1
FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ)
DDAAFFTTAARR IISSII
Daftar Isi i
Kata Pengantar ii
I. Kebijakan Akuntansi 1
II. Neraca 2
Kas 2
Piutang 7
Persediaan 10
Investasi 13
Aset Tetap 18
Aset Lainnya 24
Utang 26
III. Akun-akun Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan Operasional 28
Pendapatan 28
Belanja/Beban 31
Pembiayaan 48
IV. Badan Layanan Umum 48
i
FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ)
K
Kaattaa PPeennggaannttaarr
Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
merupakan salah satu tugas pokok BPK sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pemeriksaan
atas LKPD merupakan jenis pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK dengan
tujuan memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan
dalam LKPD. Sesuai dengan penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, opini
merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan
yang disajikan dalam laporan keuangan.
Untuk membantu pencapaian kualitas pemeriksaan sebagaimana dipersyaratkan
dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), disusun buku saku Frequently
Asked Questions (FAQ) sebagai pelengkap Panduan Pemeriksaan LKPD, petunjuk
pelaksanaan (Juklak), dan petunjuk teknis (Juknis) pemeriksaan yang telah ada di BPK.
Buku saku FAQ ini merupakan kumpulan dari pertanyaan dan permasalahan umum yang
sering ditemukan oleh pemeriksa dalam pemeriksaan LKPD, dilengkapi dengan solusi
atau jawaban yang dianggap paling tepat. Dengan adanya buku saku FAQ ini, para
pemeriksa diharapkan dapat memiliki persamaaan cara pandang dan persepsi terkait
permasalahan yang ditemukan dalam pemeriksaan LKPD serta dapat melaksanakan
prosedur pemeriksaan secara tepat dalam pemeriksaan LKPD dengan menggunakan
pendekatan pemeriksaan berbasis risiko (Risk Based Audit Approach) secara memadai,
yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pemeriksaan atas LKPD
ii
FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ)
KEBIJAKAN AKUNTANSI
1. Q: Dalam rangka konsolidasi laporan keuangan BLUD ke dalam LKPD, apakah kebijakan
akuntansi BLUD (misal terkait metode penyusutan, penyisihan, dan amortisasi) harus
sama dengan kebijakan akuntansi pemerintah daerah?
A: Permasalahan kesalahan akuntansi yang berdampak pada perubahan nilai akun dapat
dikoreksi segera setelah diketahui. Hal ini sesuai dengan PSAP No. 10 Paragraf 11.
Misalnya, jika dipastikan bahwa terdapat Piutang, Dana Bergulir, ataupun Aset Tetap
yang double catat, maka dapat dikoreksi tanpa ada SK penghapusan sepanjang
dilengkapi dengan bukti adanya kesalahan akuntansi tersebut.
4. Q: Apabila terdapat penambahan belanja modal jalan namun tidak untuk seluruh ruas,
untuk menghitung penyusutan, bagaimana menentukan masa manfaatnya?
A: Harus diatur dalam kebijakan akuntansi pemda tentang penambahan masa manfaat
dari hasil kapitalisasi aset, jika tidak diatur dalam kebijakan akuntansi pemda, maka
permasalahan ini akan dijadikan temuan pemeriksaan dan dinilai dampaknya ke
penyajian Laporan Keuangan.
AKUN-AKUN NERACA
KAS
5. Q: Kasus kas tekor, belum ada SKTJM atau SK Pembebanan Sementara. Bagaimana
pengaruhnya pada opini dan bagaimana perlakuan akuntansinya? Ada kendala
terutama dalam merumuskan alasan pengecualian dalam opini atas penyajian kas
tekor pada akun piutang. Secara akuntansi, kas tekor tersebut sudah tepat disajikan
pada akun Aset Lainnya - Piutang bukan pada akun Kas karena tidak terpenuhinya
asersi keberadaan dan karakteristik kas yang likuid. Oleh karena itu, perlu adanya
uraian mengenai alasan-alasan yang menjadikan hal tersebut berpengaruh terhadap
opini yang akan membantu pemeriksa dalam merumuskan opini dan menyeragamkan
pengungkapan alasan pengkualifikasian dalam opini.
Dengan demikian, jika terdapat kas tekor dan belum ada SKTJM atau SK Pembebanan
Sementara dan/atau bukti memorial yang menjelaskan adanya ketekoran kas namun
pemerintah daerah telah melakukan reklasifikasi di neraca atas kas tekor tersebut
menjadi Aset Lainnya, maka dibuat temuan pemeriksaan dan diungkapkan dalam
CaLK mengenai kondisi permasalahan kas tekor tersebut.
Untuk menilai dampak permasalahan terhadap kewajaran akun Aset Lainnya apabila
terdapat unsur fraud, dapat mengacu pda Buku Panduan Pemeriksaan LKPD Bab IX.
A: Merujuk pada Bultek Nomor 22 tentang Akuntansi Utang Berbasis Akrual, Kewajiban
pada Pihak Lain diakui apabila pada akhir tahun masih terdapat dana yang berasal
dari SPM LS kepada Bendahara Pengeluaran yang belum diserahkan kepada yang
berhak. Jika diketahui bahwa dana tersebut sudah digunakan untuk kepentingan
pribadi Bendahara Pengeluaran maka dijadikan Temuan Pemeriksaan dan penyajian
di laporan keuangan disesuaikan dengan perlakuan pada Bultek No. 20 tentang
Akuntansi Kerugian Negara/Daerah (Ref. FAQ No. 5).
7. Q: Bagaimana pengakuan dan penyajian atas sisa kas di Bendahara FKTP puskesmas?
A: Sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (4) Perpres No. 32 Tahun 2014, Rekening Dana
Kapitasi JKN pada FKTP merupakan bagian dari Rekening BUD. Untuk itu sisa Kas di
Bendahara FKTP disajikan di Neraca dan diungkapkan dalam CaLK sebagai bagian
dari Kas di Kasda. Mutasi kasnya (penerimaan dan penggunaan) disajikan dalam
Laporan Arus Kas (LAK). Untuk itu sisa Kas di Bendahara FKTP disajikan di Neraca
sebagai Kas Lainnya-Bendahara FKTP sesuai Bultek 14 Akuntansi Kas
8. Q: Bagaimana pengakuan atas pengeluaran kas yang terjadi pada periode setelah tahun
berjalan, tetapi membebani belanja tahun berjalan (SP2D cair setelah tahun
anggaran)? Catatan: belanja tahun berjalan tersedia anggarannya.
9. Q: Apakah sikap BPK Rl atas rekening pemerintah daerah yang tidak diketahui oleh
Pemda/tidak diungkapkan dalam CaLK namun dinyatakan bank sebagai rekening
Pemda? Apakah hal tersebut mempengaruhi opini?
10. Q: Perlakuan akuntansi terhadap kas bendahara yang dititipkan pada bank bukan
sebagai rekening. Beberapa kondisi lapangan dan kondisi geografis daerah
Bendahara pengeluaran menarik tunai rekening dinas dalam jumlah besar dan untuk
keamanan uang kas bendahara pengeluaran menitipkannya di bank. Bank mencatat
bukan sebagai rekening giro/tabungan tetapi sebagai kewajiban segera. Bagaimana
perlakuan untuk kas di bendahara tersebut?
11. Q: Bagaimana perlakuan akuntansi untuk investasi Pemda dalam bentuk deposito
berjangka waktu tiga bulan?
A: Berdasarkan PSAP No. 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan, Setara Kas adalah
investasi jangka pendek yang sangat likuid yang siap dijabarkan menjadi kas serta
bebas dari resiko perubahan nilai yang signifikan. Mutasi antar pos-pos Kas dan
Setara Kas tidak diinformasikan dalam laporan keuangan karena kegiatan tersebut
merupakan bagian dari manajemen kas dan bukan merupakan bagian aktivitas
operasi, investasi aset non keuangan, pembiayaan dan non anggaran. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka pengalihan kas menjadi deposito dengan jangka waktu s.d.
tiga bulan tidak memerlukan SP2D dan masih dianggap sebagai kas dan setara kas.
Tata cara penempatan dalam bentuk deposito tersebut mengacu pada peraturan
kepala daerah.
12. Q: Hasil pemeriksaan APIP ataupun BPK menunjukkan adanya kerugian daerah yang
belum didukung dokumen SKTJM dan SK Pembebanan. Hal-hal yang timbul
sehubungan dengan kasus tersebut antara lain:
a. SKTJM dan SK Pembebanan tidak ada sama sekali.
b. SKTJM dan/atau SK Pembebanan telah dilengkapi namun yang bersangkutan tidak
sanggup mengembalikan.
c. SKTJM dan/atau SK Pembebanan telah dilengkapi namun yang bersangkutan telah
meninggal dan ahli waris tidak sanggup mengembalikan.
d. SKTJM dan/atau SK Pembebanan telah dilengkapi namun telah kedaluwarsa.
A: Penyelesaian atas TP/TGR ini dapat dilakukan dengan cara damai (di luar pengadilan)
atau melalui pengadilan. Apabila penyelesaian tagihan ini dilakukan dengan cara
damai, maka setelah proses selesai dan telah ada Surat Keterangan Tanggung Jawab
Mutlak (SKTJM) dari pihak yang bersangkutan, diakui sebagai Piutang Tuntutan Ganti
Rugi/Tuntutan Perbendaharaan dan disajikan di kelompok Aset Lainnya di neraca
untuk jumlah yang akan diterima lebih dari 12 bulan mendatang dan disajikan sebagai
Piutang kelompok aset lancar untuk jumlah yang akan diterima dalam waktu 12 bulan
mendatang. Pengakuan atas Piutang TP/TGR diakui pada neraca saat terbit SKTJM
atau Surat Keputusan pejabat berwenang dan Surat Penagihan. Dalam hal terdapat
barang/uang yang disita oleh Negara/daerah sebagai jaminan maka hal ini wajib
diungkapkan dalam CaLK.
a. Jika Kerugian Daerah belum didukung SKTJM, SK Pembebanan, SKP2KS (Surat
Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Sementara) atau SKP2K (Surat
A:
a. Jika pembayaran dilakukan pada tahun 201x, maka dilakukan koreksi pada
Beban LO tahun 201x dan dampak kumulatif karena kesalahan pengakuan
dalam LPE tahun 201x
b. Transaksi dicatat dengan pengakuan beban dan utang
14. Q: Dalam laporan arus kas terdapat aktivitas transitoris. Pada Lampiran 1 PSAP 03
aktivitas transitoris terdiri atas PFK dan transitoris. Kegiatan transitoris seperti
penjelasan dalam paragraf 37 dan 38 salah satunya adalah pengeluaran atau
penerimaan kas bendahara pengeluaran atau kiriman uang. Kebanyakan entitas
mengikuti format LAK sesuai contoh yang ada di SAP, meskipun sudah ditegaskan
bahwa hal itu merupakan contoh. Antara penjelasan paragraf dan contoh format LAK
tidak selaras, jika paragraf 37 dan 38 dimasukan ke LAK maka saldo kas hanya utk
kas di kasda saja, tidak lagi merupakan persamaan matematis antara saldo kas = Kas
di Kasda + Kas di Bendahara Pengeluaran. Mohon masukannya apakah pemeriksa
mengikuti penjelasan paragraf sap atau contoh format di SAP
A: Jika mendasarkan pada SAP, yang wajib menyusun LAK adalah entitas pelaporan
yang mempunyai fungsi perbendaharaan umum dhi. BUD/Kuasa BUD. Oleh karena itu
yang seharusnya dilaporkan dalam LAK adalah seluruh transaksi penerimaan kas dan
pengeluaran kas ke/dari Kas Daerah yang dilakukan oleh BUD, didalamnya termasuk
transaksi transitoris berupa PFK & kiriman uang yang terjadi di BUD, bukan yg terjadi
di Bendahara Pengeluaran OPD. Jika terdapat sisa PFK yang telah dipungut
bendahara pengeluaran OPD namun s.d 31 Des belum disetorkan ke Kas
Negara/Pihak Ketiga maka disajikan sebagai akun Kas Lainnya di Bendahara
Pengeluaran pada Utang PFK/Pihak Ketiga. Beberapa LAK Pemda menyajikan jumlah
penerimaan dan penyetoran PFK yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran OPD,
karena mengikuti aplikasi SIMDA Keuangan dimana seluruh transaksi PFK di
bendahara pengeluaran dicatat sebagai bagian dari aliran kas transitoris. Saldo
tersebut dianggap sebagai bagian dari Kas di Bendahara Pengeluaran dan tidak ada
akun Kas Lainnya di Bendahara Pengeluaran. perlakuannya sebagai kas keluar di BUD
sehingga penyeimbangnya adalah kas di bendahara pengeluaran.
15. Q: Mohon masukannya, jika ada penerimaan di bendahara penerimaan sesuai kebijakan
itu juga sudah diakui sebagai penerimaan LRA, untuk penyajian di LAK apakah kita
kurangi penerimaannya diaktivitas operasi karena fungsi LAK dilakukan oleh fungsi
perbendaharaan. Karena uang tersebut belum masuk ke kasda.
A: Sesuai IPSAP 02, Kas di Bendahara Penerimaan yang belum disetor ke Kas Daerah
diakui sebagai realisasi pendapatan di LRA. Namun karena posisi kas masing berada
dalam pengelolaan Bendahara Penerimaan, maka atas transaksi ini dijembatani
melalui arus kas transitoris.
