Anda di halaman 1dari 23

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ikan Nila

Ikan nila adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini
diintroduksi dari Afrika, tepatnya Afrika bagian timur, pada tahun 1969, dan kini
menjadi ikan peliharaan yang populer di kolam-kolam air tawar di
Indonesia sekaligus hama di setiap sungai dan danau Indonesia. Ikan nila
merupakan jenis Ikan air tawar yang banyak disukai masyarakat, bahkan dari
kalangan pemulung sampai Presiden suka dengan segala jenis olahan dari ikan
nila. Oleh karena itu, saai ini ikan nila begitu populer sehingga banyak
dibbudidayakan oleh masyarakat. Disamping Hoby dan bisnis, ikan nila ini
banyak disukai karena rasanya yang enak dan memiliki gizi yang sangat
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan, bahkan banyak meningkatkan
kecerdasan.

Adapun klasifikasi ikan Nila sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Fillum : Chordata

Kelas : Osteichtyes

Ordo : Perciformes

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis Niloticus

Gambar 1. Ikan Nila

3
2.2 Morfologi Ikan Nila

Ikan nila dilaporkan sebagai pemakan segala (omnivora), pemakan


plankton, sampai pemakan aneka tumbuhan sehingga ikan ini diperkirakan dapat
dimanfaatkan sebagai pengendali gulma air. Ikan ini sangat peridi, mudah berbiak.
Secara alami, ikan nila (dari perkataan Nile, Sungai Nil) ditemukan mulai dari
Syria di utara hingga Afrika timur sampai ke Kongo dan Liberia; yaitu di Sungai
Nil (Mesir), Danau Tanganyika, Chad, Nigeria, dan Kenya. Diyakini pula bahwa
pemeliharaan ikan ini telah berlangsung semenjak peradaban Mesir purba. Telur
ikan nila berbentuk bulat berwarna kekuningan dengan diameter sekitar 2,8 mm.
Sekali memijah, ikan nila betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 300-1.500
butir, tergantung pada ukuran tubuhnya. Ikan nila mempunyai kebiasaan yang
unik setelah memijah, induk betinanya mengulum telur-telur yang telah dibuahi di
dalam rongga mulutnya. Perilaku ini disebut mouth breeder (pengeram telur
dalam mulut). Karena mudahnya dipelihara dan dibiakkan, ikan ini segera
diternakkan di banyak negara sebagai ikan konsumsi, termasuk di pelbagai daerah
di Indonesia. Akan tetapi mengingat rasa dagingnya yang tidak istimewa, ikan
nila juga tidak pernah mencapai harga yang tinggi. Di samping dijual dalam
keadaan segar, daging ikan nila sering pula dijadikan filet. Ikan ini menjadi hama
di seluruh sungai-sungai dan danau di Indonesia ketika di tebar ke dalam sungai
dan danau karena ikan ini memakan banyak tumbuhan air dan menggantikian
posisi ikan pribumi indonesia, akan tetapi ikan nila masih tetap ditebar oleh
pemerintah di sungai-sungai dan danau Indonesia tanpa memperhatikan
dampaknya.

2.3 Surimi

Surimi atau secara harfiah berarti daging yang dilumatkan, adalah bahan
makanan dari ikan yang dihaluskan hingga membentuk seperti pasta. Bahan ini
biasanya dikemas plastik dan dalam keadaan beku, untuk kemudian dilelehkan
dan diolah menjadi makanan. Surimi adalah Produk olahan, hasil perikanan
setengah jadi berupa hancuran daging ikan beku yang telah mengalami proses,

4
pelumeran (leaching), pengepresan, penambahan bahan tambahan, pengepakan.
Dari produk daging lumat seperti bakso, sosis, siomay, kekian dan sebagainya.
Dengan sifatnya yang fleksibel dan netral, surimi bisa dibentuk menjadi berbagai
imitasi makanan laut.

Karena dibuat dari daging ikan yang bisa didapatkan dalam jumlah besar.
seluruh ikan bisa dibuat menjadi surimi. Namun biasanya surimi dibuat dari
daging ikan yang berwarna putih. Pengolahan surimi melibatkan air, garam atau
polifosfat (tergantung jenis surimi yang dibuat), MSG, krioprotektan yang
melindungi protein dari denaturisasi, dan gula. Untuk memperbaiki sifat tidak
elastis dari beberapa jenis daging ikan, bisa pula terjadi penambahan protein
nabati atau jenis ikan lain seperti cumi-cumi. Sementara untuk daging ikan tinggi
lemak, dilakukan pencucian dengan NaHCO3.

Gambar 2. Surimi

2.4 Kekian
Kekian adalah makanan pelengkap dengan tekstur yang kenyal dan rasa
udang yang menggugah selera. Lazim digunakan dalam masakan chineese food
sebagai campuran untuk memperkaya rasa dari masakan tersebut. Dengan rasanya
yang manis dan gurih membuat cita rasa masakan menjadi makin nikmat. Pada
perkembangannya kekian mulai banyak mengalami modifikasi baik dari tekstur
maupun rasanya, sehingga kekian tidak lagi menjadi makanan pelengkap tapi
berubah menjadi suatu masakan yang populer di lidah para penikmatnya, sebagai
makanan ringan maupun pelengkap hidangan masakan.

5
Gambar 3. Kekian

2.5 Penerapan Kelayakan Dasar Pada Unit Pengolahan


2.5.1 Persyaratan Fisik Unit Pengolahan Hasil Perikanan
Persyaratan fisik unit pengolahan menurut Winarno dan Surono
(2004) sebagai berikut:
1) Lokasi
Lokasi harus berada di tempat yang mampu melindungi pangan dengan
segala ancaman kontaminasi dari luar. Tidak berada pada kawasan yang
lingkungannya berpolusi, insutri terbuka, kawasan yang rawan banjir, daerah yang
banyak peluang masuknya dan berkembangnya hama.
Lokasi harus jauh dari limbah padat maupun limbah cair yang tidak dapat
disingkirkan atau dibuang secara efektif, jauh dari perkarangan yang tidak
terpelihara, timbunan barang yang tidak teratur, tempat penimbunan bahan sisa
atau sampah, tempat bersembunyi atau berkembang biak serangga, binatang
pengerat, dan atau binatang lain. Lokasi juga tidak berada pada tempat yang
kurang baik sistem saluran pembuangan airnya, sehingga terdapat genangan air
yang dapat merupakan tempat serangga atau jasad renik berkembang biak.
2) Bangunan
Bangunan harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi
persyaratan teknik dan hygiene sesuai dengan jenis makanan yang diproduksi,
sehingga mudah dibersihkan, mudah dibersihkan, mudah dilaksanakan tidak
sanitasi dan mudah dipelihara. Bangunan unit produksi harus terdiri atas ruangan
pokok dan ruangan pelengkap. Ruangan pokok dan ruangan pelengkap harus

6
terpisah sedemikian rupa hingga tidak mengakibatkan pencemaran terhadap
makanan yang diproduksi.
Ruangan pokok harus memilki luas yang sesuai dengan jenis dan kapasitas
produksi, jenis, dan ukuran alat produksi serta jumlah karyawan yang bekerja.
Susunan bagian-bagiannya diatur sesuai dengan urutan proses produksi, sehingga
tidak menimbulkan lalu lintas kerja yang simpang siur dan mengakibatkan
pencemaran terhadap makanan yang diproduksi.
Ruangan pelengkap harus memiliki luas yang sesuai dengan jumlah
karyawan yang bekerja. Susunan bagian-bagian sesuai dengan urutan kerja yang
dilakukan dan tidak boleh menimbulkan lalu lintas yang simpang siur.
3) Lantai
Lantai yang sifatnya untuk pekerjaan basah, dimana ikan diterima, diolah
atau dikemas harus cukup kemiringannya, terbuat dari bahan yang kedap air,
tahan lama dan mudah dibersihkan. Lantai harus berbentuk sudut di bagian
tengah dan masing-masing ke bagian pinggir kiri dan kanan dengan kemiringan
5°C terhadap horizontal. Kemiringan ini berakhir pada selokan yang melintang di
kedua sisi ruang pengolahan. Pertemuan antara lantai dan dinding harus
melengkung dan kedap air, sehingga kotoran yang berbentuk padat mudah
dibersihkan dan menghindari genangan air. Permukaan lantai harus halus dan
tidak kasar, berpori serta bergerigi, agar mudah dibersihkan dan tidak merupakan
sumber kontaminasi (Winarno dan Surono, 2004).

4) Dinding
Bagian dalam yang digunakan untuk pekerjaan basah harus kedap air,
halus, rata dan berwarna terang. Dinding sebelah dalam sampai dengan ketinggian
2 m dari lantai harus dibuat dari bahan khusus yang mudah dibersihkan dan tidak
ditempati barang yang dapat mengganggu proses pembersihan (Winarno dan
Surono, 2004).

7
5) Langit – langit
Ruang pengolahan serta pewadahan atau pembungkus ikan harus
mempunyai langit-langit yang tidak retak, tidak bercelah, tidak terdapat tonjolan
dan sambungan yang terbuka, kedap air dan berwarna terang.
Tidak boleh ada pipa-pipa yang terlihat diatas tempat ikan diwadahi
dan/atau dibungkus serta diolah. Tinggi langit-langit untuk ruang pengolahan
serta pewadahan dan/atau pembungkusan minimum tiga meter.
Untuk menghindari tumbuhnya jamur, langit-langit sebaiknya dicat anti
jamur. Kondensasi sering terjadi dipermukaan langit-langit, maka pemasangan
“exhaust fan” yang memadai sangat diperlukan. Lampu, pipa gas, pipa udara,
listrik dan lain-lain sering menimbulkan kontaminasi terhadap ikan yang sedang
diproses, karena kondensasi dan kebocoran. Oleh karena itu, struktur tersebut
harus dibungkus atau dirancang sedemikian rupa sehingga mengurangi akumulasi
kotoran. Penutup/pembungkus sebaiknya merupakan pembungkus yang halus dan
mudah dilepas dan dibersihkan (Winarno dan Surono, 2004).
6)Ventilasi
Dalam ruangan harus ada ventilasi yang cukup untuk menjamin sirkulasi
udara, menghilangkan bau yang tidak diinginkan dan mencegah pengembunan,
dan pertumbuhan jamur, menghindari panas yang berlebihan, kontaminasi debu
dan gas.
Ventilasi dan udara harus dikontrol untuk menghindari variasi yang besar
dari temperatur ruangan dan perbedaan yang besar antara suhu udara dan suhu
produk. Variasi suhu akan mengakibatkan kondensasi langit-langit, dinding dan
permukaan produk (Winarno dan Surono, 2004).

