dengan panjang segmen jalur melandai ≥1,5 meter, lebar jalur
melandai ≥2 meter, kemiringan jalur melandai ≤10% (≤20º), dan dilengkapi dengan pembatas 5
(pagar dan pegangan tangan / railing) di sepanjang tepi atau sisi jembatan
Memiliki ketinggian ≥5 meter dengan lebar jalur melandai ≥2 meter, kemiringan jalur melandai
Penyeberangan ≤10% (≤20º), dan dilengkapi dengan pembatas (pagar dan pegangan tangan / railing) di 4
tidak sebidang sepanjang tepi atau sisi jembatan
(Jembatan Memiliki ketinggian ≥5 meter dengan kemiringan jalur melandai ≤10% (≤20º) dan dilengkapi
3
penyeberangan) dengan pembatas (pagar dan pegangan tangan) di sepanjang tepi jembatan
Memiliki ketinggian ≥5 meter dan dilengkapi dengan pembatas (pagar dan pegangan tangan) di
2
sepanjang tepi jembatan
Jembata penyeberangan dilengkapi dengan pembatas (pagar dan pegangan tangan) di sepanjang
1
tepi atau sisinya
Diletakkan pada penyeberangan mid block (≥2 arus lalu lintas) dengan panjang ruang 10 – 12
meter dan lebar ruang 1,8 – 2,4 meter, serta tepi median berupa perpanjangan jalur
5
penyeberangan dengan ketinggian yang sejajar batas jalur pejalan kaki, dilengkapi lampu pejalan
Pulau pejalan
kaki, rambu peringatan dan petunjuk, serta curb dan bollard pada tepi median
kaki (Potongan
Diletakkan pada penyeberangan mid block (≥2 arus lalu lintas) dengan panjang ruang 10 – 12
Median)
meter dan lebar ruang 1,8 – 2,4 meter, serta tepi median berupa perpanjangan jalur
4
penyeberangan dengan ketinggian yang sejajar batas jalur pejalan kaki, dilengkapi lampu pejalan
kaki, rambu peringatan dan petunjuk.
114

Diletakkan pada penyeberangan mid block (≥2 arus lalu lintas) dengan panjang ruang 10 – 12
meter dan lebar ruang 1,8 – 2,4 meter, serta tepi median berupa perpanjangan jalur 3
penyeberangan dengan ketinggian yang sejajar batas jalur pejalan kaki.
Diletakkan pada penyeberangan mid block (≥2 arus lalu lintas) 2
Tidak terdapat pulau penyeberangan pada penyeberangan mid block (≥2 arus lalu lintas) 1
Berupa zebracross, yaitu dua garis melintang yang menjepit garis-garis membujur, yang
berwarna putih, dengan ukuran garis membujur selebar ≥0,3 meter, panjang ≥2,5 meter, dan
5
jarak antar garis membujur selebar 0,3 – 0,6 meter, serta ukuran garis melintang selebar ≥0,3
meter dan jarak antar garis melintang selebar ≥2,5 meter
Berupa zebracross, yaitu dua garis melintang yang menjepit garis-garis membujur dengan
ukuran garis membujur selebar ≥0,3 meter, panjang ≥2,5 meter, dan jarak antar garis membujur
Marka 4
selebar 0,3 – 0,6 meter, serta ukuran garis melintang selebar ≥0,3 meter dan jarak antar garis
penyeberangan
melintang selebar ≥2,5 meter
sebidang
Berupa zebracross, yaitu dua garis melintang yang menjepit garis-garis membujur dengan
ukuran garis membujur selebar ≥0,3 meter, panjang ≥2,5 meter, dan jarak antar garis membujur 3
selebar 0,3 – 0,6 meter
Berupa zebracross, yaitu dua garis melintang yang menjepit garis-garis membujur 2
Tidak berbentuk zebracross, yaitu dua garis melintang yang menjepit garis-garis membujur, atau
1
hanya mencakup salah satu komponennya
Lampu pejalan kaki berupa perangkat elektronik dengan pengaktifan menggunakan tombol,
yang memberikan sinyal lampu dan bunyi yang diperkeras, dengan ketinggian >3 meter,
5
dilengkapi alat hitung mundur, dan menjadi satu kesatuan dengan lampu lalu lintas (otomatis)
pada persimpangan
Lampu pejalan kaki berupa perangkat elektronik dengan pengaktifan menggunakan tombol,
Lampu pejalan
yang memberikan sinyal lampu dan bunyi yang diperkeras, dengan ketinggian >3 meter dan 4
kaki
dilengkapi alat hitung mundur
(Pedestrian
Lampu pejalan kaki berupa perangkat elektronik dengan pengaktifan menggunakan tombol,
light) 3
yang memberikan sinyal lampu dan bunyi yang diperkeras dan dilengkapi alat hitung mundur
Lampu pejalan kaki berupa perangkat elektronik dengan pengaktifan menggunakan tombol,
2
yang memberikan sinyal lampu dan bunyi yang diperkeras
Lampu pejalan kaki berupa perangkat elektronik dengan pengaktifan menggunakan tombol,
1
yang memberikan sinyal lampu
Rambu larangan masuk pejalan kaki pada ruang bukan peruntukkan dengan ketinggian 2 – 3
meter, bersifat reflektif, berbentuk lingkaran dengan lambang aktivitas larangan berwarna hitam, 5
Rambu tepi dan coretan berwarna merah, serta latar berwarna putih
9.
larangan Rambu larangan masuk pejalan kaki pada ruang bukan peruntukkan dengan ketinggian 2 – 3
meter, berbentuk lingkaran dengan lambang aktivitas larangan berwarna hitam, tepi dan coretan 4
berwarna merah, serta latar berwarna putih
115

Rambu larangan masuk pejalan kaki pada ruang bukan peruntukkan bagi pejalan kaki, berbentuk
lingkaran dengan lambang aktivitas larangan berwarna hitam, tepi dan coretan berwarna merah, 3
serta latar berwarna putih
Rambu larangan masuk pejalan kaki pada ruang bukan peruntukkan dengan lambang aktivitas
2
larangan berwarna hitam, tepi dan coretan berwarna merah, serta latar berwarna putih
Tidak terdapat rambu larangan masuk pejalan kaki pada ruang bukan peruntukkan 1
Rambu perintah berjalan pada ruang pejalan kaki dengan ketinggian 2 – 3 meter, bersifat
reflektif, berbentuk lingkaran dengan lambang aktivitas perintah dan tepi rambu berwarna putih, 5
serta latar berwarna biru
Rambu perintah berjalan pada ruang pejalan kaki dengan ketinggian 2 – 3 meter, berbentuk
lingkaran dengan lambang aktivitas perintah dan tepi rambu berwarna putih, serta latar berwarna 4
Rambu
biru
perintah
Rambu perintah berjalan pada ruang pejalan kaki yang berbentuk lingkaran dengan lambang
3
aktivitas perintah dan tepi rambu berwarna putih, serta latar berwarna biru
Rambu perintah berjalan pada ruang pejalan kaki dengan lambang aktivitas perintah dan tepi
2
rambu berwarna putih, serta latar berwarna biru
Tidak terdapat rambu perintah berjalan pada ruang pejalan kaki 1
Rambu petunjuk lokasi penyeberangan pejalan kaki pada fasilitas penyeberangan dengan
ketinggian 2 – 3 meter, bersifat reflektif, berbentuk persegi panjang dengan lambang aktivitas
5
petunjuk berwarna hitam, latar lambang aktivitas petunjuk berwarna putih, dan latar rambu
berwarna biru
Rambu petunjuk lokasi penyeberangan pejalan kaki pada fasilitas penyeberangan dengan
ketinggian 2 – 3 meter, berbentuk persegi panjang dengan lambang aktivitas petunjuk berwarna 4
Rambu hitam, latar lambang aktivitas petunjuk berwarna putih, dan latar rambu berwarna biru
petunjuk Rambu petunjuk lokasi penyeberangan pejalan kaki pada fasilitas penyeberangan yang
berbentuk persegi panjang dengan lambang aktivitas petunjuk berwarna hitam, latar lambang 3
aktivitas petunjuk berwarna putih, dan latar rambu berwarna biru
Rambu petunjuk lokasi penyeberangan pejalan kaki pada fasilitas penyeberangan dengan
lambang aktivitas petunjuk berwarna hitam, latar lambang aktivitas petunjuk berwarna putih, 2
dan latar rambu berwarna biru
Tidak terdapat rambu petunjuk lokasi penyeberangan pejalan kaki pada fasilitas penyeberangan 1
Rambu diletakkan 5 – 10 meter sebelum jalur penyeberangan dan persimpangan dengan
ketinggian >3 meter, bersifat reflektif, berbentuk belah ketupat dengan lambang aktivitas 5
Rambu peringatan dan tepi rambu berwarna hitam, serta latar rambu berwarna kuning
peringatan Rambu diletakkan 5 – 10 meter sebelum jalur penyeberangan dan persimpangan dengan
ketinggian >3 meter, berbentuk belah ketupat dengan lambang aktivitas peringatan dan tepi 4
rambu berwarna hitam, serta latar rambu berwarna kuning
116

Rambu diletakkan 5 – 10 meter sebelum jalur penyeberangan dan persimpangan, berbentuk


belah ketupat dengan lambang aktivitas peringatan dan tepi rambu berwarna hitam, serta latar 3
rambu berwarna kuning
Rambu peringatan diletakkan 5 – 10 meter sebelum jalur penyeberangan dan persimpangan 2
Tidak ada rambu peringatan atau rambu peringatan diletakkan kurang dari 5 meter atau lebih
1
dari 10 meter sebelum jalur penyeberangan dan persimpangan
Rambu dengan batas kecepatan 40 km/jam dengan ketinggian >3 meter, bersifat reflektif,
berbentuk lingkaran dengan angka batas kecepatan berwarna hitam, tepi berwarna merah, dan 5
latar berwarna putih
Rambu dengan batas kecepatan 40 km/jam dengan ketinggian >3 meter, berbentuk lingkaran
Rambu batas 4
dengan angka batas kecepatan berwarna hitam, tepi berwarna merah, dan lata berwarna putih
kecepatan
Rambu dengan batas kecepatan 40 km/jam yang berbentuk lingkaran dengan angka batas
3
kecepatan berwarna hitam, tepi berwarna merah, dan lata berwarna putih
Terdapat rambu dengan batas kecepatan 40 km/jam 2
Tidak terdapat rambu dengan batas kecepatan 40 km/jam 1
Diletakkan di sepanjang jalur pejalan kaki dengan ketinggian ≥25 cm dari permukaan jalan, lebar
5
tapak ≥21 cm dan lebar bagian atas ≥18 cm, serta terbuat dari beton yang diperkeras
Tepi jalur Diletakkan di sepanjang jalur pejalan kaki dengan ketinggian ≥25 cm dari permukaan badan
4
pejalan kaki jalan, dan terbuat dari beton yang diperkeras
(Curb) Diletakkan di sepanjang jalur pejalan kaki dan terbuat dari beton yang diperkeras 3
Diletakkan di sepanjang jalur pejalan kaki 2
Curb tidak diletakkan di sepanjang jalur pejalan kaki 1
Barrier diletakkan pada titik rawan kecelakaan atau pada jalan dengan lebar lebih dari 10 meter
5
atau lebih dari 4 lajur, dengan ketinggian ≥90 cm dan terbuat dari metal atau beton
Barrier diletakkan pada titik rawan kecelakaan atau pada jalan dengan lebar lebih dari 10 meter
4
atau lebih dari 4 lajur yang terbuat dari metal atau beton
Pagar pembatas
10. Barrier diletakkan pada titik rawan kecelakaan atau pada jalan dengan lebar lebih dari 10 meter
(Barrier) 3
atau lebih dari 4 lajur
Barrier diletakkan pada titik yang salah atau tidak seharusnya 2
Tidak terdapat Barrier pada titik rawan kecelakaan atau pada jalan dengan lebar lebih dari 10
1
meter atau lebih dari 4 lajur
Diletakkan pada akses, potongan, dan kelandaian jalur pejalan kaki, berjarak 30 – 45 cm dari
curb, dan berjarak 90 – 140 cm antar bollard dengan ketinggian 0,6 – 1,2 meter dan diameter 30 5
cm, serta bahan berupa beton
Patok pembatas
Diletakkan pada akses, potongan, dan kelandaian jalur pejalan kaki, berjarak 90 – 140 cm antar
(bollard) 4
bollard dengan ketinggian 0,6 – 1,2 meter dan diameter 30 cm, dan berbahan beton
Diletakkan pada akses, potongan, dan kelandaian jalur pejalan kaki yang berjarak 90 – 140 cm
3
antar bollard dengan ketinggian 0,6 – 1,2 meter dan diameter 30 cm
117

Diletakkan pada akses, potongan, dan kelandaian jalur pejalan kaki yang berjarak 90 – 140 cm
2
antar bollard
Diletakkan pada akses dan potongan jalur pejalan kaki 1
Memiliki ketinggian 4 – 6 meter yang ditempatkan pada jarak 0,8 meter dari tepi jalur pejalan
kaki, bersifat menerus dan parsial (bergantian sisi kanan-kiri), diletakkan setiap jarak 10 – 15 5
meter dengan pencahayaan vertical ≥2 meter (lampu berkekuatan 75 watt)
Memiliki ketinggian 4 – 6 meter yang bersifat menerus dan parsial (bergantian sisi kanan-kiri),
Lampu dan diletakkan setiap jarak 10 – 15 meter dengan pencahayaan vertical ≥2 meter (lampu 4
11. penerangan berkekuatan 75 watt)
(Lighting) Memiliki ketinggian 4 – 6 meter dan diletakkan setiap jarak 10 – 15 meter dengan pencahayaan
3
vertical ≥2 meter (lampu berkekuatan 75 watt)
Diletakkan setiap jarak 10 – 15 meter dengan pencahayaan vertical ≥2 meter (lampu berkekuatan
2
75 watt)
Memiliki pencahayaan vertical ≥2 meter (lampu berkekuatan 75 watt) 1
III. Kategori Kenyamanan Jalur Pejalan Kaki
Memberikan informasi multi moda transit, orientasi lokasi, petunjuk arah dan jarak titik transit
terdekat dan fasilitas umum, yang ditempatkan pada lokasi strategis (titik transit, area interaksi
sosial, dan ruang terbuka public), diletakkan setiap waktu berjalan 5 – 10 menit menuju lokasi 5
strategis atau 8 – 10 meter dari persimpangan pada kedua sisinya atau fasilitas penyeberangan,
dan tidak tertutup atau terhalang, serta tidak menyilaukan
Memberikan informasi multi moda transit, orientasi lokasi, petunjuk arah dan jarak titik transit
terdekat dan fasilitas umum, yang ditempatkan pada lokasi strategis (titik transit, area interaksi
Papan sosial, dan ruang terbuka public), diletakkan setiap waktu berjalan 5 – 10 menit menuju lokasi 4
penunjuk jalan strategis atau 8 – 10 meter dari persimpangan pada kedua sisinya atau fasilitas penyeberangan,
12. dan informasi dan tidak tertutup atau terhalang
(Signage / Memberikan informasi multi moda transit, orientasi lokasi, petunjuk arah dan jarak titik transit
wayfinding) terdekat dan fasilitas umum, yang ditempatkan pada lokasi strategis (titik transit, area interaksi
3
sosial, dan ruang terbuka public), diletakkan setiap waktu berjalan 5 – 10 menit menuju lokasi
strategis atau 8 – 10 meter dari persimpangan pada kedua sisinya atau fasilitas penyeberangan
Memberikan informasi multi moda transit, orientasi lokasi, petunjuk arah dan jarak titik transit
terdekat dan fasilitas umum, yang ditempatkan pada lokasi strategis (titik transit, area interaksi 2
sosial, dan ruang terbuka public)
Memberikan informasi multi moda transit, orientasi lokasi, petunjuk arah dan jarak titik transit
1
terdekat dan fasilitas umum
Desain drainase tertutup, dengan dimensi minimal lebar 50 cm dan kedalaman 50 cm,
Drainase
13. kemiringan ≥2%, dilengkapi lubang control setiap jarak 10 m dan setiap belokan, dan berbahan 5
(Drainage)
PVC, beton, atau batu
118

