Anda di halaman 1dari 13

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai luas perairan 5,8
juta km2 yang kaya akan sumber daya perairan dan sifat oseanografinya
menunjukkan produktivitas yang cukup tinggi. Indonesia memiliki kondisi
geografis dengan sumberdaya hayati perikanan yang sangat potensial. Hal ini
menyebabkan sub sector perikanan merupakan penghasil devisa yang tidak sedikit
jumlahnya. Total ekspor hasil perikanan Indonesia dari tahun ketahun mengalami
peningkatan yang menggembirakan.

Untuk lebih meningkatkan dan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya


perikanan, dengan melihat keinginan konsumen maka dilakukan diversifikasi
olahan hasil perikanan. Produk diversifikasi ini merupakan salah satu bentuk dari
pengembangan produk, yang mana dengan diversifikasi produk ini dapat
menambah/mengembangkan produk baru, memodifikasi produk yang ada dan
menemukan kegunaan baru dari produk yang dihasilkan. Salah satu pruduk yang
dapat dijadikan diversifikasi olahan yang berpotensi sebagai komoditi ekspor
adalah pengolahan sosis ikan (Direktorat Jenderal Perikanan, 1999).

Sosis adalah daging lumat yang dicampur dengan bumbu dan rempah
rempah, kemudian dimasukkan dan dibentuk dalam pembungkus atau cashing
(Sutrisno, Purwiyanto, dan Eko 2010). Sosis dikenal sebagai bahan makanan yang
memiliki rasa gurih, tekstur yang kenyal dan padat, serta berbentuk bulat
memanjang. Rasa sosis yang gurih banyak disukai oleh anak-anak maupun
dewasa.
Sosis merupakan makanan yang terbuat dari daging, lemak, bahan
pengikat, bahan pengisi, air, garam, dan bumbu-bumbu yang cara penyelesaiannya
dengan dikukus. Menurut Sutrisno, Purwiyanto dan Eko (2010) semua jenis
daging ternak dapat digunakan untuk membuat sosis. Daging merupakan sumber
protein yang berfungsi sebagai pengemulsi dalam sosis.Umumnya sosis dibuat
dari daging sapi atau daging ayam, hal ini dikarenakan bahan tersebut banyak
tersedia dipasaran dan disukai oleh semua kalangan usia. Melihat harga jual
daging yang masih tergolong mahal, maka perlu dilakukan pengganti dari bahan
2

tersebut yaitu dengan menggunakan bahan dasar yang memiliki harga lebih
ekonomis, seperti daging ikan lele.
Ikan lele termasuk jenis ikan air tawar yang sangat populer dimasyarakat
khususnya ikan lele yang memiliki nama ilmiah Clarias sp. Ikan lele cukup
populer karena harganya terjangkau, memiliki rasa gurih, serta tekstur dagingnya
lunak dan kesat. Kandungan protein yang tinggi dengan kandungan lemak yang
rendah, pada ikan lele, memungkinkan untuk diolah menjadi produk olahan,
seperti: sosis ataupun nugget lele
Dengan pertimbangan diatas tentang pengembangan produk perikanan
khususnya ikan patin maka kami tertarik mengambil judul “PENGOLAHAN
SOSIS IKAN LELE (Clarias sp.) DENGAN PENAMBAHAN RUMPUT
LAUT Eucheuma Cottoni”.

1.2 Tujuan

Praktek keahlian ini bertujuan:


 Mengetahui rendemen bahan baku.
 Mengetahui cara pembuatan sosis ikan.
 Mengetahui sosis yang disukai konsumen.
 Mengetahui mutu bahan baku dan produk akhir dengan uji organoleptik,
uji kimia, dan uji mikrobiologi.
1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah pada praktek keahlian ini meliputi :


 Cara pembuatan sosis ikan lele dengan penambahan rumput laut.
 Mutu organoleptik, TVB, uji Salmonella, uji E. Coli, suhu serta pH
bahan baku yang digunakan.
 Mutu organoleptik, kimia yang meliputi kadar air, abu, lemak, protein,
dan karbohidrat produk akhir sosis ikan.
3

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Lele

Ikan lele secara morfologi memiliki bentuk tubuh yang memanjang dan
berkulit licin (tidak bersisik). Sesuai dangan family nya yaitu Clariidae yang
memiliki bentuk kepala pipih dengan tulang keras sebagai batok kepala. Disekitar
mulut terdapat 4 pasang sungut. Pada sirip dada terdapat patil atau duri keras yang
berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri. Secara anatomi ikan lele
memiliki alat pernafasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga insang,
yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Oleh
karena itu, ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang mengandung sedikit
kadar oksigen.