16. Q: Sesuai SAP, PPKD selaku entitas pelaporan yang melaksanakan fungsi
perbendaharaan umum wajib menyusun LAK. Demikian pula BLUD sebagai entitas
pelaporan diwajibkan menyusun LAK yang nantinya dikonsolidasikan dengan LAK
BUD menjadi LAK Pemda. Bagaimana halnya dengan Bendahara FKTP apakah
transaksinya juga perlu diakomodir/dikonsolidai dalam LAK BUD dan bagaimana
mekanisme konsolidasiannya? Hal tersebut mendasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (4)
Perpres No. 32 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi
JKN pada FKTP yang menyatakan Rekening Dana Kapitasi JKN pada FKTP
merupakan bagian dari rekening BUD, dan Pasal 1 angka 15 yang menyatakan
Bendahara Dana Kapitasi JKN pada FKTP adalah PNS yang ditunjuk untuk
menjalankan fungsi menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan dan
mempertanggungjawabkan dana kapitasi. (fungsi perbendaharaan).
A: Transaksi yang dilakukan oleh FKTP dikonsolidasi ke LKPD melalui mekanisme SP3B
yang disahkan oleh BUD. Dengan adanya pengesahan tersebut maka BUD mengakui
17. Q: Apabila BKU Bendahara Pengeluaran per 31 Desember 20xx menunjukkan sisa nihil,
tetapi setelah tanggal tersebut terdapat penyetoran PPh dan PPN atas pekerjaan-
pekerjaan terkait di SKPD pada tahun yang diperiksa (karena yang melakukan
penyetoran adalah PPTK), apakah harus dianggap sebagai Kas di Bendahara
Pengeluaran?
PIUTANG
18. Q: Apabila terdapat bukti yang memadai bahwa kondisi seorang debitur dinyatakan
pailit/bangkrut/tidak dapat membayar hutangnya kepada pemda, apakah dapat
dilakukan pengakuan penyisihan piutang secara langsung sebesar 100%?
A: Jika terdapat bukti yang memadai bahwa kondisi seorang debitur dinyatakan
pailit/bangkrut/tidak dapat membayar hutangnya kepada pemda, dalam hal ini harus
didukung dengan dokumen yang menyatakan hal itu, misalnya untuk pailit harus
didukung dengan surat keputusan pengadilan, maka dapat dilakukan pengakuan
penyisihan piutang secara langsung sebesar 100%, tidak perlu ditunda/menunggu
jangka waktu tertentu supaya diakui penyisihan piutang sebesar 100%. Hal ini
didasarkan pada prinsip conservatism. Hal tersebut dijelaskan dalam Permendagri
Nomor 73 Tahun 2015, piutang kategori macet (100% penyisihan) diantaranya wajib
pajak bangkrut/meninggal dunia/mengalami musibah/tidak diketahui keberadaannya.
Jika Pemda belum mengatur secara khusus mengenai hal ini dalam kebijakan
akuntansinya, buat temuan pemeriksaan dan rekomendasikan untuk menambahkan
pengaturan hal ini dalam kebijakan akuntansinya.
19. Q: Bagaimana perlakuan atas penemuan piutang yang belum tercatat pada tahun
berjalan, yang pada dasarnya merupakan piutang pada periode tahun-tahun
sebelumnya?
A: Piutang tersebut harus dikoreksi/diakui pada tahun berjalan dengan menambah nilai
ekuitas (disajikan sebagai Dampak perubahan kebijakan akuntansi/kesalahan
mendasar) di LPE sebesar nilai bersih Piutang posisi awal tahun berjalan, Dengan
pertimbangan Piutang tersebut seharusnya telah mulai disisihkan sejak tahun
perolehannya. Sementara itu, beban penyisihan tahun berjalan atas Piutang tersebut
dilaporkan dalam periode tahun berjalan dalam Laporan Operasional.
Referensi: PSAP 10 Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan
Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang Tidak Dilanjutkan.
20. Q: Bagaimana pengakuan piutang dan pendapatan LO atas denda keterlambatan dan
sanksi jaminan pelaksanaan atas pemutusan kontrak? Untuk piutang apakah dicatat
saat timbul atau saat ditagih? Sedangkan untuk pendapatan LO apakah dicatat saat
timbul, saat ditagih atau saat diterima pembayaran.
A: Denda keterlambatan dan sanksi jaminan pelaksanaan atas pemutusan kontrak diakui
pendapatannya pada saat diterimanya kas.
21. Q: Pemerintah provinsi menetapkan alokasi bagi hasil pajak (PBBKB, PKB & BBNKB,
Pajak PABT-AP) untuk periode tiga bulanan (triwulan) dengan Ketetapan dari Provinsi.
Ketetapan dari Provinsi tentang penetapan alokasi bagi hasil pajak-pajak tersebut
untuk triwulan IV/20XX (periode Oktober-Desember 20XX) terbit pada awal tahun
20XX+1. Apakah dengan terbitnya Ketetapan dari Provinsi tersebut dapat
dikategorikan subsequent event dan perlukah dilakukan penyesuaian saldo hutang
bagi hasil pada neraca provinsi dan piutang bagi hasil pada neraca kabupaten/kota?
22. Q: Jika diketahui bahwa nilai pajak terutang tidak ditetapkan berdasarkan mekanisme
atau prosedur sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bagaimana pengaruhnya pada
opini?
A: Dalam kondisi tersebut, auditor harus melakukan prosedur alternatif untuk dapat
mengetahui berapa nilai piutang pajak yang seharusnya (menurut mekanisme atau
prosedur yang berlaku). Jika berdasarkan prosedur alternatif tersebut:
a. Auditor dapat mengetahui nilai piutang pajak yang seharusnya, maka auditor segera
mengkomunikasikan kepada auditee untuk menetapkan pajak yang kurang
ditetapkan. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, jika auditee telah menetapkan
kekurangan pajak tersebut, maka auditor mengusulkan koreksi, namun jika auditee
tidak menetapkan kekurangan pajak, maka auditor membuat temuan pemeriksaan.
b. Jika prosedur alternatif tersebut tidak dapat dilakukan maka hal ini merupakan
pembatasan lingkup. Jika berdampak material, dapat mempengaruhi opini (lihat
Buku Panduan Pemeriksaan Berbasis Akrual Lampiran IX.2).
Referensi: Bultek No 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis Akrual.
23. Q: Berdasarkan SAP, Piutang Pajak diakui pada saat ditetapkan SKPD. Pada mekanisme
pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Pemerintah Provinsi menerapkan
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor yaitu pasal 15 ayat (1)
Pelayanan penerbitan SKKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b
dilakukan setelah tahapan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dan
pasal 15 ayat (5) SKKP yang terkait dengan PKB dan BBN-KB berfungsi sebagai Surat
Ketetapan Pajak Daerah Surat Ketetapan Kewajiban Pembayaran, sehingga
Pemerintah Provinsi tidak menerbitkan SKPD pada saat PKB jatuh tempo. Bagaimana
pengakuan dan pencatatan PKB? Apakah Pemda diperkenankan tidak menyajikan
piutang PKB yang telah jatuh tempo tetapi belum dibayar karena mekanisme
pembayaran dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2015 mengatur demikian?
A: Sesuai dengan Buletin Teknis SAP 16, Piutang PKB diakui pada saat ditetapkan yakni
pada saat SKPD diterbitkan. Dengan demikian, pada saat posisi per 31 Desember,
piutang diakui sebesar PKB yang sudah terbit SKPD-nya, namun sampai dengan 31
Desember belum dilunasi. Jika Pemerintah Provinsi memiliki data PKB yang sudah
jatuh tempo, namun belum diterbitkan SKPD sampai dengan posisi per 31 Desember,
maka nilai yang sudah jatuh tempo tersebut diungkapkan (disclose) dalam CaLK.
24. Q: Apakah proses penghapusan Piutang Pajak dan Retribusi harus melalui KPKNL atau
cukup melalui prosedur sesuai kebijakan yang diatur di dalam Perda?
PERSEDIAAN
26. Q: Pada saat melakukan pengujian atas akun Persediaan diketahui bahwa penyajian
Persediaan oleh SKPD "A" disajikan dengan nilai Rp0,00. Berdasarkan hasil pengujian
yang dilakukan oleh Tim diketahui bahwa terdapat saldo Persediaan yang belum
dicatat per 31 Desember Tahun Pelaporan. Pengujian tersebut dilakukan secara
sampling dan bukan populasi. Apakah nilai Persediaan pada SKPD A yang diyakini
oleh Tim tersebut dapat mengkoreksi nilai akun Persediaan yang disajikan oleh
Pemerintah Daerah karena atas SKPD yang tidak disampling tidak diyakini oleh Tim
kewajaran penyajiannya? Demikian pula halnya dengan Aset Tetap. (PSAP No. 5
Akuntansi Persediaan).
27. Q: Apakah stock opname juga harus dilakukan terhadap persediaan yang ada di unit
pengguna (seksi-seksi/operator) yang masih ada per tanggal neraca, atau hanya pada
gudang persediaan saja?
28. Q: Apabila terdapat penggunaan atas persediaan yang berasal dari Belanja Barang/Jasa
yang akan diserahkan kepada masyarakat, apakah disajikan sebagai Beban
Persediaan ataukah Beban Bantuan Sosial dan Beban Hibah?
A: Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 jo. Permendagri Nomor 14 Tahun 2016 mengatur
bahwa hibah/bansos berupa barang yang akan diserahkan kepada masyarakat
dianggarkan dalam Belanja Barang/Jasa yang Diserahkan kepada Masyarakat.
Barang tersebut dicatat dalam akun Persediaan apabila belum diserahkan.
Sesuai dengan Paragraf 22 PSAP 05 Akuntansi Persediaan, dinyatakan bahwa Beban
Persediaan dicatat sebesar pemakaian persediaan (use of goods). Dengan demikian,
apabila persediaan tersebut digunakan bukan untuk diserahkan kepada masyarakat
maka penggunaan tersebut disajikan sebagai Beban Persediaan. Apabila persediaan
tersebut diserahkan kepada masyarakat, baik pada tahun berjalan maupun setelah
lewat tahun anggaran, maka penyerahan tersebut disajikan sebagai Beban Hibah atau
Beban Bantuan Sosial.
Permasalahan atas penggunaan persediaan bukan untuk diserahkan kepada
masyarakat diungkapkan dalam Temuan Pemeriksaan.
29. Q: Bagaimana perlakuan atas penemuan Persediaan yang belum tercatat pada tahun
berjalan, yang pada dasarnya merupakan Persediaan pada periode tahun-tahun
sebelumnya?
31. Q: Bagaimana jika Pemda menetapkan kebijakan akuntansi persediaan dengan harga
pembelian terakhir untuk semua jenis persediaan.
A: Metode penilaian persediaan untuk pemda harus disesuaikan dengan SAP dan
Permendagri No. 64 Tahun 2013, yaitu metode penilaian harga terakhir hanya
digunakan untuk persediaan yang tidak material dan banyak itemnya, sedangkan
persediaan yang lain menggunakan FIFO atau rata-rata tertimbang. Jika pemda
menggunakan metode persediaan harga terakhir untuk semua jenis persediaan maka
dijadikan temuan pemeriksaan terkait kesesuaian kebijakan akuntansi dengan SAP.
Selain itu, estimasi dampaknya terhadap penyajian dalam Laporan keuangan.
32. Q: Apakah persediaan yang berasal dari APBN (Bantuan dari Pusat) perlu disajikan
dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah atau cukup diungkap dalam Catatan
A: Persediaan disajikan sesuai dengan BAST namun apabila tidak diketahui nilai pastinya
maka dapat diungkap dalam CaLK.
33. Q: Bagaimana perlakuan atas penerapan akuntansi yang tidak sesuai dengan kebijakan
akuntansi Pemda, namun tidak menyimpang dari SAP?
Kasus: Kebijakan akuntansi mensyaratkan:
a. pencatatan persediaan secara perpetual, namun prakteknya pencatatan
persediaan dilakukan secara periodik;
b. penilaian persediaan menggunakan metode FIFO, namun prakteknya persediaan
akhir dinilai dengan menggunakan harga pembelian terakhir.
34. Q: Dalam PP 71 Tahun 2010 PSAP 12. Persediaan dalam kondisi rusak atau usang tidak
dilaporkan dalam neraca, tetapi diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Bagaimana jurnal untuk mengeluarkan persediaan tersebut dari neraca, pada saat:
a. Diketahui kondisi barang rusak atau usang
b. Barang rusak atau usang dihapuskan berdasarkan SK Penghapusan.
Paragraf dalam standar tersebut menimbulkan perbedaan persepsi di Pemda. Salah
satu Pemda mengeluarkan persediaan rusak/kedaluwarsa dari Neraca dengan jurnal:
Dr Ekuitas (Akun Neraca) dan Cr Persediaan (Akun Neraca). Sedangkan Pemda lain
menjurnal dengan Dr Beban Persediaan (Akun LO) dan Cr Persediaan (Akun Neraca).
A: Persediaan yang sudah rusak dan usang semestinya dikeluarkan dari neraca dengan
kredit akun persediaan dan menjadi beban dan kerugian operasional pada Laporan
Operasional dengan debet pada akun Surplus/Defisit dari Kegiatan Non Operasional
Lainnya. Pemilihan akun Surplus/Defisit dari Kegiatan Non Operasional Lainnya
(bukan akun beban persediaan) karena hapusnya persediaan dari neraca bukan
kegiatan normal. Dalam PSAP No. 5 dinyatakan bahwa Beban persediaan dicatat
sebesar pemakaian persediaan (use of goods) yang dapat ditafsirkan pemakaian
normal persediaan.
35. Q: Nilai persediaan bahan makanan pokok (Beras) per 31 Desember 201x yang
dilaporkan Dinas Pangan yang berasal dari pengadaan tahun-tahun sebelumnya dan
dicatat menggunakan nilai perolehan pada saat pengadaan di tahun-tahun yang
bersangkutan.
Hasil pemeriksaan fisik atas persediaan menunjukkan bahwa Dinas Pangan tidak
memiliki gudang penyimpanan beras sehingga pengelolaan persediaan bahan
makanan pokok diserahkan ke pihak rekanan (Toko). Persediaan beras tersebut
diperjualbelikan oleh pihak rekanan dengan perjanjian bahwa apabila Dinas Pangan
memerlukan beras tersebut, pihak rekanan bersedia menyerahkan sejumlah beras
sesuai dalam perjanjian tersebut.
Bagaimana perlakuan dan pencatatan persediaan yang seharusnya terhadap
persediaan beras tersebut?
A: Persediaan ini untuk tujuan cadangan beras di daerah sebagai antisipasi terjadinya
bencana/ kelangkaan/gagal panen dll. Dalam hal ini, pihak rekanan terikat perjanjian
untuk bisa menyediakan kebutuhan beras setiap saat apabila Pemda
membutuhkannya. Dengan demikian penilaian atas persediaan tersebut berdasarkan
harga perolehan dan disesuaikan dengan metode penilaian persediaan yang diatur
dalam kebijakan akuntansi Pemda bersangkutan. Kondisi tersebut perlu diungkapkan
secara memadai di Catatan atas LK.
INVESTASI
36. Q: Kapan perda penyertaan modal, yang memuat jumlah penyertaan modal TA
berkenaan, ditetapkan sebelum atau setelah Perda APBD dan bagaimanakah untuk
initial investment dan penambahan/disposal?
A: Investasi jangka panjang pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah yang
akan disertakan dalam tahun anggaran berjalan telah ditetapkan dalam Perda tentang
penyertaan modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian, Perda penyertaan modal seharusnya lebih dulu dari
pada Perda APBD.
Sesuai dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah Pasal 71, dalam hal ada penambahan atau pengurangan
penyertaan modal, namun telah ada Perda penyertaan modal yang pertama maka
untuk penambahan dan pengurangan penyertaan modal cukup dilandasi oleh Perda
APBD. Dengan catatan akumulasi nilai penyertaan tidak melebihi modal yang
ditetapkan dalam Perda Penyertaan Modal Daerah.
37. Q: Apabila terdapat bukti yang memadai bahwa penanggung dana bergulir dinyatakan
pailit/bangkrut/tidak dapat membayar hutangnya kepada pemda, apakah dapat
dilakukan pengakuan penyisihan dana bergulir secara langsung sebesar 100%?
A: Sesuai dengan Permendagri 73 Tahun 2015, jika terdapat bukti yang memadai bahwa
kondisi penanggung dana bergulir dinyatakan pailit/bangkrut/tidak dapat membayar
hutangnya kepada pemda, dalam hal ini harus didukung dengan dokumen yang
menyatakan hal itu, misalnya untuk pailit harus didukung dengan surat keputusan
pengadilan, maka dapat dilakukan pengakuan penyisihan dana bergulir secara
langsung sebesar 100%, tidak perlu ditunda/menunggu jangka waktu tertentu supaya
diakui penyisihan dana bergulir sebesar 100%. Hal ini didasarkan pada prinsip
conservatism. Jika Pemda belum mengatur secara khusus mengenai hal ini dalam
kebijakan akuntansinya, buat temuan pemeriksaan dan rekomendasi untuk
menambahkan hal ini dalam kebijakan akuntansinya.
38. Q: Bagaimana perlakuan atas penemuan Dana Bergulir yang belum tercatat pada tahun
berjalan, yang pada dasarnya merupakan Dana Bergulir pada periode tahun-tahun
sebelumnya?
A: Dana Bergulir tersebut harus dikoreksi/diakui pada tahun berjalan dengan menambah
nilai ekuitas (disajikan sebagai Dampak perubahan kebijakan akuntansi/kesalahan
mendasar) di LPE sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan (NRV) Dana Bergulir
posisi awal tahun berjalan, dengan pertimbangan Dana Bergulir tersebut seharusnya
telah mulai disisihkan sejak tahun perolehannya. Sementara itu, beban penyisihan
tahun berjalan atas Dana Bergulir tersebut dilaporkan dalam periode tahun berjalan
dalam Laporan Operasional.
Referensi: PSAP 10 Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan
Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang Tidak Dilanjutkan
39. Q: Pada beberapa pemda terdapat investasi nonpermanen berupa dana bergulir. Sesuai
SAP dan Bultek SAP 07, atas saldo tersebut diukur dengan metode NRV. Untuk yang
telah dikelola sejak dulu dan dalam posisi macef, apakah seluruh dana bergulir yang
sudah pasif atau tidak terdapat pembayaran angsuran akan dibebankan di laporan
operasional. Jika demikian, di akun mana dapat dilakukan pembebanannya?
Kemudian jika pengelolaan dana bergulir dilakukan di satker biasa, apakah saldonya
direklasifikasi ke piutang sesuai dengan Bultek SAP 07?
40. Q: Bagaimana penerapan prinsip penyajian Dana Bergulir yang disebutkan dalam Bultek
Dana Bergulir yang harus disajikan secara Net Realizable Value, sementara Pemda
masih menyajikan secara at cost (sesuai guliran awal)? (Bultek SAP No.7 tentang
Dana Bergulir Bab V Penyajian dan Pengungkapan Dana Bergulir)
A: Pemeriksa harus melakukan prosedur audit untuk menyakini Dana Bergulir yang
disajikan Pemda telah sesuai dengan pengertian dana bergulir menurut Bultek No. 07
tentang Akuntansi Dana Bergulir (bukan Piutang ataupun Bansos dll). Jika Pemda
telah memiliki kebijakan akuntansi dalam hal NRV Dana Bergulir, dan data untuk
menerapkan kebijakan akuntansi tersebut tersedia, maka auditor dapat mengusulkan
perhitungan NRV berdasarkan data yang tersedia untuk kemudian diusulkan koreksi.
Namun, jika kebijakan akuntansi dan/atau data tidak tersedia secara memadai, maka
dibuat temuan pemeriksaan. Untuk tata cara penyisihan dana bergulir, dapat mengacu
pada Permendagri No. 73 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyisihan Piutang dan
Penyisihan Dana Bergulir pada Pemerintah Daerah, namun untuk penyajian
Penyisihan Dana Bergulir di neraca agar mengacu pada SAP dan Bultek No. 07
tentang Akuntansi Dana Bergulir.
41. Q: Kapan pengakuan pendapatan LO atas penyertaan modal pemerintah daerah pada
BUMD/perusahaan daerah?
42. Q: Bagaimana perlakuan pencatatan saldo penyertaan modal (100% atau lebih dari 20%)
pada BUMD yang tidak membuat laporan keuangan sama sekali, tidak beroperasi lagi,
atau tidak jelas lagi operasionalnya? Apabila BUMD sudah tidak beroperasi lagi dan
penyertaan modal Pemda telah dikembalikan ke Kas daerah, tetapi belum terdapat
Perda pembubaran BUMD tersebut. Apakah BUMD tersebut masih harus diungkapkan
dalam CaLK?
A: Untuk penyertaan modal yang telah memenuhi kondisi pencatatan dengan metode
ekuitas, diungkap dalam temuan pemeriksaan. Dengan catatan, pemeriksa telah
melakukan prosedur alternatif untuk meyakini bahwa BUMD tersebut masih beroperasi
namun tidak membuat laporan keuangan. Tim pemeriksa agar mengestimasi dampak
terhadap opini.
Apabila BUMD sudah tidak beroperasi lagi dan penyertaan modal Pemda telah
dikembalikan ke Kas daerah, tetapi belum terdapat pembubaran BUMD tersebut maka
dijadikan temuan pemeriksaan mengenai proses divestasi yang belum selesai dengan
usulan rekomendasi berupa penerbitan perda atau pelaksanaan prosedur divestasi
sebagaimana diatur dalam Perda pendirian dan ketentuan yang berlaku dan perlu
diungkap dalam CaLK.
43. Q: Apakah modal pemerintah pusat yang belum ditetapkan statusnya dalam komposisi
ekuitas PDAM dapat dicatat sebagai nilai penyertaan modal (metode ekuitas) Pemda
mengingat berdasarkan Perda ditetapkan bahwa PDAM milik Pemda (100%)?
44. Q: Bantuan operasional pemerintah daerah kepada BUMD yang merugi karena harga jual
produknya diatur melalui regulasi pemerintah (PDAM). Oleh pemerintah daerah
diperlakukan sebagai tambahan nilai penyertaan. Bagaimana sikap BPK RI?
A: Apabila penambahan dalam nilai penyertaan modal tersebut ditetapkan dalam Perda
sebagai penambahan penyertaan modal maka harus dicatat sebagai penyertaan
modal dan ekuitas.
45. Q: Apakah harus dilakukan restatement atas Laporan Keuangan tahun lalu yang masih
menggunakan metode biaya dalam pencatatan penyertaan modal pada PDAM yang
dimiliki oleh Pemda 100% mengingat bahwa Laporan Keuangan harus memenuhi
prinsip dapat diperbandingkan (comparability)?
A: Tidak perlu restatement atas LK tahun lalu, cukup pengungkapan secara memadai
terkait perubahan metode pencatatan nilai penyertaan modal Pemda pada PDAM
secara komparatif tahun berjalan dan tahun sebelumnya serta dampaknya.
46. Q: Apabila suatu pemda mengalihkan piutang kepada BUMD menjadi investasi
permanen-penyertaan modal tanpa didukung perda maupun persetujuan dari DPRD,
namun baik pemda maupun BUMD telah mencatat dan mengakui penyertaan modal
tersebut dalam masing-masing laporan keuangannya, lalu bagaimanakah
perlakuannya, apakah menjadi catatan pemeriksaan dan apakah mempengaruhi
kewajaran laporan keuangan?
A: Dalam menentukan apakah suatu pengeluaran kas dan/atau aset, penerimaan hibah
dalam bentuk investasi dan perubahan piutang menjadi investasi memenuhi kriteria
pengakuan investasi, entitas perlu mengkaji tingkat kepastian mengalirnya manfaat
ekonomi dan manfaat sosial atau jasa potensial di masa yang akan datang
berdasarkan bukti-bukti yang tersedia pada saat pengakuan yang pertama kali.
Penambahan dan pengurangan penyertaan modal harus mendapatkan persetujuan
DPRD atau Perda tersendiri.
Jika akumulasi nilai penyertaan telah melebihi nilai penyertaan modal yang ditetapkan
dalam Perda Penyertaan Modal Daerah, maka buat temuan kepatuhan.
47. Q: Bagaimana sikap BPK RI atas BUMD yang rugi namun tetap harus menyetor dividen
kepada Pemda?
A: Atas penerimaan tersebut, perlu diungkap dalam CALK bahwa BUMD memberikan
dividen meskipun dalam kondisi rugi. Pemeriksa agar mengkaji ketentuan dalam Perda
pembentukan BUMD bersangkutan yang mengatur tentang pembagian dividen BUMD.
Jika kondisi tersebut bertentangan dengan Perda tersebut maka dibuat temuan
pemeriksaan dengan rekomendasi untuk menghentikan dividen ke Pemerintah Daerah
jika dalam kondisi rugi. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Umum
Good Corporate Governance Indonesia Tahun 2006 pada Bab IV yang menyatakan
bahwa dalam mengambil keputusan pemberian bonus, tantiem dan dividen harus
memperhatikan kondisi kesehatan keuangan perusahaan.
48. Q: Bagaimana jika dalam waktu pemeriksaan terinci berjalan LK BUMD masih belum
selesai diaudit oleh KAP? Sedangkan saat penyerahan LKPD unaudited disyaratkan
LK BUMD yang telah diaudit oleh KAP?
A: Terkait LK BUMD audited yang sampai dengan pemeriksaan berakhir tidak diperoleh
oleh Tim Pemeriksa, maka atas hal tersebut agar diungkapkan dalam CaLK bahwa
penyajian nilai penyertaan modal pemda berdasarkan LK BUMD unaudited,
selanjutnya Tim Pemeriksa agar melakukan prosedur alternatif yang memadai untuk
meyakini kewajaran nilai Investasi Permanen dan menilai dampaknya dengan
mengacu pada Panduan Pemeriksaan LKPD Bab IX Lampiran IX.2 no 16.
49. Q: Bagaimanakah perlakuan akuntansi terhadap penyertaan modal berupa BMD yang
hingga tanggal pelaporan belum didukung dengan bukti penyertaan, namun secara
fisik telah dioperasionalkan oleh BUMD? Bagaimana bila BUMD telah mengakui
penambahan penyertaan berupa aset tetap dengan nilai yang berbeda? Untuk
penyertaan berupa aset tetap yang belum ditentukan statusnya, apakah akan dinilai
sesuai dengan nilai/harga perolehan ataukah nilai buku?
A: Sesuai Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik
Daerah, pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal berupa BMD yang
ditetapkan dalam perda dan diserahterimakan kepada penerima penyertaan modal
dengan BAST. BMD yang menjadi objek penyertaan modal dinilai oleh penilai atau tim
yang ditetapkan kepala daerah yang selanjutnya digunakan sebagai nilai penyertaan
modal.
Bultek 15 Bab XI, Huruf 11.2 Pelepasan Aset Tetap menyatakan bahwa Aset Tetap
yang dipindahtangankan melalui mekanisme penyertaan modal negara/daerah
dikeluarkan dari neraca pada saat diterbitkan penetapan penyertaan modal
negara/daerah. Dengan demikian, BMD yang menjadi objek penyertaan modal namun
belum ada ketetapan perda dan BAST tetap dicatat dalam akun Aset Tetap dan
diungkap secara memadai dalam CaLK
ASET TETAP
50. Q: Bagaimana penyajian dalam Neraca dan pengaruhnya terhadap pemberian opini atas
Aset yang mempunyai nilai Rp1,00? Bagaimana perlakuan penyusutan atas aset tetap
yang tahun perolehannya belum jelas?
51. Q: Apabila terdapat SK Kepala Daerah tentang penghapusan Aset Tetap, apakah sudah
memadai untuk dijadikan dasar jurnal write off (penghapusan) dari neraca?
A: Ya, SK tersebut telah memadai. Penghapusan aset tetap mengacu pada PP No. 27
Tahun 2014 dan Permendagri No. 19 Tahun 2016. Pemeriksa dianjurkan untuk
menguji secara sampel apakah aset tetap tersebut telah layak dihapuskan.
52. Q: Penilaian kembali atas Aset Tetap yang diperoleh setelah Neraca Awal. (PSAP No.7
Akuntansi Aset Tetap par. 24 dan 27). Contoh: Pemda telah memiliki Neraca Awal
pada tahun 2005. Pada tahun 2010 Pemda tersebut melaksanakan penilaian ulang
atas seluruh Aset Tetap yang ada, termasuk Aset Tetap yang diperoleh setelah Neraca
Awal yang seharusnya menggunakan biaya perolehan. Bagaimana menyikapi hal
tersebut?
A: Sesuai Paragraf 59 PSAP 07, penilaian kembali atau revaluasi aset tetap pada
umumnya tidak diperkenankan karena SAP menganut penilaian aset berdasarkan
biaya perolehan atau harga pertukaran. Penyimpanan dari ketenutan ini mungkin
dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah yang berlaku secara Nasional. Namun
demikian sesuai Paragraf 24 PSAP 07, bila aset tetap diperoleh tanpa nilai, biaya aset
tersebut adalah sebesar nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh.
53. Q: Bagaimana status tanah yang dulunya tanah desa kemudian digunakan untuk sekolah
dan puskesmas (sudah berlangsung puluhan tahun)? Apakah aset tersebut
dikeluarkan dari daftar aset Pemda atau masih dicatat sebagai aset Pemda? (Bultek
No.9 Bab II Akuntansi Tanah, Huruf B Pengakuan Tanah Nomor 1).
A: Dalam hal tanah belum didukung bukti kepemilikan yang sah, namun telah dikuasai
dan/atau digunakan oleh pemerintah, maka tanah tersebut tetap harus dicatat dan
disajikan sebagai Aset Tetap Tanah pada neraca pemerintah, serta diungkapkan
secara memadai dalam CaLK. Dengan demikian, harus diteliti bukti-bukti
kepemilikannya. Jika bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa tanah tersebut hanya
dipinjampakaikan maka tanah tersebut dikoreksi dari neraca dan diungkap pada CaLK.
Namun jika tidak ditemukan bukti yang jelas ataupun bukti kepemilikan yang sah maka
atas Aset Tetap Tanah tersebut tetap disajikan pada neraca Pemda serta diungkapkan
secara memadai dalam CaLK.
54. Q: Apakah Pemda dapat mengakui dan mencatat jalan desa/jalan lingkungan yang
dibangun menggunakan belanja modal sebagai aset di neraca?
A: Sesuai dengan Paragraf 11 PSAP 07, Jalan, irigasi, dan jaringan mencakup jalan,
irigasi, dan jaringan yang dibangun oleh pemerintah serta dimiliki dan/atau dikuasai oleh
pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Dengan demikian jalan desa yang dibiayai
dari belanja modal dicatat sebagai aset tetap jalan pemda dan diungkap dalam CALK
bahwa jalan tersebut dibangun di atas tanah milik desa.
lantai dan sudah dapat digunakan untuk operasional rumah sakit dan telah dibayarkan
pada tahun 20xx.
Pertanyaan:
a. Bagaimana perlakuan akuntansi untuk gedung 2 lantai tersebut pada tahun 20xx?
b. Berapa nilai yang harus diakui pada tahun 20xx?
56. Q: Untuk rumah jabatan yang berstatus barang milik daerah, sesuai PP Nomor 27 Tahun
2014 maka pengaturannya diserahkan kepada Kepala Daerah selaku pemegang
kekuasaan pengelolaan barang milik daerah dan Sekda selaku Pengelola Barang.
Untuk itu, jika ada pertentangan antara Perda tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah dengan Peraturan Menteri dan/atau Keputusan Menteri, baik Menkeu maupun
Mendagri, sejauh mana kita dapat mempermasalahkan hal ini. Apakah menjadi
temuan pemeriksaan terkait kepatuhan atau tidak?
A: Jika Perda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi maka hal ini menjadi temuan kepatuhan dengan rekomendasi agar
Perda disesuaikan dengan ketentuan yang lebih tinggi dan peraturan pelaksanaannya.
57. Q: LKPD Pemda ABC TA 2014 mendapat opini WDP atas Aset Tetap, pada Tahun 2015
melakukan inventarisasi kembali atas aset tetap. Bagaimana koreksi saldo aset tetap
atas hasil inventarisasi tersebut? Apakah cukup dikoreksi pada tahun berjalan (LKPD
TA 2015) atau restatement tahun 2014?
A: PSAP No. 10 menyatakan antara lain bahwa koreksi kesalahan dilakukan segera
setelah ditemukannya kesalahan tersebut. Atas hasil inventarisasi aset tersebut,
dilakukan koreksi/penyesuaian atas aset tetap dan akun lainnya yang terpengaruh
untuk LKPD TA 2015.
58. Q: Apabila terdapat aset tetap yang dicatat gelondongan (tidak dirinci per satuan) namun
setelah dilakukan inventarisasi barang tersebut dapat dirinci dan ternyata nilainya
berbeda? Apakah dikoreksi nilainya saja, atau dikoreksi (di-breakdown) menjadi
satuan?
A: Mengoreksi nilai dan merinci menjadi satuan dalam buku inventaris/KIB masing-
masing.
59. Q: Pengakuan KDP pada akhir tahun, apakah senilai akumulasi s.d. pembayaran belanja
(SP2D) terakhir atau menyesuaikan dengan progres fisik?
A: Pengakuan nilai KDP pada akhir tahun (posisi 31 Desember) dicatat sebesar nilai
progres fisik pekerjaan berdasarkan berita acara antara entitas dan rekanan. Selisih
antara akumulasi pembayaran s.d. SP2D terakhir dengan nilai progres fisiknya diakui
sebagai Utang Kepada Pihak Ketiga. Jika fisiknya lebih besar dibandingkan realisasi
keuangan, maka selisihnya diakui sebagai utang kepada pihak ketiga. Jika sebaliknya,
diakui sebagai belanja dibayar dimuka dan diangkat sebagai temuan kepatuhan.
Penjelasan tersebut sesuai dengan Bultek No. 15 tentang Aset Tetap Akrual pada
pengukuran konstruksi secara Kontrak Konstruksi.
60. Q: Bagaimana perlakuan penyusutan atas aset tetap yang tahun perolehannya belum
jelas?
A: Terhadap aset tetap yang tahun perolehannya diindikasikan sebelum neraca awal,
dapat dipertimbangkan tahun perolehannya dianggap pada saat neraca awal pemda
ditetapkan.
61. Q: Bagaimana perhitungan penyusutan terkait penyesuaian atas nilai aset tetap pada
tahun berjalan menjadi nilai yang lebih wajar (misal, tadinya masih bernilai Rp0 dan
Rp1?)
A: Perhitungan penyusutan atas penyesuaian nilai aset tetap yang tadinya masih bernilai
Rp0 dan Rp1, diperlakukan secara prospektif (ke depan). Beban penyusutan per tahun
adalah sebesar nilai hasil penyesuaian tersebut dibagi dengan sisa masa manfaat
sejak dilakukan penyesuaian nilai tersebut.
62. Q: Bagaimana perlakuan atas penemuan aset tetap yang belum tercatat pada tahun
berjalan, yang pada dasarnya sudah diperoleh pada periode tahun-tahun
sebelumnya?
A: Aset Tetap tersebut harus dikoreksi/diakui pada tahun berjalan dengan menambah
nilai ekuitas (disajikan sebagai Dampak perubahan kebijakan akuntansi/kesalahan
mendasar) di LPE sebesar nilai buku aset tetap posisi awal tahun berjalan, dengan
pertimbangan aset tetap tersebut seharusnya telah mulai disusutkan sejak tahun
perolehannya. Sementara itu, beban penyusutan tahun berjalan atas aset tetap
tersebut dilaporkan dalam periode tahun berjalan dalam Laporan Operasional.
63. Q: Dalam hal pengadaan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah apabila
pembayaran dilakukan melewati satu tahun anggaran (sistem termin) dan pembayaran
pada tahun pertama hanya berdasarkan surat perjanjian/Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB), bagaimana pengakuan aset tetap atas realisasi belanja tanah tersebut,
apabila penguasaan tanah tersebut belum berpindah kepemilikan atas nama
pemerintah daerah dan dokumen kepemilikan tanah secara sah belum dialihkan
kepada pemerintah daerah.
A: Berdasarkan Paragraf 19 PSAP 07, saat pengakuan aset akan dapat diandalkan
apabila terdapat bukti bahwa telah terjadi perpindahan hak kepemilikan dan/atau
penguasaan secara hukum, misalnya sertifikat tanah dan bukti kepemilikan kendaraan
bermotor. Apabila perolehan aset tetap belum didukung dengan bukti secara hukum
dikarenakan masih adanya suatu proses administrasi yang diharuskan, seperti
pembelian tanah yang masih harus diselesaikan proses jual beli (akta) dan sertifikat
kepemilikannya di instansi berwenang, maka aset tetap tersebut harus diakui pada
saat terdapat bukti bahwa penguasaan atas aset tetap tersebut telah berpindah,
misalnya telah terjadi pembayaran dan penguasaan atas sertifikat tanah atas nama
pemilik sebelumnya. Dengan demikian, pengadaan tanah tersebut belum dapat diakui
sebagai aset tetap tanah Pemda, dicatat sebagai Belanja Dibayar Dimuka
64. Q: Pemda telah menentukan umur per jenis aset tetap dalam rangka penyusutan. Adanya
beberapa kali kegiatan rehab pada aset tetap yang sama dengan nilai rehab yang
dikapitalisasi menyebabkan penambahan umur aset tetap. Kondisi tersebut
mengakibatkan umur aset tetap melampaui umur yang seharusnya diatur pada
kebijakan akuntansi. Apakah hal tersebut diperbolehkan?
A: Hal ini disesuaikan dengan kebijakan akuntansi yang diterapkan secara konsisten.
Tambahan umur aset tetap tidak boleh melampaui umur ekonomis yang ditetapkan
dalam kebijakan akuntansi.
65. Q: Pada kondisi pekerjaan konstruksi yang belum selesai 100%, di mana kontrak sudah
diputuskan dan dibayar pemda sesuai progress fisik (BAPP) serta jaminan
pelaksanaan tidak dicairkan, namun rekanan tidak di-blacklist dan tetap melanjutkan
pekerjaannya sampai 100%. Bagaimana dampak ke akun aset tetap dan utang pihak
ketiga pada laporan keuangan?
A: Aset Tetap – KDP diakui sebesar realisasi progress fisik pada saat putus kontrak.
Selisih progress fisik 100% dengan realisasi progress fisik pada saat putus kontrak
tidak dapat diakui sebagai utang. Pengakuan utang dapat dilakukan apabila telah ada
putusan hukum atau kesepakatan hukum untuk pembayaran selisih progress fisik
tersebut dalam APBD dan Aset Tetap tersebut telah dicatat dalam BMD.
66. Q: Tindak lanjut atas aset tetap yang tidak diketahui lokasinya.
Salah satu kualifikasi dalam LK adalah Aset Tetap Jalan, Irigasi dan Jaringan yang
diperoleh setelah neraca awal tidak dilengkapi dengan rincian lokasi maupun
luasannya. Meskipun telah berusaha melakukan inventarisasi, tetapi karena
keterbatasan dokumen pendukung, Pemda kesulitan melakukan penelusuran dan
melengkapi data lokasi Aset Tetap Jalan, Irigasi dan Jaringan tersebut. Bagaimana
solusi atas permasalahan tersebut? Apakah Pemda dapat melakukan penghapusan
atas Aset Tetap Jalan, Irigasi dan Jaringan tersebut?
A: Pemerintah daerah dapat melakukan reklasifikasi atas Aset Tetap yang tidak
ditemukan dari hasil inventarisasi tersebut ke Aset Lain-lain dan melakukan proses
penghapusan Aset Tetap sesuai ketentuan. Pemeriksa agar menguji pelaksanaan
inventarisasi secara sampel untuk memastikan apakah aset tetap tersebut telah
memenuhi syarat untuk dilakukan penghapusan.
68. Q: Bagaimana penilaian aset yang diterima karena pelimpahan urusan yang telah
diketahui tahun perolehan, nilai perolehan, nilai pengeluaran setelah perolehan awal,
estimasi umur ekonomis dan nilai akumulasi penyusutan, namun estimasi umur
ekonomis dan penyusutannya berbeda dengan pemerintah daerah yang menerima
pelimpahan aset tersebut (misalnya pemerintah kabupaten menerapkan metode
penyusutan garis lurus per bulan dan menetapkan estimasi umur ekonomis Bangunan
Gedung Tempat Kerja 50 tahun sementara pemerintah provinsi menerapkan
penyusutan per tahun dan menetapkan estimasi umur ekonomis Bangunan Gedung
Tempat Kerja 40 tahun)?
