Anda di halaman 1dari 24

II.

Tinjauan Pustaka

2.1 Tinjauan Umum Udang

Udang vannamei atau yang sering juga disebut udang putih oleh

masyarakat umum, adalah jenis udang yang sedang semarak

dibudidayakan oleh masyarakat hampir diseluruh Indonesia, ternyata

adalah jenis udang berasal dari pantai Pasifik Barat Amerika Latin. Ada

dua yang termasuk sub genus Litopenaeus yaitu udang putih

(L.vannamei) dan udang biru (Litopenaeus atylirostris) (Farchan, 2006).

Menurut Zakaria (2010), udang putih pasifik atau yang dikenal dengan

udang vannamei digolongkan dalam :

Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Sub filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Sub kelas : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Dendrobranchiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

Secara morfologis, tubuh udang terbagi atas chepalotorax

(gabungan kepala dada, perut) dan ekor. Ruas-ruas yang nampak pada
seluruh bagian tubuhnya ditutupi oleh kerangka luar yang mengeras, yang

terbuat dari chitin. Pada bagian perut (abdomen) terdapat lima pasang

kaki renang (pleopoda) yang terletak pada masing-masing ruas.

Sedangkan pada ruas keenam terdapat kaki renang telah berubah bentuk

menjadi ekor kipas yang diujungnya membentuk ujung ekor yang disebut

telson. (Poernomo, 2007). Morfologi udang vanamei dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei)

1) Kepala (Thorax)

Kepala udang vanamei terdiri dari antenula, antenna, mandibular,

dan dua pasang maxillae. Kepala udang vanamei juga dilengkapai dengan

tiga pasang maxillped dan lima pasang kaki berjalan (peripoda) atau kaki

sepuluh (decapoda). Maxillped sudah mengalami modifikasi dan

berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan

menempel pada chepalothorax yang dihubungkan oleh coxa. Bentuk


peripoda beruas-ruas yang berujung dibagian dactylus. Dactylus ada yang

berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan

ke-5). Antara coxa dan dactylus, terdapat ruang yang berturut-turut

disebut basis, ishchium, merus, carpus, dan cropus. Bagian ischium

terdapat duri yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa

spesies panneid dalam taksonomi (Haliman dan Adijaya, 2005)

2) Perut (Abdomen)

Abdomen terdiri dari enam ruas. Bagian abdomen terdapat lima

pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk

kipas bersama-sama telson (Haliman adan Adijaya, 2005).

2.2 Komposisi Kimia Udang

Udang digolongkan sebagai produk perikanan istimewa. Udang

memiliki kandungan gizi yang sangat baik. Daging udang mempunyai

kelebihan dalam hal kandungan asam aminonya dari pada daging hewan

darat. Asam aminonya tirosin, triptofan dan sistein lebih tinggi terdapat

pada daging udang, tetapi daging udang mengandung asam amino

histidin lebih rendah, disamping itu daging udang mempunyai rasa lebih

spesifik dari pada daging hasil perikanan lainnya (Hadiwiyoto,1993)

Menurut Sumardika et al (2014), komponen utama udang terdiri dari

kandungan : air, protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan bahan

kimia lainnya seperti kolesterol yang terdapat dalam udang yang dicampur
dari berbagai jenis udang. Komponen tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut :

1) Kandungan air : merupakan komponen dari udang 65,7 gr dari berat

udang secara keseluruhan, oleh karena itu udang termasuk dalam

kelompok bahan makanan yang perishable food (cepat busuk).

Sebagaimana diketahui bahwa air merupakan media yang sangat baik

bagi terjadinya pertumbuhan segala macam jenis bakteri termasuk

bakteri pembusuk baik pathogen maupun non pathogen.

