Anda di halaman 1dari 100

i

Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat


Kajang dalam Memanfaatkan
Hutan dan Hasil Hutan
M. Asar Said Mahbub, Tamzil Ibrahim, Nurhikmah, Asrianny

Penerbit:

Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin

i
Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kajang dalam
Memanfaatkan Hutan dan Hasil Hutan
Penulis
M. Asar Said Mahbub; Tamzil Ibrahim; Nurhikmah; Asrianny

Editor
M. Asar Said Mahbub

Penerbit
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

Alamat Redaksi & Editorial


Kampus Tamalanrea, Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10. Makassar, 90245
Telp. (0411) 589592, Fax. (0411) 589592
www.unhas.ac.id/fahutan

Hak cipta dilindungi undang-undang


All right reserved

Cetakan I : Januari 2018

ISBN: 978-602-97683-6-7

ii
KATA PENGANTAR

Pengetahuan lokal empiris banyak berserakan di tanah air


kita. Bahkan banyak khasanah pengetahuan lokal itu merupakan
dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern yang
semakin mempermudah kehidupan manusia.
Sebagai sebuah pengetahuan, pengetahuan lokal bertradisi
lisan maupun lisan. Tradisi tulisan banyak diabadikan oleh berbagai
suku bangsa di Indonesia, terutama yang memiliki aksara
sedangkan suku bangsa yang tidak memiliki aksara
mengembangkannya dengan tradisi lisan. Tradisi lisan rentan
mengalami kepunahan seiring dengan wafatnya penutur maupun
terjadinya migrasi. Jika pewarisan transgenerasi dari tradisi lisan ini
terputus, maka khasanah pengetahuan lokal yang amat berharga itu
akan ikut punah.
Buku kecil ini menghimpun "sedikit" pengetahuan lokal
Masyarakat Adat Kajang yang bermukim di Desa Tana Toa,
Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Pengetahuan lokal dalam memanfaatkan hutan dan hasil hutan
menggambarkan aneka kearifan yang dipakai oleh masyarakat
sehingga mampu untuk tetap memanfaatkannya sekaligus
melestarikannya.
Semoga buku kecil ini memberi manfaat seperti yang
terharap.

Tim Penulis

iii
HALAMAN SAMPUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. iii
ISI BUKU ................................................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. vi

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1


A. Latar Belakang Penelitian ............................................................... 1
B. Luaran dan Dampak Penelitian ..................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 5

BAB III. RENCANA PENELITIAN ........................................................ 8


A. Pendekatan dan Jenis Penelitian .................................................... 8
B. Pengelolaan Peran Peneliti ............................................................. 9
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 9
D. Penentuan Informan dan Sampel Penelitian ............................... 10
E. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 10
F. Metode Analisis ............................................................................ 13
G. Tim Peneliti dan Manajemen Penelitian ...................................... 14
H. Modalitas Pendukung Penelitian ................................................. 15
BAB IV. HASIL PENELITIAN .............................................................. 16
A. Pengetahuan Lokal Dalam Pemanfaatan Kawasan Hutan ......... 16
1. Pengetahuan Tentang Zonasi Kawasan Hutan ......................... 16
2. Pengetahuan Hidrologi................................................................ 22
3. Pengetahuan Gejala-gejala alam, iklim, dan Bercocok tanam ….. 23
4. Pengetahuan Tentang Pantangan-pantangan (Kasipalli’).......... 34
5. Pengetahuan Tentang Keanekaragaman Hayati ........................ 41
6. Pengetahuan Pengelolaan Sawah ............................................... 45

B. Pengetahuan Lokal Dalam Pemanfaatan Hasil Hutan ............. 63


1. Pengetahuan Lokal Pemanfaatan Hasil Hutanuntuk Ramuan
Rumah .......................................................................................... 63
2. Pengetahuan Lokal Pemanfaatan Hasil Hutan
Untuk Pembuatan Sandang ......................................................... 76
3. Pengetahuan Lokal Tentang Obat-obatan .................................. 77
iv
C. Upaya Pelestarian Pengetahuan Lokal ....................................... 80

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 82


A. Kesimpulan.................................................................................. 82
B. Saran ............................................................................................ 82

DAFTAR PUSTAKA......………………………………………. 83
INDEKS ………………………………………………………… 85

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Layaknya sebuah rumah panggung Bugis Makassar, buku


kecil ini dapat lahir dan sampai ke tangan pembaca karena disusun
oleh aneka unsur, semua unsur itu bersinergi mewujudkan
bangunan itu hingga utuh. Penunjang keutuhan itu layak untuk
mendapatkan penghargaan. Karena itulah pada tempatnya tim
penulis menghaturkan terima kasih.
Kepada Ammatowa Puto Palasa, pemimpin masyarakat
adat Kajang yang telah memberikan wawasan, pengetahuan dan
informasi yang sangat berharga, seluruh masyarakat adat Kajang
yang turut membantu dalam pengkajian data dan pengetahuan,
demikian pula Sanro Kajang yang telah mengajarkan tata cara dalam
pengobatan serta wawasan pengobatan yang sangat berharga.
Kepada bapak Amir Tonna sekeluarga yang sudi
membantu tim dalam penelusuran informasi, responden dan
penyediaan dukungan kemudahan. Juga kepada saudari Nurlaela
Burhanuddin, Istiqamah Khalid dan Nurhikmah Usbar yang telah
membantu pelaksanaan riset ini.
Terima kasih tak terhingga kami haturkan kepada Ketua
LP2M UNHAS Prof. Dr. Laode Asrul, MP, Prof.Dr.Yusran Jusuf,
S.Hut.M.Si, IPP, selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana
dalam melaksanakan riset ini, juga kepada Dr.Forest M.Alif, K.S,
S.Hut.M.Si dan Nasri, S.Hut.M.Hut, yang telah membantu dalam
penerbitan buku kecil ini.

vi
A. Latar Belakang Penelitian

Akhir-akhir ini sudah mulai terjadi pergeseran dari


paradigma yang berpusat pada pemerintah ke paradigma yang lebih
memberikan ruang bagi masyarakat dan pihak lain untuk bekerja
bersama dan berperan setara dalam mengelola hutan. Dorongan
pergeseran itu semakin kuat akibat praktik-praktik pembangunan
termasuk pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia, dinilai tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Paradigma baru tersebut
mengandung misi untuk menjawab masalah tersebut dengan
memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari, produktif, efisien,
dan adil.
Sistem pengelolaan dengan paradigma pengelolaan hutan
berbasis masyarakat dan pegelolaan hutan multipihak mampu
mengakomodasi kepentingan dan partisipasi masyarakat lokal,
memberikan penghargaan terhadap kearifan lokal atau sistem
pengelolaan yang sebelumnya sudah dipergunakan masyarakat.
Untuk mengembangkan model pengelolaan berbasis masyarakat
dibutuhkan langkah untuk menggali potensi pengetahuan lokal atau
kecerdasan lokal, lebih utama adalah memberi ruang bagi
masyarakat sebagai bentuk partisipasi dalam memperbaiki diri.
Pengetahuan lokal sangat penting bagi masyarakat
setempat. Ali (1993) mengemukakan bahwa sistem pengetahuan
lokal meliputi segala keterampilan, seni, teknologi, taksonomi,
skema, etika dan kepercayaan yang digunakan manusia untuk
mengelola lingkungannya (alam dan sosial) sehingga kebutuhan
kolektif mereka dapat terpenuhi. Sedangkan Pengetahuan lokal atau

1
yang biasa disebut dengan kearifan lokal pada umumnya hadir dan
berkembang pada masyarakat adat baik yang bermukim di dalam
maupun di sekitar hutan. Kearifan (wisdom) adalah buah dari
pengetahuan (knowledge) dan pengetahuan dihasilkan dari persepsi
manusia tentang dunianya melalui penangkapannya dengan
menggunakan indera ataupun intuisi (Geertz, 1983).
Pengetahuan lokal merupakan kekayaan nasional yang
sangat berharga. Pengetahuan ini memberikan informasi yang
detail mengenai keadaan suatu daerah/wilayah. Pengguna
pengetahuan lokal dapat membantu dalam pembuatan peta
wilayah beserta potensinya yang merupakan informasi berharga
bagi perencana pembangunan dan yang paling utama pengetahuan
lokal bersifat adaptif terhadap lingkungan.
Secara umum kearifan lokal di beberapa tempat di
Indonesia masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat dan
masih bertahan hingga saat ini, beberapa alasan yang mendasarinya
adalah mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai
kemampuan mengendalikan, serta mampu memberi arah dan
perkembangan budaya.
Universitas Hasanuddin memposisikan dirinya menjadi
pusat rujukan dan unggulan pengetahuan utamanya pengetahuan
benua maritim. Posisi yang penting dan strategis tersebut
memerlukan berbagai masukan melalui berbagai kajian dalam rangka
menemukan dan mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan lo kal
yang bersifat adaptif merupakan salah satu elemen penting dalam
mengemban misi UNHAS sebagai perguruan tinggi yang
mengedepankan kearifan lokal.
Salah satu daerah yang masih mempertahankan aturan –
aturan adat dalam mengelola hutan adalah Masyarakat Adat Kajang
yang terdapat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka
mengembangkan aturan-aturan adat yang mengatur pemanfaatan
hutan dengan sistem sentralistik yang berpusat di bawah
kepemimpinan ketua adat yang disebut Ammatoa.
Secara umum penelitian-penelitian yang telah dilakukan
terhadap Masyarakat Adat Kajang adalah mengungkap berbagai
2
kasus tradisionalitas masyarakatnya dan menjaga kelestarian
lingkungan hidupnya dengan memberikan penekanan pada aspek-
aspek tertentu sesuai disiplin ilmu atau sudut pandang penulisnya
masing-masing.
Cense pada tahun 1931, melakukan penelitian dengan
menekankan perhatian pada konsep-konsep keagamaan dan
kepercayaan komunitas Ammatoa dan berbagai upacara-upacara
yang dilakukan pada masa lampau, sejarah awal mula Ammatoa
dan silsilahnya serta adat istiadatnya. Lain halnya yang
dikemukakan oleh Mattulada, meneliti pada tahun 1964 yang
menekankan pada aspek kultural Masyarakat Adat Kajang.
Menurutnya nilai-nilai kultural yang ada dan dianut oleh
Masyarakat Adat Kajang tercermin dalam pola-pola pengetahuan,
sikap dan perilaku warga masyarakat yang diwariskan turun
temurun ke dalam Pasang. Pasang ini berfungsi sebagai tiang
penyangga yang mengatur, mengikat dan menuntun tata kehidupan
masyarakat Ammatoa. Selanjutnya Sallatang pada tahun 1965,
memberi penekanan pada implementasi Pasang dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, menurutnya Pasang tidak hanya diyakini
sebagai warisan leluhur yang harus dipegang teguh tetapi lebih dari
itu, untuk mengarahkan sikap dan perilaku masyarakat dalam
melakukan hubungan dengan Tuhan (Turie'a A'ra'na), sesama
manusia dan alam.
Masyarakat Adat Kajang menganut tradisi lisan dalam
penyampaian berbagai kebijakan, pengetahuan dan aturan-aturan
kehidupan yang tercakup di dalam Pasang ri Kajang (pesan-pesan
leluhur yang harus dipatuhi masyarakat). Pengetahuan lokal yang
diwariskan transgenerasi memiliki kelemahan yakni dapat
hilang/musnah seiring dengan wafatnya penutur atau terjadi
migrasi. Jika pewarisan tradisi lisan transgenerasi ini terputus maka
khasanah pengetahuan lokal yang berharga ini dapat hilang. Karena
itulah diperlukan adanya kajian pengetahuan lokal ini untuk
kemudian dilestarikan dalam bentuk kumpulan tulisan yang dapat
dijadikan acuan berharga bagi para pihak.

