Anda di halaman 1dari 18

Vibrio parahaemolyticus

Vibrio merupakan jenis bakteri yang hidupnya saprofit di air, air laut, dan tanah. Bakteri ini
juga dapat hidup di salinitas yang relatif tinggi. Sebagian besar juga bersifat halofil yang tumbuh
optimal pada air laut bersalinitas 20-40‰.

Genus Vibrio adalah agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan,
udang, dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya
disebut penyakit udang berpendar. Bakteri Vibrio menyerang larva udang secara sekunder yaitu
pada saat dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri ini
termasuk jenis opportunistic pathogen yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan
pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik menjadi patogenik jika kondisi
lingkungannya memungkinkan.

Terdapatnya bakteri pathogen Vibrio di perairan laut menandakan adanya kontak dengan buangan
limbah industri dan rumah tangga seperti tinja manusia atau sisa bahan makanan lainnya, di mana
bakteri tersebut secara langsung akan tumbuh dan berkembang bila kondisi perairan tersebut
memungkinkan. Selanjutnya dari keadaan ini kemudian akan berpengaruh terhadap biota perairan
dan akhirnya pada manusia.

Bakteri dari spesies Vibrio secara langsung akan menimbulkan penyakit (pathogen), yang dapat
menyebabkan kematian biota laut yang menghuni perairan, dan secara tidak langsung bakteri yang
terbawa biota laut seperti ikan akan dikonsumsi oleh manusia, sehingga menyebabkan penyakit
pada manusia.

Genus : Vibrio

Spesies :

 Vibro anguillarum

 Vibrio vulnificus
 Vibrio salmonicida

 Vibrio hollisae

 Vibrio alginolyticus

 Vibrio damsel

 Vibrio cholera

 Vibrio fluvialis

 Vibrio parahaemolyticus

 Vibrio mimicus

MORFOLOGI

Bakteri Vibrio sp adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif tinggi. Bakteri
Vibrio termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen.
Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 - 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan
pH 9,0.

Vibrio sp merupakan salah satu bakteri patogen yang tergolong dalam divisi bakteri, klas
Schizomicetes, ordo Eubacteriales, Famili Vibrionaceae. Bakteri ini bersifat gram negatif, fakultatif
anaerob, fermentatif, bentuk sel batang yang melengkung dengan ukuran panjang antara 2-3 µm,
menghasilkan katalase dan oksidase dan bergerak dengan satu flagella pada ujung sel.

Tabel 1. Spesies Vibrio yang berkaitan dengan penyakit pada manusia.

Species Penyakit

V. cholera, O1 Cholera, wound infection

V. cholera, non-O1 Diarrhoea, gastroenteritis, wound infection, secondary


septicaemia

V. mimicus Diarrhoea, gastroenteritis, wound infection

V. parahaemolyticus Gastroenteritis, wound infection, otitis media

V. fluvialis Diarrhoea

V. furnissii Diarrhoea

V. holisae Diarrhoea
V vulnificus Wound infection, primary septicaemia, secondary
septicaemia

V. alginolyticus Wound infection, otitis media

V. damsel Wound infection

Sumber : Adam and Moss 2008.

VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS
Adalah bakteri halofilik yang menyebabkan gastroenteritis akut sebagai akibat makan-
makanan seafood yang terkontaminasi seperti ikan mentah atau kerang. Seelah periode inkubasi
selama 12-24 jam, terjadi mual dan muntah,kram perut, demam dan diare air dan darah. Lekosit
pada tinja sering terlihat. Enteritis cenderung sembuh sendiri dalam 1-4 hari tanpa pengobatan,
selain restorasi air dan keseimbangan elektrolit. Tidak ada enteroktosin yang diisolasi dari
organisme. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, dengan kejadian tertingg pada wilayah dimana
orang gemar memakan seafood mentah. V.parahaemolyticus tidak dapat tumbuh dengan baik pada
media deferensial yang biasa digunakan untuk salmonella dan shigella, tetapi dapat tumbuh dengan
baik pada agar darah. Mereka juga dapat tumbuh pada TCBS dimana mnghasilkan koloni yag
berwarna hijau. V.parahaemolyticus biasanya diidentifikasi melaui pertumbuhan oksidase positifnya
paa agar darah.

