Anda di halaman 1dari 68

Blok 17

Sistem Saraf
Referensi:
PB IDI. 2017. Panduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer,
Edisi Pertama.
Bates, Barbara.: The General Survey, A guide to Physical Examination and History Taking,
Philadelphia, J.B. Lippincott Company, 6th Ed, 1995.
DeGowin, E.L; DeGowin, R.L, Motor Function, Diagnostic Examination, The Macmillan
Company, London, 2nd ed., p.772
Fuller, Geraint. Neurological Examination Made Easy. Churchill Livingstone. Edinburgh,
London.1993.
Markum, H.M.S. Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Jakarta, Pusat Informasi dan
Penerbitan. Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Edisi ke 2, 2003.
Swartz, M.H. Pocket Companion to textbook of Physical Diagnostic. W.B Saunders Company.
Philadelphia, Pennsylvania. 1995
Blok 17

Koordinasi dan Keseimbangan


Tingkat keterampilan: 4A
BAGIAN SARAF FK UKM

Tujuan Umum:
Setelah menyelesaikan latihan dalam modul ini, mahasiswa harus dapat
mendeskripsikan gangguan koordinasi dan keseimbangan yang dijumpai pada
pasien dan mencatatnya dalam rekam medis.

Tujuan khusus
Mahasiswa harus mampu :
1. Mempersiapkan alat dan pasien untuk pemeriksaan secara benar
2. Melakukan pemeriksaan dengan benar
3. Mendeskripsikan dan mencatat kelainan yang ditemukan

Alat dan Bahan: -

Koordinasi
Koordinasi adalah gerakan bertujuan, melibatkan banyak sendi, merupakan fungsi
cerebellum. Dasar koordinasi ialah kerja sama otot antagonis, menghasilkan
gerakan volunter yang cepat, tepat dan tangkas.
Gangguan koordinasi berupa kelainan : - ataxia
- dismetri
- disdiadokokinesia
- intention tremor
Tes koordinasi meliputi :
1. Tes telunjuk hidung
2. Tes hidung – jari – hidung
3. Tes pronasi – supinasi / disdiakokinesia
4. Tes tumit – lutut

1. Tes telunjuk – hidung


- Pasien dapat berbaring atau duduk.
- Pasien dengan mata tertutup diminta menunjuk hidungnya sendiri,
kemudian menunjuk jari telunjuknya secara berganti –ganti dengan
gerakan cepat.
- Test dilakukan untuk tangan kanan dan kiri.

2. Tes hidung – jari – hidung


- Pasien dapat berbaring atau duduk.
- Jari pemeriksa diletakkan 20 – 30 cm didepan pasien.
- Pasien dengan mata terbuka diminta menunjuk hidungnya sendiri,
kemudian menunjuk jari telunjuk pemeriksa secara berganti –ganti dengan
gerakan cepat.

2
Sistem Saraf

- Jari telunjuk pemeriksa berpindah – pindah posisi selama test berlangsung.


- Test dilakukan untuk tangan kanan dan kiri.

3. Tes Pronasi – supinasi (Disdiadokokinesia)


- Pasien sebaiknya pada posisi duduk.
- Mata pasien terbuka.
- Pasien diminta meletakkan kedua tangan diatas bagian distal pahanya,
mula-mula telapak tangannya menghadap ke bawah (pronasi), kemudian
keatas (supinasi) gerakan itu dilakukan secara berganti –ganti , mula –
mula perlahan, makin lama makin cepat.
- Test dilakukan untuk tangan kanan, kemudian tangan kiri, lalu dilakukan
bersamaan tangan kanan dan kiri.
- Deskripsi : bila tidak dapat melakukan pronasi-supinasi dengan cepat,
disebut disdiadokokinesis

4. Tes tumit – lutut


- Pasien dalam posisi berbaring.
- Pasien diminta meletakkan tumit kaki kiri diatas lutut kanannya,
kemudian tumit digerakkan menyusuri tulang tibia kearah distal sampai
punggung kaki dan ibu jari kaki.
- Gerakan dilakukan berulang-ulang, mula-mula perlahan kemudian makin
cepat.
- Lakukan untuk tumit kanan dan kiri.

Tes Keseimbangan :
Tes Romberg
- Pasien dalam posisi berdiri.
- Pasien diminta menutup matanya
- Pasien diminta berdiri dengan kedua tumit berdekatan dan kedua ibu jari
kaki berjauhan
- Perlu diperhatikan bahwa pada tes ini pemeriksa harus memposisikan diri
di dekat pasien, untuk mengantisipasi kemungkinan pasien terjatuh saat
dilakukan tes.
Romberg (+) bila cenderung jatuh ke satu arah tertentu.

Penilaian : pada semua tes, koordinasi dinilai terutama berdasarkan ketangkasan


dan ketepatan gerak.

3
Blok 17

Check List Pemeriksaan Koordinasi

SKOR
No. KRITERIA : Pemeriksaan Koordinasi
0 1 2 3
1 Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan
diri
2. Memposisikan diri di sebelah kanan tempat tidur pasien
Tes telunjuk – hidung

1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan


2. Pasien diminta berbaring atau duduk.
3. Pasien dengan mata tertutup diminta menunjuk
hidungnya sendiri, kemudian menunjuk jari
telunjuknya secara berganti –ganti dengan gerakan
cepat.
4. Test dilakukan untuk tangan kanan dan kiri.
5. Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan mencatatnya
dalam rekam medik

Tes hidung – jari – hidung (tes telunjuk – hidung)

1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan


2. Pasien diminta berbaring atau duduk.
3. Jari pemeriksa diletakkan 20 – 30 cm didepan pasien.
4. Pasien dengan mata terbuka diminta menunjuk
hidungnya sendiri, kemudian menunjuk jari telunjuk
pemeriksa secara berganti –ganti dengan gerakan cepat.
5. Jari telunjuk pemeriksa berpindah – pindah posisi
selama test berlangsung.
6. Test dilakukan untuk tangan kanan dan kiri.
7. Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan mencatatnya
dalam rekam medik
Tes Pronasi – Supinasi (Disdiadokokinesia)
1. Menjelaskan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Meminta pasien untuk membuka mata
3. Memberikan instruksi agar pasien meletakkan kedua
tangan diatas bagian distal pahanya, telapak tangannya
menghadap ke bawah (pronasi), kemudian berganti
menjadi supinasi. gerakan itu dilakukan secara berganti –
ganti dengan cepat.
4. Memberi contoh gerakan yang diharapkan.
5. Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan menuliskan
dalam rekam medik
Tes tumit – lutut
1. Menjelaskan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Mempersilakan pasien berbaring

4
Sistem Saraf

3. Pasien diminta meletakkan tumit kaki kiri diatas lutut


kanannya, kemudian tumit digerakkan menyusuri tulang
tibia kearah distal sampai punggung kaki dan ibu jari
kaki. Gerakan dilakukan berulang-ulang, mula-mula
perlahan kemudian makin cepat.
4. Meminta pasien melakukan dengan tungkai yang lain
5. Mendeskripsikan hasilnya dan menuliskan dalam rekam
medik
Tes Romberg
1. Menjelaskan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Meminta pasien berdiri dengan kedua tumit berdekatan
dan kedua ibu jari kaki berjauhan
3. Saat dilakukan tes ini pemeriksa menempatkan diri di
dekat pasien
4. Meminta pasien menutup matanya
5. Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan menuliskan
dalam rekam medik
TOTAL

5
Blok 17

Pemeriksaan Status Kesadaran (GCS)


Tingkat keterampilan: 4A
BAGIAN SARAF FK UKM

Tujuan:
Setelah menyelesaikan latihan dalam modul ini, mahasiswa harus dapat
menentukan derajat kesadaran pasien yang dihadapi baik secara kualitatif maupun
kuantitatif.

Alat dan Bahan: -

Penentuan tingkat kesadaran dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.


1. Secara kualitatif
Tingkat kesadaran secara kualitatif dievaluasi dari hasil interaksi & komunikasi
dengan pasien: orientasi, observasi bahasa tubuh, ekspresi wajah, perhatian,
daya ingat, pengenalan terhadap obyek, suasana hati dan integrasi aktivitas
motorik.
Kompos mentis (Compos mentis) / Alert : Sadar penuh, orientasi baik, respon
baik, dan dapat berinteraksi dengan sekelilingnya
Acute Confusional State (Delirium) : Keadaan dimana seseorang mengalami
keadaan gangguan kesadaran, bingung akut, perubahan kognisi (tumpul),
disorientasi, percakapan inkoheren, sering mengalami agitasi dan iritabilitas,
salah persepsi, halusinasi visual. Pada keadaan ini pasien kehilangan kontak
dengan sekitarnya. Pasien terlihat berteriak, ofensif, curiga, agitasi.
Somnolen (Somnolent) : Pasien sangat mengantuk dan tampak seperti tidur,
masih dapat dibangunkan dengan rangsang ringan (dipanggil, rangsang nyeri
ringan).
Sopor (Soporous) : Hanya berespon terhadap rangsang yang kuat (teriakan,
nyeri kuat : dicubit, penekanan pada dasar kuku, penekanan suprasternal atau
penekanan daerah supraorbital). Terhadap rangsang tersebut, reaksi pasien
hanya sekedar membuka mata sesaat kemudian kembali tidak sadar.
Koma (Comatous) : Keadaan di mana tidak ada lagi respon terhadap rangsang
yang kuat (rangsang nyeri).

2. Secara kuantitatif
Pemeriksaan kesadaran secara kuantitatif paling banyak dilakukan dengan
Skala Koma Glasgow (Glasgow Comma Scale, GCS).
Aspek yang dinilai pada GCS adalah :
A. Respon Motorik (M) : nilai 1 - 6
B. Respon Mata (E) : nilai 1 - 4
C. Respon Verbal (V) : nilai 1 - 5
Nilai GCS = M + E + V (Maks. 15, Min. 3)
Cara menilai respon pada Glasgow Comma Scale (GCS)

6
Sistem Saraf

A. Respon Motorik (M)


 Bila pasien dapat melaksanakan perintah sesuai dengan perintah yang
diberikan, misalnya: menunjukkan jari telunjuk kanan atau kiri, atau
meng-angkat tangan kanan atau kiri, dinilai 6
 Bila pasien tidak dapat menuruti perintah dan pada pemberian
rangsang nyeri di supra orbita, pasien berusaha menghindarkan
penyebab nyeri dengan tangannya sampai melewati dagu (mampu
menepis sumber nyeri), dinilai 5
 Bila pasien dirangsang nyeri di pangkal kuku, pasien hanya berusaha
menarik tangan yang dirangsang, tapi tangan yang lain tidak berusaha
menghindarkan penyebab nyerinya (tidak mampu menepis sumber
nyeri), dinilai 4
 Bila dengan rangsang nyeri di dada (sternum) maupun di tempat lain
pasien melakukan gerakan fleksi pada kedua tangannya (fleksi
abnormal), dinilai 3
 Bila dengan pemberian rangsang nyeri pasien melakukan gerakan
ekstensi (ekstensi abnormal), dinilai 2
 Bila dengan pemberian rangsang apapun pasien tidak bereaksi, maka
dinilai 1

Gambar 1. Posisi deserebrasi dengan nilai motorik 2 (atas)


dan dekortikasi dengan nilai motorik 3 (bawah)

B. Mata
 Bila pasien membuka matanya spontan, dinilai 4
 Bila mata pasien tertutup, tetapi dapat diperintah secara verbal untuk
membuka matanya, dinilai 3
 Bila dengan perintah verbal pasien tidak membuka matanya, tapi dengan
rangsang nyeri, yaitu dengan memberikan tekanan pada supra orbita, pangkal
kuku atau sternum baru membuka matanya, dinilai 2
 Bila dengan rangsang nyeri apapun pasien tidak membuka matanya, maka
dinilai 1

7
Blok 17

C. Respon Verbal
 Bila pasien menjawab pertanyaan, baik waktu maupun tempat (orientasi
tempat dan waktu) dengan benar, misalnya:
o Dimana dia berada saat ini, dijawab poliklinik,
o Ditanya waktu saat pemeriksaan, dijawab pagi atau siang/sesuai
dengan kenyataan, dinilai 5

 Bila pasien bingung sehingga menjawab tidak sesuai kenyataan / keadaan


yang sebenarnya, misalnya
o Ditanya tahun berapa sekarang, dijawab tahun 1972.
o Ditanya tempat, dijawab tapi tidak tepat, dinilai 4

 Apabila pasien menjawab pertanyaan, tapi tidak sesuai dengan apa yang
ditanyakan, misalnya:
o Ditanya tahun berapa sekarang, dijawab: ibu, bapak, makan dsb
o Ditanya siapa namanya, dijawab: hal-hal lain seperti waktu, tempat,
dinilai 3

 Bila pasien berteriak-teriak atau hanya mengerang bila dirangsang nyeri,


dinilai 2

 Bila tidak ada jawaban sama sekali, baik dengan perintah verbal maupun
dengan rangsang nyeri, dinilai 1

Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)


Respon motorik (batasan nilai 1-6)
Motor response (M)
Mengikuti perintah 6
Melokalisasi rasa nyeri 5
Fleksi terhadap rasa nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada respon 1

Pembukaan mata (batasan nilai 1-4)


Eye opening (E)
Mata terbuka spontan 4
Mata terbuka oleh rangsang suara 3
Mata terbuka oleh rangsang nyeri 2
Mata tidak membuka 1
Respon verbal (batasan nilai 1-5)
Verbal response (V)
Bicara normal, terarah 5
Bicara normal, tidak terarah 4

8
Sistem Saraf

Bicara abnormal 3
Bunyi yang tidak dimengerti 2
Tidak ada respon verbal 1

Check List Pemeriksaan Kesadaran dengan GCS

No Instruksi Skor
1 Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Memposisikan diri di sebelah kanan tempat tidur pasien
3. Memberikan rangsangan kepada pasien:
 Rangsang suara, jika respon (-) dilanjutkan dengan,
 Memberi rangsang nyeri pada daerah: (pilih salah satu)
 supra orbita
 di pangkal kuku
 sternum
4. Mengamati Respon Motorik (M), Respon Mata (E), dan Respon Verbal
(V) secara bersamaan.
Respon yang dinilai, lihat narasi sub-bab ini. (Tabel 1. GCS)
6. Mencatat respons pasien : E…......V……..M..............
7. Menghitung nilai total GCS

9
Blok 17

Pemeriksaan Rangsang Meningens


Tingkat keterampilan: 4A
BAGIAN SARAF FK UKM

Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan latihan dalam modul ini, mahasiswa harus dapat
melakukan pemeriksaan rangsang meningens pada pasien dan mencatat hasilnya
dalam rekam medis.