69. Q: Aset Tetap berupa tanah dibawah jalan belum diakui oleh Pemda karena status tanah
merupakan tanah adat. Dikhawatirkan apabila ada pengakuan atas tanah dibawah
jalan (walaupun hanya pencatatan akuntansi) akan menimbulkan tuntutan ganti rugi
oleh masyarakat.
A: Atas tanah di bawah badan jalan yang merupakan tanah adat, diungkapkan secara
memadai dalam CaLK
70. Q: Untuk Aset sekolah yang diperoleh dari hibah, atau Aset Pemerintah Kabupaten/Kota
yang diperoleh dari hibah atau tukar guling. Apakah harus dilakukan penilaian asset
dulu dari Pihak independen? Bagaimana perlakuannya jika belum ada penilaian?
A: Proses tukar guling pasti dilengkapi BA dengan mencantumkan nilai dari masing
masing asset yang ditukar. Hasil penilaian berdasarkan perhitungan dari pihak
independen yang ditunjuk kedua belah pihak. Apabila belum dilakukan penilaian maka
perlu ada penjelasan di CaLK.
A: Karena BAST telah ditandatangani dan dokumen BAST telah dilengkapi lampiran yang
menjelaskan kondisi Aset Tetap yang diserahterimakan, maka perlakuan akuntansi
atas kondisi tersebut berlaku untuk penyajian LKPD Provinsi. Aset belum
diinventarisasi (Lampiran 4) disajikan di Neraca Pemprov dan upaya inventarisasi
dilakukan oleh pemerintah Provinsi dengan berkoordinasi dengan pemkot/pemkab.
Sedangkan Aset Tidak Ditemukan (Lampiran 2) dicatat secara ekstrakomptabel dalam
CaLK Provinsi untuk dihapusbukukan.
ASET LAINNYA
72. Q: Terkait aset lainnya berupa barang rusak dan hilang, nilai yang tercantum saat ini
adalah nilai perolehan. Berkaitan dengan hal tersebut apakah pada tahun berjalan
harus disusutkan juga?
73. Q: Bagaimana perlakuan akuntansi untuk dana/uang titipan rekanan atas pelaksanaan
sebuah kegiatan pada rekening yang dikelola daerah (misalnya jaminan reklamasi,
jaminan eksplorasi, jaminan bongkar reklame)? Apakah harus disajikan sebagai
bagian dari rekening kas daerah, atau disajikan sebagai aset lainnya, atau cukup
diungkapkan dalam CaLK?
A: Dana/uang titipan tersebut bukan merupakan bagian dari Kas Daerah tetapi dicatat
sebagai Kas yang Dibatasi Penggunaannya (kelompok Aset Lainnya) dengan
pertimbangan karena pemda telah menerima uang namun belum dapat ditentukan
apakah uang tersebut menjadi hak pemda atau bukan. Pencatatan dan pengakuan
pendapatan dalam kas daerah dilakukan ketika dana/uang titipan tersebut telah
menjadi hak Pemerintah. Sebagai ilustrasi:
Pencatatan pada saat diterimanya dana reklamasi:
Dr. Aset Non Lancar-Kas yang Dibatasi Penggunaannya xxx
Cr. Kewajiban-penerimaan dana reklamasi xxx
Pencatatan pada saat menjadi hak Pemerintah:
Dr. Kewajiban-penerimaan dana reklamasi xxx
Cr. Pendapatan Lain2-dana reklamasi xxx
Dr. Kas di Kas Daerah xxx
Cr. Aset Non Lancar-Kas yang Dibatasi Penggunaannya xxx
Referensi: Bultek No 14 tentang Akuntansi Kas.
74. Q: Bagaimana kebijakan BPK terkait Dana Bergulir berupa hewan ternak? Bagaimana
perlakuan atas kegiatan Pemda melaksanakan perguliran ternak ke masyarakat yang
dianggarkan di belanja modal namun di Neraca dicatat sebagai investasi non
permanen. Pemda mencatat sebagai investasi karena memperoleh hasil/
keuntungan/kontribusi berupa anak ternak dari perguliran tersebut. Bagaimana
perlakuan, pencatatan dan penganggarannya atas perguliran ternak tersebut (induk
maupun anak ternak).
75. Q: Uang kerugian daerah yang sudah dikembalikan ke Kas Daerah, tapi oleh APH atau
Pengadilan disita sebagai barang bukti, bagaimana penyajiannya di Laporan
Keuangan?
A: Disajikan dalam akun Aset Lain-lain kelompok Aset Lainnya dan diungkapkan dalam
CaLK.
76. Q: Apakah Aset Tak Berwujud yang sudah tidak digunakan lagi, tetapi masih memiliki sisa
masa manfaat dapat dilakukan amortisasi sebesar 100%? Misalnya, aplikasi yang
sudah tidak digunakan karena berganti dengan aplikasi lain, tetapi beium habis
diamortisasi selama masa manfaatnya.
A: Definisi aset adalah adanya potensi/manfaat ekonomis yang akan diterima entitas di
masa yang akan datang. Sesuai Bultek No. 17 tentang ATB Akrual Bab V poin 5.1
Paragraf 18 menyatakan Amortisasi suatu ATB dengan masa manfaat terbatas tidak
berakhir jika aset tersebut tidak lagi digunakan, kecuali aset tersebut sudah sepenuhnya
disusutkan atau digolongkan sebagai aset yang dimiliki untuk dijual. Poin 5.2 paragraf
15 menyatakan bahwa Dalam hal terjadi indikasi penurunan nilai yang lebih cepat dari
yang diperkirakan semula maka hal tersebut perlu diungkapkan secara memadai dalam
catatan atas laporan keuangan. Jika terbukti aset tak berwujud tersebut tidak lagi
memiliki manfaat ekonomis di masa mendatang, maka entitas dapat mengajukan
proses penghapusan aset tak berwujud. Penghapusan aset baru dapat dilakukan jika
proses penghapusan aset telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
77. Q: Salah satu jenis Aktiva Tak Berwujud (ATB) adalah software. Apakah SIMDA dan
SISMIOP dapat dikategorikan sebagai ATB jenis software dan bagaimana menentukan
nilai perolehan dan masa manfaatnya?
A: Merujuk pada Bultek SAP 17 tentang Akuntansi ATB Akrual, SISMIOP, SIMDA, SIPKD
merupakan hak cipta dan hak paten yang dimiliki oleh pengembang sistem, sehingga
tidak termasuk ATB Pemda.
UTANG
78. Q: Potongan PFK yang telah disetor oleh BUD ke bank setempat namun oleh pihak bank
masih tersimpan dalam rekening penampungan dan belum disetor ke Kas Negara,
apakah penyetoran tersebut bisa diakui sebagai penyetoran potongan PFK oleh
Pemda? Bagaimana status dana tersebut?
A:
a. Jika rekening penampungan tersebut adalah rekening penampungan milik bank
persepsi, maka kewajiban pemda telah selesai pada saat dilakukan penyetoran
ke bank. Status dana tersebut telah menjadi milik pemerintah pusat yang masih
ada di bank persepsi.
b. Jika rekening penampungan tersebut milik Pemda, maka nilai tersebut harus
disajikan dalam akun Kas di Kasda dan Utang PFK. Pemeriksa harus melakukan
prosedur audit untuk meyakini bahwa: a) sampai dengan pemeriksaan terinci dana
tersebut telah disetor ke Kas Negara, 2) dana tersebut tidak digunakan untuk
kepentingan lain, dan 3) kondisi tersebut bukan karena sistem perbankan, namun
karena batas waktu operasional akhir tahun yang ditetapkan oleh BI.
79. Q: Bagaimana perlakuan akuntansi terhadap dana BOS yang pada akhir tahun belum
disalurkan ke sekolah-sekolah yang seharusnya menerima sesuai dengan SK
Gubernur dan dana Desa yang pada akhir tahun belum disalurkan ke desa-desa yang
seharusnya menerima sesuai dengan SK Bupati?
A: Dana BOS merupakan hak sekolah sedangkan Provinsi hanya menyalurkan dana ke
sekolah, demikian juga dengan Dana Desa, di mana Kabupaten hanya menyalurkan
dana ke Desa. Oleh karena itu ketika telah ada SK Gubernur dan Bupati yang merinci
secara definitif sekolah dan desa penerima serta jumlahnya, maka Provinsi dan
Kabupaten mempunyai kewajiban untuk menyalurkan dana. Karena itu jika sampai
dengan 31 Desember terdapat dana BOS dan Desa yang belum disalurkan ke sekolah
dan Desa, maka Provinsi dan Kabupaten harus mencatatnya sebagai Utang,
sedangkan dana yang belum disalurkan disajikan sebagai akun Kas yang dibatasi
penggunaannya.
80. Q: Bagaimana perlakuan akuntansi untuk akun kewajiban pada tanggal neraca apabila
ditemukan perbedaan pengakuan jumlah kewajiban antara pihak ketiga dengan
Pemda namun sampai pemeriksaan berakhir rekonsiliasi belum terlaksana/belum
selesai?
Contoh:
Hasil konfirmasi/klarifikasi atas Utang Tagihan pada PT X diketahui Tagihan utang PT
X menurut versi PT X lebih besar dibandingkan angka yang disajikan Pemda di neraca.
A: Secara umum informasi dari pihak ketiga lebih dapat diyakini daripada informasi dari
auditee namun bukan berarti informasi tersebut tidak perlu diklarifikasi kembali.
Pemeriksa harus memperoleh keyakinan memadai dengan dukungan bukti yang
cukup bahwa suatu akun telah disajikan secara wajar. Jika terdapat informasi yang
berbeda antara pihak ketiga dan auditee maka pemeriksa harus dapat menguji
informasi mana yang lebih andal, namun jika data pendukung yang diperlukan untuk
menguji tidak tersedia dan diprediksi adanya kemungkinan salah saji yang material
maka jadikan temuan pemeriksaan dengan permasalahan pembatasan lingkup.
81. Q: Pemda mencatat adanya Utang Retensi pada neraca yang sudah lebih dari 5 tahun
tidak diklaim oleh rekanan yang bersangkutan, apakah utang retensi tersebut boleh
dihapuskan? Bagaimana mekanisme penghapusannya?
A: Sesuai PSAP 09 par 76, penghapusan utang adalah pembatalan tagihan oleh kreditur
kepada debitur, baik sebagian maupun seluruh jumlah utang debitur dalam bentuk
perjanjian formal diantara keduanya. Jika penghapusan utang dilakukan tidak sesuai
dengan standar, diperlukan prosedur pemeriksaan tambahan untuk menyakini
kewajaran proses penghapusan yang dilakukan oleh pemda.
82. Q: Bagaimana perlakuan akuntansi atas tunjangan profesi guru yang sampai dengan 31
Desember belum dibagikan kepada yang berhak dan dananya masih disimpan oleh
BUD?
A: Atas tunjangan profesi guru yang sampai dengan 31 Desember belum dibagikan
kepada yang berhak, pemda mengakui adanya kewajiban. Sementara itu, dana yang
belum disalurkan disajikan sebagai akun Kas yang dibatasi penggunaannya.
Referensi: Bultek No. 14 dan 21.
83. Q: Bagaimana jika terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menimbulkan konsekuensi kepada pemerintah daerah untuk membayar kepada
pihak penggugat. Apakah nilai putusan pengadilan tersebut dapat diakui sebagai
Utang?
84. Q: Bagaimana perlakuan akuntansi atas kelebihan penyetoran PFK oleh BUD yang
mengakibatkan Utang PFK yang disajikan di Neraca bersaldo negatif, apakah
penyajiannya tersebut telah tepat/lazim dilihat dari treatment akuntansinya? Jika tidak,
bagaimana penyajian yang tepat atas transaksi tersebut?
85. Q: Utang Jangka Panjang-Pinjaman Pemerintah Pusat oleh pemda sudah tidak dapat
ditelusuri lagi jumlah terutang karena berdasarkan hasil konfirmasi ke Kementerian
Keuangan dan BRI sebagai bank penerima angsuran pembayaran utang, data tentang
utang tersebut sudah tidak dapat diperoleh kembali. Apakah hutang tersebut sudah
dapat diproses untuk penghapusan?
A: Terhadap kewajiban tersebut tetap disajikan sebagai Utang Jangka Panjang di Neraca.
Proses penghapusan utang dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan PSAP No.
9 paragraf 76 – 81. Dihapus apabila terdapat surat pembatalan atau pembebasan
tagihan dari kreditur dhi. Pemerintah Pusat.
PENDAPATAN
86. Q : Bagaimana perlakuan dana-dana bantuan yang langsung diterima satker pemda
namun digunakan tidak melalui mekanisme APBD, contohnya block grant dari
kementerian, CSR, apakah perlu dicatat di LO dan LRA atau hanya LO saja?
A: Seluruh penerimaan dan pengeluaran yang diterima atau dikeluarkan oleh OPD baik
berupa barang maupun uang yang tidak melalui Kas Daerah dimasukkan dalam
Laporan Operasional (LO).
87. Q: Bagaimana perlakuan terhadap pendapatan pajak yang berdasarkan taksasi pada
sistem pemungutan self assessment?