Gambar 1. Ikan lele

Ikan lele menurut klasifikasi berdasar taksonomi yang dikemukakan oleh Weber
de Beaufort (1965) digolongkan sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidae
Famili : Clariidae
Genus : Clarias sp.
Ikan lele adalah pemakan jasad hewani yaitu crusstacea kecil, larva
serangga, cacing dan moluska. Ikan lele merupakan ikan yang termasuk dalam
famili Clariidae memiliki bentuk badan yang memanjang, berkepala pipih, tidak
4

bersisik, memiliki empat pasang kumis yang memanjang sebagai alat peraba, dan
memiliki alat pernafasan tambahan yang bekerja apabila insang tidak dapat
memperoleh kebutuhan oksigen pada bagian depan rongga insang yaitu
arborescen organ. Bagian depan badannya terdapat penampang melintang yang
membulat, sedang bagian tengah dan belakang berbentuk pipih.
Ikan lele merupakan salah satu hasil peternakan yang kaya akan gizi.
Ikan lele (Clarias sp.) merupakan ikan air tawar yang dapat hidup di tempat-
tempat kritis, seperti rawa, sungai, sawah, kolam ikan yang subur, kolam ikan
yang keruh, dan tempat berlumpur yang kekurangan oksigen. Hal ini
dimungkinkan karena ikan lele mempunyai alat pernapasan tambahan, yakni
arborecent. Ikan lele dapat pula dipelihara di tambak air payau asal kadar
garamnya tidak terlalu tinggi. Ikan lele termasuk dalam famili Claridae dan sering
juga disebut mud fish atau cat fish. Di Indonesia, ikan lele dikenal dengan
beberapa nama daerah, seperti ikan maut (Sumatera Utara dan Aceh), keling
(Sulawesi Selatan), dan cepi (Bugis) (Siregar, 2011).
Lele mengandung nilai gizi yang tinggi seperti protein sebanyak 18,70%;
lemak 1,1%; karbohidrat 0%; kalsium 15 mg; fosfor 260 mg; Fe 2 mg; natrium
150 mg; tiamin (vit. B1) 0,1 mg; riboflavin (vit. B2) 0,05 mg; niasin 2,0 mg.
Sementara itu, daging sapi mengandung 19% protein; 5% lemak; 70% air; 3,5%
zat-zat non protein; 2,5% mineral; dan bahan-bahan lainnya. Keunggulan lele
dibandingkan dengan produk hewani lainnya adalah kaya akan asam amino leusin
dan lisin. Leusin (C6H13NO2) merupakan asam amino esensial yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan anak-anak dan. Leusin juga berguna untuk
perombakan dan pembentukan protein otot.

2.2 Rumput Laut


Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah
(Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena
karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Habitat khasnya
adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian
yang kecil dan substrat batu karang mati. Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih
5

dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun


internasional.

Klasifikasi Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut :


Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma cottonii
Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris,
permukaan licin, cartilogeneus (menyerupai tulang rawan/muda) serta berwarna
hijau terang, hijau olive dan cokelat kemerahan. Percabangan thallus berujung
runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), mempunyai duri
yang lunak tumpul untuk melindungi gametangia. Percabangan bersifat alternates
(berseling), tidak teraatur, serta dapat bersifat dichotamus (percabangan dua-dua)
dan trichotamus (percabangan tiga-tiga). Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh
dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang
memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat
batu karang mati.
Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peranan penting dalam dunia
perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karaginan. Kadar karaginan
dalam setiap spesies Eucheuma berkisar antara 54 – 73 % tergantung pada jenis
dan lokasi tempat tumbuhnya. Jenis ini asal mulanya didapat dari perairan Sabah
(Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina). Selanjutnya dikembangkan ke berbagai
negara sebagai tanaman budidaya. Lokasi budidaya rumput laut jenis ini di
6