Morfologi

Bakteri Vibrio parahaemolyticus (Vp) merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat
motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk pertumbuhan
dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat
membentuk spora serta bersifat zoonosis . Perubahan bentuk morfologi Vp dapat terjadi dengan
perlakuan suhu dingin dan kondisi lingkungan yang tidak menunjan

Habitat

Bakteri Vp hidup pada sekitar muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai (coastal
waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea). Bakteri Vp terutama hidup di perairan Asia
Timur. Bakteri ini tumbuh pada air laut dengan kadar NaCl optimum 3%, ( berkembang baik pada
kadar NaCl 0,5% - 8 %) pada kisaran suhu 5 - 43 OC, pH 4,8 –11 dan water activity (aw) 0,94-
0,99. Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu optimum 37 OC dengan waktu generasi hanya 9-
11 menit. Pada beberapa spesies Vibrio suhu pertumbuhan sekitar 5 – 43 OC (pada suhu 10 OC
merupakan suhu minimum pada lingkungan) (Adams and Moss 2008). Selama musim dingin,
organisme ini ditemukan di lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di
perairan pantai. Bakteri Vp dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan
produk makanan laut lainnya.

Vp adalah bakteri halofilik didistribusikan di perairan pantai di seluruh dunia. Bakteri ini ditemukan
di lingkungan muara sungai dan menunjukkan variasi musiman, yang hadir dalam jumlah tertinggi
selama musim panas. Selama musim dingin, bakteri ini tetap berada di bawah muara pada
bahan chitinous plankton.

Sifat biakan

- pH optimum 7,6 -9,0

- seperti spesies Vibrio lainnya, membutuhkan perbenihan selektif

- halofilik (salt loving), membutuhkan minimal 2% NaCl. Biotip algolytius tahan sampai 11% NaCl,
penting untuk membedakan dari biotip parahaemolyticus

- pada agar TCBS membentuk koloni besar, smooth berwarna hijau (bedakan dari koloni V.Cholerae
yang berwarna kuning).

- Generation Time : 9-15 menit. Ini penting untuk epidemiologi gastroenteritis

Patogenisitas

Masa inkubasi yang dilaporkan untuk keracunan makanan oleh Vp bervariasi dari 2 jam
sampai 4 hari meskipun biasanya 9 - 25 jam. Penyakit bertahan hingga 8 hari dan dicirikan oleh diare
profuse berair bercampur darah atau lendir, muntah, nyrti perut, dan demam. Vp lebih
enteroinvasive dari Vibrio cholerae, dan menembus epitel usus untuk mencapai lamina
propria. Sebuah sindrom disentri juga telah dilaporkan dari sejumlah negara termasuk Jepang.

Tidak semua strain dari Vp bersifat patogen. Strain patogen bawaan makanan dapat menyebabkan
hemolisis karena adanya suatu hemolisin panas- stabil dan ditujukan sebagai Kanagawa-positif. Saat
ini, hemolisin panas-stabil 23-kDa (disebut hemolisin langsung termostabil/TDH) dianggap sebagai
racun. Kebanyakan strain terisolasi dari sumber-sumber alam (air muara, plankton, kerang, dan ikan)
adalah Kanagawa-negatif. Namun, beberapa strain Kanagawa-negatif juga telah dikaitkan dengan
wabah bawaan makanan. Tingkat produksi racun berhubungan dengan pertumbuhan
sel, konsentrasi sel, dan pH lingkungan. Jika bentuk racun sudah terdapat dalam makanan,
pemanasan tidak akan merusak toksin tersebut.

Patogenesitas strain Vp sangat terkait dengan kemampuan mereka untuk menghasilkan 23-kDa,
termostabil, ekstraseluler, haemolysin. Saat diuji pada suatu media yang dikenal sebagai agar
Wagatsuma's, haemolysin bisa melisiskan darah manusia dan sel darah kelinci tapi tidak pada darah
kuda, sebuah fenomena yang dikenal sebagai reaksi Kanagawa. Haemolysin juga telah ditunjukkan
untuk dapat mengakibatkan enterotoxic, sitotoksik, dan kardiotoksik

Proses Penularan

Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi produk
makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang dimasak kurang
sempurna. Penularan juga dapat terjadi pada makanan yang telah dimasak sempurna namun
ercemar oleh personal/individu yang pada saat bersamaan menangani produk ikan mentah.