3
b. Luaran dan Dampak Penelitian

Penelitian ini akan mengungkap pengetahuan lokal


Masyarakat Adat Kajang dalam memanfaatkan kawasan hutan dan
memanfaatkan hasil hutan. Hasil penelitian ini akan dalam jangka
pendek akan dihasilkan produk buku referensi pengetahuan lokal
Masyarakat Adat Kajang dalam memanfaatkan kawasan hutan dan
hasil hutan, sedangkan dalam jangka panjang akan menjadi referensi
berharga yang spesifik bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam pengelolaan kawasan hutan dan pemberdayaan
yang berbasis masyarakat.

4
BAB II

Beberapa masyarakat adat yang bermukim di dalam


maupun di sekitar hutan telah mempraktikkan turun temurun
pengetahuan lokal untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan
hutan. Kenyataan ini telah dipraktikkan oleh masyarakat Dayak
Benuaq di Kalimantan Timur. Masyarakat Krui di Lampung Barat
dengan Khepong Damarnya, yang mengelola lahan dengan suatu
sistem pengelolaan tanaman perkebunan yang ekosistemnya
merupakan hamparan tanaman yang membentuk suatu hutan
(Karizal, dkk., 2002). Orang Tolaki Kendari dengan konsep
Monda’u’nya, melakukan suatu bentuk usaha perladangan
berpindah (shifting cultivation) untuk keperluan penanaman
berbagai jenis tanaman (Taridala dan Adijaya, 2002). Pengelolaan
lahan hutan berbasis pengetahuan lokal seperti tersebut di atas,
dianggap sebagai bagian dari kearifan ekologi dan mengandung
nilai budaya dalam pengelolaan lingkungan.
Pengembangan bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat
adat selain dapat memenuhi kebutuhan konsumsi kayu juga
mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting untuk mendukung
kehidupan (life support system). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 70% konsumsi kayu pertukangan dan 90% konsumsi kayu
bakar di Pulau Jawa berasal dari hutan rakyat (Institut Pertanian
Bogor, 1990). Besaran suplai kayu dari hutan rakyat di Sulawesi
Selatan rata-rata sebesar 43.560 m3/tahun atau sebesar 12% dari total
produksi kayu bulat Sulawesi Selatan (Universitas Hasanuddin,
2000).
Massang (1973) menekankan penelitiannya pada
perkembangan Patuntung dan implementasinya dalam kehidupan
Masyarakat Adat Kajang. Berbeda halnya yang dikemukakan oleh
K.M.A. Usop (1978) yang menekankan pada kelestarian Pasang yang
menjadi sumber ajaran komunitas tersebut. Usop juga berjasa dalam

5
menginventarisasi sejumlah Pasang ri Kajang dari penuturan
berbagai tokoh dan warga komunitas Ammatoa. Selanjutnya
berbagai paper, serta studi-studi penelitian lain silih berganti untuk
mengkaji Masyarakat Adat Kajang, diantaranya adalah: Abd. Gaffar
Lureng (1980) yang mengkaji Pasang ri Kajang dari sudut pandang
Antropologi, Padulung (1982) yang mengkaji upaya-upaya
pelestarian upacara tradisional masyarakat Kajang, Mas Alim Katu
(1980) yang mengkaji dari sudut pandang sosial budaya serta
Tasawuf Kajang (2005), Samiang Katu (2000) dengan Kajian tentang
akomodasi Islam dengan budaya lokal di Sulawesi selatan, serta
Danang Wahyu Utomo (2005) yang mengkaji tentang pengaruh
religi dan lingkungan terhadap pola pemukiman Masyarakat Adat
Kajang.
Penelitian dari disiplin ilmu kehutanan juga telah beberapa kali
dilakukan diantaranya: Zoraya (2002) menekankan penelitian
pada sistem pengelolaan hutan adat dan Syam (2004) yang
menekankan penelitian pada pranata sosial pengelolaan hutan adat,
sedangkan Sinohaji (2004) menekankan penelitian pada kearifan
Masyarakat Adat Kajang dalam pengelolaan hutan, sedangkan
Mahbub (2013) mengkaji dialektika pengetahuan lokal dan non lokal
Masyarakat Adat Kajang, namun penelitian ini masih terbatas pada
pengungkapan beberapa pengetahuan lokal yang sifatnya umum,
belum menyentuh kepada tatanan pengetahuan lokal secara
mendalam dalam memanfaatkan kawasan hutan dan hasil hutan.
Saleh (1993) menguraikan bahwa sistem pengetahuan indigenous
(SPI) mempunyai potensi yang besar untuk berperan lebih banyak
dalam proses pembangunan, namun terdapat beberapa kendala
yakni: sikap negatif dari orang luar, belum adanya penghargaan
terhadap pengetahuan tersebut, belum dibukanya secara luas
pengetahuan lokal ini. Karena itu diperlukan beberapa srategi
yakni: dukungan kelembagaan, meningkatkan keterkaitan
akademis, mengikutsertakan SPI dalam kurikulum perguruan
tinggi, memperluas interaksi antara birokrasi dengan sistem
indigenous, menutup gap antara ahli pengetahuan moderen dengan
pengetahuan indigenous, serta beberapa upaya lainnya. Diperlukan
kajian-kajian untuk menginventarisasi pengetahuan-pengetahuan

6
lokal di beberapa tempat utamanya pada masyarakat adat, sebagian
besar dari komunitas adat ini berdiam di dalam dan di sekitar hutan.
Road Map penelitian pada Laboratorium Kebijakan dan
Kewirausahaan Kehutanan Fakultas Kehutanan UNHAS khususnya
pada minat Sosial Kehutanan mencantumkan kajian pengetahuan
lokal masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk dilakukan
pada tahun 2017. Karena itulah penelitian ini akan memperkaya
khasanah pengetahuan lokal khususnya pengetahuan lokal dalam
memanfaatkan kawasan hutan dan hasil hutan.

7
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah


pendekatan kualitatif dengan tujuan menguraikan dan memberikan
penjelasan (eksplanasi), memberikan pemahaman yang bersifat
menyeluruh (komprehensif) dan mendalam (in-depth) tentang
pengetahuan lokal Masyarakat Adat Kajang. Penelitian ini mengacu
pada teori fungsi dengan menggunakan pendekatan sistem yang
menggambarkan secara fungsional komponen-komponen dalam
sistem pengetahuan lokal dalam memanfaatkan kawasan hutan dan
hasil hutan. Teori fungsional memandang bahwa setiap elemen
dalam sistem masing-masing memiliki fungsi dan peranan yang
terkait antara satu dengan lainnya, sehingga perubahan satu elemen
dalam sistem akan mempengaruhi elemen lainnya dan perubahan
tersebut akan menghasilkan suatu proses adaptif untuk menjaga
keberlangsungan sistem. Karena itulah keterkaitan antara satu
pengetahuan lokal dengan yang lain akan dikaji relasinya.
Penelitian ini dilakukan melalui studi kasus. Tujuannya
untuk memperoleh diskripsi yang utuh dan mendalam dari sebuah
entitas. Mengacu pada Creswell (1992), penelitian ini ditempuh
dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan utama (qualitative
dominant) dan pendekatan kuantitatif sebagai pendukung
(quantitative less dominant). Pendekatan kualitatif diberi posisi
dominan dalam penelitian ini karena fokus penelitian adalah
pengungkapan proses dan interpretasi makna. Asumsi yang
dipegang dalam penelitian ini adalah adanya pemanfaatan kawasan
hutan dan hasil hutan pada Masyarakat Adat Kajang yang
dilakukan melalui pengetahuan lokal.
Untuk memperdalam pemahaman pada tingkat komunitas,
studi riwayat hidup dan kemasyarakatan serta analisis situasi juga

8
digunakan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa perilaku
kehidupan manusia harus dipelajari dan dipahami dari perspektif
individu dan masyarakat yang terlibat dalam kehidupan itu.