7) Penerangan
Semua permukaan kerja dalam ruangan harus mendapatkan penerangan
cahaya yang merata dengan intensitas lebih kurang 20 foot candle atau 220 lux.
Sedang ruangan yang digunakan untuk pemeriksaan/pengawasan memerlukan
cahaya 50 foot candle atau 540 lux, ruang lainnya memerlukan 10 foot candle atau
110 lux. Sumber penerangan dapat berasal dari alam atau dari lampu yang tidak
merubah warna produk. Lampu harus dilindungi dengan pengaman untuk

8
menghindari kontaminasi terhadap produk jika pecah. Pengukuran intensitas ini
dengan alat pengukuran cahaya standar (Standard ligh meter) (Winarno dan
Surono, 2004).
8) Pintu dan Jendela
Permukaan pintu harus tahan karat, halus dan rata serta tahan air dan
mudah dibersihkan. Pintu tersebut harus dirancang sehingga dapat menutup
dengan sendirinya dan cukup lebar.
Jendela juga harus tahan air, halus dan rata, mudah dibersihkan dan harus
dirancang sehingga bila dibuka dapat menahan debu, kotoran dan serangga serta
mempunyai kemiringan 45. Jendela harus sekecil mungkin dan tingginya dari
lantai minimal satu setengah meter (Winarno dan Surono, 2004).
9) Perlengkapan Anti Serangga
Bagian-bagian ruangan penanganan dan pengolahan yang berhubungan
langsung dengan bagian luar harus diperlengkapi dengan peralatan untuk
mencegah masuknya serangga, tikus, burung dan hama lainnya serta binatang
peliharaan. Segala kemungkinan jalan dan lobang tikus dan serangga harus
ditutup dengan saringan (screen) logam yang tahan karat (Winarno dan Surono,
2004).
10) Selokan /Saluran Pembuangan
Selokan harus berukuran cukup, konstruksinya baik dan dapat
mengalirkan air dan kotoran dengan lancar serta harus kedap air dan tahan lama.
Permukaan harus rata, bagian-bagian selokan yang keluar melalui dinding
ruangan pengolahan harus dilengkapi dengan alat yang dapat mencegah masuknya
tikus dan binatang lainnya ke dalam ruang pengolahan. Tutup selokan harus
dibuat dari logam atau benda lain bukan kayu. Bila selokan ini dihubungkan
dengan saluran induk pembuangan air, harus dilengkapi dengan saringan penahan.
Selokan yang berhubungan langsung dengan laut, harus diperpanjang
sampai di bawah tanda pasang surut untuk menghindari genangan air. Sambungan
dan belokan harus halus dan rata, sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
aliran limbah padat (Winarno dan Surono, 2004).

9
11) Ruang Istirahat
Harus tersedia ruang istirahat yang dilengkapi dengan tempat cuci tangan dan
tempat ganti pakaian. Ruangan ini letaknya harus terpisah dari ruangan
pengolahan, cukup luas untuk jumlah pekerja pabrik minimal 2 m 2 untuk satu
orang. Ruangan-ruangan ini harus cukup air dan selalu dibersihkan. Fasilitas
wanita dan laki-laki harus terpisah, seperti kamar ganti pakaian dan loker. Sedang
ruang makan bisa dipakai untuk wanita dan laki-laki (Winarno dan Surono, 2004).
12) Ruang Makan
Harus tersedia ruangan makan yang bersih dan cukup luas untuk pekerja
minimal 1 m2 untuk satu orang pekerja, yang letaknya harus terpisah dari ruangan
pengolahan dan ruang istirahat (Winarno dan Surono, 2004).
13) Toilet
Pabrik harus dilengkapi dengan jamban yang cukup. Jumlah jamban yang
diharuskan adalah sebagai berikut : Toilet harus dilengkapi dengan ventilasi dan
selalu diperhatikan dalam kondisi higienis. Toilet dan tempat cuci tangan harus
dilengkapi dengan penyentor air dengan penggunaan pedal kaki untuk
menghindari kontaminasi yang berasal dari pegangan keran. Formula berikut ini
dapat dipakai dalam menyedaikan toilet yang dihubungkan dengan
pegawai/pekerja :
a. Untuk 1-9 karyawan : 1 toilet
b. Untuk 10-24 karyawan : 2 toilet
c. Untuk 25-49 karyawan : 3 toilet
d. Untuk 50-100 karyawan : 5 toilet
Mulai dari 100 pekerja, untuk setiap tambahan 30 pekerja ditambah
dengan satu toilet. Tempat buang air kecil bisa menggantikan toilet, namun
jumlahnya tidak boleh lebih dari 1/3 dari toilet total.
Kamar jamban harus berventilasi cukup ke arah luar gedung. Dinding dan
langit-langit terbuat dari bahan halus dan rata, mudah dicuci dan berwarna terang.
Mempunyai pintu yang sempurna dan sekurang-kurangnya mempunyai satu
saluran pembuangan kotoran dan dilengkapi dengan penerangan yang cukup.
Konstruksi jamban harus tipe leher angsa. Jamban harus dilengkapi
dengan tempat cuci tangan yang terpisah, air bersih yang cukup dan disediakan