2) Kandungan protein : komponen lainnya dan merupakan komponen

kedua yang terpenting adalah protein yaitu sebesar 17,8 gr. Protein ini

sangat bermanfaat kebutuhan protein manusia terutama yang

bersumber dari hewani,namun protein ini akan terurai menjadi asam-

asam amino yang sangat penting bagi pertumbuhan atau

pembentukan sel-sel tubuh manusia yang mengkonsumsinya.

3) Kandungan karbohidrat : kandungan karbohidrat yang terdapat dalam

tubuh udang adalah sebesar 1,33 gr dan kalori yang dihasilkan adalah

sebesar 85 kkal.

4) Kandungan lemak : lemak yang terkandung di dalam daging udang

sebesar 0,92 gr, adapun lemak yang dikandung oleh udang adalah

terdiri dari lemak jenuh (saturated fatty acid) sebesar 0,264 gr, lemak

tidak jenuh (monounsaturated) 0,167 gr, dan lemak tidak jenuh

(polyunsaturated) sebesar 0,374 gr. Sehingga, udang dapat

dikategorikan sebagai penghasil lemak tidak jenuh dari


polyunsaturated, dengan demikian kandungan kolesterolnya relative

rendah yaitu sebesar 136 mg.

5) Kandungan mineral : mineral yang dikandungnya adalah antara lain :

kalsium 33 mg, iron (besi) 2,62 mg, magnesium 29 mg, phosphor 116

mg, potassium 154 mg, sodium 190 mg, Zinc 1,33 mg, cooper 0,164

mg, dan mangan 0,029 mg.

6) Kandungan vitamin : jenis vitamin yang terdapat dalam daging udang

terdiri dari Vit. B1, Vit. B2, Vit. B6, dan Vit. B12. Komposisi kimia daging

udang secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Udang Vanamei

Kandungan Persentasi (%)


Air 71,5 – 79,6
Protein 18,0 – 22,0
Lemak 23,0
Kalsium 0,0542
Magnesium 0,421
Fosfor 0,2285
Besi 0,002185
Tembaga 0,003973
Iodium 0,000023
Sumber : Haliman dan Adijaya, 2005

2.3 Jenis Pengolahan Udang

Produk olahan merupakan semua jenis bahan pangan yang

mendapat perlakuan lebih lanjut untuk mendapat produk yang lebih lezat

untuk dikonsumsi. Pembekuan udang merupakan proses penanganan


udang secara modern yang paling lazim digunakan. Sebab selain tidak

merubah penampilan dan tekstur, juga memiliki daya awet yang lama.

Hasil perikanan merupakan kekayaan alam Indonesia yang memiliki

potensi cukup baik untuk dimanfaatkan. Salah satu cara yang bisa

dikembangkan untuk memanfaatkan potensi hasil perikanan adalah

dengan diversifikasi pengolahan, sebagai salah satu upaya

penganekaragaman pangan dan memasyarakatkan hasil perikanan yang

selama ini umumnya diolah secara langsung. Oleh sebab itu, untuk

memenuhi kebutuhan suatu pasar maka diperlukan penganekaragaman

dalam pengolahan (Hafiz, 2009).

1) Head On

Head on yaitu udang yang dibekukan dalam keadaan utuh tanpa

dikuliti atau dipotong kepalanya. Produk ini merupakan komoditi yang

permintaan sangat tinggi dipasaran internasional dan mempunyai nilai

yang cukup baik. Udang beku head on pada pengolahan udang PT. 1368

dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Udang beku Head On


2) Head Less

Head less yaitu produk udang beku yang diproses dalam bentuk

kepala sudah dipotong tetapi masih memiliki kulit, kaki, dan ekor.