A: Merujuk pada FAQ No. 26. Pada dasarnya pendapatan pajak daerah pada sistem
pemungutan self assesment berdasarkan data (pembukuan) riil pada wajib pajak. Jika
pendapatan pajak daerah hasil taksasi secara signifikan berbeda dengan hasil
pembukuan riil wajib pajak, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya fraud. Nilai perbedaan antara hasil taksasi dengan hasil
pembukuan riil wajib pajak harus diusulkan untuk menerbitkan SKPDKB (Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar). Agar disusun temuan pemeriksaan.
88. Q: Bagaimana jika terdapat pemerintah daerah yang masih melakukan pemungutan pajak
dan retribusi daerah, namun peraturan daerah yang mengatur pemungutan tersebut
telah dibatalkan oleh ketentuan yang lebih tinggi? Pemungutan PAD tanpa didasari
oleh Peraturan Daerah dan Pemungutan PAD di daerah pemekaran menggunakan
Perda induk, tetapi di Induk Perda tersebut telah dicabut.
89. Q: Retribusi parkir telah ditetapkan tarifnya menggunakan Perda. Untuk operasionalnya
diserahkan kepada pihak ketiga, dimana pihak ketiga juga meminta fee atas
pengoperasiannya tersebut. Bagaimana penyelesaiannya, apakah tarifnya dinaikkan
(tidak sesuai dengan Perda) dan selisihnya untuk pihak ketiga, atau fee pihak ketiga
itu dianggap belanja operasional?
A: Berdasarkan Pasal 160 ayat (5) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah, tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah. Dengan demikian, apabila pemungutan retribusi parkir dilakukan oleh
pihak ketiga maka harus berdasarkan Perkada tentang Tata cara pelaksanaan
pemungutan Retribusi. Apabila belum ada perkada tersebut, dibuat Temuan
Pemeriksaan atas aspek kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
90. Q: Bagaimana perlakuan akuntansi pada LKPD Tahun 20XX atas pendapatan hibah non
kas dari Pemerintah Pusat dan Pengeluaran Pembiayaan-Penyertaan Modal Non Kas
ke BUMD-PDAM yang ditujukan untuk pemutihan hutang PDAM (Sebagaimana yang
diatur dalam Permendagri No 48 Tahun 2016 tentang pedoman pemberian hibah dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan penyertaan modal pemda kepada
PDAM dalam rangka penyelesaian hutang PDAM kepada Pemerintah Pusat secara
non kas).
A: Jurnal pendapatan hibah non kas dan penyertaan modal ke PDAM adalah sebagai
berikut:
91. Q: Ketentuan dalam PP 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana, Pasal 7 mengatur antara lain bahwa:
a. ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat
dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c;
b. ayat (3), Dana yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang diterima oleh pemerintah daerah dicatat dalam APBD.
Pertanyaan:
a. Apakah pengertian dari “dicatat dalam APBD” pada PP 22 Tahun 2008 tersebut
adalah juga termasuk harus disetor ke Kas Daerah?
b. Jika termasuk, apakah atas penggunaan langsung tersebut dapat dipertimbangkan
untuk menjadi pengecualian?
c. Apabila terdapat sisa atas dana Bantuan Bencana tersebut, bagaimana perlakuan
terdapat sisa dana tersebut?
A: Seluruh penerimaan dan pengeluaran yang diterima atau dikeluarkan oleh SKPD baik
berupa barang maupun uang yang tidak melalui Kas Daerah dimasukkan dalam
Laporan Operasional (LO), termasuk transaksi penerimaan dan pengeluaran dana
bantuan bencana seperti tersebut di atas. Dana bantuan tersebut disajikan dalam LO
sebagai Pendapatan-LO dan Beban yang dirinci berdasarkan realisasinya (Beban
Pegawai, Beban Persediaan, Beban Jasa) serta penyajian Aset tetapnya di Neraca
(apabila ada). Pencatatan di LO harus melalui mekanisme pelaporan dan pengesahan
oleh SKPD dan SKPKD.
Sisa dana tersebut disajikan sebagai Kas Lainnya – Sisa Dana Bantuan, sesuai
dengan Bultek Nomor 14 tentang Akuntansi Kas yang menyatakan bahwa saldo kas
akibat penerimaan pada rekening bank dilaporkan di neraca SKPD sebagai Kas
Lainnya.
Terkait dengan pencatatan transaksi tersebut dalam Laporan Realisasi Anggaran
(LRA) didasarkan pada kebijakan akuntansi dan penganggaran masing-masing
pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah telah mencantumkan dalam kebijakan
akuntansinya dan menganggarkan transaksi tersebut, maka dapat dicatat di LRA,
namun jika tidak diatur dalam kebijakan akuntansi dan belum ada penganggarannya,
maka tidak perlu dicatat pada LRA.
92. Q: Apakah dasar hukum bentuk Format Laporan Operasional yang harus disusun
Pemda? Apakah sesuai dengan SAP atau Permendagri?
A: Dalam PSAP 12 par 15, Contoh format Laporan Operasional disajikan dalam ilustrasi
PSAP 12.A, PSAP 12.B, dan PSAP 12.C standar ini. Ilustrasi merupakan contoh dan
bukan merupakan bagian dari standar.
Beban diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi. Klasifikasi ekonomi untuk
pemerintah daerah terdiri dari beban pegawai, beban barang, beban bunga, beban
subsidi, beban hibah, beban bantuan sosial, beban penyusutan aset tetap/amortisasi,
beban transfer, dan beban tak terduga.
93. Q: Bagaimana perlakuan atas bunga tabungan/jasa giro rekening dana kapitasi JKN,
apakah disetor ke Kas daerah dan diakui sebagai pendapatan jasa giro atau dana
tersebut tetap ada di rekening JKN untuk digunakan sebagai pengeluaran JKN?
A: Terhadap bunga tabungan/jasa giro rekening dana kapitasi JKN diakui sebagai
pendapatan daerah dengan mekanisme pencatatan disesuaikan dengan kebijakan
akuntansi pemerintah daerah (PP 12 Th 2019 Pasal 129).
BELANJA/BEBAN
94. Q: Apabila anggaran belanja daya dan jasa tidak cukup tersedia dalam DPA, Pemda
mengkompensasi penerimaan PPJU-nya dengan kekurangan belanja daya dan jasa
tersebut. Bagaimana sikap auditor atas hal tersebut?
A: Pada prinsipnya pendapatan harus dicatat secara bruto. Jika auditor menemukan
Pemda yang melakukan pencatatan pendapatan secara netto maka auditor
mengungkap masalah tersebut dalam temuan pemeriksaan.
Masalah tersebut tidak dapat dikoreksi dalam LRA karena:
1) Pemerintah Daerah tidak diperkenankan mengeluarkan belanja yang tidak
dianggarkan atau tidak cukup tersedia.
2) Transaksi tersebut terkait asersi kelengkapan (completeness) atas belanja dan
pendapatan yang disajikan.
3) Diungkapkan dalam CALK akun belanja dan pendapatan LRA secara memadai.
Masalah tersebut dapat disajikan sebagai Beban dan Pendapatan-LO.
95. Q: Bagaimana penyajian di LK atas SP2D yang telah diterbitkan, tetapi kas belum keluar
dari rekening Pemda di Bank? Bagaimana apabila hasil rekonsiliasi menunjukkan
saldo kas negatif karena nilai SP2D yang terbit pada tahun x dan belum dicairkan
(outstanding) sampai pada 30 Desember tahun x melebihi dana yang tersedia di Kas
Daerah?
A:
a. Nilai SP2D yang telah diterbitkan namun kas belum dicairkan dari rekening kasda
disajikan sebagai realisasi belanja pada LRA dan LAK. Apabila SP2D tersebut
merupakan beban maka dapat disajikan sebagai Beban di LO.
b. Kas Daerah yang disajikan di neraca adalah kas yang ada di rekening koran
setelah direkonsiliasi. Ungkapkan dalam CaLK atas akun Kas di Neraca dan LAK,
bahwa terdapat SP2D yang belum dicairkan.
Pemerintah daerah dapat mengalami kekurangan kas dalam jumlah yang cukup
besar karena merealisasikan anggaran belanja yang tidak diimbangi dengan
realisasi pendapatan. Kondisi tersebut dapat menjadi temuan pemeriksaan karena
tidak sesuai dengan PP No.58 Tahun 2005 Pasal 65 ayat (3) huruf c. Selain itu,
auditor perlu melakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah terdapat
permasalahan yang signifikan.
96. Q: Bagaimana bila dalam pemeriksaan LK ditemukan kesalahan pembebanan atau fakta
tidak sesuai dengan realisasi anggaran yang tersaji contoh: tersaji realisasi anggaran
membeli mobil ternyata yang dibeli kambing?
A:
a. Tidak perlu dilakukan koreksi pembukuan pada LRA. Koreksi pembukuan
dilakukan di Neraca untuk: 1) kapitalisasi Aset Tetap yang dihasilkan dari belanja
selain Belanja Modal dan 2) tidak mengkapitalisasi pengeluaran yang tidak
menghasilkan Aset tetap dari Belanja Modal yang digunakan untuk jenis belanja
lain.
b. Diungkapkan dalam CaLK pada pos realisasi anggaran (seperti contoh: Belanja
Mobil).
c. Untuk menilai dampaknya terhadap opini dapat mengacu pada Buku Panduan
Pemeriksaan LKPD.
d. Dibuatkan temuan pemeriksaan apabila bersifat material.
97. Q: Uang muka yang belum dipertanggungjawabkan di akhir tahun untuk belanja barang/
jasa, bagaimana pengakuan belanja dan bebannya?
A: Apabila menggunakan dana UP/TU, belanja tidak dapat dicatat apabila belum
dipertanggungjawabkan sebagai GU/TU nihil dan disahkan oleh unit perbendaharaan.
Beban diakui pada saat timbulnya kewajiban, terjadinya konsumsi aset, terjadinya
penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa.
98. Q: Permasalahan kesalahan penganggaran harus dibuatkan pedoman yang lebih jelas.
a. Apakah kesalahan itu yang disebabkan karena pemerintah daerah tidak bisa
menghindari adanya kesalahan tersebut? Misalnya penggunaan DAK, BOS atau
bantuan lain yang sifatnya mengikat.
b. Atau kesalahan yang secara sistematis dilakukan Pemda untuk menyamarkan
suatu kegiatan. Misalnya belanja hibah dianggarkan dalam belanja modal. Apabila
dianggarkan di belanja hibah akan kelihatan besar sekali belanja hibahnya.
A: Kondisi tersebut diperlakukan sebagai berikut:
a. Bila kesalahan penganggaran berasal dari ketentuannya (ketentuan teknis tertentu
dari pemerintah pusat/instansi teknis terkait untuk BOS, DAK, dll), hal ini merupakan
permasalahan yang diluar kendali Pemda, dan tidak perlu dipermasalahkan.
b. Untuk kesalahan penganggaran yang dilakukan untuk menyamarkan kegiatan atau
melakukan kegiatan dengan substansi yang berbeda, maka diungkap dalam
temuan pemeriksaan. Apabila kesalahan penganggaran tersebut bersifat
sistematis, terstruktur dan masif maka estimasi dampaknya terhadap penyajian
laporan keuangan (ref. Lampiran 9.2 Panduan Pemeriksaan LKPD Berbasis Akrual).
99. Q: Apabila diketahui pemerintah daerah per 31 Desember memiliki kewajiban kepada
pihak ketiga atas pengadaan barang/jasa yang sebelumnya tidak dialokasikan pada
APBD tahun berjalan, bagaimana pengaruhnya pada opini dan bagaimana perlakuan
akuntansinya?
Dalam hal terjadi belanja yang tidak ada anggarannya (voorfinanciring), apakah
pemda harus mengakui utang belanja?
Apakah bisa dilakukan koreksi atas hutang atau cukup hanya dicatat dalam Catatan
atas Laporan Keuangan?
A: Mengacu pada UU No.1 Tahun 2004 Pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap
Pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban
APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau
tidak cukup tersedia”, maka kondisi di atas diungkap dalam temuan pemeriksaan dan
diusulkan diungkap dalam CALK sebagai penjelasan kewajiban kontijensi (belum ada
dasar pengakuan kewajiban secara pasti karena belum jelas apakah Pemda atau
oknum pejabat Pemda yang bertanggung jawab). Untuk menilai dampaknya terhadap
opini dapat mengacu pada Buku Panduan Pemeriksaan LKPD terkait dengan
Pertimbangan Profesional Pengambilan Kesimpulan Opini Laporan Keuangan
(Lampiran 9.2).
100. Q: Apabila terdapat sisa dari SP2D LS, apakah sisa tersebut dikembalikan ke kas daerah
atau dianggap sebagai realisasi belanja? Contoh: SP2D LS gaji pambakal (Lurah).
A: Pemeriksa harus menguji apakah sisa SP2D-LS merupakan kelebihan belanja atau
porsi belanja yang belum sempat disalurkan.
1) Jika merupakan kelebihan belanja maka harus disetorkan:
a) Penyetoran yang dilakukan pada tahun berjalan mengurangi belanja dan beban.
b) Penyetoran dilakukan tahun berikutnya maka dilakukan koreksi per 31 Desember
yaitu mengurangi beban dan mengakui Kas Lainnya (di Bendahara
Pengeluaran) pada tahun anggaran yang diperiksa namun tidak perlu
mengoreksi belanja. Hal tersebut diungkap dalam CaLK pada akun belanja dan
akun Kas Lainnya. Pada saat disetorkan ke Kas Daerah penyetoran tersebut
diakui sebagai lain-lain PAD yang sah (LRA) dan reklasifikasi dari Kas Lainnya
ke Kas di Kasda (Neraca).