Tujuan khusus
Mahasiswa harus mampu :
1. Mempersiapkan pasien untuk pemeriksaan rangsang meningens
2. Melakukan pemeriksaan rangsang meningens dengan benar
3. Mendeskripsikan dan mencatat hasil yang ditemukan

Alat dan Bahan: -

Pemeriksaan rangsang meningens :


a. Kaku kuduk
Pasien tidur terlentang tanpa bantal. Tangan kiri pemeriksa diletakkan di
bawah kepala pasien. Kepala pasien difleksikan sedemikian sehingga dagu
dapat menyentuh dada.
Kaku kuduk positif bila dagu tak dapat menyentuh dada, terasa tahanan dan
pasien merasa nyeri.

b. Tanda Kernig
Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus. Pemeriksa
memfleksikan salah satu sendi panggul sejauh 90°, kemudian dilakukan
ekstensi pada sendi lutut tungkai tersebut. Tanda Kernig disebut positif bila
pada ekstensi sendi lutut kurang dari 135° terdapat spasme otot paha dan
pasien merasa nyeri.

Gambar 1. Pemeriksaan Kernig

10
Sistem Saraf

c. Tanda Laseque
Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus. Pemeriksa
memfleksikan salah satu sendi panggul dalam keadaan sendi lutut ekstensi
(tungkai lurus). Tanda Laseque dikatakan positif bila fleksi pada sendi panggul
kurang dari 60°, gerakan fleksi terbatas, terasa tahanan dan pasien merasa nyeri.

Gambar 2. Pemeriksaan Laseque

d. Tanda Brudzinski I
Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus. Dilakukan fleksi
kepala ke arah dada. Brundzinski I dikatakan positif bila terjadi fleksi sendi
lutut pada salah satu atau kedua tungkai.

Gambar 3. Pemeriksaan Brudzinski I

e. Tanda Brudzinski II
Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus. Dilakukan gerakan
seperti Kernig. Brundzinski II dikatakan positif bila timbul fleksi sendi panggul
dan lutut pada tungkai sisi kontralateral.

Gambar 4. Pemeriksaan Brudzinski II

f. Tanda Brudzinski III


Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus. Dilakukan
penekanan di daerah suprapubis. Brundzinski III dikatakan positif bila terjadi
fleksi sendi lutut pada salah satu atau kedua tungkai.

11
Blok 17

Check List Pemeriksaan Tanda Perangsangan Meningens

Skor
No Kriteria
0 1 2 3

1. Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri

2. Memposisikan diri di sebelah kanan tempat tidur pasien

3. Meminta pasien berbaring dengan rileks

4. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan

Kaku kuduk dan Brudzinski I.

1. Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan tungkai lurus.

Memastikan bahwa tidak terdapat instabilitas vertebra


2. servikal dengan menanyakan kepada pasien apakah ada
riwayat trauma pada daerah leher.

3. Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien.

Dengan gerakan halus, tangan pemeriksa menggerakkan


kepala pasien sehingga ia bergerak menoleh ke kiri dan ke
4.
kanan. Sambil melakukan gerakan ini pemeriksa menilai
apakah terdapat pergerakan yang terbatas.
Kepala pasien diangkat dengan tangan kiri pemeriksa, dan
5. difleksikan sedemikian sehingga dagu dapat menyentuh
dada.
Pemeriksa menilai apakah terasa tahanan saat memfleksikan
6.
kepala tadi.
Sambil melakukan fleksi kepala pasien, pemeriksa juga
7.
mengamati apakah terdapat fleksi pada tungkai.
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan : kaku kuduk positif atau
8.
negatif, Brudzinski I positif atau negatif.
9. Menuliskan pada status / rekam medis.
Tanda Laseque

1. Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus.

Pemeriksa memfleksikan salah satu sendi panggul dalam


2.
keadaan sendi lutut ekstensi (tungkai lurus).
Menilai fleksi sendi panggul dapat dilakukan sejauh berapa
3. derajat dari garis horizontal, sambil merasakan adanya
tahanan.

12
Sistem Saraf

4. Mengulangi prosedur pada tungkai yang lain.

5. Mendeskripsikan hasil pemeriksaan : Laseque (+) atau (-)

Tanda Kernig

Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus.


1.
Pemeriksa memfleksikan salah satu sendi panggul sejauh 90°.

Menilai fleksi sendi lutut dapat dilakukan sejauh berapa


2. derajat dari garis horizontal, sambil merasakan adanya
tahanan.
3. Mengulangi prosedur pada tungkai yang lain.

4. Mendeskripsikan hasil pemeriksaan : Kernig (+) atau (-)

Tanda Brudzinski II

1. Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus.

2. Pemeriksa melakukan seperti pada pemeriksaan Kernig.

3. Menilai apakah terjadi fleksi pada tungkai sisi kontralateral

Tanda Brudzinski III

Pasien terlentang tanpa bantal dengan kedua tungkai lurus.


1.
Pemeriksa melakukan penekanan di daerah suprapubis.
Menilai apakah terjadi fleksi sendi lutut pada salah satu atau
2.
kedua tungkai.
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan : Brudzinski III (+) atau
3.
(-)

TOTAL SKOR

13
Blok 17

Pemeriksaan Motorik
Tingkat keterampilan: 4A
BAGIAN SARAF FK UKM

Tujuan Umum:
Setelah menyelesaikan latihan dalam modul ini, mahasiswa harus dapat
mendeskripsikan kelainan motorik yang dijumpai pada pasien dan mencatatnya
dalam rekam medis.
Tujuan khusus
Mahasiswa harus mampu :
 Mempersiapkan alat dan pasien untuk pemeriksaan motorik secara benar
 Melakukan pemeriksaan motorik dengan benar
 Mendeskripsikan dan mencatat kelainan motorik yang ditemukan

Prasyarat
Anatomi dan fisiologi sistem motorik – Materi pengetahuan blok 17

Alat dan Bahan: pita pengukur

Pemeriksaan motorik meliputi :


1. Inspeksi : pemeriksaan postur tubuh, cara berdiri dan berjalan; pemeriksaan
adanya atropi.
2. Palpasi untuk memeriksa tonus otot
3. Pemeriksaan kekuatan otot
4. Pemeriksaan fasikulasi

1. Inspeksi : pemeriksaan postur, cara berdiri dan berjalan, atropi dan gerakan
involunter
- Perhatikan apakah terdapat postur hemiplegik yaitu fleksi pada sendi siku
dan pergelangan tangan disertai ekstensi pada sendi lutut dan pergelangan
kaki.
- Perhatikan seluruh tubuh pasien, bandingkan sisi kiri dan kanan. Apakah
simestris atau terdapat perbedaan massa otot. Pengecilan massa otot atau
atropi diukur dengan pita pengukur pada tempat yang homolog pada sisi kiri
dan kanan. Perbedaan ukuran lebih dari 2 cm disebut sebagai atropi.
- Adakah gerakan involunter seperti misalnya ”resting tremor”, ballismus atau
khorea.

2. Pemeriksaan tonus otot


- Pemeriksaan tonus otot sangat penting untuk menentukan letak kelainan
pada sistem saraf. Pada pemeriksaan tonus, penderita harus berada dalam
keadaan rileks atau dialihkan perhatiannya dengan mengajak bicara.
- Tonus otot diperiksa dengan cara : pemeriksa menggerakkan ekstremitas
pasien secara pasif dalam gerakan fleksi dan ekstensi.

14
Sistem Saraf

- Tonus otot lengan diperiksa dengan menggerakkan lengan bawah pada sendi
siku. Peganglah lengan atas penderita dengan tangan kanan anda dan lengan
bawah penderita dengan tangan kiri anda, gerakkan lengan bawah dengan
gerakan fleksi dan ekstensi serta pronasi-supinasi.
- Tonus otot tungkai diperiksa dengan menggerakkan tungkai pada sendi
panggul, sendi lutut dan pergelangan kaki
- Periksalah tonus otot teman anda untuk mengenali tonus yang normal. Bila
tonus normal, maka hanya sedikit tahanan yang dirasakan pemeriksa pada
seluruh range of movement (= ROM, arah jangkauan gerak).
- Pada kelumpuhan tipe Lower Motor Neuron (LMN), tonus otot menurun
(flaccid). Sedangkan pada kelumpuhan tipe Upper Motor Neuron (UMN)
tonus otot meninggi :
 Saat diperiksa, sekonyong-konyong timbul resistensi terhadap gerakan
pemeriksa (spastisitas).
 Bila terdapat peningkatan tonus yang intermitten, sehingga terasa
seperti roda gigi, disebut sebagai cogwheel rigidity. Hal ini dijumpai pada
penyakit Parkinson.

3. Pemeriksaan kekuatan otot


Pemeriksaan dilakukan dengan cara : membandingkan kekuatan otot pasien
dengan tahanan yang melawannya. Penilaian dilakukan dengan skala Medical
Research Council (MRC) :
0 : tidak ada kontraksi
1 : sedikit kontraksi otot yang visible atau palpable
2 : dapat menggeser ekstremitas pada permukaan datar, tidak dapat
melawan gaya berat
3 : dapat melawan gaya berat sehingga ekstremitas dapat diangkat,
tetapi tidak dapat melawan tahanan pemeriksa
4 : dapat melawan tahanan sedang
5 : kekuatan otot normal.

Berkurangnya kekuatan sekelompok otot yang disebabkan gangguan fungsi


sistem motorik disebut sebagai kelumpuhan atau paresis. Kelumpuhan/
kelemahan total disebut sebagai paralisis atau plegi (kekuatan = 0).
Menurut distribusi ekstremitas yang lumpuh, dapat dijumpai :
- Kelemahan satu anggota gerak, disebut monoparesis.
- Kelemahan satu sisi tubuh (misalnya lumpuh sebelah kanan atau sebelah
kiri), disebut hemiparesis.
- Kelemahan kedua tungkai disebut sebagai paraparesis.
- Kelemahan seluruh ekstremitas disebut sebagai tetraparesis.

Pada rekam medik, hasil pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas secara umum
dituliskan sebagai berikut :

15
Blok 17

(kekuatan otot lengan kanan) (kekuatan otot lengan kiri)


(kekuatan otot tungkai kanan) (kekuatan otot tungkai kiri)

Contoh : kekuatan otot lengan kanan 3, tungkai kanan 3, lengan kiri 5, lengan
kiri 5 (artinya hemiparesis kanan), ditulis

3 5
3 5

4. Pemeriksaan fasikulasi
Fasikulasi adalah gerakan halus sekelompok otot di bawah kulit yang tampak
pada inspeksi. Fasikulasi dapat timbul secara spontan atau diprovokasi dengan
melakukan perkusi otot beberapa kali pada bagian badan otot (venter).

16
Sistem Saraf

Checklist pemeriksaan motorik

SKOR
No. KRITERIA : Pemeriksaan Motorik
0 1 2 3
Introduksi
1 Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Memposisikan diri di sebelah kanan tempat tidur pasien
Inspeksi : pemeriksaan postur, cara berdiri dan berjalan, atropi dan gerakan
involunter
1. Menjelaskan cara pemeriksaan
2. Memperhatikan postur tubuh penderita pada posisi berdiri
maupun berbaring, membandingkan sisi kiri dan kanan
3. Mengambil pita pengukur
4. Mengukur massa otot dengan pita pengukur pada tempat
yang homolog pada sisi kiri dan kanan.
5. Mendeskripsikan hasil pemeriksaan : misalnya : postur
normal / hemiplegik, tidak terdapat atropi
6. Memperhatikan apakah terdapat gerakan involunter
7. Mencatat pada rekam medik
Pemeriksaan tonus otot
1. Menjelaskan kepada penderita mengenai cara dan tujuan
pemeriksaan
2. Penderita diminta untuk tetap rileks dan dialihkan
perhatiannya dengan mengajak bicara
3. Tonus otot lengan bawah : peganglah lengan atas dengan
tangan kanan anda dan pegang lengan bawah dengan
tangan kiri anda.
4. Lengan bawah di-fleksi / ekstensikan. Sambil melakukan
hal tersebut, pemeriksa merasakan apakah normal,
hipotoni atau hipertoni
5. Pemeriksa menggerakkan tungkai penderita pada sendi
panggul. Sambil melakukan hal tersebut, pemeriksa
merasakan apakah normal, hipotoni atau hipertoni
6. Pemeriksa menggerakkan tungkai penderita pada sendi
lutut. Sambil melakukan hal tersebut, pemeriksa
merasakan apakah normal, hipotoni atau hipertoni
7. Pemeriksa menggerakkan tungkai penderita pada
pergelangan kaki. Sambil melakukan hal tersebut,
pemeriksa merasakan apakah normal, hipotoni atau
hipertoni
8. Mendeskrisikan hasil pemeriksaan dan menuliskan pada
rekam medik
Pemeriksaan kekuatan otot
1. Menjelaskan kepada penderita mengenai cara dan tujuan
pemeriksaan
2. Penderita diminta menggerakkan lengan atau tangan
kanannya sekuat tenaga. Bila ia dapat mengangkat lengan

17
Blok 17

tersebut, berilah tahanan terhadap lengan tersebut,


sedangkan penderita diminta untuk melawan tahanan dari
pemeriksa sekuat tenaga
3. Melakukan langkah 2 terhadap tungkai kanan
4. Melakukan langkah 2 terhadap lengan kiri
5. Melakukan langkah 2 terhadap tungkai kiri
6. Mendeskripsikan dan mencatatnya pada rekam medik.
Pemeriksaan fasikulasi
1. Memperhatikan adakah gerakan halus sekelompok otot di
bawah kulit yang tampak pada inspeksi.
2. Melakukan perkusi otot pada ekstremitas yang mengalami
paresis
3. Mendeskripsikan dan mencatat pada rekam medik

TOTAL

18
Sistem Saraf

Pemeriksaan Sensorik/ Sistem Sensibilitas


Tingkat keterampilan: 4A
BAGIAN SARAF FK UKM

Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan latihan dalam modul ini, mahasiswa harus dapat
mendeskripsikan kelainan sensorik yang dijumpai pada pasien dan mencatatnya
dalam rekam medis.

Tujuan khusus
Mahasiswa harus mampu :
1. Mempersiapkan alat dan pasien untuk pemeriksaan sensorik secara benar
2. Melakukan pemeriksaan sensorik dengan benar
3. Mendeskripsikan dan mencatat kelainan sensorik yang ditemukan

Prasyarat
Anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat, saraf tepi dan sensorik – Kuliah blok 17

Alat-alat yang diperlukan :


Kapas
Tusuk gigi (sisi tumpul dan tajam)
Tabung reaksi berisi air hangat dan air dingin
Garpu tala 128 dan 512 (atau 1024) Hz
Peta sensibilitas
Rader (pinwheel)

Sensibilitas terdiri atas :


1. Sensibilitas Permukaan : rasa raba, nyeri dan suhu
2. Sensibilitas Dalam : sensasi posisi / sikap dan arah gerak, getar /
vibrasi, tekan dan nyeri dalam

19
Blok 17

Gambar 1. Peta sensibilitas (dermatomal)

20
Sistem Saraf

Pemeriksaan sensibilitas
Syarat Pemeriksaan :
1. Pasien harus sadar (compos mentis) dan cukup kooperatif
2. Pasien tidak boleh dalam keadaan lelah
3. Pasien harus mendapat penjelasan mengenai tujuan dan cara pemeriksaan
serta respons yang diharapkan
4. Dilakukan secara rileks dan tidak melelahkan pasien
5. Azas simetris : pemeriksaan bagian kiri harus selalu dibandingkan dengan
bagian kanan
6. Hasil pemeriksaan fungsi sensorik pada suatu saat tidak dapat sepenuhnya
dipercaya karena memiliki segi subyektivitas yang tinggi, karena itu kita
harus hati-hati dalam penarikan kesimpulan.

Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien berbaring, mata tertutup. Bagian


tubuh yang diperiksa harus bebas dari pakaian.

Pemeriksaan Sensasi Permukaan


A. Pemeriksaan Sensasi Raba
1. Alat pemeriksaan : kapas atau rambut Frey, peta sensibilitas
2. Cara pemeriksaan :
Dengan kapas yang digulung memanjang atau rambut Frey, pemeriksaan
dilakukan secara berganti-ganti tidak teratur (random) mulai dari kepala
turun ke bawah sampai meliputi seluruh tubuh. Bandingkan atas dengan
bawah, kiri dengan kanan. Pasien diminta menyebutkan “ya” bila ia
merasakan rabaan pada kulit, dan diminta untuk mengidentifikasi apabila
terdapat kelainan rasa raba pada suatu tempat. Batas kelainan sensibilitas
perlu ditentukan dengan memeriksa rasa raba mulai dari daerah yang
terganggu menuju ke daerah normal. Tandai daerah yang mengalami
gangguan tadi pada peta sensibilitas dan deskripsikan dengan benar.

B. Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial


1. Alat pemeriksaan : tusuk gigi yang memiliki ujung tumpul dan ujung
tajam, rader
2. Cara pemeriksaan :
Mula-mula pasien diberitahukan dan dicobakan untuk membedakan dua
tusukan yang bersifat tajam dan tumpul dengan sebuah tusuk gigi. Pada
pemeriksaan pasien harus menyebutkan apakah yang dirasakan “tajam”
atau “tumpul”. Reaksi ini harus cepat, beberapa detik saja. Pemeriksaan
dilakukan dari kepala terus turun ke bawah secara random.
Bila ditemukan kelainan rasa nyeri, pemeriksaan perlu diulang mulai dari
daerah yang terganggu ke arah daerah yang normal.

21
Blok 17

Pemeriksaan dengan tusukan yang kontinyu perlu pula dilakukan pada


daerah yang terganggu, digunakan sebuah rader (pinwheel) dapat
dipergunakan untuk maksud ini.

C. Pemeriksaan sensasi suhu


1. Alat pemeriksaan : dua buah botol / tabung reaksi masing-masing berisi
air dingin (kira-kira 100C) dan air panas (kira-kira 430C)
2. Cara pemeriksaan :
Dengan menggunakan dua botol berisi air dingin dan air panas, kulit pasien
dirangsang berganti-ganti, dan pasien diminta menyebutkan “panas” atau
“dingin”. Pemeriksaan dilakukan mulai dari daerah kepala turun ke bawah.
Bila ditemukan kelainan rasa suhu, batas kelainan ditentukan dengan
pemeriksaan dari daerah yang terganggu menuju daerah yang normal.

Mencatat Hasil Pemeriksaan


Hasil pemeriksaan dicatat di atas peta sensibilitas (gambar 1). Kelainan
sensibilitas yang ditemukan, perlu diberi tanda pada tubuh pasien,
kemudian tanda itu dipindahkan ke peta sensibilitas.
- Tanda untuk kelainan sensibilitas raba ialah garis terputus ( --- )
- Tanda untuk kelainan rasa nyeri ialah huruf V ( VVV )
- Tanda untuk kelainan rasa suhu ialah huruf X ( XXX )
Kemudian deskripsikan distribusi kelainan tersebut dalam kalimat, agar mudah
dituliskan pada rekam medik tanpa mengurangi kejelasannya.

Berkurangnya sensibilitas pada separuh tubuh penderita (misalnya sisi kanan


saja) disebut hemihipestesi (misalnya terjadi pada Stroke)
Lesi pada medulla spinalis menyebabkan gangguan sensibilitas dengan
distribusi segmental. Artinya, gangguan semua modalitas sensorik mulai
segmen yang terkena sampai ke kaudal.
Misalnya : lesi mengenai medulla spinalis segmen Thorakal 10 akan
memberikan gangguan sensibilitas berupa : hipestesi setinggi segmen
medulla spinalis Th10 ke bawah.

22
Sistem Saraf

Gambar 2. Pada peta sensibilitas didapatkan gambar seperti di atas.


Daerah yang diarsir melukiskan daerah hipestesi.

23
Blok 17

Pada lesi saraf tepi, gangguan sensibilitas tergantung dari saraf yang terkena.
Misalnya:
(i) Lesi mengenai radiks L4-L5 kanan akan menimbulkan hipestesi di daerah
yang dipersarafinya, yaitu daerah kulit yang sesuai dengan dermatom L4-
L5 kanan. Pada peta sensibilitas digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3. Deskripsi hipestesi setinggi dermatom L4-L5 kanan.

24
Sistem Saraf

(ii) Lesi yang mengenai beberapa saraf tepi secara simetris bilateral disebut
sebagai polineuropati dan secara klinis memberikan gambaran gangguan
sensibilitas : hipestesi dengan distribusi ”glove-and-stocking” (seperti
sarung tangan dan kaus kaki), seperti pada gambar berikut ini :

Gambar 4. Glove-and-stocking hypesthesia

Sensasi proprioseptif / sensibilitas dalam


A. Sensasi posisi / sikap dan arah gerak :
Cara :
- pasien diminta menutup matanya dan merentangkan lengan lurus ke
depan
- pemeriksa memegang bagian samping / lateral ujung jari penderita
ekstensi atau fleksikan jarinya kurang lebih 2 0 atau 1 mm
- minta agar pasien menyebutkan posisi jarinya, keatas atau kebawah.
- lakukan hal yang sama pada jari kaki

B. Sensasi vibrasi / getar:


1. Alat yang dipakai : garpu tala dengan frekuensi 128 Hz atau 256 Hz
2. Cara :
- Garpu tala digetarkan terlebih dahulu dengan jalan ujung garpu tala
dipukulkan pada tulang siku.
- Mula-mula pasien dicoba untuk membedakan ada atau tidak getaran
dari garpu tala yang ditaruh diatas sternum.
- Kemudian dengan mata tertutup, pasien harus membedakan apakah
terasa getaran atau tidak
- Dengan mata pasien tertutup, letakkan pangkal garpu tala di bagian
tulang yang prominen seperti sternum, epicondylus siku, prosesus
styloideus radius, epicondylus femur, maleolus tumit.

25
Blok 17

- Bandingkan atas dan bawah, kiri dan kanan. Mintalah pasien merasakan
apakah terasa getaran dan apakah ada bagian tertentu yang kurang
terasa. Setelah pasien tidak merasakan lagi getaran garpu tala,
pindahkan segera ke pergelangan pemeriksa dan rasakan apakah
masih ada getaran.

Gambar 5. Pemeriksaan rasa getar

26
Sistem Saraf

Check List Pemeriksaan Sensibilitas

SKOR
No. KRITERIA : Pemeriksaan Sensibilitas
0 1 2 3
1 Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Memposisikan diri di sebelah kanan tempat tidur pasien
RASA RABA
1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Memilih kapas atau rambut Frey
3. Mencoba kapas terhadap dirinya sendiri
4. Meminta penderita untuk menutup mata
5. Memberikan rangsangan secara ringan pada kulit
6. Pada setiap rangsangan, meminta penderita untuk
menyatakan terasa atau tidak
7. Membandingkan bagian tubuh atas dan bawah
8. Membandingkan kiri dan kanan
9. Meminta penderita untuk membedakan rasa raba di bagian
atas dan bawah, kiri dan kanan, apakah terasa sama kuat atau
ada yang kurang terasa
10. Mencatat hasilnya pada peta sensibilitas
11. Mendeskripsikan dalam kata-kata dan menuliskan dalam
rekam medik
NYERI SUPERFISIAL
1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Memilih tusuk gigi
3. Mencoba tusuk gigi terhadap dirinya sendiri
4. Meminta penderita menutup mata
5. Melakukan rangsangan dengan ujung tajam dengan intensitas
minimal tanpa menimbulkan luka/ perdarahan
6. Melakukan rangsangan dengan ujung tumpul
7. Pada setiap rangsang, meminta penderita untuk
mengidentifikasi apakan yang terasa adalah ”tajam” atau
”tumpul”
8. Membandingkan bagian tubuh atas dan bawah
9. Membandingkan kiri dan kanan
10. Menanyakan apakah ada perbedaan intensitas ketajaman
rangsangan
11. Mencatat hasilnya pada peta sensibilitas
12. Mendeskripsikan dalam kata-kata dan menuliskan dalam
rekam medik
SUHU
1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Menyiapkan tabung berisi air panas dan dingin
3. Mencoba botol berisi air panas dan air dingin terhadap dirinya
sendiri

27
Blok 17

4. Menutup mata penderita


5. Melakukan rangsangan dengan suhu panas dan dingin secara
bergantian
6. Meminta penderita untuk menyebutkan apakah
rangsangannya “panas” atau “dingin”
7. Menanyakan apakah ada perbedaan intensitas rangsangan
suhu “panas” atau “dingin”
8. Membuat peta sensibilitas suhu
9. Mencatat hasilnya pada peta sensibilitas
10. Mendeskripsikan dalam kata-kata dan menuliskan dalam
rekam medik
POSISI DAN ARAH GERAK
1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Penderita diminta merentangkan lengannya ke depan
3. Pemeriksa memegang sisi lateral ujung jari penderita dan
memfleksikan / ekstensi sejauh 2 0
4. Lakukan hal yang sama pada jari kaki
5. Membandingkan kiri dan kanan
6. Mendeskripsikan dalam kata-kata dan menuliskan dalam
rekam medik
RASA GETAR
1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Memilih garputala yang benar
3. Meminta penderita menutup mata
4. Memukulkan ujung garpu tala pada siku agar bergetar
5. Ujung garpu tala diletakkan pada sternum penderita dan minta
penderita menyebutkan ada atau tidak ada getaran
6. Kemudian letakkan ujung garpu tala pada epicondylus siku,
prosesus styloideus radius, epicondylus femur, maleolus tumit
7. Periksa pada sisi yang simetris dan bandingkan
8. Setelah penderita tidak merasakan getaran, pindahkan ke
pergelagan pemeriksa dan rasakan apakah masih ada getaran
9. Mendeskripsikan dalam kata-kata dan menuliskan dalam
rekam medik
TOTAL

28
Sistem Saraf

Pemeriksaan Syaraf Otak I – VI


Tingkat keterampilan: 4A
Winsa Husein

Tujuan: menilai fungsi N.I, N.II, N.III, IV, VI dan N.V

Alat dan Bahan


1. Bubuk kopi
2. Teh
3. Tembakau
4. Pen light
5. Kartu Snellen
6. Ophtalmoskop
7. Kapas dipilin ujungnya

Snellen chart
Garpu tala 128 dan 512 (atau 1024) Hz
Senter atau otoscope
Kapas
Kassa steril
Tusuk gigi (sisi tumpul dan tajam)
Tabung reaksi berisi air hangat dan air dingin
Cairan manis, asin dan pahit .
Cotton bud
Spatel kayu

Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan
prosedurnya.
3. Pastikan pasien tidak mengalami gangguan sistem penghidu (contoh pilek)
4. Memeriksa N.I: olfaktorius.
a. Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menutup salah satu
lubang hidung. Pemeriksaan dilakukan dari lubang hidung sebelah kanan.
b. Dekatkan beberapa benda di bawah lubang hidung yang terbuka, seperti
kopi, teh, dan sabun.
c. Tanyakan kepada pasien apakah ia menghidu sesuatu, bila ya, tanyakan
jenisnya. Pemeriksa juga dapat memberikan pilihan jawaban bila pasien
merasa menhidu sesuatu namun tidak dapat mengenalinya secara spontan,
seperti, “Apakah ini kopi, atau teh?”
d. Kemudian lakukan prosedur yang sama pada lubang hidung yang lain.

29
Blok 17

5. Melakukan pemeriksaan pupil (N. II):


a. Pasien diminta berbaring.
b. Inspeksi kedua pupil dan catat ukuran dan bentuknya.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
d. Tempatkan tangan kedua mata.
e. Minta pasien untuk memfiksasi pandangan ke depan. Sinari salah satu mata
dari arah tepi (pasien tidak boleh melihat kearah sinar dan sumber cahaya
harus cukup terang)
f. Catat reaksi pupil baik langsung maupun tidak langsung.
g. Lakukan prosedur yang sama pada mata yang diantara
h. lain.

6. Prosedur pemeriksaan lapang pandang (N. II):


a. Untuk pemeriksaan ini, pemeriksa dan pasien duduk berhadapan dengan
lutut pemeriksa hampir bersentuhan dengan lutut pasien. Tinggi mata
pemeriksa sama dengan pasien.
b. Pemeriksaan dilakukan satu per satu (monokuler), dimulai dengan mata
kanan.
c. Pada saat memeriksa mata kanan, pasien diminta menutup mata kiri
dengan telapak tangan pasien, tidak ditekan. Sedangkan pemeriksa
menutup mata kanannya.
d. Tempatkan tangan pemeriksa yang bebas di bidang imajiner antara lutut
pasien dan pemeriksa. Jarak antara bidang imajiner ini dengan mata
pemeriksa sama dengan jaraj bidang imajiner dengan mata pasien.
e. Pemeriksa dan pasien saling bertatapan, pasien diminta untuk memfiksasi
pandangannya kedepan. Kemudian pemeriksa menggerakkan tangannya
pada bidang imajiner tersebut dari tepi ke tengah bidang. Saat melakukan
ini, pemeriksa dapat menggerakan jari- jarinya atau diam dan minta pasien
menyebutkannya. Tanyakan kepada pasien apakah ia dapat melihat tangan
pemeriksa atau tidak. Lakukan pemeriksaan pada empat kuadran kuadran
(temoral atas, nasal bawah, nasal atas, temporal bawah).
f. Lakukan prosedur yang sama terhadap mata yang lain.