Pemotongan kepala dilakukan dari bagian bawah kepala ke atas. Bagian

yang dipotong mulai dari batas kelopak penutup kepala sampai batas

leher bagian atas. Bagian daging kepala yang tersisa sedikit dari

pemotongan kepala biasa disebut genjer. Udang beku head less pada

pengolahan udang PT. 1368 dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Udang Beku Head Less

3) Peeled

Peeled adalah produk udang beku tanpa kepala, kulit atau tanpa

ekor. Bentuk pengolahan produk secara peeled dapat dibagai kedalam

beberapa bentuk, antara lain :

1. Peeled Tail On (PTO)

Peeled tail on adalah produk udang beku tanpa kepala dan kulit

dikupas mulai ruas pertama sampai ruas kelima sedangkan ruas terakhir
dan ekor disisakan. Udang beku peeled tail on pada pengolahan udang

PT. 1368 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Udang Beku Peeled Tail On

1. Peeled Deveined Tail On (PDTO)

Peeled deveined tail on (PDTO) adalah produk yang menyerupai

PTO, tetapi pada bagian punggung udang diambil vena (kotoran perut)

dengan cara mencukit menggunakan cukit udang atau dengan cara

membelah bagian punggung mulai dari ruas pertama atau kedua sampai

ruas kelima. Udang beku peeled deveined tail on pada pengolahan udang

PT. 1368 pada Gambar 5.

Gambar 5. Udang Beku Peeled Deveined Tail On (Sumber : PT.1368)


2. Peeled and Deveined (PND)

Peeled and deveined (PND) adalah produk udang yang seluruh kulit

dan ekornya dikupas serta kotorann perutnya dibuang. Udang beku

peeled and deveined pada pengolahan udang PT.1368 dapat dilihat pada

Gambar 6.

Gambar 6. Udang Beku Peeled and Deveined

1. Peeled Undeveined (PUD)

Peeled undeveined adalah produk yang dikupas seluruh kulit dan

ekor seperti produk PND tetapi tidak dikeluarkan kotoran perutnya. Udang

beku peeled undeveined pada pengolahan udang PT.1368 dapat dilihat

pada Gambar 7.

Gambar 7. Udang Beku Peeled Undeveined

2. Butterflay
Butterflay adalah produk udang beku yang hampir sama dengan

produk PDTO, kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama hingga ruas

kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan kemudian bagian

perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan kotoran perutnya dibuang.

Udang beku butterflay pada pengolahan udang PT. 1368 dapat dilihat

pada Gambar 8.

Gambar 8. Udang Beku Butterflay

2.4 Kemunduran Mutu Udang

Suwetja (2011) menjelaskan bahwa setelah hasil perikanan mati

akan terjadi perubahan biokimia dan mulai terjadi proses penurunan mutu

atau deteriorasi yang disebabkan oleh autolisis, kimiawi, dan bakterial.

Penentuan fase kemunduran mutu udang dilakukan untuk mengetahui

kondisi dan tingkat kesegaran udang. Kemunduran mutu udang meliputi

empat tahap yaitu prerigor, rigor mortis, postrigor, dan kebusukan

(deterioration).
1. Penurunan Mutu secara Enzimatik/Autolisis

Penurunan mutu secara enzimatis adalah suatu proses peneurunan

mutu yang terjadi karena kegiatan enzim dalam tubuh udang yang tidak

terkendali sehingga senyawa kimia dalam jaringan tubuh yang telah mati

terurai secara kimia. Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna,

tekstur, dan rupa yang berubah (Purwaningsih, 1995).

Diantara proses enzimatik yang sangat mempengaruhi rupa udang

adalah pembentukan bercak hitam (melanosis) dengan gejala terjadinya

penghitaman pada kepala, ruas-ruas dan ekor. Penyebabnya adalah

enzim dalam udang yang melalui suatu rangkaian reaksi, mengoksidasi

senyawa-senyawa tertentu, menghasilkan pigmen melanin berwarna

hitam. Proses melanosis ini segera dan cepat dipengaruhi oleh keadaan

kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas, 1993).

2. Penurunan Mutu secara Bakterial

Penurunan mutu secara bakterial adalah suatu proses penurunan

mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari

selaput lendir dari permukaan tubuh dan saluran pencernaan. Penurunan

mutu ini mengakibatkan daging udang terurai dan menimbulkan bau

busuk (Purwaningsih,1995).

