Nama Anggota :
1.Muhammad Ihsan Kholilullah (A.2110463)
2. Muhammad Dzulfiqar (A.2110259)
3. Mujahiroh (A.2110824)
4. Tivanka Adinda Putri (A.2210297)
5. Wildan Muhammad (A.2110698)
6. Rian Riyadi (A.2111600)
7. Irsaludin (A.2110303)
8. Zaky Syaban Suryanto (A.2110670)
II. PENYEBAB
Aplasia adalah kegagalan jaringan atau organ untuk berkembang, sehingga
menghasilkan organ yang belum sempurna pada orang dewasa. Atresia ditandai dengan
aplasia organ tubular yang mengakibatkan stenosis atau tidak adanya sama sekali. Aplasia
segmental dapat mempengaruhi beberapa bagian saluran reproduksi tubular karena
berbagai malformasi yang mendasarinya Colaço dkk. mengklasifikasikan beragam
penyebab aplasia berdasarkan tiga kelainan kongenital: kegagalan perkembangan saluran
paramesonefrik, kegagalan fusi saluran paramesonefrik ekor menjadi satu lumen, dan
kegagalan ujung ekor saluran paramesonefrik untuk menyatu dengan saluran. sinus
urogenital. Dalam kasus ini ratu menderita aplasia akibat ketiga malformasi perkembangan,
yang belum pernah didokumentasikan pada satu individu spesies ini.
Saluran Wolfii atau duktus Mesoneprikus berperan kepada perkembangan saluran
reproduksi hewan jantan (epididimis, vas deferens, ampula, dan kelenjar vesikula
seminalis), sehingga kelainan pada perkembangan ini akan mengakibatkan kelainan pada
perkembangan saluran reproduksinya. Seringkali ditemukan pada kasus
epididimis lebih kecil dari normal(aplasia segmentalis epididimis), kelenjar vesikula m
engecil (aplasia/hipoplasia vesikulaseminalis), aplasia/hipoplasia kelenjar bulbourethral
is atau prostate (Jost et al. 1973). Kelainan anatomi pada alat kelamin yang disebabkan
oleh faktor genetik dan bersifat menurun, dapat terjadi baik pada hewan jantan
maupun betina.
Menurut Konig et al. (1972) dan Ostrowski (1972) kondisi pada kasus kelainan ini
diwariskan dan diduga secara resesif melibatkan gen dari kedua orang tuanya. Di dukung
penelitian Blom dan Hermansen (1969) penemuan serupa juga terjadi pada cerpelai yaitu
kondisi kelainan ini bersifat bilateral antara kedua orang tuanya yang menjadi alasan
etiologi genetik serta pada sapi jantan kasus Segmental Aplasia duktus mesonefrikus
bilateral bersifat steril.
III. PENANGANAN
Aplasia Segmental Ductus Wolffian adalah kondisi di mana saluran Wolffian pada
hewan ternak mengalami gangguan. Berdasarkan hasil pencarian,terdapat beberapa metode
pengobatan yang dapat dilakukan untuk gangguan reproduksi pada ternak sapi terkait
dengan kondisi ini:
➢ Pemeriksaan reproduksi pada ternak sapi meliputi palpasi rektal dan penentuan
kadar progesteron dalam serum darah.
➢ Palpasi rektal dapat membantu dalam menentukan kebuntingan, umur kebuntingan,
dan ramalan waktu kelahiran dengan ketepatan
➢ mendiagnosa gangguan reproduksi, tindakan pengobatan dilakukan sesuai dengan
tanda klinis yang ditemukan
➢ Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi spesifik yang terjadi
pada hewan ternak.
➢ Infeksi uterus dapat berdampak negatif pada kesuburan hewan ternak, oleh karena
itu, manajemen kesehatan reproduksi sangat penting untuk mencegah masalah
reproduksi seperti aplasia segmental ductus Wolffian
➢ Diagnosa terhadap infeksi uterus melibatkan pemeriksaan klinis secara umum,
palpasi rektal, vaginoskopi, dan uji laboratorium
Dalam penanganan aplasia segmental ductus Wolffian pada hewan ternak, penting
untuk melakukan pemeriksaan yang teliti, mendiagnosa dengan akurat, dan
memberikan pengobatan yang tepat sesuai dengan kondisi spesifik yang dialami oleh
hewan ternak tersebut.
REFERENSI
Jost A, Vigier B, Prépin J, Perchellet JP. 1973. Studies on sexual differentiation in mammals.
Recent Prog Horm Res 29:1–41