7. Pemeriksaan fundus mata (N. II):


a. Untuk memeriksa fundus, pupil harus cukup berdilatasi, sehingga sebelum
melakukan pemeriksaan pasien dapat diberikan cairan midriatikum.
b. Cahaya pada ruang periksa diredupkan.
c. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan.
d. Nyalakan oftalmoskop.
e. Atur lensa pada oftalmoskop (sesuaikan bila pemeriksa memiliki kelainan
refraksi). Atur dioptri funduskopi sesuai dengan visus pasien, mata
pemeriksa harus normal atau menggunakan kacamata sesuai visus.
f. Atur jenis cahaya pada jenis lingkaran penuh.
g. Pasien diminta memfiksasi pandangan jauh melewati bahu pemeriksa.
h. Saat memeriksa mata kanan pasien, pemeriksa meletakkan oftalmoskop di

30
Sistem Saraf

depan mata kanannya, dipegang dengan tangan kanan. Sedangkan tangan


kiri pemeriksa memfiksasi kepala pasien.
i. Amati ke dalam pupil dengan sudut aksis 0o untuk melihat diskus optikus
dan pembuluh darah retina. Nilai retina, diskus optikus, cup-disc ratio dan
pembuluh darah retina. Kemudian arahkan 15o ke temporal untuk menilai
daerah sekitarnya.
j. Lakukan prosedur yang sama terhadap mata lainnya.
k. Pemeriksaan refleks cahaya dilakukan bersama dengan pemeriksaan N III.

8. Pemeriksaan NIII (Occulomotorius):


 Inspeksi kelopak mata
a. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan
b. Amati kedua kelopak mata pasien, bandingkan kanan dan kiri.
c. Amati bila pasien menengadahkan kepala atau mengangkat alisnya
untuk mempertahankan mata tetap terbuka.
d. Apabila pemeriksa mencurigai adanya ptosis pada mata kanan, kiri atau
kedua mata, minta pasien menutup matanya beberapa menit kemudian
buka mata pasien dan nilai kembali.

 Menilai posisi bola mata:


a. Inspeksi posisi kedua mata
b. Nilai bila mata pasien juling.
c. Tanyakan apakah pasien memiliki keluhan pandangan ganda.
d. Apabila pemeriksa tidak yakin bila pasien memiliki strabismus, sinari
mata dari jarak 30 cm dengan letak tepat di tengah antara kedua mata
dan minta pasien melihat ke sumber cahaya.
e. Lihat refleksi cahaya pada kedua mata pasien. Normalnya refleksi
cahaya berada tepat di tengah pupil.

 Pemeriksaan reaksi konvergensi:


a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring.
b. Minta pasien untuk memfiksasi penglihatan pada jari anda yang
berjarak 1 m di depan wajah pasien. Tangan pemeriksa yang lain dapat
digunakan untuk mengangkat kelopak mata atas pasien agar pupil lebih
terlihat.
c. Sambil memperhatikan ukuran pupil pasien, pemeriksa secara perlahan
mendekatkan jarinya mendekati pasien ke titik antara kedua alis pasien.
d. Minta pasien untuk mengikuti pergerakan tangan pemeriksa.
e. Amati reaksi pupil selama pemeriksaan kovergensi ini.

9. Pemeriksaan pergerakan bola mata (NIII, IV, VI):


a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring.
b. Pemeriksa mengangkat telunjuknya didepan mata pasien dan minta pasien
untuk memfiksasi penglihatannya pada ujung jari pemeriksa dan untuk

31
Blok 17

mengikuti pergerakan tangan pemeriksa.


c. Minta pasien untuk memfiksasi kepalanya sehingga hanya bola matanya
saja yang bergerak.
d. Pemeriksa menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri, kiri atas, kanan atas,
kiri bawah dan kanan bawah serta atas bawah melewati titik tengah (6 arah).
e. Pada saat melakukan pemeriksaan ini, sudut penglihatan tidak boleh lebih
dari 45o.
f. Tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan adanya penglihatan ganda
pada saat mengikuti gerakan jari.
g. Bila ya, tanyakan di arah mana saja.
h. Kembali periksa arah dimana pasien merasakan adanya penglihatan ganda,
lalu tutup salah satu mata secara bergantian.
i. Tanyakan pada mata sebelah mana pasien tidak dapat melihat tangan
pemeriksa.

10. Pemeriksaan NV
 Pemeriksaan refleks kornea (N. V):
a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring. Pemeriksa berada di sisi
pasien.
b. Angkat kelopak mata atas pasien, kemudian minta pasien untuk melirik
ke sisi berlawanan dari tempat peeriksa.
c. Sentuh sklera dengan ujung kapas dari sisi ke arah kornea tanpa
menyentuh bulu mata maupun konjungtiva.
d. Perhatikan adanya refleks mengedip dari pasien.
e. Lakukan pemeriksaan pada mata lainnya dan bandingkan hasilnya.
f. Pemeriksaan N V juga digunakan untuk menilai lesi pada herpes di V.1,
V.2 dan V.3
 Penilaian otot temporal dan masseter.
a. Minta pasien untuk mengatupkan rahangnya sekuat mungkin.
b. Pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter pasien.
Kemudian nilai kekuatan tonusnya.
 Penilaian sensasi wajah (N. V):
a. Persiapkan pasien dalam posisi duduk atau berbaring.
b. Pemeriksaan awal pasien dengan mata terbuka sehingga ia dapat melihat
stimulus apa yang akan ia identifikasi.
c. Sentuh pasien di daerah wajah dengan kapas di beberapa tempat,
bandingkan kanan dan kiri.
d. Kemudian dengan mata tertutup, tanyakan apakah pasien merasakan
stimuli sentuhan yang diberikan dan minta ia mengidentifikasi letak stimuli.
Bandingkan kanan dan kiri.
e. Perhatikan adanya penurunan fungsi sensoris yang ditandai dengan adanya
perbedaan sensasi stimuli pada pasien. Walaupun pasien dapat
menyebutkan seluruh letak stimuli sehingga perlu ditanyakan apakah ia
merasakan adanya perbedaan sensasi dari setiap stimuli yang diberikan.

32
Sistem Saraf

Analisis Hasil Pemeriksaan

1. Pemeriksaan N I:
Kehilangan kemampuan menghidu dapat disebabkan oleh beberapa hal,
termasuk penyakit pada rongga hidung, trauma kepala, akibat merokok,
proses penuaan, dan pengguanaan kokain. Kelaianan ini dapat juga bersifat
kongenital.

2. Pemeriksaan N II :
a. Refleks pupil:
Normalnya ukuran pupil kanan dan kiri sama besar. Saat diberikan
rangsangan cahaya pupil mengalami konstriksi.
Pada pupil anisokor yang nyata pada pencahayaan terang, ukuran
pupil tidak sama kanan dan kiri. Pupil yang berukuran lebih besar tidak
dapat berkonstriksi dengan baik. Penyebab kelaianan ini antara lain
trauma tumpul pada mata, glaukoma sudut terbuka, dan gangguan saraf
parasimpatik pada iris, seperti pada tonic pupil dan paralisis
n.okulomotorius. Saat pupil anisokor pada cahaya yang redup, pupil
yang lebih kecil tidak dapat berdilatasi dengan baik, seperti pada
Horner’s syndrome. Hal ini disebabkan oleh gangguan saraf simpatik.

Gambar 1. Pupil anisokor

b. Pemeriksaan lapang pandang

33
Blok 17

Keterangan :

1. Defek horizontal
Disebabkan oleh oklusi pada cabang arteri retina sentral. Pada gambar
disamping terdapat oklusi cabang superior arteri retina sentral.
2. Kebutaan unilateral
Disebabkan oleh lesi pada saraf optik unilateral yang menyebabkan
kebutaan.
3. Hemianopsia Bitemporal
Disebabkan oleh lesi pada kiasma optikum sehingga menyebabkan
kehilangan penglihatan pada sisi temporal kedua lapang pandang.
4. Hemianopsia Homonim Kiri
Disebabkan oleh lesi pada traktus optikus di tempat yang sama
pada kedua mata. Hal ini menyebabkan kehilangan penglihatan sisi
yang sama pada kedua mata.
5. Homonymous Left Superior Quadrantic Defect
Disebabkan oleh lesi parsial pada radiasio optikus yang menyebabkan
kehilangan penglihatan pada seperempat bagian lapang pandang sisi yang
sama.
6. Hemianopsia himonim kiri juga dapat disebabkan oleh terputusnya
jaringan pada radiasio optikus.

c. Pemeriksaan fundus mata


 Gambaran funduskopi normal Warna
kuning-orange. Pembuluh darah sedikit
pada disc.
Batas disc tegas
 Atrofi optic Warna putih.
Tidak terdapat pembuluh darah pada disc
 Papiledema
Warna pink, hiperemis. Pembuluh darah
disc lebih terlihat dan banyak.
Disc sembab
 Coupping pada glaucoma Cup membesar,
warna pucat

Gambar 2. Hasil funduskopi

34
Sistem Saraf

3. Pemeriksaan N III :
 Inspeksi kelopak mata
Ptosis terjadi pada palsy N III, Horner’s syndrome (ptosis, meiosis,
anhidrosis) dan miastenia gravis.
 Posisi bola mata dan pergerakan bola mata (N. III,IV,VI)
Berikut ini adalah kelaianan posisi bola mata dan pergerakan mata:

Strabismus konvergen
(esotropia)

Strabismus divergen
(exotropia)

Paralisis N VI kiri

Paralisis NIV kiri

Paralisis N III kiri

Gambar 3. Kelainan posisi bola mata

 Reaksi konvergensi
Pada tes konvergensi normalnya pupil mengecil (miosis).

4. Pemeriksaan N V :
 Refleks kornea
Pada pemeriksaan ini reaksi normal yang ditimbulkan adalah refleks
berkedip. Refleks ini menghilang ada kerusakan atau lesi N V. Lesi pada
n VII juga dapat menyebabkan gangguan pada refleks ini.
 Penilaian otot temporal dan masseter
Kelemahan atau hilangnya kontraksi otot temporal dan masseter pada
salah satu sisi dapat menunjukkan adanya lesi N V. Adanya kelemahan
bilateral disebabkan oleh gangguan perifer atau sentral. Pada pasien
yang tidak memiliki gigi, hasil pemeriksaan ini mungkin sulit dinilai.
 Penilaian sensasi wajah
Penurunan atau kehilangan sensasi wajah unilateral menunjukkan
adanya lesi N V atau jalur interkoneksi sensoris yang lebih tinggi.

35
Blok 17

Check List Pemeriksaan Nervus Kranialis

Skor
No Kriteria
0 1 2 3
Mengucapkan salam, memperkenalkan diri, memastikan identitas
1 pasien, menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan yaitu menilai
fungsi saraf kranial.

Memeriksa N.I (N. Olfaktorius)

1 Siapkan alat dan bahan, yaitu bubuk kopi, teh dan tembakau, sabun

Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan


2
prosedurnya.

3 Pastikan pasien tidak mengalami sistem penghidu (contoh pilek)


Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menutup salah
4 satu lubang hidung. Pemeriksaan dilakukan dari lubang hidung
sebelah kanan.
Dekatkan beberapa benda di bawah lubang hidung yang terbuka,
5
seperti kopi, teh, dan sabun.
Tanyakan kepada pasien apakah ia menghidu sesuatu, bila ya,
tanyakan jenisnya. Pemeriksa juga dapat memberikan pilihan
6 jawaban bila pasien merasa menhidu sesuatu namun tidak dapat
mengenalinya secara spontan, seperti, “Apakah ini kopi, atau
teh?”
7 Lakukan prosedur yang sama pada lubang hidung yang lain.

Memeriksa N.II (N. Opticus)

A. Melakukan pemeriksaan pupil

1 Pasien diminta berbaring.


2 Inspeksi kedua pupil dan catat ukuran dan bentuknya.
3 Bandingkan kanan dan kiri.
4 Tempatkan tangan di antara kedua mata.
Minta pasien untuk memfiksasi pandangan ke depan. Sinari salah
5 satu mata dari arah tepi (pasien tidak boleh melihat ke arah sinar
dan sumbercahaya harus cukup terang)
6 Catat reaksi pupil baik langsung maupun tidak langsung
7 Lakukan prosedur yang sama pada mata yang lain.

B. Prosedur pemeriksaan lapang pandang

36
Sistem Saraf

Untuk pemeriksaan ini, pemeriksa dan pasien duduk berhadapan


1 dengan lutut pemeriksa hampir bersentuhan dengan lutut pasien.
Tinggi mata pemeriksa sama dengan pasien.
Pemeriksaan dilakukan satu per satu (monokuler), dimulai dengan
2
mata kanan.
Pada saat memeriksa mata kanan, pasien diminta menutup
3 mata kiri dengan telapak tangan pasien, tidak ditekan.
Sedangkan pemeriksa menutup mata kanannya.
Tempatkan tangan pemeriksa yang bebas di bidang imajiner antara
lutut pasien dan pemeriksa. Jarak antara bidang imajiner ini
4
dengan mata pemeriksa sama dengan jaraj bidang imajiner dengan
mata pasien.
Pemeriksa dan pasien saling bertatapan, pasien diminta untuk
memfiksasi pandangannya ke depan. Kemudian pemeriksa
menggerakkan tangannya pada bidang imajiner tersebut dari tepi
ke tengah bidang. Saat melakukan ini, pemeriksa dapat
5 menggerakan jari-jarinya atau diam dan minta pasien
menyebutkannya. Tanyakan kepada pasien apakah ia dapat
melihat tangan pemeriksa atau tidak. Lakukan pemeriksaan pada
empat kuadran kuadran (temporal atas, nasal bawah, nasal atas,
temporal bawah).
6 Lakukan prosedur yang sama terhadap mata yang lain.

C. Pemeriksaan fundus mata

Untuk memeriksa fundus, pupil harus cukup berdilatasi,


1 sehingga sebelum melakukan pemeriksaan pasien dapat
diberikan cairan midriatikum.
2 Cahaya pada ruang periksa diredupkan.
3 Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan.
4 Nyalakan oftalmoskop.
Atur lensa pada oftalmoskop (sesuaikan bila pemeriksa memiliki
kelainan refraksi). Atur dioptri funduskopi sesuai dengan visus
5
pasien, mata pemeriksa harus normal atau menggunakan
kacamata sesuai visus.
6 Atur jenis cahaya pada jenis lingkaran penuh.
Pasien diminta memfiksasi pandangan jauh melewati bahu
7
pemeriksa.
Saat memeriksa mata kanan pasien, pemeriksa meletakkan
oftalmoskop di depan mata kanannya, dipegang dengan tangan
8
kanan. Sedangkan tangan kiri pemeriksa memfiksasi kepala
pasien.
Amati ke dalam pupil dengan sudut aksis 0o untuk melihat diskus
optikus dan pembuluh darah retina. Nilai retina, diskus optikus,
9
cup-disc ratio dan pembuluh darah retina. Kemudian arahkan 15o
ke temporal untuk menilai daerah sekitarnya.

37
Blok 17

10 Lakukan prosedur yang sama terhadap mata lainnya.


Pemeriksaan refleks cahaya dilakukan bersama dengan
11
pemeriksaan N. III.

Memeriksa N.III (N. Oculomotorius)

A. Inspeksi kelopak mata

1 Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan

2 Amati kedua kelopak mata pasien, bandingkan kanan dan kiri.

Amati bila pasien menengadahkan kepala atau mengangkat


3
alisnya untuk mempertahankan mata tetap terbuka.