Desain drainase tertutup, dengan dimensi minimal lebar 50 cm dan kedalaman 50 cm,
4
kemiringan ≥2%, dan dilengkapi lubang control setiap jarak 10 m dan setiap belokan
Desain drainase tertutup, dengan dimensi minimal lebar 50 cm dan kedalaman 50 cm,
3
kemiringan ≥2%
Desain drainase tertutup dengan kemiringan ≥2% 2
Desain drainase tertutup 1
Pepohonan disusun berbaris pada sisi jalan (zona pembatas) sebagai jalur hijau dengan lebar
≥1,5 meter, pepohonan memiliki ketinggian percabangan ≥2 meter yang berbentuk merunduk
5
dengan massa daun padat, tebal, rapat, dan rindang (perdu), serta jenis pohon adalah Angsana,
Tanjung, atau Kiara Payung
Pepohonan disusun berbaris pada sisi jalan (zona pembatas) sebagai jalur hijau dengan lebar
Vegetasi
≥1,5 meter, pepohonan memiliki ketinggian percabangan ≥2 meter yang berbentuk merunduk 4
14. (Pepohonan
dengan massa daun padat, tebal, rapat, dan rindang (perdu)
dan jalur hijau)
Pepohonan disusun berbaris pada sisi jalan (zona pembatas) sebagai jalur hijau dengan lebar
3
≥1,5 meter, pepohonan memiliki ketinggian percabangan ≥2 meter yang merunduk
Pepohonan disusun berbaris pada sisi jalan (zona pembatas) sebagai jalur hijau dengan lebar
2
≥1,5 meter
Pepohonan disusun berbaris pada sisi jalan (zona pembatas) sebagai jalur hijau 1
Terdapat perlindungan berupa ruang meneduh/shelter yang diletakkan setiap 300 meter,
5
pepohonan rindang (perdu) di sepanjang jalur pejalan kaki, dan atap-atap
Terdapat perlindungan berupa ruang meneduh/shelter yang diletakkan setiap 300 meter dan
4
Peneduh pepohonan rindang (perdu) di sepanjang jalur pejalan kaki
15.
(Shades) Terdapat perlindungan berupa ruang meneduh/shelter dan pepohonan rindang (perdu) di
3
sepanjang jalur pejalan kaki
Terdapat perlindungan berupa pepohonan rindang (perdu) di sepanjang jalur pejalan kaki 2
Terdapat perlindungan berupa pepohonan rindang (perdu) yang bersifat sporadic (acak) 1
Diletakkan setiap jarak ≤10 meter dengan lebar 40 – 50 cm, panjang ≥150 cm, dilengkapi
5
sandaran tangan dan punggung, serta berbahan metal atau beton
Diletakkan setiap jarak ≤10 meter dengan lebar 40 – 50 cm, panjang ≥150 cm, dan dilengkapi
Tempat duduk 4
16. sandaran tangan dan punggung
(Seating)
Diletakkan setiap jarak ≤10 meter dengan lebar 40 – 50 cm dan panjang ≥150 cm 3
Diletakkan setiap jarak ≤10 meter dengan lebar 40 – 50 cm 2
Diletakkan setiap jarak ≤10 meter 1
Diletakkan setiap 15 – 20 meter yang didesain tertutup dengan ketinggian 15 – 20 meter dan
Tempat sampah mencakup 3 jenis sampah, yaitu kering (anorganik), basah (organik), dan plastik (recycleable), 5
17. (Waste serta berbahan metal atau beton
container) Diletakkan setiap 15 – 20 meter dengan desain tertutup dan mencakup 3 jenis sampah, yaitu
4
anorgani, organik, dan plastik, serta berbahan metal atau beton
119

Diletakkan setiap 15 – 20 meter yang didesain tertutup dan mencakup 3 jenis sampah, yaitu
3
kering (anorganik), basah (organik), dan plastik (recycleable)
Diletakkan setiap 15 – 20 meter yang didesain tertutup 2
Diletakkan setiap 15 – 20 meter 1
Desain tertutup (mampu melindungi terhadap panas dan hujan) dengan bagian depan diletakkan
pada jarak ≥1 meter (zona fasilitas pendukung) dari badan jalan dan tempat pemberhentian bus
mengakuisisi zona pembatas, memiliki panjang minimal sama dengan panjang bus, bermaterial 5
metal dan beton, dengan jarak antar titik transit (halte bus dan stasiun MRT) ≤5 km, serta shelter
bus yang diletakkan minimal setiap 300 meter
Desain tertutup (mampu melindungi terhadap panas dan hujan) dengan bagian depan diletakkan
pada jarak ≥1 meter (zona fasilitas pendukung) dari badan jalan dan tempat pemberhentian bus
mengakuisisi zona pembatas, memiliki panjang minimal sama dengan panjang bus, dengan jarak 4
antar titik transit (halte bus dan stasiun MRT) ≤5 km, serta shelter bus yang diletakkan minimal
Halte dan
18. setiap 300 meter
shelter bus
Desain tertutup (mampu melindungi terhadap panas dan hujan) dengan bagian depan diletakkan
pada jarak ≥1 meter (zona fasilitas pendukung) dari badan jalan dan tempat pemberhentian bus
3
mengakuisisi zona pembatas, dengan jarak antar titik transit (halte bus dan stasiun MRT) ≤5 km,
serta shelter bus yang diletakkan minimal setiap 300 meter
Desain tertutup (mampu melindungi terhadap panas dan hujan) dengan bagian depan diletakkan
pada jarak ≥1 meter (zona fasilitas pendukung) dari badan jalan dan tempat pemberhentian bus 2
mengakuisisi zona pembatas
Bagian depan diletakkan pada jarak ≥1 meter (zona fasilitas pendukung) dari badan jalan dan
1
tempat pemberhentian bus mengakuisisi zona pembatas
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022

Selanjutnya nilai dari setiap data akan dijumlahkan menjadi nilai komponen, yang
kemudian nilai dari setiap komponen akan dijumlahkan menjadi nilai kategori menggunakan rumus
perhitungan PEQI menurut Batteate (2008), yaitu:
(𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙)𝑥100
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙
Selanjutnya nilai yang dihasilkan dari ketiga kategori akan dijumlahkan menjadi skor PEQI.
Skor PEQI mencerminkan sejauh mana faktor kondisi fisik lingkungan akan mendukung keamanan
dan kenyamanan pejalan kaki. Skor PEQI berdasarkan perhitungan tersebut akan dibagi menjadi lima
kelas yang menentukan skala kualitas jalur pejalan kaki pada lokasi penelitian. Berikut merupakan
tabel klasifikasi kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan penilaian PEQI:

Tabel.5 Klasifikasi Kualitas Jalur Pejalan Kaki Berdasarkan Skor PEQI


Kelas Skor Keterangan
120

I 157 – 185 Kualitas jalur pejalan kaki ideal


II 127 – 156 Kualitas jalur pejalan kaki dapat diterima
III 97 – 126 Kualitas jalur pejalan kaki dasar (standar)
IV 67 – 96 Kualitas jalur pejalan kaki buruk
V 37 – 66 Jalur pejalan kaki dan lingkungannya tidak layak untuk pejalan kaki
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022
Berikut merupakan penjelasan kelas kualitas jalur pejalan kaki pada pendekatan PEQI:
1. Kelas I
Jalur pejalan kaki dikatakan sangat optimal dikarenakan sarana serta fasilitas penunjang
jalur pejalan kaki baik dari sisi keselamatan maupun kenyamanan bagi pejalan kaki sudah
terfasilitasi dengan sepenuhnya
2. Kelas II
Jalur pejalan kaki dikatakan dapat diterima, hal ini dimana jalur pejalan kaki sudah
dilengkapi dengan fasilitas penunjang namun masih terdapat kekurangan yang perlu adanya
perbaikan dan melengkapi sarana yang belum terfasilitasi untuk meningkatkan tingkat
keselamatan pengguna jalur pejalan kaki.
3. Kelas III
Jalur pejalan kaki pada tingkat dasar yang merupakan masih cukup banyaknya
kekurangan baik dari segi materialnya maupun sarana penunjang lainnya, namun masih bisa
digunakan untuk berjalan kaki dengan tingkat keamanan yang cukup rendah.
4. Kelas IV
Jalur pejalan kaki dikatakan buruk dikarenakan kondisi jalur pejalan kaki yang sangat
minimnya sarana penunjang serta kondisi jalur pejalan kaki yang terdapat banyak kerusakan
yang membuat jalur pejalan kaki terlihat kumuh.
5. Kelas V
Jalur pejalan kaki dikatakan sangat buruk karena tidak dilengkapi sarana penunjang bagi
pejalan kaki, yang membuat tidak layaknya jalur pejalan kaki karena tingkat kemanan bagi
pengguna jalur yang tidak diperhatikan.

4.5.2 Analisis Kualitas Berdasarkan Persepsi Pejalan Kaki


Terdapat dua aspek yang mempengaruhi persepsi pejalan kaki terhadap kondisi lingkungan,
yaitu kenyamanan dan keamanan saat menggunakan jalur pejalan kaki (Fruin et al, 1971).
Karakteristik pejalan kaki dapat mempengaruhi persepsi pejalan kaki terhadap kondisi fisik jalur
pejalan kaki. Analisis kualitas berdasarkan persepsi pejalan kaki menggunakan jenis analisis statistik
121

deskriptif. Persepsi pejalan kaki dalam menganalisis kualitas jalur pejalan kaki, yang mencakup
kebutuhan keamanan, kenyaman, dan kelengkapan jalur pejalan kaki.
Setiap pejalan kaki tentu memiliki kebutuhan yang berbeda yang dipengaruhi oleh informasi
personal masing-masing responden, yang dapat mempengaruhi penilaian kualitas jalur pejalan kaki,
maka dari itu diperlukan identifikasi informasi personal pejalan kaki sebagai berikut:

Tabel 4.6 Identifikasi Infromasi Personal Pejalan Kaki


Identifikasi Komponen

Jenis kelamin Laki-laki


(gender) Perempuan

Balita: 0 – 4 tahun

Anak kecil: 5 – 8 tahun

Anak-anak: 9 – 13 tahun

Usia Remaja: 14 – 18 tahun

Dewasa: 19 – 40 tahun

Orang tua: 41 – 65 tahun

Lanjut usia: 65+ tahun

Normal

Kondisi tubuh Kaum berkebutuhan khusus: balita, anak kecil, lansia, ibu hamil, dan orang sakit

Kaum penyandang cacat: tuna daksa, tuna netra, tuna rungu wicara, dan tuna grahita

Aktivitas penting

Jenis aktivitas Aktivitas pilihan

Aktivitas sosial
Sumber: Analisis Penulis, 2022

Hasil identifikasi informasi personal pejalan kaki akan digunakan untuk analisis identifikasi
hasil olah data secara statistik deskriptif, untuk menghasilkan statistik karakteristik pejalan kaki yang
disajikan dalam bentuk diagram atau tabel, sehingga dapat menggambarkan (mewakili) keseluruhan
karakteristik pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman.
Persepsi pejalan kaki dalam menilai kualitas jalur pejalan kaki, mencakup variabel
kebutuhan keamanan, kenyaman, dan kelengkapan jalur pejalan kaki. Berikut merupakan tabel
kebutuhan data analisis kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan persepsi pejalan kaki:
Tabel 4.7 Kebutuhan Data Persepsi Pejalan Kaki
Variabel Sub Variabel Data
122

Ruang jalur pejalan kaki Zonasi jalur pejalan kaki

Permukaan Permukaan jalur pejalan kaki

Bahan Material jalur pejalan kaki

Akses terhadap transit

Konektivitas Akses terhadap makanan

Akses bangunan dan ruang terbuka public

Muka bangunan aktif


Kelengkapan
Bangunan Blok bangunan
jalur pejalan kaki
Kepadatan potongan jalur kendaraan

Jalur pemandu

Jalur dan ubin pemandu Ubin pengarah

Ubin peringatan

Slope

Pelandaian (ramp) Landing

Side flares

Penyeberangan pada persimpangan

Penyeberangan pada ruas jalan

Jembatan penyeberangan
Fasilitas penyeberangan
Pulau penyeberangan

Marka penyeberangan sebidang

Lampu penyeberangan pejalan kaki

Rambu larangan
Keamanan jalur
Rambu pejalan kaki Rambu perintah
pejalan kaki
Rambu petunjuk

Rambu peringatan
Rambu kendaraan bermotor
Regulasi batas kecepatan

Curb

Pembatas Barrier

Bollard

Penerangan Lampu penerangan

Penunjuk jalan dan informasi Signage / wayfinding


123

Drainase Saluran drainase

Vegetasi Pepohonan dan jalur hijau

Kenyamanan Peneduhan Peneduh jalur pejalan kaki


jalur pejalan kaki Tempat duduk Tempat duduk

Tempat sampah Tempat sampah

Titik transit Halte dan shelter bus


Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2021
Instrumen yang digunakan sebagai media pengumpulan data persepsi pejalan kaki adalah
kuisioner. Kuisioner menggunakan pertanyaan mengenai kesesuaian kondisi jalur pejalan kaki
terhadap apa yang pejalan kaki lihat dan alami pada jalur pejalan kaki. Respon kuisioner akan diukur
menggunakan skala likert, yang menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pernyataan
dengan memilih salah satu dari pilihan jawaban yang tersedia. Jawaban terhadap pertanyaan akan
disediakan dalam bentuk pilihan, dimana masing-masing pilihan jawaban mewakili seberapa setuju
pejalan kaki sebagai responden terhadap pernyataan yang diberikan. Setiap piliha jawaban memiliki
bobot (skor) tersendiri, dengan skor berbentuk ordinal yang memiliki lima rentang (A, B, C, D, dan
E), dimana A merupakan opsi jawaban dengan bobot skor tertinggi atau terbaik, yaitu 5, dan
berurutan hingga E yang menjadi opsi jawaban dengan bobot terendah atau terburuk, yaitu 1. Rumus
yang digunakan oleh Sugiono (2012), untuk mencari persentase skor pada skala likert adalah:

Keterangan:
𝑛
% = 𝑥 100% n: Jumlah skor responden
𝑁
N: Jumlah skor maksimal

Data persepsi pejalan kaki berdasarkan kuisioner yang telah memenuhi kebutuhan, akan
dianalisis menggunakan metode analisis distribusi frekuensi pada aplikasi SPSS. Analisis distribusi
frekuensi merupakan bagian dari analisis statistik deskriptif, yang digunakan untuk memberikan
informasi dari data yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis ini menghasilkan tabel
distribusi frekuensi yang memuat susunan data menurut kategori atau kelas interval tertentu (Santoso,
2014). Analisis distribusi frekuensi dibutuhkan untuk mendapatkan skor rata-rata persepsi pejalan
kaki terhadap setiap variabel yang menggambarkan kualitas jalur pejalan kaki, sehingga dapat
menjadi pendukung pada penilaian kualitas jalur pejalan kaki. Menurut Sugiyono (2015), dalam
menyusun distribusi frekuensi dilakukan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Menentukan jumlah kelas interval
Jumlah kelas interval ditentukan menggunakan rumus Sturges, yaitu jumlah kelas
interval = 1 + 3,3 log n, dimana bila n memiliki hasil desimal, maka dibulatkan ke atas
124

(Sudjana, 1996). Nilai n merupakan jumlah responden, yaitu 100 responden. Berikut
merupakan perhitungan jumlah kelas interval:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 = 1 + 3,3 log 100
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 = 1 + 3,3 (2)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 = 1 + 6,6 = 7,6 ~ 8
2. Menentukan rentang data (Range)
Rentang data diketahui melalui selisih nilai maksimum dan minimum hasil pengisian
kuisioner oleh setiap reponden. Nilai maksimum yaitu 120, yang diperoleh melalui
pemilihan jawaban terbaik atau pertama (A) dengan bobot skor jawaban 5 dari 5 pilihan
jawaban pada 24 pertanyaan kuisioner. Nilai minimum yaitu 24, yang diperoleh melalui
pemilihan jawaban terburuk atau terakhir (E) dengan bobot skor jawaban 1 dari 5 pilihan
jawaban pada 24 pertanyaan kuisioner. Berikut merupakan perhitungan rentang data:
𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 = (120 − 24) + 1
𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 = 96 + 1 = 97
3. Menentukan panjang kelas interval
Panjang kelas interval ditentukan dengan membagi rentang data dengan jumlah kelas
interval yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan sebelumnya, didapatkan
perhitungan panjang kelas interval sebagai berikut:
97
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 = 8
= 12,125 ~ 12