Udang merupakan hasil perikanan yang mudah membusuk dan

dalam waktu kurang satu jam setelah penangkapan akan segera menjadi
busuk setelah melewati masa kekakuan sehingga pendinginan atau

pembekuan harus segera dilakukan untuk mencegah kerusakan lebih

lanjut. Kesegaran udang akan dapat dipert ahankan jika disimpan dalam

suhu rendah sekitar 0oC serta melindungi udang dari pengeringan oleh

tiupan angin dan terik matahari (Ilyas, 1983). Hubungan saling

mempengaruhi antara suhu, kegiatan bakteri, dan mutu udang dapat

dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hubungan saling mempengaruhi antara suhu, kegiatan bakteri,

dan mutu udang

Suhu Kegiatan bakteri Mutu udang


Pada deret suhu tinggi Luar biasa cepat Cepat menurun, daya awet
25º-10ºC sangat pendek (3-10 jam)
10º-2ºC Pertumbuhan Mutu menurun kurang cepat,
kurang cepat daya awet pendek (2-5 hari)
Pada deret suhu Pertumbuhan jauh Daya awet wajar (3-10 hari)
rendah berkurang
2º-(-1ºC)
-1ºC Kegiatan bakteri sebagai produk basah,
dapat ditekan penurunan mutu minimum, daya
awet (5-20 hari)
Pada deret suhu Tidak aktif Ikut jadi beku, tekstur dan rasa
rendah rendah, daya awet (7-30 hari)
-2º-(-10ºC)
-18ºC – lebih rendah Bakteri yang Mutu baik, daya awet bisa
tersisa tidak aktif sampai setahun
Sumber : Ilyas, 1983
3. Penurunan Mutu secara Kimiawi/Oksidasi

Penurunan mutu secara kimiawi atau oksidasi adalah reaksi oksidasi

terhadap asam lemak yang dihasilkan dari penguraian lemak oleh enzim.

Oksidasi asam ini akan menyebabkan timbulnya bau tengik (oksidative

rancidity), disamping itu juga rupa udang dan daging berubah warnanya

kecoklat- coklatan dan kusam (Hadiwiyoto 1993). Kecepatan laju oksidasi

dapat diperlambat dengan penambahan antioksidan dan untuk produk

udang beku dapat diatasi dengan glazing (memberikan lapisan es tipis

pada produk).

4. Kerusakan Secara Fisik

Menurut Poernomo (2007), pada proses pemanenan dan pasca

panen sering terjadi kesalahan sehingga menimbulkan kerusakan pada

udang. Kerusakn fisik misalnya, banyak terjadi pada proses

penangkapan/pemanenan. Jenis kerusakan ini juga terjadi karena proses

mikrobiologi ataupun kimia akibat penundaan penanganan, aplikasi sistem

rantai dingin yang tidak tepat dan kondisi sanitasi serta higienis saat

penanganan. Berikut beberapa jenis kerusakan pada udang :

1) Deteriorasi

Adalah adanya perubahan mutu udang pada udang segar yang baru

ditangkap sebagai akibat penanganan yang kurang baik. Dapat diketahui

dengan adanya penyimpangan bau dari produk beku setelah dilelehkan

dibandingkan bau normal dari udang yang baru ditangkap


2) Eksoskeleton lunak (Moulting)

Ditunjukkan adanya soft shell, menunjukkan adanya gejala keadaan

udang yang berubah secara tiba-tiba secara dratis. Moulting juga bisa

disebabkan metabolisme alami dari udang sebagai akibat pertumbuhan

ukuran tubuhnya.