B. Pengelolaan Peran Peneliti

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan


terlibat (observasi partisipasi) dan wawancara. Interaksi intensif
dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang rinci tentang
pengetahuan lokal Masyarakat Adat Kajang.
Berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan responden
dilakukan untuk mempertegas fakta dan keterangan tentang
pengetahuan lokal yang ada. Karena sifat Pasang sebagai dasar dari
kearifan lokal merupakan tradisi lisan maka untuk menginventarisir
pengetahuan lokal yang terangkum dalam Pasang utamanya yang
berhubungan dengan pengetahuan dalam memanfaatkan kawasan
hutan dan hasil hutan perlu dilakukan rujukan silang dengan
berbagai tokoh adat. Peneliti melibatkan diri secara penuh pada
wawancara dengan tokoh adat tanpa melibatkan enumerator.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Agar dapat memberikan gambaran yang akurat dan


representatif lokasi ditetapkan pada dua wilayah adat di Desa Tana
Toa yaitu IlalangEmbaya (kawasan inti) dan Ipantarang Embaya (wilayah
di sekitar kawasan inti).
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan. Dua bulan
pertama di lokasi penelitian dialokasikan masing-masing satu bulan
untuk observasi, mendekati sumber-sumber informasi,
mengidentifikasi dan membina hubungan yang baik dengan calon
informan serta satu bulan untuk wawancara. Dua bulan selanjut nya
adalah wawancara mendalam dengan Ammatoa, tokoh adat dan
tokoh masyarakat yang ada pada Masyarakat Adat Kajang dan dua
bulan selanjutnya adalah observasi dan wawancara dengan
stakeholder yang ada di luar Masyarakat Adat Kajang

9
D. Penentuan Informan dan Sampel Penelitian

Untuk pengumpulan data kualitatif, penentuan informan


didasarkan pada informasi tokoh masyarakat yang memahami
pengelolaan hutan pada Masyarakat Adat Kajang serta stakeholder
yang berperan pada pengelolaan kawasan hutan di luar Masyarakat
Adat Kajang. Informasi tentang hal ini terutama berasal dari
petunjuk aparat pada kantor desa, kelurahan serta camat, sebagian
juga didapatkan dari berbagai penelitian sebelumnya baik yang
penulis lakukan maupun dari peneliti lainnya. Kepada informan
yang telah diwawancarai ditanyakan tentang pihak yang dapat
dijadikan informan selanjutnya. Selain itu terdapat pula informan
yang ditentukan sendiri oleh penulis setelah melakukan beberapa
penelitian sebelumnya. Demikian proses ini berlangsung sehingga
data yang dikumpulkan mencapai tingkat kecukupan.
Berdasarkan proses tersebut, diputuskan bahwa ada
informan yang harus diwawancarai berulang, karena dianggap
potensil untuk mengungkap banyak hal terutama para tokoh adat
yang memahami dan menguasai pengetahuan lokal yang membantu
Ammatoa menjalankan roda pemerintahan, serta ada juga informan
yang hanya diwawancarai satu kali. Prinsip triangulasi
pengumpulan data juga dipraktekkan, dalam arti suatu tema
pertanyaan tidak hanya diandalkan informasinya pada satu sumber,
kebenaran informasinya disandarkan pada beberapa informan
setidaknya 3 orang responden.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yakni:


1. Teknik observasi, yaitu pengamatan langsung pada kegiatan
pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan yang dilakukan
oleh Masyarakat Adat Kajang. Untuk mendapatkan informasi
dalam pengamatan maka dilakukan wawancara dengan
menggunakan instrumen-instrumen berupa petunjuk
wawancara.
2. Wawancara mendalam, dilakukan melalui sejumlah pertemuan
dengan informan yang didalamnya berlangsung tanya jawab
10
dan pembicaraan akrab mengenai pegetahuan lokal. Fokus
wawancara mendalam terbagi atas tiga bagian. Pertama:
penggambaran umum proses pemanfaatan kawasan hutan dan
hasil hutan oleh Masyarakat Adat Kajang. Kedua,
penggambaran yang lebih mendalam dan mengklasifikasikan
pengetahuan lokal dalam berbagai aspek, utamanya
pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan. Ketiga:
penggambaran mengenai diri informan, aspirasi dan pandangan
hidupnya, terutama dalam pemanfaatan kawasan hutan dan
hasil hutan
3. Rekaman Arsip. Seperti data informan, peta lokasi, catatan
tertulis dan lain-lain.
4. Dokumentasi. Pengambilan gambar pada berbagai objek untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas dan mendetail tentang
topik/objek yang dibahas.
Keterkaitan antara permasalahan dengan metode penelitian dapat
dilihat pada tabel berikut:

11
Tabel 1. Keterkaitan Permasalahan Dengan Metode Penelitian

Konsep
Utama Informasi Atau Teknik
Topik Sumber
Tujuan Hipotesis Hubungan Data Yang Pengumpulan
Permasalahan Data
Antar dikumpulkan Data
Konsep
Menganalisis
Masyarakat a. Penelusura
sejarah a. Sejarah lokal
Kajang n dokumen
pembentukan perkembangan
berkembang atau catatan
dan kawasan hutan a. Dokumen
sebagai respon sejarah
Pengetahuan pengembangan a. Pengetahuan b. Sejarah penelitian
antara sistem pengelolaan
lokal dalam Pengetahuan lokal pengembangan sebelum
sosial kawasan
pemanfaatan lokal, mengkaji b. Pengalaman Pengetahuan nya
masyarakat empiris
hutan
kawasan hutan sejarah lokal lokal b. Tokoh
dengan b. Dialog
dan hasil hutan masyarakat c. Makna dan masyara
ekosistem. informan
Kajang dalam bentuk kat
Timbullah kunci,
memanfaatkan Pengetahuan
pengetahuan perorangan
kawasan hutan lokal
lokal. kelompok
dan hasil hutan

12
F. Metode Analisis

Metode analisis utama yang digunakan adalah analisis


data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah analisis yang
didasarkan pada kata-kata yang selanjutnya disusun dalam
bentuk teks yang diperluas, data hasil wawancara maupun
pengamatan dikumpulkan dalam bentuk catatan lapangan yang
dikelompokkan atau direkapitulasi sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai. Berdasarkan catatan tersebut kemudian dilakukan
analisis kuantitatif.
Tahap pertama, proses reduksi data. Kegiatan yang
dilakukan pada tahap ini adalah pemilihan, pemilahan,
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data mentah
berdasarkan catatan lapangan. Proses ini mengarahkan
pemilihan data yang relevan dengan fokus penelitian dan data
yang tidak memenuhi kriteria eksklusi inklusi. Proses reduksi
data dilakukan bertahap selama dan sesudah pengumpulan data
sampai laporan tersusun dan pembuatan buku referensi
Tahap kedua adalah penyajian data, yaitu penyusunan
sekumpulan informasi menjadi pernyataan yang memungkinkan
penarikan kesimpulan. Data disajikan dalam bentuk teks naratif.
Data-data yang terpencar dan terpisah pada berbagai sumber
informasi diklasifikasikan menurut tema dan kebutuhan analisis.
Pada tahap ini data disajikan dalam kesatuan tema: keadaan
umum wilayah, pengelolaan kawasan hutan di Kajang serta
pengetahuan lokal.
Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan berdasarkan
reduksi dan penyajian data. Penarikan kesimpulan berlangsung
bertahap dari kesimpulan umum pada tahap reduksi data.
Kemudian menjadi lebih spesifik pada tahap penyajian data dan
lebih spesifik lagi pada tahap penarikan kesimpulan yang
sebenarnya.

13
G. Tim Peneliti dan Manajemen Penelitian

Tim peneliti adalah person-person yang selama ini


memusatkan perhatian pada dinamika Masyarakat Adat Kajang
seiring perjalanan waktu. Sejak tahun 2001 serangkaian kajian
pada Masyarakat Adat Kajang telah dilakukan, bekerjasama
dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Studi pada
tahun 2001 mengkaji kelembagaan yang menunjang pelestarian
sumberdaya hutan pada Masyarakat Adat Kajang. Sedangkan
pada tahun 2011 dilakukan kajian tentang pengelolaan
lingkungan Masyarakat Adat Kajang.
Ketua tim peneliti merupakan peneliti yang
mengkhususkan kajian pada bidang kehutanan sedangkan
anggota tim adalah peneliti bidang sosial ekonomi pertanian,
kedua disiplin ilmu ini merupakan perpaduan yang baik dalam
penelitian ini. Pada pelaksanaan penelitian ini tugas ketua dan
anggota tim dibagi berdasarkan komitmen dan distribusi waktu
yang telah ditetapkan. Selengkapnya tersaji pada tabel berikut:

Tabel 2. Alokasi Waktu Tim


No Jabatan Uraian Kerja Alokasi Waktu
Mengumpulkan
Setiap akhir
informasi
pekan selama
pengetahuan lokal
1 Ketua Tim rangkaian
Masyarakat Adat
kegiatan
Kajang dalam
pengumpulan
memanfaatkan
data
kawasan hutan
Mengumpulkan
Setiap akhir
informasi
pekan selama
pengetahuan lokal
2 Anggota Tim rangkaian
Masyarakat Adat
kegiatan
Kajang dalam
pengumpulan
memanfaatkan hasil
data
hutan

14
H. Modalitas Pendukung Penelitian

Modal utama penelitian ini adalah keahlian dan


pengalaman lapangan dari tim peneliti pada Masyarakat Adat
Kajang. Bahasa Makassar dengan dialek Konjo dikuasai oleh tim
peneliti. Hal ini sangat membantu untuk mengkaji pengetahuan
lokal Masyarakat Adat Kajang yang bertradisi lisan (tutur).
Relasi yang baik dengan pemimpin adat Masyarakat Adat
Kajang Ammatoa sangat membantu karena hanya atas ijin
Ammatoa kegiatan ini dapat dilaksanakan. Selain itu para
pemangku adat juga sudah akrab dengan tim peneliti dan
menghilangkan keraguan pemangku adat untuk menuturkan
pengetahuan lokal dan informasi lainnya.
Lokasi kajian dapat diakses dengan mudah
menggunakan kendaraan bermotor dengan jarak + 170 km dari
Makassar dan + 30 km dari ibu kota Kabupaten Bulukumba.
Penerbit lokal di kota Makassar juga sudah siap untuk
menerbitkan buku referensi, sehingga pengetahuan lokal yang
dikumpulkan dari lapangan siap untuk dipublikasikan kepada
para pihak.

