Anda di halaman 1dari 58

PANDUAN

PRAKTIKUM

Farmasi Fisika
FA-209 – Tingkat I
TIM PENYUSUN:

apt, Taufik Hidayat, M.S.Farm


apt, Ai Rian Julyanti, M.Farm
Indra, M.Si
apt. Lusi Setiawati Widjaya, S. Farm
apt. Eva Nurochvambity,S.Farm.

NAMA :

NIM / KELAS :

KELOMPOK :

Program Studi Farmasi


Universitas Bakti Tunas Husada
Tasikmalaya 2024
VISI DAN MISI
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS BAKTI TUNAS HUSADA

2.1 VISI
Menjadi Prodi Farmasi yang unggul dan inovatif dalam kewirausahaan farmasi serta
berdaya saing global pada tahun 2028.

2.2 MISI

1 Menyelenggarakan pendidikan farmasi yang unggul berdasarkan etika akademik,


spirit pharmapreneur, inovatif dan berdaya saing global dalam kewirausahaan produk
farmasi
2 Menyelenggarakan kegiatan penelitian yang berbasis kewirausahaan produk farmasi
3 Menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat yang berbasis kewirausahaan
produk farmasi
4 Meningkatkan aktivitas kerjasama nasional dan internasional dalam upaya
pelaksanaan tridarma Perguruan Tinggi

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan Buku Penuntun
Praktikum Farmasi Fisika.
Buku penuntun praktikum ini adalah buku pegangan singkat untuk
melakukan kegiatan praktikum Farmasi Fisika, bagi mahasiswa semester II (Dua),
Prodi Farmasi, Universitas Bakti Tunas Husada.
Dengan adanya Buku Penuntun Praktikum Farmasi Fisika ini, diharapkan
dapat membantu mahasiswa untuk meningkatkan dasar materi praktikum
sehingga dapat melakukan setiap tahapan praktikum dengan baik dan lancar.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
berpartisipasi, semoga Buku Penuntun Praktikum ini dapat membantu kelancaran
praktikum Farmasi Fisika.

Tasikmalaya, Januari 2024

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
VISI DAN MISI .................................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... iii
PETUNJUK UMUM PRAKTIKUM .............................................................................................. iv
1. KELARUTAN ............................................................................................................................. 1
2. UJI STABILITAS........................................................................................................................ 8
3. DIFUSI DAN DISOLUSI ......................................................................................................... 19
4. TEGANGAN PERMUKAAN ................................................................................................... 24
5. VISKOSITAS DAN REOLOGI ................................................................................................ 30
6. SISTEM DISPERSI .................................................................................................................. 38
7. MIKROMERITIKA ................................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 52

iii
PERCOBAAN I
KELARUTAN

Tujuan percobaan
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. Menjelaskan pengaruh temperatur pada kelarutan zat
2. Menjelaskan pengaruh pelarut campur terhadap kelarutan zat
3. Menjelaskan pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan zat
4. Menentukan konsentrasi misel kritik dan surfaktan dengan metode kelarutan.

Teori umum
Secara kualitatif kelarutan didefinisikan sebagai interaksi spontan dan dua
atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen.Sedangakan secara
kuantitatit kelarutan dinyatakan sebagai sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam
larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan dinyatakan dalam
satuan mililiter pelarut yang dapat melarutkan suatu gram zat. Sebagai contoh,
kelarutan asam borat dalam U.S Pharmacopeia dinyatakan sebagai : 1 gram asam
borat larut dalam 18 ml air, 18 ml alkohol dan dalam 4 ml gliserin. Kelarutan dapat
juga dinyatakan dalam molaritas, molalitas dan persen.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat, antara lain:
1. Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan di dalam dunia pengobatan umumnya adalah
zat organik yang bersifat asam lemah atau basa lemah, dimana kelarutannya
sangat dipengaruhi oleh pH pelarutnya. Kelarutan asam-asam organik lemah
seperti barbiturat dan sulfonamida dalam air akan bertambah dengan naiknya
pH karena terbentuknya garam yang mudah larut dalam air. Sedangkan basa-
basa organik lemah seperti alkaloida dan anastetika lokal pada umumnya sukar
larut dalam air. Bila pH larutan diturunkan dengan penambahan asam kuat
maka akan terbentuk garam yang mudah larut dalam air. Hubungan antara pH
dengan kelarutan asam dan basa lemah digambarkan oleh

1
Dimana:
PHp : Harga pH terendah atau tertinggi dimana zat yang terbentuk asam atau
basa lemah masih dapat larut. Di bawah/di atas pH tersebut zat akan
mengendap sebagai asam atau basa lemah yang tidak terdisosiasi.
S : Konsentrasi molar zat dalam gram yang ditambahkan
S0 : Kelarutan molar fraksi asam atau basa yang tidak terdisosiasi

2. Pengaruh temperatur/ suhu


Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada temperatur, titik leleh
zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Pengaruh temperatur terhadap
kelarutan zat dalam larutan ideal diberikan oleh persamaan Van’t Hoff s berikut:

Tanda i menyatakan larutan ideal, sedangkan tanda 2 menyatakan zat terlarut.


Pada temperatur di atas titik leleh zat akan berada dalam keadaan cair sehingga
dapat bercampur dengan pelarut dalam setiap perbandingan. Oleh karena itu
persamaan tersebut tidak berlaku apabila T lebih besar dan To.

3. Pengeruh jenis pelarut


Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
akan melarutkan zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan zat juga
tergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan non polar dari

2
suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat
tersebut larut dalam air.
Menurut Hildebrane : kemampuan zat terlarut untuk membentuk ikatan hidrogen
lebih penting daripada kepolaran suatu zat.
Pelarut polar bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme sebagai berikut:
• Mengurangi gaya tank antar ion yang berlawanan dalam Kristal
• Memecah ikata kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini bersifat
amfiprotik
• Membentuk ikatan hidrogen dengan zat terlarut
Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik menarik antara ion-ion
karena konstanta dielektriknya rendah, juga tidak dapat memecah ikatan kovalen
dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen. Pelarut ini dapat melarutkan zat-
zat non polar dengan tekanan internal melalui induksi antaraksi dipol. Pelarut
semi polar dapat menginduksi tingkat kepolaran molekul-molekul pelarut non
polar, bertindak sebagai perantara (intermediate solvent) untuk mencapurakan
pelarut polar dengan non polar.

4. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel


Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran partikel suatu zat,
sesuai dengan persamaan berikut:

Dimana:
S : Kelarutan dan partikel halus
So : Kelarutan zat padat yang ukuran partikelnya lebih besar
γ : Tegangan permukaan partikel zat padat yang dalam hal ini sangat sukar
Ditentukan
v : Volume partikel dalam cm3 per mol
r : Jari-jari akhir partikel dalam cm
R : Konstanta gas (=8,314 x 1O7 erg/der mol)
T : Temperatur absolut

Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal juga berpengaruh terhadap


kelarutan zat. Partikel yang bentuknya tidak simetris lebih mudah larut bila
dibandingkan dengan partikel yang bentuknya simetris.

3
5. Pengaruh konstanta dielektrik
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut.Pelarut polar
mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat polar.
Besarnya tetapan dielektrik ini menurut Moore dapat diatur dengan penambahan
pelarut lain. Tetapan dielektrik suatu campuran merupakan hasil penjumlahan dan
tetapan dielektrik masing-masing yang sudah dikalikan dengan % volume masing-
masing komponen pelarut. Adakalanya suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut
campuraan dibandingkan dengan pelarut tunggalnya. Fenomena ini dikenal
dengan istilah co-solvency dan pelarut yang mana dalam bentuk campuran dapat
menaikkan kelarutan suatu zat disebut co-solvent. Etanol, gliserin dan profilen
glikol adalah co-solvent yang umum digunakan dalam bidang farmasi untuk
pembuatan eliksir.

6. Pengaruh penambahan zat-zat lain


a. Kompleksasi dan solubilisasi. Keduanya dapat meningkatkan kelarutan.
b. Efek ion sejenis
c. Efek elektrolit indiferen
d. Efek non elektrolit terhadap kelarutan elektrolit
e. Efek elektrolit terhadap kelarutan non elektrolit
f. Efek surfaktan
Surfaktan adalah zat yang sering digunakan untuk menaikan kelarutan zat.
Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu bagian polar dan non polar.
Apabila surfaktan didispersikan dalam air pada konsentrasi yang rendah
akan berkumpul pada permukaan dengan mengorientasikan bagian polar
ke arah air dan bagian non polar ke arah udara, membentuk suatu lapisan
mono molekuler. Bila permukaan cairan telah jenuh dengan molekul-
molekul surfaktan, maka molekul-molekul yang berada di dalam cairan
akan membentuk suatu agragat yang dikenal sebagai misel. Konsentrasi
pada saat misel mulai terbentuk disebut konsentrasi misel kritik (KMK).
Sifat yang penting dan misel ini adalah kemampuannya untuk menaikkan
kelarutan zat-zat yang biasanya sukar larut dalam air. Proses ini dikenal
sebagai solubilisasi miselar. Solubilisasi terjadi karena molekul zat yang

4
sukar larut berasosiasi dengan misel membentuk suatu larutan yang jernih
dan stabil secara termodinamika. Lokasi molekul zat terlarut dalam misel
tergantung kepada polaritas zat tersebut. Molekul-molekul semi polar akan
masuk ke arah palisade dan membentuk suatu misel campur. Selain
penambahan surfaktan dapat juga ditambahkan zat-zat membentuk
kompleks untuk menaikkan kelarutan suatu zat. Misalnya penambahan
uretan dalam pembuatan injeksi khinin

PERCOBAAN
1. Pengaruh Temperatur terhadap Kelarutan Zat
Alat-alat yang digunakan :
Baskom, Gelas ukur 100 ml dan 50 ml, Batang pengaduk, Oven, Botol semprot,
Pipet tetes, Cawan porselin, Sendok tanduk, Corong kaca, Termometer,
Erlenmeyer, Timbangan analitik dan Gelas kimia 100 ml.