Bila merupakan porsi belanja (telah diuji oleh pemeriksa) yang belum sempat
disalurkan, maka dibuatkan jurnal koreksi untuk mengakui Kas Lainnya dan Kewajiban
kepada pihak lain (reff. Bultek No. 08 Akuntansi Utang halaman 18).
101. Q: Bagaimana pengakuan atas Belanja LS, yang masih berada di Bendahara
Pengeluaran SKPD sampai dengan akhir tahun belum diserahkan kepada pihak ke-3.
102. Q: Apakah Belanja Bantuan Keuangan dapat disajikan sebagai Belanja Operasi dalam
LRA? Apabila LRA Pemda menyajikan Belanja Bantuan Keuangan, apakah dapat
dinyatakan salah anggaran, atau Tim Pemeriksa harus melakukan konversi sesuai
dengan Bultek No.3?
A: Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Permendagri No. 21 Tahun 2011 dinyatakan bahwa
Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf g digunakan untuk
menganggarkan bantuan keuanganyang bersifat umum atau khusus dari provinsi
kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya
atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa, dan pemerintah daerah
lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan dan
kepada partai politik.
Dalam PSAP 02 maupun Bultek No.04, tidak diatur secara jelas adanya akun Belanja
Bantuan Keuangan, namun disebutkan adanya pengeluaran dalam kelompok transfer,
yaitu pengeluaran uang dari entitas pelaporan kepada entitas pelaporan lain, seperti
pengeluaran dana perimbangan oleh pemerintah pusat dan dana bagi hasil oleh
pemerintah daerah. Berdasarkan definisi tersebut, maka Belanja Bantuan Keuangan
disajikan sebagai belanja transfer lainnya dan diluar belanja operasi. Mengacu pada
definisi transfer tersebut, maka bantuan keuangan kepada pemerintah dan/atau
pemerintah daerah di catat pada akun Bantuan Keuangan kepada Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah dalam kelompok Belanja Transfer di LRA dan Beban
Transfer di LO. Sedangkan bantuan keuangan kepada Partai Politik dicatat pada
Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dalam kelompok Belanja Operasi di LRA dan
Beban Lain-lain di LO, dan tidak dikonversi.
103. Q:
a. Pemerintah Provinsi menganggarkan dana BOS bukan pada belanja hibah, tetapi
pada belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal;
b. Risiko kurang saji atas pencatatan aset yang mungkin timbul dari pengeluaran
belanja modal.
Bagaimana sikap BPK apabila dalam pemeriksaan diketemukan hal-hal tersebut?
A:
a. Jika pemerintah provinsi menganggarkan dana BOS bukan pada belanja hibah,
tetapi pada belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal, maka dibuat
temuan salah klasifikasi anggaran dan pertimbangan pengaruhnya terhadap opini
mengacu pada ketentuan salah klasifikasi anggaran yang telah dimuat dalam Buku
Panduan LKPD.
b. Atas hal tersebut, tim pemeriksa melakukan pengujian lebih lanjut dengan
membandingkan realisasi dana BOS dengan penambahan aset.
104. Q: Bagaimana pelaksanaan pekerjaan yang bersumber dari dana DAK pendidikan yang
diswakelolakan ke komite sekolah tetapi penyelesaiannya terlambat dan melewati
tahun anggaran?
A: Dapat dilaksanakan jika hal tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Kepala Daerah
tentang Pelaksanaan APBD.
105. Q: Apakah Belanja Pegawai (honorarium) dan Belanja Barang dan Jasa (misalnya utang
atas belanja bahan persediaan, cetak dan penggandaan, perjalanan dinas dll) yang
telah direalisasikan di tahun berjalan namun pengajuan pembayarannya ditolak BUD
karena ketiadaan kas di kas daerah (dana kas daerah tidak mencukupi pada tanggal
31 Desember) dapat diakui sebagai utang jangka pendek lainnya? Jika dapat diakui
A: Belanja dapat diakui sebagai hutang jangka pendek karena pengeluaran tersebut telah
dianggarkan dalam APBD dan pemda telah menerima manfaat dari belanja tersebut.
Pemeriksaan atas bukti SPJ disesuaikan dengan Sisdur yang berlaku pada
pemerintah daerah tersebut. Pemeriksa harus dapat meyakini bahwa dasar
pengeluaran tersebut benar-benar terjadi (asersi keterjadian).
106. Q: Jika pemda telah mengeluarkan standar tentang satuan biaya dan harga, maka ketika
pemeriksa menemukan realisasi belanja tidak sesuai dengan standar-standar
tersebut, bagaimana perlakuannya?
A: Harus dibedakan antara standar biaya yang terkait dengan penghasilan pegawai
dengan standar biaya untuk pengadaan barang/jasa.
Terkait dengan penghasilan pegawai (contoh: standar honorarium), maka jika ada nilai
realisasi yang melebihi standar biaya maka dapat dijadikan temuan kelebihan
pembayaran yang berindikasi merugikan keuangan daerah.
Terkait pengadaan barang/jasa, maka tidak serta merta dinyatakan sebagai kelebihan
pembayaran yang berindikasi merugikan keuangan daerah karena belum memenuhi
unsur “kekurangan uang dan/atau barang” serta “nyata dan pasti”. Pemeriksa agar
melanjutkan prosedur pemeriksaannya dengan konfirmasi kepada pihak ketiga
(penyedia barang/jasa) untuk menilai keterjadian transaksi dan kewajaran harga.
107. Q: Apakah diperbolehkan insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah dibagikan
kepada pihak-pihak di luar instansi pelaksana misalnya lembaga perwakilan/instansi
vertikal/muspida? Apakah para Asisten Sekda, Inspektorat, dan Bagian Hukum berhak
untuk mendapatkan insentif ?
108. Q: Apabila Pemda tidak dapat menyediakan fasilitas rumah jabatan, apakah dapat
digantikan dengan tunjangan atau dalam bentuk lainnya?
A: Sesuai Pasal 15 PP No.18 Tahun 2017 yang antara lain mengatur bahwa dalam hal
Pemerintah Daerah belum dapat menyediakan rumah negara bagi pimpinan dan
anggota DPRD, kepada yang bersangkutan diberikan tunjangan perumahan yang
diberikan dalam bentuk uang dan dibayarkan setiap bulan terhitung mulai tanggal
pengucapan sumpah/janji.
109. Q: Bagaimana kewajaran atas besaran pemberian tunjangan atau dalam bentuk lainnya
sebagai pengganti fasilitas rumah jabatan tersebut?
A: Untuk pimpinan dan anggota DPRD, PP Nomor 18 Tahun 2017 pada Pasal 17 ayat (1)
menyatakan bahwa pemberian tunjangan perumahan harus memperhatikan asas
kepatutan, kewajaran dan rasionalitas serta standar harga setempat yang berlaku.
Selanjutnya pada ayat (6) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya
tunjangan perumahan diatur dalam Perkada.
111. Q: Pada Pemda yang sudah memiliki SKPD DPPKAD terdiri dari Bidang PAD, Bidang
Perimbangan, Akuntansi dan Bidang Aset, apakah penerima insentif pajak dan
retribusi daerah tersebut termasuk seluruh bidang di SKPD tersebut atau hanya yang
membidangi Pajak dan Retribusi saja.
112. Q: Bagaimana bila besaran insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah melebihi
ketentuan yang berlaku?
A: Insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah dianggarkan dalam kelompok belanja
tidak langsung, jenis belanja pegawai. Karena dianggarkan dalam Belanja Pegawai
maka bukti pertanggungjawabannya cukup berupa SK KDH mengenai pemberian
insentif, daftar nominatif dan kuitansi tanda terima uang serta bukti pemotongan PPh
Pasal 21.
A:
a. Sesuai Lampiran III Permendagri No. 64 Tahun 2013, BPO Pimpinan DPRD dan
BPO Kepala/Wakil Kepala Daerah dianggarkan dalam jenis Belanja Pegawai.
Namun demikian, secara substansi BPO merupakan belanja untuk mendukung
A:
a. Penganggaran BPO KDH dapat berdasarkan realisasi tahun sebelumnya atau
anggaran tahun berkenaan. Realisasi pembayaran BPO berdasarkan realisasi
pendapatan tahun berkenaan;
b. Realisasi pembayaran BPO KDH melekat pada jabatan KDH bukan pada personal
KDH, sehingga apabila pejabat KDH baru tidak mempunyai dana BPO karena
sudah habis oleh pejabat KDH lama, maka tidak diperkenankan menambah
realisasi BPO.
c. Kelebihan perhitungan BPO KDH disetor ke Kas Daerah.
Belanja penunjang operasional merupakan belanja untuk mendukung operasional
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, sehingga apabila salah satu KDH atau WKDH
berhenti karena satu alasan, BPO hanya direalisasikan untuk mendukung operasional
KDH atau WKDH yang masih aktif.
116. Q: Pajak Rokok, yang merupakan hak pemerintah daerah, disetorkan ke RKUN oleh
wajib Pajak Rokok, dan selanjutnya disetorkan setiap triwulan dari RKUN ke
RK.UD Provinsi untuk dilakukan bagi hasil antara Provinsi dan Kab/Kota. Perpres
A: Sesuai PSAP 2 par. 24 dan PSAP 12 par. 26, Akuntansi pendapatan seharusnya
dilaksanakan berdasarkan asas bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan
bruto dan tidak mencatat jumlah netto-nya (setelah dikompensasikan dengan
pengeluaran), kecuali memenuhi syarat sebagaimana dimuat dalam PSAP 2 par.
25 dan PSAP 12 par. 27. Namun dengan kondisi bahwa pemerintah daerah
belum mengganggarkan belanja atas kontribusi tersebut pada LRA Tahun 2018,
maka pengeluaran terse but cukup dicatat pada LO sebagai Beban Bantuan Sosial
sesuai ketentuan Pasal 101 Perpres 82 Tahun 2018 dan diungkapkan secara
memadai di CaLK. Sementara untuk pendapatan bagi hasil pajak rokok dicatat
sebesar netto pada LRA dan sebesar bruto di LO. Data/dokumen yang bisa
dijadikan dokumen sumber pencatatan adalah bukti pemotongan dan berita acara
rekonsiliasi pemprov/kab/kota dengan BPJS sesuai dengan Pasal 9 PMK 128
Tahun 2018. Untuk pengganggaran kontribusi jaminan kesehatan TA 2019,
pemerintah daerah agar mengacu kepada Permendagri No. 38 Tahun 2018
tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2019.
117. Q: Pemda seringkali menganggarkan belanja makanan dan minuman yang diperuntukkan
bagi rumah dinas Sekretaris Daerah. Padahal, realisasi pembayaran biaya rumah
tangga Sekretaris Daerah dalam hal ini belanja makanan dan minuman (logistik) pada
rumah dinas Sekretaris Daerah tidak memiliki dasar hukum, karena tidak terdapat
peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa biaya rumah tangga Sekretaris
Daerah dapat dibebankan ke APBD. Hal ini berbeda dengan biaya rumah tangga KDH
dan WKDH yang memang dibebankan pada APBD karena secara hukum diatur
melalui PP No.109 Tahun 2000.
A: Permendagri No. 7 Tahun 2006 tentang Standar Sarana dan Prasarana Kerja
Pemerintah Daerah pada Pasal 10 mengatur hal berikut:
a. Rumah jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diperuntukkan bagi
pemangku jabatan Gubernur, Wakil Gubernur, Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
118. Q: Sesuai dengan PP No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, pada Pasal 8 diatur bahwa untuk pelaksanaan tugas-tugas
kepada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan antara lain biaya rumah
tangga dipergunakan untuk membiayai kegiatan rumah tangga Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban belanja biaya rumah
tangga tersebut, apakah kwitansi tanda terima uang dari istri Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah sudah dianggap cukup memadai, atau harus diperlengkapi juga bukti
pembelian barang dari pihak penyedia barang?
A: Belanja biaya rumah tangga kepala daerah merupakan belanja barang sehingga harus
dipertanggungjawabkan sesuai prosedur pertanggungjawaban belanja barang. Jika
terdapat belanja yang tidak dimungkinkan untuk dipertanggungjawabkan dengan bukti
eksternal (misal: belanja kebutuhan dapur) maka pertanggungjawaban berupa kuitansi
tanda terima uang dari istri Kepala Daerah atau Kepala bagian rumah tangga adalah
dianggap sudah cukup memadai.
119. Q: Dalam menghadapi permasalahan hukum dan gugatan dari masyarakat, Pemerintah
Daerah biasanya menggunakan jasa jaksa dari kejaksaan negeri sebagai kuasa hukum.
Jaksa, selaku pengacara Negara, seharusnya dapat memberikan bantuan hukum
secara gratis atau paling tidak hanya biaya perjalanan/akomodasinya saja yang
ditanggung oleh Pemda, dan dianggarkan pada DPA SKPD terkait. Namun pada
kenyataannya, Pemerintah Daerah harus memberikan imbalan (secara tunai) atas jasa
bantuan hukum yang diberikan oleh Jaksa, dan biasanya dianggarkan pada Belanja
Jasa Bantuan Hukum (pada DPA Sekretariat Daerah) atau pada Belanja Bantuan
Sosial (pada DPA DPPKAD). Apakah pemberian imbalan secara tunai tersebut
diperbolehkan? Kalau tidak diperbolehkan, bagaimana perlakuannya apakah
direkomendasikan untuk dikembalikan ke Kas Daerah atau tidak?