3) Patah ( broken) dan rusak (damaged)

Terjadi retak pada bagian daging yang kedalamannya sepertiga dari

tebal udang. kondisi udang yang hancur/ terpotong-potong sehingga

mempengaruhi kenampakkan, halini disebabkan karena penanganan tidak

hati-hati selama penangannan dikapal/ apengolahan, pengesan yang

kurang baik dan lain sebagainya.

4) Dehidrasi

Menurut Moeljanto (1992), dehidrasi adalah kehilangan air pada

udang sebagai akibat berlangsung perpindahan panas secara terus

menerus dalam ruang refrigasi dari produk ke evaporator yang membawa

uap air. Hal ini ditunjukkan oleh adanya salju diatas atau produk

mengalami pengeringan sehingga merubah warnanya menjadi keputih-

putihan.

5) Noda hitam (Black Spot)

Bercak hitam udang ini terjadi adanya aktivitas sejenis enzim yang

disebut Tyrosinase. Enzim ini terdapat pada kulit udang dan memudahkan

bereaksi dengan jenis asam amino. Dari hasil reaksi akan terbentuk dari
tyrosine yaitu melanin. Timbul bercak hitam antar lain disebabkan oleh

reaksi polimerasi dan kondensasi akibat kesalahan penanganan.

2.5 Teknik Penanganan dan Pengolahan

Menurut Hadiwiyoto (1993), mutu bahan dasar sangat menentukan

hasil akhir pengolahannya, kalau mutu bahan baku dasarnya rendah

produk yang dihasilkan dalam pengolahan juga mempunyai mutu yang

kurang baik, jika bahan dasar mempunyai mutu yang baik, maka produk

yang dihasilkan juga akan bermutu tinggi jika pengolahannya berjalan

normal. Penanganan paska tangkap hasil perikanan bertujuan

menyediakan dan mempertahankan sifat segarnya dan melakukan

preparasi seperlunya untuk pengolahanya lebih lanjut baik dalam skala

insdustri maupun untuk keperluan konsumsi.

2.5.1 Persyaratan Bahan Baku

Bahan baku udang beku menurut SNI 01-2728.1-2006, adalah

semua jenis udang segar yang dapat ditangani dan diolah untuk dijadikan

produk akhir berupa udang beku, dan bahan baku harus berasal dari

perairan yang tidak tercemar baik disengaja maupun tidak disengaja oleh

kotoran manusia dan hewan yang dapat mencemari produk yang dimakan

tanpa pemanasan atau pemasakan. Mutu bahan baku sesuai dengan

BSN (2006) organoleptik bahan baku mempunyai karakteristik kesegaran

sebagai berikut :

1. Kenampakan : bening, cemerlang, antara ruas kokoh


2. Bau : segar, spesifik menurut jenisnya

3. Daging : bentuk daging kompak, elastis, padat dan rasanya

manis

Berikut persyaratan mutu udang segar menurut SNI 01-2728.1-2006

dapat dilihat pada pada Tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3. Persyaratan mutu Udang Segar

Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu


a) Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
b) Cemaran Kimia* :
1. ALT Koloni / gram 5 x 10 5
2. Escherichia Coli APM / gram <2
3. Salmonella APM / 25 gram Negatif
4. Vibrio Cholera APM / 25 gram Negatif
*
c) Cemaran Kimia :
1. Kloramfenikol µg / kg Maksimal 0
2. Nitrofuran µg / kg Maksimal 0
3. Tetrasiklin µg / kg Maksimal 100
d) Filth - Maksimal 0
*
) Bila diperlukan
Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total
APM = Angka Paling Memungkinkan

Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2006

Menurut Hadiwiyoto (1993), kesegaran adalah tolak ukur untuk

membedakan udang yang jelek atau baik kualitasnya. Bahan baku

dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi,

fisikawi yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada udang,


parameter untuk menjaga kualitas bahan baku terdiri dari faktor kimiawi,

sensorik dan mikrobiologi.

