Anda di halaman 1dari 5

LEARNING JOURNAL

NAMA MAHASISWA : Rizki Fauzi


NIM : 1902112898
MATA KULIAH : Akuntansi Sektor Publik
MATERI : Standar / Prinsip Akuntansi Pada Sektor Publik
PERTEMUAN KE- :6

1. Pengertian Standar Akuntansi Pemerintah


Standar akuntansi pemerintahan atau SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang
diterapkan dalam menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan Pemerintah. Laporan
tersebut seperti misalnya Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
Secara umum SAP berbentuk Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP)
yang memiliki judul, nomor, dan tanggal efektif berlaku standar tersebut. Selain itu SAP juga
memiliki Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan yang menjadi rangka penyusunan.

Dalam membantu penerapannya, PSAP ini dibarengi dengan Interpretasi Pernyataan


Standar Akuntansi Pemerintahan (IPSAP) atau Buletin Teknis SAP. Gunanya adalah untuk
menghindari salah arti ari penggunaan PSAP dan mengatasi permasalahn teknis.

IPSAP dan Buletin Teknis SAP disusun dan diterbitkan oleh Komite Standar
Akuntansi Pemerintahan (KSAP) dan diberitahukan kepada Pemerintah dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Rancangan IPSAP disampaikan kepada BPK paling lambat empat belas
hari kerja sebelum IPSAP diterbitkan.

2. Standar Akuntansi Pemerintahan di Indonesia dan Penerapannya


Berikut ini adalah 4 peraturan pemerintah mengenai standar akuntansi pemerintahan
di Indonesia :

- Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010


- Lampiran I Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
- Lampiran II Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Kas Menuju Akrual
- Lampiran III Proses Penyusunan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
Dari peraturan pemerintah No. 71 Tahun 2010 ini terdapat lampiran yang mengatur
tentang bagaimana standar akuntansi di Indonesia diterapkan yaitu

 Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual

Pemerintah menerapkan SAP Berbasis Akrual dimana SAP mengakui


pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial berbasis
akrual. Selain itu juga mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam
pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalam
APBN/APBD. Seperti yang disebutkan diatas SAP yang telah dibuat dilengkapi
juga dengan PSAP dan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintah. Nah PSAP dan
Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan dalam rangka SAP Berbasis Akrual
ini tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010.

Sedangkan penyusunan SAP Berbasis Akrual dilakukan oleh KSAP melalui


proses baku penyusunan (due process). Proses baku penyusunan SAP tersebut
merupakan pertanggungjawaban profesional KSAP yang secara lengkap terdapat
dalam Lampiran III Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010.

 Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Kas Menuju Akrual

Sebelum diterapkan SAP Berbasis Akrual terlebih dahulu dilakukan penerapan


SAP Berbasis Kas Menuju Akrual secara bertahap. SAP Berbasis Kas Menuju Akrual
adalah SAP yang mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan berbasis kas, serta
mengakui aset, utang, dan ekuitas dana berbasis akrual.

Aturan terkait penerapan SAP Berbasis Akrual yang dilakukan secara bertahap
pada pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Sedangkan pada
pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Penerapan SAP
Berbasis Akrual secara bertahap dilakukan dengan memperhatikan urutan persiapan
dan ruang lingkup laporan.

Sama seperti diatas SAP Berbasis Kas Menuju Akrual juga dinyatakan dalam bentuk
PSAP dan dilengkapi dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan. Aturan
ini tercantum Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010. Sebelumnya,
SAP Berbasis Kas Menuju Akrual digunakan dalam SAP berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005.

Karena dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa selama


pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum
dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual menurut Pasal 36 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dilaksanakan paling lambat lima tahun.
Karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 digantikan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010.

3. ISAK 34

Perubahan istilah terjemahan atas kata “Not-for-Profit” sebelumnya dalam


PSAK 45 diterjemahkan sebagai “Nirlaba” namun kemudian dirubah oleh DSAK IAI
dalam ISAK 35 menjadi NonLaba dengan dasar bahwa sesungguhnya aktivitias
utamanya tidak berorientasi mencari laba namun bukan berarti tidak menghasilkan
laba (nirlaba).
1. Ruang lingkup objek ISAK 35 adalah:
o Entitas berorientasi nonlaba terlepas dari apapun bentuk
hukumnya;
o Diterapkan juga oleh entias yang menerapkan SAK ETAP;
2. ISAK 35 hanya mengatur mengenai penyajian laporan keuangan, sehingga
ketentuan akuntansi lain yang dilakukan oleh entitas nonlaba tersebut
mengacu kepada SAK atau SAKETAP masing-masing yang relevan.
3. Kebebasan untuk melakukan penyesuaian terhadap beberapa hal sesuai
dengan kondisi entitas nonlaba tersebut, diantaranya:
- Penyesuaian deskripsi yang digunakan untuk beberapa pos dalam
laporan keuangan;
- Penyesuaian deskripsi yang digunakan untuk laporan keuangan itu
sendiri.
- Tidak ada pengaturan ketentuan transisi yang diatur khusus pada ISAK
35.

menurut ISAK 35, laporan keuangan entitas nonlaba terdiri dari 5 jenis, yaitu
:

1. Laporan Posisi Keuangan


2. Laporan Penghasilan Komprehensif
3. Laporan Perubahan Aset Neto
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Atas Laporan Keuangan

Studi kasus

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan enam masalah dalam Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat Tahun 2015. Temuan tersebut termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksan yang
diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hari ini. Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan
enam masalah itu perlu ditindaklanjuti pemerintah. “Maka atas LKPP Tahun 2015, BPK
memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian,” kata Harry dalam Sidang Paripurna di Gedung
DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 2 Juni 2016.