15
B AB IV

A. Pengetahuan Lokal Dalam Pemanfaatan Kawasan Hutan

1. Pengetahuan Tentang Zonasi Kawasan Hutan

Masyarakat Adat Kajang menetapkan wilayah-wilayah


hutan dalam beberapa zona. Model pembagian zona-zona ini
secara teknis merupakan hasil penetapan secara adat. Hutan adat
yang terdapat dalam kawasan Ammatoa dibatasi oleh empat
sungai yaitu Sungai Tuli, Sungai Limba, Sungai Doro dan Sungai
Sangkala yang juga merupakan batas wilayah Ilalang embayya (di
dalam kawasan adat) dan ipantarang embayya (di luar kawasan
adat). Penggunaan batas kawasan hutan yang menggunakan
sungai sebagai batas kawasan hutan memiliki beberapa
keunggulan yakni sifatnya lebih permanen, mudah didapatkan
serta mudah dikenali oleh masyarakat.
Keempat sungai yang menjadi batas alam dari kawasan
hutan ini juga menunjukkan peran hutan yang sangat penting
bagi keberadaan air bagi sungai-sungai tersebut. Bagi
Masyarakat Adat Kajang, penetapan kawasan hutan memiliki
peran penting bagi keberlangsungan hidup mereka sebagaimana
diungkapkan Pasang berikut:
Iya minjo boronga kunne pusaka
Artinya: Hutan itulah yang menjadi pusaka kita
Zona pertama diistilahkan sebagai borong karamaka atau
hutan keramat. Konsep ini mirip dengan hutan lindung yang
merupakan kawasan penyangga kehidupan. Wilayah borong
karamaka terlarang bagi siapa saja untuk memanfaatkannya,
sebab masyarakat meyakininya sebagai tempat turunnya Turie'
A'ra'na berada ditengah-tengah Borong Karamaka. Oleh karena
keyakinan itulah sehingga tempat tersebut dijadikan sebagai

16
Passamajang (tempat memohon restu), tempat appa'dongko'
pangnganro atau apparuntu' panganro (meletakkan persembahan
kepada Turie' A'ra'na) dan tempat Ammula nia' (menetapkan niat).

Tempat tersebut hanya dapat dikunjungi pada setiap


upacara ritual, sehingga sampai saat ini belum ada data yang
pasti tentang luasan wilayah hutan borong karamaka. Pasang ri
Kajang mengatur :
Talakullei nisambei kajua. Iyato' minjo kaju timboa.
Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka. Kasipalli
tauwa a'lamung-lamung ri boronga. Nasaba se're hattu la
rie' tau angngakui bate lamunna
Artinya:
Tidak bisa diganti kayunya. Itu saja kayu yang tumbuh.
Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan karamaka. Orang
dilarang menanam di dalam hutan. Sebab suatu waktu akan
ada orang yang mengakui bekas tanamannya.

Pengetahuan ini mengajarkan bahwa menyerahkan


siklus kehidupan pada alam adalah langkah bijak untuk
mempertahankan kawasan hutan karena bila campur tangan
manusia ikut didalam mengelola kawasan ini maka secara
perlahan manusia akan merasa memiliki kawasan itu dan
mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah miliknya karena
nenek moyangnyalah yang menanamnya.
Luas kawasan hutan adat adalah 331,17 ha, luas hutan
inilah yang kemudian ditetapkan oleh DISHUTBUN sebagai
Hutan Produksi Terbatas yang tercantum pada Buku Statistik
Bulukumba Dalam Angka. Berdasarkan SK No.504/kpts-II/1997
dan berdasarkan hasil tata batas di Kawasan hutan Tana Toa,
ditetapkan kelompok hutan Tata Toa terdiri atas Tana Toa I,
Tana Toa II, Tana Toa III dan Tana Toa IV.
Menurut Ammatoa Puto Palasa:
Pada dasarnya hutan adat di Tanatoa cukup luas yakni
sekitar 1.300 ha. Hutan ini (Borong Karamaka) dulunya
seluas 450 ha, sekarang tinggal 331,17 ha menurut
pemerintah. Sedangkan Borong Batasayya itu seluas 850 ha

17
Secara umum Hutan (Borong) pada Masyarakat Adat
Kajang terbagi atas 2 kompleks hutan yaitu Borong Pa'rasangan
Iraja dan Borong Pa'rasangan Ilau. Borong Pa'rasangan Iraja (tana
Toa I) terbagi lagi atas beberapa kompleks hutan yaitu :
Pa'kombengan, Pa'lengkerang uhea, Parukku' dan Tupalo
(Balambina). Sedangkan Borong Pa'rasangan Ilau terbagi lagi atas :
Borong Karanjang (Tanatoa II), Borong Tombolo (Tana Toa III) dan
Borong To'de (Tanatoa IV).
Borong Pa'rasangan Iraja dikelilingi oleh beberapa kampung yang
merupakan pusat pemukiman Masyarakat Adat Kajang yaitu:
Lajaya, Tuboga, Luraya, Kajapoa, Sobbu, Balambina, Benteng
dan Sapiri.
Borong Pa'rasangan Ilau merupakan hutan yang dianggap suci
dan sakral oleh Masyarakat Adat Kajang. Pertama, pada hutan
inilah terdapat tempat suci yang dinamakan Makkah oleh
masyarakat. Menurut penuturan Ammatoa :
Se’re ji intu nikuayya se’re, iyamintu Tau Ri’e A’ra’na,
mingka iyanjo maraenga rie’ ngase’ intu uranna iyareka
pasanganna. Punna rie’ poko’ rie’ intu nikuayya cappa’. Jari
iyanjo nikuayya cappa’na Makkayya, iyaminjo ri tana Arab a.
Mingka iyanjo nikuayya poko’na makkayya kunnimintu
tampa’na.
Artinya:
(Hanya ada satu yang esa itulah Sang Maha Berhendak,
tetapi yang lain ada semua temannya atau Pasangannnya.
Jadi yang disebut ujung dari Mekkah adalah yang ada di
tanah Arab, sedangkan yang dinamakan pokoknya Mekkah di
sinilah tempatnya).

Itulah sebabnya mengapa Masyarakat Adat Kajang


tidak seantusias masyarakat Bugis Makassar untuk menunaikan
ibadah haji sebagai perwujudan prestasi kehidupannya.
Masyarakat Adat Kajang lebih mementingkan mengadakan
ritual di Parukku sebagai ritual naik haji. Kedua : selain untuk
ritual naik haji, Borong Pa'rasangang Ilau juga merupakan tempat
untuk menangkap udang untuk dipakai pada upacara adat
Appanganro. Ketiga : selain untuk mengambil udang, Borong
Pa'rasangang Ilau juga dijadikan tempat mengambil rotan untuk

18
dijadikan pengikat komponen-komponen bangunan (panggung-
panggung) untuk upacara adat. Lokasi pengambilan rotan ini
disebut Pa'lengkerang uhea. Mengingat banyaknya upacara adat
yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Adat Kajang, maka
pembatasan quota ini juga merupakan langkah bijak untuk
mempertahankan jumlah populasi.
Menurut Ammatoa Puto Palasa dan Puto Lekkong:

Hutan bagi masyarakat Kajang adalah "bumi", merupakan


ibu pertiwi (paratihi) tempat berlangsungnya kehidupan
sebelum menuju akhirat (Pammantangngang Karakkang).

Borong Pa'rasangang Ilau (hutan di bagian timur)


merupakan kompleks hutan yang berada pada bagian Timur
Dusun Benteng (tempat Ammatoa bermukim) yang terdiri dari
Borong Karanjang, Borong Tombolo' dan Borong Tode.
Kedudukan Borong Pa'rasangang Ilau sangatlah sakral
dan penting karena: Pertama, pada hutan inilah dilakukan
pemilihan dan pelantikan calon Ammatoa menjadi Ammatoa ri
Kajang, Kedua, kawasan hutan ini dianggap sebagai tempat
bersemayamnya arwah-arwah leluhur mereka, ketiga, kawasan
hutan ini dianggap sebagai tempat yang selalu didatangi oleh
Sang Maha Berkehendak (Tau rie' a'ra'na) karena Tau rie' a'ra'na
selalu datang pada setiap upacara pelantikan Ammatoa, Keempat,
tempat ini merupakan tempat yang selalu dikunjungi oleh
Masyarakat Adat Kajang yang telah selesai melakukan upacara
atau pesta hajatan yang dilanjutkan dengan ziarah ke salah satu
makam leluhur mereka yang tidak diketahui namanya.
Ammatoa mempunyai tugas yang dibebankan
kepadanya untuk menjaga hutan dan menghindarkannya dari
kegiatan penebangan, sebagaimana Pasang berikut:
Anjo tugasa'na Ammatoa. Nakasipalliangi anna'bang kaju ri
boronga. Iya minjo ni kua ada' tana
Artinya:
Tugas seorang Ammatoa. Adalah melarang terjadinya
penebangan kayu di hutan. Itulah hukum adat yang berlaku
Pasang ri Kajang tidak mengatur secara parsial unsur-
unsur yang ada didalam kawasan hutan, tetapi mengatur secara

19
keseluruhan unsur-unsur yang ada di dalam semesta
sebagaimana Pasang berikut :
Jagai linoa lollong bonena, Kammaya tompa langika. Siagang
rupa tauwa. Siagang boronga
Artinya:
Peliharalah bumi beserta isinya. Demikian pula langit.
Demikian pula manusia. Demikian pula hutan

Nikasipalliangngi ammanra'manrakia borong


Artinya: Dilarang (kasipalli) merusak hutan
Zona kedua, disebut (Borong Batasayya) yang diartikan
sebagai hutan batas atau hutan pembatas. Pemanfaatan borong
batasayya hanya bisa dilakukan untuk tujuan membangun sarana
umum dan membangun rumah bagi masyarakat yang benar-
benar tidak mampu. Artinya orang tersebut tidak dapat
memperoleh kayu dari tempat lain dan sangat membutuhkan
kayu. Menurut Puto Lateng :
Masyarakat pada umumnya jarang meminta kayu kepada
Ammatoa, meskipun untuk keperluan perbaikan rumah,
karena meminta kayu di dalam kawasan Borong Batasayya
sebenarnya hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang
memang tidak mampu. Ada rasa malu bagi Masyarakat Adat
Kajang jika meminta kayu kepada Ammatoa.
Jenis kayu yang dibolehkan untuk dimanfaatkan adalah kayu asa
(Castanopsis acuminatassima), Nyatoh (Palaquium bataanense) dan
pangi (Pangium edule). Ukuran dan jumlah kayu yang ditebang
ditentukan oleh Ammatoa.
Zona ketiga disebut juga hutan di luar (Borong
Luarayya) atau hutan yang luas karena memang zona ini
kawasan hutannya. Pada intinya merangkum semua wilayah
hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya termasuk sawah (galung), kebun (koko).
Borong Luarayya sebenarnya adalah hutan rakyat yang
didalamnya ditanam berbagai jenis tanaman, baik tanaman
perkebunan maupun kayu-kayuan. Hutan rakyat dimiliki oleh
masyarakat secara pribadi atau merupakan warisan turun-
temurun dari nenek moyang mereka.