Berdasarkan perhitungan distribusi frekuensi di atas, dapat diklasifikasikan total skor hasil
pengisian 24 pertanyaan pada kuisioner oleh responden, yang menjelaskan persepsi pejalan kaki
terhadap kelengkapan, keamanan, dan kenyamanan jalur pejalan kaki, sehingga menggambarkan
kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan persepsi pejalan kaki, dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4.8 Klasifiskasi Kualitas Jalur Pejalan Kaki Berdasarkan Persepsi Pejalan Kaki
Kelas Interval Klasifikasi Kualitas
Tidak layak: Kualitasnya tidak layak untuk digunakan bagi kebutuhan dan
1 24 – 35
harapan pejalan kaki
Sangat buruk: Kualitasnya sangat tidak sesuai dengan kebutuhan dan
2 36 – 47
harapan pejalan kaki
3 48 – 59 Buruk: Kualitasnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan pejalan kaki
Kurang dapat diterima: Kualitasnya kurang sesuai dengan kebutuhan dan
4 60 – 71
harapan pejalan kaki
125

Dapat diterima (Sesuai standar): Kualitasnya cukup sesuai dengan


5 72 – 83
kebutuhan dan harapan pejalan kaki
6 84 – 95 Ideal: Kualitasnya sesuai dengan kebutuhan dan harapan pejalan kaki
Sangat ideal: Kualitasnya sangat sesuai dengan kebutuhan dan harapan
7 96 – 107
pejalan kaki
Optimal atau sempurna: Kualitasnya mendekati sempurna dalam memenuhi
8 108 – 120
kebutuhan dan harapan pejalan kaki
Sumber: Analisis Penulis, 2022

Berdasarkan tabel klasifikasi kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan perspesi pejalan kaki di
atas, dapat dilihat distribusi frekuensi kualitas jalur pejalan kaki, terutama klasifikasi kualitas jalur
pejalan kaki yang mendominasi, sehingga didapatkan kualitas jalur pejalan kaki yang mewakili atau
persepsi pejalan kaki berdasarkan seluruh karakteristiknya, melalui diagram turus (tally) yang dapat
berbentuk tabel atau chart sebagai berikut:

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Kualitas Jalur Pejalan Kaki Berdasarkan Persepsi Pejalan Kaki
Klasifikasi kualitas Frekuensi
Tidak layak X
Sangat buruk X
Buruk X
Kurang dapat diterima X
Dapat diterima (Sesuai standar) X
Ideal X
Sangat ideal X
Optimal atau Sempurna X
Sumber: Analisis Penulis, 2022

Analisis kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan persepsi pejalan kaki menjadi masukan yang
digunakan untuk mendukung analisis kualitas jalur pejalan kaki berdasarkan kondisi fisik jalur
pejalan kaki, sehingga hasil penilaian kualitas dan kelayakan jalur pejalan kaki pasca revitalisasi
koridor Jalan Jendral Sudirman oleh penulis, didukung dan dilengkapi oleh perspektif pejalan kaki
sebagai pengguna jalur pejalan kaki.
126

4.6 Kerangka Analisis


Analisis pada penelitian dilakukan berurutan melalui tiga tahap, yaitu input, proses, dan
output. Analisis yang dilakukan dalam penelitian dapat dijelaskan melalui kerangka berdasarkan
ketiga tahapan, yaitu identifikasi data yang dibutuhkan pada bagian input, metode analisis pada
bagian proses, dan hasil analisis pada bagian output. Berikut merupakan diagram yang dapat
menggambarkan tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian:

Gambar 4.1 Diagram Kerangka Analisis


Sumber: Analisis Penulis, 2022
BAB V
RENCANA PELAKSANAAN PENELITIAN

5.1 Kegiatan Penelitian


Pelaksanaan kegiatan penelitian adalah mengkaji kualitas jalur pejalan kaki koridor Jalan
Jendral Sudirman pasca revitalisasi. Penelitian dilakukan guna mengetahui kondisi jalur pejalan kaki
pasca revitalisasi dan melakukan pengujian terhadap fungsi utamanya. Penelitian berfokus pada
ruang jalur pejalan kaki sebagai objek penelitian dan pejalan kaki sebagai subjek penelitian. Kegiatan
yang akan dilakukan mencakup beberapa tahapan seperti tahapan persiapan (penyusunan dokumen
proposal penelitian atau rencana penelitian), tahapan penelitian (survei atau pengambilan kebutuhan
data, kompilasi data, pengolahan data atau analisis, dan penyusunan laporan), serta tahapan
pengujian (menguji hasil serta validasi penelitian).

5.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian


Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahapan persiapan, penelitian, dan pengujian.
Berikut merupakan penjelasan ketiga tahapan tersebut:
1. Tahapan Persiapan
Tahapan persiapan dilakukan dengan menyusun rancangan proposal penelitian.
Tahapan penyusunan rancangan proposal penelitian terdiri dari perumusan latar belakang,
perumusan masalah beserta pertanyaan penelitian, pengkajian atau studi literatur, penentuan
variabel dan penyusunan instrumen atau metode penelitian.
2. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian terdiri dari beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai
tatanan dalam melaksanakan penelitian guna mencapai tujuan yang diinginkan. Berikut
merupakan tahapannya:
a. Survei
Kegiatan survei dilakukan untuk mengumpulkan data sesuai kebutuhan. Data yang
diidentifikasi ditujukan untuk dianalisis atau diolah, sehingga menghasilkan informasi
yang sesuai dengan kebutuhan analisis. Survei akan dilakukan dengan observasi
lapangan dan telaah dokumen perencanaan terkait penelitian.
b. Kompilasi Data
Kompilasi data dilakukan untuk merekapitulasi data yang telah dikumpulkan
menurut setiap kategori menjadi sebuah informasi yang terstruktur dan siap untuk diolah
menggunakan metode analisis penelitian.

127
128

c. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mengolah data (informasi) yang telah disusun
menjadi data olahan menggunakan metode analisis yang sesuai kebtuhan. Data olahan
diharapkan dapat menjadi dasar untuk menyusun hasil penelitian.
d. Penyusunan Laporan Tugas Akhir
Penyusunan laporan tugas akhir dilakukan dengan menyusun pendahuluan, kajian
pustaka, metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan serta rekomendasi penelitian.
Laporan tugas akhir mencakup seluruh informasi mengenai penelitian yang telah
dilakukan penulis.
3. Tahapan Pengujian
Tahapan akhir penelitian dengan melakukan pengujian terhadap penelitian yang telah
dilakukan oleh penulis, dan menentukan apakah penelitian ini mampu menjawab pertanyaan
penelitian, mencapai tujuan penelitian, dan memberikan manfaat penelitian yang menjadi
pertanggungjawaban penulis, sehingga penelitian layak untuk dipublikasikan.

5.3 Instrumen Pelaksanaan Penelitian


Instrumen penelitian merupakan alat-alat yang digunakan selama melaksanakan penelitian
guna membantu atau mendukung keperluan penelitian, seperti survei, pengambilan dan pengolahan
data, hingga penulisan laporan, atau pada setiap tahapan berdasarkan fungsi masing-masing alat.
Berikut merupakan alat-alat yang diperlukan sebagai instrument penelitian:
1. Alat tulis
2. Tabel kebutuhan data dan tabel observasi lapangan
3. Form kuisioner bagi pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman pasca revitalisasi
4. Surat: Surat penelitian tugas akhir, surat izin observasi lapangan, dan surat permohonan
dokumen terkait kebutuhan data.
5. Laptop: media penulisan laporan dan pembuatan peta menggunakan aplikasi
6. Kamera: alat dokumentasi
7. Perlengkapan protocol kesehatan: masker, hand sanitizer, pakaian tertutup (dibutuhkan
saat survei lapangan selama masa pandemi COVID-19)
129

5.4 Jadwal Pelaksanaan Penelitian


Jadwal pelaksanaan penelitian berupa tabel timeline yang dibentuk agar menjadi target
pengerjaan atau tenggat waktu bagi penulis untuk menyelesaikan penelitiannya. Berikut merupakan
table timeline penelitian:
Tabel 5.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Waktu Pelaksanaan (Tahun 2022)
No. Tahap Penelitian Proses Pelaksanaan Januari Februari Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
BAB I
Persiapan:
BAB II
1 Penyusunan
BAB III
Proposal Penelitian
BAB IV & V
2 Pengujian Proposal Sidang Proposal
Perizinan dan
3 Survei Persiapan
Pengumpulan Data
4 Kompilasi Data Rekapitulasi Data
Metode dan Teknik
5 Pengolahan Data Analisis Terhadap
Data
BAB I
Penyusunan BAB II
6
Laporan BAB III
BAB IV & V
Sidang
Pengesahan Pembahasan
7
Laporan Revisi Laporan
Sidang Akhir
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022
DAFTAR PUSTAKA

AASHTO, 2004. A Policy on Geometric Design of Highways and Streets. 5th ed


Washington D.C.: AASHTO.
Al-Hagla, K. S. 2008. Towards a Sustainable Neighborhood: The Role of Open Spaces.
International Journal of Architectural Research
Amelia, S., dan Prawira, P. 2013. Efektivitas Rekonstruksi Jalan Perkotaan Dengan Konsep
Ramah Lingkungan (Studi Kasus: Jalan Cihampelas Kota Bandung). Kementerian Pekerjaan Umum,
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan.
American Society of Civil Engineers. 1981. Civil Engineering Database. New York.
Anggriani, N. 2009. Pedestrian Ways Dalam Perancangan Kota. Yayasan Humaniora
Asnawi, R. A. A. 2009. Analisis Literatur Hubungan Private Label Kesadaran Merek dan
Citra Merek dan Penerapannya pada Industri Hypermarket. Jurnal Bisnis & Manajemen, vol.X, no.1,
hal. 72-86.
Bacon, E. N. (1974). Design of Cities.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2020. Provinsi DKI Jakarta Dalam Angka
2020.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kota Administrasi Jakarta Selatan. 2020. Kota Administrasi
Jakarta Selatan Dalam Angka 2020.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kota Jakarta Pusat. 2020. Kota Administrasi Jakarta Pusat
Dalam Angka 2020.
Batteate, C. (2008). The Pedestrian Environmental Quality Index (PEQI). Los Angeles:
UCLA Center for Occupational and Enviromental Health, University of California.
Bentley, I. (1985). Responsive Environments: A Manual for Designers. London:
Architectural Press.
Bromley, R. D. F., dan Thomas, C. J. (1993). Retail change: contemporary issues. London:
UCL Press.
Carmona, M., Magalhaes, C. D., & Hammond, L. (2008). “Publik Space: The Management
Dimension.” London, New York: Routledge.
Carr, S., et al. 1992. “Public Space”. Cambridge University Press.
Chiara, J. D., dan Koppelman, L. E. 1994. Standar Perancangan Tapak. Jakarta: Erlangga.
Cohen, N. 1999. Urban Conservation. The MIT Press, Cambridge Studies in International.
Comerford, C. (2008). Pedestrian Environmental Quality Index (PEQI)

130
131

Czogalla, C. L., Brownson, R. C., Cragg, S. E., dan Dunn, A. L. 2010. Exploring the effect
of the environment on physical activity: A study examining walking to work. American Journal of
Preventive Medicine, Vol 23, Issue 2: 36-43.
Damia, F. N., dan Nugrahaini, F. T. (2020). Kualitas dan Kenyamanan Jalur Pedestrian di
Penggal Jalan Slamet Riyadi Surakarta. Sinketika Jurnal Arsitektur, vol.17, no.2.
Danisworo, M. 2000. “Revitalisasi Kawasan Kota Sebuah Catatan dalam Pengembangan
dan Pemanfaatan Kawasan Kota”. www.urdi.org (urban and regional development institute, 2000).
Danoe, Iswanto, 2006. Pengaruh Elemen- Elemen Pelengkap Jalur Pedestrian Terhadap
Kenyamanan Pejalan Kaki (Studi Kasus: Penggal Jalan Pandanaran, Dimulai dari Jalan Randusari
Hingga Kawasan Tugu Muda). Artikel Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, Volume 5
Nomor 1Edisi Maret 2006, Bandung.
Dewar, R. 1992. Driver and Pedestrian Characteristics in Traffic Engineering Handbook
(J.L., Pline, ed). Englewood Cliffs, N.J.
Dobbins, M. (2009). "A Review of “Urban Design and People." Journal of the American
Planning Association, 77(4), pp. 386–387.
Erna, W., dan Amin, S. L. 2016. Convenience Component of Walkability in Malang City
Case Study the Street Corridors Around City Square. Elsevier: Procedia-Social and Behavioral
Sciences.
Foundry, R. 2021. A Guide to Bollard Spacing and Site Planning.
Fruin, J. J. 1979. Pedestrian Planning and Design. Metropolitan Association of Urban
Designers and Environmental Planners, New York. University of Michigan.
Fruin, John. 1979. Pedestrian Planning and Design. Metropolitan and Association of Urban
Designers and Enviromental Planners, Inc, New York.
Gehl, J. (1987). Life between buildings: using public space. New York: Van Nostrand
Reinhold.
Gideon, Giovany. 1977. Human Aspect of Urban Form.
Goede, M. De. 2009. Data on mobility and safety. TNO, Soesterberg, Netherlands.
Hakim, R., dan Utomo, H. 2002. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap. Jakarta:
Bumi Aksara.
Harris, C. W., dan Dines, N. T. (1998). Time-Saver Standards for Landscape Architecture.
Colombia. McGraw-Hill, Inc.
Hayuni, N., dan Syahbana, J. A. 2014. Upaya Revitalisasi Permukiman Tradisional Tepi
Sungai (Studi Kasus: Permukiman Kampung Tenun Samarinda). Jurnal Pembangunan Wilayah dan
Kota, vol. 10, no. 4, pp. 400-412.
Heckscher, A. 1977. Open Spaces: The Life of American Cities. New York: Harper & Row
132

Ipak, I. R. 2015. Pengembangan Ruang Pejalan Kaki Dalam Menunjang Sudirman City
Walk di Kota Pekanbaru.
ITDP. 2019. Panduan Desain Fasilitas Pejalan Kaki: DKI Jakarta 2017-2022 Versi 2.0.
Jakarta NMT Vision and Design Guideline.
Kaliongga, F. G., Kumurur, V. A., dan Sembel, A. 2014. Kajian Aspek Kenyamanan Jalur
Pedestrian Jl. Piere Tendean di Kota Manado. Sabua: Jurnal Lingkungan Binaan dan Arsitektur,
vol.6, no.2, 243-252.
Khairunnisa, M. Z. 2017. Peran Frontage Bangunan Terhadap Pembentukan Aktivitas
Ruang Pejalan Kaki di Jalan Jendral Sudirman.
Koh, P. P., dan Wong, Y. D. (2013). Comparing pedestrians needs and behaviours in
different land use environments. Journal of Transport Geography, 26, 43-50.
Lamour, Q., dan Marins, K. R. de C. 2019. Improving walkability in a TOD context: Spatial
strategies that enhance walking in the Belém neighbourhood, in São Paulo, Brazil.
Lubis, H. F. 2018. Analisa Kenyamanan Pengguna Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian) di Pusat
Kota Padangsidimpuan
Mamuaja, D. M. A., Rompis, S. J. R., dan Timboeleng, J. A. 2018. Analisa Tingkat
Kenyamanan Pejalan Kaki di Kota Tomohon. Jurnal Ilmiah Media Engineering, vol.8, no.2, 1132-
1143.
Mandanipour, A. 1996. Urban Design and Dilmmas of Space
Margono. 1997. Metode Penelitian Pendidikan.Jakarta: Rineka Cipta.
Mauliani, L., Purwantiasning, A. W., dan Aqli, W. 2010. Fungsi dan Peran Jalur Pedestrian
Bagi Pejalan Kaki. Artikel Jurnal Ilmiah Arsitektur NALARs, vol.9, no.2. Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Mihardja, U. S., dan Yusuf, M. 2020. Kualitas Kenyamanan Jalur Pedestrian Di Kawasan
Senen Berdasarkan Preferensi Pejalan Kaki. Jurnal Teknik ITS, vol.9, no.2, 2337-3539.
Muchtar, C. 2010. Identifikasi Tingkat Kenyamanan Pejalan Kaki: Studi Kasus Jalan
Kedoya Raya – Arjuna Selatan. Jurnal PLANESA, vol.1, no.2.
Muslihun, M. 2013. Studi Kenyamanan Pejalan Kaki Terhadap Pemanfaatan Jalur
Pedestrian di Jalan Protokol Kota Semarang (Studi Kasus Jl. Pahlawan). Program Studi Pendidikan
Teknik Bangunan, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.
Neufert, E. 1996. Data Arsitek Edisi 33 Jilid 1. Jakarta: Erlangga (Ahli bahasa oleh Sunarto
Tjahjadi)
Panduri, R., dan Suwandono, D. 2015. Perilaku Masyarakat Dalam Penggunaan Jalur
Pedestrian di Koridor Jalan Prof. H. Soedarto, S.H. Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota), vol.
4, no. 2, pp. 239-252.
133

Pattisinai, A. R. 2013. "Kajian Kualitas Jalan Pahlawan Sebagai Jalur Pejalan Kaki di Kota
Semarang," Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, vol. 9, no. 3, pp. 248-258.
Pratitis, A. 2015. Kajian Perkembangan Aktivitas Sosial dan Rekreasi di Jalur Pedestrian
(Studi Kasus: Jalur Pedestrian Jalan Pahlawan). Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, vol.11,
no.2, 129-141.
Prijadi, R., Sangkertadi, dan Tarore, R. Ch. 2014. Pengaruh Permukaan Jalur Pedestrian
Terhadap Kepuasan & Kenyamanan Pejalan Kaki di Pusat Kota Manado. Media Matrasain, vol.11,
no.1.
Punaji, S. 2010. Metode Penelitian Penelitian dan Pengembangan. Jakarta: Kencana.
Purwanto, W., dan Pamungkas, A. 2003. Analisis Perilaku Brand Switching Konsumen
dalam Pembelian Produk Handphone di Semarang. Jurnal Bisnis dan Ekonomi.
Ravindra K, Errampali M, Amit D and Sanjeev S. 2015. Analytical hirarchy process for
assessing sustainability: indicators of public transportation systems, pedestrians and feeder services
in developing countries. World Journal of Science, Technology and Sustainable Development 12 pp
281-293.
Revina, T., and Khadiyanto, P. (2016). “Kajian Kualitas dan Tingkat Pelayanan Jalur
Pejalan Kaki di Stasiun Manggarai Jakarta Selatan,” Ruang, vol. 2, no. 4, pp. 293-301.
Ridwan, N., Fuady, M., dan Zahriah. 2018. Jalur Pejalan Kaki di Kawasan Kampus
Universitas Syiah Kuala. Edisi II, Vol. 1.
Rubenstein. 1992. Pedestrian Malls, Sreetscape, and Urban Spaces. John Wiley & Sons,
Inc, New York.
Rukmana, D. (2013, Oktober). Kebutuhan terhadap pedoman pejalan kaki. Disampaikan
dalam seminar di Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang (Vol. 26).
Salim, M., dan Marpaung, B. O. Y. 2017. Kajian Keberadaan Jalur Pejalan Kaki Pada
Koridor Jalan Utama Di Pusat Kota Balige. Seminar Nasional “Kearifan Lokal dalam Keberagaman
untuk Pembangunan Indonesia”, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera
Utara.
Sanjaya, R., Soedarsono, dan Mudiyono, R. 2017. Analisis Fungsi Dan Kenyamanan Jalur
Pedestrian Kawasan Di Kota Pangkalan Bun. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Dalam
Pengembangan Smart City, vol.1, no.1.
Santoso, A. B. 2008. Karakteristik pejalan kaki pada jembatan penyeberangan bus rapid
transit stasiun Harmoni Central Busway.
Santoso, S. 2014. Panduan Lengkap SPSS Versi 20 Edisi Revisi. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Shaftoe, H. 2012. Convivial Urban Spaces: Creating Effective Public Places. Earthscan.
134

Shirvani, H. (1985). The Urban Design Process. New York: Van Novnstrand Reinhold.
Simanjuntak, M. R. A., dan Armila, A. 2011. Analisis Pengaruh Kualitas Area Pedestrian
Terhadap Kemudahan Akses Pengunjung Bangunan Mal Di Jalan Asia-afrika Jakarta. Jurnal Ilmiah
MEDIA ENGINEERING, vol.1, no.2, 135-143.
Sopirová, A., et al. (2017). “Publik Space and the Efficiency of the New Residential Zones
in Small Slovak Towns and Villages.” Europ. Countrys, vol.9, no. 3, pp. 541-559.
Spreiregen, Paul D. (1965) The Architecture of Towns and Cities, McGraw Hill Book.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: Alfabeta.
Suharyadi, dan Purwanto S. K. 2003. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan Modern.
Jilid 1. Jakarta: Salemba Empat.
Surya, I. R., dan Sudaryatno. 2016. Pemanfaatan Indeks Walkability (Kenyamanan Pejalan
Kaki) dan Hubungannya dengan Kualitas Jalur Pedestrian di Kawasan Wisata Malioboro
Yogyakarta.
Tanan, N. (2011). Fasilitas Pejalan Kaki. Bandung, Kementerian Pekerjaan Umum Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan.
Tanan, N. dan Suprayoga, G.B. (2015). Fasilitas Pejalan Kaki Dalam Mendukung Program
Pengembangan Kota Hijau. Jurnal HPJI, vol.1, no.1, 17-28.
Teguh, W. 2005. Sistem Informasi: Konsep Dasar, Analisis Desain, dan Implementasi.
Jakarta: Graha Ilmu.
Unterman, Richard. 1984. The Urban Design Procces, Element of Urban Physical Form.
Wardianto, G. 2017. Trotoar Ruang Kompromi Pejalan Kaki dan Pedagang Kaki Lima.
Undip Press, vol.1.
Whyte, William H. 1980. The Social Life of Small Urban Spaces. Washington, D.C.: The
Conservation Foundation.
Wicaksono, A. Prabowo, A. H., dan Purnomo, E. I. 2019. Analisis Kualitas Jalur Pedestrian
di Kawasan Kota Lama Bandung Berdasarkan PEQI. Jurnal AGORA, vol.17, no.1, 1-9.
Wijayanti, G. M., Agustina, A., dan Sulistyorini, R. 2020. Kualitas Walkability Jalur
Pejalan Kaki Pada Kawasan Bisnis Simpur Center Dan Sekitar. Jurnal Kacapuri Keilmuan Teknik
Sipil, vol.3, no.1.
Wood, D. P. 1988. Impact and Movement of Pedestrians in Frontal Collisions with
Vehicles. Institution of Mechanical Engineers, Part D: Transport Engineering, v.202, issue 2, 101-
110.
World Bank. 1975. Urban Transport: Sector Policiy Paper. Washington, DC.
World Health Organization (WHO). 2015. Global Status Report on Road Safety 2015.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta

Peta Administrasi Kelurahan Koridor Jalan Jendral Sudirman DKI Jakarta

Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022

Peta Tata Guna Lahan Koridor Jalan Jendral Sudirman DKI Jakarta

Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022

135
136

Peta Jenis Bangunan Koridor Jalan Jendral Sudirman DKI Jakarta

Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022

Peta Segmentasi Jalur Pejalan Kaki Koridor Jalan Jendral Sudirman DKI Jakarta

Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022


137

Lampiran 2 Form Observasi Lapangan

Segmen pengamatan:

Tabel Observasi Lapangan Kondisi Fisik Jalur Pejalan Kaki


No. Sub Variabel Komponen Data Keterangan Foto
Variabel Kelengkapan Jalur Pejalan Kaki
Zona bagian Lebar zona bagian depan gedung
depan bangunan Lebar hambatan pada zona bagian depan gedung
Lebar zona pejalan kaki
Kebebasan vertical zona pejalan kaki
Zona pejalan Lebar hambatan pada zona pejalan kaki
kaki Keberadaan dan lebar jalur sepeda
1. Zonasi ruang
Lebar jalur alternatif pada area konstruksi
Pembatas pada jalur alternatif
Zona fasilitas Lebar zona fasilitas pendukung
pendukung Fasilitas pada zona fasilitas pendukung
Lebar zona pembatas
Zona pembatas
Pemanfaatan zona pembatas
Tinggi permukaan jalur pejalan kaki dari permukaan jalan
Permukaan Hambatan pada permukaan jalur pejalan kaki
2. Permukaan jalur pejalan Kemiringan melintang dan memanjang
kaki Jenis perkerasan permukaan jalur pejalan kaki
Alur atau motif permukaan jalur pejalan kaki
Kelicinan material jalur pejalan kaki
Kekokohan (padat dan stabil) material jalur pejalan kaki
Material jalur
3. Bahan Pemantulan cahaya (kesilauan) material jalur pejalan kaki
pejalan kaki
Daya tahan berdasarkan jenis material jalur pejalan kaki
Nilai estetik (keindahan) material jalur pejalan kaki
Titik transit Aksesibilitas (jarak) terhadap titik transit (halte atau stasiun)
Sumber Aksesibilitas (radius) terhadap sumber makanan dan
4. Konektivitas makanan minuman
Bangunan dan Jumlah akses bangunan dan ruang terbuka publik
ruang terbuka (permeable frontage) setiap jarak 100 meter
Muka bangunan Persentase muka bangunan aktif pada jalur pejalan kaki
5. Bangunan Persentase ukuran (panjang) blok bangunan pada koridor
Blok bangunan
jalur pejalan kaki
138

Potongan jalur Jumlah potongan jalur kendaraan (driveway cut) setiap jarak
kendaraan 100 meter jalur pejalan kaki
Penempatan jalur pemandu
Jarak jalur pemandu terhadap sisi depan bangunan
Jalur pemandu Penyusunan jalur pemandu
Kemiringan jalur pemandu
Material perkerasan (permukaan) jalur pemandu
Penyusunan (kebersambungan) ubin pengarah
Jalur dan ubin Ruang kosong pada kedua sisi ubin pengarah
6.
pemandu Ubin pengarah Tekstur (motif) ubin pengarah
Ukuran ubin pengarah
Warna ubin pengarah
Penempatan ubin peringatan
Lebar melintang ubin peringatan
Ubin peringatan
Tekstur (motif) ubin peringatan
Warna ubin peringatan
Penyediaan slope pada perbedaan ketinggian
Lebar ruang slope
Slope
Panjang segmen slope
Tingkat kelandaian slope
Tingkat kelandaian landing
Lebar ruang landing
Landing
Panjang ruang landing
Pelandaian
7. Kelengkapan landing yang terdiri dari 3 bagian
(Ramp)
Penyediaan side flares pada kedua sisi ramp
Lebar side flares
Tinggi permukaan side flares
Side flares Kelengkapan pegangan tangan pada kedua sisi side flares,
dan tinggi pegangan tangan
Panjang pegangan tangan dan sifat kelicinan permukaan
pegangan tangan
Variabel Keamanan Jalur Pejalan Kaki
Peletakkan pada sisi persimpangan
Penyeberangan Kelengkapan marka penyeberangan sebidang
8. Fasilitas
pada Kelengkapan lampu pejalan kaki
penyeberangan
persimpangan Kelengkapan rambu peringatan dan petunjuk
Penyediaan median penyeberangan
139

Peletakkan (jarak) terhadap persimpangan


Kelengkapan marka penyeberangan sebidang
Penyeberangan
Kelengkapan lampu pejalan kaki
pada ruas jalan
Kelengkapan rambu peringatan dan petunjuk
Penyediaan median penyeberangan
Ketinggian jembatan penyeberangan
Panjang segmen jalur melandai
Jembatan
Lebar jalur melandai
penyeberangan
Kemiringan jalur melandai / tinggi anak tangga
(tidak sebidang)
Kelengkapan pembatas (pagar dan pegangan tangan) di
sepanjang tepi atau sisi jembatan dan atap
Peletakkan median pada fasilitas penyeberangan
Panjang dan lebar ruang median
Median Kelengkapan lampu pejalan kaki, rambu peringatan dan
penyeberngan petunjuk
(Pulau pejalan Bentuk tepi median
kaki) Ketinggian median penyeberangan terhadap batas jalur
pejalan kaki
Dilengkapi curb dan bollard pada sisi tepi median
Bentuk komponen marka penyeberangan sebidang
Marka
Warna marka penyeberanga
penyeberangan
Ukuran dan jarak antar komponen garis membujur
sebidang
Ukuran dan jarak antar komponen garis melintang
Perangkat dan pengaktifan lampu pejalan kaki
Lampu Sinyal yang dihasilkan lampu pejalan kaki
penyeberangan Ketinggian lampu pejalan kaki
pejalan kaki Kelengkapan alat hitung mundur
Integrasi dengan lampu lalu lintas pada persimpangan
Peletakkan rambu larangan bagi pejalan kaki
Ketinggian rambu larangan pejalan kaki
Rambu
Sifat reflektif rambu larangan pejalan kaki
larangan
Bentuk rambu larangan pejalan kaki
Rambu pejalan
9. Warna rambu larangan pejalan kaki
kaki
Peletakkan rambu perintah bagi pejalan kaki
Ketinggian rambu perintah pejalan kaki
Rambu perintah
Sifat reflektif rambu perintah pejalan kaki
Bentuk rambu perintah pejalan kaki
140

Warna rambu perintah pejalan kaki


Peletakkan rambu petunjuk bagi pejalan kaki
Ketinggian rambu petunjuk pejalan kaki
Rambu
Sifat reflektif rambu petunjuk pejalan kaki
petunjuk
Bentuk rambu petunjuk pejalan kaki
Warna rambu petunjuk pejalan kaki
Peletakkan rambu peringatan terhadap titik peringatan
Ketinggian rambu peringatan pengendara kendaraan
Rambu
Sifat reflektif rambu peringatan pengendara kendaraan
peringatan
Bentuk rambu peringatan pengendara kendaraan
Rambu
Warna rambu peringatan pengendara kendaraan
kendaraan
Batasan kecepatan bagi pengendara kendaraan
bermotor
Ketinggian rambu peringatan pengendara kendaraan
Rambu batas
Sifat reflektif rambu peringatan pengendara kendaraan
kecepatan
Bentuk rambu peringatan pengendara kendaraan
Warna rambu peringatan pengendara kendaraan
Peletakkan curb pada jalur pejalan kaki
Tepi jalur
Ketinggian curb dari permukaan badan jalan
pejalan kaki
Lebar (ketebalan) tapak dan bagian atas curb
(Curb)
Bahan pembentuk curb
Peletakkan barrier pada tepi jalur pejalan kaki
Pagar pembatas
Ketinggian barirer
10. Pembatas (Barrier)
Bahan pembentuk barrier
Peletakkan bollard
Jarak terhadap curb
Patok pembatas
Jarak antar bollard
(Bollard)
Ketinggian dan diameter bollard
Bahan pembentuk bollard
Ketinggian lampu penerangan
Lampu
Pencahayaan vertical berdasarkan kekuatan lampu
penerangan
11. Penerangan Penempatan lampu terhadap tepi jalur pejalan kaki
jalur pejalan
Intensitas penyediaan lampu penerangan
kaki
Jenis (tipe) pengadaan lampu pada jalur pejalan kaki
Variabel Kenyamanan Jalur Pejalan Kaki
Signage / Cakupan informasi pada signage / wayfinding
12.
Wayfinding Intensitas penyediaan signage setiap waktu berjalan
141

Penempatan atau peletakkan signage / wayfinding terhadap


Papan penunjuk
persimpangan atau fasilitas penyeberangan
jalan dan
Cakupan visual signage / wayfinding
informasi
Sifat reflektif signage / wayfinding
Peletakkan dan desain drainase
Dimensi (lebar dan kedalaman) drainase
Saluran
13. Drainase Kemiringan drainase
drainase
Kelengkapan lubang kontrol setiap jarak tertentu
Bahan pembentuk drainase
Ketinggian dan bentuk percabangan pepohonan
Pepohonan Massa (struktur) daun pada pepohonan
Jenis pohon pada jalur pejalan kaki
14. Vegetasi Penyusunan pohon sebagai jalur hijau
Lebar jalur hijau
Jalur Hijau
Perbedaan ketinggian jalur hijau dengan permukaan jalur
pejalan kaki
Pepohonan Ketersediaan keteduhan dari pepohonan
Atap-atap Ketersediaan atap-atap atau kanopi bangunan
15. Peneduh
Ketersediaan shelter atau gazebo
Ruang meneduh
Intensitas penyediaan (peletakkan) shelter atau gazebo
Intensitas penyediaan setiap jarak tertentu
Lebar tempat duduk
16. Tempat duduk Tempat duduk Panjang tempat duduk
Kelengkapan sandaran tangan dan punggung
Jenis bahan pembentuk tempat duduk
Intensitas penyediaan setiap jarak tertentu
Desain tempat sampah
Tempat
17. Tempat sampah Ketinggian tempat sampah
sampah
Pemisahan jenis sampah pada tempat sampah
Jenis bahan pembentuk tempat sampah
Desain halte bagi perlindungan pejalan kaki
Jarak bagian depan halte terhadap badan jalan dan tempat
Titik transit
pemberhentian bus
moda Halte bus
18. Panjang halte bus
transportasi
Material pembentuk halte bus
umum
Jarak antar halte bus
Shelter bus Intensitas penyediaan shelter bus setiap jarak tertentu
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2022
142

Lampiran 3 Form Kuisioner

Pedoman Kusioner

Pengantar
Saya Martinus Aditya Dwisadana, mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, saat ini sedang melaksanakan penelitian mengenai “Kajian
Kualitas Jalur Pejalan Kaki (Trotoar) Pasca Revitalisasi di Koridor Jalan Jendral Sudirman DKI
Jakarta”. Penelitian ini disusun guna memenuhi keperluan tugas akhir saya untuk mendapatkan gelar
Sarjana. Pejalan kaki tentu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga kondisi ini
mempengaruhi penilaian kualitas trotoar sebagai objek penelitian, berdasarkan persepsi pejalan kaki
sebagai pengguna dan elemen yang paling berpengaruh terhadap perkembangan trotoar. Form
kuisioner berisikan beberapa pertanyaan terkait karakteristik dan persepsi pejalan kaki, yang disusun
sebagai instrumen pengumpulan data penelitian. Melalui kerendahan hati, saya memohon bantuan
Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian untuk mengisi secara lengkap dan sesuai dengan kondisi yang ada.
Hasil penelitian ini akan digunakan sebagai keperluan studi. Keberhasilan penelitian akan menjadi
tanggung jawab peneliti secara utuh. Atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i saya ucapkan terima kasih.