Bahan-bahan yang digunakan :


Asam benzoat, Asam borat, Aquadest, Kertas saring, Kertas timbang, Lap kasar,
Tissue

Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Asam benzoat ditimbang sebanyak 0,5 gram sebanyak 3 kali.
3. Asam benzoat yang telah ditimbang, dimasukkan ke dalam gelas kimia 250
ml lalu ditambahkan air suling sebanyak 150 ml.
4. Kemudian diaduk selama 30 detik, pada suhu kamar.
5. Pada suhu 45o C, dipanaskan diatas penangas sampai mencapai suhu 45o C,
setelah itu diturunkan, kemudian diaduk selama 5 menit (pada suhu 60 o C
perlakuannya sama dengan suhu 45o C).
6. Kemudian disaring dengan menggunankan kertas saring (sesuai dengan
suhunya masing-masing).

5
7. Setelah disaring, dilipat dan diletakkan diatas cawan porselin yang telah
diberi etiket,lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 100o C selama 30
menit.
8. Setelah kering asam benzoat tersebut ditimbang.
9. Dihitung kelarutan asam benzoat.
10. Diulangi percobaan diatas dimana sampelnya diganti dengan asam borat
sebanyak 4 gr dilarutkan dalam air sebanyak 25 ml.

2. Pengaruh pelarut campur terhadap kelarutan zat.


A. Cara kerja 1 (Asetasol) :
1. Buatlah campuran pelarut seperti yang tertera pada tabel di bawah ini:

Air (% v/v) Alkohol (% v/v) Propilen glikol (%


v/v)
60 0 40
60 5 35
60 10 30
60 15 25
60 20 20
60 30 10
60 35 5
60 40 0

2. Larutkan asetasol sedikit-sedikit dalam masing-masing campuran pelarut


sampai didapat larutan yang jenuh.
3. Kocok larutan dengan orbital shaker selama 1 jam, jika ada endapan yang
larut selama pengocokan tambahkan lagi asetasol sampai didapat larutan
yang jenuh kembali.
4. Saring, tentukan kadar Asetosal yang larut dengan cara titrasi alkalimetri.
5. Buat kurva/ grafik antara kelarutan asetasol dengan % pelarut.

6
3. Pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat
Cara kerja:
1. Buatlah 50 ml larutan Tween 80 dengan konsentrasi 0; 0,1; 0,5; 1; 5; 10; 20;
50; dan 100 mg/ml
2. Tambahkan asetosal sedikit-sedikit ke dalam masing-masing larutan di atas
sampai diperoleh larutan yang jenuh
3. Kocok larutan selama 15 menit dengan pengocok orbital, jika ada endapan
yang larut selama pengocokan, tambahkan lagi asetasol sampai diperoleh
larutan yang jenuh kembali.
4. Saring dan tentukan kadar asetasol yang terlarut dalam masing-masing
pelarut.
5. Buat grafik antara kelarutan asetasol dengan konsentrasi Tween 80 yang
digunakan.
6. Tentukan konsentrasi misel kritik Tween 80

7
PERCOBAAN II
UJI STABILITAS

Tujuan Percobaan
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:
1. Menentukan tingkat reaksi penguraian suatu zat
2. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat
3. Menentukan energi aktivasi dan reaksi penguraian suatu zat
4. Menentukan waktu kadaluarsa suatu zat
5. Menggunakan data kinetika kimia untuk memperkirakan kestabilan suatu zat.

Teori umum
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu
sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang
lama untuk sampai ke tangan pasien. Obat yang disimpan dalam jangka waktu
lama dapat mengalaini penguraian dan mengakibatkan dosis yang diterima
berkurang. Adakalanya hasil urai dan zat tersebut bersifat toksis sehingga
membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih suatu kondisi
dirnana kestabilan obat tersebut optimum.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain
adalah panas, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme dan bahan-bahan
tambahan yang digunakan dalam formula sediaan obat tersebut. Pada umumnya
penentuan kestabilan suatu zat dapat dilakukan dengan cara kinetika kimia. Cara
ini tidak memerlukan waktu yang lama sehingga praktis digunakan dalam bidang
farmasi. Hal-hal yang penting diperhatikan dalam penentuan kestabilan suatu zat
dengan cara kinetika kimia adalah:
1. Kecepatan reaksi
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi
3. Tingkat reaksi dan cara penentuan

8
Kecepatan reaksi adalah besarnya perubahan konsentrasi zat pereaksi dan
hasil reaksi per satuan waktu. Menurut Hukum Aksi Masa kecepatan reaksi adalah
sebanding dengan hasil kali konsentrai molar reaktannya yang masing-masing
dipangkatkan dengan jumlah molekul senyawa yang melakukan reaksi tersebut.
Misalnya reaksi:
aA+bB cC+dD

kecepatan reaksinya adalah:


V = k (A)a(B)b
Dimana :
K = konstanta kecepatan reaksi

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi:


1. Temperatur
Pengeruh temperatur terhadap kecepatan reaksi dapat dilihat dan persamaan
Arrhenius :

2. Kekuatan Ion
Pengaruh kekuatan ion terhadap kecepatan reaksi dapat dilihat dari
persamaan berikut :

Dimana :
k : konstanta kecepatan penguraian pada kekuatan ion tertentu
ko : konstanta kecepatan penguraian pada kekuatan ion = 0
z : muatan ion
μ : kekuatan ion

9
Jika salah satu reaktan adalah molekul yang netral, maka kontanta kecepatan
reaksi tidak dipengaruhi oleh kekuatan ion.

3. Pengaruh pH
Reaksi penguraian beberapa larutan obat dapat dipercepat oleh penambahan
asam (Hj atau basa (OW).Katalisator ini disebut katalisator asam basa khusus.
Misalnya pada reaksi hidrolisis ester ester (S) dalam air (R)

Jika reaksi berjalan tanpa katalisator maka reaksi akan berjalan lambat dan
tetapan kecepatan reaksi k0. Pada suatu pH tertentu log k akan mempunyai harga
paling kecil. Pada pH ini kestabilan obat paling baik. Sealin faktor-faktor di atas,
kecepatan reaksi dipengaruhi pula oleh pelarut yang digunakan, konstanta
dielektrik dan katalisator lainnya.

Waktu paruh obat


Para pembuat obat harus tahu wakto paruh obat. Waktu paruh suatu obat
dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu gambaran kecepatan terurainya
suatu obat atau kecepatan degradasi kimiawinya. Mekanisme degradasi dapat
disebabkan oleh pecahnya suatu ikatan, pergantian spesies atau perpindahan
atom-atom dan ion-ion jika molekul bertabrakan dalam tabung reaksi.
Dalam suatu reaksi kecepatan terurainya suatu zat padat mengikuti reaksi
orde nol, orde I atau orde II.

10
1. Reaksi orde nol
Terjadi apabila kecepatan reaksi tidak bergantung kepada konsentrasi
pereaksinya. Jadi akan terjadi perubahan konsentrasi yang konstan setiap
waktu.

satuan k adalah mol litet-1 detik-1, jika t dalam detik


t ½ = waktu paruh yaitu yang dibutuhkan oleh suatu zat untuk terurai menjadi
setengah konsentrasi semula.

2. Reaksi orde I
Terjadi apabila kecepatan reaksi tergantung pada konsentrasi satu pereaksi.

11
3. Reaksi orde II
Terjadi apabila kecepatan reaksi tergantung pada konsentrasi dua pereaksi.

Penentuan tingkat reaksi


1. Dengan cara mensubstitusikan konsentrasi zat yang diperoleh ke dalam
persamaan tingkat reaksi, maka bila didapat harga k yang relatif konstan
berarti reaksi berjalan pada tingkat tersebut.
2. Dengan membuat grafik hubungan antar konsentrasi yang diperoleh terhadap
waktu.