20
Meskipun kebun dan hasil sawah mencukupi masyarakat Kajang
tetap mempertahankan prinsip tallasa kamase masea yang
terungkap dalam Pasang:

Angnganre na rie'. Care-care na rie'. Pammalli juku na rie'


Tana, koko, galung na rie'. Balla situju-tuju
Artinya :
Makanan ada. Pembeli ikan ada. Lahan, kebun, sawah ada.
Rumah seadanya

Pasang ini mengungkapkan makna bahwa ketika


kebutuhan dasar di atas terpenuhi, maka masyarakat tidak perlu
lagi memikirkan hal-hal yang konsumtif. Hidup secara
sederhana, mematuhi Ammatoa dan menyerahkan hidup
sepenuhnya kepada Turie' A'ra'na sebab:
Anne linoa pammari-marianji. Ahera' pammantangang
karakkang
Artinya:
Dunia ini hanya persinggahan saja. Akhiratlah kehidupan
yang kekal abadi
Karena hutan merupakan salah satu unsur bagi
kemaslahatan hidup Masyarakat Adat Kajang, maka untuk
mengelola dan memelihara kawasan hutan Ammatoa menunjuk
beberapa petugas penjaga hutan yaitu: Dalonjo ri Balagana,
Damangassalang ri Balambina, Dagempa ri Tuli, Dakodo ri Teteaka,
Bakututua ri Benteng dan Timutung ri Sobbu, walaupun secara
umum masyarakat juga ikut bertanggung jawab terhadap
kelestarian hutan. Petugas-petugas ini masih eksis dalam
melaksanakan tugas hingga saat ini.
Harmonisasi antara aturan yang ditetapkan dalam Pasang,
Ammatoa yang konsisten melaksanakan Pasang dan ketaatan
masyarakat dalam mengikuti aturan dituangkan dalam Pasang :
Sallu riajuka, ammulu riadahang. Ammaca'ere anreppe' batu.
Allabui rurung, allabatu cideng
Maknanya:
Taat dan patuh pada aturan yang telah disepakati sekalipun
harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung

21
Pembahasan di atas menggambarkan bahwa
Masyarakat Adat Kajang tumbuh dan berkembang dengan
Pasang sebagai preskripsi tindakan mereka.

2. Pengetahuan Tentang Hidrologi

Pengetahuan tentang hidrologi pada Masyarakat Adat


Kajang mengikuti penggarisan tentang arti penting dari "borong"
yang tertuang dalam Pasang:
Punna nita'bangi kajua ri boronga. Anggurangi bosi,
appakaanre'i timbusu. Anjo boronga angngontaki bosiya.
Aka'na kajua appakalompo tumbusu. Napau tau rioloa
Artinya:
Jika pohon ditebang di hutan. Maka akan mengurangi hujan,
menghilangkan mata air. Hutanlah yang mendatangkan
hujan akar kayulah yang memperbesar mata air. Menurut
pesan orang terdahulu
Pasang ini secara implisit menjelaskan tentang siklus air
yang terjadi di alam semesta. Ammatoa menuturkan bahwa
pohonlah yang menahan air hujan, mengalirkannya ke dalam
tanah dan selanjutnya akar-akar pohon menahan air tersebut dan
mengeluarkannya dalam bentuk mata air.
Puto Nungga, salah satu tokoh masyarakat
mengemukakan bahwa dari semua mata air yang ada di dalam
kawasan adat, disekelilingnya terdapat banyak pepohonan,
bahkan mata air terbesar yang terletak di dekat pintu masuk ke
kawasan adat berada persis dibawah akar pohon.
Penjelasan ini sejalan dengan ajaran Pasang bahwa Anjo
boronga anggontaki e bosiya. Aka'na kajua app akalompo timbusu
(hutanlah yang mendatangkan hujan, akar kayulah yang
memperbesar mata air). Pasang lain menegaskan fungsi
hidrologis hutan :

Anjo boronga iya kontaki bosia. Nasaba kunni mae anre'


paenre’ ere’. Iya minjo boronga nikua paenre’ ere. Nasaba iya
nakabattui bosi
Artinya:

22
Hutanlah yang mendatangkan air hujan. Sebab disini tidak
ada pengairan. Hutanlah yang menjadi pengairan, Karena ia
didatangi oleh hujan

Puto Palasa menuturkan bahwa daun-daun di hutan


merupakan sumber kehidupan karena dedaunanlah yang
mendatangkan hujan. Dedaunan juga menjadi sarang bagi
berbagai organisme yang berperan dalam kehidupan di hutan
seperti burung, monyet (Turi) dan organisme lainnya. Bahkan
secara khusus Puto Palasa menuturkan bahwa selama masih ada
dedaunan, maka ikan di laut akan tetap ada.
Pengetahuan yang berbasis Pasang ini telah mengajarkan
kebijakan bagi Masyarakat Adat Kajang untuk mempertahankan
kawasan hutannya demi keberlangsungan kehidupan mereka.
Pasang lain menegaskan kembali fungsi hutan sebagai sumber air
:
Narie' kaloro, battu ri boronga, narie timbusu, battu ri kajua
na battu ri kalelenga.
Artinya : Sungai ada, berasal dari hutan, mata air ada berasal
dari pepohonan dan liana.

Boronga parallu nitallassi, ere'a battu ri kaloro lupayya


Artinya: Hutan perlu dilestarikan, air berasal dari sungai-
sungai kecil

Masyarakat Adat Kajang mempercayai bahwa sumber


kehidupan berasal dari hutan, karena itulah mereka mengelola
hutan berbasis Pasang dengan tetap berpegang teguh kepada
ketentuan, anjuran, larangan dan sanksi.

3. Pengetahuan Gejala-gejala Alam, Iklim dan Bercocok


Tanam

Bentuk-bentuk pengetahuan Masyarakat Adat Kajang


tentang Iklim dan bercocok tanam diuraikan sebagai berikut :

a) Perilaku Margasatwa

Masyarakat Adat Kajang tidak menjadikan satwa


sebagai hewan sucinya, mereka beranggapan bahwa diantara

23
semua satwa domestik yang ada hanya kucing dan Kerbau yang
dianggap memiliki keistimewaan.
Kucing dianggap sebagai penjelmaan Dewa Padi
(Sangiasserri) dan bisa mendatangkan rejeki sehingga harus
dihormati, dipelihara dan sangat terlarang untuk dibunuh.
Menurut Sanro Bateng :
Kucing itu penjelmaan, dari penguasa padi, jadi harus
diperlakukan dengan baik jika kucing terbunuh dengan sengaja,
misalnya tertabrak kendaraan.
Penuturan lain dikemukakan oleh Amir Tonna :

Suara kucing sangat tidak disukai oleh tikus, itulah sebabnya


mengapa lumbung yang dijaga oleh kucing tidak akan
diserang oleh tikus, demikian pula jika disekitar rumah
banyak jengkerik yang bersarang. Sinergi kucing dengan
banyaknya jengkerik disekitar rumah akan mengusir tikus
yang mengincar padi di lumbung.

Terdapat pula hewan-hewan yang dijadikan indikator


alam diantaranya adalah tikus, katak, cacing tanah, ular, kera,
kambing, kucing, babi, rusa, anjing dan sebagainya. Tikus
merupakan salah satu binatang yang akrab dengan Masyarakat
Adat Kajang terutama pada areal persawahan mereka, Tikus
kerap kali menjadi hama bagi tanaman padi atau jagung yang
sedang diusahakan oleh Masyarakat Adat Kajang. Jika tikus
membuat sarang dengan membangun terowongan yang saling
menyambung di bawah lahan sawah, serta jumlahnya cukup
banyak, pertanda bahwa musim kemarau akan segera datang.
Menurut Puto Lekkong, perilaku tikus ini dapat dijadikan
sebagai indikator datangnya kemarau karena Tikus
mempersiapkan "lumbung" pangannya menjelang musim
kemarau. Kejadian Tsunami di Aceh pada tahun 2006
sebenarnya sudah dideteksi sejak dini oleh Tikus. Masih
menurut Puto Lekkong, pada saat itu banyak Tikus tiba-tiba
muncul disekitar pemukiman penduduk pada saat air laut surut
di Kelurahan Tanajaya. Pertanda inilah yang kemudian
dibicarakan oleh dewan adat. Mereka mencemaskan akan
adanya bencana besar yang akan menimpa negeri. Pertanda

24
inilah yang kemudian menjadi pertanda terjadinya Tsunami di
Aceh. Beberapa gempa kecil pernah terjadi di Kajang dan
sebelum getarannya benar-benar keras, tikus-tikus bermunculan
dari sarangnya. Perilaku tikus inilah yang kemudian dijadikan
dasar akan adanya gempa.
Selain Tikus, Katak juga merupakan detektor yang
memberi informasi tentang datangnya musim hujan. Katak
berkembang biak pada saat awal musim hujan, karena pada saat
itu akan banyak genangan yang dapat digunakan oleh katak
untuk meletakkan telur-telur nya dan membiakkan kecebong.
Sehingga kehadiran suara Katak apalagi Katak kerbau atau
Tumpang ngoang merupakan pertanda akan datangnya musim
hujan. Menurut Puto Palasa:
Katak selalu dijadikan pertanda datangnya musim hujan.
Selain itu Katak selalu saya jadikan pegangan kalau ada
gangguan pada air sungai. Hilangnya Katak menjadi
pertanda bahwa ada masyarakat yang menggunakan aliran
sungai dengan cara-cara yang tidak bijaksana dan
menggunakan racun (pestisida) yang menyebabkan rusak dan
hilangnya telur-telur Katak dan hilangnya Katak.