Berdasarkan kesegaran tersebut diatas udang dibedakan menjadi 4

kelas mutu, yaitu :

1) Udang bermutu prima (prime) atau baik sekali

Udang prima (prime) adalah udang yang benar-benar masih segar,

belum ada perubahan warna, transparan dan tidak ada kotoran atau

noda-nodanya.

2) Udang bermutu baik (fancy)

Udang ini mutunya dibawah prima, ditandai dengan adanya kulit udang

yang nampak pecah-pecah atau retak-retak, tubuhnya lunak, tetapi

warnanya masih baik dan tidak terdapat kotoran.

3) Udang bermutu sedang (medium, blackspot)

Udang yang kulitnya pecah-pecah lebih banyak daripada udang yang

bermutu baik. Udang sudah tidak utuh lagi, misalnya kakinya patah,

ekornya hilang, atau sebagian tubuhnya putus. Daging sudah tidak

lentur lagi. Pada permukaan udang sudah tampak banyak noda-noda

berwarna hitam atau merah gelap.

4) Udang bermutu rendah (jelek, broken)

Kulit udang yang pecah dan mengelupas, antar ruas-ruas pada tubuh

sudah putus dan udang sudah tidak utuh lagi.


2.5.2 Bahan Pembantu

Merupakan bahan yang dimanfaatkan dalam proses produksi,

namun bukan merupakan bagian dari bahan baku utama untuk produk

yang dihasilkan. Beberapa ahli berpendapat bahwa bahan pembantu

merupakan item yang dapat meningkatkan efisiensi atau keamanan

produksi tetapi bukan menjadi bagian dari bagian utama produk jadi

(Anonim, 2016).

1) Air

Menurut Winarno dan Surono (2004), air merupakan komponen

dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan,

tekstur, cita rasa, makanan. Air berperan sebagai pembawa zat-zat

makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang

menstabilkan pembentukan biopolimer, dan sebagainya. Kandungan air

dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan

daya tahan tubuh. Air merupakan pencuci yang baik bagi makan tersebut

alat-alat yang akan digunakan dalam pengolahannya. Kandungan air

dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap

serangan mikroba yang dinyatakan dengan AW yaitu jumlah air bebas yang

dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. syarat air

yang digunakan adalah standar air minum sesuai dengan SNI 01-

3553.2006 dapat dilihat pada Tabel 4.


Tabel 4. Persyaratan Mutu Air Berdasarkan Standar Air Minum

Persyaratan
No. Kriteria Uji Satuan
Air Mineral Air Demineral

1. Keadaan

1.1 Bau - Tidak berbau Tdak berbau

1.2 Rasa Normal Normal

1.3 Warna Unit Pt-Co Maks. 5 Maks. 5

pH 6,0-8,5
2 - 5,0 – 7,5
Kekeruhan Maks. 1,5
3 NTU Maks. 1,5
Zat yang terlarut Maks. 500
4 mg/I Maks 1,0
Zat organik (angka KmnO4) Maks 1,0
5 mg/I -
Total organik karbon -
6 mg/I Maks. 0,5
Nitrat (sebagai NO3) Maks. 45
7 mg/I -
Nitrit (sebagai NO2) Maks. 0,005
8 mg/I -
Amonium (NH4) Maks. 0,15
9 mg/I -
Sulfat (SO4) Maks. 200
10 mg/I -
Klorida (Cl) Maks. 250
11 mg/I -
Flourida (F) Maks.1
12 mg/I -
Sianida (CN) Maks. 0,05
13 mg/I -
Besi (Fe) Maks. 0,1
14 mg/I -
Mangan (Mn) Maks. 0,05
15 mg/I -
Klor bebas (Cl2) Maks. 0,1
16 mg/I -
Kromium (Cr) Maks. 0,05
17 mg/I -
Barium (Ba) Maks. 0,7
18 mg/I -
Boron (B) Maks. 0,3
19 mg/I -
Selenium (Se) Maks. 0,01
20 mg/I -
Cemaran Logam
21
Timbal (Pb) Maks. 0,005
21.1 mg/I Maks. 0.005
Tembaga (Cu) Maks. 0,5
21.2 mg/I Maks. 0,5
Kadmium (Cd) Maks. 0,003
21.3 mg/I Maks 0,003
Raksa (Hg) Maks. 0,001
21.4 mg/I Maks. 0,001
Perak (Ag) -
21.5 mg/I Maks. 0,025
Kolbat (Co) -
21.6 mg/I Maks. 0,01
Cemaran arsen Maks. 0,01
22 mg/I Maks. 0,01
Cemaran mikroba
23
Angka lempeng total awal *) Maks. 1,0 x 102
23.1 koloni/ml Maks. 1,0 x 102
Angka lempeng total akhir **) Maks. 1,0 x 105
23.2 koloni/ml Maks. 1,0 x 105
Bakteri bentuk koli <2
23.3 APM/100 ml <2
Salmonella Negatif/100 ml
23.4 - Negatif/100 ml
Pseudomonas aeruginosa Nol
23.5 koloni/ml Nol

Keterangan *) Di Pabrik
**) Di Pasaran

Sumber : BSN, 2006


Air yang digunakan dalam pengolahan produk perikanan harus

memenuhi persyaratan air minum yang dinyatakan oleh Menteri

Kesehatan. Air untuk penanganan dan pengolahan udang harus cukup

aman dan saniter, berasal dari sumber yang diijinkan dengan angka

koliform maksimum 2 untuk setiap 100 ml air. Air tersebut harus

bertekanan 145, 26 per cm3 (20 pound per square inch). Air minum yang

dipakai di unit pengolahan, hendaknya memenuhi persyaratan air minum

secara kontinyu diperiksa ke laboratorium yang telah diakreditasi oleh

pemerintah (Purwaningsih, 1995).

2) Es

Menurut Ilyas (1983) es adalah medium pendinginan yang

mempunyai beberapa kelebihan, antara lain yaitu mempunyai kapasitas

pendingin yang sangat besar per satuan berat atau volume. Proses

melelehkan 1 kg es diperlukan 80 kilo kalori (Kkal) panas. Es tidak

merusak ikan dan tidak membahayakan yang memakannya selain itu es

mudah untuk didistribusikan dan ekonomis. Hancuran-hancuran dari es

dapat berkontraksi erat dengan ikan, dengan demikian ikan cepat

mendingin, basah, dan cemerlang. Hasil perikanan mempunyai kesegaran

yang baik perlu memperhatikan beberapa hal pada pekerjaan, antara lain

yaitu jumlah es yang digunakan pada hasil perikanan, cara menambahkan

es pada hasil perikanan, waktu lamamnya pemberian es, ukuran wadah

yang digunakan, serta menghindari pengesan ikan yang masih kotor dan

luka (Hadiwiyoto, 1993).


Penggunaan es dalam proses pengolahan hasil perikanan

dimaksudkan untuk mempertahankan mutu kesegaran udang. Es yang

digunakan dalam pengolahan harus dibuat secara higienis dan dari

sumber air yang bersih dan memenuhi persyaratan air minum serta tidak

boleh terkontaminasi selama penanganan dan penyimpanan

(Purwaningsih, 1995). persyaratan es yang digunakan sesuai dengan SNI

01-4872.1 -2006 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persyaratan Mutu Es

Jenis Uji Satuan Persyaratan


a. Organoleptik Angka (1-9) 7
b. Cemaran Mikroba
- ALT Koloni/ml Maksimal 1,0 x 102
Suhu 22°C Koloni/ml Maksimal 2,0 x10
Suhu 37°C Koloni/ml 0
- E. coli/coliform Koloni/ml 0
- Enterococcus Koloni/ml 0
c. Cemaran Kimia
- pH Angka (1-14) 6,5-8,5
- Nitrat* mg/ml mg/l Maksimal 0,5
- Besi mg/l Maksimal 200
- Klorida Maksimal 250
- Free Khlorine Maksimal 0,5

d. Fisika *
suhu pusat °C Maksimal -3
Catatan : * untuk es balok
** jika diperlukan
Sumber : BSN, 2006
Lanjutan Tabel 5.
2.5.3 Bahan Tambahan