A: Sesuai dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
pembayaran termin terakhir atas penyerahan pekerjaan yang sudah jadi dari Pihak Ketiga,
dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:
a. Pembayaran dilakukan sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) dari nilai kontrak,
sedangkan yang 5% (lima persen) merupakan retensi selama masa pemeliharaan.
b. Pembayaran dilakukan sebesar 100% (seratus persen) dari nilai kontrak dan penyedia
barang/ jasa harus menyerahkan jaminan bank sebesar 5% (lima persen) dari nilai
kontrak yang diterbitkan oleh Bank Umum atau oleh perusahaan asuransi yang
mempunyai program asuransi kerugian (surety bond) dan direasuransikan sesuai dengan
ketentuan Menteri Keuangan.
Penahanan pembayaran senilai 5% (lima persen) dari nilai kontrak seperti dimaksud dalam
huruf a di atas harus diakui sebagai utang retensi, sedangkan jaminan bank untuk
pemeliharaan seperti yang dimaksud dalam huruf b harus diungkapkan dalam CaLK.
121. Q: Pemda mengadakan tanah untuk keperluan pembangunan fasilitas publik dan
bangunan dinas. Atas pengadaan tersebut, bukti pertanggungjawaban belanja modal
pengadaan tanah tidak dilengkapi dengan pemungutan dan penyetoran PPh atas
Pengalihan Hak atas Tanah. Apakah hal tersebut dibenarkan?
A: Hal tersebut dibenarkan jika belanja modal tanah tersebut digunakan untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Referensi:
a. Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan
Perpres Nomor 148 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum Pasal 122.
b. PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (1).
c. PP Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 71 Tahun 2008
Pasal 5 huruf (b).
122. Q: Uang muka di akhir tahun untuk belanja modal, bagaimana pengakuan belanjanya?
A: Belanja diakui sebesar nilai SP2D uang muka dan dicatat sebagai KDP dalam neraca
sebesar SP2D tersebut.
123. Q: Bagaimana menyikapi jika terjadi pemutusan kontrak, namun jaminan pelaksanaan
tidak dicairkan dan pada saat pelaksanaan pemeriksaan jaminan tersebut tidak
berlaku?
A: Dalam hal jaminan pelaksanaan tidak dicairkan, pemeriksa harus memeriksa apakah
PPK/PPTK tidak melakukan pengurusan pencairan jaminan atau PPK/PPTK telah
mengurus pencairan jaminan tetapi jaminan tersebut tidak dapat dicairkan oleh
lembaga penjamin. Apabila ditemukan bahwa PPK/PPTK tidak melakukan pengurusan
pencairan jaminan pelaksanaan maka dibuat temuan pemeriksaan dengan
rekomendasi agar PPK/PPTK mempertanggungjawabkan hal tersebut.
124. Q: Jika terdapat realisasi Belanja Modal yang telah direalisasikan 100% pada Tahun
Angaran yang diperiksa, namun berdasarkan hasil pemeriksaan interim diketahui
bahwa belanja modal tersebut fiktif. Bagaimana perlakuan akuntansinya?
A: Perlakuan akuntansi atas belanja modal fiktif tersebut adalah sebagai berikut:
Jurnal koreksi:
Dr. Aset Lainnya xxx
Cr. Aset tetap xxx
(untuk mengakui kerugian daerah dan menghapus aset tetap-fiktif)
Referensi: Bultek No. 20 tentang Akuntansi Kerugian Negara/Daerah
Pemeriksa juga perlu mempertimbangkan apakah aset tetap tersebut telah disusutkan.
126. Penyelesaian fisik pekerjaan diperkenankan melampaui tahun anggaran sepanjang tidak
melebihi 50 hari sejak berakhirnya kontrak.
Q: Pembayaran akhir tahun ke rekanan sebesar 100% disertai pemberian jaminan bank
sebesar nilai pembayaran. BA kemajuan fisik pekerjaan dihitung sesuai kondisi riil
terakhir. Atas pekerjaan fisik yang belum selesai, diselesaikan maksimal sampai
dengan 50 hari sejak berakhirnya kontrak (tidak langsung putus kontrak), dan denda
tetap dikenakan sampai dengan selesainya pekerjaan/bagian pekerjaan tersebut,
seperti yang berlaku dalam pelaksanaan APBN \. Apakah hal ini bisa diberlakukan
pada pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari APBD. Apabila boleh dilaksanakan
dalam APBD maka terjadi arus kas keluar yang tidak sesuai dengan fisiknya, dan di
LRA belanja modal sudah mencapai 100%, sedangkan di Neraca masih tercatat
sebagai akun KDP.
A: Dapat dilaksanakan jika hal tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Kepala Daerah
tentang Pelaksanaan APBD.
127. Q: Apakah diperbolehkan pemberian hibah kepada klub sepakbola yang mengikuti liga
profesional?
129. Q: Terdapat perbedaan perlakuan penyajian Belanja Barang dan Jasa untuk diserahkan
kepada pihak ketiga/masyarakat menurut Permendagri Nomor 39 tahun 2012 dan
130. Q: Bagaimana definisi pemberian bantuan sosial tidak diberikan secara terus menerus?
131. Q: Bagaimana bentuk pertanggungjawaban bantuan sosial dan belanja hibah, apakah
sampai dengan laporan pertanggungjawaban. Jika tidak terdapat laporan
pertanggungjawaban apakah mempengaruhi opini?
A: Pengeluaran bantuan sosial dan belanja hibah dianggap sah apabila telah dilengkapi
dengan proposal atau permintaan dari penerima dan persetujuan kepala daerah serta
SP2D yang sah dan nota hibah. Pemeriksa juga harus memperhatikan peraturan yang
ada pada masing-masing daerah terkait belanja sosial misalnya peraturan kepala
daerah mengatur bagaimana kewajiban penerima bantuan, apakah mewajibkan
menyampaikan bantuan atau tidak. Perlu diperdalam apabila berindikasi fiktif atau
diberikan kepada pihak yang tidak memenuhi kriteria, pemeriksa perlu menambah
prosedur untuk mengungkap indikasi tersebut. Pertimbangan pengaruh tidaknya ke
opini sebagaimana dibahas di Buku Panduan Pemeriksaan LKPD.
132. Q: Bagaimana bila terdapat Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan tidak mengikuti
prosedur (Peraturan KDH) misalnya tidak didasarkan pada pengajuan proposal serta
SP2D-nya dicairkan secara tunai dan diatasnamakan staf Tata Usaha Sekretariat
A: SPI lemah karena tidak ada proposal dan tanpa identitas jelas. Jika mungkin lakukan
prosedur alternatif untuk meyakini bantuan telah sampai ke penerima (seperti SK
Kepala Daerah ttg Daftar penerima Bansos). Terhadap permasalahan tersebut perlu
dibuat temuan pemeriksaan.
133. Q: Apakah bantuan sosial yang digunakan untuk kegiatan internal Pemda atau kegiatan
tertentu misalnya penyusunan raperda, biaya kunjungan kerja pejabat provinsi/
instansi vertikal, safari ramadhan KDH, pelantikan KHD/WKDH, naik haji pejabat
daerah/muspida, sosialisasi dibidang keagamaan, silaturahmi KDH, perayaan hari-hari
besar dapat mempengaruhi opini laporan keuangan?
134. Q: Apakah pembangunan kantor atau pengadaan barang dan jasa untuk kantor desa dan
instansi vertikal yang bersumber dari dana hibah dan bansos proses pengadaannya
harus mengikuti Perpres No. 16 Tahun 2018 beserta perubahannya?
A: Perpres No. 16 Tahun 2018 Pasal 2 huruf b menyatakan bahwa Ruang lingkup
pemberlakuan Peraturan Presiden ini meliputi pengadaan barang/jasa yang
menggunakan anggaran belanja dari APBN/APBD, termasuk Pengadaan Barang/Jasa
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pinjaman dalam negeri dan/atau
hibah dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Dengan demikian, pembangunan atau pengadaan tersebut di atas harus mengikuti
Perpres No.16 Tahun 2018 dan perubahannya serta Perka LKPP No. 13 Tahun 2013
beserta perubahannya tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.
135. Q: Bagaimana perlakuan atas mekanisme dan pertanggungjawaban belanja bantuan
sosial yang tidak sesuai ketentuan? Diantaranya:
1) Pemberian bantuan sosial berupa bahan bangunan yang diberikan melalui pihak
ketiga (rekanan yang mengadakan bahan bangunan) yang hanya didukung dengan
kuitansi dari rekanan tanpa tanda terima dari masyarakat penerima bahan
bangunan;
2) Pemberian bantuan sosial melalui pejabat daerah atau DPRD pada saat kunjungan
kerja yang hanya didukung dengan kuitansi dari pejabat daerah atau DPRD tersebut
tanpa tanda terima dari masyarakat penerima.
A: Dalam kedua kondisi tersebut, ungkap dalam temuan pemeriksaan dengan kondisi SPI
(mekanisme pencairan) tidak memadai dan pertanggungjawaban realisasi belanja
belum lengkap karena belum didukung bukti tanda terima dari penerima akhir
136. Q: Bagaimana jika belanja bantuan sosial diberikan kepada pihak yang tidak memenuhi
kriteria penerima bantuan sosial berdasarkan Bultek Nomor 19 tentang Akuntansi
Belanja Bantuan Sosial Berbasis Akrual dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari APBD (yang berlaku mulai TA 2012) misalnya:
a. Belanja bantuan sosial diberikan kepada pegawai negeri terkait dengan
pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai pegawai negeri (beasiswa); dan
b. Belanja bantuan sosial diberikan kepada satuan kerja di lingkungan instansi untuk
mendanai kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pemerintah
untuk menangani risiko sosial.
c. Dana Bantuan Sosial dikelola oleh Bagian Keuangan Setda/DPPKA sebagai dana
taktis dengan cara: Pembuatan proposal permohonan dana Bantuan Sosial dipesan
kepada pihak tertentu dengan imbal jasa, Proposal permohonan dana bantuan yang
diterima disetujui dalam jumlah tertentu, tetapi jumlah yang disalurkan dipotong
dalam jumlah tertentu.
A: Ungkap dalam temuan pemeriksaan dengan kondisi salah klasifikasi anggaran yang
seharusnya belanja hibah. Untuk menilai dampaknya terhadap opini dapat mengacu
pada Buku Panduan Pemeriksaan LKPD.
138. Q: Apakah pemberian honorarium kepada masyarakat yang bersifat rutin (contoh
pengurus masjid, RT, RW, kelompok masyarakat) dimasukkan Bansos? atau
dimasukkan ke belanja pegawai? Bagaimana perlakuannya?
A: Desa
Pemberian honor dalam tingkat desa dimasukkan dalam bantuan keuangan desa
(ADD). Yang merealisasikan adalah desa sesuai dengan No.6 Tahun 2014 tentang
Desa. Pada penjelasan Pasal 74 ayat (1) disebutkan bahwa: ”Dalam penetapan
Belanja Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT) dan rukun warga
(RW) dengan pertimbangan bahwa RT dan RW walaupun sebagai lembaga
kemasyarakatan, RT dan RW membantu pelaksanaan tugas pelayanan pemerintahan,
perencanaan pembangunan, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat Desa”.
Kelurahan
Sesuai UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pemberian insentif kepada
RT dan RW selaku perangkat kelurahan dapat diberikan melalui belanja langsung
(Belanja Pegawai – Insentif non PNS) melalui kegiatan yang dikelola SKPD. Sesuai
pasal 230 UU No.23 Tahun 2014 disebutkan bahwa anggaran dimasukkan dalam
anggaran Kecamatan pada pos anggaran Kelurahan.
Sedangkan untuk pengurus masjid dan kelompok masyarakat dapat diberikan
melalui Bantuan Sosial jika berpotensi ada kerawanan sosial. Jika tidak ada dapat
diberikan melalui Belanja Hibah dengan memperhatikan persyaratan dalam
Permendagri No.14 Tahun 2016.
A: Boleh, sepanjang pembiayaan pengobatan tersebut tidak ganda atau tidak ditanggung
dalam komponen BPJS/Jamkesda/program sejenis.
140. Q: Atas Belanja Barang untuk Diserahkan ke Masyarakat berupa pekerjaan fisik yang per
akhir tahun belum selesai dikerjakan, apakah dicatat sebagai persediaan? Sebesar
apa dicatatnya?
142. Q: Bagaimana menyikapi kondisi pemerintah daerah yang mengelola perguruan tinggi
kesehatan seperti: Akademi Keperawatan (Akper) dan Akademi Kebidanan
(Akbid) yang biaya/belanjanya dianggarkan dalam APBD?
A: Atas kondisi masih terdapat perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah daerah,
Tim menyusun temuan pemeriksaan, dengan rekomendasi untuk membuat rencana
aksi penyelesaian/penyerahan kepada Kemenristek Dikti. Berdasarkan UU No. Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah, Pasal 12 ayat (1) dan Lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Pendidikan disebutkan bahwa Pemerintah Pusat mengelola pendidikan tinggi,
sedangkan pengelolaan pendidikan menengah dan khusus merupakan urusan
Pemerintah Provinsi, dan pengelolaan pendidikan dasar dan pendidikan anak
usia dini serta non formal merupakan urusan pemerintah kabupaten/kota.
PEMBIAYAAN
143. Q: Apakah SILPA Tahun Lalu disajikan seluruhnya atau sebagian sebagai penerimaan
pembiayaan dalam LRA tahun berjalan?
145. Q: RSUD dan Puskesmas dengan status BLUD tidak menerapkan mekanisme
pengesahan surat pertanggungjawaban (SPJ) pendapatan dan belanja terkait dana
kapitasi. Apabila mekanisme pengesahan atas SPJ pendapatan dan belanja tidak
dilakukan, namun langsung dijurnal dan dikonsolidasi ke dalam laporan keuangan,
apakah hal tersebut diperbolehkan?