10
sabun dan lap tangan. Jamban harus tidak boleh berhubungan dengan ruang
pengolahan (Winarno dan Surono, 2004).
14) Tempat Cuci Tangan
Ruang pengolahan harus mempunyai sejumlah tempat cuci tangan yang
cukup, sekurang-kurangnya satu tempat cuci tangan untuk setiap 10 orang
karyawan. Penyedian air panas dan dingin yang cukup, dilengkapi dengan sabun,
lap sekali pakai (tissue paper) dan tempat sampah yang tertutup.
Tempat cuci tangan harus diletakkan pada tempat-tempat di ruang
pengolahan yang dapat dilihat oleh pengawas, dan di dekat pintu masuk ruang
pengolahan. Air pencuci tangan harus mengalir dan tidak boleh dipakai berulang
kali.
Air pencucian tangan harus mengalir dan tidak boleh dipakai berulang-ulang.
Cuci tangan sebaiknya menggunakan sabun cair/bubuk (tidak menggunakan sabun
blok) dan lap tangan menggunakan kertas tissue sekali buang. Untuk membuka
keran air pencuci tangan, sebaiknya digunakan pedal dengan kaki atau keran
dorong dengan menggunakan sikut dan bukan dengan jari tangan (Winarno dan
Surono, 2004).
15) Kamar Mandi
Untuk pengolahan harus dilengkapi kamar mandi cukup, sekurang-
kurangnya satu buah douche untuk setiap lima karyawan. Kamar mandi wanita
harus terpisah dari kamar mandi pria (Winarno dan Surono, 2004).
16) Tempat Sampah
Unit pengolahan wajib dilengkapi dengan tempat sampah yang tertutup
dengan jumlah dan kapasitas yang cukup untuk menampung sampah dan kotoran
(Winarno dan Surono, 2004) .
17) Peralatan dan Perlengkapan
Permukaan peralatan dan perlengkapan yang berhubungan langsung dengan
proses pengolahan bahan harus halus, bebas dari lubang-lubang dan celah, tidak
menyerap air dan tidak berkarat, dan tidak menimbulkan racun. Tidak dibuat dari
kayu, logam besi (mudah berkarat), kuningan dan logam galvanisir.

11
18) Gudang beku
Gudang beku memerlukan suatu lapisan penyangga uap air yang baik pada
permukaan luar gedung beku. Dilengkapi dengan suatu alat pencatat suhu yang
dapat dibaca dari luar, agar suhu dapat diperiksa setiap saat. Suhu pembekuan
harus selalu dikontrol untuk mencegah fluktuasi suhu. Fluktuasi suhu yang lebih
dari 2ºC harus dihindari.
Gudang beku sebaiknya dilengkapi dengan ruangan pembuatan yang
bersuhu rendah, dengan penghubung yang fleksibel sehingga bisa langsung
dimuat ke arah kendaraan pengkutan. Pemasukan udara ke dalam ruang gudang
beku harus dibatasi sekecil mungkin.
Permukaan pipa pendingin gudang pembekuan harus dilelehkan secara
periodik. Gudang harus bebas dari bau dan harus selalu dipelihara dalam kondisi
saniter dan hygiene. Di dalam satu gudang pembekuan sebaiknya hanya diisi satu
jenis produk beku. Produk harus disusun dengan baik, sehingga selalu ada
ruangan untuk aliran udara dingin . Produk yang paling lama disimpan, harus
didistribusikan terlebih dahulu dengan sistem FIFO (First In First Out) (Winarno
dan Surono, 2004).

2.6 Persyaratan Operasional


2.6.1 Cara berproduksi yang Baik (GMP)
Good Manufacturing Practice (GMP) atau Cara Produksi Makanan yang
Baik (CPMB) adalah merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan
dengan tujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah
ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bemutu sesuai dengan tuntutan
konsumen. Jadi, GMP merupakan program penunjang keberhasilan dalam
implementasi sisitem HACCP, sehingga produk pangan yang dihasilkan benar –
benar bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen, tidak hanya di dalam akan
tetapi juga di luar negeri (Thaheer, 2005).
1) Persyaratan Bahan Baku
Persyaratan mutu bahan baku berdasarkan konsep Standar Nasional
Indonesia (SNI 01-2729.1-2006) menyatakan bahwa bahan baku harus bersih,
bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda

12
dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat
menurunkan mutu secara tidak membahayakan kesehatan.
Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran
sekurang-kurangnya sebagai berikut:
Rupa dan warna : Bersih, warna daging spesifik jenis ikan tuna.
Bau : Segar spesifik jenis, mempunyai bau rumput laut segar
Rasa : Netral agak manis
Daging : Elastis, padat dan kompak.
2) Persyaratan Bahan Tambahan
Bahan tambahan yang digunakan harus sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan oleh pemerintah dan negara tujuan ekspor terhadap bahan tambahan
tersebut harus selalu dilakukan pengujian baik oleh laboratorium perusahaan
maupun laboratorium pemerintah secara berkala. Persyaratan bahan tambahan
harus sesuai dengan standar tentang bahan tambahan makanan.
3)Penanganan dan Pengolahan
Penanganan, penyimpanan dan pembongkaran ikan diatas kapal dan atau di
tempat produksi harus dilaksanakan cepat, cermat, dan tidak menggunakan
peralatan dan perlakuan yang menyebabkan hal-hal kerusakan yang tidak
diinginkan pada bagian produk.
Proses pembekuan harus cepat dan penurunan suhu harus cukup untuk
menghindari kemunduran mutu, proses pembekuan harus ditentukan sampai
waktu yang ditetapkan untuk menjamin kesempurnaan pembekuan.
Sistem pemberian etiket atau kode-kode warna harus dilakukan pada waktu
memuat bahan baku untuk membantu identifikasi produk akhir.
4) Bahan Pengemas dan Pembungkus
Wadah dan pembungkus untuk makanan harus dapat melindungi dan
mempertahankan mutu isinya terhadap pengaruh dari luar, tidak berpengaruh
terhadap isi, dibuat dari bahan yang tidak melepaskan bagian atau unsur yang
dapat mengganggu kesehatan atau mempengaruhi mutu makan. Bahan pengemas
juga harus menjamin keutuhan dan keaslian isinya (Winarno dan Surono, 2004).