Apabila pemeriksa mencurigai adanya ptosis pada mata kanan,


4 kiri atau kedua mata, minta pasien menutup matanya beberapa
menit kemudian buka mata pasien dan nilai kembali.

B. Menilai posisi bola mata:

1 Inspeksi posisi kedua mata


2 Nilai bila mata pasien juling.
3 Tanyakan apakah pasien memiliki keluhan pandangan ganda.

Apabila pemeriksa tidak yakin bila pasien memiliki strabismus,


4 sinari mata dari jarak 30 cm dengan letak tepat di tengah antara
kedua mata dan minta pasien melihat ke sumber cahaya.

Lihat refleksi cahaya pada kedua mata pasien. Normalnya


5
refleksi cahaya berada tepat di tengah pupil.

C. Pemeriksaan reaksi konvergensi


1 Persiapkan pasien dalam posisi berbaring.
Minta pasien untuk memfiksasi penglihatan pada jari anda yang
berjarak 1 m di depan wajah pasien. Tangan pemeriksa yang lain
2
dapat digunakan untuk mengangkat kelopak mata atas pasien
agar pupil lebih terlihat.
Sambil memperhatikan ukuran pupil pasien, pemeriksa secara
3 perlahan mendekatkan jarinya mendekati pasien ke titik antara
kedua alis pasien.
4 Minta pasien untuk mengikuti pergerakan tangan pemeriksa.
5 Amati reaksi pupil selama pemeriksaan kovergensi ini.
Pemeriksaan pergerakan bola mata (NIII, IV, VI):

1 Persiapkan pasien dalam posisi berbaring.

38
Sistem Saraf

Pemeriksa mengangkat telunjuknya di depan mata pasien dan


2 minta pasien untuk memfiksasi penglihatannya pada ujung jari
pemeriksa dan untuk mengikuti pergerakan tangan pemeriksa.
Minta pasien untuk memfiksasi kepalanya sehingga hanya bola
3
matanya saja yang bergerak.
Pemeriksa menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri, kiri atas,
4 kanan atas, kiri bawah dan kanan bawah serta atas bawah
melewati titik tengah (6 arah).

Pada saat melakukan pemeriksaan ini, sudut penglihatan tidak


5
boleh lebih dari 45o.

Tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan adanya


6
penglihatan ganda pada saat mengikuti gerakan jari.
7 Bila ya, tanyakan di arah mana saja.
Kembali periksa arah di mana pasien merasakan adanya
8
penglihatan ganda, lalu tutup salah satu mata secara bergantian.

Tanyakan pada mata sebelah mana pasien tidak dapat melihat


9
tangan pemeriksa.

Pemeriksaan N.V (N. Trigeminus)

A. Pemeriksaan refleks kornea

Persiapkan pasien dalam posisi berbaring. Pemeriksa berada


1
di sisi pasien.
Angkat kelopak mata atas pasien, kemudian minta pasien untuk
2
melirik ke sisi berlawanan dari tempat pemeriksa.
Sentuh sklera dengan ujung kapas dari sisi ke arah kornea tanpa
3
menyentuh bulu mata maupun konjungtiva.
4 Perhatikan adanya refleks mengedip dari pasien.

5 Lakukan pemeriksaan pada mata lainnya dan bandingkan hasilnya.

B. Penilaian otot temporal dan masseter.


1 Minta pasien untuk mengatupkan rahangnya sekuat mungkin
Pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter
2
pasien. Kemudian nilai kekuatan tonusnya.
C. Penilaian sensasi wajah
1 Persiapkan pasien dalam posisi duduk atau berbaring.
Pemeriksaan awal pasien dengan mata terbuka sehingga ia dapat
2
melihat stimulus apa yang akan ia identifikasi.

39
Blok 17

Sentuh pasien di daerah wajah dengan kapas di beberapa tempat,


3
bandingkan kanan dan kiri.
Dengan mata tertutup, tanyakan apakah pasien merasakan stimuli
4 sentuhan yang diberikan dan minta ia mengidentifikasi letak
stimuli. Bandingkan kanan dan kiri.
Perhatikan adanya penurunan fungsi sensoris yang ditandai
dengan adanya perbedaan sensasi stimuli pada pasien. Walaupun
5 pasien dapat menyebutkan seluruh letak stimuli sehingga perlu
ditanyakan apakah ia merasakan adanya perbedaan sensasi dari
setiap stimuli yang diberikan.

TOTAL SKOR

Referensi :
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary Examination. 2009.
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history taking. 10th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2009.
The examination of the eyes and vision: examination of the peripheral visual field
(donders’ confrontation method). [cited 2014 March 18]. Available from
http://www.skillsinmedicine-demo.com/index.php?option=c
om_content&view=article&id=549:examination-of-the-peripheral-visual-
field&catid=53:the-visual-field&Itemid=625.

40
Sistem Saraf

Pemeriksaan Syaraf Otak VII – XII


Tingkat keterampilan: 4A
Oeij Anindita

Tujuan: menilai fungsi N.VII, N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII

Alat dan Bahan


1. Cairan manis/gula pasir
2. Cairan asin/garam
3. Cairan pahit
4. Kassa steril
5. Lampu senter/ Pen light
6. Garpu tala
7. Spatel kayu

Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan
prosedurnya.
3. Penilaian kesimetrisan wajah (N.VII):
a. Amati wajah pasien dan nilai kesimetrisan sisi kanan dan sisi kiri. Adanya
ketidaksimetrisan yang ringan pada saat istirahat bersifat fisiologis.
b. Minta pasien untuk:
- Mengangkat kedua alis
- Menutup kedua mata dengan kuat
- Menggembungkan pipi
- Mencucu
- Memperlihatkan gigi-giginya
c. Amati apakah pasien dapat melakukan seluruh gerakan yang diminta dan
nilai kesimetrisannya.
d. Amati seluruh mimik spontan pada pasien, seperti tersenyum atau tertawa
dan nilai kesimetrisannya. Pemeriksaan kesimetrisan wajah dibedakan atas
dan bawah untuk membedakan tipe sentral dan perifer.
e. Analisis hasil pemeriksaan: plica nasolabialis yang mendatar dan kelopak
mata yang jatuh ke bawah menandakan adanya kelemahan facialis. Lesi
perifer N.VII, seperti pada Bell’s palsy, mempengaruhi otot wajah atas dan
bawah sisi ipsilateral, sedangkan lesi sentral hanya mempengaruhi otot
wajah bagian bawah. Sebagai contoh, pada lesi N.VII kanan perifer, saat
pasien diminta menutup kedua mata dengan kuat sambil menyeringai,
tampak bahwa sisi kanan wajah tidak ikut bergerak: kelopak mata tidak
dapat ditutup, plica nasolabialis kanan tidak bergerak; ketika diminta
mengerutkan dahi/mengangkat alis, tampak dahi kanan tidak dapat
melakukan gerakan tersebut.

41
Blok 17

4. Pemeriksaan sensoris khusus (kecap) di lidah 2/3 anterior (N.VII):


a. Minta pasien untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah.
b. Teteskan cairan manis, asin, atau bubuhkan gula pasir, garam pada 2/3
bagian depan lidah.
c. Minta pasien menyebutkan jenis rasa sesuai dengan cairan/zat yang
diteteskan. Pasien tidak boleh menutup mulut atau memasukkan lidah ke
dalam mulut selama pemeriksaan. Jadi pemeriksa menyediakan tulisan:
asin/manis/asam/pahit, dan pasien menjawab dengan cara menunjuk
tulisan tersebut.

5. Pemeriksaan sensoris khusus (kecap) di lidah 1/3 posterior (N.IX):


a. Minta pasien untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah.
b. Teteskan cairan pahit pada 1/3 bagian belakang lidah.
c. Minta pasien menyebutkan jenis rasa sesuai dengan cairan yang diteteskan.

6. Pemeriksaan refleks muntah (N.IX):


a. Minta pasien untuk membuka mulut.
b. Sentuh dinding belakang pharynx atau 1/3 bagian belakang lidah dengan
spatel kayu, perhatikan refleks muntah akibat tindakan tersebut.

7. Inspeksi palatum (N.X):


a. Minta pasien untuk membuka mulut.
b. Sorotkan lampu senter ke dalam mulut pasien dan nilai posisi lengkung
palatum, apakah simetris dan uvula terletak di tengah.
c. Minta pasien mengatakan “aa”.
d. Nilai apakah lengkung palatum berkontraksi secara simetris.
e. Palatum tidak dapat naik pada lesi bilateral N.X. Pada kelumpuhan
unilateral, satu sisi palatum tidak dapat terangkat dan bersama-sama uvula
tertarik ke arah sisi yang normal.

8. Penilaian musculus sternocleidomastoideus dan musculus trapezius (N.XI):


Musculus sternocleidomastoideus:
a. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan letakkan tangan kanan pada
rahang bawah kanan pasien.
b. Minta pasien untuk mendorong tangan kanan pemeriksa dengan
menggerakkan kepala ke sisi kanan.
c. Dengan cara ini, nilai kekuatan musculus sternocleidomastoideus kiri.
d. Lakukan prosedur ini terhadap rahang bawah kiri untuk menilai kekuatan
musculus sternocleidomastoideus kanan.
e. Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi menunjukkan adanya
gangguan saraf perifer. Pada pasien dengan posisi berbaring yang
mengalami kelemahan musculus sternocleidomastoideus bilateral akan
mengalami kesulitan mengangkat kepalanya dari bantal.

42
Sistem Saraf

Musculus trapezius:
a. Pemeriksa berdiri di belakang pasien.
b. Minta pasien mengangkat kedua bahunya.
c. Tempatkan kedua tangan pemeriksa di atas bahu pasien dan coba untuk
menurunkannya.
d. Nilai kekuatan musculus trapezius dan bandingkan kanan dan kiri.
e. Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi menunjukkan adanya
gangguan saraf perifer. Ketika musculus trapezius mengalami paralisis, bahu
terkulai dan scapula terjatuh ke bawah dan lateral.

9. Pemeriksaan lidah (N.XII):


a. Minta pasien untuk membuka mulutnya.
b. Nilai bentuk dan kedudukan lidah di dalam rongga mulut.
c. Nilai apakah lidah merapat ke arah kanan atau kiri.
d. Minta pasien menekan pipi kanan dan kiri menggunakan lidah, sedangkan
pemeriksa mendorong lidah dari pipi luar.
e. Nilai kekuatan lidah dan bandingkan kanan dan kiri.
f. Nilai ada tidaknya atrofi (lidah terlihat licin) dan fasikulasi (gelombang pada
otot-otot lidah).
g. Minta pasien menjulurkan lidah.
h. Nilai bentuk dan posisi lidah saat dijulurkan. Apakah lurus di tengah,
deviasi ke arah kanan atau kiri.
i. Pada pasien dengan paralisis N.XII, pada inspeksi di dalam rongga mulut,
dapat terlihat lidah terdorong ke sisi yang sakit; dan saat dijulurkan, lidah
terdorong ke sisi yang sehat. Interpretasi hasil perlu disebutkan apakah
paralisis terjadi sentral atau perifer.

43
Blok 17

Check List Pemeriksaan Nervi Craniales (N.VII–N.XII)

Skor
No. Kriteria
0 1 2 3
Mengucapkan salam, memperkenalkan diri, dan memastikan
identitas pasien.
1. Siapkan alat dan bahan.
Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya.
Penilaian kesimetrisan wajah (N.VII):
Amati wajah pasien dan nilai kesimetrisan sisi kanan dan sisi
kiri. Adanya ketidaksimetrisan yang ringan pada saat istirahat
bersifat fisiologis.
Minta pasien untuk:
- Mengangkat kedua alis
2. - Menutup kedua mata dengan kuat
- Menggembungkan pipi
- Mencucu
- Memperlihatkan gigi-giginya
Amati apakah pasien dapat melakukan seluruh gerakan yang
diminta dan nilai kesimetrisannya.
Amati seluruh mimik spontan pada pasien, seperti tersenyum
atau tertawa dan nilai kesimetrisannya.
3.
Pemeriksaan kesimetrisan wajah dibedakan atas dan bawah
untuk membedakan tipe sentral dan perifer.
Pemeriksaan sensoris khusus (kecap) di lidah 2/3 anterior
(N.VII):
Minta pasien untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah.
Teteskan cairan manis, asin, atau bubuhkan gula pasir, garam
4. pada 2/3 bagian depan lidah.
Minta pasien menyebutkan jenis rasa sesuai dengan cairan/zat
yang diteteskan; karena pasien tidak boleh menutup mulut atau
memasukkan lidah ke dalam mulut selama pemeriksaan, jadi
pasien menunjuk tulisan: asin/manis/asam/pahit.
Pemeriksaan sensoris khusus (kecap) di lidah 1/3 posterior
(N.IX):
Minta pasien untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah.
5. Teteskan cairan pahit pada 1/3 bagian belakang lidah.
Minta pasien menyebutkan jenis rasa sesuai dengan cairan yang
diteteskan.
Pemeriksaan refleks muntah (N.IX):
6.
Minta pasien untuk membuka mulut.

44
Sistem Saraf

Sentuh dinding belakang pharynx atau 1/3 bagian belakang


lidah dengan spatel kayu.
Perhatikan refleks muntah akibat tindakan tersebut.
Inspeksi palatum (N.X):
Minta pasien untuk membuka mulut, sorotkan lampu senter ke
dalam mulut pasien dan nilai posisi lengkung palatum, apakah
7. simetris dan uvula terletak di tengah.
Minta pasien mengatakan “aa”.
Nilai apakah lengkung palatum berkontraksi secara simetris.
Penilaian musculus sternocleidomastoideus (N.XI):
Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan letakkan tangan
kanan pada rahang bawah kanan pasien.
Minta pasien untuk mendorong tangan kanan pemeriksa
8. dengan menggerakkan kepala ke sisi kanan, nilai kekuatan
musculus sternocleidomastoideus kiri.
Lakukan prosedur ini terhadap rahang bawah kiri untuk
menilai kekuatan musculus sternocleidomastoideus kanan.
Penilaian musculus trapezius (N.XI):
Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan minta pasien
mengangkat kedua bahunya.
9. Tempatkan kedua tangan pemeriksa di atas bahu pasien dan
coba untuk menurunkannya.
Nilai kekuatan musculus trapezius dan bandingkan kanan dan
kiri.
Pemeriksaan lidah (N.XII):
Minta pasien untuk membuka mulutnya.
10.
Nilai bentuk dan kedudukan lidah di dalam rongga mulut,
apakah lidah merapat ke arah kanan atau kiri.
Minta pasien menekan pipi kanan dan pipi kiri menggunakan
lidah, sedangkan pemeriksa mendorong lidah dari pipi luar.
11. Nilai kekuatan lidah dan bandingkan kanan dan kiri.
Nilai ada tidaknya atrofi (lidah terlihat licin) dan fasikulasi
(gelombang pada otot-otot lidah).
Minta pasien menjulurkan lidah.
12. Nilai bentuk dan posisi lidah saat dijulurkan, apakah lurus di
tengah, deviasi ke arah kanan atau kiri.
TOTAL SKOR

45
Blok 17

Pemeriksaan Refleks Fisiologis, Refleks Superfisial


dan Refleks Patologis
Tingkat keterampilan: 4A
Bagian Saraf FK UKM

Tujuan Umum:
Setelah menyelesaikan latihan dalam modul ini, mahasiswa harus dapat
mendeskripsikan hasil pemeriksaan refleks dan mencatatnya dalam rekam medis.
Tujuan khusus
Mahasiswa harus mampu :
1. Mempersiapkan alat dan pasien untuk pemeriksaan refleks
2. Melakukan pemeriksaan refleks dengan benar
3. Mendeskripsikan dan mencatat hasilnya dalam rekam medik

Alat dan Bahan: Palu refleks.

