Anda di halaman 1dari 6

Menggali Potensi Keputusan Anak SMK untuk tidak Melanjutkan Kuliah

dan Pilihan Alternatif Masa Depan

Oleh : Alvin Wijaya Hariyanto

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) salah satu bentuk satuan pendidikan


yang formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang
pendidikan menengah yang mempersiapkan siswa/siswi untuk bekerja di bidang
yang mereka inginkan. Siswa/siswi dapat melanjutkan SMK setelah lulus dari
Sekolah Menengah Pertama. Masa studi dilaksanakan selama tiga sampai empat
tahun. Menerapkan masa studi pembelajaran untuk siswa/siswi selama empat
tahun, yang dibagi menjadi tiga tahun masa studi di sekolah dan satu tahun di
industri jurusan yang diminati. Pendidikan dibagi menjadi dua yaitu swasta dan
negeri, Ada beberapa jurusan yang diminati siswa/siswi SMK, di antaranya adalah
jurusan Teknik Mesin, Akuntansi, Multimedia, Pelayaran, Tata Boga,
Administrasi, Farmasi, Pariwisata, Elektro, Animasi, dan sebagainya.

Sekolah menengah kejuruan (SMK) sedang butuh lebih banyak praktik


ketimbang teori, karena para lulusan sangat mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja karena terbatasnya kemampuan siswa/siswi. Berikut ini
dia salah satu siswi yang kurang dengan pembelajaran praktik dan lebih banyak
pembelajaran teori, Seorang siswi jurusan jaringan IT, Sri Sulasih, mengatakan di
sekolahnya, yaitu SMK Tunas Teknogi, Bekasi, Jawa Barat, ia masih lebih
banyak menerima pemlajaran teori ketimbang praktik. Siswi berusia 18 tahun itu
mengatakan, ia lebih banyak belajar teori di ruang kelas, yaitu selama 17 jam per
minggu, dibanding belajar praktik di workshop yang hanya 8 jam per minggunya.
Hal yang sama juga yang di dialami oleh siswa di SMK Teknik 10 Nopember,
Jakarta Timur. Mereka harus menerima kenyataan belajar praktik dengan
peralatan yang sudah lama atau sudah tidak modern. Taryoto, ketua bidang
kurikulum di SMK tersebut mengatakan sekolah kadang-kadang menerima dana
dari pemerintah, namun tidak pernah digunakan untuk membeli peralatan baru
dari sejak berdirinya sekolah itu pada 2007. Adanya hal lebih penting yang harus
didahulukan dalam penggunaan dana tersebut.
Para orang orang Investor lokal dan luar negeri sering mengeluh susah
mendapatkan tenaga kerja dengan sangat terlatih kualifikasi yang sangat
memumpuni di bidang industri manufaktur, meskipun dari sisi jumlah sudah
cukup untuk memenuhi permintaan. Data dari Kementerian Perindustrian
(Kemenperin) menunjukkan bahwa sektor manufaktur tiap tahunnya
membutuhkan 600.000 tenaga kerja baru, dimana jumlah itu sesuai dengan angka
lulusan yang juga mencapai 600.000 tiap tahunnya. Untuk mengatasi masalah
kesenjangan dalam keterampilan kerja, Presiden Joko Widodo “Jokowi” telah
meminta untuk melakukan perombakan sistem pendidikan kejuruan, terutama
dalam hal keterampilan kerja di bidang industri manufaktur.

Sektor-sektor yang saat ini tengah menjadi fokus pemerintah antara lain
garmen, animasi, pemrosesan makanan dan minuman, otomotif dan pengolahan
bahan kimia. Untuk mencapai tujuan tersebut, dari 2017 hingga 2019 akan
diadakan pelatihan keterampilan kerja di bidang manufaktur yang
menghubungkan para lulusan SMK dengan dunia industri, disamping memberikan
lebih banyak waktu untuk melakukan praktik di worskshop-workshop. Pentingnya
kerjasama antara SMK dengan industri untuk memastikan relevansi kurikulum,
penyediaan sarana praktik, dan kesempatan kerja bagi siswa/siswi lulusan SMK.

Pada Desember lalu, pemerintah juga meluncurkan Program Magang


Nasional yang bertujuan untuk membantu dunia industri dalam menyerap dan
melatih siswa SMK. Namun demikian, perbaikan sistem tersebut terkendala oleh
terbatasnya anggaran. Saat ini, menurut data Kemendikbud, ada 6.000 SMK yang
memfokuskan untuk peningkatan kemampuan di bidang manufaktur, dengan
jumlah siswa sebanyak 1,8 juta.

Direktur perkembangan SMK Kemendikbud, Mustaghfirin Amin,


mengatakan masing-masing sekolah tersebut membutuhkan anggaran hingga Rp
40 miliar untuk tiap enam tahun guna memperbarui peralatan praktik mereka. Hal
ini berarti dibutuhkan pengeluaran sebesar Rp 40 triliun jika SMK-SMK itu
digabungkan. Namun, lanjut Mustaghfirin, pemerintah hanya mengalokasikan
dana sebesar Rp 1 triliun dalam anggaran Kemendikbud dan dana tambahan
sebesar Rp 1,9 triliun dalam dana alokasi khusus (DAK) untuk membiayai 13.600
SMK di seluruh Tanah Air.

Beberapa alasan mengapa sebagian anak lulusan SMK memilih untuk tidak
melanjutkan ke pendidikan tinggi. Biaya kuliah menjadi salah satu faktor utama
yang membuat anak lulusan SMK memilih untuk tidak kuliah. Menurut data resmi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, biaya kuliah di Indonesia rata-rata
berada di kisaran 2-6 juta per semester. Bagi keluarga yang tidak mampu
membayar, kuliah bisa menjadi beban yang berat. Meskipun saat ini ada banyak
program beasiswa dan bantuan pendidikan yang tersedia, masih ada anak lulusan
SMK yang menganggap mahalnya biaya kuliah sebagai hambatan untuk
melanjutkan pendidikan.