Binatang lain yang dijadikan sebagai indikator adalah


Cacing Tanah. Cacing tanah sering membuat sarang di kolong-
kolong rumah penduduk utamanya pada bagian depan
(dibawah dapur). Cacing Tanah yang mengeluarkan kotoran dan
membentuk gundukan-gundukan kecil berupa kumpulan bola-
bola tanah juga merupakan pertanda akan tibanya musim hujan,
demikian pula dengan ular yang bila ditemukan arah
rayapannya menuju ke tempat yang lebih rendah berarti
pertanda musim hujan akan tiba dan bila arah sebaliknya musim
kemarau akan tiba. Menurut Azis Tambi :
Perilaku ular ini dapat dijadikan pegangan datangnya musim
hujan karena pada saat terjadinya hujan akan timbul
genangan air dan menjadi tempat berkumpulnya Katak untuk
bertelur. Katak sendiri merupakan salah satu makanan
kesukaan ular. Karena itulah ular akan menuju ke daearah-

25
daerah yang rendah dan berpotensi menjadi genangan karena
Katak akan berkumpul di situ.

Kera (Turi) yang berbunyi pada malam hari juga


merupakan pertanda musim hujan akan segera tiba. Selanjutnya
menurut Azis Tambi, salah seorang putera mantan Galla
Malleleng :

Masyarakat di Malleleng sering menjadikan cacing tanah


sebagai indikator untuk mulai menggarap sawah. Jika cacing
tanah membentuk bola-bola kecil di dekat tiang rumah, maka
pertanda waktu tanam padi sudah bisa dimulai. Kera yang
berbunyi dimalam hari juga sebagai pertanda musim hujan
tiba, karena biasanya diiringi musim kawin Kera

Kera (turi) yang hidup di Ilalang Embayya biasanya aktif


pada siang hari diantara pohon-pohon yang berbuah. Tetapi jika
malam hari kera-kera ini menunjukkan perilaku yang aneh dan
mengeluarkan suara dengan frekuensi yang tinggi (berteriak)
yang menyerupai suara burung Elang, maka itu pertanda bahwa
ada pencuri yang memasuki perkampungan.Perilaku Kera yang
bersuara aneh dan gaduh di malam hari pernah terjadi pada saat
ada serangan dari gerombolan yang memporak- porandakan
perkampungan dengan membakar rumah-rumah penduduk.
Gerombolan ini dikalangan masyarakat kajang disebut
Tentara Islam Indonesia (TII). Pada saat ini terjadi ketegangan
antara masyarakat adat dengan orang-orang TII. Hal ini
disebabkan orang-orang TII tidak membiarkan masyarakat
melakukan acara-acara adat, kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan oleh Masyarakat Adat Kajang dilarang yang disertai
dengan pemaksaan, pengancaman dan pembakaran. Banyak
masyarakat adat meninggalkan kawasan Amma Toa. Mereka
mengungsikan diri agar tidak dipaksa oleh orang-orang TII.
Pasukan TII melakukan pemaksaan ideologi yang
akhirnya mendapat tantangan dari Masyarakat Adat Kajang.
Gerombolan itu di bawah pimpinan Bado dari Kalimporo. Pada
saat pasukan GRI (pengembangan dari TII) dibawah pimpinan
Komandan Kompi Hami muncullah reaksi Masyarakat Adat
Kajang yang dipimpin oleh Damang dari Benteng dan Galla
Sangkala Puto Tonna dari Sangkala menyusun rencana perlawan
26
terhadap TII. Gerakan ini disebut “Jina”, karena gerakannya
dimulai dari hutan. Setelah menyiapkan diri selama 2 bulan
mereka akhirnya menyerang pasukan TII. Ciri khas mereka
adalah memakai passapu hitam, sehingga gerakan ini kemudian
dikenal dengan gerakan Dompea.
Satwa-satwa seperti Kucing, Babi, Rusa, Anjing dan
satwa lain yang biasanya hanya ditemukan di dalam hutan,
tetapi tiba-tiba ramai lalu lalang di perkampungan penduduk,
merupakan pertanda akan tibanya musim kemarau, atau akan
tibanya bencana alam di sekitar tempat mereka. Hal ini sejalan
dengan penuturan Puto Lekkong:
Satwa yang keluar dari hutan merupakan pertanda musim
kemarau akan tiba, karena sumber-sumber air di dalam
Borong Karama’ sudah mulai berkurang dan mereka mencari
sumber air di sekitar kawasan hutan. Mata air memang
banyak terdapat di sekitar kawasan hutan. Desa Tana Toa
berada pada daerah ketinggian sehingga jika terjadi gempa,
meskipun kecil akan segera terasa, utamanya bagi satwa-
satwa di dalam hutan, karena itulah mereka berlarian ke luar
hutan jika terjadi getaran akibat gempa.

b) Perilaku Serangga

Serangga juga dipakai sebagai penanda musim. Semut


hitam dan semut merah adalah serangga utama yang biasa
dijadikan penanda oleh Masyarakat Adat Kajang. Jika mereka
mendapati semut bermigrasi besar-besaran menuju ke tempat
yang lebih tinggi berarti musim hujan akan segera tiba. Semut-
semut ini mempersiapkan sarang baru karena sarang yang lama
kemungkinan akan tergenang. Menurut Puto Palasa:
Saat ini, semut tidak bermigrasi besar-besaran menuju ke
tempat yang lebih tinggi, hal ini berarti terjadi musim
kemarau yang agak panjang. Perpindahan semut pernah
terjadi besar-besaran tahun 2006 yang lalu dan memang
terjadi musim hujan yang panjang sehingga beberapa daerah
di Bulukumba banjir.

27
Biasanya pada saat akan hujan suhu udara meningkat,
masyarakat memastikan hujan akan turun. Pada saat suhu udara
sering meningkat, maka populasi nyamuk juga makin meningkat
karena telur-telur yang ada pada genangan air akan segera
menetas menjadi nyamuk.
Pada saat musim hujan terjadi, populasi nyamuk akan
menurun drastis karena sangat jarang terjadi penggenangan air.
Menurut Puto Palasa, daerah-daerah di ketinggian seperti di
Balagana, Sobbu, Benteng, Sapiri, Balambina tidak banyak
ditemui nyamuk, masyarakat tidak perlu memakai kelambu,
selain daerah tersebut banyak terdapat nyamuk. Hal ini sesuai
laporan Usop (1978) yang melaporkan keadaan yang sama
dengan penuturan Puto Palasa. Selanjutnya Puto Palasa
menuturkan bahwa jarang terdapat nyamuk pada musim hujan
karena tidak ada air tergenang, semuanya mengalir karena curah
hujan yang tinggi. Pada saat populasi nyamuk sudah mulai
meningkat kembali pertanda musim hujan akan segera berakhir.
Populasi yang meningkat pada Capung (Pedo’) dan
ngengat putih (beka’-beka’/pucang-pucang) juga merupakan
pertanda tibanya musim hujan. Pertanda ini kemudian dijadikan
dasar bagi masyarakat untuk mulai mempersiapkan musim
tanam dari berbagai komoditi yang dikembangkannya. Menurut
Azis Tambi:

Ngengat putih biasanya muncul bersamaan rayap (lintana)


pada saat hujan pertama turun, karena biasanya rayap dan
ngengat putih melakukan perkawinan pada saat awal musim
hujan. Indikator inilah yang dijadikan masyarakat sebagai
penanda awal musim hujan.

Lebah juga merupakan indikator yang sering dipakai oleh


Masyarakat Adat Kajang. Jika lebah banyak terlihat beterbangan
di sekitar pemukiman itu pertanda musim kemarau segera tiba,
karena lebah akan aktif bila musim kemarau, karena bunga-
bunga bermekaran dan mengeluarkan nektar sebagai bahan
baku untuk pembuatan madu. Banyaknya lebah madu juga
merupakan pertanda tingkat keberhasilan pemanenan bahan
makanan yang kelak akan diperoleh baik berupa buah-buahan
maupun biji-bijian. Menurut Puto Palasa:
28
Pada umumnya, upacara adat dilakukan pada saat musim
kemarau, karena salah satu perangkat upacara adalah sarang
lebah, yang hanya tersedia dalam jumlah cukup pada saat
musim kemarau. Makin banyak lebah maka makin banyak hasil
panen karena lebah adalah penghulunya bunga untuk
mengawinkan bunga.

c) Perilaku Burung
Selain satwa darat dan serangga, burung-burung juga
merupakan penanda akan datangnya musim tertentu. Terdapat 4
jenis burung utama yang dijadikan Masyarakat Adat Kajang
sebagai pertanda. Menurut Puto Lekkong dan Jamal Tambi:
Burung-burung penanda musim adalah Burung Kuau (Tatta kulu-
kulu), Burung Elang (Patokong), Burung Angin (Ganrang angin), dan
Burung Seriti (Bemputu).

Burung Tatta Kulu-kulu diberi nama demikian karena


memang suaranya seperti itu. Jika suara Burung Tatta Kullu-
Kullu melengking dan berulang-ulang merupakan pertanda akan
adanya marabahaya, jika terbangnya tinggi dan bunyinya
melengking, kebakaran hutan akan terjadi atau kebakaran yang
akan terjadi di perkampungan. Tetapi jika burung ini terbang
rendah dan bersuara datar, maka pertanda akan tibanya musim
hujan. Nelayan biasa menjadikan perilaku terbang burung ini
sebagai penanda banyak tidaknya ikan yang akan mereka peroleh.
Jika burung ini terbang rendah dan bersuara pelan berarti ikan
akan banyak diperoleh nelayan:
Masyarakat nelayan biasanya mengamati perilaku burung
Kullu-kullu sebelum melaut. Karena dari hasil pengamatan
tersebut mereka sudah bisa memprakirakan hasil tangkapan
yang akan diperoleh nanti. Galla Malleleng yang
bertanggung jawab terhadap urusan perikanan menjadikan
perilaku burung ini sebagai pertanda utamanya sebelum
menangkap ikan.