Petunjuk Pengisian:
1. Pada bagian informasi responden, disediakan dua jenis pertanyaan, yaitu pilihan dan isian, maka
pada pertanyaan pilihan, silahkan pilih salah satu jawaban yang tersedia, dan pada pertanyaan
isian, silahkan isi sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
2. Pada bagian kuisioner mengenai persepsi responden terhadap kondisi trotoar, disediakan
pertanyaan dengan 5 opsi jawaban (a, b, c, d, dan e), yang mana masing-masing jawaban
mencerminkan kondisi komponen trotoar menurut atau sepengetahuan anda. Semua opsi
jawaban benar (tidak ada yang salah), oleh karena itu pilihlah salah satu jawaban pada semua
pertanyaan dengan jujur dan sesuai dengan kondisi yang anda lihat atau alami pada trotoar.
3. Pada bagian kuisioner mengenai persepsi responden terhadap kondisi trotoar, juga disediakan
pertanyaan terbuka berupa isian, maka silahkan isi sesuai dengan apa yang ingin anda sampaikan
dan sesuai dengan kondisi yang anda lihat atau alami pada trotoar.

Kontak Peneliti (Penyusun Kuisioner): Martinus Aditya Dwisadana (082298551160)


143

Identitas Responden

Nama:

Jenis Kelamin:
a. Laki-laki
b. Perempuan

Usia:
a. Anak-anak: 9 sampai 13 tahun
b. Remaja: 14 sampai 18 tahun
c. Dewasa: 19 sampai 40 tahun
d. Orang tua: 41 sampai 65 tahun
e. Lanjut usia: lebih dari 65 tahun

Kondisi Tubuh:
a. Normal: tidak ada kondisi fisik yang mempengaruhi kegiatan berjalan kaki
b. Kaum berkebutuhan khusus (difabilitas): anak-anak, lansia, ibu hamil, ibu membawa anak
kecil atau bayi, dan penderita peyakit tertentu yang mempengaruhi cara berjalan
c. Kaum penyandang cacat (disabilitas) yang menggunakan alat bantu jalan: tuna daksa, tuna
netra, tuna rungu wicara, atau tuna grahita

Kapan terakhir kali anda berjalan atau beraktivitas pada trotoar Jalan Jendral Sudirman?
a. Saya rutin (hampir setiap hari) berjalan atau beraktivitas pada trotoar Jalan Jendral
Sudirman
b. Beberapa hari yang lalu
c. Beberapa minggu yang lalu
d. Beberapa bulan yang lalu
e. Beberapa tahun yang lalu
f. Sebelum dilakukannya perbaikan trotoar pada Jalan Jendral Sudirman (sebelum tahun
2018)

Bagian trotoar mana yang biasanya anda gunakan untuk berjalan atau beraktivitas pada Jalan Jendral
Sudirman:
144

a. Bagian I: Batas utara Jalan Jendral Sudirman yaitu Bundaran HI sampai Stasiun Dukuh
Atas atau Taman Spot Budaya
b. Bagian II: Taman Spot Budaya atau Stasiun Dukuh Atas sampai Flyover Jalan K.H. Mas
Mansyur
c. Bagian III: Flyover Jalan K.H. Mas Mansyur sampai flyover Semanggi
d. Bagian IV: Flyover Semanggi sampai batas selatan Jalan Jendral Sudirman yaitu Bundaran
Senayan (Patung Pemuda Membangun)

Pada hari apa biasanya anda menggunakan trotoar koridor Jalan Jendral Sudirman:
a. Hari kerja (Weekdays): Senin sampai dengan Jumat
b. Akhir pekan (Weekend): Sabtu dan Minggu

Jenis aktivitas atau kegiatan apa yang biasanya anda lakukan pada trotoar Jalan Jendral Sudirman:
a. Aktivitas penting: Dilakukan karena keperluan atau kebutuhan, yaitu pergerakan
(perpindahan) antar bangunan atau moda transportasi, seperti berjalan untuk berangkat atau
pulang kerja.
b. Aktivitas pilihan: Tidak dilakukan secara rutin, seperti berekreasi (wisata kota), berolahraga,
jalan-jalan, berbelanja, menikmati pemandangan, duduk dan bersantai.
c. Aktivitas sosial: Dilakukan secara berkelompok pada satu tempat yang sama, seperti
pertemuan komunitas, demonstrasi, pertunjukkan terbuka, dan kegiatan yang bergantung
pada kehadiran beberapa orang.

Dalam jumlah berapa orang biasanya anda beraktivitas atau berjalan pada trotoar Jalan Jendral
Sudirman?
a. Sendiri: 1 orang
b. Berdua: 2 orang
c. Kelompok kecil: 3 sampai 5 orang
d. Kelompok besar: lebih dari 5 orang

Darimana anda mendapatkan link kuisioner ini?


a. Publikasi media sosial atau group Koalisi Pejalan Kaki
b. Publikasi media sosial pribadi peneliti (@martinusaditya) atau akun lainnya
c. Secara langsung, saat berjalan kaki pada koridor Jalan Jendral Sudirman
145

Kuisioner

A. Kelengkapan Trotoar
1. Pembagian ruang trotoar
Pilihan Penjelasan
Ruang berjalan cukup lebar untuk Terdapat tempat fasiliitas umum,
Terdapat jalur hijau sebagai Tersedia jalan alternatif pada area
A mendahului, dan tidak ada PKL atau sehingga fasilitas tidak mengganggu
pembatas terhadap jalan konstruksi
parkir kendaraan jalan
Ruang berjalan cukup lebar untuk Terdapat tempat fasiliitas umum,
Terdapat jalur hijau sebagai Tidak tersedia jalan alternatif
B mendahului, dan tidak ada PKL atau sehingga fasilitas tidak mengganggu
pembatas terhadap jalan pada area konstruksi
parkir kendaraan jalan
Ruang berjalan cukup lebar untuk
Terdapat jalur hijau sebagai Tidak ada tempat fasiliitas umum Tidak tersedia jalan alternatif
C mendahului, dan tidak ada PKL atau
pembatas terhadap jalan sehingga fasilitas mengganggu jalan pada area konstruksi
parkir kendaraan
Ruang berjalan cukup lebar untuk Tidak ada jalur hijau
Tidak ada tempat fasiliitas umum Tidak tersedia jalan alternatif
D mendahului, dan tidak ada PKL atau sebagai pembatas terhadap
sehingga fasilitas mengganggu jalan pada area konstruksi
parkir kendaraan jalan
Ruang berjalan kurang lebar untuk Tidak ada jalur hijau
Tidak ada tempat fasiliitas umum Tidak tersedia jalan alternatif
E mendahului, dan terdapat PKL atau parkir sebagai pembatas terhadap
sehingga fasilitas mengganggu jalan pada area konstruksi
kendaraan jalan
146

2. Permukaan trotoar
Pilihan Penjelasan
Permukaan trotoar lebih tinggi Permukaan trotoar tidak
Permukaan trotoar tidak rusak, berlubang, Permukaan trotoar tidak
A dari permukaan jalan, sehingga bergelombang (naik-turun), sehingga
dan retak, serta tidak ada ubin yang hilang licin
kendaraan tidak bisa masuk tidak ada penggenangan air
Permukaan trotoar lebih tinggi Permukaan trotoar bergelombang
Permukaan trotoar tidak rusak, berlubang, Permukaan trotoar tidak
B dari permukaan jalan, sehingga (naik-turun), sehingga terjadi
dan retak, serta tidak ada ubin yang hilang licin
kendaraan tidak bisa masuk penggenangan air
Permukaan trotoar lebih tinggi Permukaan trotoar bergelombang
Permukaan trotoar tidak rusak, berlubang,
C dari permukaan jalan, sehingga Permukaan trotoar licin (naik-turun), sehingga terjadi
dan retak, serta tidak ada ubin yang hilang
kendaraan tidak bisa masuk penggenangan air
Permukaan trotoar lebih tinggi Terdapat permukaan trotoar yang rusak, Permukaan trotoar bergelombang
D dari permukaan jalan, sehingga berlubang, dan retak, serta terdapat ubin Permukaan trotoar licin (naik-turun), sehingga terjadi
kendaraan tidak bisa masuk yang hilang penggenangan air
Permukaan trotoar sejajar atau
Terdapat permukaan trotoar yang rusak, Permukaan trotoar bergelombang
lebih rendah dari permukaan
E berlubang, dan retak, serta terdapat ubin Permukaan trotoar licin (naik-turun), sehingga terjadi
jalan, sehingga kendaraan dapat
yang hilang penggenangan air
masuk
147

3. Material trotar
Pilihan Penjelasan
Material membentuk struktur yang Material dapat menyerap air atau Material tidak Material memiliki variasi bentuk, tekstur
A kokoh (kuat) dan padat, sehingga cepat kering, sehingga tidak licin menyilaukan, sehingga (pola), dan warna, sehingga menarik
aman digunakan bila basah nyaman digunakan dilihat
Material membentuk struktur yang Material dapat menyerap air atau Material tidak Material tidak memiliki variasi bentuk,
B kokoh (kuat) dan padat, sehingga cepat kering, sehingga tidak licin menyilaukan, sehingga tekstur (pola), dan warna, sehingga tidak
aman digunakan bila basah nyaman digunakan menarik dilihat
Material membentuk struktur yang Material dapat menyerap air atau Material dapat Material tidak memiliki variasi bentuk,
C kokoh (kuat) dan padat, sehingga cepat kering, sehingga tidak licin menyilaukan, sehingga tekstur (pola), dan warna, sehingga tidak
aman digunakan bila basah tidak nyaman digunakan menarik dilihat
Material membentuk struktur yang Material tidak dapat menyerap air Material dapat Material tidak memiliki variasi bentuk,
D kokoh (kuat) dan padat, sehingga dan sulit kering, sehingga licin bila menyilaukan, sehingga tekstur (pola), dan warna, sehingga tidak
aman digunakan basah tidak nyaman digunakan menarik dilihat
Material membentuk struktur yang Material tidak dapat menyerap air Material dapat Material tidak memiliki variasi bentuk,
E rapuh dan kopong, sehingga kurang dan sulit kering, sehingga licin bila menyilaukan, sehingga tekstur (pola), dan warna, sehingga tidak
aman digunakan basah tidak nyaman digunakan menarik dilihat
148

4. Pelandaian (Kemiringan) pada perbedaan ketinggian trotoar


Pilihan Penjelasan
Pelandaian memiliki lebar yang
Permukaan pelandaian tidak licin
Terdapat pelandaian di setiap cukup untuk dilewati pengguna Pelandaian memiliki tingkat
dan dilengkapi dengan pegangan
A perbedaan ketinggian sehingga kursi roda, kruk, dan tongkat tuna kemiringan yang landai sehingga
tangan pada tepinya sehingga aman
berjalan lebih mudah dan nyaman netra, serta pejalan kaki yang mudah dan aman untuk dilewati
untuk dilewati
membawa barang
Pelandaian memiliki lebar yang
Permukaan pelandaian licin dan
Terdapat pelandaian di setiap cukup untuk dilewati pengguna Pelandaian memiliki tingkat
tidak dilengkapi pegangan tangan
B perbedaan ketinggian sehingga kursi roda, kruk, dan tongkat tuna kemiringan yang landai sehingga
pada tepinya sehingga kurang aman
berjalan lebih mudah dan nyaman netra, serta pejalan kaki yang mudah dan aman untuk dilewati
untuk dilewati
membawa barang
Pelandaian memiliki lebar yang
Permukaan pelandaian licin dan
Terdapat pelandaian di setiap cukup untuk dilewati pengguna Pelandaian memiliki tingkat
tidak dilengkapi pegangan tangan
C perbedaan ketinggian sehingga kursi roda, kruk, dan tongkat tuna kemiringan yang curam sehingga
pada tepinya sehingga kurang aman
berjalan lebih mudah dan nyaman netra, serta pejalan kaki yang sulit dan tidak aman untuk dilewati
untuk dilewati
membawa barang
Pelandaian kurang lebar untuk Permukaan pelandaian licin dan
Terdapat pelandaian di setiap Pelandaian memiliki tingkat
dilewati pengguna kursi roda, kruk, tidak dilengkapi pegangan tangan
D perbedaan ketinggian sehingga kemiringan yang curam sehingga
dan tongkat tuna netra, serta pejalan pada tepinya sehingga kurang aman
berjalan lebih mudah dan nyaman sulit dan tidak aman untuk dilewati
kaki yang membawa barang untuk dilewati
149

Pilihan Penjelasan
Beberapa atau seluruh perbedaan
Pelandaian kurang lebar untuk Permukaan pelandaian licin dan
ketinggian tidak dilengkapi Pelandaian memiliki tingkat
dilewati pengguna kursi roda, kruk, tidak dilengkapi pegangan tangan
E dengan pelandaian sehingga kemiringan yang curam sehingga
dan tongkat tuna netra, serta pejalan pada tepinya sehingga kurang aman
berjalan menjadi sulit dan kurang sulit dan tidak aman untuk dilewati
kaki yang membawa barang untuk dilewati
nyaman

5. Jalur pemandu
Pilihan Penjelasan
Terdapat jalur pemandu di Jalur pemandu terbebas dari
Jalur pemandu terdiri dari ubin
sepanjang trotoar hingga ujung Jalur pemandu berwarna kuning halangan atau hambatan yang
A pengarah berpola garis-garis dan
trotoar, untuk membantu atau jingga sebagai pembeda membahayakan penyandang tuna
ubin peringatan berpola titik-titik
penyandang tuna netra berjalan netra
Terdapat jalur pemandu di Terdapat beberapa halangan atau
Jalur pemandu terdiri dari ubin
sepanjang trotoar hingga ujung Jalur pemandu berwarna kuning hambatan pada jalur pemandu,
B pengarah berpola garis-garis dan
trotoar, untuk membantu atau jingga sebagai pembeda sehingga membahayakan
ubin peringatan berpola titik-titik
penyandang tuna netra berjalan penyandang tuna netra
Terdapat jalur pemandu di Jalur pemandu memiliki warna Terdapat beberapa halangan atau
Jalur pemandu terdiri dari ubin
sepanjang trotoar hingga ujung yang sama atau mirip dengan hambatan pada jalur pemandu,
C pengarah berpola garis-garis dan
trotoar, untuk membantu trotoar, sehingga tidak dapat sehingga membahayakan
ubin peringatan berpola titik-titik
penyandang tuna netra berjalan dibedakan penyandang tuna netra
150

Pilihan Penjelasan
Terdapat jalur pemandu di Jalur pemandu memiliki Jalur pemandu memiliki warna Terdapat beberapa halangan atau
sepanjang trotoar hingga ujung penyusunan ubin pengarah dan yang sama atau mirip dengan hambatan pada jalur pemandu,
D
trotoar, untuk membantu peringatan yang salah atau tidak trotoar, sehingga tidak dapat sehingga membahayakan
penyandang tuna netra berjalan lengkap dibedakan penyandang tuna netra
Jalur pemandu hanya terdapat di
Jalur pemandu memiliki Jalur pemandu memiliki warna Terdapat beberapa halangan atau
beberapa area atau tidak terdapat
penyusunan ubin pengarah dan yang sama atau mirip dengan hambatan pada jalur pemandu,
E sama sekali pada trotoar, sehingga
peringatan yang salah atau tidak trotoar, sehingga tidak dapat sehingga membahayakan
kurang membantu penyandang
lengkap dibedakan penyandang tuna netra
tuna netra berjalan