Berdasarkan PP No.28 Tahun 2004, bahan tambahan pangan

adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi

sifat atau bentuk pangan atau produk pangan. Bahan ini berfungsi untuk

memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta memperpanjang

masa simpan, dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama (Hidayati

dan Saparinto, 2006).

1) Garam

Garam adalah bahan yang sangat penting dalam pengawetan

makanan, terutama ikan, telur, daging serta bahan pangan lainnya.

Garam dapur atau garam meja merupakan kristal dari senyawa sodium

klorida. Garam nitrit dan nitrat biasa digunakan untuk curing daging untuk

memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan mikroba.

Diduga nitrit bereaksi dengan gugus sulfhidril dan membentuk senyawa

yang tidak dapat dimetabolisme mikroba dalam keadaan anaerob.

Sedangkan garam nitrat peranannya sebagai pengawet masih

dipertanyakan. Namun dalam proses curing garam nitrat ditambahkan

untuk mencegah pembentukan nitrooksida (nitrooksida dengan pigmen

daging membentuk nitrosomioglobin berwarna merah cerah). Garam nitrat

ini akan tereduksi oleh bakteri nitrat menghasilkan nitrit (Ebook Pangan,

2006).
2) Fospat

Pada umumnya fosfat digunakan sebagai bahan tambahan pangan

pada bermacam makanan termasuk daging, unggas dan produk

perikanan. Melalui reaksi kimia antar komponen makanan dengan bahan

tambahan lain, fosfat akan mempengaruhi daya ikat air, warna,

pengawetan dan penanganan berbagai jenis makanan. Efektivitas phosfat

dalam mempertahankan air didalam daging tergantung dari tipe phosfat

yang digunakan, jumlah yang digunakan dan produk spesifik. Phosfat

memberikan efek sinergis jika diaplikasikan bersama-sama garam (NaCl).

Pada jumlah phosfat terbatas, garam akan mengembangkan protein

miofibril protein sehingga dan dengan bantuan gaya dari luar (misalnya

pengadukan) akan menyebabkan protein terlarut kedalam (Indrajaya,

2011).

2.6 Proses Perendaman dengan Bahan Tambahan

Proses perendaman merupakan tahapan dalam pembekuan udang

yang paling banyak menghabiskan waktu karena proses ini dilakukan

sekitar 2 jam. Prinsip yang digunakan mesin soaking yaitu dengan

kecepatan putaran atau rpm yang dapat mengubah larutan menjadi

homogen sehingga mudah diserap oleh pori-pori udang. Suhu larutan

soaking harus dipertahankan antara <30C. Kegagalan dalam proses

soaking diakibatkan karena penempatan alat yang tidak rata, sehingga


proses putaran kurang sempurna dan suhu air yang jauh dari suhu yang

ditentukan.

Polifosfat merupakan salah satu jenis garam alkali fosfat yang sering

digunakan oleh industri yang ditujukan untuk memperbaiki mutu produk.

Polifosfat adalah komponen kimia yang berfungsi sebagai buffer,

sekuestran dan sebagai polimer yang berperan meningkatkan kekuatan

ioniK. Pada umumnya fosfat digunakan sebagai bahan tambahan pangan

pada bermacam makanan termasuk daging, unggas dan produk

perikanan. Melalui reaksi kimia antar komponen makanan dengan bahan

tambahan lain, fosfat akan mempengaruhi daya ikat air, warna,

pengawetan dan penanganan berbagai jenis makanan (Indrajaya, 2011).

Anda mungkin juga menyukai