29
Perilaku Burung Kullu-kullu yang lain adalah jika
berbunyi parau dan terbang berlalu lalang di sekitar
perkampungan. Menurut Puto Lekkong:
Perilaku ini menandakan adanya kematian tidak wajar di
perkampungan baik karena pembunuhan, meninggal karena
melahirkan, meninggal karena terkena ilmu hitam atau
meninggal secara wajar. Burung ini pernah terbang lalu
lalang diperkampungan dan sangat sering terdengar.
Masyarakat pun cemas bakal ada kejadian besar yang
menimpa Kajang. Setelah beberapa minggu kejadian ini
berlangsung Ammatoa Puto Bekkong Wafat.

Selanjutnya menurut Abd Rahim:

Burung Tatta kulu-kulu pernah terbang rendah dan berbunyi


parau tahun 2010, masyarakat khawatir akan terjadi bencana
dalam waktu yang tidak lama lagi. Akhirnya terjadi bencana
tanah longsor di Daulu yang menyebabkan 8 rumah rusak .

Jika suaranya hanya terdengar sesekali dan rendah,


berarti burung tersebut segera memasuki masa birahi dan
perkawinan, itu juga merupakan pertanda akan datangnya
musim kemarau, karena burung ini hanya berkembang biak
pada saat musim kemarau. Hal ini sesuai dengan perilaku
burung yang umumnya menjadikan musim kemarau sebagai
musim berkembang biak. Penetasan telur burung memerlukan
suhu yang hangat dan berkesinambungan, sesuatu yang sulit
didapatkan pada musim hujan.
Burung ini juga merupakan detektor saat panen kemiri
sudah tiba, akan berbunyi panjang dan nyaring pada saat buah
kemiri sudah berjatuhan. Masyarakat Adat Kajang berpantang
untuk menggaruk bagian tubuh yang gatal bila mendengar suara
burung ini karena dianggap dapat mendatangkan penyakit kulit.
Serangan penyakit kulit, utamanya bagi anak-anak akan
menyebabkan orang tuanya harus melaksanakan upacara
Akkalomba.
Burung Elang merupakan salah satu burung yang
sering memangsa anak-anak ayam masyarakat, namun pun

30
demikian masyarakat menjadikan burung ini sebagai pertanda
akan datangnya musim kemarau. Perilakunya yang sering
terbang secara berkelompok dan sambil menukik tajam
merupakan pertanda akan tibanya musim kemarau. Selain
Burung Elang, perilaku Burung Seriti atau biasa juga disebut
Burung Walet merupakan penanda tibanya musim kemarau,
perilakunya mirip dengan Burung Elang, tetapi jika Burung
Seriti terbang berkelompok pada senja hari, pertanda musim
hujan akan tiba.
Burung lain yang dijadikan sebagai indikator iklim
adalah Burung Angin (Ganrang Anging), dinamakan demikian
karena burung ini biasanya terbang secara statis dan
membiarkan angin menerpanya, kehadiran burung dengan
perilakunya yang terbang statis merupakan pertanda datangnya
musim kemarau yang panjang.

d) Gejala-gejala Alam

Selain berpatokan pada berbagai perilaku satwa darat,


burung dan serangga, Masyarakat Adat Kajang juga
berpedoman pada berbagai gejala alam seperti peredaran
berbagai rasi bintang, jenis-jenis hujan, posisi bulan, perubahan
morfologi tumbuhan serta perubahan suhu udara.
Menurut Puto Lekkong, peredaran bintang merupakan
tanda permanen yang selalu dijadikan patokan oleh masyarakat.
Terdapat tujuh jenis bintang yang dijadikan patokan dalam
menentukan iklim ataupun arah mata angin yaitu: Bintang
(Bintoengx) Hara-harae, Bintoeng Pattampayya, Bintoeng Borong-
boronga, Bintoeng Lambarua, Bintoeng Biseanga, Bintoeng Tallua,
serta Bintoeng Tanrayya
Menurut Azis Tambi, terbitnya Bintoeng Hara-harae
merupakan pertanda akan aktifnya kelompok Babi Hutan
(Pa'lampa Bangngi) untuk mencari makan. Kehadiran bintang
yang dianggap paling terang ini menurut Masyarakat Adat
Kajang , dijadikan oleh Babi Hutan sebagai obor penerang dan
petunjuk jalan, sehingga kehadirannya akan membantu Babi
Hutan menemukan makanan. Karena itulah Masyarakat Adat

31
Kajang sangat menghindari pemanenan komoditi usaha taninya
bertepatan dengan kehadiran bintang ini.
Kecepatan angin yang meninggi dan membahayakan
aktifitas masyarakat, baik ketika berada di dalam hutan maupun
sedang melaut mencari ikan, selalu dipantau melalui kehadiran
Bintoeng Tanrayya, bintang ini menurut Puto Lekkong:
Jumlah Bintoeng Tanrayya ada tiga bintang, jika bintang ini
terbit, maka akan datang angin kencang yang sekaligus
merupakan pertanda akan segera terjadi pergantian musim
atau pancaroba dan terjadinya perubahan arah angin dari
Timur ke Barat atau angin yang tidak tentu arahnya. Jika
musim pancaroba tiba dan menuju ke musim kemarau maka
Bintoeng Tanrayya akan segera diiringi oleh Bintoeng
Pattampayya atau biasa juga disebut sebagai bintang ayam
karena jumlahnya yang enam bintang berbetuk seperti ayam.
Bintang lain yang dijadikan indikator musim kemarau adalah
Bintoeng Borong-boronga yang berjumlah tujuh bintang dan
terbit di ufuk timur, bintang ini kemudian akan bergeser ke
arah barat dan menjadi penanda tibanya musim hujan.

Untuk penanda arah mata angin utamanya bagian utara dan


selatan Masyarakat Adat Kajang menggunakan Bintoeng
Lambarua dan Bintoeng Biseanga. Bintoeng Lambarua atau biasa
disebut Bintoeng Pari atau Bintoeng Layang-layanga berjumlah
lima bintang dan bentuknya sering miring ke arah kanan.
Menurut Andi Anto:
Jika menarik garis lurus dari ekor bintang pari, maka titik
itulah arah selatan. Nelayan-nelayan di Tanah Jaya yang
merupakan komunitas penangkap ikan di Kecamatan
Kajang menjadikan bintang ini sebagai kompas untuk
menentukan arah selatan. Arah sebaliknya atau utara
digunakan Bintoeng Biseanga karena jumlahnya yang
tujuh bintang membentuk seperti buritan perahu phinisi.

Selain kedua bintang tersebut bintang lain yang digunakan


sebagai penanda arah adalah Bintoeng Tallua dan Bintoeng
Tanrayya. Bintoeng Tallua berjumlah 3 bintang dan membentuk

32
garis lurus dari utara ke selatan demikian pula dengan Bintoeng
Tanrayya.

e) Jenis-jenis Hujan

Menurut Puto Lekkong, Jamal Tambi, dan Ammatoa


Puto Palasa, Masyarakat Adat Kajang memprakirakan
datangnya hujan tidak memakai informasi yang datangnya dari
pemerintah secara mutlak, mereka juga mempunyai perhitungan-
perhitungan sendiri mengenai hujan. Prinsip ini dikembangkan
karena keadaan cuaca menurut pemerintah belum tentu sama
dengan keadaan cuaca di Kajang. Penentuan hujan (bosi) pada
Masyarakat Adat Kajang didukung oleh kebiasaan dan fakta-
fakta empiris yang sudah berlangsung puluhan tahun dan sudah
menjadi pegangan tetap, beberapa jenis hujan itu diantaranya :
Caleppanga, Limbung-limbunga, Borrong-borronga, Hara'harae,
Tanrayya, Pattampayya (Pitto'nai, Panninnai, serta Bangkenna).
Bosi Caleppanga diperhitungkan turun pada Bulan September
hingga Bulan Januari. Hujan ini tidak didasarkan kepada
perhitungan peredaran bulan ataupun bintang, tetapi semata-mata
hanya perhitungan kebiasaan hujan yang jatuhnya antara
September hingga Januari, fenomena ini nyaris sama dengan Bosi
Limbung-limbunga karena perhitungan turunnya hujan sama
dengan Bosi Caleppanga.
Bosi Borrong-borronga dan Hara-harae, merupakan hujan
yang jumlah harinya adalah 15 hari yang selalu diiringi oleh
kehadiran bintang yang berjumlah tujuh buah atau bisa disebut
Bintoeng Borrong-borronga. Jika bintangnya berjumlah tiga buah
yang biasa disebut Bintoeng Kalea (bintang anggota tubuh,
kepala, badan dan kaki)I terbit dan diiringi turunnya hujan
maka hujan tersebut dinamakan Bosi Tanrayya. Selain kehadiran
tiga bintang, Bosi Tanrayya juga didasarkan pada jumlah hari
berlangsungnya hujan yakni selama 30 hari dan bulan turunnya
hujan yakni pada Bulan April hingga Bulan Mei.
Pada Bulan Juni hingga Bulan Juli biasa juga terjadi
hujan selama 30 hari yang disebut Bosi Pattampayya yang
dikaitkan dengan munculnya bintang yang berjumlah enam buah
yang formasinya membentuk paruh, sayap, kaki dan ekor

33
ayam. Bosi Pattampayya terbagi atas tiga bagian yakni: Bosi
Pitto'nai, dihubungkan dengan perilaku ayam yang sedang
mematuk makanannya, karena hujan ini turunnya rintik-rintik
yang kalau mengenai atap rumah bunyinya seperti ayam yang
mematuk makanan. Hujan ini kerap pula terjadi pada saat
matahari bersinar terik. Masyarakat Adat Kajang mempercayai
bahwa hujan pada saat matahari terik akan mendatangkan
penyakit, buah dan bunga tanaman menjadi layu, seperti
dipatuk ayam.
Bosi Paninnai, adalah hujan yang dihubungkan dengan
bunyi yang dikeluarkan oleh ayam yang sedang mengepakkan
sayapnya. Hujan seperti ini biasanya akan turun sehari semalam.
Menurut kepercayaan Masyarakat Adat Kajang, hujan ini akan
membuat hampa buah kemiri, pangi dan rambutan. Kepakan
sayap kanan ayam melemparkan biji kemiri ke Bantaeng
sedangkan sayap kirinya menerbangkan ke Kabupaten Bone.
Karena itulah kedua Kabupaten ini merupakan tempat yang
banyak ditumbuhi oleh komoditi tersebut.
Jika hujan turun dengan bergelombang disertai dengan
angin yang deras menerpa serta petir yang bersahutan,
Masyarakat Adat Kajang menamakannya Bosi Bangkenna karena
hujan ini mirip dengan suara alunan langkah ayam yang sedang
berlari. Padi serta tumbuhan lain yang sedang berbuah
kebanyakan akan rebah (tumbang). Jika hujan ini berlangsung
dari pagi hingga malam, dinamakan Bosi Bangkenna. Tetapi jika
hujannya hanya turun berupa gerimis, hujan tersebut dinamakan
Bosi Ikko'nai yang biasa juga disebut Bosi Tokuttu karena biasanya
kalau hujan ini turun, masyarakat akan malas melakukan
aktifitas.