Beberapa anak lulusan SMK juga tidak memiliki ketertarikan yang besar
pada bidang akademi. Mereka lebih tertarik pada memulai karir mereka di dunia
kerja atau terjun ke bidang-bidang yang membutuhkan keahlian teknis seperti
teknisi, perancang grafis, maupun mekanik. Hal ini tidaklah mengejutkan,
mengingat SMK lebih menonjolkan pelajaran praktis dibandingkan dengan teori
seperti halnya yang diajarkan di universitas.

Menurut data Badan Pusat Statistik bulan Februari tahun 2016 menyebutkan
bahwa statistik pengangguran lulusan SMK terhadap tenaga kerja berupa 8.81
persen. Nilai pada tahun 2016 ini paling tinggi banyak orang yang tidak bekerja
atau tidak menemukan lapangan pekerjaan. Jika dibandingkan lulusan SMK
dengan lulusan SMA yang sebesar 5.97 persen, maka mengenai kesimpulan
berapa banyak orang pengangguran antara SMK dengan SMA. Menurut saya
bahwa lulusan SMK tidak cukup baik dibandingkan SMA. Mari kita bandingkan
persentase angkatan kerja. Ada 78.31 persen angkatan kerja lulusan SMK,
sedangkan lulusan SMA hanya 69.58 persen. Artinya, ada begitu banyak lulusan
SMA tidak dimasukkan dalam kategori angkatan kerja. Menurut kategori BPS, hal
ini dimungkinkan lulusan SMA sedang sekolah, atau sedang mengurus.

Jika kita lihat lebih teliti, maka lulusan SMA dan SMK tidak masuk kategori
tenaga kerja karena ada sebagian siswa/siswi yang memilih melanjutkan kuliah
dari pada mencari pekerjaan. Untuk lulusan SMA yang saya dapatkan ada 9
persen melanjutkan pendidikan dan yang melanjutkan kerja 3 persen, sedangkan
lulusan SMK yang saya dapatkan hanya 3.98 persen dan sedangkan mencari
pekerjaannya 9 persen. Artinya, ada kemungkinan lulusan SMA lebih sedikit
menganggur dibandingkan SMK, karena kontribusi lulusan yang melanjutkan
kuliah, sehingga peserta didik tidak dimasukkan perhitungan dikarenakan masuk
kategori bukan tenaga kerja.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik, kesimpulan yang saya dapatkan


mengenai anak SMK yang tidak lebih baik dan anak SMA yang pedomannya
sangat baik , andaikan lulusan SMK persentasenya lebih dari SMA maka SMK
sangatlah baik karena di SMK sistem pembelajarannya lebih banyak praktiknya
ketimbang teori maka dari itu semisal lulusan SMK banyak siswa/siswi akan
sangat mudah mendapatkan pekerjaan jika dia sudah selesai kuliah. Artinya,
kesimpulan awal berubah. Jika lulusan SMK melanjutkan pendidikan sama
peluangnya dengan lulusan SMA, maka sebenarnya angkatan SMA lah yang lebih
berkontribusi terhadap pengangguran.

Namun, meskipun ada siswa/siswi lulusan SMK yang memilih untuk tidak
melanjutkan kuliah, ada juga banyak anak lulusan SMK yang memilih untuk
kuliah. Mereka memilih kuliah untuk memperoleh ilmu yang lebih luas dan
pengalaman baru serta membuka peluang yang lebih besar di masa depan.
Akhirnya, mereka memilih untuk kuliah ataupun tidak kuliah adalah keputusan
yang sangat pribadi dan tergantung pada keadaan masing-masing individu.

Menurut saya mengenai siswa/siswi SMK yang tidak melanjutkan kuliah


dan memilih langsung bekerja, tidak semua anak mampu untuk melanjutkan
kuliah karena ekonomi yang tidak cukup untuk melanjutkan kuliah dan ada juga
anak yang tidak mampu dalam segi pendidikan sehingga mereka akhirnya
langsung bekerja dan tidak melanjutkan kuliah. Tidak semua anak harus
melanjutkan kuliah untuk mencapai kesuksesan, dan juga ada profesi, seperti
teknisi, tukang, atau wirausaha, dapat memberikan penghasilan yang stabil dan
memuaskan tanpa gelar sarjana. Mengenai anak SMK yang tidak melanjutkan
kuliah tidak sangatlah buruk, dan dapat menjadi pilihan yang tepat untuk
siswa/siswi sesuai dengan kondisi dan aspirasi individu.
DAFTAR PUSTAKA

Fadhol (2020). Alasan kenapa lulusan SMK haruskah lanjut kuliah.

https://blog.maukuliah.id/5-alasan-mengapa-lulusan-smk-haruskah-
lanjut-kuliah/

Quipper, C.(2019). Pembahasan mengenai Sekolah Menengah Kejuruan

https://campus.quipper.com/kampuspedia/sekolah-menengah-kejuruan-
smk

Qur’rotun, N.(2023). Mau masuk SMA atau SMK ini perbedaannya

https://www.detik.com/jatim/berita/d-6902315/mau-masuk-sma-atau-
smk-ini-perbedaannya/amp

Amin, E.(2020). Mengapa lulusan SMK tergolong susah melanjutkan studi ke


perguruan tinggi

https://id.quora.com/Mengapa-lulusan-SMK-tergolong-susah-
melanjutkan-studi-ke-perguruan-tinggi
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai