Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lengkuas Merah (Alpinia purpurata (Vieill.) K.Schum)

1. Taksonomi

Klasifikasi lengkuas merah (Alpinia purpurata (Vieill.) K. Sch).

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Family : Zingiberaceae

Genus : Alpinia

Species : Alpinia purpurata (Vieill.) K. Sch

Gambar 2. 1 Rimpang Lengkuas Merah (Alpinia purpurata (Vieill.) K. Sch)


Sumber : Dokumentasi Pribadi

7
8

2. Morfologi

Batang pada tanaman lengkuas merah tumbuhnya dalam rumpun

yang cukup rapat dan memiliki tinggi mencapai 2 meter atau lebih.

Batangnya tumbuh dengan tegak serta tersusun dari beberapa pelepah

daun yang bersatu membentuk batang semu yang memiliki warna hijau

agak kemerahan. Seluruh batangnya ditutupi oleh pelepah daun dan tunas

baru keluar dari batangnya yang muda dari pangkal batang yang tua

(Lianah, 2019).

Tanaman lengkuas merah memiliki daun tunggal yang berwarna

hijau, bertangkai pendek serta tersusun secara berseling. Daunnya

berbentuk memanjang seperti lanset dengan ujung agak runcing dan

bagian pangkalnya tumpul serta bagian tepi daunnya cukup rata.

Pertulangan daun tanaman lengkuas memiliki bentuk menyirip dengan

panjang daun sekitar 20 – 60 cm dengan lebar daun mencapai 4 – 5 cm

(Lianah, 2019). Pelepah daunnya memiliki ukuran panjang kurang lebih

15 – 30 beralur dan berwarna hijau. Pelepah daun ini saling menutup dan

membentuk batang semu dengan warna hijau (Dalimartha, 2009).

Bunga pada tanaman lengkuas memiliki bentuk seperti lonceng dan

memiliki bau yang harum, merupakan bunga majemuk dan memiliki

warna putih kehijauan hingga putih kekuningan. Bunga pada tanaman

lengkuas ini berkisar 10 – 30 cm x 5 – 7 cm memiliki tandan yang

bergagang cukup panjang serta ramping dan terletak tegak dibagian

ujung batang.
9

Daging pada tanaman lengkuas memiliki bentuk silindris dengan

diameter sekitar 2 – 4 cm serta memiliki cabang-cabang rimpang yang

cukup tebal dan besar. Bagian luar rimpang memiliki warna coklat

kemerahan dan memiliki sisik berwarna putih atau kemerahan dan

terlihat keras dan mengkilap (Lianah, 2019). Proses pemanenan dapat

dilakukan ketika tanaman telah berumur 10-12 bulan. Cirinya dapat

dilihat ketika daun tanaman sudah mulai layu (Alviani, 2015).

3. Habitat

Umumnya tanaman lengkuas dapat tumbuh pada lahan terbuka

sampai di tempat yang agak terlindung seperto di hutan-hutan, tegalan,

dan pekarangan. Rimpang lengkuas dapat tumbuh pada ketinggian

sampai dengan 1200 m diatas permukaan laut dengan curah hujan 1500 –

2400 mm (Wardana et al., 2002) dan dapat tumbuh dengan baik pada

lahan yang berupa tanah liat yang berpasir, banyak mengandung humus,

beraerasi, subur, gembur, tidak tergenang air, memiliki drainase yang

baik dan banyak mengandung bahan organik (Evizal, 2012).

4. Kandungan Kimia

Kandungan kimia dalam rimpang lengkuas merah diantaranya

terdapat senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin (Kepel et al.,

2020). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kamoda, Lelyana dan

Sugiaman, 2020 mengenai analisis fitokimia ekstrak etanol rimpang

lengkuas merah mengandung senyawa metabolit sekunder berupa

flavonoid, fenol, triterpenoid dan terpenoid. Selanjutnya penelitian oleh


10

Avasthi dkk menunjukkan bahwa lengkuas merah mengandung alkaloid,

fenol, flavonoid, steroid, triterpenoid dan terpenoid.

5. Manfaat

Tanaman lengkuas merah memiliki banyak manfaat sebagai

penggunaan dalam pengobatan tradisional, lengkuas merah umumnya

digunakan untuk mengobati penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur

Neurospora sp, Rhizopus sp dan Penicillum sp (Yuliani et al, 2017).