Gb. Vibrio parahaemolyticus pada media TCBS

4 of 5

VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS SEBAGAI AGEN PENYEBAB


FOODBORNE DISEASE

Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat
perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Timbulnya penyakit yang
berasal dan melalui pangan (foodborne disease) dan kejadian-kejadian kontaminasi pangan terjadi di
berbagai negara, tidak hanya di negara berkembang dimana kondisi sanitasi dan higiene umumnya
buruk, tetapi juga di negara-negara maju.
Penyakit-penyakit yang berasal dari pangan diperkirakan menimpa satu dari tiga orang di
negara maju. Di negara sedang berkembang, penyakit diare diperkirakan merupakan penyebab
kematian utama sebanyak 2,2 juta anak. Penyakit ini memberi kontribusi yang nyata pada masalah
kekurangan gizi dan respon kekebalan yang tertekan yang umum dialami anak-anak di negara
berkembang. Penyakit-penyakit diare yang timbul terutama disebabkan oleh patogen asal pangan
dan asal air (waterborne), dengan penyebab yang dipindahkan melalui pangan mencapai 70%.

Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan
manusia. Salah satu ciri makanan yang baik adalah aman dan layak untuk dikonsumsi. Makanan
yang menarik, nikmat, dan tinggi gizinya akan menjadi tidak berarti sama sekali jika tidak aman
untuk dikonsumsi. Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung
mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar
sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Oleh
sebab itu, kualitas makanan, baik secara bakteriologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan.

Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh
mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peran penting dalam
pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak
layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat menimbulkan bahaya
bagi yang mengonsumsinya. Kondisi tersebut dinamakan keracunan makanan. Lebih dari 90 persen
terjadinya foodborne diseases pada manusia disebabkan kontaminasi mikrobiologi, yaitu antara lain
penyakit tifus, disentri bakteri atau amuba, botulism dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A
dan trichinellosis. WHO mendefinisikan foodborne diseases sebagai penyakit yang umumnya bersifat
infeksi atau racun yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna.

Di sebagian besar negara tidak ada kewajiban untuk melaporkan penyakit yang ditularkan
melalui makanan kepada otoritas kesehatan masyarakat. Telah diperkirakan bahwa hanya beberapa
kasus aktual penyakit makanan dapat dicatat, karena kurangnya kesadaran akan peran etiologi
makanan. Kejadian bahwa makanan bertanggung jawab pada kasus penyakit tidak bisa untuk
analisis karena tidak ada data dan tidak teridentifikasi. Ketika identifikasi agen etiologi telah
berhasil, bakteri patogen adalah agen penyakit yang paling sering ditemukan. Salah satunya ikan
adalah yang paling sering terlibat diikuti oleh kekerangan. moluska dan krustasea (Jaksic et al 2002).

Tabel 1. Spesies Vibrio yang berkaitan dengan penyakit pada manusia.


Species Penyakit

V. cholera, O1 Cholera, wound infection

V. cholera, non-O1 Diarrhoea, gastroenteritis, wound infection, secondary


septicaemia

V. mimicus Diarrhoea, gastroenteritis, wound infection

V. parahaemolyticus Gastroenteritis, wound infection, otitis media

V. fluvialis Diarrhoea

V. furnissii Diarrhoea

V. holisae Diarrhoea

V vulnificus Wound infection, primary septicaemia, secondary


septicaemia

V. alginolyticus Wound infection, otitis media

V. damsel Wound infection

Sumber : Adam and Moss 2008.

Salah satu bakteri yang mengkontaminasi makanan (kerang, udang dan hasil laut lainnya)
dan menyebabkan keracunan makanan serta gastroenteritis (diare akut) adalah bakteri Vibrio
parahaemolyticus (Dumontet et al 2000). Bakteri ini patogen dan mempunyai daya virulensi yang
tinggi pada makanan laut khususnya udang (Sudheesh and Xu 2002).

Kita ketahui bahwa bumi kita sebagian besar wilayahnya merupakan lautan dan rata-rata
penduduk dunia menyukai produk makanan laut, maka penting bagi kita untuk mengetahui mikroba
yang mengkontaminasi produk makanan dari laut sehingga kita dapat mencegah, menanggulangi
dan mengobati penyakit akibat bakteri ini.

Morfologi
Bakteri Vibrio parahaemolyticus (Vp) merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat
motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk pertumbuhan
dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat
membentuk spora serta bersifat zoonosis ( Austin 2010). Perubahan bentuk morfologi Vp dapat
terjadi dengan perlakuan suhu dingin dan kondisi lingkungan yang tidak menunjang (Chen et al
2009).

Gambar 1. Bentuk Vibrio parahaemolyticus

Habitat Vibrio parahaemolyticus

Bakteri Vp hidup pada sekitar muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai (coastal
waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea). Bakteri Vp terutama hidup di perairan Asia
Timur. Bakteri ini tumbuh pada air laut dengan kadar NaCl optimum 3%, ( berkembang baik pada
kadar NaCl 0,5% - 8 %) pada kisaran suhu 5 - 43 OC, pH 4,8 –11 dan water activity (aw) 0,94- 0,99.
Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu optimum 37 OC dengan waktu generasi hanya 9-11
menit. Pada beberapa spesies Vibrio suhu pertumbuhan sekitar 5 – 43 OC (pada suhu 10 OC
merupakan suhu minimum pada lingkungan) (Adams and Moss 2008). Selama musim dingin,
organisme ini ditemukan di lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di
perairan pantai. Bakteri Vp dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan
produk makanan laut lainnya (Sudheesh and Xu 2002).

Vp adalah bakteri halofilik didistribusikan di perairan pantai di seluruh dunia. Bakteri ini
ditemukan di lingkungan muara sungai dan menunjukkan variasi musiman, yang hadir dalam jumlah
tertinggi selama musim panas. Selama musim dingin, bakteri ini tetap berada di bawah muara pada
bahan chitinous plankton (Ray 2004).

Patogenisitas Vibrio parahaemolyticus

Masa inkubasi yang dilaporkan untuk keracunan makanan oleh Vp bervariasi dari 2 jam
sampai 4 hari meskipun biasanya 9 - 25 jam. Penyakit bertahan hingga 8 hari dan dicirikan oleh diare
profuse berair bercampur darah atau lendir, muntah, nyrti perut, dan demam. Vp lebih
enteroinvasive dari Vibrio cholerae, dan menembus epitel usus untuk mencapai lamina propria.
Sebuah sindrom disentri juga telah dilaporkan dari sejumlah negara termasuk Jepang (Adams and
Moss 2008).

Tidak semua strain dari Vp bersifat patogen. Strain patogen bawaan makanan dapat
menyebabkan hemolisis karena adanya suatu hemolisin panas- stabil dan ditujukan sebagai
Kanagawa-positif. Saat ini, hemolisin panas-stabil 23-kDa (disebut hemolisin langsung
termostabil/TDH) dianggap sebagai racun. Kebanyakan strain terisolasi dari sumber-sumber alam (air
muara, plankton, kerang, dan ikan) adalah Kanagawa-negatif. Namun, beberapa strain Kanagawa-
negatif juga telah dikaitkan dengan wabah bawaan makanan. Tingkat produksi racun berhubungan
dengan pertumbuhan sel, konsentrasi sel, dan pH lingkungan. Jika bentuk racun sudah terdapat
dalam makanan, pemanasan tidak akan merusak toksin tersebut (Ray 2004).

Patogenesitas strain Vp sangat terkait dengan kemampuan mereka untuk menghasilkan 23-
kDa, termostabil, ekstraseluler, haemolysin. Saat diuji pada suatu media yang dikenal sebagai agar
Wagatsuma's, haemolysin bisa melisiskan darah manusia dan sel darah kelinci tapi tidak pada darah
kuda, sebuah fenomena yang dikenal sebagai reaksi Kanagawa. Haemolysin juga telah ditunjukkan
untuk dapat mengakibatkan enterotoxic, sitotoksik, dan kardiotoksik (Raghunath et al 2008).

Distribusi Penyakit.

Vibrio parahaemolyticus pertama kali menunjukkan gejala enteropatogenik pada tahun 1951,
yang menyebabkan wabah foodborne disease dan menjadi penyebab 50-70% penyakit
gastroenteritis di Jepang (Adams and Moss 2008). Kasus sporadis dan beberapa kejadian luar biasa
(KLB) dengan common source dilaporkan dari berbagai bagian dunia, terutama dari Jepang, Asia
Tenggara dan AS. Beberapa KLB dengan korban yang banyak terjadi di AS yang disebabkan karena
mengkonsumsi seafood yang tidak dimasak dengan sempurna. Kasus-kasus ini terjadi terutama pada
musim panas. Beberapa KLB yang akhir-akhir ini terjadi disebabkan oleh strain Kanagawa negatif,
dan strain urease positif.

Vp teridentifikasi sebagai patogen pangan pertama kali di Jepang, pada tahun 1950. Infeksi
disebabkan oleh konsumsi sarden, dengan 272 orang sakit dan 20 meninggal. Sejak itu, Vp dikenal
sebagai penyebab penyakit karena seafood mentah atau setengah matang di Jepang dan beberapa
negara Asia lainnya (Daniels et al 2000). Kejadian luar biasa keracunan pangan karena Vp (KLB Vp)
didefinisikan sebagai kejadian dua atau lebih kasus penyakit dengan gejala klinis yang mirip, yang
terjadi setelah mengkonsumsi suatu jenis seafood. Pada kasus infeksi Vp 1988 – 1997 di Florida,
Alabama, Louisiana dan Texas, 59%-nya merupakan penyakit gastroenteritis, 8% dengan septisemia
dan 34% dengan infeksi kulit. Sebanyak 88% dari penderita gastroenteritis tercatat mengkonsumsi
tiram mentah sebelum sakit, sementara 91% penderita septisemia juga mengkonsumsi makanan
yang sama sebelum sakit. Dari total 345 kasus, 45% di antaranya dirawat dan 4% meninggal dunia
(Daniels et al 2000).

Gambar 2. Distribusi penyakit diare akut (gastroenteritis).

Kejadian outbreaks di Korea terjadi pada musim panas, hal ini berkaitan adanya konsentrasi
yang tinggi pada tiram karena pada saat musim panas suhu air menjadi hangat. Vp sangat jarang
bisa diisolasi pada suhu air dibawah 15 OC (Yoon et al 2008).
Proses Penularan

Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi produk
makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang dimasak kurang sempurna.
Penularan juga dapat terjadi pada makanan yang telah dimasak sempurna namun tercemar oleh
personal/individu yang pada saat bersamaan menangani produk ikan mentah.

Gambar 3. Kerang yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus

Penyakit dan Gejala Klinis.

Jika kita mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus, ada


kemungkinan kita akan terkena gastroenteritis bila sistem kekebalan tubuh dalam keadaan buruk.
Istilah gastroenteritis digunakan secara luas untuk menggambarkan pasien yang mengalami
perkembangan diare dan/atau muntah akut (Lee et al 2008). Istilah ini menjadi acuan bahwa terjadi
proses inflamasi dalam lambung dan usus. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah
tinja lebih banyak dari biasanya (normal 100 – 200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan
atau setengah cair (setengah padat) dapat pula disertai frekuensi yang meningka. Diare adalah
defekasi yang tidak normal baik frekuensi maupun konsistensinya, frekuensi diare lebih dari 4 kali
sehari.
Diare akut akibat bakteri Vp disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan
manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah sehingga disebut diare
inflamasi. Akibatnya terjadi kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Masa inkubasi
bakteri Vp biasanya antara 12 sampai 24 jam, tetapi dapat juga berkisar antara 4 sampai 30 jam.
Gejala yang muncul adalah kejang perut yang tiba-tiba dan berlangsung selama 48 – 72 jam dengan
masa inkubasi 8 – 72 jam. Gejala lain adalah mual, muntah, sakit kepala, badan agak panas dan
dingin. Pada sebagian kecil kasus juga menyebabkan septisemia (Lee et al 2008).

Teknik Isolasi dan Identifikasi

Penentuan total Vp dapat dilakukan dengan metode MPN (Most probable number)
konvensional dilanjutkan menggunakan konfirmasi biokimia atau dengan pemupukan pada media
non selektif yang dilanjutkan dengan deteksi menggunakan pelacak (probe) gen tlh (thermolabile
hemolysin). Untuk identifikasi strain Vp patogen dapat dilakukan dengan uji kanagawa atau
menggunakan pelacak DNA dengan atau tanpa kombinasi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction /
perbanyakan kopi sekuens DNA) untuk mendeteksi gen didalam Vp.

Teknik analisis sangat berpengaruh pada tingkat isolasi bakteri dan waktu analisis. Metode
pelacak DNA berkorelasi sangat baik dengan teknik penghitungan konvensional menggunakan
konfirmasi biokimia, dengan waktu analisis yang lebih cepat. Untuk strain patogen, analisis dengan
pelacak gen jauh lebih sensitif dibandingkan dengan teknik analisis konvensional. Teknik PCR
dengan menggunakan isolat DNA yang berasal dari media pengkayaan memberikan hasil yang jauh
lebih baik dari metode MPN konvensional (Alam et al 2002).