13
Bahan harus tahan terhadap perlakuan selama pengolahan, pengangkutan
dan peredaran. Bahan pembungkus tidak boleh merugikan atau membahayakan
konsumen (Winarno dan Surono, 2004).
Menurut SNI CAC/RCP 1:2011 bahan kemasan harus dapat memberikan
perlindungan yang mamadai pada produk untuk meminimalkan kontaminasi,
mencegah kerusakan, dan mengakomodasi kelayakan pelabelan. Bahan kemasan
atau gas yang digunakan dalam pengemasan harus non-toksik dan tidak
menimbulkan ancaman terhadap keamanan pangan dan kelayakan pangan pada
kondisi penyimpanan dan penggunaan yang ditetapkan. Apabila sesuai, kemasan
yang digunakan harus tahan lama, mudah dibersihkan, dan jika perlu didesinfeksi.
5) Pengepakan dan Pelabelan
Tujuan dari pengemasan adalah untuk melindungi produk dari penurunan
mutu, memudahkan dalam distribusi, penyimpanan dan kontrol serta manyajikan
produk dalam bentuk yang menarik. Produk perikanan adalah bahan yang
mengalami proses kimia selama penyimpanan, seperti oksidasi lemak, browning,
swelling dan sineresis serta tingkat varibialitas dispersi. Ada pula proses biokimia
yang memperbaiki rasa dari produk, namun juga dapat memperburuk mutu atau
bahkan merusak. Tingkat pengembangan dari proses tersebut tergantung dari
konsisi penyimpan dan pengawasan. Tipe bahan pengemas dan metode
pengemasan dipilih berdasarkan bahan dari produk dan penyimpanannnya.
Bahan pengepak dan bahan lain yang kontak langsung dengan hasil
perikanan harus memenuhi persyaratan hygiene dan khususnya tidak boleh
mempengaruhi karakteristik organoleptik dari hasil perikanan. Untuk tujuan
pengawasan kemampuan telusuran produk dapat digunakan label (untuk produk
yang dikemas) atau dokumen yang menyertai (untuk produk yang tidak dikemas).
Informasi tersebut mencakup negara asal yang dapat ditulis secara penuh atau
disingkat dengan menggunakan huruf besar, identifikasi nomor pengesahan UPI
(KEP.01/MEN/2007).
Label makanan harus dibuat dengan baik diatur sedemikian rupa hingga
tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan (Winarno dan Surono, 2004). Pangan
yang dikemas harus diberikan label dengan instruksi yang jelas untuk

14
memungkinkan orang berikutnya dalam rantai pangan untuk menangani,
menampilkan menyimpan dan menggunakan produk secara aman dan benar.
Menurut CODEX STAN 146-1985 Rev. 2009 kemasan harus
mencantumkan:
a. Nama produk
b. Nilai Gizi
c. Komposisi
d. Berat Bersih
e. Nama dan alamat perusahaan
f. Nomor lot
g. Negara asal
h. Kode produksi
i. Tanggal kadaluarsa

6) Penyimpanan
Produk yang telah selesai di bekukan kemudian disimpan dalam cold
storage dengan suhu –25oC. Penyusunan di dalam cold storage diatur pada pallet
yang memungkinkan terjadinya sirkulasi udara dingin.
Produk harus disusun dengan baik dalam gudang beku, sehingga selalu ada
ruangan untuk udara dingin beredar sepanjang dinding dan lantai serta diantara
sela-sela bungkusan produk beku. Pintu gudang beku jangan sering dibuka tutup,
udara yang mengalir melalui pintu harus dicegah dengan penggunaan ruangan
pengurung udara (air lock chamber), tabir penutup sendiri (self closing shutter)
atau peralatan yang sejenis (Winarno dan Surono, 2004).

7) Distribusi
Sarana distribusi harus dijaga dalam keadaan baik dan bersih untuk
menghindari kontaminasi dan kerusakan fisik, dan didesain agar mudah
dibersihkan dan atau disanitasi. Sarana berupa kendaraan pengangkut tidak
digunakan untuk tujuan lain selain hasil perikanan yang dapat mengkontaminasi
hasil perikanan. Bila pada saat yang sama sarana kendaraan yang digunakan juga

15
untuk mengangkut produk lain, harus dipisahkan dan dijamin kebersihannya agar
tidak mengkontaminasi hasil perikanan (KEP. 01/MEN/2007).
2.5.2 Standar Prosedur Operasi Sanitasi
Sanitasi adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk menjaga
kebersihan. Sanitasi dilakukan sebagai usaha mencegah penyakit/kecelakaan dari
konsumsi pangan yang diproduksi dengan cara menghilangkan atau
mengendalikan faktor-faktor didalam pengolahan pangan yang berperan dalam
pemindahan bahaya sejak penerimaan bahan baku, pengolahan, pengemasan dan
penggudangan produk sampai produk akhir didistribusikan (Thaheer, 2005).
Prinsip-prinsip sanitasi untuk diterapkan dalam SSOP menjadi 8 kunci
persyaratan yaitu:
1)Air dan Es
Menurut Purnawijayanti (2001), syarat air yang digunakan dalam
pengolahan makanan minimal harus memenuhi syarat-syarat air yang dapat
diminum adalah sebagai berikut:
 Bebas dari bakteri berbahaya serta bebas dari ketidak murnian kimiawi
 Bersih dan jernih
 Tidak berwarna dan tidak bau
 Tidak mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh)
 Menarik dan menyenangkan untuk diminum
Air yang dapat diminum harus memenuhi berbagai kriteria antara lain fisik,
kimia, dan bakteriologis (Purnawijayanti, 2001). Perlu dijaga agar tidak ada
hubungan silang antara air bersih dan air tidak bersih. Pipa dari saluran air harus
teridentifikasi dengan jelas antara air bersih dengan air tidak bersih (Winarno dan
Surono, 2004).
Es yang digunakan sebagai media dingin sebaiknya dibuat dari air bersih
sebagaimana persyaratan untuk air minum. Selain itu digunakan es yang tua
(matang), yaitu yang mempunyai suhu lebih rendah daripada es biasa yang baru
saja diangkat dari tempat pembuatannya. Es yang matang mempunyai suhu antara
-120 C sampai -180C.

16
2)Peralatan yang Kontak Langsung dengan Produk
Permukaan peralatan yang kontak langsung dengan produk terbuat dari
bahan yang tahan korosi, terbuat dari bahan yang aman, tidak beracun, tidak
menyerap air, tidak bereaksi dengan produk, permukaan halus dan mudah
dibersihkan. Beberapa hal yang perlu diawasi terhadap kondisi kebersihan
meliputi kondisi permukaan peralatan yang kontak dengan pangan, tipe dan
konsentrasi bahan sanitasi, serta kebersihan sarung tangan dan pakaian pekerja.
3)Pencegahan Kontaminasi Silang
Pencegahan kontaminasi silang berisi prosedur-prosedur untuk menghidari
produk dari kontaminasi silang dari pekerja, bahan mentah, pengemas, dan
permukaan yang kontak dengan makanan. Prosedur ini mencakup tindakan-
tindakan yang menyangkut pembersihan bahan baku, untuk mengurangi
kontaminasi silang, ketentuan mengenai boleh tidaknya pekerja pindah atau
mengunjungi bagian lain, atau melengkapi setiap ruangan pengolahan dengan
fasilitas pembersih dan sanitasi (Thaheer, 2005).
4) Toliet
Menurut PERMEN 75/M-IND/PER1712010, toilet harus dilengkapi
didesain dan konstruksi dengan mempertahatikan persyaratan hygiene, sumber air
yang mengalir. Letak toilet seharusnya tidak terbuka langsung ke ruang
pengolahan dan selalu tertutup. Toilet seharusnya diberi tanda peringatan bahwa
setiap karyawan harus mencuci tangan dengan sabun atau detergen sesudah
menggunakan toilet. Toilet harus selalu terjaga dalam keadaan yang bersih.
Fasilitas pencuci tangan diletakkan di depan pintu masuk ruangan
pengolahan, dilengkapi kran air mengalir dan sabun atau detergen. Dilengkapi
dengan alat pengering tangan dan dilengkapi dengan tempat sampah yang
tertutup. Tersedia dalam jumlah yang cukup sesuai jumlah karyawan (PERMEN
75/M-IND/PER 171 2010).
5)Proteksi Bahan-Bahan Kontaminasi
Program ini mencakup prosedur-prosedur yang lazim digunakan untuk
mencegah tercampurnya bahan-bahan non pangan ke dalam produk pangan yang
dihasilkan, permukaan yang kontak dengan makanan. Bahan-bahan non pangan

17
yang dimaksud meliputi pelumas, bahan bakar, senyawa pembersih, sanitizer,
serta cemaran kimia dan cemaran fisik lainnya (Thaheer, 2005).
Bahan pembersih dan sanitizer yang digunakan dalam unit pengolahan harus
memenuhi persyaratan yaitu ekonomis, tidak beracun, tidak korosif, tidak
menggumpal, tidak berdebu, mudah diukur, stabil selama penyimpanan dan
mudah larut dengan sempurna (Purnawijayanti, 2001).
6) Pelabelan, Penyimpanan, dan Penggunaan Bahan Toksin
Tujuan adalah untuk menjamin bahwa pelabelan, penyimpanan dan
penggunaan bahan toksin adalah benar untuk proteksi produk dari kontaminasi.
Beberapa yang perlu diperhatikan dalam pelabelan adalah bahwa pelabelan wadah
asal harus menunjukkan nama bahan/larutan dalam wadah, nama dan alamat
produsen/distributor, petunjuk penggunaan. Bahan pengemas tidak bereaksi
dengan produk dan mampu melindungi produk (Winarno dan Surono, 2004).
Penyimpanan bahan yang bersifat toksin seharusnya dilakukan dengan
tempat dengan akses terbatas, memisahkan bahan food grade dengan non food
grade dan jauhkan dari peralatan dan barang-barang kontak dengan produk
(Winarno dan Surono, 2004).
7) Kesehatan Karyawan
Mencakup pengendalian kesehatan bagi karyawan agar tidak menjadi
sumber kontaminasi bagi produk, bahan kemasan atau permukaan yang kontak
dengan makanan. Kebersihan personal harus senantiasa diperhatikan fasilitas cuci
pakaian (laundry) sebaiknya disediakan oleh perusahaaan, terutama karyawan
yang kontak langsung dengan produk akhir, perilaku yang bersih dan sehat dari
karyawan sangat menunjang kebersihan produk yang dihasilkan (Thaheer, 2005).
8) Pengendalian Pest
Pest merupakan binatang atau serangga yang tidak dikehendaki
keberadaannya sedikit ataupun banyak dalam makanan manusia. Beberapa
serangga memang sebenarnya hidup dan berkembang biak di produk pangan dan
merusak produk tersebut, karenanya perlu dilakukan pengendalian hama yang
tidak diinginkan dalam lingkungan industri. Pest sering kali menyebabkan
kontaminasi yang membahayakan (Thaheer, 2005).