Penelitian Sundari dan Winarno (2002), menjelaskan ada beberapa

bentuk sediaaan ekstrak lengkuas merah yang dapat menghambat

pertumbuhan dari 5 (lima) jenis jamur, yaitu : Trichophyton rubrum,

Trichophyton mentagrophyton, Trichophyton ajelloi, Mycroporum

gypseum, dan Pityrosporum ovale (Handajani & Tjahjadi,2008). Selain

sebagai antijamur rimpang lengkuas merah dapat digunakan sebagai obat

anti-inflamasi, anti-alergi, antikanker, antibakteri maupun juga

antioksidan (Setiawati et al., 2008).


11

B. Trichophyton rubrum

1. Taksonomi

Berikut adalah taksonomi dari Trichophyton rubrum:

Kingdom : Fungi

Filum : Ascomycota

Kelas : Euascomycetes

Ordo : Onygenales

Famili : Arthodermataceae

Genus : Triehophyton

Spesies : Trichophyton rubrum

Gambar 2. 2 Biakan Jamur Trichophyton rubrum (Ellis et al., 2007).

2. Morfologi

Trichophyton rubrum merupakan jamur patogenik yang bersifat

antrofilik dimana dapat menginfeksi rambut, kulit dan kuku.

Pertumbuhan koloni jamur Trichophyton rubrum bersifat lambat yaitu

sekitar 2-3 minggu. Koloni berwarna putih seperti bludur, ditutupi aireal

miselium, dan jika dilihat pada sisi sebaliknya akan terlihat pigmen

merah (Farihatun et al., 2018).


12

Beberapa strain pada Trichophyton rubrum menunjukan spektrum

karakter yang dapat dikelompokan ke dalam 2 bagian yaitu :

Trichophyton rubrum tipe granuler dan Trichophyton rubrum berbulu

halus. Trichophyton rubrum tipe granuler memiliki karakteristik yaitu

berupa produksi mikrokonidia dan makrokonidia yang jumlahnya sangat

banyak. Makrokonidia berbentuk seperti cerutu dan berdinding tipis

sedangkan Mikrokonidia berbentuk pyriform dan clavate. Sedangkan

Trichophyton rubrum berbulu halus memiliki karakteristik yaitu tidak

memiliki makrokonidia dan memiliki produksi mikrokonidia dengan

jumlah yang sedikit, halus, tipis, kecil. Trichophyton rubrum tipe

granuler biasanya menyebakan penyakit tinea korporis sedangkan

Trichophyton rubrum berbulu halus adalah spektrum karekter jamur yang

banyak menyebabkan tinea pedis (Ellis et al., 2007).

Struktur Trichophyton rubrum memilki dinding sel,membran sel,

nukleus, mitokondria, liposom, retikulum endoplasma yang tersebar,

myeloid bodies dan ribosom. Pemeriksaan struktur sel biasa dilakukan

dengan transmission electron microscopy (TEM).

3. Habitat

Trichophyton merupakan jamur dermatofita. Dermatofita dibedakan

menjadi tiga berdasarkan habitat aslinya, yaitu antropofilik, zoofilik, dan

geofilik. Trichophyton rubrum termasuk dalam kategori jamur

antropofilik yang dapat menyebabkan penyakit kronis (Richardson,

2012).
13

4. Patogenesis

Trichophyton rubrum dapat berkembang pada lapisan epidermis

dengan enzim protease, keratinase dan katalase. Selain itu, jamur patogen

ini juga memproduksi enzim hidrolitikk, yaitu fosfatase, super oksid

dismutase, asam lemak jenuh dan lipase. Setelah menginvasi sel keratin

Trichophyton rubrum menerobos ke dalam epidermis dan selanjutnya

akan menimbulkan reaksi inflamasi ataupun peradangan. Reaksi

peradangan tersebut timbul akibat adanya Trichophyton rubrum yang

berada di daerah kutan, seperti pada lapisan kulit yang meliputi stratum

basale hingga stratum korneum (Hadiloekito, 2007).