3. Dengan cara waktu paro


Jika kita melakukan dua percobaan dengan konsentrasi yang berbeda maka t½
dapat diabandingkan sebagai berikut :

12
Secara umum :

Penentuan waktu kadaluwarsa


Waktu kadaluarsa biasanya dihitung dari t90% pada temperatut kamar (27o),
yntuk reaksi orde I :

Untuk t90% :

Andaikan tanggal pembuatan 1 januari 1997 waktu kadaluwarsa adalah :


1 januari 1997 + 0,015/k27oC
Pada tahun 1889 Arrhenius menemukan persamaan yang menyatakan
hubungan antara pengaruh temperatur terhadap kecepatan reaksi suatu orde I:

Dimana,
Ea : Tenagan aktivasi (tenaga yang dibutuhkan agar suatu molekul dapat
bereaksi)
A : Suatu tetapan yang berhubungan dengan frekuensi tabrakan antara
reaktan-reaktan
R : tetapan gas (1,987 kal/mol/K)
T : temperatur absolut (C° + 273) atau (oK)

13
Dahulu untuk mengevaluasi kestabilan suatu obat dilakukan pengamatan
pada suhu kamar, tetapi cara ini memerlukan waktu lama. Cara lain untuk
mengevaluasi kestabilan suatu obat adalah dengan metode elevated, dimana
terurainya zat tersbut dipercepat dengan memanaskannya pada temperatur yang
lebih tinggi. Log k versus 1/T dinyatakan dalam grafik dengan menyatakan
persamaan garis regresi linier akan didapatkan harga k pada temperatur kamar
untuk menentukan waktu kadaluwarsa obat. Metode ini dikenal sebagai metode
stabilitas yang dipercepat.

PERCOBAAN
Hidrolisa asetosal pada suhu tertentu.
Cara kerja:
Timbang 0,2 g asetosal, larutkan dalam 15 ml alkohol, kemudian diencerkan
dengan aquades sampai I liter. Masukkan masing-masing 10,0 ml larutan di atas ke
dalam 5 tabung reaksi, panaskan di atas penangas air pada suhu 40°C. Setelah
tercapai suhu yang dikehendaki, ambil I tabung kemudian didinginkan (dalam es).
Setelah 10 menit ambil lagi I tabung dan dinginkan dalam es, demikian seterusnya
hingga tabung ke 5.
Pada tiap-tiap tabung tambahkan 2 ml larutan feri nitrat 1% dalam asam
nitrat, gojog hingga homogen. Baca resapan tiap larutan tersebut pada λ 525 nm.
Lakukan juga percobaan tersebut dengan menggunakan suhu penangas air 55°C
dan 70°C.
• Baca resapan pada spektrofotometer
• Masukkan harga resapan sebagai y pada persamaan: Y = 0,128 X + 0,04
• Maka X diketahui (dengan unit mg%)
• Hitung C0 dan Co-C, dengan mengingat molekul ekuivalensinya
• Masukkan hasil perhitungan pada persamaan reaksi orde I atau orde II,
tentukan peruraian asetosal mengikuti reaksi orde I/II
• Gambar kurva peruraian tersebut dengan slope sesuai hasil perhitungan
di atas.

14
STABILITAS OBAT
Lembar Laporan Hasil Percobaan

Tanggal:……………………….Nama:……………………………NIM:……………………
Pemanasan 40o / 50o / 70o C

Sampel Waktu Resapan(Y) Asetosal (X)

Harga k (40o C) Harga k (55o C) Harga k (70o C)

1……………………….. 1……………………….. 1………………………..

2……………………….. 2……………………….. 2………………………..

3……………………….. 3……………………….. 3………………………..

4……………………….. 4……………………….. 4………………………..

5……………………….. 5……………………….. 5………………………..

15
Uji Stabilitas Dipercepat Parasetamol
Alat :
Timbangan, labu takar 100 ml, 50 ml, 10 ml, spektrofotometer UV-Vis, kuvet, gelas
kimia 100 ml, batang pengaduk, dan spatel.

Bahan :
Parasetamol, sirup parasetamol, NaOH 0,1 N, Aqua DM, dan kertas timbang.

Prosedur Kerja :
A. Penyiapan larutan Uji
1. Larutkan 250 mg parasetamol dalam 100 ml NaOH 0,1 N kemudian
ditambahkan air hingga 250 ml (1000 ppm)
2. Dari larutan 1000 ppm dipipet masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam
masing-masing labutakar 50 ml, kemudian dicukupkan volumenya dengan
air sehingga diperoleh konsentrasi 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm.

B. Penentuan panjang gelombang maksimal


Tentukan panjang gelombang maksimum parasetamol dengan menggunakan
larutan parasetamol 40 ppm pada panjang gelombang antara 200-300 nm.

C. Pembuatan Kurva Kalibrasi


Ukur serapan yang terbentuk pada larutan parasetamol konsentrasi 20, 40, 60,
80 dan 100 ppm. Regresikan agar diperoleh persamaan garis lurusnya.
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
(x) (y)
20
40
60
80
100

D. Penetapan kadar sirup parasetamol


1. Sirup parasetamol sebanyak 1 ml ditambahkan larutan NaOH 0,1 N, hingga
10 ml kemudian dipipet sebayak 1 ml ditambahkan air hingga 50 ml.

16
2. Ukur serapannya. Hitung bobot zat dalam mg dalam sirup dengan rumus
sebagai berikut:
y−a
x= xfp
b
y−a
x= x50x10
b
E. Penentuan umur simpan sirup parasetamol
1. Sirup paracetamol dimasukkan kedalam vial masing-masing sebanyak 5
ml, kemudian vial-vial tersebut dimasukkan kedalam oven dengan suhu
40oC dan 75oC, pada harike 0, 1, 2, 3 dan 4 diambil 1 vial dan diukur kadar
parasetamol.

Konsentrasi (ppm)
Harike-
Suhu 40o C Suhu 75o C
0
1
2
3
4

F. Penentuan Orde Reaksi Penguraian


1. Cara grafik
Dengan membuat kurva hubungan antara konsentrasi obat sisa terhadap
waktu. Dengan regresi linier dicari harga r yang paling mendekati 1.
Dimana:
- Orde 0 →sumbu x = waktu; sumbu y = konsentrasi
- Orde 1 →sumbu x = waktu; sumbu y = log konsentrasi
- Orde 2 →sumbu x = waktu; sumbu y = 1/ konsentrasi

17
Contoh penyajian data untuk suhu 40oC
Konsentrasi
Hari ke- Log C 1/C
(C)
0
1
2
3
4

Koefisien korelasi (r)


Orde reaksi
Suhu 40oC Suhu 75 oC
0
1
2

Nilai r yang paling mendekati 1 berarti laju penguraian parasetamol mengikuti


orde tersebut

G. Menentukan laju reaksi penguraian parasetamol

Suhu b K
40
75

H. Tentukan persamaan garis lurus antara 1/T dan Log k untuk


mendapatkan K parasetamol pada suhu 25o C.
Suhu
SUHU (oK) T 1/T (X) K Log K
(T) Ea 1
log k = log A −
40 2,303 RT
75

I. Menghitung waktu paruh dan daluarsa


Setelah diperoleh nilai K untuk suhu 25 o C tentukan waktu paruh dan daluarsa
parasetamol jika t (90%) dengan menggunakan rumus sesuai orde reaksi
penguraiannya.

18
PERCOBAAN III
DISOLUSI (KECEPATAN PELARUTAN)

Tujuan percobaan
Setelah mengikuti percoabaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :
1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
2. Menggunakan alat-alat untuk menentukan kecepatan disolusi suatu zat
3. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat

Teori umum
Keepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyataan banyaknya suatu
zat terlarut dalam pelarut tertentu tiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum
yang menggambarkan proses disolusi suatu zat padat dikembangkan oleh Noyes
dan Whitney dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama


perpindahan proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk
suatu lapisan difusi air atau film cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Seperti
terlihat pada gambar berikut :

19
Bila konsentrasi zat terlarut didalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada
kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan maka harga (Cs-C) dianggap
sama dengan C dan persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi :

Dari persamaan tersebut dapat dilihat bebeapa faktor yang mempengaruhi


kecepatan disolusi suatu zat yaitu:
1. Temperatur
Naiknya temperatur umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat yang
endoterinis, serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein,
koefisien difusi dapat dinyatakan dengan persamaan:

2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat
sesuai dengan persamaan Eistein. Naiknya temperatur juga akan menurunkan
viskositas sehingga memperbear kecepatan disolusi.

3. pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam
lemab atau basa lemah.

20
Untuk asam lemah

Kalau [H+] kecil, atau pH besar maka akan meningkatkan kelarutan zat, sehingga
kecepatan disolusi zat tersebut akan besar pula.

Kalau [H+] besar, atau pH kecil maka akan meningkatkan kelarutan zat, sehingga
kecepatan disolusi zat tersebut akan besar pula.

4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). bila
pengadukan cepat maka tebal lapisan difusi berkurang sehingga menaikkan
kecepatan disolusi.

5. Ukuran Partikel
Bila partikel zat terlarut kecil maka luas permukaan efektif besar sehingga
menaikkan kecepatan disolusinya.

6. Polimorfisme
Kearutan suatu zat dipengaruhi oeh adanya polimorfisme, karena bentuk
kristal yang berbeda akan mempunyai kelarutan yang berbeda pula. Kelarutan
bentuk kristal yang meta stabil lebih besar dan pada yang stabil, sehingga
kcepatan disolusinya besar.

7. Sifat permukaan zat


Pada umumnya zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob.
Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut akan menurunkan tegangan
permukaan antara partikel zat dengan pelarut, sehingga zat mudah terbasahi
dan kecepatan disolusinya bertambah.

21
Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dan bentuk sediaannya dapat
dilakukan dengan metode:
1. Metode suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan yang
eksak terhadap luas permukaan partikelnya, Sampel diambil pada waktu-
waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.
2. Metode permukaan konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga variabel
perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya zat dibuat
tablet terlebih dahulu, kemudian sampel ditentukan seperti pada metode
suspensi.

Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu


dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi absorbsi obat. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat
dilakukan pada beberapa tahap pembuatan suatu sediaan obat, yaitu :
1. Tahap pra formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan baku
obat dengan tujuan untuk memilih sumber bahan baku dan memperoleh
informasi tentang bahan baku tersebut.
2. Tahap formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih formula
yang terbaik.
3. Tahap produksi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi untuk kontrol kualitas sediaan
obat yang diproduksi.

PERCOBAAN
Pada percoabaan penentuan kecepatan disolusi ini dilakukan denga cara suspensi.
1. Pengaruh temperatur terhadap kecepatan pelarutan zat.
Cara kerja :
➢ Isi bejana/ chamber dengan 900 ml air suling.

22
➢ Pasang termostat pada suhu 30°C
➢ Bila suhu air dalam bejana sudah mencapai suhu 30°C masukkan 1 gram
parasetamol dan jalankan motor penggerak pada kecepatan 20 rpm.
➢ Ambil sebanyak 20 ml larutan dalam bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15,
20. 25, 30 menit setelah pengocokan. Setiap pengambilan sampel sebanyak
20 ml, maka segera diganti dengan 20 ml air suling.
➢ Tentukan kadar parasetamol yang larut dari masing-masing sampel dengan
secara spektrofotometri ultraviolet.
➢ Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40° dan 50°C.
➢ Tabelkan hasil yang diperoleh
➢ Buat grafik antara konsentrasi parasetamol yang diperoleh dengan waktu
untuk masing-masing suhu (dalam satu grafik).

2. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat.


Cara kerja:
➢ Isi bejana/ chamber dengan 900 ml air
➢ Pasang termostat pada 30°C
➢ Bila suhu air dalam bejana sudah mencapai suhu 30°C masukkan 1 gram
parasetamol dan jalankan motor penggerak pada kecepatan 20 rpm.
➢ Ambil sebanyak 10 ml larutan dalam bejana setiap selang waktu 1, 5, 10,
15,20, 25, 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel,
maka segera diganti dengan 20 ml air suling. Tentukan kadar parasetamol
yang larut dari masing-masing sampel secara spektrofotometri ultraviolet.
➢ Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan pengadukan 30 dan 40
rpm
➢ Tabelkan hasil yang diperoleh
➢ Buat grafik antara konsentrasi parasetamol yang diperoleh dengan waktu
untuk masing-masing kecepatan pengadukan.

23
PERCOBAAN IV
TEGANGAN PERMUKAAN

Tujuan Percobaan
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :
1. Menentukan tegangan permukaan air, paraffin cair, minyak wijen (ol. Sesame),
oleum olivarum (olive oil), minyak jarak (ol. Ricini), tween 80, Na. lauril sulfat.
2. Mengamati pengaruh surfaktan terhadap tegangan permukaan.

Teori umum
Antar muka (interface) adalah batas antara dua fase atau lebih yang berada
bersama-sama. Suatu antar muka dapat berada antara cairan dengan gas, cairan
dengan cairan, cairan dengan padatan, padatan dengan gas dan padatan dengan
padatan. Molekul-molekul pada antar muka cairan dapat berada dalam wujud gas,
cair atau padat dua dimensi tergantung pada kondisi suhu dan tekanan yang
berlaku dalam antar muka. Fenomena antar muka dalam farmasi merupakan
faktor yang sangat berarti, yang dapat mempengaruhi penyerapan obat pada zat
tambahan padat di dalam obat jadi, penetrasi molekul melewati membran biologik,
pembentukan emulsi dan kestabilannya, dan dispersi partikel tak larut dalam
media cair untuk membentuk suspensi.
Gaya tarik menarik molekul dalam cairan sama ke segala arah, tetapi
molekul-molekul pada permukaan cairan lebih tertarik ke dalam cairan. Ini
disebabkan karena jumlah molekul dalam fase gas lebih kecil daripada fase cair.
Akibatnya zat cair selalu berusaha mendapatkan luas permukaan terkecil. Karena
itu tetesan-tetesan cairan gelembung gas berbentuk bulat, karena bentuk ini
mempunyai luas permukaan terkecil. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut :
F2

F1

F1 > F2

24
Adanya gaya-gaya ke arah dalam yang menyebabkan adanya
kecenderungan untuk mengkerut, juga menyebabkan permukaan cairan seakan-
akan berada dalam keadaan tegang. Tegangan ini disebut tegangan permukaan.
Tegangan permukaan didefinisikan sebagai gaya dala dyne yang bekerja sepanjang
1 cm pada permukaan zat cair. Satuan tegangan permukaan adalah dyne/cm.
Bahwa tegangan permukaan merupakan gaya per satuan panjang dapat
dilukiskan dengan percobaan menggunakan suatu bingkai dari kawat yang salah
satu sisinya dapat bergerak bebas.

L
B C

A D
ds

Setetes larutan sabun ditempatkan pada bingkai yang akan membentuk lapisan
film seluas ABCD. Film ini dapat direnggangkan dengan suatu gaya f melalui sisi
yang bergerak bebas, panjangnya L, yang bertindak melawan tegangan permukaan
film sabun itu. Apabila beban (massa) dihilangkan, maka film akan berkontraksi
(mengkerut) karena adanya tegangan permukaan. Oleh karena itu tegangan
permukaan (γ) dari larutan yang membentuk film tersebut merupakan fungsi gaya
yang harus dikenakan agar film pecah dengan panjang sisi yang berhubungan
dengan film. Oleh karea film sabun tersebut mempunyai dua antar muka
cairan/gas, yaitu atas dan bawah, maka panjang kontak seluruhnya adalah dua kali
sisi.

25
Jadi :
𝐹
𝛾=
2𝐿
Dengan F merupakan gaya yang diperlukan untuk memecahkan film dan L adalah
panjang sisi yang dapat bergerak bebas.
Tegangan permukaan cairan dapat diukur dengan beberapa cara, seperti dengan :
- Tensiometer Du Nouy
- Cara drop weight (berat tetes)
- Cara bubble pressure
- Cara capillary rise (kenaikan kapiler)

PERCOBAAN
Tentukan tegangan muka zat-zat berikut ini dengan metode kenaikan kapiler dan
metode cincin du-Nouy :
1. Air
2. Larutan Natrium lauryl sulfat 0,01%; 0,05%; 0,1%
3. Paraffin cair

Prosedur :
A. Penyiapan sampel
1. Air
2. Larutan Natrium lauryl sulfat 0,01%
.................................................................................................................................
3. Larutan Natrium lauryl sulfat 0,05%
.................................................................................................................................
4. Larutan Natrium lauryl sulfat 0,1%
.................................................................................................................................
5. Paraffin cair

B. Penentuan Kerapatan/ Bobot jenis zat cair


1. Timbang piknometer yang kering dan bersih dengan seksama

26
2. Isi piknometer dengan air hingga penuh, lalu direndam dalam air es, sehingga
suhunya kira-kira 2oC di bawah suhu percobaan
3. Piknometer ditutup, pipa kapilernya dibiarkan terbuka dan suhu dibiarkan naik
sampai suhu percobaan, lalu pipa kapiler piknometer ditutup
4. Biarkan suhu air dalam piknometer mencapai suhu kamar, lalu air yang
menempel diusap dan ditimbang dengan seksama
5. Catat data yang diperoleh, hitung volume piknometer dan kerapatan dari
masing-masing cairan.

C. Penentuan tegangan muka


1. Metode Kenaikan Kapiler
a. Masukkan sejumlah volume tertentu dari masing-masing cairan ke dalam
gelas piala
b. Celupkan pipa kapiler ke dalam gelas piala di atas
c. Catat ketinggian zat cair tersebut dalam pipa kapiler, ulangi langkah sebanyak
3 kali untuk masing-masing cairan.
2. Metode Cincin du-Nouy
a. Siapkan Tensiometer du-Nouy
b. Masukkan zat cair yang akan diukur ke dalam cawan petri dalam rangkaian
alat (atur agar cincin tercelup ke dalam cairan tersebut), catat skala yang
ditunjukan pada penunjuk skala
c. Tambahkan sejumlah anak timbangan ke dalam rangkaian alat sampai cincin
terlepas, catat skala akhir dan bobot anak timbangan yang ditambahkan.
Ulangi langkah sebanyak 3 kali untuk masing-masing cairan.

HASIL PERCOBAAN
A. Penentuan Kerapatan/ Bobot jenis zat cair
NO URAIAN KETERANGAN
1 Bobot piknometer kosong .............................
Bobot piknometer + air .............................
Bobot air .............................
Volume air .............................

27
2 Bobot piknometer kosong .............................
Bobot piknometer + Na lauryl sulfat 0,01% .............................
Bobot Na lauryl sulfat 0,01% .............................
BJ Na lauryl sulfat 0,01% .............................
3 Bobot piknometer kosong .............................
Bobot piknometer + Na lauryl sulfat 0,05% .............................
Bobot Na lauryl sulfat 0,05% .............................
BJ Na lauryl sulfat 0,05% .............................
4 Bobot piknometer kosong .............................
Bobot piknometer + Na lauryl sulfat 0,1% .............................
Bobot Na lauryl sulfat 0,1% .............................
BJ Na lauryl sulfat 0,1% .............................
5 Bobot piknometer kosong .............................
Bobot piknometer + Paraffin cair .............................
Bobot Paraffin cair .............................
BJ Paraffin cair .............................