6. Konektivitas trotar
Berapa jarak atau lama waktu yang harus anda tempu menuju halte atau stasiun terdekat melalui berjalan kaki pada trotoar?
Pilihan Penjelasan
A Kurang dari 500 meter atau kurang dari 5 menit berjalan kaki
B 500 hingga 1.000 meter, atau 5 sampai dengan 10 menit berjalan kaki
C Lebih dari 1.000 meter, atau sama dengan lebih dari 10 menit berjalan kaki

Berapa jarak yang harus anda tempuh untuk mendapatkan makanan atau minuman, melalui berjalan kaki pada trotoar?
Pilihan Penjelasan
A Dalam radius 500 meter
B Pada radius 500 hingga 1.000 meter
151

C Diluar radius 1.000 meter

Berapa jumlah akses terhadap bangunan atau ruang terbuka publik (taman, jalur hijau, lapangan, dll) setiap jarak 100 meter pada trotoar?
Pilihan Penjelasan
A Terdapat lebih dari 5 akses terhadap bangunan atau ruang terbuka publik
B Terdapat 3 hingga 5 akses terhadap bangunan atau ruang terbuka publik
C Terdapat kurang dari 3 akses terhadap bangunan atau ruang terbuka publik

7. Bangunan di sepanjang trotar


Berapa jumlah muka bangunan yang didesain terbuka pada koridor Jalan Jendral Sudirman, sehingga aktivitas (kegiatan) dalam bangunan
dapat terlihat oleh pejalan kaki dari trotoar?
Pilihan Penjelasan
A Terdapat lebih dari 90% muka bangunan yang didesain terbuka
B Terdapat 50 hingga 90% muka bangunan yang didesain terbuka
C Terdapat Kurang dari 50% muka bangunan yang didesain terbuka

Bagaimana ukuran mayoritas blok bangunan di sepanjang koridor Jalan Jendral Sudirman?
Pilihan Penjelasan
A Mayoritas blok bangunan kecil, yaitu panjang bangunan kurang dari 110 meter
B Mayoritas blok bangunan sedang, yaitu panjang bangunan 110 hingga 150 meter
C Mayoritas blok bangunan besar, yaitu panjang bangunan lebih dari 110 meter
152

Bagaimana kondisi jumlah potongan jalur kendaraan (akses kendaraan menuju bangunan) setiap jarak 100 meter pada trotoar Jalan Jendral Sudirman?
Pilihan Penjelasan
A Tidak terdapat potongan jalur kendaraan
B Terdapat 1 sampai 2 potongan jalur kendaraan
C Terdapat lebih dari 2 potongan jalur kendaraan

B. Keamanan Trotoar
8. Fasilitas penyeberangan pada persimpangan
Pilihan Penjelasan
Penyeberangan ditandai dengan Penyeberangan dilengkapi lampu
Penyeberangan dilengkapi Penyeberangan menyediakan ruang
marka zebracross yang penyeberangan pejalan kaki dengan
A dengan rambu lalu lintas tunggu di antara pergantian jalur
menyambungkan setiap sisi waktu hitung mundur pada lampu
penyeberangan kendaraan yang berlawanan arah
persimpangan merah
Penyeberangan ditandai dengan Penyeberangan dilengkapi lampu Penyeberangan tidak menyediakan
Penyeberangan dilengkapi
marka zebracross yang penyeberangan pejalan kaki dengan ruang tunggu di antara pergantian
B dengan rambu lalu lintas
menyambungkan setiap sisi waktu hitung mundur pada lampu jalur kendaraan yang berlawanan
penyeberangan
persimpangan merah arah
Penyeberangan ditandai dengan Penyeberangan tidak dilengkapi lampu Penyeberangan tidak menyediakan
Penyeberangan dilengkapi
marka zebracross yang penyeberangan pejalan kaki dengan ruang tunggu di antara pergantian
C dengan rambu lalu lintas
menyambungkan setiap sisi waktu hitung mundur pada lampu jalur kendaraan yang berlawanan
penyeberangan
persimpangan merah arah
153

Pilihan Penjelasan
Penyeberangan ditandai dengan Penyeberangan tidak dilengkapi lampu Penyeberangan tidak menyediakan
Penyeberangan Tidak
marka zebracross yang penyeberangan pejalan kaki dengan ruang tunggu di antara pergantian
D dilengkapi rambu lalu lintas
menyambungkan setiap sisi waktu hitung mundur pada lampu jalur kendaraan yang berlawanan
penyeberangan
persimpangan merah arah
Penyeberangan tidak ditandai Penyeberangan tidak dilengkapi lampu Penyeberangan tidak menyediakan
Penyeberangan Tidak
dengan marka zebracross, penyeberangan pejalan kaki dengan ruang tunggu di antara pergantian
E dilengkapi rambu lalu lintas
sehingga tidak menyambungkan waktu hitung mundur pada lampu jalur kendaraan yang berlawanan
penyeberangan
setiap sisi persimpangan merah arah

9. Fasilitas penyeberangan pada ruas jalan


Pilihan Penjelasan
Penyeberangan dilengkapi lampu
Penyeberangan ditandai dengan Penyeberangan dilengkapi dengan Penyeberangan menyediakan ruang
penyeberangan pejalan kaki dengan
A marka zebracross yang rambu lalu lintas penyeberangan tunggu di antara pergantian jalur
waktu hitung mundur dan sinyal
menyambungkan kedua sisi jalan sebelum penyeberangan kendaraan yang berlawanan arah
pengeras suara
Penyeberangan dilengkapi lampu Penyeberangan tidak menyediakan
Penyeberangan ditandai dengan Penyeberangan dilengkapi dengan
penyeberangan pejalan kaki dengan ruang tunggu di antara pergantian
B marka zebracross yang rambu lalu lintas penyeberangan
waktu hitung mundur dan sinyal jalur kendaraan yang berlawanan
menyambungkan kedua sisi jalan sebelum penyeberangan
pengeras suara arah
154

Pilihan Penjelasan
Penyeberangan dilengkapi lampu Penyeberangan tidak menyediakan
Penyeberangan ditandai dengan Penyeberangan tidak dilengkapi
penyeberangan pejalan kaki dengan ruang tunggu di antara pergantian
C marka zebracross yang rambu lalu lintas penyeberangan
waktu hitung mundur dan sinyal jalur kendaraan yang berlawanan
menyambungkan kedua sisi jalan sebelum penyeberangan
pengeras suara arah
Penyeberangan tidak dilengkapi Penyeberangan tidak menyediakan
Penyeberangan ditandai dengan Penyeberangan tidak dilengkapi
lampu penyeberangan pejalan kaki ruang tunggu di antara pergantian
D marka zebracross yang rambu lalu lintas penyeberangan
dengan waktu hitung mundur dan jalur kendaraan yang berlawanan
menyambungkan kedua sisi jalan sebelum penyeberangan
sinyal pengeras suara arah
Penyeberangan tidak ditandai Penyeberangan tidak dilengkapi Penyeberangan tidak menyediakan
Penyeberangan tidak dilengkapi
dengan marka zebracross, lampu penyeberangan pejalan kaki ruang tunggu di antara pergantian
E rambu lalu lintas penyeberangan
sehingga tidak menyambungkan dengan waktu hitung mundur dan jalur kendaraan yang berlawanan
sebelum penyeberangan
kedua sisi jalan sinyal pengeras suara arah

10. Jembatan penyeberangan


Pilihan Penjelasan
Jembatan memiliki ketinggian Jembatan dilengkapi pembatas dan Jalur miring atau tangga pada Jembatan cukup lebar untuk dilewati
A yang menjamin keselamatan pegangan tangan pada tepinya sebagai jembatan cukup landai pengguna kursi roda, kruk, dan tongkat
pejalan kaki pengaman, serta atap sebagai peneduh sehingga nyaman dilalui tuna netra, serta dilengkapi jalur pemandu
Jembatan memiliki ketinggian Jembatan dilengkapi pembatas dan Jalur miring atau tangga pada
Jembatan kurang lebar untuk dilewati
B yang menjamin keselamatan pegangan tangan pada tepinya sebagai jembatan cukup landai
pengguna kursi roda, kruk, dan tongkat
pejalan kaki pengaman, serta atap sebagai peneduh sehingga nyaman dilalui
155

Pilihan Penjelasan
tuna netra, serta tidak dilengkapi jalur
pemandu

Jalur miring atau tangga pada Jembatan kurang lebar untuk dilewati
Jembatan memiliki ketinggian Jembatan dilengkapi pembatas dan
jembatan cenderung curam pengguna kursi roda, kruk, dan tongkat
C yang menjamin keselamatan pegangan tangan pada tepinya sebagai
sehingga kurang nyaman tuna netra, serta tidak dilengkapi jalur
pejalan kaki pengaman, serta atap sebagai peneduh
dilalui pemandu
Jembatan tidak dilengkapi pembatas Jalur miring atau tangga pada Jembatan kurang lebar untuk dilewati
Jembatan memiliki ketinggian
dan pegangan tangan pada tepinya, jembatan cenderung curam pengguna kursi roda, kruk, dan tongkat
D yang menjamin keselamatan
serta atap, sehingga tidak aman dan sehingga kurang nyaman tuna netra, serta tidak dilengkapi jalur
pejalan kaki
nyaman untuk digunakan dilalui pemandu
Ketinggian jembatan terlalu Jembatan tidak dilengkapi pembatas Jalur miring atau tangga pada Jembatan kurang lebar untuk dilewati
tinggi atau terlalu rendah, dan pegangan tangan pada tepinya, jembatan cenderung curam pengguna kursi roda, kruk, dan tongkat
E
sehingga tidak menjamin serta atap, sehingga tidak aman dan sehingga kurang nyaman tuna netra, serta tidak dilengkapi jalur
keselamatan pejalan kaki nyaman untuk digunakan dilalui pemandu

11. Ruang tunggu penyeberangan


Pilihan Penjelasan
Tersedia ruang tunggu di antara Ruang tunggu dilengkapi kerb, dan Ruang tunggu dilengkapi lampu Ruang tunggu menyediakan ruang
A pergantian jalur kendaraan yang pagar atau tiang pembatas, sebagai penerangan, sehingga terlihat jelas yang cukup luas untuk beberapa
berlawanan arah, sehingga pembatas dan pengaman oleh pengendara dan pejalan kaki pejalan kaki menunggu secara
156

Pilihan Penjelasan
penyeberangan tidak dilakukan bersamaan, dan dilengkapi jalur
dengan sekali jalan pemandu

Tersedia ruang tunggu di antara Ruang tunggu menyediakan ruang


pergantian jalur kendaraan yang Ruang tunggu dilengkapi kerb, dan Ruang tunggu dilengkapi lampu yang kurang luas untuk beberapa
B berlawanan arah, sehingga pagar atau tiang pembatas, sebagai penerangan, sehingga terlihat jelas pejalan kaki menunggu secara
penyeberangan tidak dilakukan pembatas dan pengaman oleh pengendara dan pejalan kaki bersamaan, dan tidak dilengkapi jalur
dengan sekali jalan pemandu
Tersedia ruang tunggu di antara Ruang tunggu menyediakan ruang
Ruang tunggu tidak dilengkapi
pergantian jalur kendaraan yang Ruang tunggu dilengkapi kerb, dan yang kurang luas untuk beberapa
lampu penerangan, sehingga tidak
C berlawanan arah, sehingga pagar atau tiang pembatas, sebagai pejalan kaki menunggu secara
terlihat oleh pengendara maupun
penyeberangan tidak dilakukan pembatas dan pengaman bersamaan, dan tidak dilengkapi jalur
pejalan kaki
dengan sekali jalan pemandu
Tersedia ruang tunggu di antara Ruang tunggu menyediakan ruang
Ruang tunggu tidak dilengkapi kerb, Ruang tunggu tidak dilengkapi
pergantian jalur kendaraan yang yang kurang luas untuk beberapa
dan pagar atau tiang pembatas, lampu penerangan, sehingga tidak
D berlawanan arah, sehingga pejalan kaki menunggu secara
sehingga tidak ada pembatas atau terlihat oleh pengendara maupun
penyeberangan tidak dilakukan bersamaan, dan tidak dilengkapi jalur
pengaman pejalan kaki
dengan sekali jalan pemandu
Tidak tersedia ruang tunggu di Ruang tunggu tidak dilengkapi kerb, Ruang tunggu tidak dilengkapi
Ruang tunggu menyediakan ruang
antara pergantian jalur dan pagar atau tiang pembatas, lampu penerangan, sehingga tidak
E yang kurang luas untuk beberapa
kendaraan yang berlawanan sehingga tidak ada pembatas atau terlihat oleh pengendara maupun
pejalan kaki menunggu secara
arah, sehingga penyeberangan pengaman pejalan kaki
157

Pilihan Penjelasan
harus dilakukan dengan sekali bersamaan, dan tidak dilengkapi jalur
jalan pemandu

12. Marka penyeberangan


Pilihan Penjelasan
Terdapat marka penyeberangan Garis-garis marka cukup lebar Marka dapat berfungsi sebagai batas
Marka dicat berwarna putih dengan
A zebracross pada setiap fasilitas untuk menampung banyaknya pemberhentian kendaraan dan area
jelas di atas aspal
penyeberangan penyeberang jalan penyeberangan pejalan kaki
Terdapat marka penyeberangan Garis-garis marka cukup lebar Marka tidak berfungsi sebagai batas
Marka dicat berwarna putih dengan
B zebracross pada setiap fasilitas untuk menampung banyaknya pemberhentian kendaraan dan area
jelas di atas aspal
penyeberangan penyeberang jalan penyeberangan pejalan kaki
Terdapat marka penyeberangan Garis-garis marka kurang lebar Marka tidak berfungsi sebagai batas
Marka dicat berwarna putih dengan
C zebracross pada setiap fasilitas untuk menampung banyaknya pemberhentian kendaraan dan area
jelas di atas aspal
penyeberangan penyeberang jalan penyeberangan pejalan kaki
Terdapat marka penyeberangan Marka tidak dicat atau cat berwarna Garis-garis marka kurang lebar Marka tidak berfungsi sebagai batas
D zebracross pada setiap fasilitas putih di atas aspal mulai memudar, untuk menampung banyaknya pemberhentian kendaraan dan area
penyeberangan sehingga tidak terlihat penyeberang jalan penyeberangan pejalan kaki
Marka penyeberangan Marka tidak dicat atau cat berwarna Garis-garis marka kurang lebar Marka tidak berfungsi sebagai batas
E zebracross tidak tersedia pada putih di atas aspal mulai memudar, untuk menampung banyaknya pemberhentian kendaraan dan area
setiap fasilitas penyeberangan sehingga tidak terlihat penyeberang jalan penyeberangan pejalan kaki
158

13. Lampu penyeberangan pejalan kaki


Pilihan Penjelasan
Lampu penyeberangan Lampu penyeberangan dilengkapi waktu
Lampu penyeberangan
Lampu penyeberangan yang menghasilkan sinyal pengeras penghitung mundur yang memberi
menghasilkan sinyal lampu sebagai
diaktifkan secara otomatis atau suara sebagai pemberi peringatan waktu yang cukup sesuai jarak
A pengatur pengendara untuk berhenti
melalui tombol terdapat pada bagi pengendara untuk berhenti penyeberangan, sehingga menjadi
dan memberi kesempatan pejalan
setiap fasilitas penyeberangan dan memberi kesempatan pejalan pertimbangan waktu menyeberang yang
kaki menyeberang
kaki menyeberang tepat
Lampu penyeberangan Lampu penyeberangan tidak dilengkapi
Lampu penyeberangan
Lampu penyeberangan yang menghasilkan sinyal pengeras waktu penghitung mundur yang
menghasilkan sinyal lampu sebagai
diaktifkan secara otomatis atau suara sebagai pemberi peringatan memberi waktu yang cukup sesuai jarak
B pengatur pengendara untuk berhenti
melalui tombol terdapat pada bagi pengendara untuk berhenti penyeberangan, sehingga sulit
dan memberi kesempatan pejalan
setiap fasilitas penyeberangan dan memberi kesempatan pejalan mempertimbangkan waktu menyeberang
kaki menyeberang
kaki menyeberang yang tepat
Lampu penyeberangan tidak
Lampu penyeberangan tidak dilengkapi
Lampu penyeberangan menghasilkan sinyal pengeras
Lampu penyeberangan yang waktu penghitung mundur yang
menghasilkan sinyal lampu sebagai suara, sehingga pengendara tidak
diaktifkan secara otomatis atau memberi waktu yang cukup sesuai jarak
C pengatur pengendara untuk berhenti mendapat peringatan untuk
melalui tombol terdapat pada penyeberangan, sehingga sulit
dan memberi kesempatan pejalan berhenti dan pejalan kaki tidak
setiap fasilitas penyeberangan mempertimbangkan waktu menyeberang
kaki menyeberang mendapat kesempatan
yang tepat
menyeberang
159