Indonesia antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,


Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu

2.3 Sosis
Sosis adalah olahan daging yang berupa campuran daging giling dengan
bumbu-bumbu tambahan lain yaitu garam, merica, gula, dan bumbu penyedap
lain. Adonan daging giling kemudian dimasukan ke dalam pembungkus atau
casing yang mencetaknya menjadi bentuk bulat panjang. Bentuk bulat panjang
inilah yang merupakan ciri khas sosis yang membedakannya dengan hasil olahan
daging lain. Sosis dapat dikonsumsi semua kalangan karena teksturnya yang
empuk dan kenyal, yang berbeda dengan daging sebelum diolah menjadi sosis
yang terkadang bersifat keras atau alot. Sehingga sosis diciptakan untuk
mempermudah seseorang dalam mengkonsumsi daging (Kinanthi Diah Cahyani,
2011).
Mengkonsumsi produk olahan ikan atau produk yang mengandung ikan,
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai gizi masyarakat melalui
protein ikan. Salah satu bentuk dari aneka produk olahan hasil perikanan adalah
sosis ikan. Sosis ikan merupakan produk daging giling yang bersifat kenyal dan
berbentuk silinder dengan pembungkus khusus (casing). Pada umumnya sosis
dibuat dari daging sapi, tetapi sosis juga bisa dibuat dari daging ikan. Sosis ikan
belum banyak dikenal masyarakat Indonesia. Pada dasarnya, hampir semua jenis
ikan dapat dimanfaatkan untuk membuat sosis, seperti ikan tuna, ikan lemuru,
ikan tongkol dan ikan remang. Pada pembuatan sosis ikan ini yang digunakan
adalah ikan lele. Berikut ini merupakan syarat mutu sosis ikan menurut SNI 01-
7266.1-2006.
7

Tabel 1. Syarat mutu sosis ikan menurut SNI 01-7266.1-2006


Jenis Uji Satuan Persyaratan

1) Sensory Angka (1-9) Minimal 7


2) Cemaran mikroba:
2.1. ALT Koloni/gram Maksimal 5,0 x 104
2.2. Escherichia coli APM/gram Minimal < 3 negatif
2.3. Salmonella
2.4. Staphylococcus Koloni/gram Maksimal 102
aureus
2.5. Vibrio cholerae*)
2.6. Vibrio
parahaemolyticus*)
(kanagawa positif)
3) Uji kimia:*)
3.1. Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,5
3.2. Timah hitam (Pb) mg/kg Maksimal 2
3.3. Kadmium (Cd) mg/kg Maksimal 0,05
4) Fisika
o
4.1. Suhu pusat C Maksimal -18o C
Catatan* bila diperlukan
Sumber : SNI 01-7266.1-2006

2.3.1 Bahan Pembuatan Sosis Ikan Lele


Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan adalah daging
ikan lele, es batu, garam, lemak nabati, bahan pengikat (susu skim), bahan pengisi
(tepung tapioka, tepung kappa- dan iotakaragenan), fosfat (STPP), bumbu-bumbu
(bawang putih, bawang merah, jahe, pala, merica, dan MSG) dan casing. Bahan
utama yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan adalah daging ikan. Berbagai
ikan tuna banyak digunakan karena warna dagingnya yang tetap bertahan pada
produk akhir (Suzuki, 1981).
Bagian ikan yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah daging ikan
lele yang telah dipisahkan dan dibersihkan dari kepala, kotoran, sirip, dan tulang
(Erdiansyah, 2006). Daging ikan merupakan bahan utama dalam pembuatan sosis
sehingga peranannya sangat menentukan produk sosis yang dihasilkan. Protein
daging ikan yang larut dalam larutan garam (protein miofibril) lebih berperan
dalam pembentukan emulsi dibandingkan protein yang larut dalam air murni
(Wulandari, 2007).
8