18
Beberapa hama yang terdapat pada industri pangan dan memerlukan
penanganan atau pembasmian antara lain adalah binatang pengerat seperti tikus,
burung, serta berbagai macam serangga sepeti kecoak, semut, lalat, dan lebah
(Thaheer, 2005).
2.6 Penilaian Kelayakan Dasar Unit Pengolahan
Sistem HACCP telah diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu
tindakan sistematis yang mampu memastikan keamanan produk pangan yang
dihasilkan oleh industri pangan secara global. Agar sistem HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point) perlu diawali dengan pemenuhan program pre-
requisite yang berfungsi melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan
kegiatan lain dalam suatu pabrik atau industri pangan yang sangat diperlukan
untuk memberi kepastian bahwa proses produksi yang aman telah dilaksanakan
untuk menghasilkan produk pangan dengan mutu yang diharapkan. Sistem
HACCP harus dibangun diatas dasar yang kokoh untuk pelaksanaan dan tertibnya
GMP (Good Manufacturing Practice) serta penerapan SSOP (Standard Sanitation
Operating Practices) (Winarno dan Surono, 2004).
GMP (Good Manufacturing Practices adalah pedoman persyaratan dan
tata cara berproduksi yang baik bagi suatu unit pengolahan. SSOP (Standard
Sanitation Operating Procedures) adalah pedoman persyaratan sanitasi unit
pengolahan ikan (KEP.01/MEN/2007).
Setiap segment dari industri pangan harus mampu menyediakan kondisi
yang diperlukan untuk menjaga pangan yang diawasi atau dikendalikan. Hal ini
dapat dicapai melalui penerapan GMP dan SSOP sebagai suatu syarat pre-
requisite penerapan sistem HACCP (Winarno dan Surono, 2004)
Kelayakan dasar suatu unit pengolahan sangat ditentukan oleh penerapan
GMP dan SSOP sehari-hari, sehingga dituntut adanya konsistensi dan efektifitas
serta kontinuitas penerapan kedua sapek tersebut. Menurut PER. 03/BKPIM/2011
untuk menjamin terpenuhinya ketiga hal tersebut perlu dilakukan penilikan ulang
dengan frekuensi sesuai dengan SKP sebagai berikut; Nilai A; ditilik ulang
setelah tiga tahun, Nilai B; ditilik ulang setelah dua tahun, Nilai C; ditilik ulang
setelah satu tahun. Penilaian kelayakan dasar dilaksanakan dengan menggunakan

19
kuisioner pengolahan ikan yang digunakan oleh Direktorat Jendral Pengolahan
Hasil.

2.7 Pengolahan Limbah


Limbah adalah bahan sisa atau buangan yang dihasilkan dari suatu kegiatan
dan proses produksi. Jenis-jenis limbah bermacam-macam, dari zat
pembentuknya, bentuk fisiknya dan sifat berbahayanya. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), definisi limbah adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan. Definisi secara umum, limbah adalah bahan sisa atau buangan
yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah
tangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat
berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang
bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (limbah B3) (Soenarno, 2011).

2.7.1 Jenis limbah


Menurut Soenarno (1968), Jenis-jenis limbah dari zat pembentuknya adalah:
1) Limbah organik. Limbah ini dapat terurai secara alami, contoh: sisa
organisme (tumbuhan, hewan).
2) Limbah anorganik. Limbah ini sukar terurai secara alami, contoh: plastik,
botol, kaleng, dll.
Jenis-jenis limbah dari bentuk fisiknya adalah:
1) Limbah padat, yang lebih dikenal sebagai sampah. Bentuk fisiknya padat.
Definisi menurut UU No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan
sehari-hari dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Contoh: sisa-sisa
organisme, barang dari plastik, kaleng, botol, dll.
2) Limbah cair. Bentuk fisiknya cair. Contoh: air buangan rumahtangga,
buangan industri, dll.
3) Limbah gas dan partikel. Bentuk fisiknya gas atau partikel halus (debu).
Contoh: gas buangan kendaraan (dari knalpot), buangan pembakaran
industri.

20
2.7.2 Pengelolaan limbah
Menurut Soenarno (2011) Dampak dari pembuangan limbah sembarangan
dan tidak dikelola dengan baik berupa pencemaran tanah, air dan udara, serta
banjir. Dengan demikian dapat dikatakan pengelolaan limbah ini bertujuan untuk
mencegah, menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, memulihkan
kualitas lingkungan tercemar, dan meningkatkan kemampuan dan fungsi kualitas
lingkungan. Contoh-contoh pengelolaan limbah sebagai berikut :
2.7.2.1 Limbah Padat
Sampah organik akan membusuk mengakibatkan bau busuk yang
mengundang hewan-hewan berdatangan, pada umumnya hewan tersebut dapat
menyebarkan penyakit, dan dapat mencemari tanah. Sampah organik yang belum
sempat membusuk dan non organik yang dibuang ke badan air (sungai, danau,
laut), akan mencemari air tersebut, bahkan jika dibuang ke sungai dapat
menyebabkan banjir (Soenarno, 2011).
Sampah rumah tangga dan sejenisnya di daerah perkotaan dikelola oleh
Dinas Kebersihan Pemerintah Daerah atau swasta. Sampah-sampah tersebut
(selain tinja) dikumpulkan di Tempat Penampungan Sementara (TPS), selanjutnya
dari TPS dibawa ke tempat pendauran ulang atau pengolahan atau tempat
pengolahan sampah terpadu dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah. Idealnya
demikian, tetapi kenyataannya masih terjadi pencemaran akibat pembuangan
sampah. Tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di kota-kota besar di Indonesia
hanya menjadi tempat penumpukan sampah, tanpa perlakuan lebih lanjut. Pemda
mulai membuat tempat pengolahan terpadu dengan disiapkan pemilahan sampah,
tempat pendaur-ulangan, dan insinerasi (pembakaran yang terkendali) (Soenarno,
2011).
2.7.2.2 Limbah Cair
Di kawasan industri air limbah diolah dengan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL). Di perumahan, tempat pembuangan air kakus adalah septictank,
ini adalah bentuk pengolahan limbah tinja secara individual, sedangkan air limbah
lainnya masuk ke selokan. Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) atau
Septage Treatment Plant (STP) adalah bentuk pengolahan limbah tinja secara
komunal. IPLT menggunakan sistem biologi dengan kolam oksidasi yang