Pilihan Penjelasan
Lampu penyeberangan tidak
Lampu penyeberangan tidak Lampu penyeberangan tidak dilengkapi
menghasilkan sinyal pengeras
Lampu penyeberangan yang menghasilkan sinyal lampu, waktu penghitung mundur yang
suara, sehingga pengendara tidak
diaktifkan secara otomatis atau sehingga pemberhentian kendaraan memberi waktu yang cukup sesuai jarak
D mendapat peringatan untuk
melalui tombol terdapat pada tidak teratur dan pejalan kaki tidak penyeberangan, sehingga sulit
berhenti dan pejalan kaki tidak
setiap fasilitas penyeberangan mendapat kesempatan untuk mempertimbangkan waktu menyeberang
mendapat kesempatan
menyeberang yang tepat
menyeberang
Lampu penyeberangan tidak
Lampu penyeberangan tidak Lampu penyeberangan tidak dilengkapi
Lampu penyeberangan yang menghasilkan sinyal pengeras
menghasilkan sinyal lampu, waktu penghitung mundur yang
diaktifkan secara otomatis atau suara, sehingga pengendara tidak
sehingga pemberhentian kendaraan memberi waktu yang cukup sesuai jarak
E melalui tombol tidak tersedia mendapat peringatan untuk
tidak teratur dan pejalan kaki tidak penyeberangan, sehingga sulit
pada setiap fasilitas berhenti dan pejalan kaki tidak
mendapat kesempatan untuk mempertimbangkan waktu menyeberang
penyeberangan mendapat kesempatan
menyeberang yang tepat
menyeberang

14. Rambu lalu lintas bagi pejalan kaki


Pilihan Penjelasan
Terdapat rambu bagi pejalan kaki Desain rambu (bentuk dan
Ketinggian rambu yang mencakup Rambu bersifat memantulkan
pada trotoar yang terdiri dari rambu ukuran) konsisten sehingga
A penglihatan pejalan kaki (2–3 cahaya, sehingga menarik perhatian
larangan bagi pejalan kaki, rambu mudah dikenali pejalan kaki, dan
meter) pejalan kaki untuk melihat
perintah bagi pejalan kaki, dan rambu memberikan pesan yang
160

Pilihan Penjelasan
petunjuk arah, jalan, fasilitas umum, sederhana sehingga mudah
penyeberangan dimengerti dan diterapkan pejalan
kaki
Desain rambu (bentuk dan
Terdapat rambu bagi pejalan kaki
ukuran) konsisten sehingga
pada trotoar yang terdiri dari rambu Rambu tidak bersifat memantulkan
Ketinggian rambu yang mencakup mudah dikenali pejalan kaki, dan
larangan bagi pejalan kaki, rambu cahaya, sehingga kurang menarik
B penglihatan pejalan kaki (2–3 memberikan pesan yang
perintah bagi pejalan kaki, dan rambu perhatian pejalan kaki untuk
meter) sederhana sehingga mudah
petunjuk arah, jalan, fasilitas umum, melihat
dimengerti dan diterapkan pejalan
penyeberangan
kaki
Terdapat rambu bagi pejalan kaki Desain rambu (bentuk dan
pada trotoar yang terdiri dari rambu ukuran) tidak konsisten sehingga Rambu tidak bersifat memantulkan
Ketinggian rambu yang mencakup
larangan bagi pejalan kaki, rambu sulit dikenali pejalan kaki, dan cahaya, sehingga kurang menarik
C penglihatan pejalan kaki (2–3
perintah bagi pejalan kaki, dan rambu memberikan pesan yang rumit perhatian pejalan kaki untuk
meter)
petunjuk arah, jalan, fasilitas umum, atau tidak jelas sehingga melihat
penyeberangan membingungkan pejalan kaki
Terdapat rambu bagi pejalan kaki Ketinggian rambu tidak Desain rambu (bentuk dan Rambu tidak bersifat memantulkan
pada trotoar yang terdiri dari rambu mencakup penglihatan pejalan ukuran) tidak konsisten sehingga cahaya, sehingga kurang menarik
D
larangan bagi pejalan kaki, rambu kaki (lebih rendah dari 2 meter sulit dikenali pejalan kaki, dan perhatian pejalan kaki untuk
perintah bagi pejalan kaki, dan rambu atau lebih tinggi dari 3 meter) memberikan pesan yang rumit melihat
161

Pilihan Penjelasan
petunjuk arah, jalan, fasilitas umum, atau tidak jelas sehingga
penyeberangan membingungkan pejalan kaki

Desain rambu (bentuk dan


Ketinggian rambu tidak ukuran) tidak konsisten sehingga Rambu tidak bersifat memantulkan
Rambu bagi pejalan kaki pada trotoar
mencakup penglihatan pejalan sulit dikenali pejalan kaki, dan cahaya, sehingga kurang menarik
E tidak terdapat sama sekali atau
kaki (lebih rendah dari 2 meter memberikan pesan yang rumit perhatian pejalan kaki untuk
kurang lengkap
atau lebih tinggi dari 3 meter) atau tidak jelas sehingga melihat
membingungkan pejalan kaki

15. Rambu lalu lintas bagi kendaraan bermotor


Pilihan Penjelasan
Terdapat rambu bagi kendaraan pada Desain rambu (bentuk dan ukuran)
trotoar di tempat kemungkinan bahaya lalu Ketinggian rambu yang konsisten sehingga mudah dikenali Rambu bersifat memantulkan
lintas, yang terdiri dari rambu peringatan mencakup penglihatan pengendara, dan memberikan pesan cahaya, sehingga menarik
A
(hati-hati keberadaan pejalan kaki, anak- pengendara (lebih dari 3 yang sederhana sehingga mudah perhatian pengendara untuk
anak, lampu merah, dan penyeberangan), meter) dimengerti dan diterapkan melihat
dan rambu batas kecepatan bagi pengendara pengendara

Terdapat rambu bagi kendaraan pada Desain rambu (bentuk dan ukuran)
Ketinggian rambu yang Rambu tidak bersifat
B trotoar di tempat kemungkinan bahaya lalu konsisten sehingga mudah dikenali
mencakup penglihatan memantulkan cahaya, sehingga
lintas, yang terdiri dari rambu peringatan pengendara, dan memberikan pesan
162

Pilihan Penjelasan
(hati-hati keberadaan pejalan kaki, anak- pengendara (lebih dari 3 yang sederhana sehingga mudah kurang menarik perhatian
anak, lampu merah, dan penyeberangan), meter) dimengerti dan diterapkan pengendara untuk melihat
dan rambu batas kecepatan bagi pengendara pengendara

Terdapat rambu bagi kendaraan pada Desain rambu (bentuk dan ukuran)
trotoar di tempat kemungkinan bahaya lalu Ketinggian rambu yang tidak konsisten sehingga sulit Rambu tidak bersifat
lintas, yang terdiri dari rambu peringatan mencakup penglihatan dikenali pengendara, dan memantulkan cahaya, sehingga
C
(hati-hati keberadaan pejalan kaki, anak- pengendara (lebih dari 3 memberikan pesan yang rumit atau kurang menarik perhatian
anak, lampu merah, dan penyeberangan), meter) tidak jelas sehingga pengendara untuk melihat
dan rambu batas kecepatan bagi pengendara membingungkan pengendara
Terdapat rambu bagi kendaraan pada Desain rambu (bentuk dan ukuran)
trotoar di tempat kemungkinan bahaya lalu Ketinggian rambu tidak tidak konsisten sehingga sulit Rambu tidak bersifat
lintas, yang terdiri dari rambu peringatan mencakup penglihatan dikenali pengendara, dan memantulkan cahaya, sehingga
D
(hati-hati keberadaan pejalan kaki, anak- pengendara (kurang dari 3 memberikan pesan yang rumit atau kurang menarik perhatian
anak, lampu merah, dan penyeberangan), meter) tidak jelas sehingga pengendara untuk melihat
dan rambu batas kecepatan bagi pengendara membingungkan pengendara
Desain rambu (bentuk dan ukuran)
Rambu bagi kendaraan pada trotoar di Ketinggian rambu tidak tidak konsisten sehingga sulit Rambu tidak bersifat
tempat kemungkinan bahaya lalu lintas mencakup penglihatan dikenali pengendara, dan memantulkan cahaya, sehingga
E
tidak terdapat sama sekali atau kurang pengendara (kurang dari 3 memberikan pesan yang rumit atau kurang menarik perhatian
lengkap meter) tidak jelas sehingga pengendara untuk melihat
membingungkan pengendara
163

16. Pembatas trotoar terhadap jalan


Pilihan Penjelasan
Terdapat peninggian tepi (kerb) di Terdapat tiang (patok) pembatas pada tepi atau Terdapat pagar pembatas sebagai pelindung
A sepanjang trotoar untuk mencegah konflik potongan trotoar untuk mencegah kendaraan keselamatan pejalan kaki pada titik berbahaya atau
kendaraan dengan pejalan kaki masuk, berjalan, dan parkir pada trotar rawan kecelakan lalu lintas
Terdapat peninggian tepi (kerb) di Terdapat tiang (patok) pembatas pada tepi atau Tidak terdapat pagar pembatas pada titik berbahaya
B sepanjang trotoar untuk mencegah konflik potongan trotoar untuk mencegah kendaraan atau rawan kecelakan lalu lintas sehingga tidak
kendaraan dengan pejalan kaki masuk, berjalan, dan parkir pada trotar melindungi keselamatan pejalan kaki
Tidak tersedia tiang (patok) pembatas pada tepi
Terdapat peninggian tepi (kerb) di Tidak terdapat pagar pembatas pada titik berbahaya
atau potongan trotoar, sehingga tidak mencegah
C sepanjang trotoar untuk mencegah konflik atau rawan kecelakan lalu lintas sehingga tidak
kendaraan masuk, berjalan, dan parkir pada
kendaraan dengan pejalan kaki melindungi keselamatan pejalan kaki
trotar
Peninggian tepi (kerb) hanya terdapat pada Tidak tersedia tiang (patok) pembatas pada tepi
Tidak terdapat pagar pembatas pada titik berbahaya
beberapa bagian trotoar, sehingga kurang atau potongan trotoar, sehingga tidak mencegah
D atau rawan kecelakan lalu lintas sehingga tidak
mencegah konflik kendaraan dengan kendaraan masuk, berjalan, dan parkir pada
melindungi keselamatan pejalan kaki
pejalan kaki trotar
Tidak terdapat peninggian tepi (kerb) sama Tidak tersedia tiang (patok) pembatas pada tepi
Tidak terdapat pagar pembatas pada titik berbahaya
sekali di sepanjang trotoar, sehingga rawan atau potongan trotoar, sehingga tidak mencegah
E atau rawan kecelakan lalu lintas sehingga tidak
terjadi konflik kendaraan dengan pejalan kendaraan masuk, berjalan, dan parkir pada
melindungi keselamatan pejalan kaki
kaki trotar
164

17. Lampu penerangan trotoar


Pilihan Penjelasan
Ketinggian lampu penerangan Tingkat penerangan lampu yang cukup
Lampu penerangan diletakkan di Penempatan lampu penerangan
sesuai untuk memberi penerangan terang sehingga meminimalisir tindak
A sepanjang trotoar, sehingga tidak yang tidak mengganggu ruang
dan membantu penglihatan pejalan kriminal, namun tidak sampai
ada bagian trotoar yang gelap berjalan pejalan kaki
kaki saat kondisi gelap menyilaukan
Ketinggian lampu penerangan Tingkat penerangan lampu yang cukup
Lampu penerangan diletakkan di Penempatan lampu penerangan
sesuai untuk memberi penerangan terang sehingga meminimalisir tindak
B sepanjang trotoar, sehingga tidak yang mengganggu ruang
dan membantu penglihatan pejalan kriminal, namun tidak sampai
ada bagian trotoar yang gelap berjalan pejalan kaki
kaki saat kondisi gelap menyilaukan
Tingkat penerangan lampu kurang terang
Ketinggian lampu penerangan
Lampu penerangan diletakkan di sehingga beresiko menyebabkan tindak Penempatan lampu penerangan
sesuai untuk memberi penerangan
C sepanjang trotoar, sehingga tidak kriminal, dan terlalu menyilaukan yang mengganggu ruang
dan membantu penglihatan pejalan
ada bagian trotoar yang gelap sehingga mengurangi kenyamanan pejalan berjalan pejalan kaki
kaki saat kondisi gelap
kaki
Ketinggian lampu terlalu rendah Tingkat penerangan lampu kurang terang
Lampu penerangan diletakkan di atau terlalu tinggi, sehingga tidak sehingga beresiko menyebabkan tindak Penempatan lampu penerangan
D sepanjang trotoar, sehingga tidak memberi penerangan dan tidak kriminal, dan terlalu menyilaukan yang mengganggu ruang
ada bagian trotoar yang gelap membantu penglihatan pejalan kaki sehingga mengurangi kenyamanan pejalan berjalan pejalan kaki
saat kondisi gelap kaki
165

Pilihan Penjelasan
Lampu penerangan diletakkan Ketinggian lampu terlalu rendah Tingkat penerangan lampu kurang terang
hanya di beberapa bagian atau atau terlalu tinggi, sehingga tidak sehingga beresiko menyebabkan tindak Penempatan lampu penerangan
E tidak terdapat sama sekali pada memberi penerangan dan tidak kriminal, dan terlalu menyilaukan yang mengganggu ruang
trotoar, sehingga beberapa bagian membantu penglihatan pejalan kaki sehingga mengurangi kenyamanan pejalan berjalan pejalan kaki
atau seluruh trotoar gelap saat kondisi gelap kaki

C. Kenyamanan Jalur Pejalan Kaki


18. Papan penunjuk jalan dan informasi
Pilihan Penjelasan
Papan informasi diletakkan pada
Informasi menggunakan bahasa,
lokasi yang ramai pejalan kaki seperti Papan informasi memiliki Papan informasi tidak tertutup atau
kalimat, gambar, dan peta yang mudah
A halte, stasiun, taman, mall, ketinggian yang sesuai untuk terhalang benda apapun sehingga
dipahami, dan jenis serta ukuran huruf
persimpangan, fasilitas dilihat oleh pejalan kaki mudah dan jelas dilihat
dapat terbaca dengan jelas
penyeberangan
Papan informasi diletakkan pada
Informasi menggunakan bahasa,
lokasi yang ramai pejalan kaki seperti Papan informasi memiliki Terdapat benda yang menutup atau
kalimat, gambar, dan peta yang mudah
B halte, stasiun, taman, mall, ketinggian yang sesuai untuk menghalangi papan informasi,
dipahami, dan jenis serta ukuran huruf
persimpangan, fasilitas dilihat oleh pejalan kaki sehingga sulit dan tidak jelas terlihat
dapat terbaca dengan jelas
penyeberangan
166

Pilihan Penjelasan
Papan informasi diletakkan pada
Informasi menggunakan bahasa, Papan informasi memiliki
lokasi yang ramai pejalan kaki seperti Terdapat benda yang menutup atau
kalimat, gambar, dan peta yang mudah ketinggian yang tidak sesuai
C halte, stasiun, taman, mall, menghalangi papan informasi,
dipahami, dan jenis serta ukuran huruf dengan pejalan kaki sehingga
persimpangan, fasilitas sehingga sulit dan tidak jelas terlihat
dapat terbaca dengan jelas menyulitkan untuk dilihat
penyeberangan
Papan informasi diletakkan pada
Informasi menggunakan bahasa, Papan informasi memiliki
lokasi yang ramai pejalan kaki seperti Terdapat benda yang menutup atau
kalimat, gambar, dan peta yang sulit ketinggian yang tidak sesuai
D halte, stasiun, taman, mall, menghalangi papan informasi,
dipahami, dan jenis serta ukuran huruf dengan pejalan kaki sehingga
persimpangan, fasilitas sehingga sulit dan tidak jelas terlihat
sulit terbaca dengan jelas menyulitkan untuk dilihat
penyeberangan
Informasi menggunakan bahasa, Papan informasi memiliki
Terdapat benda yang menutup atau
Papan informasi diletakkan pada kalimat, gambar, dan peta yang sulit ketinggian yang tidak sesuai
E menghalangi papan informasi,
lokasi yang sepi pejalan kaki dipahami, dan jenis serta ukuran huruf dengan pejalan kaki sehingga
sehingga sulit dan tidak jelas terlihat
sulit terbaca dengan jelas menyulitkan untuk dilihat