B. Penentuan Tegangan muka dengan metode kenaikan kapiler

TINGGI
TEGANGAN
NAMA ZAT CAIR KERAPATAN KENAIKAN
PERMUKAAN
I II III
Air
Na lauryl sulfat 0,01%
Na lauryl sulfat 0,05%
Na lauryl sulfat 0,1%
Paraffin cair

28
C. Penentuan tegangan muka dengan metode cincin du-Nouy

BOBOT TEGANGAN MUKA


SKALA SKALA
NAMA ZAT CAIR ANAK DENGAN TANPA
AWAL AKHIR
TIMBANGAN BEBAN BEBAN
Air 1. 1. 1.
2. 2. 2.
3. 3. 3.
Na lauryl sulfat 0,01% 1. 1. 1.
2. 2. 2.
3. 3. 3.
Na lauryl sulfat 0,05% 1. 1. 1.
2. 2. 2.
3. 3. 3.
Na lauryl sulfat 0,1% 1. 1. 1.
2. 2. 2.
3. 3. 3.
Paraffin cair 1. 1. 1.
2. 2. 2.
3. 3. 3.

29
PERCOBAAN V
VISKOSITAS DAN REOLOGI

Tujuan Percobaan:
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menerangkan arti viskositas
2. Menggunakan alat-alat penentuan viskositas
3. Menentukan viskositas beberapa cairan.

Teori umum
Setiap zat cair mempunyai karakteristik yang khas, berbeda satu zat cair
dengan zat cair yang lain. Oli mobil sebagai salah satu contoh zat cair dapat kita
lihat lebih kental daripada minyak kelapa. Kekentalan atau viskositas dapat
dibayangkan sebagai peristiwa gesekan antara satu bagian dan bagian yang lain
dalam fluida. Dalam fluida yang kental kita perlu gaya untuk menggeser satu
bagian fluida terhadap yang lain.
Viskositas atau kekentalan dapat didefinisikan sebagai gaya geser yang
diperlukan agar menghasilkan kecepatan 1 cm/detik, diantara dua bidang sejajar
cairan yang masing-masing luasnya 1 cm2 dan dipisahkan oleh jarak 1 cm, dalam
satuan poise. Viskositas suatu cairan murni ataupun suatu larutan dapat diukur
dengan mengukur laju aliran cairan atau larutan yang melalui tabung berbentuk
silinder. Cara ini merupakan cara yang paling mudah dan dapat digunakan baik
untuk cairan ataupun gas.
Viskositas adalah ukuran resistensi zat cair untuk mengalir. Makin besar
resistensi suatu zat cair untuk mengalir makin besar pula viskositasnya. Reologi
adalah ilmu yang mempelajari sifat aliran zat cair atau deformasi zat padat.
Konsep dasar reologi adalah tekanan (stress) dan perubahan bentuk
(deformasi, deformation). Jika suatu benda dikenai tekanan atau gaya dari luar,
benda tersebut cenderung mengalami deformasi. Jika deformasi tersebut
sementara dan menghilang kalau tekanan dihilangkan, maka disebut deformasi
elastic. Sebaliknya jika deformasi tetap (permanen) disebut alir (flow).

30
Hambatan (resistensi) cairan untuk mengalir merupakan fungsi gaya gaya
diantara molekul-molekul. Viskositas (kekentalan) merupakan satu ukuran gaya
gesek (friksi) diantara lapisan-lapisan yang berdekatan dari suatu cairan. Koefisien
viskositas mutlak suatu cairan, η, dapat diartikan sebagai gaya persatuan luas yang
diperlukan untuk mempertahankan satu satuan gradient kecepatan antara dua
bidang sejajar yang terpisah oleh satu satuan jarak. Secara matematis, viskositas
dinyatakan sebagai :
𝐹/𝐴
𝜂=
𝑑𝑣 / 𝑑𝑥
Dimana :
F/A : Gaya persatuan luas yang bekerja terhadap bidang dinamakan juga
tekanan geser (shearing stress)
dv/dx : Gradien kecepatan atau kecepatan (laju) geser (rate of shear)

Apabila digambarkan grafik antara kecepatan geser terhadap tekanan


geser, akan didapat grafik yang merupakan garis lurus melalui titik nol.

Hubungan antara kecepatan gesek (dv/dx) dengan gaya gesek (F/A) pada
cairanNewton

Berdasarkan tipe alirnya, sistem aliran dapat dibedakan menjadi aliran


newton dan aliran non newton.
1. Aliran Newton
Disebut aliran Newton jika antara shearing stress dengan shearing rate
memiliki hubungan tertentu yang disebut viskositas atau koefisien viskositas
(η).Rheogram untuk tipe alir Newton dapat dilihat seperti pada gambar 2.
Cairan yang memiliki tipe alir Newton meliputi cairan tunggal misalnya : air,

31
etanol, gliserol, dli. serta larutan dan senyawa yang memiliki ukuran molekul
kecil, misalnya: larutan gula dan larutan berbagai macam garam.
2. Cairan Non Newton:
a. Time independent :
- Pseudoplastik
Viskositas cairan pseudoplastik akan berkurang dengan naiknya
kecepatan geser. Cairan yang mempunyai aliran pseudoplastik tidak
mempunyai harga viskositas yang absolut, pada kurva terlihat tidak
memiliki bagian yang linier.

Tipe alir pseudoplastik.Viskositas cairan turun dengan naiknya


kecepatan pengadukan.

- Plastik
Cairan yang memiliki aliran plastik tidak akan mengalir sebelum suatu
gaya tertentu dilampauinya. Gaya tersebut adalah yield value atau f.
Pada tekanan di bawah yield value cairan tersebut bertindak sebagai
bahan elastik, sedangkan di atas harga ini aliran mengikuti hukum
Newton.

Tipe aliran plastik

32
- Dilatan
Viskositas cairan dilatan akan naik dengan naiknya kecepatan geser
karena volume akan naik bila ia bergeser. Hal ini terjadi karena
pengaruh pengadukan menyebabkan terbentuknya struktur dan hasil
penggabungan antar partikel. Suspensi yang memiliki sifat alir demikian
misalnya : Cat murni, tinta cetak dan pasta.

Tipe Aliran Dilatan


b. Time dependent :
- Tiksotropi
Pada aliran tiksotropik kurva menurun berada di sebelah kiri kurva
menaik. Gejala ini umumnya dijumpai pada zat yang mempunyai aliran
plastis dan pseudoplastis. Hal ini disebabkan karena terjadinya
perubahan struktur yang tidak kembali ke keadaan semula dengan
segera apabila tekanan dikurangi. Sifat aliran ini biasanya terjadi pada
partikel yang asimetrik (polimer) yang mempunyai banyak titik kontak
dan tersusun sebagai jaringan tiga dimensi. Pada keadaan diam sistem
menyerupai gel dan bila diberi tekanan geser akan berubah menjadi sol.

Tipe Aliran pseudoplastik tiksotropik dan plastik tiksotropik

33
- Reopeksi
Pada aliran reopeksi kurva menurun ada di sebelah kanan kurva
menaik. Hal ini terjadi karena pengocokan yang perlahan dan teratur
akan mempercepat pemadatan suatu sistim dilatan. Pada aliran
reopeksi bentuk kesetimbangan adalah dalam bentuk gel.

Tipe alir reopeksi

- Antitiksotropi
Bila dilakukan pengukuran dengan penambahan dan pengurangan
tekanan geser secara berulang kali pada sistem ini akan diperoleh suatu
viskositas yang terus bertambah sampai akhirnya pada suatu saat
menjadi konstan. Kurva aliran ini adalah sebagai berikut:

Tipe aliran antitiksotropik

34
Viskositas dapat ditentukan dengan berbagai jenis viskometer, antara lain :
1. Viskosimeter kapiler ( contoh : viskometer Ostwald )

Pada metode ini viskositas ditentukan dengan mengukur waktu yang


dibutuhkan bagi cairan uji untuk lewat antara dua tanda ketika ia mengalir
karena gravitasi , melalui suatu tabung kapiler vertikal. Waktu alir dari cairan
yang diuji dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi suatu cairan yang
viskositasnya sudah diketahui ( biasanya air ) untuk lewat antara dua tanda
tersebut. Jika 1 dan 2 masing-masing adalah viskositas dari cairan yang tidak
diketahui dan cairan standar , 1 dan 2 adalah kerapatan dari masing-masing
cairan, t1 dan t2 adalah waktu alir dalam detik. Maka viskositas cairan yang
tidak diketahui adalah :
1 = ρ1 . t1
2 ρ2 . t2
η1 = ρ1 . t1 . 2
ρ2 . t2
η2 dan ρ2 dapat diketahui dari literatur, ρ1 diperoleh dari pengukuran
kerapatan (berat jenis) dengan metode piknometer, t1 dan t2 masing-masing
diketahui dengan cara mengukur waktu yang diperlukan oleh zat uji maupun
air untuk mengalir melalui dua garis tanda pada tabung kapiler viscometer
ostwald.