Refleks fisiologis
Refleks fisiologis sebenarnya merupakan muscle stretch reflexes, timbul akibat
perangsangan terhadap tendo, periosteum atau kadang-kadang terhadap tulang,
sendi, fascia / aponeurosis. Refleks fisiologis kadang-kadang disebut juga sebagai
refleks proprioseptif, karena rangsangan disalurkan melalui reseptor sensorik
proprioseptif seperti gelendong neuromuskular ( neuromuscular spindle ).

Persiapan pemeriksaan refleks


1. Alat yang biasa dipergunakan : palu refleks (reflex hammer)
2. Penderita harus dalam keadaan nyaman dan santai
3. Bagian tubuh yang akan diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa, agar
gerakan otot yang akan timbul dapat muncul secara optimal
4. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung, dengan kerasnya
ketukan dalam batas ambang dan tidak menimbulkan rasa nyeri
5. Otot yang diperiksa harus dalam keadaan “sedikit kontraksi” , karena sifat
reaksi sangat bergantung pada tonus otot
6. Posisi ekstremitas harus simetris apabila kita akan membandingkan refleks sisi
kiri dan kanan

Penilaian hasil pemeriksaan refleks


Secara kuantitatif, refleks dapat dinilai sesuai tingkatan refleks sebagai berikut :
0 = negatif
1+ = hipoaktif ( dapat normal atau patologis )
2+ = fisiologis atau normal
3+ = meninggi ( dapat normal atau patologis )
4+ = hiperaktif, disertai klonus sementara
5+ = hiperaktif, disertai klonus menetap

46
Sistem Saraf

Pada pemeriksaan di klinik, hasil pemeriksaan refleks fisiologis biasanya dicatat


dengan lambangi : + / + bila normal
 /  bila meningkat
 /  bila menurun

Bila refleks fisiologis di sisi kanan normal tetapi terdapat penurunan refleks
fisiologis pada sisi kiri, maka dituliskan sebagai : + / 

Pemeriksaan Refleks Fisiologis :

1. Pemeriksaan Refleks Biceps


m. biceps brachii dipersarafi oleh n. musculocutaneus ( C5 – C6 )

Cara pemeriksaan : (Gambar 1)


1. Penderita duduk / berbaring dengan nyaman dan santai
2. Ekstremitas atas yang akan diperiksa dalam keadaan relaksasi sempurna
3. Lengan bawah dalam posisi sedikit fleksi serta sedikit pronasi
4. Letakkan jari pemeriksa di atas tendo biseps pada fossa antekubiti
5. Ketuklah jari pemeriksa dengan palu refleks
6. Lihat dan rasakan kontraksi otot biseps. Dalam keadaan normal
kontraksi ini akan menimbulkan gerakan fleksi dan supinasi dari lengan
bawah
7. Bila refleks biseps meninggi, maka juga dapat disertai gerakan fleksi
pergelangan tangan dan jari-jari serta aduksi ibu jari
8. Bila refleks sulit ditimbulkan, dilakukan reinforcement (penguatan
refleks). Untuk refleks pada ekstremitas atas, reinforcement dilakukan
dengan cara meminta penderita untuk mengatupkan gigi-geligi
sekuatnya.

Gambar 1. Pemeriksaan Refleks Biseps

47
Blok 17

2. Pemeriksaan Refleks Triceps


m. triceps brachii dipersarafi oleh n. radialis ( C6 – C8 ), proses refleks melalui
C7.

Cara pemeriksaan : ( Gambar 2a dan 2b )


1. Penderita duduk / berbaring dengan nyaman dan santai
2. Ekstremitas atas yang akan diperiksa harus dalam keadaan relaksasi
sempurna
3. Letakkan lengan penderita dalam posisi sedikit fleksi ( Gambar 2a ) atau
4. Lengan penderita diposisikan dalam fleksi pada sendi siku, dengan
lengan bawah menyilang garis tengah tubuh. Genggam pergelangan
tangannya (Gambar 2b).
5. Ketuklah tendo m.triceps tepat di atas siku pada daerah fossa olecranii
6. Lihat dan rasakan kontraksi otot triseps yang menimbulkan gerakan
ekstensi lengan bawah
7. Bila refleks sulit ditimbulkan, dilakukan reinforcement dengan cara
meminta penderita untuk mengatupkan gigi-geligi sekuatnya.

a b
Gambar 2. Pemeriksaan Refleks Triseps

3. Pemeriksaan Refleks Brachioradialis (n.radialis, C5-6)


m. brachioradialis dipersarafi oleh n.radialis melalui C5-6.
Cara pemeriksaan refleks brachioradialis: ( Gambar 3 )
1. Penderita duduk / berbaring dengan santai dan nyaman.
2. Lengan dalam keadaan relaksasi, lengan bawah dalam posisi sedikit
fleksi
3. Dengan memakai palu refleks, ketuklah tendo m.brachioradialis pada
tuberositas radialis (5 cm di atas pergelangan tangan)
4. Amati timbulnya gerakan fleksi pada articulatio cubiti.
5. Bila refleks sulit ditimbulkan, dilakukan reinforcement dengan cara
meminta penderita untuk mengatupkan gigi-geligi sekuatnya.

48
Sistem Saraf

Gambar 3. Pemeriksaan refleks brachioradialis.

4. Pemeriksaan refleks patella / kuadriseps (KPR / Knie Pess Reflex)


Pusat refleks pada segmen medulla spinalis L3-4.

Cara pemeriksaan refleks patella : ( Gambar 4 )

1. Penderita dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai. Apabila


penderita tak mampu duduk, maka pemeriksaan refleks patella dapat
dilakukan dalam posisi berbaring dengan cara tangan kiri pemeriksa
menahan dan mengangkat lutut penderita sedikit.
2. Usahakan tungkai tidak menempel atau bertumpu pada bed periksa.
3. Ketuklah tendo m.quadriceps femoris dengan palu refleks secara cepat.
4. Refleks patella disebut positif apabila tampak kontraksi otot quadriceps.
Dalam keadaan normal kontraksi otot ini akan menggerakkan tungkai
bawah dengan gerakan seperti menendang (ekstensi pada sendi lutut).
5. Bila refleks sulit ditimbulkan, dilakukan reinforcement dengan Manuver
Jendrassik (gambar 5). Caranya: Jari tangan penderita diminta untuk saling
mengatup dan menarik (seperti posisi tangan para penyanyi seriosa)
6. Ketuklah tendo patella ketika penderita menarik jari-jari tangannya.

Gambar 4. Pemeriksaan refleks Patella

49
Blok 17

Gambar 5. Manuver Jendrassik

5. Pemeriksaan refleks achilles (APR / Achilles Pess Reflex)


Pusat refleks : segmen medulla spinalis L5 – S1

Cara pemeriksaan : ( Gambar 6 )


1. Penderita duduk dalam posisi tungkai menjuntai atau berbaring
atau dapat pula dalam posisi berlutut, sebagian tungkai bawah
dan telapak kaki terjulur keluar bed periksa.
2. Pemeriksa sedikit meregangkan tendo achilles, dengan cara
melakukan dorsofleksi pada telapak kaki pasien secara pasif.
3. Tendo achilles diketuk dengan cepat.
4. Refleks disebut positif apabila timbul gerakan plantar fleksi pada
kaki yang diperiksa.
5. Bila refleks sulit ditimbulkan, dilakukan reinforcement (Manuver
Jendrassik).

Gambar 6. Dua cara pemeriksaan refleks Achilles

50
Sistem Saraf

Check List. Pemeriksaan Refleks Fisiologis

No. Kriteria Pemeriksaan Skor


0 1 2 3
Umum
1. Pemeriksa memberi salam dan memperkenalkan diri
Memposisikan diri di sebelah kanan penderita pada saat
2.
melakukan pemeriksaan
Pemeriksaan Refleks Biseps
1. Menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan.
2. Meminta penderita duduk / berbaring nyaman dan santai
Meminta agar ekstremitas atas yang akan diperiksa dalam
3.
keadaan relaks
4. Lengan bawah dalam posisi sedikit fleksi serta sedikit pronasi
Letakkan jari pemeriksa di atas tendo m. biceps pada fossa
5.
antekubiti
6. Ketuklah jari pemeriksa dengan palu refleks
Menilai adanya kontraksi otot biseps dan timbulnya gerakan
7.
fleksi dan supinasi dari lengan bawah
Bila refleks sulit ditimbulkan, dilakukan reinforcement dengan
8. cara meminta penderita untuk mengatupkan gigi-geligi
sekuatnya.
9. Mengulangi pemeriksaan untuk ekstremitas sisi kontralateral
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan menuliskan dalam
10.
rekam medik
Pemeriksaan Refleks Triseps
1. Menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan.
2. Meminta penderita duduk / berbaring nyaman dan santai
Meminta agar ekstremitas atas yang akan diperiksa dalam
3.
keadaan relaks
Letakkan lengan penderita dalam posisi sedikit fleksi (Gambar
2a ) atau
4. Lengan penderita difleksikan pada sendi siku, dengan lengan
bawah menyilang garis tengah tubuh. Genggam pergelangan
tangannya (Gambar 2b).
5. Ketuklah tendo m.triceps tepat di atas siku
Lihat dan rasakan kontraksi otot triseps yang menimbulkan
6.
gerakan ekstensi lengan bawah
7. Mengulangi pemeriksaan untuk ekstremitas sisi kontralateral
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan menuliskan dalam
8.
rekam medik
Pemeriksaan Refleks Brachioradialis
1. Menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan.
2. Meminta penderita duduk dengan relaks.

51
Blok 17

Lengan dalam keadaan relaksasi, lengan bawah dalam posisi


3.
sedikit fleksi
Dengan memakai palu refleks, ketuklah tendo
4. m.brachioradialis pada tuberositas radialis (5 cm di atas
pergelangan tangan)
5. Mengulangi pemeriksaan untuk ekstremitas sisi kontralateral
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan menuliskan dalam
6.
rekam medik
Pemeriksaan refleks Patella
1. Menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan.
Penderita dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai. Bila
2. penderita berbaring maka tangan kiri pemeriksa diletakkan di
bawah lutut penderita dan mengangkatnya
Usahakan tungkai tidak menempel atau bertumpu pada bed
4.
periksa.
Ketuklah tendo m.quadriceps femoris dengan palu refleks
5.
secara cepat.
Menilai adanya kontraksi otot kuadriseps, dan melihat ada /
7.
tidaknya ekstensi tungkai bawah
Bila refleks sulit ditimbulkan, lakukan reinforcement dengan
8. Manuver Jendrassik. Ketuklah tendo patella ketika penderita
menarik jari-jari tangannya.
9. Mengulangi pemeriksaan untuk ekstremitas sisi kontralateral
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan menuliskan dalam
10.
rekam medik
Pemeriksaan refleks achilles
1. Menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan.
Penderita duduk dalam posisi tungkai menjuntai atau
2. berbaring atau berlutut dengan sebagian tungkai bawah dan
telapak kaki terjulur keluar bed periksa.
Pemeriksa sedikit meregangkan tendo achilles, dengan cara
3.
melakukan dorsofleksi pada telapak kaki pasien secara pasif.
4. Tendo achilles diketuk dengan cepat.
Perhatikan adanya gerakan plantar fleksi pada kaki yang
5.
diperiksa.
Bila refleks sulit ditimbulkan, dilakukan reinforcement
6.
(Manuver Jendrassik).
7. Mengulangi pemeriksaan untuk ekstremitas sisi kontralateral
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan menuliskan dalam
8.
rekam medik
TOTAL

52
Sistem Saraf

Refleks Superfisialis
Contoh refleks superfisialis adalah refleks dinding perut yang terdiri dari refleks
epigastrikum, mesogastrikum dan hipogastrikum. Aferen dibawa oleh saraf
sensorik segmental, eferen oleh saraf motorik segmental. Refleks dinding perut di
atas umbilikus (epigastrik) berpusat pada segmen T7-T9, setinggi umbilikus
(mesogastrik) berpusat pada segmen T10, di bawah umbilikus (hipogastrik)
berpusat pada segmen T11-T12.

Cara pemeriksaan :
1. Penderita berbaring dengan nyaman dan santai
2. Bagian yang tajan dari palu refleks digoreskan pada kulit perut secara radial ke
arah umbilikus seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 7. Arah pemeriksaan refleks superfisialis

3. Dalam keadaan normal akan timbul kontraksi otot dinding perut, umbilikus
bergerak ke arah stimulus. Disebut refleks abdominal positif.
4. Refleks abdomen negatif pada kegemukan, riwayat operasi daerah abdomen,
wanita yang sering melahirkan, usia lanjut dan lesi traktus piramidalis.

Refleks Patologis
Refleks patologis merupakan tanda lesi upper motor neuron (UMN).
1. Refleks Babinski.
- Jelaskan kepada penderita bahwa anda akan menggores telapak kakinya dan
mintalah agar ia tetap rileks.
- Dengan ujung palu refleks (bagian yang tajam), goreslah bagian lateral
telapak kaki mulai dari daerah tumit menuju pangkal ibujari kaki.
- Positif bila terdapat ekstensi ibujari kaki disertai gerakan mengembang
keempat jari lainnya.

53
Blok 17

Gambar 8. Pemeriksaan refleks Babinsky

2. Refleks Chaddock
- Dengan ujung palu refleks, goreslah sisi lateral kaki di bawah maleolus
lateral
- Positif seperti pada refleks Babinski.

Gambar 9. Refleks Chaddock

3. Refleks Oppenheim
- Dengan telunjuk dan jari tengah, pemeriksa melakukan gerakan seperti
mengurut di sepanjang tulang tibia ke arah kaudal
- Positif seperti pada refleks Babinski.