19. Selokan atau gorong-gorong


Pilihan Penjelasan
Selokan didesain tertutup, Selokan diletakkan di bawah Aliran selokan lancar, sehingga Selokan dapat mengalirkan limpahan air
A sehingga menghambat bau trotoar, sehingga menambah lebar tidak menimbulkan bau tidak dari jalan dan trotoar, sehingga mencegah
yang ditimbulkan limbah cair ruang berjalan sedap atau banjir timbulnya genangan air atau banjir
167

Selokan tidak dapat mengalirkan


Selokan didesain tertutup, Selokan diletakkan di bawah Aliran selokan lancar, sehingga
limpahan air dari jalan dan trotoar,
B sehingga menghambat bau trotoar, sehingga menambah lebar tidak menimbulkan bau tidak
sehingga beresiko menyebabkan
yang ditimbulkan limbah cair ruang berjalan sedap atau banjir
genangan air atau banjir
Aliran selokan tersumbat atau Selokan tidak dapat mengalirkan
Selokan didesain tertutup, Selokan diletakkan di bawah
tidak lancar, sehingga beresiko limpahan air dari jalan dan trotoar,
C sehingga menghambat bau trotoar, sehingga menambah lebar
menimbulkan bau tidak sedap dan sehingga beresiko menyebabkan
yang ditimbulkan limbah cair ruang berjalan
menyebabkan banjir genangan air atau banjir
Aliran selokan tersumbat atau Selokan tidak dapat mengalirkan
Selokan didesain tertutup, Selokan diletakkan bersebelahan
tidak lancar, sehingga beresiko limpahan air dari jalan dan trotoar,
D sehingga menghambat bau dengan trotoar, sehingga
menimbulkan bau tidak sedap dan sehingga beresiko menyebabkan
yang ditimbulkan limbah cair mengurangi lebar ruang berjalan
menyebabkan banjir genangan air atau banjir
Selokan didesain terbuka, Aliran selokan tersumbat atau Selokan tidak dapat mengalirkan
Selokan diletakkan bersebelahan
sehingga menimbulkan sedikit tidak lancar, sehingga beresiko limpahan air dari jalan dan trotoar,
E dengan trotoar, sehingga
bau tidak sedap yang menimbulkan bau tidak sedap dan sehingga beresiko menyebabkan
mengurangi lebar ruang berjalan
mengganggu dari limbah cair menyebabkan banjir genangan air atau banjir

20. Pepohonan (Jalur hijau)


Pilihan Penjelasan
Terdapat pepohonan yang Terdapat pepohonan yang rindang Terdapat pepohonan yang Terdapat tanaman yang indah dan atau
A disusun membentuk jalur hijau (teduh) sebagai peneduh bagi memberikan kesejukan dan berbunga, sehingga dapat menambah
di sepanjang tepi trotoar, kelembapan, sehingga keindahan pada trotoar
168

Pilihan Penjelasan
sebagai pembatas yang pejalan kaki terhadap panas mendukung kenyamanan dan
melindungi pejalan kaki matahari dan hujan kesehatan pejalan kaki
terhadap kendaraan
Terdapat pepohonan yang Terdapat pepohonan yang rindang Terdapat pepohonan yang
disusun membentuk jalur hijau (teduh) sebagai peneduh bagi memberikan kesejukan dan
Tidak terdapat tanaman yang indah atau
di sepanjang tepi trotoar, pejalan kaki terhadap panas kelembapan, sehingga
B berbunga, sehingga tidak menambah
sebagai pembatas yang matahari dan hujan mendukung kenyamanan dan
keindahan pada trotoar
melindungi pejalan kaki kesehatan pejalan kaki
terhadap kendaraan
Terdapat pepohonan yang Terdapat pepohonan yang rindang Pepohonan tidak dapat
disusun membentuk jalur hijau (teduh) sebagai peneduh bagi memberikan kesejukan dan
Tidak terdapat tanaman yang indah atau
di sepanjang tepi trotoar, pejalan kaki terhadap panas kelembapan, sehingga tidak
C berbunga, sehingga tidak menambah
sebagai pembatas yang matahari dan hujan mendukung kenyamanan dan
keindahan pada trotoar
melindungi pejalan kaki kesehatan pejalan kaki
terhadap kendaraan
Terdapat pepohonan yang Pepohonan tidak rindang, sehingga Pepohonan tidak dapat
disusun membentuk jalur hijau tidak meneduhkan pejalan kaki memberikan kesejukan dan
Tidak terdapat tanaman yang indah atau
di sepanjang tepi trotoar, terhadap panas matahari dan hujan kelembapan, sehingga tidak
D berbunga, sehingga tidak menambah
sebagai pembatas yang mendukung kenyamanan dan
keindahan pada trotoar
melindungi pejalan kaki kesehatan pejalan kaki
terhadap kendaraan
169

Pilihan Penjelasan
Pepohonan tidak disusun Pepohonan tidak rindang, sehingga Pepohonan tidak dapat
membentuk jalur hijau di tidak berfungsi sebagai peneduh memberikan kesejukan dan
Tidak terdapat tanaman yang indah atau
sepanjang tepi trotoar, bagi pejalan kaki terhadap panas kelembapan, sehingga tidak
E berbunga, sehingga tidak menambah
sehingga tidak ada pembatas matahari dan hujan mendukung kenyamanan dan
keindahan pada trotoar
yang melindungi pejalan kaki kesehatan pejalan kaki
terhadap kendaraan

21. Fasilitas peneduh


Pilihan Penjelasan
Terdapat atap-atap atau kanopi yang meneduhkan
Terdapat pepohonan di sepanjang trotoar Tersedia tempat meneduh (shelter) yang
pejalan kaki saat hujan dan membentuk bayangan pada
A yang melindungi pejalan kaki terhadap diletakkan setiap jarak 300 meter di sepanjang
siang hari untuk melindungi pejalan kaki dari sinar
panas sinar matahari dan hujan trotoar untuk pejalan kaki meneduh saat hujan
matahari secara langsung
Tidak ada atap-atap atau kanopi, sehingga tidak ada
Terdapat pepohonan di sepanjang trotoar Tersedia tempat meneduh (shelter) yang
peneduhan saat hujan dan tidak ada bayangan yang
B yang melindungi pejalan kaki terhadap diletakkan setiap jarak 300 meter di sepanjang
melindungi pejalan kaki dari sinar matahari secara
panas sinar matahari dan hujan trotoar untuk pejalan kaki meneduh saat hujan
langsung pada siang hari
Tidak tersedia tempat meneduh (shelter) yang Tidak ada atap-atap atau kanopi, sehingga tidak ada
Terdapat pepohonan di sepanjang trotoar
diletakkan setiap jarak 300 meter di sepanjang peneduhan saat hujan dan tidak ada bayangan yang
C yang melindungi pejalan kaki terhadap
trotoar, sehingga pejalan kaki tidak memiliki melindungi pejalan kaki dari sinar matahari secara
panas sinar matahari dan hujan
tempat meneduh saat hujan langsung pada siang hari
170

Pilihan Penjelasan
Pepohonan yang melindungi pejalan kaki Tidak tersedia tempat meneduh (shelter) yang Tidak ada atap-atap atau kanopi, sehingga tidak ada
terhadap panas sinar matahari dan hujan diletakkan setiap jarak 300 meter di sepanjang peneduhan saat hujan dan tidak ada bayangan yang
D
hanya terdapat pada beberapa area trotoar trotoar, sehingga pejalan kaki tidak memiliki melindungi pejalan kaki dari sinar matahari secara
atau jumlah pohon kurang tempat meneduh saat hujan langsung pada siang hari
Tidak tersedia tempat meneduh (shelter) yang Tidak ada atap-atap atau kanopi, sehingga tidak ada
Tidak terdapat sama sekali pepohonan di
diletakkan setiap jarak 300 meter di sepanjang peneduhan saat hujan dan tidak ada bayangan yang
E sepanjang trotoar, sehingga pejalan kaki
trotoar, sehingga pejalan kaki tidak memiliki melindungi pejalan kaki dari sinar matahari secara
terkena panas sinar matahari dan hujan
tempat meneduh saat hujan langsung pada siang hari

22. Tempat sampah


Pilihan Penjelasan
Terdapat banyak tempat sampah di
Tempat sampah memiliki ukuran yang Tempat sampah memiliki bentuk Tempat sampah dilengkapi
tempat yang ramai pejalan kaki,
cukup untuk menampung banyaknya yang mudah dilihat, dikenali dan penutup untuk menghambat bau
A seperti halte, stasiun, taman, mall,
sampah agar trotoar terbebas dari dijangkau tangan dengan tidak sedap yang ditimbulkan oleh
persimpangan, dan fasilitas
sampah yang berserakan ketinggian 60-70 cm sampah
penyeberangan
Terdapat banyak tempat sampah di
Tempat sampah memiliki ukuran yang Tempat sampah memiliki bentuk Tempat sampah tidak dilengkapi
tempat yang ramai pejalan kaki,
cukup untuk menampung banyaknya yang mudah dilihat, dikenali dan penutup, sehingga bau tidak sedap
B seperti halte, stasiun, taman, mall,
sampah agar trotoar terbebas dari dijangkau tangan dengan yang ditimbulkan oleh sampah
persimpangan, dan fasilitas
sampah yang berserakan ketinggian 60-70 cm dapat tercium pejalan kaki
penyeberangan
171

Pilihan Penjelasan
Terdapat banyak tempat sampah di Bentuk tempat sampah sulit
Tempat sampah memiliki ukuran yang Tempat sampah tidak dilengkapi
tempat yang ramai pejalan kaki, dilihat, dikenali, dan
cukup untuk menampung banyaknya penutup, sehingga bau tidak sedap
C seperti halte, stasiun, taman, mall, ketinggiannya lebih rendah dari
sampah agar trotoar terbebas dari yang ditimbulkan oleh sampah
persimpangan, dan fasilitas 60 cm atau di atas 70 cm,
sampah yang berserakan dapat tercium pejalan kaki
penyeberangan sehingga sulit dijangkau tangan
Terdapat banyak tempat sampah di Bentuk tempat sampah sulit
Ukuran tempat sampah tidak cukup Tempat sampah tidak dilengkapi
tempat yang ramai pejalan kaki, dilihat, dikenali, dan
untuk menampung banyaknya sampah, penutup, sehingga bau tidak sedap
D seperti halte, stasiun, taman, mall, ketinggiannya lebih rendah dari
sehingga terdapat sampah yang yang ditimbulkan oleh sampah
persimpangan, dan fasilitas 60 cm atau di atas 70 cm,
berserakan pada trotoar dapat tercium pejalan kaki
penyeberangan sehingga sulit dijangkau tangan
Bentuk tempat sampah sulit
Tersedia tempat sampah namun Ukuran tempat sampah tidak cukup Tempat sampah tidak dilengkapi
dilihat, dikenali, dan
jumlahnya sedikit atau kurang, dan untuk menampung banyaknya sampah, penutup, sehingga bau tidak sedap
E ketinggiannya lebih rendah dari
diletakkan di tempat yang sepi sehingga terdapat sampah yang yang ditimbulkan oleh sampah
60 cm atau di atas 70 cm,
pejalan kaki berserakan pada trotoar dapat tercium pejalan kaki
sehingga sulit dijangkau tangan

23. Tempat duduk


Pilihan Penjelasan
Tempat duduk cukup lebar untuk
Terdapat tempat duduk yang Tempat duduk diletakkan di tepi Tempat duduk dilengkapi sandaran
A pejalan kaki duduk (beristirahat)
diletakkan di area yang ramai trotoar untuk menyediakan ruang kaki punggung dan tangan, sehingga
sendiri maupun berkelompok
172

Pilihan Penjelasan
pejalan kaki, seperti halte, stasiun, yang cukup dan tidak mengganggu menambah kenyamanan saat
taman dan mall pejalan kaki yang sedang berjalan digunakan

Terdapat tempat duduk yang Tempat duduk diletakkan di tepi Tempat duduk tidak dilengkapi
Tempat duduk cukup lebar untuk
diletakkan di area yang ramai trotoar untuk menyediakan ruang kaki sandaran punggung dan tangan,
B pejalan kaki duduk (beristirahat)
pejalan kaki, seperti halte, stasiun, yang cukup dan tidak mengganggu sehingga kurang nyaman saat
sendiri maupun berkelompok
taman dan mall pejalan kaki yang sedang berjalan digunakan
Terdapat tempat duduk yang Tempat duduk diletakkan di tepi Tempat duduk terasa sempit Tempat duduk tidak dilengkapi
diletakkan di area yang ramai trotoar untuk menyediakan ruang kaki (kurang lebar) untuk pejalan kaki sandaran punggung dan tangan,
C
pejalan kaki, seperti halte, stasiun, yang cukup dan tidak mengganggu duduk sendiri maupun sehingga kurang nyaman saat
taman dan mall pejalan kaki yang sedang berjalan berkelompok digunakan
Terdapat tempat duduk yang Tempat duduk diletakkan di tengah Tempat duduk terasa sempit Tempat duduk tidak dilengkapi
diletakkan di area yang ramai trotoar, sehingga ruang kaki cenderung (kurang lebar) untuk pejalan kaki sandaran punggung dan tangan,
D
pejalan kaki, seperti halte, stasiun, sempit dan mengganggu pejalan kaki duduk sendiri maupun sehingga kurang nyaman saat
taman dan mall yang sedang berjalan berkelompok digunakan
Tempat duduk diletakkan di tengah Tempat duduk terasa sempit Tempat duduk tidak dilengkapi
Tidak tersedia tempat duduk, atau
trotoar, sehingga ruang kaki cenderung (kurang lebar) untuk pejalan kaki sandaran punggung dan tangan,
E tempat duduk diletakkan pada
sempit dan mengganggu pejalan kaki duduk sendiri maupun sehingga kurang nyaman saat
area yang sepi pejalan kaki
yang sedang berjalan berkelompok digunakan
173

24. Halte dan shelter bus


Pilihan Penjelasan
Lokasi halte dan shelter bus dapat Halte dan shelter bus memiliki ruang Halte dan shelter bus dilengkapi atap Halte dan shelter bus pada tepi
menghubungkan perjalanan tunggu yang cukup luas untuk dan sekat samping untuk melindungi trotoar memberi pandangan
A
berjalan kaki anda dengan rute yang menampung banyaknya penumpang penumpang dari cuaca panas dan yang jelas menuju bus yang
singkat hujan ketika menunggu bus datang
Lokasi halte dan shelter bus dapat Halte dan shelter bus memiliki ruang Halte dan shelter bus dilengkapi atap Halte dan shelter bus pada tepi
menghubungkan perjalanan tunggu yang cukup luas untuk dan sekat samping untuk melindungi trotoar memberi pandangan
B
berjalan kaki anda dengan rute yang menampung banyaknya penumpang penumpang dari cuaca panas dan yang kurang jelas menuju bus
singkat hujan ketika menunggu bus yang datang
Lokasi halte dan shelter bus dapat Halte dan shelter bus memiliki ruang Halte dan shelter bus tidak memiliki Halte dan shelter bus pada tepi
menghubungkan perjalanan tunggu yang cukup luas untuk atap dan sekat samping, sehingga trotoar memberi pandangan
C
berjalan kaki anda dengan rute yang menampung banyaknya penumpang penumpang dapat terpapar panas dan yang kurang jelas menuju bus
singkat hujan ketika menunggu bus yang datang
Lokasi halte dan shelter bus dapat Halte dan shelter bus memiliki ruang Halte dan shelter bus tidak memiliki Halte dan shelter bus pada tepi
menghubungkan perjalanan tunggu yang sempit, sehingga tidak atap dan sekat samping, sehingga trotoar memberi pandangan
D
berjalan kaki anda dengan rute yang cukup untuk menampung banyaknya penumpang dapat terpapar panas dan yang kurang jelas menuju bus
singkat penumpang hujan ketika menunggu bus yang datang
Lokasi halte dan shelter bus tidak Halte dan shelter bus memiliki ruang Halte dan shelter bus tidak memiliki Halte dan shelter bus pada tepi
menghubungkan perjalanan tunggu yang sempit, sehingga tidak atap dan sekat samping, sehingga trotoar memberi pandangan
E
berjalan kaki anda, dan cukup untuk menampung banyaknya penumpang dapat terpapar panas dan yang kurang jelas menuju bus
menyebabkan rute yang jauh penumpang hujan ketika menunggu bus yang datang
174

D. Pendapat Terbuka Pejalan Kaki


25. Apa permasalahan utama yang masih anda rasakan saat menggunakan jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman, kendati sudah
direvitalisasi?
Jawaban:

26. Apa harapan anda terhadap perkembangan atau perbaikan jalur pejalan kaki koridor Jalan Jendral Sudirman, sehingga sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan anda?
Jawaban:

Anda mungkin juga menyukai