Anda di halaman 1dari 4

Position Paper: Pendirian SMA di Desa Rajagaya, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor adalah kabupaten penyangga dari Kota Metropolitan Jakarta Raya, bahkan
Kabupaten Bogor bisa juga dikatakan sebagai salah satu daerah penyangga dari Provinsi Jawa Barat
selain Kota Jakarta Raya. Perkembangan industri dan pendidikan di Kabupaten Bogor termasuk
bertumbuh dengan pesat, akan tetapi perkembangan tersebut berbanding terbalik dengan jumlah
siswa yang masuk di SMA/SMK/MA sederajat.

SMA/SMK/MA Swasta di Kabupaten Bogor hadir sebagai bentuk kesadaran sosial dari masyarakat
tentang pentingnya pendidikan di Kabupaten Bogor dan menjadi solusi atas permasalahan
pendidikan tersebut, tanpa membebankan pemerintah, seperti yang kita ketahui bersama
pengeluaran terbesar negara adalah dimasalah belanja pegawai terutama dalam sektor pendidikan
yang akhirnya pada tahun ini untuk tenaga pendidik dan kependidikan pola rekruitmen pemerinta di
rubah menjadi PPPK bukan lagi PNS.

Adanya wacana pendirian SMA di Kabupaten Bogor dinilai kurang tepat karena di Kabupaten Bogor
kebutuhan Sekolah dengan Peserta Didik yang masih belum ideal, kalau kita membaca data peserta
didik yang ada maka terlihat menonjol antara jumlah lembaga pendidikan dengan peserta didik yang
masuk bisa dibilang jumlah SMA/SMK/MA yang ada terlalu banyak, nilai ideal yang diterapkan
pemerintah setiap lembaga pendidikan satu SMA/SMK/MA sederajat terdiri dari 216 Peserta Didik, di
Kabupaten Bogor bahkan ada Lembaga Pendidikan SMA/SMK/MA yang peserta didiknya di bawah
50, disisi lain sebelum pemerintah hadir SMA/SMK/MA Swasta sudah hadir terlebih dahulu untuk
menjawab kesenjangan pendidikan di Kabupaten Bogor.

Oleh karena itu pemerintah seharusnya Melindungi dan menjaga keberadaan SMA/SMK/MA Swasta
yang sudah ada dengan jumlah siswa yang relatif masih sedikit, dengan tidak menutup, menggabung,
atau menerapkan sekolah pengampu dan sekolah yang diampu, akan tetapi memberikan bantuan
baik secara manajerial maupun sarana prasarana, untuk dapat maju dan berkembang bersama.
Sehingga terhindar dari kesan adanya liberalisasi, industrialisasi, dan kapitalisasi  pendidikan.

Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain:


a. Jika yang hendak dicapai untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK yang ada di Jawa Barat
khususnya di Kabupaten Bogor, maka langkah tersebut diragukan keberhasilannya, hal ini
dikarenakan:

1) Belum dapat dipastikan dalam beberapa hal bahwa SMK yang ditunjuk menjadi sekolah pengampu
kualitasnya lebih baik dari sekolah yang akan diampu. Mungkin saja satu sisi benar SMK pengampu
lebih baik (misalnya saja urusan sarpras dan alat praktek), tapi urusan yang lain bisa jadi kualitas
sekolah yang akan diampu lebih baik
2) Realitas yang ada, beberapa calon sekolah pengampu sudah sangat disibukkan oleh urusan
sekolahnya sendiri. Ada sekolah yang rencana ditunjuk sebagai pengampu untuk urusan sarana
praktek, SDM, dan waktu masih hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya sendiri. Jika
harus melakukan pengadaan baik sarpras atau juga alat praktek, bukankah lebih baik
diberikan/dihibahkan langsung kepada sekolah-sekolah kecil yang akan diampu, sehingga mereka
langsung bisa mandiri
3) Masing-masing sekolah (yayasan penyelenggara) punya visi, misi, tujuan, dan strategi untuk
menghasilkan kualitas lulusannya. Begitu juga dengan sekolah pengampu, yang mungkin akan
menjadi terganggu dengan siswa sekolah yang diampu, mungkin karena perilaku siswa yang berbeda,
dan lain sebagainya.
4) Efek negatif mungkin yang belum terpikirkan adalah, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
sekolah yang diampu dan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada sekolah pengampu. Jika hal
ini terjadi, betapa pemerintah provinsi Jawa Barat tidak menghargai sedikitpun jerih payah yang
selama ini telah dibangun oleh masing-masing sekolah dan yayasan penyelenggara SMK.

b. Jika yang mendasari program tersebut hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan DU/DI tentang
kompetensi lulusan, maka cara yang ditempuh sangat kurang efektif. Hal ini didasarkan pada:

1) Dari beberapa hasil kajian, skill yang dibutuhkan DU/DI adalah 75 sd 85% soft skill, sisanya 15 sd
25% hard skill. Artinya sekolah kecil yang menjadi sasaran sekolah yang diampu sebenarnya tidak ada
kendala yang serius untuk menghasilkan lulusan seperti itu
2) Kompetensi pimpinan sekolah, guru, dan program kerja sekolah yang seharusnya lebih dikuatkan
untuk sekolah-sekolah yang dianggap perlu mendapat perhatian khusus termasuk sarana praktek
siswa
3) Seberapa kemampuan sekolah bahkan pemerintah untuk menyediakan sarana praktek siswa,
sangat jauh dibanding terjadinya percepatan perkembangan teknologi yang ada. Itu artinya yang
harus dilakukan sekolah adalah membekali siswa urusan bassic skill, meliputui cara kerja yang benar,
penggunaan alat dengan benar, memahami dan menerapkan K3, etos kerja yang terpuji, dan sikap
mental menerima dan selalu belajar materi baru. Yang itu semua lebih banyak masuk pada rana soft
skill
4) Pengalaman membuktikan bahwa jarang terjadi sekolah diklaim industri masalah kompetensi
keterampilan alumni yang bejerja di industri. Justru yang sering sekolah mendapat teguran adalah
tidak disiplin, semau gue, malas, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan soft skill. Hal ini
termasuk terhadap tamatan yang belum mendapat tempat kerja, hampir bisa dipastikan urusan soft
skill mereka.
5) Seberapa dashsyatnya perkembangan teknologi dan informasi, termasuk yang kini sedang hangat-
hangatnya menjadi pembahasan yaitu revolusi industri 4.0, pemerintah provinsi khususnya dunia
pendidikan kita tetap tidak boleh hanyut karenanya. Harus tetap mengacu pada tujuan pendidikan
nasional, mengacu pada tuntunan hidup (tuntunan agama) sebagai bangsa yang religius, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa (kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan kinestetik), bukan
mengacu pada tuntutan DU/DI yang berorientasi kapital semata.
6) Realitas peluang kerja yang mengacu pada kompetensi keterampilan yang dipelajari di sekolah
sangat kecil dibanding jumlah lulusan yang ada. Hal ini sangat perlu adanya peta kebutuhan
kompetensi keahlian di DU/DI.
7) Revolusi industri 4.0, justru semakin memperkecil peluang kebutuhan hard skill tenaga kerja,
justru lebih membuka lebar-lebar kebutuhan soft skill.

c. Jika permasalahannya kenapa masih banyak sekolah yang keberadaannya masih di bawah standar,
penyebabnya adalah sebagai berikut:

1) Rasio jumlah SMK (negeri dan swasta) dibanding jumlah siswa sudah terlalu banyak, dan masih
terus bertambah. Sehingga amat banyak sekolah yang tidak bisa berkembang bahkan juga banyak
yang semakin tidak sehat.
2) Pembinaan terhadap sekolah-sekolah kecil, termasuk pemberian bantuan sangat kurang (kecuai
SMK mini di ponpes)
3) Uforia pemberian ijin pendirian SMK oleh kabupaten/kota (sebelum pengelolaan ditarik ke
provinsi sangat tidak terkendali (balas budi sebagai tim pemenangan)
4) Banyak bermunculan mendirikan SMK karena image SMK banyak bantuan (maaf orientasi lebih ke
bisnis)
5) Dibukanya SMA dan MA Double Track dan sejenisnya yang semakin tidak menyehatkan SMK yang
sudah ada.

Jika pemerintah tetap bersikeras untuk mendirikan SMA/SMK/MA Negeri baru di Kabupaten Bogor
maka jelas akan mematikan SMA/SMK/MA Swasta yang ada, yang secara otomatis nantinya akan
menyedot banyak biaya untuk belanja pegawai di lingkungan Provinsi Jawa Barat.