2.3.2 Pembuatan Sosis Ikan


Pembuatan sosis ikan didahului pembuatan surimi yang merupakan produk
antara yang kemudian akan diolah lebih lanjut menjadi sosis ikan. Menurut BSN
(1992), surimi adalah produk olahan perikanan berupa sayatan daging ikan yang
teladh mengalami proses pencucian (leaching), pengurangan kandungan air,
penambanahan bahan tambahan, dan umumnya mengalami proses pengepakan,
pembekuan, dan penyimpanan beku. Menurut Suzuki (1981) , surimi merupakan
produk olahan yang terbuat dari daging ikan lumat yang telah diekstrak dengan air
dan diberi bahan anti denaturasi, lalu dibekukan. Surimi dapat dibuat dengan
menggunakan bahan mentah hampir dari semua jenis ikan, sehingga sangat
bermanfaat dalam pengolahan ikan bernilai ekonomi rendah (Koswara, 2006).
Sebagai bahan penyusun produk olahan, surimi merupakan sumber protein
bernutrisi yang berkualitas dan sangat fungsional (Lee et al., 1988). Surimi juga
merupakan sumber protein yang murah (Anonim, 2006 (a)). Menurut Suzuki
(1981), ada dua tipe surimi yang biasa dibuat, yaitu surimi yang dibuat tanpa
penambahan garam (mu-en surimi) dan surimi yang dibuat dengan penambahan
garam (ka-en surimi). Pembuatan surimi terlebih dahulu sebelum diolah menjadi
sosis ikan sangat penting karena mampu menekan cooking loss hingga 0.21-
0.27%, meningkatkan nilai kekerasan hingga 17.89-16.53%, dan meningkatkan
nilai kekenyalan hingga 15.27-15.42%. Bahkan setelah surimi mengalami
penyimpanan beku sampai 60 hari, masih mampu mempertahankan nilai cooking
loss, kekerasan, dan kekenyalan, yang tidak dapat dipertahankan oleh fillet dan
daging giling (Erdiansyah, 2006).
Selain itu makin segar ikan yang digunakan, elastisitas teksturnya makin
tinggi. Nilai pH ikan yang terbaik untuk surimi adalah 6.5 – 7.0 dan sebaiknya
ikan tersebut berlemak rendah. Untuk ikan yang berlemak tinggi, lemak tersebut
harus diekstrak atau dikeluarkan lebih dulu karena akan berpengaruh terhadap
daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah tengik (Koswara, 2006 ).
Surimi yang dikehendaki adalah yang berwarna putih, mempunyai flavor
(cita rasa) yang baik dan berelastisitas tinggi (Koswara, 2006). Kemampuan
pembentukan gel dari ikan merupakan sifat yang paling penting dalam pemilihan
9

bahan baku surimi (Claus et al., 1994). Meskipun semua jenis ikan dapat diolah
Hasil-hasil perikanan mudah mengalami kerusakan disebabkan terjadinya autolisis
dan akibat adanya pertumbuhan mikroba. Aktifitasnya menjadi optimum dan pada
kondisi lain aktifitasnya menurun. Penggunaan suhu rendah dapat digunakan
untuk mempertahankan kesegaran serta mempertahankan sifat-sifat asli dari ikan
(Hadiwiyoto, 1993). Oleh karena itu, surimi yang juga merupakan hasil olahan
produk perikanan perlu dilakukan penyimpanan suhu rendah untuk menjaga
kesegaran, terutama untuk surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk
akhir. Surimi yang tidak langsung diolah dan mengalami penyimpanan beku yang
lama, protein miofibrilarnya mudah terdenaturasi yang menyebabkan kerusakan
kemampuan gel. Maka dari itu perlu ditambahkan bahan antidenaturasi
(kryoprotektan).
Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan adalah garam.
Garam merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan sosis untuk
menghasilkan emulsi, di mana protein daging berupa miosin dilarutkan dan
dikeluarkan dari serat-serat daging sehingga dapat mempertinggi daya ikat
pertikel daging. Menurut Wilson et al. (1981), larutan garam mempercepat
kelarutan protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya. Tanpa penambahan
garam, tidak akan terbentuk emulsi sosis dan biasanya sosis mengandung garam
1-5% atau 3% (Kramlich, 1971). Garam pada konsentrasi yang cukup juga
bersifat sebagai pengawet, membentuk tekstur produk, menambah cita rasa dan
flavour yang diinginkan (Soeparno, 1994).
Air merupakan salah satu komponen dalam pembuatan sosis dengan
kandungan sekitar 45-55% dari berat total sosis, tergantung jumlah cairan yang
ditambahkan dan macam daging (Soeparno, 1994). Penambahan air atau es
berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah
denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Selain itu, air atau es
juga berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi
sehingga dihasilkan emulsi yang stabil (Lawrie, 1961). Protein miosin ini hanya
dapat larut pada suhu 4-5o C sehingga sangat penting menggunakan air dingin
atau air es (Kramlich et al., 1973) . Air atau es juga berfungsi melarutkan bumbu-
10

bumbu dan garam sehingga dapat tersebar lebih merata. Air akan banyak
mempengaruhi tekstur produk, keawetan, dan penampakan (Winarno, 1979).