Tanda-tanda umum dari reaksi inflamasi ialah kemerahan,

pembengkakan, panas dan alopesia yang dapat terlihat di lokasi infeksi.

Biasanya penyebab inflamasi adalah karena adanya kontaminasi daerah

yang belum terinfeksi dari lokasi yang terinfeksi. Pepindahan patogen ini

yang menyebabkan bentukan lesi seperti cincin atau biasa yang biasanya

disebut tinea (Lakshmipathy & Kannabiran, 2010) Berikut beberapa

manifestasi klinik yang sebabkan oleh infeksi jamur Trichophyton

rubrum :

a. Tinea korporis

Tinea korporis ialah jamur dermatofitosis pada kulit tubuh dan tidak

berambut (glabrous skin). Keadaan klinis dari Tinea korporis yang

dapat dilihat ialah lesi bulat atau lonjong, telihat adanya batas terdiri
14

dari atas skuama, eritema, kadang dengan lesi papu dan vesikel di

tepi (Widaty & Budimulja, 2015).

b. Tinea kapitis

Tinea kapitis merupakan kelainan pada kepala dan kulit ditandai

dengan adanya lesi bersisik, kemerahan, alopesia, dan kadang terjadi

gambaran klinis yang lebih berat (kerion) (Widaty & Budimulja,

2015).

c. Tinea unguinum

Tinea unguinum merupakan kelainan kuku yang disebabkan oleh

jamur dermtofita, ditandai dengan kuku yang menebal, warnanya

hilang , tidak mengkilap dan mudah patah (Widaty & Budimulja,

2015).

d. Tinea kruris

Tinea kruris biasanya menimbulkan area lesi mencakup pada lipatan

paha, daerah perineum dan sekitar anus. Terdapat lesi yang berbatas

tegas dengan tanda radang di tepi dan tengah cenderung menyembuh

(Widaty & Budimulja, 2015).

e. Tinea pedis

Tinea pedis biasnya menimbulkan area lesi yang mencangkup pada

sela-sela jari kaki dan telapak kaki. Sering dilihat ialah diantara jari

IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.kelainan

ini dapat meluas kebawah jari hingga kesela jari lainnya (Widaty &

Budimulja, 2015).
15

5. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk pemeriksaan

penunjang dalam menegakkan diagnosis dermatofitosis salah satunya

dapat dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik langsung yaitu dengan

menggunakan KOH 10-20%. Terlihat hifa bersepta dan bercabang tanpa

penyempitan dalam pemeriksaan mikrokopis langsung pada sediaan

KOH. Adanya hifa pada sediaan mikroskopis dengan menggunakan

potasium hidroksida (KOH) dapat memastikan terjadi diagnosis

dermatofitosis. Pemeriksaan mikroskopik sediaan langsung KOH

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah serta hasil negatif

palsu sekitar l5%- 30% (Laksono, 2020).

Pemeriksaan mikroskopik dengan cara langsung untuk

mengidentifikasi struktur jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana,

terjangkau dan telah digunakan secara luas sebagai teknik skrining awal.

Teknik ini memiliki sensitivitas hingga 40% dan spesifisitas hingga 70%

(Tanti Yossela, 2015).

Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik

namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitifitas

yang rendah, harga lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada

kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur

perlu dilakukan untuk penentuan spesiesnya karena pada sediaan

langsung semua spesies dermatofita tampak identik.


16

6. Pengobatan

Pengobatan untuk jamur penyebab dermatofitosis dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu dengan cara alami dan dengan cara kimia.

Pengobatan dengan cara alami dapat dilakukan dengan tumbuhan alami

seperti salah satunya adalah dengan menggunakan lengkuas merah

(Alpinia purpurata K Schum) (Nst, Susanti dan Rahman, 2013).

Pengobatan secara kimia farmakologi untuk lesi terbatas dapat diberikan

pengobatan antifungal topikal seperti krim terbinafine, klotrimazol,

mikonazol (Mala, 2020).

Krim antifungal diberikan hingga lesi hilang kemudian dilanjutkan

selama 1-2 minggu untuk mencegah kekambuhan. Sedangkan pada lesi

yang luas, dapat diberikan pengobatan sistemik dengan griseofulvin dosis

0,5-1 gram per hari untuk orang dewasa dan 10-25 mg/kgBB/hari dalam

dua dosis terbagi pada anak-anak. Kasus resisten terhadap griseofulvin,

golongan azol dapat dijadikan pilihan terapi, seperti ketokonazol 200

mg/hari, atau itrakonazol 100 mg/hari. Terbinafine juga dapat dijadikan

pilihan terapi dengan dosis 250 mg/hari (Mala, 2020).

Pengobatan dilakukan dalam waktu 10-14 hari (IDI., 2017) Selain

pengobatan kimia farmakologi, penderita juga harus menjaga kebersihan

diri dan tidak memakai pakaian yang tidak menyerap maupun terlalu

ketat. Pengobatan farmakologi perlu dipatuhi untuk mencegah terjadinya

resistensi obat (Perdoski., 2017).


17

7. Media Pertumbuhan Jamur

Sabouraud Dextrose Agar (SDA) ialah media digunakan untuk

budidaya jamur patogen & komensal dan ragi. SDA sangat baik untuk

isolasi jamur dermatofitas. Media SDA digunakan untuk menentukan

kandungan mikroba dalam evaluasi mikologi makanan, kosmetik dan

secara klinis membantu dalam diagnosis jamur dan ragi penyebab

infeksi. Intisari enzimatik kasein dan intisari enzimatik dari jaringan

hewan menyediakannnitrogen dan sumber vitamin yang diperlukan untuk

pertumbuhan organisme (Murray, 2014).

C. Ekstraksi

Proses penarikan senyawa dalam suatu bahan sehingga terpisah dari

bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair disebut ekstraksi. Zat atau

senyawa yang terlarut tersebut merupakan zat aktif dari dalam sel. Tujuan

dari ekstraksi adalah menarik senyawa - senyawa aktif yang terdapat dalam

bahan alam tersebut (Utomo, S 2016).

Pemilihan untuk metode ekstraksi tersebut tergantung dari sifat bahan

maupun senyawa kandungan bahan yang akan diisolasi (Mukhriani, 2014).

Biasanya metode yang paling banyak digunakan adalah dengan maserasi.

Metode maserasi dilakukan dengan memasukkan tanaman yang sebelumnya

telah dilakukan pengeringan menggunakan oven dan dihaluskan. Serbuk

tanaman dan pelarut yang digunakan harus disesuaikan kemudian

dimasukkan ke dalam wadah maserasi dan dihomogenkan, wadah yang

digunakan tertutup rapat dan diletakkan pada suhu kamar. Ketika tercapai
18

kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi

dalam sel tanaman, proses ekstraksi akan dihentikan selanjutnya dilakukan

penyaringan untuk memisahkan antara pelarut dan sampel.

Ekstraksi menggunakan pelarut berdasarkan pada sifat kepolaran zat

dalam pelarut saat ekstraksi. Senyawa non polar hanya akan larut pada pelarut

non polar, seperti kloroform, eter dan n-heksana. Sedangkan senyawa polar

hanya akan larut pada pelarut polar, seperti butanol, metanol, etanol, dan air.

(Gritter et al., 1991).

1. Jenis – Jenis Pelarut

Pelarut merupakan suatu zat yang dapat melarutkan zat terlarut (cairan,

padat atau gas yang berbeda secara kimiawi) sehingga nantinya didapatkan

hasil akhir yang berupa larutan . Biasanya pelarut berupa cairan tetapi juga

bisa menjadi gas, padat, atau fluida superkritis. Air dan bahan kimia

organik yang mengandung karbon merupakan contoh pelarut yang

digunakan dalam kehidupan sehari – hari. Pelarut yang digunakan untuk

ekstraksi dapat berpengaruh terhadap senyawa yang akan diekstrak.

Beberapa pelarut yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi adalah:

a. Etanol

Etanol atau alkohol (C2H5OH) adalah cairan tak berwarna yang

mudah menguap dengan aroma yang khas. Etanol jika terbakar tidak

ada asap dan memiliki lidah api yang berwarna biru, kadang-kadang

tidak terlihat pada cahaya biasa. Etanol adalah pelarut yang serbaguna,

larut dalam air dan pelarut organik lainnya (Stahl, 1985).


19

b. Kloroform

Kloroform (CHCl3) merupakan salah satu senyawa haloform yang

mudah menguap, tidak berwarna. Produksi senyawa ini melalui proses

klorinasi metana atau haloform dan digunakan sebagai pelarut atau

bahan dasar untuk membuat senyawa lainnya (Daintith, 1994).

c. Heksana

Heksana (CH3(CH2)4CH3) adalah pelarut petroleum yang mudah

menguap. Heksana memiliki ikatan tunggal dan kovalen sehingga

menyebabkan n-heksana tidak reaktif. Heksana mempunyai

karakteristik sangat tidak polar dan dapat dengan mudah diuapkan,

tidak higroskopis, dan memiliki toksisitas rendah. (Daintith, 1994).

d. Etil Asetat

Etil asetat (C2H5COOH) merupakan senyawa turunan steroid yang

memiliki berat molekul 72,08 g/mol. Pelarut ini bersifat semi-polar

(Daintith, 1994). Etil asetat merupakan pelarut polar menengah yang

mudah menguap, tidak higroskopis, dan tidak beracun. Etil asetat dapat

melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8%

pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih

tinggi. Namun, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung

basa atau asam (Stahl, 1985).


20

D. KLT

Kromatografi lapis tipis KLT (thin layer chromatoghraphy, TLC) adalah

suatu metode analisis yang diguakan untuk memisahkan suatu campuran

senyawa secara cepat dan sederhana. Metode ini termasuk kedalam

kromatografi cair- padat. Prinsip pemisahan pada KLT didasarkan atas

adsorpsi senyawa – senyawa oleh fasa diam dan fasa gerak. Pemisahan dapat

terjadi akibat perbedaan kepolaran antara senyawa – senyawa dalam campuran

dengan fasa diam dan fasa gerak. Perbedaan kepolaran inilah yang

menyebabkan terjadinya pemisahan yang diamati melalui tampaknya bercak

atau noda (Hikmawati, H., 2018).

E. Uji Bioautografi

Uji bioautografi merupakan uji spesifik untuk mendeteksi bercak pada

kromatogram hasil KLT (Kromatografi Lapis Tipis) yang memiliki aktivitas

antibakteri, antifungi dan antivirus, sehingga mendekatkan metode separasi

dengan uji biologis (Hikmawati, H., 2018).

Ada tiga macam metode KLT-bioautografi yaitu (Kusumaningtyas,

Astuti dan Darmono, 2008) :

1. Bioautografi langsung

Metode ini dilakukan dengan menyentuhkan plat KLT pada permukaan

media agar yang telah ditanami mikroorganisme atau dengan

menyemprotkan plat KLT dengan suspensi mikroorganisme. Kemudian

diinkubasi pada waktu tertentu, setelah diinkubasi letak senyawa aktif

tampak sebagai daerah jernih dengan latar keruh.


21

2. Bioautografi overlay

Metode ini dilakukan dengan menuangkan media agar yang telah

dicampur dengan mikroorganisme di atas permukaan plat KLT, media

ditunggu hingga padat, kemudian diinkubasi. Area hambatan yang

terbentuk dapat dilihat dengan penyemprotan menggunakan tetrazolium

klorida dan akan tampak sebagai area jernih dengan latar belakang ungu

yang merupakan senyawa aktif sebagai antimikroba.

3. Bioautografi kontak

Metode ini dilakukan dengan cara memindahkan antimikroba dari

lempeng KLT ke medium agar yang telah diinokulasikan bakteri uji

secara merata dan melakukan kontak langsung. Nutrien Agar yang telah

padat diletakkan lempeng kromatogram diatasnya. Setelah 15-30 menit,

dipindahkan lempeng kromatografi dari permukaan medium. Senyawa

antimikroba yang berdifusi dari lempeng kromatogram ke dalam media

agar akan menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi pada

waktu dan suhu yang tepat sampai noda yang menghambat pertumbuhan

mikroorganisme uji tampak membentuk zona yang jernih.