2. Viskometer bola jatuh ( viscometer Hoeppler )


Pada viskometer tipe ini, suatu bola gelas atau bola besi jatuh kebawah dalam
suatu tabung gelas yang hampir vertikal, mengandung cairan yang diuji pada

35
temperatur konstan. Laju jatuhnya bola yang mempunyai kerapatan dan
diameter tertentu adalah kebalikan fungsi viskositas sampel tersebut. Waktu
bagi bola tersebut untuk jatuh antara dua tanda diukur dengan teliti dan
diulangi beberapa kali. Viskositas cairan dihitung dengan rumus :
f=6πηrT

dimana :
f : gaya tahan
η : viskositas
r : jari-jari bola
v : kecepatan

Pada kesetimbangan gaya ke bawah (m – mo)g = f, sehingga

6 π η r v = (m-mo) g

g(m − mo)
π=
6ηrv
Dimana :
m : masa bola logam
mo : massa cairan yang dipindahkan oleh bola logam
g : konstanta

3. Viskometer Brookfield
Adalah jenis viscometer putar (rotasi) terdapat dalam berbagai model
berdasarkan rentang viskositasnya yaitu model : LV, RV, HA dan HB.
Viscometer ini mengukur tenaga putaran (torque) yang diperlukan untuk
memutarkan elemen (spindle) yang dicelupkan dalam cairan. Spindle
digerakkan oleh motor sinkron melalui pegas yang terkalibrasi; defleksi pegas
ditunjukkan jarum penunjuk atau angka (peragaan digital). Viskositas
berbanding lurus dengan kecepatan spindle berotasi dan berkaitan dengan
ukuran dan bentuk (geometri) dari spindle.

PERCOBAAN
Langkah Kerja
1. Tentukan densitas zat cair yang akan ditentukan viskositasnya menggunakan
piknometer.
2. Masukan zat cair ke dalam viscometer Oswald.

36
3. Sedot hingga batas yang paling atas.
4. Pasang stopwatch, mulai saat zat cair turun dari tanda batas itu dan berhenti
saat zat cair berada di tanda batas bagian bawahnya.
5. Catat berapa lama zat cair itu turun.
6. Ulangi sampai 3 kali.
7. Ulangi dengan zat lain.

Data Pengamatan
1. Penentuan berat jenis larutan

Berat Massa jenis


Berat Berat Volume larutan
piknometer
Larutan piknometer larutan piknometer berat larutan
+ larutan ( volume )
kosong (g) (g) (mL)
(g) (g/mL)
Aquadest
Alkohol
Aseton

2. Viskometer Ostwald
Sampel dengan perbedaan massa jenis fluida
No Waktu
Zat/bahan Suhu Rata-rata
1 2 3
1 Aquadest 28
2 Alkohol 28
3 Aseton 28

Perhitungan:
𝑎𝑖𝑟 . ρ𝑎𝑙𝑘 . t𝑎𝑙𝑘
𝑎𝑙𝑘 =
ρ𝑎𝑖𝑟 . t𝑎𝑖𝑟

3. Viskometer Brookfield
1. Buat larutan sampel (CMC-Na 1%, Pulvis Gum Arab 1% dan Glukosa 30%)
2. Pasang spindel pada gantungan spindel
3. Turunkan sedemikian rupa sehingga batas spindel tercelup kedalam cairan
yang akan diukur viskositasnya
4. Pasangkan stop kontak
5. Hidupkan motor sambil menekan tombol

37
6. Biarkan spindel berputar dan perhatikan jarum merah pada skala
7. Catat angka yang ditunjukkan jarum merah tersebut untuk menghitungkan
viskosita, angka pembacaan dikalikan dengan suatu faktor yang dapat
dikutip dari table yang terdapat pada brosur alat
8. Dengan mengubah-ubah rpm, akan diperoleh viskosita cairan pada
berbagai rpm.
9. Buatlah grafik antara rpm dan viskositas, kemudian tentukan tipe aliran
dari masing-masing zat.

Data Pengamatan
Speed Spindel
(rpm)
20
30
50
60
100

38
PERCOBAAN VI
SISTEM DISPERSI

Tujuan percobaan
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. Mengamati proses sedimentasi
2. Menentukan redispersibilitas suspensi
3. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam
pembuatan emulsi
4. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
5. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi
6. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi

Teori umum
Dispersi zat padat dalam cairan ataupun zat cair di dalam zat cair lainnya
merupakan hal yang sering terjadi dalam pembuatan sediaan farmasi. Bentuk
sediaan suspensi ataupun emulsi antara lain meningkatkan kestabilan zat aktif
ataupun keseragaman dosis obat yang diterima pasien.
Salah satu faktor penting dalam mengendalikan produk suspensi adalah
ukuran partikel zat aktif. Telah menjadi suatu kenyataan bahwa ukuran partikel
atau luas permukaan partikel berkaitan erat dengan sifat fisiko kimia dan aktivitas
farmakologis.
Faktor lain yang mendukung sediaan yang baik adalah penambahan
kekentalan (viskositas) cairan yaitu dengan menambahkan zat pensuspensi.
Persyaratan zat pensuspensi antara lain :
1. Pada konsentrasi yang digunakan tidak memberikan efek terapi
2. Secara kimia relative linier pada jarak pH yang luas
3. Memberikan dispersi yang kental pada konsentrasi rendah
4. Viskositas tidak berubah selama waktu penyimpanan
5. Harus mempunyai afinitas terhadap medium dispersi
Parameter untuk mengevaluasi sediaan suspensi secara fisik adalah volume
sedimentasi, F, dan derajat flokulasi, β.

39
Volume sedimentasi adalah rasio volume sediaan akhir Vu, dengan volune
sediaan awal Vo sebelum terjadi pengendapan.
F = Vu / Vo
Derajat flokulasi adalah rasio volume akhir sediaan suspensi flokulasi
dengan volume akhir sediaan suspensi deflokulasi.

Volume akhir suspensi flokulasi


β=
Volume akhir suspensi deflokulasi

Redispersibilitas adalah kemampuan suatu sediaan suspensi untuk


mendispersikan kembali endapan yang terjadi menjadi sediaan yang homogen.
Sistem dispersi (polifasik) dapat juga merupakan sediaan semisolid seperti
salep, gel (jeli), krim ataupun berupa sediaan padat seperti supositoria. Untuk
sediaan semisolid pengukuran konsistensi diperlukan agar produk setiap bets
seragam. Pengukuran konsistensi dilakukan antara lain dengan mengukur
viskositas menggunakan viscometer (viskotester) berkemampuan viskositas tinggi
(High viscosity Viscometer)

Emulsifikasi
Emulsi adalah suatu sistem yang secara termodinamika tidak stabil, terdiri
dari paling sedikit dua fase yang tidak bercampur, dimana satu diantaranya
terdispersi sebagai globul-globul dalam fase cair yang lainnya. Sistem ini biasanya
distabilkan dengan emulgator.
Dalam bidang farmasi, emulsi biasanya terdiridari minyak dan air.
Berdasarkan fasa terdispersinya dikenal dua jenis emulsi :
1. Emulsi minyak dalam air (m/a), yaitu bila fasa minyak terdispersi dalam fasa
air.
2. Emulsi air dalam minyak (a/m), yaitu bila fasa air terdispersi dalam fasa
minyak.
Bila menggunakan surfaktan sebagai emulgator dapat pula terjadi emulsi
dengan sistem yang kompleks (multiple emulsion). Sistem ini merupakan jenis
emulsi air-minyak atau sebaliknya.

40
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor
yang penting, karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi oleh
emulgator yang digunakan. Dalah satu emulgator yang banyak digunakan dalam
pembuatan emulsi adalah surfaktan. Mekanisme surfaktan adalah menurunkan
tegangan antar permukaan air dan minyak serta membentuk lapisan film pada
permukaan globul-globul fasa terdispersi.
Secara kimia molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan gugus non
polar. Apabila surfaktan dimasukkan ke dalam sistem yang terdiri dari air dan
minyak, maka gugus polar akan terarah ke fase air sedangkan gugus non polar
akan terarah ke fase minyak. Surfaktan yang mempunyai gugus polar lebih kuat
akan cenderung membentuk emulsi minyak dalam air, sedangkan bila gugus non
polar yang lebih kuat akan cenderung membentuk emulsi air dalam minyak. Oleh
karena itu diperlukan pengetahuan tentang kekuatan gugus polar dan non polar
dari surfaktan.Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi surfaktan
sebagai emulgator adalh HLB (Hydrophilic–Lipophilic Balance). Griffin telah
mengemukakan suatu skala ukuran HLB suatu surfaktan. Dari skala tersebut dapat
disusun darah efisiensi HLB optimum untuk tiap-tiap golongan surfaktan. Makin
tinggi harga HLB suatu surfaktan maka zat itu akan bersifat polar.
Disamping itu juga perlu diketahui harga HLB butuh dari minyak yang
digunakan menurut Griffin harga HLB butuh tersebut adalah setara dengan dengan
harga HLB dari surfaktan atau campuran surfaktan yang digunakan untuk
mengemulsikan minyak dengan air sehingga terbentuk suatu sistem emulsi yang
stabil.
Nilai HLB Tipe sistem
3–6 A/M emulgator
7–9 Zat pembasah (wetting agent)
8 – 18 M/A emulgator
13 – 15 Zat pembersih (detergent)
15 – 18 Zat penambah pelarutan (solubilizer)
Jika dua surfaktan atau lebih dicampurkan maka HLB campuran dapat
diperhitungkan sebagai berikut :