Menurut Harry, masalah pertama terkait penyajian Investasi Permanen Penyertaan Modal
Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp 1.800,93 triliun. Dari nilai tersebut, sebesar Rp
848,38 triliun merupakan PMN kepada PT Perusahaan Listrik Nasional. (Baca: BPK Temukan
Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total).

Dalam laporan keuangannya (unaudited), PLN mengubah kebijakan akuntansinya yang


tadinya menggunakan ISAK 8, menjadi tidak ISAK 8. Padahal, Otoritas Jasa Keuangan tetap
mewajibkan PLN untuk menerapkan ISAK 8. ISAK 8 yaitu Interpretasi Standar Akuntansi
Keuangan 8. Ini merupakan pernyataan dan interpretasi yang diterbitkan oleh Dewan Standar
Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan
Akuntan Indonesia, serta peraturan regulator pasar modal untuk entitas yang berada di bawah
pengawasannya. (Baca juga: BPK Akui Tak Ada Kerugian Negara dalam Penjualan Minyak Blok
Cepu).

Pada Juli tahun lalu, PLN menyatakan efisiensi biaya bisa mengontrol pengeluaran bagi
perseroan. Di sisi lain, dengan menerapkan ISAK 8, mulai 2012, berdampak pada utang valas
perusahaan. Sehingga, penerapan standar akuntansai tersebut juga berpengaruh terhadap laba rugi
PLN, yang sangat berfluktuasi karena dipengaruhi nilai tukar rupiah. BACA JUGA Mendorong
UMKM agar Makin Cakap Digital Sambut Tren Sektor Animasi, Kominfo Gelar Rangkaian Kelas
Online Pada posisi seperti ini, BPK menilai dampak penerapan ISAK 8 dan tanpa penerapan ISAK 8
menimbulkan perbedaan nilai penanaman modal negara pada PLN per 31 Desember 2015 yang
disajikan sebesar Rp 43,44 triliun. Penggunaan data tersebut lantaran manajemen PLN belum
memberikan laporan keuangan per 31 Desember 2015 yang telah melalui proses audit. Sehingga,
BPK tidak dapat menentukan apakah perlu penyesuaian atas angka tersebut.

Masalah kedua, kata Harry, pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar
bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsidi tetap. Hal ini menyebabkan
konsumen terbebani dan menambah keuntungan badan usaha, dalm hal ini PT Pertamina, melebihi
yang seharusnya, yakni Rp 3,19 triliun. Namun pemerintah belum menetapkan status dari dana
tersebut.

Harry Azhar Azis (Arief Kamaludin|KATADATA) Ketiga, terkait piutang bukan pajak
sebesar Rp 1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI. Lalu
Rp 33,94 miliar dan US$ 206,87 juta dari Iuran Tetap, Royalti, dan Penjualan Hasil Tambang (PHT)
pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak didukung sumber yang memadai serta Rp
101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.

Masalah keempat yakni persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 2,49 triliun
belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi dan rekonsiliasi Barang Milik
Negara yang memadai. Begitu pula dengan persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada
Kementerian Pertanian sebesar Rp 2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.

Kelima, koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas Rp 96,53 triliun dan transaksi
antar entitas sebesar Rp 53,34 triliun tidak didukung sumber yang memadai. Terakhir, pencatatan
dan penyajian catatan fisik Saldo Anggaran Lebih (SAL) tidak akurat, sehingga kewajaran transaksi
atau saldo terkait SAL sebesar Rp 6,60 triliun tidak dapat diyakini. Terhadap enam permasalahan
tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan semakin berkurang dan tidak menjadi temuan
berulang,” ujar Harry.

Meskipun demikian, dalam LHP 2015 ini, BPK menilai hasilnya lebih baik dibandingkan
2014. Hal tersebut terlihat dari jumlah kementerian dan lembaga yang memperoleh opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP) dari 62 instansi pada 2014 menjadi 56 instansi tahun lalu. Sedangkan
yang memperoleh opini WDP sebanyak 26 kementerian dan lembaga dan Tidak Memberikan
Pendapat (TMP) sebanyak empat kementerian dan lembaga pada 2015. Sayangnya, BPK enggan
merinci tiap-tiap intansi tersebut. (Lihat pula: Penjaga Etik BPK di Pusaran Panama Papers).

Sebagai informasi, dalam laporan realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2015,
pemerintah melaporkan realisasi pendapatan sebesar Rp 1.508,02 triliun atau turun 2,74 persen
dibandingkan 2014 yang sebesar Rp 1.550,49 triliun. Sedangkan dari neraca Pemerintah Pusat per 31
Desember 2015, total asset yang disajikan Rp 5.163,32 triliun atau naik Rp 1.252,40 triliun
dibandingkan total asset 2014 sebesar Rp 3.910,92 triliun.

Anda mungkin juga menyukai