Dikotomi antara Sekolah Negeri dan Swasta begitu juga dengan siswanya, seharusnya sudah tidak
ada, karena Kwalitas SMA/SMK/MA Swasta di Kabupaten Bogor bisa dibilang sangat produktif dan
unggulan tidak kalah dengan SMA/SMK/MA Negeri, terbutik dari banyaknya SMA Swasta menjadi
SMA Penggerak dan SMK Swasta yang mendapatkan CEO dan Pusat Keunggulan (PK) dari Pemerintah
Pusat, bahkan Dirjen Vokasi Kementrian Pendidkan dan Ristek Wikan Sakarinto memberikan
penghargaan kepada beberapa SMK Swasta dan menyempatkan mengunjungi SMK Swasta tersebut,
belum lagi SMK Swasta di Kabupaten Bogor juga menyabet 2 penghargaan dari 6 penghargaan yang
disiapkan oleh Kemendikbudristek.

Pemberlakuan aturan yang setara antara SMA/SMK/MA Negeri dan Swasta khususnya terhadap
perpanjangan ijin operasional sekolah (jika SMA/SMK/MA Negeri tidak perlu melakukan
perpanjangan operasional, maka SMA/SMK/MA Swasta pun diberlakukan aturan yang sama.
Setidaknya: Menyederhanakan baik proses maupun persyaratan perpanjangan ijin operasional dan
atau penambahan program keahlian baru yang dirasa sangat memberatkan sekolah (SMK) swasta.

Salah satu bentuk hadirnya Negara dalam pendidikan bukan hanya dengan mendirikan
SMA/SMK/MA Negeri akan tetapi memberikan bantuan berupa support kepada SMA/SMK/MA
Swasta selain BPOPP untuk SMA/SMK/MA Swasta supaya dipertahankan ataupun ditambah sebagai
bentuk sumbangsih Negara dalan pendidikan perlu juga meningkatkan anggaran hibah daerah
berbentuk swakelolah untuk bantuan Sarpras SMK Swasta (SMK/Pendidikan Vokasi mempunyai
persoalan yang lebih kompleks karena penjurusannya banyak dan ilmu yang diajarkan berupa ilmu
terapan), baik RKB, RPS, HEHAB, PERPUS, TEKNOPARCK, TEFA, ALAT PRAKTEK SISWA, REVITALISASI,
SEKOLAH RUJUKAN, BKK, LSP, ISO, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan peningkatan kwalitas
lulusan SMK di Jawa Barat.

Disisi lain didaerah Jawa Barat “pinggiran” yang belum tersentuh pemerintah masalah pendidikan
seharusnya menjadi konsentrasi pemerintah dalam mengembangkan dan mendirikan lembaga
pendidikan di sana, agar pemerataan pendidikan di Provinsi Jawa Barat bisa merata, kita tahu daerah
seperti Pulau Ra’as, Sapeken dll. di sana perlu akan sentuhan pemerintah secara langsung berupa
pendirian Sekolah Negeri, sehingga SDM di Jawa Barat nantinya bisa merata masalah kesenjangan
pendidikan.

Kalaupun di Kabupaten Bogor ingin didirikan Lembaga Pendidikan maka yang dibutukhan bukanlah
SMA/SMK/MA Negeri melainkan Perguruan Tinggi berbasis Vokasi, baik berupa Politeknik ataupun
Institute Teknik, yang mana di Kabupaten Bogor belum terjamah sama sekali masalah pendidikan
tinggi itu, perlu diketahui bahwa peluang kerja yang sesuai dengan bidang keahlian lulusan SMK itu
relatif sangat kecil, antara 5 sampai 10%, selebihnya hanya memerlukan Based Competency ynng
meliputi sikap kerja, etos kerja, cara kerja yang benar, menggunakan alat yang benar, serta hal-hal
yang berkaitan dengan kesehatan dan kesematan kerja, bisa diartikan perlu adanya pendidikan lanjut
setelah SMK untuk bisa mengangkat SDM di Kabupaten Bogor yang berkualitas lagi bukan hanya
sebagai buruh melainkan sebagai Teknokrat yang handal dalam bidangnya untuk Kabupaten Bogor
dan Jawa Barat lebih Maju ke depannya. 

***
*) Oleh: Mochammad Fuad Nadjib, Kepala SMK Diponegoro Kabupaten Bogor dan Ketua PC
PERGUNU Kabupaten Bogor.

Anda mungkin juga menyukai