41
Misal campuran surfaktan terdiri dari 70 bagian Tween 80 ( HLB=15,0 ) dan 30
bagian Span 80 ( HLB=4,3 ), maka HLB campuran kedua surfaktan tersebut adalah:
Tween 80 = 70/100 x 15,0 = 10,5
Span 80 = 30/100 x 4,3 = 1,3
HLB campuran = 11,8

Selain dapat dihitung HLB campuran suatu surfaktan, surfaktan dapat


saling diganti dan nilai HLBnya merupakan adiif, artinya berapapun nilai HLB
jenisnya, HLB campuran merupakan jumlah masing – masing nilai HLBnya.
Kadang-kadang dalam mengguanakan campuran surfaktan kita tidak selalu
harus menghitung HLB dari surfaktan-surfaktan yang telah diketahui
perbandingannya, tetapi kita harus mengguanakan campuran surfaktan pada
suatu nilai HLB tertentu. Untuk itu kita harus menghitung berapa perbandingan
surfaktan yang harus digunakan dengan rumus :

(X − HLB Span 80)


% Tween 80 = x 100% = a%
(HLB Tween 80 − HLB Span 80)
% Span 80 = (100 – a)% = b%

Emulsi merupakan sistem yang tidak stabil karena adanya energi bebas
permukaan yang besar. Hal ini terjadi karena pada proses pembuatannya luas
permukaan salah satu fase akan bertambah berkali-kali lipat. Sistem tersebut akan
berusaha untuk memantapkan diri agar energi bebas bisa menjadi nol yaitu
dengan cara penggabungan globul. Karena hal tersebut dikenal beberapa
fenomena ketidakstabilan emulsi :
1. Flokulasi dan creaming
Fenomena ini terjadi karena penggabungan partikel yang disebabkan oleh
adanya enenrgi bebas permukaannya saja. Flokulasi adalah terjadinya
kelompok-kelompok globul yang letaknya tidak beraturan di dalam suatu
emulsi. Creaming adalah terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang
berbeda-beda di dalam suatu emulsi. Lapisan dengan konsentrasi yang paling
pekat akan berada di sebelh atas atau sebelah bawah tergantung dari bobot

42
jenis fase yang terdispersi. Pada kedua fenomena tersebut emulsi masih dapat
diperbaiki dengan pengocokan karena film antar permukaan masih ada.
2. Koalesen dan demulsifikasi
Fenomena ini terjadi bukan semata-mata karena energi bebas permukaan
tetapi juga karena tidak semua globul terlapisi oleh film antar permukaan.
Koalesen adalah terjadnya penggabungan globul-globul menjadi lebih besar,
sedangkan demulsifikasi adalah merupakan proses lebih lanjut dari pada
koalesen dimana kedua fase terpisah kembali menjadi dua cairan yang tidak
campur. Pada kedua fenomena ini emulsi tidak dapat diperbaiki lagi dengan
pengocokan.

PERCOBAAN 1
Alat dan Bahan
Alat : sulfadiazin, trisulfa, CMC, Tween 80, propilenglikol, air suling.
Bahan : mortar dan stamper, gelas ukur 100 ml, pemanas, corong gelas, botol
coklat, mixer, viscometer Brookfield.
Prosedur :
1. Pembuatan suspensi
- Timbang zat masing-masing 0,5g untuk sediaan 1 dan 2, dan satu untuk
blanko.
- Timbang CMC masing-masing 0,5g; 1g; 1,5g untuk masing-masing sediaan,
kemudian kembangkan CMC dengan air panas di dalam mortar. Setelah
mengembang kemudian campurkan dengan zat dari sediaan 1, sediaan 2,
dan sediaan 3, dan homogenkan dengan menggunakan mixer.
- Masukkan campuran zat dengan CMC sediaan 1, sediaan 2, dan sediaan 3,
juga zat untuk blanko ke dalam breaker glass, lalu tambahkan aquadest
sampai volumenya 100 ml, kemudian masukkan ke dalam botol.
2. Pengamatan sedimentasi
Amati dan catat volume sedimentasi yang terjadi dalam interval waktu 0; 15;
30; 60; 90 menit dan 24 jam.
3. Menentukan redispersibilitas suspensi setelah 24 jam

43
Setelah dibiarkan selama 24 jam dikocok tiga kali, lalu catat dan amati volume
sedimentasi yang terjadi.

PERCOBAAN 2
1. Penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB yang lebih besar
Menentukan HLB butuh minyak mineral (Paraffin Liq) pada rentang HLB yang
lebar.
Formula :
Paraffin Liq. 30 %
Tween
Span 5%

Air ad. 100 mL

Cara kerja :
1. Buat suatu seri emulsi dengan HLB butuh masing – masing adalah 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13 dan 14.
2. Hitung jumlah Tween dan Span yang dibutuhkan untuk masing – masing
harga HLB butuh.
3. Tween 80 dan Span 80 ditimbang dalam cawan porselen sesuai
perhitungan untuk membuat emulsi dengan HLB butuh.
4. Campur paraffin liq dan Span (fase minyak); Tween dan air (fase air),
masing – masing panaskan diatas penangas air sampai suhu 70oC.
5. Fase minyak ditambahkan kedalam fase air sedikit – sedikit sambil diaduk
dengan pengaduk listrik pada kecepatan dan waktu yang sama.
6. Emulsi yang sudah homogen dimasukkan kedalam tabung sedimentasi beri
tanda masing – masing HLB
7. Amati kestabilannya selama 5 hari
8. Catat pada HLB berapa emulsi relatif paling stabil
9. Parameter kestabilan emulsi dengan menghitung volume sedimentasi (F)
dengan persamaan :

44
Vu
F=
Vo
Vu= Volume sedimen
V0= Volume awal
Nilai F semakin mendekati satu semakin baik.

2. Penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB yang lebih kecil
Dari hasil percobaan pada minggu pertama diperoleh harga HLB butuh yang
relatif paling stabil, misalkan pada harga HLB butuh lebih tepat, maka dibuat
satu seri emulsi lagi dengan harga HLB=8 sampai dengan HLB=10 dengan jarak
masing-masing 0,25. Prosedur percobaan sama seperti pada percobaan 1 .

TABEL HASIL PERCOBAAN


1. Perhitungan Jumlah Tween dan Span
HLB BUTUH JUMLAH TWEEN JUMLAH SPAN
6
7
8
9
10
11
12
13
14

2. Pengamatan Stabilitas Emulsi ( Volume sedimentasi )


Pengamatan hari ke Volume awal Volume sedimen Nila F
1
2
3
4
5

45
PERCOBAAN VII
MIKROMERTIKA

Tujuan percobaan
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. Menentukan ukuran partikel secara mikroskopik
2. Menentukan kerapatan partikel dengan piknometer
3. Menentukan kerapatan alir serbuk dan sudut
4. Menentukan kerapatan curah (ruah, longgar, bulk) dan kerapatan mampat.
5. Menentukan sifat aliran serbuk.

Teori umum
Mikromeritika adalah ilmu dan teknologi mengenal partikel (partikulat).
Dibidang farmasi hampir semua sediaan farmasi dibuat dari bahan-bahan curah
(bulk), baik zat aktif maupun zat pembantu.
Partikel merupakan fase terdispersi dan dapat berupa padatan seperti
misalnya pada suatu serbuk atau suspensi, berupa cairan seperti pada emulsi atau
aerosol, atau dapat berupa gas seperti dalam busa.
Ukuran serbuk dapat digolongkan ke dalam rentang ukuran berdasarkan
metode pengukuran, yaitu :
1. Rentang pengayakan (sieve-range)
2. Rentang bawah pengayakan (subsieve-range)
3. Rentang sub micron (submicron-range)
Rentang meliputi ukuran partikel yang lebih besar dari 45 μm. Rentang bawah
pengayakan meliputi partikel dengan ukuran 1 sampai 50 μm. Rentang submicron
menjangkau partikel dengan ukuran lebih kecil dari 1 μm.
Ukuran partikel maupun sifat fisik lainnya dapat mempengaruhi sifat kimia,
farmakologi ataupun aktivitas sediaan jadi. Pengukuran partikel dapat dilakukan
dengan beberapa cara diantaranya adalah menggunakan mikroskop, yang
dilengkapi dengan alat bantu mikrometer atau hemositometer.

46
A: gelas hemocytometer dalam pembesaran terkecil (4x objektif); B: perbesaran
sedang (10x objektif) Segiempat ABCD bertautan dengan ABCD pada A; C:
perbesaran terbesar (44x objektif), tampak bahwa satu bujur sangkar berisi dua
partikel berentang ukuran 25-50 μm, tiga butir berukuran 10-15 μm, satu butir
antara 5-10 μm, dan enam butir berukuran 1-5 μm.

Gelas hemocytometer pada perbesaran sedang. Tampak dua butir partikel yang
berukuran 200 μm dan dua butir partikel berukuran 100 μm.

Kerapatan alir serbuk ditentukan dengan cara mengukur waktu jatuh yang
diperlukan oleh sejumlah serbuk yang ditaruh di dalam suatu corong sampai
seluruh serbuk tersebut turun. Cara pengukuran tersebut di samping menentukan
kecepatan alir serbuk sekaligus pula dapat menetapkan sudut istirahat (repose
angle/sudut diam) yaitu sudut yang dibentuk antara lereng timbunan (onggokan)
serbuk dengan bidang datar.