Gambar 10. Refleks Oppenheim

4. Refleks Gordon
- Pemeriksa memijat m.gastrocnemius
- Positif seperti pada refleks Babinski.

54
Sistem Saraf

Gambar 11. Refleks Gordon

5. Refleks Schaefer
- Pemeriksa memijat tendo achilles
- Positif seperti pada refleks Babinski.

Gambar 11. Refleks Scaeffer

6. Refleks Rossolimo
- Dengan palu refleks, pemeriksa mengetuk pangkal jari-jari kaki di
daerah plantar pedis
- Positif bila terdapat gerakan fleksi dari jari-jari kaki

7. Refleks Mendel Bechterew


- Dengan palu refleks, pemeriksa mengetuk pangkal jari-jari kaki di
daerah dorsum pedis
- Positif bila terdapat gerakan fleksi dari jari-jari kaki

8. Refleks Hoffmann-Trommer
- Pemeriksa memposisikan sendi pergelangan tangan penderita dalam posisi
ekstensi
- Dilakukan “petikan” pada kuku jari tengah (tekan terminal phalanx ke arah
bawah, lalu sekonyong-konyong lepaskan)
- Positif bila terjadi fleksi keempat jari lainnya.

Gambar 12. Pemeriksaan Refleks Hoffmann-Trommer

55
Blok 17

Check list Pemeriksaan Refleks Superfisialis dan Refleks Patologis

No. Kriteria Pemeriksaan Skor


0 1 2 3
Umum
1. Pemeriksa memberi salam dan memperkenalkan diri
Memposisikan diri di sebelah kanan penderita pada
2.
saat melakukan pemeriksaan
Refleks Abdominal
1. Menjelaskan tujuan dan cara pemeriksaan
Penderita diminta tetap berbaring dengan nyaman
2.
dan santai
Bagian yang tajam dari palu refleks digoreskan pada
3. kulit perut secara radial ke arah umbilikus di daerah
epigastik
4. Melakukan hal yang sama di daerah mesogastrik
5. Melakukan hal yang sama di daerah hipogastrik
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
6.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)
Refleks Babinski.
Jelaskan kepada penderita bahwa anda akan
1. menggores telapak kakinya dan mintalah agar ia
tetap rileks.
Dengan ujung palu refleks (bagian yang tajam),
2. goreslah bagian lateral telapak kaki mulai dari
daerah tumit menuju pangkal ibujari kaki.
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
3.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)
Refleks Chaddock
Dengan ujung palu refleks, goreslah sisi lateral kaki
1.
di bawah maleolus lateral
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
2.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)
Refleks Oppenheim
Dengan telunjuk dan jari tengah, pemeriksa
1. melakukan gerakan seperti mengurut di sepanjang
tulang tibia ke arah kaudal
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
2.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)

56
Sistem Saraf

Refleks Gordon
1. Pemeriksa memijat m.gastrocnemius
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
2.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)
Refleks Schaefer
1. Pemeriksa memijat tendo achilles
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
2.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)
Refleks Rossolimo
Dengan palu refleks, pemeriksa mengetuk pangkal
1.
jari-jari kaki di daerah plantar pedis
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
2.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)
Refleks Mendel Bechterew
Dengan palu refleks, pemeriksa mengetuk pangkal
1.
jari-jari kaki di daerah dorsum pedis
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
2.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)
Refleks Hoffmann-Trommer
Pemeriksa memposisikan sendi pergelangan tangan
1.
penderita dalam posisi ekstensi
Dilakukan “petikan” pada kuku jari tengah (tekan
2. terminal phalanx ke arah bawah, lalu sekonyong-
konyong lepaskan)
Mendeskripsikan hasil pemeriksaan dan
menuliskan dalam rekam medik : positif atau
3.
negatif, unilateral kanan ( +/-) atau kiri (-/+) atau
bilateral (+/+)
TOTAL

57
Blok 17

Anamnesis
Tingkat keterampilan: 4A
Dedeh

Dalam tahun – tahun terakhir ini, dengan adanya teknik pemeriksaan


penunjang dan terapi – terapi baru, diagnosis dan tata laksana penyakit sistem
saraf telah banyak mengalami perubahan. Namun demikian, keterampilan klinis
dasar dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik tetap merupakan dasar terpenting
untuk menegakkan diagnosis penyakit saraf.
Seperti kita ketahui, bagian terbesar susunan saraf tidak bisa diamati
dengan inspeksi ataupun palpasi, karena terletak di lokasi yang tidak dapat diakses
secara langsung oleh pemeriksa. Oleh karena itu, diagnosis neurologis tergantung
pada anamnesis yang baik disertai kemampuan melakukan pemeriksaan fisik
neurologis serta menginterpretasikannya.
Bagaimana cara terbaik mendapatkan riwayat penyakit untuk memberikan
informasi diagnostik yang maksimal? Pertama-tama, biarkan pasien
mengungkapkan keluhannya terlebih dulu tanpa dipotong. Kebanyakan pasien
dapat memberikan keterangan yang cukup mengenai gejala penyakit dalam dua
atau tiga menit. Selanjutnya, gunakan pengetahuan anda mengenai gambaran
klinik penyakit-penyakit saraf untuk menggali riwayat penyakit pasien untuk
mendukung diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.
Sambil melakukan anamnesis, pemeriksa dapat melihat mimik wajah pasen
yang menunjukkan adanya nyeri, gangguan nervus kraniales, gangguan
extrapiramidal, dan lain-lain. Di sini kita juga bisa mendapat kesan sepintas
mengenai kemungkinan adanya gangguan fungsi luhur.
Perlu diingat Diagnosis Neurologis memiliki kekhasan, yaitu terdiri dari:
 Diagnosis klinik
 Diagnosis etiologi/ diagnosis patologis: apakah proses penyakit yang terjadi
pada lesi tersebut?
 Diagnosis lokasi / diagnosis anatomis: di manakah letak lesi dalam sistem
saraf?
Riwayat penyakit merupakan hal yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis etiologi dan diagnosis lokasi suatu penyakit saraf, sebab beberapa
penyakit saraf ditandai dengan gambaran klinik yang subyektif tanpa adanya
kelainan pada pemeriksaan fisik (umum maupun neurologis) dan pemeriksaan
penunjang. Beberapa contoh penyakit saraf yang memenuhi kategori ini adalah
nyeri kepala, epilepsi, vertigo, sinkop.

1. Data umum
Selain data umum seperti nama, jenis kelamin, agama, pendidikan, status marital,
sosial ekonomi, dll, ada beberapa informasi esensial mengenai pasien:
• Usia
o Beberapa gangguan neurologis berhubungan dengan kelompok usia
tertentu.

58
Sistem Saraf

• Pekerjaan
o Pasien mungkin mengalami pajanan tertentu terhadap toksin atau
agen potensial penyebab penyakit lainnya sehubungan dengan
pekerjaannya.
o Beberapa gejala neurologis dapat membatasi kemampuan pasien
dalam melakukan pekerjaan tertentu.
• Kidal atau tidak
o Untuk mendapatkan informasi mengenai hemisfer serebri dominan.
o Untuk menetapkan sejauh mana ketidakmampuan pasien jika gejala
terjadi pada ekstremitas atas.

2. Keluhan utama
Keluhan utama dan lamanya keluhan biasanya kita dapatkan dalam tahap awal
anamnesis. Biarkan pasen mengemukakan keluhannya dalam bahasa pasen
sendiri. Setelah pasien mendeskripsikan gejalanya, pemeriksa harus melakukan
klarifikasi ulang atas apa yang telah dikemukakan pasen. Misalnya keluhan
“pusing” harus diklarifikasi kembali, apakah yang dimaksud pasen adalah “nyeri
kepala” (cephalgia) atau “rasa berputar” (vertigo)?

3. Riwayat penyakit sekarang


a. Pola waktu
Pada saat kita menggali riwayat penyakit pasen, harus jelas kapan mulanya
gejala dirasakan pasen (onset) dan bagaimana perjalanan kronologisnya.
Penentuan gambaran waktu timbulnya gejala sangat penting untuk diagnosis
patologis/ etiologis penyakit saraf:
• Onset: tanggal dan waktu yang jelas awal mula dirasakannya gejala,
termasuk saat kejadiannya: Apakah saat istirahat? Aktivitas? Ada faktor
presipitasi/ pencetus?
• Progresivitas: Apakah akut? Subakut? Kronis/ progresif?
• Sifat keluhan: Menetap? Berupa serangan intermitten? Terdapat remisi dan
eksaserbasi?
• Durasi: Berapa lama keluhan tersebut dialami? Beberapa menit atau
beberapa jam? Atau sejak saat onset sampai sekarang?
• Perbaikan atau menetap? Atau terjadi perburukan?
• Frekuensi (kekerapan) dan durasi-nya?
• Faktor yang memperberat atau meringankan gejala?
Pola waktu perjalanan penyakit ini sangat penting untuk menentukan jenis
kelainan patologi yang menjadi etiologi penyakit saraf. Kelainan vaskular (seperti
stroke) terjadi akut. Infeksi susunan saraf pusat (ensefalitis, meningitis) dapat
berlangsung subakut. Tumor dan penyakit degeneratif bersifat kronis progresif.
Beberapa penyakit berupa serangan intermitten misalnya: epilepsi, benign
paroxysmal positional vertigo. Multiple sklerosis memperlihatkan adanya remisi dan
eksaserbasi. Tanda dan gejala myasthenia gravis bertambah dengan aktivitas dan
berkurang dengan istirahat. Periodik paralisis dapat dicetuskan oleh konsumsi

59
Blok 17

karbohidart dalam jumlah banyak dan aktivitas fisik berat. Grafik di bawah ini
memperlihatkan pola waktu timbulnya gejala penyakit saraf.

Gambar 1. Hubungan antara waktu dengan penyebab neuropatologis spesifik.

Dengan menggunakan contoh lesi hemisfer serebri dengan gejala kelemahan tubuh
sisi kontralateral, onset yang cepat (detik, menit, atau beberapa jam) dan kejadian
ikutan yang statis, mungkin dengan beberapa perbaikan, memberi kesan suatu
kejadian vaskular (stroke), yaitu perdarahan atau infark. Suatu kejadian dengan
progresi lambat (beberapa hari, minggu, atau bulan) lebih mengarah ke lesi berupa
massa yaitu tumor. Kejadian yang berulang dengan pola remisi (dengan gejala khas
yang berkembang dan membaik dalam hitungan hari atau minggu, kemudian
mungkin kambuh dengan waktu kejadian yang serupa) umumnya mengarah pada
proses inflamasi atau demielinisasi kronik, di mana sklerosis multipel merupakan
contoh utama pada sistem saraf pusat.

b. Deskripsi keluhan
Seperti anamnesis lainnya, deskripsikan keluhan pasen lebih lanjut dengan
memperhatikan ketujuh hal di bawah ini:
- Lokasi (dimana ? menyebar atau tidak ?)
- Onset / awitan dan kronologis (kapan terjadinya? berapa lama?)
- Kuantitas keluhan (ringan atau berat, seberapa sering terjadi ?)
- Kualitas keluhan (rasa seperti apa ?)
- Faktor-faktor yang memperberat keluhan.
- Faktor-faktor yang meringankan keluhan.
- Analisis sistem yang menyertai keluhan utama

c. Distribusi kelainan dalam hubungannya dengan diagnosis lokasi


Tanda dan gejala penyakit dapat memberikan informasi mengenai lokasi
kelainan pada sistem saraf. Sebab itu, sebelum mulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan neurologis, pemeriksa harus benar-benar memahami anatomi
susunan saraf. Contohnya, pasien dapat mengeluhkan kelemahan pada satu sisi
tubuh yang mengarah pada lesi hemisfer serebri kontralateral ataupun hemilesi

60
Sistem Saraf

medulla spinalis setinggi segmen servikal. Mengapa demikian dan bagaimana


membedakannya? Bacalah anatomi susunan saraf pusat, dalam hal ini sistem
motorik terutama traktus piramidalis.
Tabel di bawah ini menjelaskan kemungkinan lokasi gangguan neurologis
(Tabel 1).

Tabel 1. lokasi potensial untuk penyakit neurologis.


Korteks serebri
Substansia alba serebri
Ganglia basalis
Serebelum
Batang otak
Saraf kranial
Medulla spinalis
Radiks saraf spinal
Saraf perifer
Sinaps neuromuscular
Otot

Lesi (kelainan) di lokasi korteks serebri, substansia alba, ganglia basalis dan
batang otak dapat menyebabkan gangguan motorik berupa lemah/ lumpuh
separuh tubuh (hemiparesis) disertai baal separuh tubuh (hemihipestesi).
Bagaimana membedakan lesi di korteks serebri dengan kelainan subkortikal? Lesi
di korteks serebri dapat disertai gangguan fungsi luhur misalnya gangguan bahasa
(afasia/ disfasia), agnosia, gangguan visuospatial seperti hemianopia. Lesi iritatif
dapat menjadi fokus epileptogenik sehingga menyebabkan bangkitan (seizure) atau
kejang kontralateral. Lesi di ganglia basalis dapat bermanifestasi sebagai
gangguan motorik ekstrapiramidal seperti adanya parkinsonism (resting tremor,
akinesia atau bradikinesia dan rigiditas), hiperkinetik seperti khorea, athetosis dan
ballismus. Semua lesi tersebut dapat disertai gangguan sensibilitas.