3. METODE PRAKTEK
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan praktek keahlian ini dimulai pada tanggal 2 April 2017 hingga 7
Juni 2017, bertempat di Workshop Pengolahan, Laboratorium Kimia,
Laboratorium Mikrobiologi Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan untuk membuat sosis adalah alat penggiling
daging, mixer, blender, mesin stuffer (pencetak sosis), kompor, panci perebus,
pisau, gunting, talenan, baskom, pencapit, serta pan stailess steel untuk wadahnya.
Bahan utama yang digunakan dalam pengolahan sosis lele adalah daging
fillet lele, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah tepung tapioka 15%
sebagai binder, bumbu-bumbu seperti garam halus 2,0%; minyak sayur 2,0%;
gula halus 1,5%; lada putih halus 0,5%; penyedap rasa 0,5%; bawang merah
3,0%; bawang putih 2,0%; jahe 0,5%; jahe 0.5%; STPP 0,2%; sarbitol 2,0%;
smoke flavours 0,5%; dan air es. Bahan lain yang digunakan yaitu selongsong
sosis yang dapat terbuat dari plastik/selophan, dan benang kasur untuk mengikat
sosis.

3.3 Metode Pengujian


3.3.1 Pengujian Kimia (Uji Proximat)
Analisa proksimat yang dilakukan pada produk sosis ikan adalah analisa
yang meliputi kadar protein, lemak, air, abu, dan karbohidrat.

3.3.2 Uji Organoleptik


Pengujian organoleptik ini adalah salah satu jenis pengujian yang
bertujuan untuk menguji fisik bahan mentah yang akan digunakan dalam proses
pembuatan sosis ikan juga untuk menguji pengaruh penambahan bumbu terhadap
rasa, tekstur dan rasa secara organoleptik. Dimana dengan pengamatan ini dapat
11

diketahui apakah ada kerusakan fisik pada sosis ikan yang secara tidak langsung
dapat mempengaruhi terhadap hasil akhir produk.
Dalam pengujian organoleptik ini alat bantu yang digunakan adalah score
sheet dan alat tulis.

3.3.3 Pengujian Mikrobiologi

Pengujian Escherichia coli dan penentuan Angka Lempeng Total (ALT)


dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang terdapat pada SNI 01-2332.1-2006
dan SNI 01-2332.3-2006 tentang pengujian Escherichia coli dan penentuan
Angka Lempeng Total (ALT).
12

4. RENCANA KEGIATAN DAN ANGGARAN BIAYA

4.1 Rencana Kegiatan


Berikut ini adalah rencana dan jadwal kegiatan praktek selama awal bulan
April sampai dengan pertengahan bulan Juni 2017 yang bertempat di kampus
Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta.

Kegiatan April Juni


2-9 10-17 18-26 27-5 juni 6-7
A
B
C
D
E

Keterangan:
A = Pembuatan proposal dan perbaikan
B = Pelaksanaan praktek, analisa bahan mentah, pengolahan dan analisa
produk
C = Analisa data
D = Penyusunan laporan
E = Seminar
13

4.2 Anggaran Biaya


1).Kebutuhan Bahan
- Ikan lele (5 kg x Rp 20.000) Rp 100.000
- Tepung tapioka (2 kg x Rp 8.000) Rp 16.000
- Garam Rp 1.500
- Susu bubuk Rp 20.000
- Bawang putih (500 gram) Rp 14.000
- Bawang merah (500 gram) Rp 20.000
- Lada (@ Rp 500 x 6 bungkus) Rp 3.000
- Jahe Rp 2.000
- Royco (@ Rp 2.000 x 5 bungkus) Rp 10.000
- Minyak sayur Rp 5.000
- Gula halus Rp 3.000
- Baking soda Rp 3.000
- Kain blacu Rp 12.000
- Pewarna secukupnya Rp 15.000
- Plastik Rp. 4.500
2) Biaya transportasi dan lain-lain Rp 50.000
+
Total Rp 276.000

Anda mungkin juga menyukai