Tabel 2. Karakteristik biokimia Vibrio spp.


Sumber : Jaksic et al 2002.

Media yang digunakan untuk deteksi vibrio dalam pangan dan air dikembangkan berdasarkan
pertimbangan kemampuan bakteri ini untuk tumbuh cepat pada pH alkali, tahan terhadap efek penghambatan
yang diberikan oleh garam empedu dan natrium tellurite, dan toleran terhadap garam (NaCl). Media
pengkayaan yang umum digunakan untuk Vibrio adalah APW (broth alkaline peptone water), NTSB (salt
trypticase soy broth) dan SPB (salt polimiksin broth).

Sebagai media selektif, TCBS (thiosulfate-citrate-bile-saccharose) adalah yang paling umum


digunakan. Kelemahan media ini adalah tidak terlalu spesifik membedakan Vp dari V. hollisae, V.
mimicus dan V. vulnificus yang sama-sama membentuk koloni berwarna hijau. Harakudo et al 2001,
mengembangkan media selektif CV (chromogenic agar) yang mengandung substrat untuk ß-
galaktosidase (CV) pada CV agar, yang bisa membedakan Vp dari koloni peng-ganggu sebagai koloni
berwarna violet (Gambar 6).

Teknik dot blotting dengan menggunakan monoclonal antibodi juga digunakan untuk membedakan
spesies Vibrio tanpa isolasi bakteri terlebih dahulu. Teknik ini merupakan pengembangan monoclonal antibodi
untuk deteksi dengan metode sederhana dalam membedakan Vibrio dibandingkan teknik PCR (Pengsuk et al
2010).

Keterkaitan Vibrio parahaemolyticus dengan makanan.


Keracunan makanan oleh Vp selalu berhubungan dengan ikan dan kekerangan. Kejadian
wabah telah dilaporkan di USA dan Eropa, akan tetapi di Jepang keracunan makanan akibat Vp
adalah penyebab paling umum dari keracunan makanan. Ini dikaitkan dengan kebiasaan kuliner
masyarakat di Jepang yang mengkonsumsi ikan mentah atau setengah matang, walaupun penyakit
juga dapat terjadi akibat kontaminasi silang produk yang telah masak yang berada di dapur.
Meskipun bakteri ini hanya akan menjadi bagian dari flora alami ikan yang ditangkap di perairan
pantai selama musim panas, oleh karena itu akan dapat dengan mudah menyebar ke spesies ikan
yang berada pada lingkungan air yang lebih dalam, kontaminasi juga dapat terjadi melalui kontak di
pasar ikan dan akan berkembang biak cepat jika produk itu tidak dalam keadaan cukup dingin
(Adams and Moss 2008).

Vibrio parahaemolyticus telah diisolasi dalam jumlah yang tinggi dari berbagai jenis makanan
laut yang dipanen dari lingkungan muara, khususnya selama musim panas. Wabah serta kasus
sporadis gastroenteritis, terkait dengan konsumsi makanan laut yang masih mentah (ikan, kerang,
kepiting, udang, dan lobster), dimasak tidak sempurna, atau terkontaminasi setelah pemanasan.
Dalam makanan laut mentah dan matang yang tidak disimpan dalam refrigerator, Vp dapat tumbuh
dengan cepat, terutama pada suhu 20 sampai 30OC. Dalam makanan laut dengan penyimpanan
pada suhu yang tidak tepat, sel dapat mencapai tingkat dosis infektif sangat cepat, dari jumlah awal
yang rendah. Banyak wabah di AS diketahui karena memasak tidak sempurna dan kontaminasi
silang pada makanan laut yang telah matang, diikuti dengan pengendalian suhu yang tidak tepat.

Pengendalian

Vibrio sp mudah rusak oleh panas, sehingga memasak dengan benar dan tepat adalah paling
efektif untuk menghilangkan Vibrio. Pada kepiting yang terkontaminasi secara alami oleh V.
cholerae 01, bakteri dapat bertahan pada suhu mendidih hingga 8 menit dan pengukusan sampai 25
menit (Jaksic et al 2002).

Sebagian besar penyakit disebabkan karena makan makanan laut mentah atau kurang
matang, terutama tiram. Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak seafood secara benar dan
menghindari konsumsi makanan laut mentah serta memperhatikan kebersihan pribadi (good
personal hygiene practice) (Linton 2005). Pengendalian juga dilakukan dengan melihat bahwa
kejadian infeksi atau kontaminasi akibat Vp banyak terjadi pada musim panas dan pada kondisi air
yang hangat, dan harus menjadi perhatian khusus pada kondisi tersebut.
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam mengendalikan gastroenteritis yang
disebabkan oleh Vp. Makanan laut yang dipanen dari muara harus diasumsikan mengandung Vp
yang patogen. Dalam seafood mentah, pemanasan yang tidak sempurna atau terkontaminasi
setelah proses pemanasan, penyimpanan tidak pada suhu dingin, sel dapat berkembang biak dengan
cepat. Setelah strain patogenik tumbuh dan menghasilkan toksin, bahkan perlakuan panas tidak
dapat menghancurkan toksin. Dengan pemahaman ini, metode pengendalian harus mencakup
sebagai berikut : tidak ada konsumsi makanan laut mentah, perlakuan panas yang tepat dari
makanan laut, sanitasi yang layak untuk menghindari kontaminasi silang makanan yang telah
dipanaskan, pendinginan yang tepat produk mentah dan dipanaskan, dan konsumsi makanan dalam
jangka waktu yang tidak terlalu lama. Pengaturan suhu yang tidak tepat untuk makanan laut yang
akan dikonsumsi dalam jangka waktu pendek harus dihindari (Ray 2004).

Cara Pencegahan

Berbagai tindakan preventif mutlak dilakukan untuk meminimalkan terjadinya keracunan


makanan dan gastroenteritis. Namun, pencegahan yang dilakukan tidak perlu dengan menghindari
produk yang potensial tercemar mikroba karena produk pangan tersebut merupakan salah satu
sumber asupan gizi yang diperlukan tubuh kita. Untuk produk makanan laut segar, pencucian dapat
menurunkan potensi bahaya akibat bakteri Vp. Pencucian atau pembilasan makanan dapat
menghilangkan kotoran dan kontaminan lainnya. Pencucian dapat dilakukan dengan air, sanitiser
dan lain-lain. Air yang dipakai untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba
penyebab kebusukan makanan. Selain itu, produk makanan laut yang akan dimakan hendaknya
dimasak secara sempurna untuk membunuh larva yang mengkontaminasi makanan. Untuk ikan yang
akan dikalengkan,dibekukan atau dikeringkan, sebaiknya dilakukan pemblansiran terlebih dahulu.
Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas
atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 OC. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit
tergantung dari macam tergantung pada jenis, ukuran, derajat kematangan ikan yang
diinginkan.Tujuan pemblansiran adalah untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim Vibrio
parahaemolyticus. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya
dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Maksudnya untuk
menghambat atau mencegah aktivitas enzim dan mikroorganisme. Penyajian pasca pemasakan juga
tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang telah melalui proses pemasakan langsung
dikonsumsi. Sebagian besar kasus foodborne diseases di Indonesia diakibatkan oleh penanganan
pasca pemasakan yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama.
Untuk produk pangan yang dikalengkan, sebaiknya perhatikan keadaan kaleng. Jangan
mengonsumsi makanan dari kaleng yang sudah rusak atau berbau asam. Selain itu, tanggal
kedaluwarsa juga mutlak diperhatikan. Satu hal yang perlu mendapat perhatian untuk produk
kemasan adalah proses yang tidak sempurna dan kerusakan kemasan selama distribusi maupun
penyimpanan.

Ciri-ciri makanan kaleng yang telah rusak, yaitu flipper, springer, soft swell, dan hard swell.
Flipper dapat dicirikan permukaan kaleng kelihatan datar, tetapi bila salah satu ujung kaleng ditekan,
ujung lainnya akan menjadi cembung. Springer dapat dicirikan dari salah satu ujung kaleng sudah
cembung secara permanen. Bila ditekan, cembung akan bergerak ke arah yang berlawanan. Soft
swell dicirikan dengan kedua ujung kaleng sudah cembung, tetapi belum begitu keras sehingga
masih bisa ditekan sedikit ke dalam. Hard swell dicirikan dengan kedua ujung permukaan kaleng
cembung dan sangat keras, sehingga tidak bisa ditekan ke dalam oleh ibu jari. Selain itu, masih ada
flat sour, yakni permukaan kaleng tetap datar tetapi produknya sudah berbau asam yang menusuk.
Hal itu disebabkan oleh aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak hancur selama proses
sterilisasi.

Cara pencegahan yang lain adalah dengan pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin mati
whole cell, yang diberikan secara parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah
maupun untuk penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan parsial (50%)
dalam jangka waktu yang pendek (3 - 6 bulan) di daerah endemis tinggi tetapi tidak memberikan
perlindungan terhadap infeksi asimptomatik, oleh karena itu pemberian imunisasi tidak
direkomendasikan.

Penatalaksanaan Pengobatan.

a. Penggantian cairan dan elektrolit

Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus
dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang
memerlukan hidrasi intavena. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida,
dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti itu
tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan
air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per
liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum
cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intra vena
diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik
dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika
diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin. Jumlah cairan yang
diberikan, hendaknya sesuai dengan jumlah cairan yang keluar.

Kelompok absorbent.

Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan atas
dasar bahwa zat ini dapat menyerap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka
sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.

Referens

Alam MJ, Tomochika KI, Miyoshi SI, Shinoda S. 2002. Environmental investigation of potentially pathogenic
Vibrio parahaemolyticus in the Seto-Inland Sea, Japan. FEMS Microbiol Lett. 208 (2002) :83-87.

Anonimus. 2011. Vibrio. http://id.wikipedia.org/wiki/Vibrio

Austin B. 2010. Vibrios as casual agents of zoonoses. Journal of Veterinary Microbiology 140 (2010) : 310–
317.

Chen SY, Jane WN, Chen YS, Wong HC. 2009. Morphological changes of Vibrio parahaemolyticus under cold
and starvation stresses. International Journal of Food Microbiology 129 (2009) : 157–165.

Daniels NA, MacKinnon L, Bishop R, Altekruse S, Ray B, Hammond RM, Thompson S, Wilson S, Bean NH,
Griffin PM and Slutsker L. 2000. Vibrio parahaemolyticus Infections in the United States, 1973–1998.
The Journal of Infectious Diseases 181 (2000) :1661–1666.
Dumontet S, Krovacek K, Svenson SB, Pasquale V, Baloda SB and Figliuolo G. 2000. Prevalence and diversity
of Aeromonas and Vibrio spp. in coastal waters of Southern Italy. Journal Comparative Immunology,
Microbiology & Infectious Diseases 23 (2000) : 53-72.

Harakudo Y, Nishina T, Nakagawa H, Konuma H, Hasegawa J and Kumagai S. 2001. Improved method for
detection of Vibrio parahaemolyticus in seafood. Appl Environ Microbiol 67 (2001) : 5819-5823.

Jaksic S, Uhitil S, Petrak T, Bazulic D and Karolyi LG. 2002. Occurrence of Vibrio spp. in sea fish, shrimps and
bivalve molluscs harvested from Adriatic sea. Journal of Food Control 13 (2002) : 491–493

Lee JK, Jung DW, Eom SY, Oh SW, Kim Y, Kwak HY and Kim YH. 2008. Occurrence of Vibrio
parahaemolyticus in oysters from Korean retail outlets. Journal of Food Control 19 (2008) : 990–994.

Linton R. 2005. Food Safety Hazards in Foodservice and Food Retail Establishments. Department of Food
Science Purdue University.

Pengsuk C , Longyant S Rukpratanporn S, Chaivisuthangkura P, Sridulyakul P and Sithigorngul P. 2010.


Development of monoclonal antibodies for simple detection and differentiation of Vibrio mimicus
from V. cholerae and Vibrio spp. by dot blotting. Journal Aquaculture 300 (2010) : 17–24.

Raghunath P, Acharya S, Bhanumathi A, Karunasagar I and Karunasagar I. 2008. Detection and molecular
characterization of Vibrio parahaemolyticus isolated from seafood harvested along the southwest
coast of India. Journal of Food Microbiology 25 (2008) : 824– 830.

Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology. Third Edition. published in the Taylor & Francis e-Library.

Sudheesh PS and Xu HS. 2001. Pathogenicity of Vibrio parahaemolyticus in tiger

prawn Penaeus monodon Fabricius: possible role of extracellular proteases. Journal Aquaculture 196
(2001) : 37–46

Yoon KS, Min KJ, Jung YJ, Kwon KY, Lee JK and Oh SW . 2008. A model of the effect of temperature on the
growth of pathogenic and nonpathogenic Vibrio parahaemolyticus isolated from oysters in Korea.
Journal of Food Microbiology 25 (2008) : 635– 641.

Anda mungkin juga menyukai