Lesi serebelum dapat menimbulkan vertigo, ataksia dan gangguan


koordinasi. Saraf kranial dapat terganggu fungsinya bila ada lesi patologis pada
jaras supranuklearnya (dari kortex serebri sampai batang otak), nukleus nervus
kraniales di batang otak, dan sepanjang perjalanannya sejak keluar dari batang otak
menuju ke efektor-nya. Berikut ini tanda dan gejala yang timbul akibat lesi yang
mengenai saraf kranial:

Saraf kranial Keluhan yang timbul akibat lesi pada saraf kranial ini
(anamnesis)
N. olfactorius Hiposmia (kurang membau), parosmia (gangguan persepsi
penciuman, misalnya pasen merasa mencium bau busuk
padahal saat itu tidak tercium bau busuk), hiperosmia
N. opticus Hemianopia (gangguan separuh lapang pandang, saat berjalan
mungkin saja pasen sering menabrak barang di satu sisi),

61
Blok 17

amourosis fugax (hilangnya pandangan satu mata sesaat), black


out (hilang pandangan kedua mata/ pandangan gelap), buta
N. oculomotorius Ptosis, diplopia (pandangan ganda) dan bola mata yang terkena
akan tampak deviasi ke luar-bawah (infraduksi – abduksi)
sehingga pasen atau keluarga mengatakan mata pasen tampak
juling
N. trochlearis Diplopia (pandangan ganda), mata yang terkena tampak juling
N. trigeminus Baal pada satu sisi wajah; trigeminal neuralgia (nyeri spontan di
daerah yang dipersarafi n.trigeminus yang dapat diprovokasi
dengan menyentuh suatu lokasi di wajah yang menjadi titik picu
atau trigger point). Kesulitan mengunyah akibat kelumpuhan
otot-otot pengunyah (dismasesi).
N. abducens Diplopia (pandangan ganda), mata yang terkena tampak juling
N. facialis Gangguan motorik berupa mulut tampak mencong, senyum
tidak simetris, tidak bisa bersiul, tidak bisa berkumur atau air liur
menetes melalui satu sudut mulut. Lesi N.VII perifer disertai
kelopak mata sisi tersebut tidak bisa menutup sempurna
(lagophthalmus), mengangkat alis tidak simetris.
Gangguan sensorik berupa rasa kecap lidah terganggu (makan
tidak berasa)
N. acusticus - Telinga berdenging (tinitus)
dan N.vestibularis - Gangguan keseimbangan sehingga berjalan seperti melayang,
berjalan “oleng”. Rasa berputar atau rasa malayang (vertigo,
dizziness)
N. Sulit menelan (disfagia) sehingga pasen sering tersedak.
glossopharyngeus Kesulitan terutama saat menelan cairan. Disfoni yaitu suara
dan N. vagus menjadi sengau (menghidu). Cegukan (singultus) biasanya
disebabkan gangguan n.phrenikus, namun dapat disebabkan
gangguan n. vagus juga.
N. Accessorius Paresis N.XI menyebabkan atropi m.trapezius dan bahu “turun”
pada sisi yang terkena, mungkin pasen memperhatikan bahwa
bahunya menjadi tidak simetris. Manifestasi hiperkinetik dengan
spasme tonik/klonik otot-otot yang dipersarafi N.XI
menyebabkan tortikolis di mana pasen mengeluh lehernya kaku
dan tertarik ke satu sisi.
N. hypoglossus Disatri (bicara menjadi pelo atau rero)

Lesi Medulla spinalis tergantung pada lokasi lesi di medulla spinalis:


apakah lesi transversa (mengenai seluruh penampang lintang medulla spinalis di
segmen yang bersangkutan), hemilesi (lesi “setengah” penampang lintang), atau
lesi sentral. Pada kesempatan ini kita akan membahas lesi transversa dan hemilesi
yang sering dijumpai pada pasen dengan trauma medulla spinalis akibat
kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Lesi transversa menyebabkan putusnya
seluruh jaras yang melalui segmen medulla spinalis terkait. Akibatnya seluruh
fungsi di bawah lesi akan terganggu: motorik, sensorik, vegetatif termasuk miksi
dan defekasi. Maka pasen akan mengalami:

62
Sistem Saraf

- Kelumpuhan: lesi di segmen servikal menyebabkan tetraparesis atau


tetraplegi. Lesi di segmen torakal, lumbal dan sakral menyebabkan
paraparesis.
- Hipestesi dan anestesi: seluruh modalitas sensibilitas di bawah lesi akan
terganggu. Pasen mengalami baal pada daerah segmen yang terkena sampai
ke kaudalnya. Artinya hipestesi atau anestesi tersebut dirasakan mulai
setinggi lesi sampai daerah sakral 5.
- Gangguan miksi dan defekasi berupa retensio atau inkontinensia urine et
alvi.

Lesi radiks saraf spinal menimbulkan nyeri radikuler, yaitu nyeri menjalar
sepanjang radiks yang bersangkutan, yang bertambah dengan manuver valsalva
seperti bersin, batuk atau mengedan. Gangguan sensorik dapat berupa baal
(hipestesi) pada dermatom yang dipersarafi, sehingga mungkin rasa baal tersebut
terlokalisir dan pasen dapat menyebutkan dengan tepat lokasi mana yang terasa
“baal” atau “kebas” tersebut. Bila kelainan yang ada menyebabkan kompresi radiks
(misalnya Hernia Nukleus Pulposus atau tumor) maka dapat disertai monoparesis.

Kelainan Saraf perifer dapat menyebabkan monoparesis maupun


tetraparesis, tergantung saraf perifer yang terkena. Suatu mono-neuropati
(misalnya neuropati n. medianus) menyebabkan monoparesis pada otot yang
dipersarafinya. Suatu polineuropati (misalnya sindroma Guillain Barre)
menyebabkan tetraparesis di mana kelumpuhan terutama lebih berat di daerah
distal ekstremitas, disertai hipestesi dengan distribusi seperti sarung tangan dan
kaos kaki (glove and stocking). Karena di sini kelumpuhan dimulai di bagian distal,
maka pasen akan mengalami kesulitan naik-turun tangga, tidak bisa berjalan jinjit,
sulit memasukkan kaki ke dalam sepatu/ sandal tanpa bantuan, atau kesulitan saat
berubah posisi dari sujud atau jongkok – berdiri. Kedua tangan mungkin sulit
memegang benda, namun pasen masih bisa mengangkat lengan.

Kelainan Sinaps neuromuscular yang paling sering dijumpai adalah


Myasthenia Gravis. Ciri khas kelainan ini adalah bertambah parah pada waktu
aktivitas, dan sedikit membaik bila pasen beristirahat. Distribusi kelainan bersifat
umum. Bisa melibatkan otot-otot okular sehingga menimbulkan ptosis dan
diplopia. Bisa berupa tipe bulbar sehingga menimbulkan disfoni dan disfagi. Bisa
pula tipe umum sehingga timbul kelemahan seluruh tubuh. Dapat mengenai otot
pernapasan sehingga menimbulkan sesak akibat depresi pernapasan.

Kelainan Otot bersifat umum atau difus mengenai otot-otot seluruh tubuh.
Biasanya bersifat herediter. Periodik paralisis mempunyai ciri khas kelumpuhan
otot seluruh ekstremitas yang terjadi akut, mengenai usia muda, bersifat periodik
(ada serangan ber-ulang). Periodik paralisis dicetuskan oleh istirahat setelah
latihan, stres, atau makan tinggi karbohidrat. Distrofi Muskular Progresif (DMP)
bersifat X-linked resesif sehingga manifes pada anak laki-laki. Gejala mulai terlihat
pada usia

63
Blok 17

3 - 5 tahun. Gejala awal tampak sebagai kesulitan berjalan atau berlari, anak sering
terjatuh. Ini bersifat progresif. Karena kelemahan terutama mengenai otot-otot
proksimal ekstremitas, maka mungkin orangtua pasen melihat bahwa anaknya jika
duduk tidak bisa langsung berdiri. Pasen harus terlebih dulu berjongkok dan
bertumpu paa kekuatan tangan untuk berdiri. Hal ini disebut sebagai tanda Gower.

Gambar 2. Tanda Gower

Kadang – kadang, terutama pada masalah yang kompleks, anamnesis hanya


dapat menyajikan suatu “daftar pendek” dari lokasi-lokasi potensial terjadinya lesi.
Penentuan lokasi akhirnya hanya dapat dilakukan setelah kita melakukan
pemeriksaan fisik neurologis dan menginterpretasikan hasilnya. Hal ini disebabkan
penyakit pada satu lokasi lesi di sistem saraf dapat menyebabkan gejala yang
menyerupai lesi di tempat lain. Maka untuk menyingkirkan daftar kemungkinan
lesi potensial dapat diajukan pertanyaan langsung (Tabel 2).

64
Sistem Saraf

Tabel 2. Pertanyaan sistematik neurologis.


Apakah pasien mengalami salah satu dari hal berikut?
Nyeri
Nyeri kepala
Nyeri wajah, leher, punggung, atau ekstremitas

Gangguan kesadaran
Pingsan, pandangan gelap, kejang*
Gangguan pola tidur

Disfungsi kognitif dan afektif


Memori, bahasa
Depresi, iritabilitas

Gejala saraf kranial


Hilangnya penglihatan, kabur, atau penglihatan ganda
Pendengaran, sensasi penghidu dan perasa
Vertigo, pening, pusing*
Masalah-masalah ‘bulbar’ (menelan, artikulasi atau berbicara)

Gejala ekstremitas
Kesulitan dalam mengangkat, menggenggam, gerakan halus jari, lamban
Gangguan pola berjalan, kelemahan atau kekakuan kaki, gangguan
keseimbangan
Hilangnya sensasi, perubahan sensasi, sensasi baal*
Gerakan involunter, inkoordinasi

Gangguan sfingter
Kandung kemih, usus, disfungsi seksual

4. Riwayat penyakit lainnya


Dalam neurologi, seperti juga cabang ilmu kedokteran lainnya, informasi yang
berharga, terutama mengenai diagnosis patologis, memerlukan informasi
mengenai:
 riwayat penyakit dahulu.
 riwayat keluarga.
 riwayat kebiasaan, termasuk kemungkinan drug abuse.
 riwayat sosial.
 riwayat pengobatan.

Hal-hal yang perlu digali di sini tentu saja tergantung keluhan pasen dan
pengetahuan kita mengenai diagnosis banding yang mungkin dari keluhan
tersebut.

65
Blok 17

Cheklist Anamnesis Penyakit Saraf, Kasus: Nyeri Kepala

No. Aspek keterampilan anamnesis, komunikasi dan profesionalisme Penilaian


1. Pemeriksa mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan membina
sambung rasa dengan memperlihatkan sikap menghargai pasen.
2. Menanyakan identitas lengkap
3. Menanyakan keluhan utama: “Bapak/ ibu berobat karena keluhan
apa?”, bila pasen menyatakan istilah awam “pusing” harus
diklarifikasi “apakah nyeri kepala atau rasa berputar?”
4. Membimbing pasen untuk mendeskripsikan keluhannya:
• Onset / awitan dan kronologis (sejak kapan terjadinya?
Sudah berapa lama hal ini dirasakan?)
• Lokasi (Di mana? Unilateral kiri atau kanan? Seluruh
kepala? Disertai penyebaran ke leher belakang?)
• Kuantitas keluhan (Ringan atau berat? Seberapa sering
terjadi? Apakah seharian atau hanya beberapa menit atau
jam? Nyeri ringan artinya tidak mengganggu pekerjaan.
Nyeri sedang akan membuat pasen tidak bisa bekerja,
namun masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari seperti
makan, mandi, memelihara kebersihan diri. Nyeri berat
menyebabkan pasen kesakitan sampai menangis atau
mengeluh dan harus beristirahat total)
• Kualitas keluhan (rasa seperti apa ? Tension type headache
menyebabkan rasa berat di kepala, seperti ada beban, rasa
tertekan, seperti ditusuk atau panas. Pada migren terasa
seperti berdenyut)
• Faktor-faktor yang memperberat keluhan: pada migren
disertai fotofobi dan fonofobi, sehingga nyeri makin hebat
bila pasen terpapar cahaya atau suara.
• Faktor-faktor yang meringankan keluhan: istirahat? Makan
obat sendiri? Obat apa yang dikonsumsi untuk
meringankan keluhan?
• Ada faktor presipitasi/ pencetus? Apakah dicetuskan oleh
stress (tension type heagache), makan coklat atau keju
(migren)? Minuman beralkohol?
• Keluhan tipikal pada nyeri kepala primer tertentu:
a. Migren dengan aura: didahului atau disertai aura
berupa gejala visual atau sensorik. Aura visual bisa
berupa penglihatan berbintik dan garis atau kerlip
sedangkan aura visual negatif contohnya adalah
skotoma. Gejala sensorik mungkin negatif (kebas) atau
positif (kesemutan).
b. Kluster: rasa seperti terbakar sepanjang lateral hidung
atau atau rasa tertekan di belakang mata. Ditemukan
injeksi konjungtiva (mata merah)sesisi, lakrimasi
(keluar air mata), hidung tersumbat.
5. Menanyakan pola waktu:
• Progresivitas: Apakah akut? Subakut? Kronis/ progresif?

66
Sistem Saraf

• Sifat keluhan: Sekali-kali, tidak lebih dari 15 hari dalam


sebulan (Episodik)? Dalam sebulan, lebih dari 15 hari
mengalami serangan, dan sudah terjadi dalam kurun waktu
> 6 bulan (kronik)? Berupa serangan intermitten (migren dan
cluster)?
• Durasi: Berapa lama keluhan tersebut dialami? Beberapa
menit atau beberapa jam? Atau sejak saat onset sampai
sekarang?
• Perbaikan atau menetap? Atau terjadi perburukan?
6. Anamnesis tanda bahaya pada nyeri kepala, termasuk gejala
penyerta yang mungkin dijumpai:
a. Timbul mendadak, baru pertama kali dirasakan dan hebat?
b. Progresif, makin lama makin hebat
c. Bertambah hebat bila batuk atau mengedan
d. Keluhan penyerta berupa:
 Demam
 Muntah proyektil (muntah tanpa didahului mual)
 Kaku kuduk (ditanyakan keluhan subyektif rasa nyeri atau
kaku pada leher belakang)
 Diplopia
 Hemiparese, hemihipestesi
 Kelumpuhan saraf otak: mulut mencong? Bicara rero?
Disfoni? Disfagi?
 Kejang
 Penurunan kesadaran: bicara meracau atau ngaco
(delirium)? Tampak seperti tidur terus (somnolen atau
sopor)?
7. Riwayat penyakit dahulu:
a. Pernah mengalami keluhan seperti ini? Sejak kapan?
b. Riwayat trauma kepala sebelumnya? (Trauma kepala ringan
dapat diikuti sindroma post concussion berupa nyeri kepala
atau vertigo disertai malaise dan kecemasan. Pada orang
lanjut usia, trauma kepala ringan dapat menyebabkan
perdarahan subdural kronik yang baru menimbulkan
manifestasi klinik beberapa mingg/ bulan kemudian).
c. Riwayat penyakit kronis: DM? Hipertensi? Faktor risiko
vaskular lain? (DD/ nyeri kepala sekunder akibat stroke)
d. Riwayat keganasan? (DD/ nyeri kepala akibat tumor otak
ec metastase)
e. Riwayat psikiatri: Cemas? Neurosis? Psikosomatis?
8. Riwayat keluarga (faktor genetik berperan dalam migren)
9. Riwayat personal dan sosial:
a. Kebiasaan makan makanan tertentu yang dapat mencetuskan
nyeri kepala (coklat? Keju?)
b. Drug abuse? Alkoholisme?
c. Stressor di sekolah/ tempat kerja/ keluarga?
d. Olahraga dan rekreasi?

67
Blok 17

e. Masih dapat melakukan pekerjaan dan aktivitas sosial dengan


baik? (tidak ada demensia)
10. Review sistem:
a. Kulit kepala dan wajah: pernah atau sedang menderita herpes
zoster?
b. Mata: mata lelah karena terpapar layar monitor/ TV/ dll terus-
menerus selama jam kerja? Gangguan refraksi?
c. Leher: nyeri leher? (nyeri kepala servikogenik)
d. Telinga, hidung, tenggorokan, rongga mulut (adalah penyebab
nyeri di sana? gigi berlubang? Sinusitis? Otitis media?)
e. Fungsi luhur: adakah gangguan memori? Gangguan aktivitas
hidup sehari-hari? (evaluasi fungsi kognisi)
11. Merangkum hasil anamnesis dengan efektif dan menjelaskan
kemungkinan diagnosis banding
12. Komunikasi non verbal dan sambung rasa:
a. Tatapan mata, sikap tubuh, gaya bahasa
b. Mengkonfirmasi kebenaran data anamnesis yang
dirangkum

68

Anda mungkin juga menyukai