F. Uji Aktivitas Antimikroba

Prinsip dari metode difusi adalah terdifusinya senyawa antimikroba ke

dalam media padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Metode difusi dapat

dilakukan dengan cara sumuran atau cakram. Metode difusi sumuran

dilakukan dengan membuat sumuran dengan diameter tertentu pada media

agar yang sudah ditanami mikroba. Diinokulasikan antibiotik ke dalam


22

sumuran tersebut dan diinkubasi. Zona bening yang terbentuk di sekitar

sumuran atau cakram merupakan indikator menghambatnya antibiotik

terhadap pertumbuhan mikroba. Selanjutnya metode difusi cakram, kertas

cakram yang mengandung antibiotik diletakkan di atas media yang telah

mengandung mikroba, kemudian diinkubasi dan dibaca hasilnya berdasarkan

kemampuan penghambatan mikroba di sekitar kertas cakram.

Metode pengujian berikutnya adalah dengan metode dilusi. Metode ini

dibedakan menjadi 2 yaitu metode dilusi cair dan metode dilusi padat.

Metode dilusi cair, dapat menentukan minimum inhibitory concentration

(MIC) atau kadar hambat minimum (KHM) dan minimum bacterial

concentration (MBC) atau kadar bunuh minimum (KBM). Larutan uji

antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih ditetapkan sebagai KHM.

Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut dikultur kembali pada media

cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, kemudian

diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah

diinkubasi ditetapkan sebagai KBM. Metode dilusi padat dengan metode

dilusi cair serupa namun pada metode dilusi padat menggunakan media padat

(solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba

yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba (Yusmaniar,

Wardiyah dan Nida, 2017).


23

G. Landasan Teori

Lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum) Indonesia merupakan

negara yang terkenal dengan keanekaragaman tanaman hayati terutama hasil

pertanian dan rempah-rempahnya. Salah satu jenis tanaman rempah-rempah

yang terdapat di Indonesia yaitu lengkuas atau biasa dikenal dengan sebutan

laos. Umumnya masyarakat menggunakan lengkuas sebagai campuran bumbu

masak dan pengobatan. Lengkuas memiliki macam variasi yaitu lengkuas

merah (Alpinia pupurata K. Schum) dan lengkuas putih (Alpinia Galanga L.

Swartz). Lengkuas merah (Alpinia pupurata K. Schum) banyak digunakan

sebagai pengobatan herbal sedangkan lengkuas putih (Alpinia Galanga L.

Swartz) banyak digunakan sebagai rempah atau bumbu dapur. (Rondang

Tambun et al., 2017).

Trichophyton rubrum merupakan jamur dermatofita yang termasuk

dalam kategori jamur antropofilik dan sering menyebabkan penyakit kronis

(Richardson, 2012). Trichophyton rubrum merupakan jamur patogenik yang

bersifat antrofilik dimana dapat menginfeksi rambut, kulit dan kuku

(Khusnul, 2017).

Ekstraksi dalam penelitian ini menggunakan metode maserasi dengan

pelarut etanol karena beberapa kandungan senyawa kimia rimpang lengkuas

merah bersifat polar dan nonpolar seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan

tannin sehingga kandungan zat aktif yang larut dalam etanol tersebut akan

tersari dengan baik (Kepel et al., 2020).


24

Uji bioautografi merupakan uji spesifik untuk mendeteksi bercak pada

kromatogram hasil KLT (Kromatografi Lapis Tipis) yang memiliki aktivitas

antibakteri, antifungi dan antivirus, sehingga mendekatkan metode separasi

dengan uji biologis. Kerugian dari metode ini tidak dapat digunakan untuk

menentukan KHM dan KBM sedangkan keuntungan metode ini adalah

sifatnya efisisen untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak

bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks

sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut. Terdapat

tiga macam metode KLT-bioautografi yaitu bioautografi langsung,

bioautografi overlay dan bioautografi kontak (Kusumaningtyas, Astuti dan

Darmono, 2008).
25

H. Kerangka Teori

Rimpang Lengkuas Merah


(Alpinia purpurata K. Schum)

Cairan Pelarut
- Heksana
Maserasi Ekstraksi - Kloroform
- Etil Asetat
- Etanol

Jamur Trichophyton rubrum

Uji Aktivitas Antijamur

Uji Bioautografi Overlay Uji Dilusi


KHM (Konsentrasi Hambat Minimum)
KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum)

Gambar 2.3 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai