Anda di halaman 1dari 18

PENUNTUTAN PIDANA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana

Dosen pengampu:
Ahmad Syakirin, S.H., M.H

Disusun oleh:
Aira Vanya Iftitah (103220007)
Azizah Dwi Jayanti (103220023)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., karena berkat


rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang membahas tentang
Penuntutan Pidana. Selanjutnya, sholawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw. yang kita
nantikan syafaatnya kelak di yaumil qiyamat.
Dengan selesainya penyusunan makalah ini, kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsih
baik berupa tenaga ataupun pikiran sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya, terutama kepada beliau, Bapak Ahmad
Syakiri, S.H., M.H selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Pidana. Kami
menyadari bahwasannya makalah ini masih sangat jauh dari sebuah
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun
dari berbagai pihak sangatlah kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi teman-teman
mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Ponorogo, 27 Februari 2024

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Lembaga Penuntut Umum............................................................................2
B. Surat Dakwaan Dan Cara Melakukan Tuntutan...........................................3
C. Penggabungan Perkara dan Pemisahan Perkara............................................7
D. Penghentian Penuntutan dan Pengesampingan Perkara..............................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................13
A. Kesimpulan.................................................................................................13
B. Saran............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum merupakan kumpulan kaidah-kaidah dan norma yang berlaku
di masyarakat, yang keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat dan
diakui olehmasyarakat sebagai pedoman tingkah laku dalam
kehidupannya. Tujuannya untuk menciptakan ketenteraman di masyarakat.
Hukum sebagai instrumen dasar yang sangat penting dalam pembentukan
suatu negara, berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat,
karena hukum merupakan alat pengendalian sosial, agar tercipta suasana
yang aman, tenteram dan damai.
Pada masa sekarang ini di Indonesia masih banyak masyarakat yang
belum paham proses hukum dan tata cara penanganannya. Sosialisasi dan
Pendidikan hukum untuk public masih belum sepenuhnya menjangkau
seluruh lapisan masyarakat. Peristiwa hukum dalam kehidupan sehari-hari
tentu banyak sekali yang dapat berujung ke perkara pidana dan atau
berproses secara hukum di pengadilan.
Dari segi proses penanganan suatu perkara dalam proses hukum kita,
ihwal penuntutan memang diatur dalam bab tersendiri terdapat di dalam
bab tentang penuntutan pasal 138 KUHAP. Dalam sebuah pelaksanaan
penuntutan, proses penuntutan selain dapat memacu terhindarinya
rekayasa penyidikan juga dapat mempercepat penyelesaian penyidikan
juga menghindari terjadinya arus bolak-balik perkara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu lembaga penuntut umum dan kewenangannya?
2. Seperti apa surat dakwaan dan cara melakukan tuntutan?
3. Apa itu penggabungan perkara dan pemisahan perkara?
4. Apa itu penghentian penuntutan dan pengesampingan perkara?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lembaga Penuntut Umum


1. Pengertian
Lembaga Penuntut Umum (LPU) merupakan sebuah instansi yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Lembaga Penuntut Umum. LPU ini berfungsi untuk mendukung hak
dan kepentingan rakyat dalam memperoleh kompensasi atau
perlindungan secara keseluruhan bagi kerugian yang dialami oleh
mereka akibat tindakan atau keadaan yang tidak sesuai dengan undang-
undang. LPU tersebut bekerja sama dengan Badan Pertanahan
Nasional (BPN), Jaminan Sosial, Biro Ketahanan Negara, dan Badan
Kehutanan.
Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak
ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui
proses prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah melakukan
penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.
Lembaga Penuntut Umum di Indonesia telah melaksanakan beberapa
hal utama, termasuk.
a. Memantau dan mengevaluasi pelaporan lapangan dari setiap
wilayah.
b. Menerima laporan masalah dari masyarakat.
c. Menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh keputusan
pemerintah daerah.
d. Melakukan pencarian bukti dan dokumen yang diperlukan.
e. Merencanakan strategi dan program untuk mempertimbangkan dan
memecahkan masalah yang dirujuk.
Sistem LPU di Indonesia juga memiliki struktur organisasi yang
terdiri dari Komite Koordinasi Lembaga Penuntut Umum (Komko

2
LPU) yang berfungsi sebagai badan koordinator antara LPU di seluruh
Indonesia.

2. Wewenang dan tugas


Menurut Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI Penuntut Umum mempunyai tugas dan kewenangan dalam proses
pidana pidana sebagai berikut.
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu.
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan pe- nahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan
d. Membuat surat dakwaan
e. Melimpahkan perkara ke Pengadilan
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada Terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan disertai surat Pengadilan, baik
kepada Terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang
yang telah ditentukan
g. Melakukan penuntutan
h. Menutup perkara demi kepentingan hokum
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-undang
j. Melaksanakan penetapan Hakim.1

B. Surat Dakwaan Dan Cara Melakukan Tuntutan


1. Pengertian, Bentuk Dan Syarat Pembuatan
1
Joko Sriwidodo, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Kapel Press,
2023), 133

3
Surat dakwaan adalah dokumen yang digunakan dalam ranah
pidana pada tahap kejahatan. Dokumen ini disusun oleh jaksa penuntut
umum (JPU) dan menjadi dasar pemeriksaan serta pembuktian dalam
sidang pengadilan. Terdapat beberapa bentuk surat dakwaan yang
digunakan, antara lain:
a. Surat dakwaan tunggal: Memuat hanya satu tindak pidana yang
didakwakan.
b. Surat dakwaan alternatif: Memuat beberapa dakwaan yang disusun
secara berlapis, di mana satu lapisan merupakan alternatif yang
mewajibkan lapisan lainnya. Contohnya pertama: pencurian (Pasal
362 KUHP) atau kedua: penadahan (Pasal 480 KUHP).2
c. Surat Dakwaan Subsidair: Terdiri dari beberapa lapisan dakwaan
yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu
berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Contohnya
primair: pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), subsidair:
pembunuhan (Pasal 338 KUHP), lebih subsidair: penganiayaan
yang menyebabkan matinya orang (Pasal 351 ayat (3) KUHP).
d. Surat Dakwaan Kumulatif: Didakwakan beberapa tindak pidana
sekaligus dan semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu.
Contohnya kesatu: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP), kedua:
Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP), dan ketiga:
Perkosaan (Pasal 285 KUHP). 3
e. Surat Dakwaan Kombinasi: Jenis ini dikombinasikan atau
digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan
alternatif atau subsidair. Contoh surat dakwaan kombinasi: kesatu:
primair: pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), subsidair:
pembunuhan (Pasal 338 KUHP), lebih subsidair: penganiayaan
yang menyebabkan matinya orang (Pasal 351 ayat (3) KUHP).

2
Didik Endro Purwolwksono, Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga University
Press, 2015), 94
3
Widhia Arum Wibawan, Surat Dakwaan Adalah Apa? Fungsi, Syarat, Bentuk dan
Contoh, (t.t: Detiknews, 2022), 3

4
kedua: primair: pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP),
subsidair: pencurian (Pasal 362 KUHP), dan ketiga: perkosaan
(Pasal 285 KUHP).
Surat dakwaan memiliki fungsi penting dalam proses hukum acara
pidana, baik bagi pengadilan/hakim maupun bagi terdakwa/penasehat
hukum. Dokumen ini juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) sebagai dasar pemeriksaan dalam perkara
pidana di pengadilan.
Adapun dalam pembuatan surat dakwaan oleh penuntut umum,
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menerangkan bahwa surat yang dibuat
harus diberi tanggal dan ditanda tangan. Adapun isinya memuat
informasi sebagai berikut.4
a. Identitas terdakwa berupa nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama,
dan pekerjaan.
b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.
c. Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan Penuntut
Umum Membuat Surat Dakwaan.5
2. Cara melakukan tuntutan
a. Mengadakan pra penuntutan
1) Penyidik memberitahukan mulainya dilakukan tindak
penyidikan.
Sejak penyidik sudah mulai melakukan tindakan
penyidikan, maka Penyidik yang bersangkutan wajib segera
memberitahukan dimulainya penyidikan itu kepada Penuntut
Umum dengan menggunakan formulir SERSE: A3 yang lazim
dinamakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
4
Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga University
Press, 2015), 96
5

5
(SPDP) disertai lampiran berupa Laporan Polisi/Surat
Pengaduan.
Setelah dilakukannya tindakan penyidikan, maka Penyidik
harus menyelesaikan proses penyidikan sesuai dengan
ketentuan KUHAP dan melimpahkannya ke Kejaksaan apabila
penyidikan telah dinilai cukup dan lengkap. Dalam
menyelesaikan proses penyidikan, secepatnya dilimpahkan /
diserahkan berkasnya kepada Kejaksaan dengan kewajiban
membuat laporan tertulis mengenai perkembangan penyidikan
setiap 14 (empat belas) hari kepada Kejaksaan.
b. Menerima atau mengembalikan kembali hasil penyidikan yang
belum lengkap dari penyidik.
1) Penyidik meyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum
setelah selesai melakukan penyidikan.
Dalam KUHAP menyebutkan bahwa dalam hal Penyidik
telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum. Hal
tersebut Berdasarkan pasal 110 ayat (1) tersebut mengharuskan
penyidik secepatnya menyerahkan berkas perkara kepada
Penuntut Umum. Adanya penyidik yang tidak menyerahkan
langsung kepada Penuntut Umum setelah selesainya penyidikan
pada hakikatnya melanggar atas peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan.
2) Pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum kepada
Penyidik disertai dengan petunjuk
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 110 ayat (2)
KUHAP bahwa dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa
hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap,
Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu
kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Demikian
pula Pasal 138 Ayat (1) KUHAP menentukan bahwa Penuntut

6
Umum. setelah menerima hasil penyidikan dari Penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada Penyidik apakah hasil penyidikan itu
sudah lengkap atau belum.
Kemudian penuntut umum setelah menerima hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, setelah diteliti dan
dipelajari dan kemudian dinyatakan lengkap serta memenuhi
persyaratan untuk selanjutnya dapat dilimpahkan ke
pengadilan, berdasarkan berkas tersebut akan dilakukan
penuntutan dengan membuat surat dakwaan.
c. Penuntut umum dapat menutup perkara demi kepentingan hukum
(pasal 76, 77, 78 KUHP).
d. Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan dengan surat
penetapan (alasan tidak cukup bukti atau bukan peristiwa pidana).
e. Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan yang
berwenang, menyiapkan surat dakwaan.

C. Penggabungan Perkara dan Pemisahan Perkara


1. Penggabungan perkara (voeging)
Penggabungan perkara adalah proses penyatuan dua atau lebih
perkara hukum yang berkaitan menjadi satu proses hukum tunggal. Ini
sering kali dilakukan dalam sistem peradilan untuk efisiensi dan
penghematan waktu serta sumber daya. Penggabungan perkara dapat
terjadi dalam beberapa konteks, termasuk dalam peradilan sipil,
pidana, atau administratif. Beberapa alasan umum untuk
menggabungkan perkara antara lain.
a. Ketika dua atau lebih perkara memiliki fakta atau isu hukum yang
serupa, penggabungan dapat membantu memastikan konsistensi
keputusan.
b. Menggabungkan perkara dapat menghemat waktu dan biaya bagi
semua pihak yang terlibat, termasuk pengadilan itu sendiri.

7
c. Jika dua atau lebih perkara saling terkait secara substansial,
penggabungan dapat memastikan bahwa semua isu yang relevan
dapat dipertimbangkan secara bersamaan.
Penggabungan perkara biasanya dilakukan melalui proses
pengajuan permohonan kepada pengadilan yang bersangkutan, dan
pengadilan akan memutuskan apakah penggabungan tersebut tepat
dan bermanfaat. Sedangkan syarat cara dan bentuk penggabungan
intervensi atau voeging en tussenkomst yang ditentukan yakni harus
dipenuhi Pemohon/Penggugat intervensi, dapat menunjukkan fakta
prima facie yang menunjukkan bahwa secara nyata dan objektif, dia
mempunyai kepentingan untuk “membela” kepentingan salah satu
pihak terutama dari segi yuridis maupun moral. Proses permohonan
juga diajukan sebelum perkara pembuktian berlangsung, dan
permohonan akan diperiksa lebih dahulu dalam sidang insidentil dan
pemeriksaan insidentil dituangkan dalam putusan sela.6
Apabila permohonan ditolak, dapat mengajukan upaya hukum
banding, namun harus menunggu pemeriksaan selesai, dan proses
tersebut disamakan jadwalnya dengan sidang banding. Namun apabila
salah satu pihak yang kalah dalam sengketa tidak mengajukan
banding, maka banding atas permohonan voeging yang ditolak ini
secara otomatis gugur, karena wajib disamakan dengan pemeriksaaan
pokok perkara.
2. Pemisahan Perkara (splitsing)
Pemisahan perkara pidana adalah memisah atau memecah satu
berkas perkara menjadi dua atau lebih. Satu perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa, dan
untuk kepentingan pemeriksaan maka sebaiknya perkara tersebut
dipisah atau dipecah menjadi dua atau lebih. Pemisahan perkara
(splitsing) merupakan wewenang dari Jaksa yang diatur dalam Pasal
6
Fitria Dewi Navisa dan Ulfah Fauziah “Pengaturan Asas Cepat, Sederhana Dan Biaya
Ringan Dalam Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana”, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol.
21 No. 2 (2023): 94

8
142 KUHAP, yang menyebutkan bahwa “jaksa penuntut umum
menerima satu bekas perkara yang memuat beberapa tindak pidana
yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk
dalam ketentuan Pasal 141 KUHAP, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah”.
Pasal 141 KUHAP mengatakan bahwa penuntut umum dapat
melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia
menerima beberapa berkas perkara dalam hal.
1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama
dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya
2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang
lain
3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan
yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada
hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu
bagi kepentingan pemeriksaan.
Yang dimaksud dengan tindak pidana dianggap mempunyai
sangkut paut satu dengan yang lain seebagaimana tercantum dalam
pasal 141 huruf di atas adalah, apabila pidana tersebut dilakukan
1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat
yang bersamaan
2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan
tetapi merupakan pelaksanaan dan permufakatan jahat yang dibuat
oleh mereka sebelumnya.
Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada penuntut
umum untuk melakukan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa
berkas perkara. Dengan demikian, maka apabila penuntut umum
menerima satu berkas perkara dan ternyata terdapat beberapa tindak
pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang

9
tersangka, maka untuk kepentingan pemeriksaan sebaiknya perkara
tersebut dipisah atau dipecah (di split), agar penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa
secara terpisah.
Pemisahan penuntutan perkara (splitsing) seperti yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 142 KUHAP, biasanya splitsing dilakukan
dengan membuat berkas perkara baru. Dalam hal yang demikian perlu
dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap terdakwa maupun saksi.
Dengan adanya pemeriksaan baru terhadap terdakwa maupun saksi,
maka baik terdakwa maupun saksi harus dibuatkan surat tuntutan.
Apabila harus dilakukan splitsing maka, splitsing tersebut harus
dilakukan sebelum penuntut umum melimpahkan berkas perkara ke
Pengadilan Negeri, hal ini sesuai dengan Pedoman
Pelaksanaan KUHAP.7
Berdasar pada ketentuan yang ada dalam Pasal 142 KUHAP, maka
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sebuah perkara dapat
dipecah-pecah (splitsing) yaitu.
1. Satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana
2. Tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang tersangka
3. Tindak pidana tidak termasuk kwalifikasi Pasal 141 KUHAP.8

D. Penghentian Penuntutan dan Pengesampingan Perkara


1. Penghentian Penuntutan
Pengertian penghentian penuntutan dalam hukum acara pidana
merujuk pada tindakan menghentikan atau menggugurkan proses
hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Hal
ini bisa terjadi dalam beberapa situasi yang diatur oleh undang-undang
acara pidana, seperti.

7
Departmen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, (Jakarta:
Departmen Kehakiman Republik Indonesia, 1982), 89
8
Mahkamah Agung RI, Beberapa Makalah Tentang Hukum Acara Pidana Dan
Peradilan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), 99

10
a. Penghentian oleh jaksa: Jaksa dapat menghentikan penuntutan jika
telah memeriksa perkara dan memutuskan bahwa tidak ada cukup
bukti untuk melanjutkan proses pidana atau jika ditemukan hal-hal
lain yang membenarkan penghentian.
b. Penghentian oleh pengadilan: Pengadilan dapat memutuskan untuk
menghentikan proses hukum jika memandang bahwa tidak ada
cukup bukti yang mendukung tuntutan atau jika terdapat
pelanggaran prosedur atau alasan lain yang membenarkan
penghentian.
c. Penghentian karena penyelesaian di luar pengadilan: Dalam
beberapa kasus, tindak pidana dapat dihentikan jika pihak yang
terlibat mencapai kesepakatan damai atau penyelesaian di luar
pengadilan.
Penghentian penuntutan dalam hukum acara pidana tidak sama
dengan pembebasan atau pengampunan. Penghentian penuntutan
berarti bahwa proses hukum berhenti dan tersangka tidak akan diadili
atau dihukum atas tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.
2. Pengesampingan perkara (Deponering)
Deponering adalah hak istimewa kejaksaan untuk
mengesampingkan perkara karena alasan kepentingan umum yang
lebih besar yang akan dilindungi. Hak tersebut diatur dalam Pasal 35
huruf b Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
yang berbunyi, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”.
Hal itu bisa dilakukan Jaksa Agung setelah menerima saran dari
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sedangkan dalam KUHAP Pasal 46
ayat (1) huruf yang berbunyi: “Perkara tersebut dikesampingkan demi
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali
apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang
dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”, dan terdapat
dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Yang dimaksud

11
dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara
untuk kepentingan umum menjadi wewenang Jaksa Agung.9
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, hanya dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan
pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai
hubungan dengan masalah tersebut. Osman Simanjuntak mengatakan
bahwa penyampingan perkara ini adalah wewenang yang diberikan
undang-undang kepada Jaksa Agung RI untuk menyampingkan
perkara demi kepentingan umum. Adapun dasar penyampingan
perkara ini, karena hukum acara kita menganut asas oportunitas.
Dimana suatu perkara (perbuatan pidana) bilamana dilimpahkan ke
persidangan diperkirakan akan menimbulkan suatu guncangan di
kalangan masyarakat atau dengan penyidangan perkara tersebut akan
menimbulkan akibat negatif di kalangan masyarakat luas.10
Sedangkan kalau berbicara tentang dasar hukum deponering, maka
sama halnya dengan dasar hukum pelaksanaan asas oportunitas yang
dianut oleh hukum acara pidana di Indonesia. Asas oportunitas pada
mulanya itu timbul dalam praktik yang berlakunya didasarkan pada
hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), yang kemudian dimasukkan
ke dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 (Lembaran
Negara RI Tahun 1961 No 254) tertanggal 30 Juni 1961, namun
undangundang ini tidak berlaku lagi setelah keluarnya UndangUndang
No 5 Tahun 1991 (Lembaran Negara RI Tahun 1991 No 59)
tertanggal 22 Juli 1991, dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 32 sub
c. Beberapa tahun kemudian, undang-undang ini diganti dan
dinyatakan tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004.

9
P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 297
10
Osman Simanjuntak, Tehnik Penuntutan Dan Upaya Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1995), 90

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lembaga Penuntut Umum (LPU) merupakan sebuah instansi yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Lembaga Penuntut Umum. LPU ini berfungsi untuk mendukung hak dan
kepentingan rakyat dalam memperoleh kompensasi atau perlindungan
secara keseluruhan bagi kerugian yang dialami oleh mereka akibat
tindakan atau keadaan yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Surat dakwaan adalah dokumen yang digunakan dalam ranah pidana
pada tahap kejahatan. Dokumen ini disusun oleh jaksa penuntut umum
(JPU) dan menjadi dasar pemeriksaan serta pembuktian dalam sidang
pengadilan. Surat dakwaan biasanya berhubungan dengan sebuah
penuntutan, Adapun cara melakukan penuntutan diantaranya adalah
melakukan penyidikan, menyerahkan berkas penyidikan ke pengadilan.
Dalam sebuah perkara terdapat macam penyelesaian, diantaranya
dengan penggabungan perkara dan juga pemisahan perkara. Penggabungan
perkara adalah proses penyatuan dua atau lebih perkara hukum yang
berkaitan menjadi satu proses hukum tunggal. Ini sering kali dilakukan
dalam sistem peradilan untuk efisiensi dan penghematan waktu serta
sumber daya. Sedangkan Pemisahan perkara pidana adalah memisah atau
memecah satu berkas perkara menjadi dua atau lebih. Satu perkara yang
memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa,
dan untuk kepentingan pemeriksaan maka sebaiknya perkara tersebut
dipisah atau dipecah menjadi dua atau lebih.

B. Saran
Semoga para pembaca dapat mengambil hikmah dari makalah yang
kami tulis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
banyak kekurangan yang harus segera diperbaiki. Maka dari itu kami

13
meminta kepada pembaca untuk menambahkan hal-hal yang kurang dan
memberikan saran dan kritik yang membangun.

14
DAFTAR PUSTAKA
Departmen Kehakiman Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Jakarta: Departmen Kehakiman Republik Indonesia, 1982.
Lamintang, P.A.F. dan Lamintang, Lamintang. Pembahasan KUHP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Mahkamah Agung RI. Beberapa Makalah Tentang Hukum Acara Pidana Dan
Peradilan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003.
Navisa, Fitria Dewi dan Fauziah, Ulfah. “Pengaturan Asas Cepat, Sederhana Dan
Biaya Ringan Dalam Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana”.
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 21 No. 2 (2023).
Purwoleksono, Didik Endro. Hukum Acara Pidana. Surabaya: Airlangga
University Press, 2015.
Simanjuntak, Osman. Tehnik Penuntutan Dan Upaya Hukum. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995.
Sriwidodo, Joko. Pengantar Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Penerbit Kapel
Press, 2023.
Wibawan, Widhia Arum. Surat Dakwaan Adalah Apa? Fungsi, Syarat, Bentuk
dan Contoh. t.t: Detiknews, 2022.

Anda mungkin juga menyukai