21
dilengkapi motor. Hasil olah IPLT baik air maupun lumpur dapat dikembalikan ke
alam dengan aman, lumpurnya dapat dijadikan pupuk kompos. Selain itu IPLT di
pemukiman padat penduduk dapat menghasilkan biogas. Biogas merupakan gas
hasil fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme anaerobik. (Soenarno, 2011).
2.7.2.3 Limbah Gas dan Partikel
Limbah ini umumnya merupakan hasil pembakaran baik dari kegiatan
industri, proses pembakaran maupun dari kendaraan bermotor (knalpot). Limbah
gas ini menjadi masalah karena banyak yang termasuk gas-gas penyebab efek
rumah kaca. Gas-gas tersebut antara lain Karbondioksida (CO2), Metana (CH4),
Dinitrogen oksida (N2O), Klorofluorokarbon (CFC), dsb, yang lebih dikenal
dengan Gas Rumah Kaca (GRK) atau Green House Gasses (GHGs) (Soenarno,
2011).

22
III METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Praktek dilaksanakan mulai tanggal 14 februari 2017 sampai dengan 14
Maret 2017 bertempat di CV. Sakana Indo Prima yang beralamatkan di Jln. Hj
Piih Parung Poncol,Kelurahan Duren Mekar, Kecamatan Sawangan, Kota Depok
–Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
a. Mesin adonan kekian
b. Baskom
c. Timbangan
d. Meja Proses
e. Steamer
f. Loyang stainless
g. Kemasan
h. Spatula

3.2.2. Bahan
a. Surimi Ikan Nila
b. Bumbu (garam,penyedap rasa,Msg,pengembang,gula,bawang putih)
c. Wortel
d. Daun bawang
e. Telur
f. Minyak Wijen
g. Minyak Sayur
h. Bawang Merah
i. Tepung tapioka
j. Tepung Maizena
k. Kulit Tahu

23
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Prosedur pembuatan kekian
Pertama yang dilakukan yaitu menyiapkan alat dan bahan, bahan baku
yang digunakan dalam pembuatan kekian yaitu surimi ikan nila. Surimi dalam
keadaan beku digiling terlebih dahulu, kemudian penimbangan semua bahan
( surimi,bumbu,wortel, daun bawang, tepung tapioka dan tepung maizena dan
telur), selanjutnya pengadonan semua bahan di campur dan di mixer selama 5
menit setelah adonan menyatu kemudian di tambahkan minyak wijen dan minyak
sayur.begitu adonan selesai di pindahkan ke baskom stainless yang siap di
pindahkan keruangan pencetakkan. Begitu selesai dicetak kekian di kukus dengan
suhu 900C - 1000C selama 15-20 menit. Setelah selesai pengukusan produk di
tiriskan,penirisan selesai di tandai dengan mengkerutnya produk yang selanjtnya
siap di packing.

3.3.2 Penerapan GMP dan SSOP

Pengamatan terhadap penerapan GMP yaitu cara berproduksi yang baik


dan benar dari tahap penerimaan sampai penyimpanan beku. Penerapan SSOP
dilakukan dengan mengamati sanitasi dan higiene yang menyangkut delapan
kunci SSOP, yang meliputi keamanan air, kondisi/kebersihan permukaan yang
kontak dengan bahan makanan, pencegahan kontaminasi silang, kebersihan kerja,
pencegahan dan perlindungan dari kontaminasi, pelabelan dan penyimpanan yang
tepat, pengendalian kesehatan karyawan dan pemberantasan hama.

Penilaian terhadap penerapan kelayakan dasar dilakukan dengan


menggunakan check list kelayakan dasar dan hasil yang diperoleh disesuaikan
dengan standar nilai yang telah ditetapkan. Pengamatan terhadap GMP (Good
Manufacturing Practice) dan SSOP (Sanitation Standard Operation Procedure)
dilakukan dengan mengamati secara langsung dan ikut berpartisipasi dalam
tahapan produksi yang dilakukan.
Pengamatan terhadap alur proses di unit pengolahan dilakukan dengan
melihat semua kegiatan proses sejak bahan baku diterima hingga siap dipasarkan.

24
3.4 Alur Proses Kekian

Penerimaan bahan baku

Penggilingan surimi

Penimbangan

Air dan es Pengadonan Bumbu, sayur-


sayuran

Pencetakan

Pengukusan

Penirisan

Labelling Packing

Pengepakkan

Pembekuan

Penyimpanan
(cold storage )

Gambar 4. Alur Proses Pembuatan Kekian

25

Anda mungkin juga menyukai