47
t

ϴ
r
t = tinggi onggokan (timbunan);
r = jari-jari onggokan;
d = garis tengah (diameter)
Sifat-sifat serbuk turunan
1. Porositas
Jika suatu serbuk dimasukkan ke dalam gelas ukur dan catat volumenya, maka
volume serbuk yang menempati gelas ukur tersebut disebut volume curah.
Seandainya serbuk tersebut dianggap tidak mempunyai pori-pori, yaitu tidak
berpori internal atau ruang kapiler, maka volume curah akan terdiri dari
volume partikel itu sendiri ditambah dengan volume rongga atau ruangan
antara partikel.
Porositas serbuk atau void, dinyatakan sebagai perbandingan atau rasio antara
hampa terhadap volume kemasan.
2. Kerapatan atau densitas partikel
Secara umum kerapatan diartikan sebagai bobot per satuan volume. Terdapat
tiga jenis kerapatan yang didefinisikan sebagai :
a. Kerapatan benar atau sejati (true density)
Kerapatan sejati bahan itu sendiri tidak disertai dengan porositas (void)
dari pori-pori intra partikel yang lebih besar dari dimensi molekul atau
atom dalam kisi kristal
b. Kerapatan granul (granul density)
Sebagaimana ditentukan dengan cara penggantian (displacement) raksa
yang tidak menyusup (penetrasi) pada tekanan biasa ke dalam pori-pori
yang lebih kecil dari 10 μm.

48
c. Kerapatan curah (ruah, bulk density)
Sebagaimana ditentukan dari volume curah dan bobot serbuk di dalam
gelas ukur.
3. Keruahan (curah,bulkines)
Volume curah spesifik, yaitu kebalikan atau reciprok kerapatan curah, sering
disebut keruahan atau curah (bulk). Keruahan meningkat dengan mengecilnya
ukuran partikel. Akan tetapi pada campuran bahan berukuran berbeda, akan
terjadi bahan berukuran kecil yang menyusup ke antara bahan berukuran
besar dan cenderung mengurangi keruahan.
Kerapatan curah ditentukan dengan mengukur volume (dalam gelas ukur)
sejumlah tertentu serbuk yang ditimbang. Kerapatan mampat adalah kerapatan
yang diperoleh jika serbuk dalam gelas ukur diketuk-ketukan sampai
volumenya tetap. Kerapatan sejati suatu serbuk ditentukan secara piknometris.
Pedoman empiris mengalirnya serbuk diberikan pula melalui indeks
kompresibilitas (konsolidasi) Carr :
Kerapatan mampat − Kerapatan longgar
(%) Kompresibilitas = x 100%
Kerapatan mampat
Kerapatan longgar (kerapatan curah/ρb minimum = W/Vo g/ml
Kerapatan mampat (ρb maksimum = W/Vmampat g/ml
Penafsiran indeks carr dan tipe alirannya dapat dilihat pada tabel :

Tabel Hubungan kompresibilitas dan tipe aliran serbuk


Indeks konsolidasi (Carr)
Tipe Aliran
(%)
5-15 Sangat baik
12-16 Baik
18-21 Cukup
23-35 Buruk
35-38 Sangat buruk
> 40 Sangat buruk sekali

Indeks yang serupa dapat diberikan pula oleh hausner :


Rasio hausner = ρb maks/ ρb min
Harga 1,25 menunjukkan aliran baik (=20%; Carr)
Sedangkan > 1,5 menunjukkan aliran yang buruk (=33% Carr)

49
Suatu curah serbuk dibiarkan mengalir dari suatu lubang dan
ditampung pada bidang datar akhirnya akan membentuk satu gunungan. Sudut
antara lereng dengan horizontal disebut sudut istirahat (angle of repose, ϴ).
Terdapat hubungan antara ϴ dengan aliran dan bentuk partikel. Pada di bawah
menunjukkan petunjuk antara ϴ dengan sifat alir.

Hubungan sudut istirahat (diam), ϴ, dengan aliran serbuk


Sudut istirahat, ϴ (derajat) Tipe Aliran
< 25 Sangat baik
25-30 Baik
30-40 Cukup
> 40 Sangat buruk

Hubungan antara sudut istirahat dengan indeks carr

Tangent ϴ berbanding lurus dengan koefisien gesek (friksi), μ, diantara partikel.


tg ϴ = μ
oleh karena itu, makin kasar dan tak beraturan permukaan partikel maka sudut
istirahat akan semakin besar.

PERCOBAAN
Alat dan Bahan
Alat : Alat pengukur kecepatan alir serbuk, gelas ukur 100 ml, mikroskop
optik dengan mikrometer, piknometer 25 ml.
Bahan : Amprotab, starch 1500, primojel, parasetamol, asetosal, paraffin cair.

50
Prosedur :
1. Menentukan ukuran partikel secara mikroskopis
Dilakukan kalibrasi lebih dahulu terhadap ukuran kotak yang ada pada
micrometer untuk setiap pembesaran obyektif 10x dan 40x dengan bantuan
objektif micrometer.
Sedikit zat uji yang ditentukan disuspensikan dalam cairan yang tidak
melarutkannya diatas gelas obyek.
Partikel diamati dengan pembesaran obyektif yang cocok, dan tentukan ukuran
partikelnya sesuai dengan ukuran kotak skala. Kemudian disusun suatu
rentang ukurannya.
Jumlah partikel yang dihitung (ditentukan) paling sedikit 300 partikel.
2. Menentukan kerapatan partikel dengan piknometer
Timbang piknometer 25 ml kosong (W1 g)
Timbang piknometer yang diisi dengan pelarut (solven) yang tidak melarutkan
zat (W1’).
Maka bobot solven = W2 = W1’ – W1
Tuangkan 2-3 ml solven dari piknometer tadi ke dalam tabung reaksi yang
bersih.
Timbang seksama 1-1,5 g sampel (W3)
Masukkan sampel ke dalam piknometer yang sudah berisi solven, tambahkan
solven sampai volume piknometer, dan timbang. Bobot hasil penimbangan –
bobot piknometer = W4.
W2 W3
Kerapatan sejati ρ = g/ml
25(W2 − W4 + W3 )

3. Menetukan kecepatan alir serbuk dan sudut istirahat (diam)


Timbang 25-50 g sampel masukkan ke dalam corong yang lubang bawahnya
ditutup, buka tutup bawah, kemudian amati dan catat waktunya saat seluruh
sampel mengalir.
Percobaan dilakukan tanpa dan dengan menggunaan alat penggetar.
Timbunan sampel dapat digunakan untuk menghitung sudut istirahat serbuk.

51
Ukur diameter onggokan (timbunan, gunungan) serbuk dengan menentukan 4
garis diameter dan diambil harga rata-ratanya; kemudian ukur tinggi puncak
timbunan serbuk.
Sudut istirahat diperoleh dari harga :
Tinggi puncak 2 tinggi puncak
tan ϴ = atau tan ϴ =
radius lingkaran serbuk diameter lingkaran serbuk

4. Menetukan kerapatan curah (ruah, longgar, bulk) dan kerapatan mampat


Timbang 50 g sampel masukkan hati-hati ke dalam gelas ukur 100 ml. catat
volume serbuk
Kerapatan curah (bulk) adalah bobot serbuk dibagi oleh volume serbuk
Kemudian serbuk dimampatkan dengan cara mengetuk-ngetukan gelas ukur
500 kali ketukan.

Penentuan ukuran partikel :


Kalibrasi ukuran mikrometer :
Ukuran 1 kotak = perbesaran :
Ukuran (kotak) Rentang ukuran Jumlah partikel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
=

52
Penentuan kerapatan partikel :
Bobot piknometer kosong :
Bobot piknometer dengan pelarut :
Bobot sampel :
Bobot piknometer dengan pelarut dan sampel :

Kecepatan aliran dan sudut istirahat :


Bobot sampel :
Pengulangan Waktu Diameter Tinggi Tan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Rata-rata

Sudut istirahat (ϴ) :

Kerapatan curah dan mampat :


Bobot sampel :
Jumlah Ketukan Volume Kerapatan
0
50
100
125
200
250
300

Sifat aliran serbuk :


- Tentukan indeks konsolidasi Carr
- Tentukan rasio Hausner

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Sinko, P. J. (ed.). (2011). Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical


Sciences (6th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2. Attwood, D. & Florence, A. T. (2008). Physical Pharmacy – FASTtrack.
London: Pharmaceutical Press.
3. Rosen M. J. dan Kunjappu, J. T. (2012). Surfactants and Interfacial
Phenomena (4th ed). New Jersey: John Wiley & Sons.
4. Felton, Linda. (ed.). (2013). Remington: Essentials of Pharmaceutics.
London: Pharmaceutical Press.
5. Kim, C. (2004). Advanced Pharmaceutics: Physicochemical Principles.
London: CRC Press LLC.
6. Florence, A.T. & Attwood, D. (2016). Physicochemical Principles of
Pharmacy: In Manufacture, Formulation and Clinical Use (6th Ed.). London:
Pharmaceutical Press.
7. Aulton, M. E. Taylor, K. M. G. (2013). Aulton’s Pharmaceutics: The Design
and Manufacture of Medicine (4th ed.). Edinburg: Churcihill Livingstone
Elsevier.

54

Anda mungkin juga menyukai