4) Pengetahuan Tentang Pantangan-pantangan (Kasipalli')

Pantangan/Pammali atau Kasipalli merupakan ketentuan


hukum yang tidak tertulis yang dijunjung tinggi dan dipatuhi
oleh Masyarakat Adat Kajang. Kasipalli merupakan istilah dalam
Masyarakat Adat Kajang digunakan untuk menyatakan larangan
kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang
tidak sesuai. Masyarakat Adat Kajang meyakini bahwa

34
pelanggaran terhadap Kasipalli akan mengakibatkan ganjaran
atau kutukan. Tingkatan pantangan tersebut dimulai dari
Kasipalli (pantang), Karrasa' (keramat) dan Talama'ring (tidak
boleh/larangan keras). Kepercayaan masyarakat terhadap Kasipalli
selalu dipegang teguh. Fungsi utamanya adalah sebagai
pegangan untuk membentuk pribadi luhur dan media
pendidikan budi pekerti.
Pantangan-pantangan dalam pemanfaatan kawasan
hutan secara umum meliputi pantangan mengeksploitasi dan
memanen hasil-hasil hutan tertentu baik berupa kayu maupun
non kayu termasuk beberapa margasatwa yang hidup di dalam
hutan.
Menangkap udang (Rao doang) merupakan salah satu
pantangan (Kasipalli) yang sangat ditekankan oleh Pasang dan
merupakan pelanggaran berat apabila dilakukan. Tetapi khusus
untuk upacara adat Rao doang diperkenankan untuk diambil
tetapi dalam jumlah terbatas, biasanya hanya dibatasi sampai 5
ekor saja. Uhe'atau rotan sangat dilarang untuk diambil kecuali
untuk keperluan upacara, jumlahnya pun sangat dibatasi.
Menurut penuturan Ammatoa jumlah rotan yang bisa diambil
untuk keperluan upacara adat maksimal hanya 3 batang.
Pembatasan kuota pengambilan udang dan rotan ini
dimaksudkan sebagai bentuk sosialisasi pada masyarakat bahwa
Ammatoa sendiri tidak mengambil udang dan rotan untuk
kepentingan sendiri, tetapi hanya untuk keperluan upacara adat,
itupun dengan jumlah yang sangat terbatas.
Secara khusus ada 4 organisme yang sangat
dipantangkan untuk dieksploitasi sebagaimana Pasang berikut :
Ta'bang kaju. Tunu Bani. Rao Doang. Tette' Uhe'
Artinya: Menebang Kayu (pohon). Membakar Lebah. Menangkap
Udang dan Menebang Rotan
Jika ada pohon yang tumbang atau dahannya patah
maka biarkan saja lapuk dimakan rayap, tidak boleh diambil
untuk keperluan apapun meski harga kayunya mahal. Kondisi
inilah yang dijaga oleh Ammatoa turun temurun sejak Ammatoa
pertama hingga kini, karena itulah kehidupan Masyarakat Adat
Kajang terus berlangsung dan rakyatnya senantiasa hidup sesuai
dengan prinsip Tallasa Kamase mase.

35
Keterjagaan hutan demikian, mengisyaratkan tidak adanya
campur tangan manusia dalam hutan sebagaimana penggarisan
Ammatoa:
Jika manusia sudah masuk untuk mengelola hutan, maka hutan tidak
akan berdaya menghadapinya, apalagi kalau manusia serakah yang mau
menjadikan hutan sebagai sumber pendapatannya dan dijadikan sarana
untuk mendapatkan kayu yang bisa dijual.
Gambaran tentang keadaan hutan yang dikelola tidak
dengan prinsip-prinsip kelestarian serta ketegasan tentang akibat
yang ditimbulkannya jelas memperlihatkan kuatnya preskripsi
Pasang mendefenisikan keharusan dalam melakukan tindakan
untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan.
Jika ada sebatang pohon yang tumbang apalagi kayu
Bitti yang berdiameter besar, sangat menggiurkan untuk digarap
menjadi kayu gergajian apalagi dikalangan para Panrita Lopi
(pengrajin perahu) yang memang mencari kayu Bitti dengan
diameter besar untuk dibuat lunas perahu atau dinding perahu.
Menurut masyarakat, kayu yang tumbang itu akan sangat jauh
lebih bermanfaat untuk dimanfaatkan dari pada sekedar
dibiarkan lapuk di dalam hutan. Kalau kayu dibiarkan lapuk
hanya akan memberi manfaat pada organisme di dalam tanah,
tetapi kalau dimanfaatkan, akan membawa banyak manfaat bagi
masyarakat. Tetapi Masyarakat Adat Kajang terlarang untuk
memanfaatkan kayu yang tumbang, Ammatoa menyarankan
untuk dibiarkan saja karena kelak pohon tersebut akan menjadi
humus bagi pertumbuhan anakan pohon yang tumbuh
disekitarnya.
Lebah madu merupakan serangga yang multiguna.
Selain sebagai "penghulu" bunga yang mengawinkan atau
mempertemukan antara serbuk sari dengan kepala putik sebagai
cikal bakal terjadinya pembuahan, lebah madu juga
menyediakan manfaat yang sangat banyak dari produk-produk
yang dihasilkannya. Lebah madu mempunyai produk utama
berupa madu, serbuk sari bunga (bee pollen), lilin lebah, propolis
dan susu ratu (Royal Jelly).
Bagi Ammatoa, lebah (Bani) merupakan makhluk hidup
yang harus dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan kecuali
untuk kepentingan upacara adat, karena telah diatur dalam

36
Pasang. Sejarah Masyarakat Adat Kajang juga tidak luput dari
peranan Lebah Madu sebagai pasukan yang mengusir penjajah
dari kawasan adat Kajang. Karena itulah untuk menghormati
Pasang dan balas jasa terhadap Lebah Madu, Masyarakat Adat
Kajang tidak memanfaatkan Lebah Madu yang hidup di dalam
kawasan adat, meskipun potensinya untuk menjaga kesehatan
masyarakat tinggi.
Udang sebagai salah satu organisme yang hidup di
sungai sebenarnya merupakan sumber protein bagi keluarga,
tetapi Ammatoa melarang udang ditangkap dan dijadikan sebagai
bahan makanan, demikian pula dengan rotan yang mesti
memiliki banyak kegunaan dipantangkan untuk dipanen,
kecuali untuk keperluan upacara adat.
Air sebagai komponen inti kehidupan mendapatkan
tempat yang istimewa bagi Masyarakat Adat Kajang. Hidup
mereka sangat tergantung pada sungai (kaloro) yang membatasi
wilayah adat Kajang dengan dunia luar. Sungai Doro, Tuli,
Limba dan Sangkala merupakan sumber air untuk mengairi
sawah dan kebun. Selain itu mata air yang terdapat pada
kawasan adat Kajang merupakan sumber air utama untuk
kepentingan memasak, air minum, mencuci dan kebutuhan lain.
Masyarakat Ipantarang Embayya menggali sumur di rumah
masing-masing agar sumber air dekat dan mudah dijangkau.
Namun Masyarakat Adat Kajang pantang untuk menggali
sumur karena sama dengan menyakiti bumi (Paratihi) yang
dipantangkan oleh Pasang.
Air bagi Masyarakat Adat Kajang tidak bisa dipisahkan
dengan keberadaan hutan karena Pasang menegaskan bahwa
akar pohonlah yang menyebabkan timbulnya mata air dan
kemudian menjadi sungai, menghidupkan organisme air yang
mempunyai peranan penting dalam rantai makanan. Karena
itulah menebang pohon (Ta'bang Kaju) merupakan pelanggaran
berat yang berujung hukuman Poko'Babbala' dengan denda 12
Juta Rupiah.
Menurut Puto Lateng sanksi dan denda yang tegas
sangat kental dan nyata terjadi pada saat Puto Cacong
memagang jabatan Ammatoa, segala yang berbau moderen sangat
dipantangkan masuk kedalam kawasan adat. Masyarakat yang

37
menebang pohon akan spontan menjadi lumpuh atau terkena
penyakit tertentu. Setelah Puto Cacong wafat, maka
pelanggaran-pelanggaran yang mendapat hukuman spontan
sudah nyaris hilang dan masyarakat juga sudah semakin berani
untuk menebang pohon utamanya pada kawasan Borong A'nisiya
yang berbatasan dengan Borong Pa'rasangan Iraja.
Pengambilan kayu di Borong Batasayya hanya
diperuntukkan untuk kepentingan sosial dan perbaikan rumah
adat di tiga tempat, yakni Bola Toa ri Tombolo, Bola Toa ri Benteng
(Tonrolia) dan Bola Toa ri Daulu. Ketiga rumah ini menjadi penting
peranannya karena pada ketiga rumah inilah Pasang dibicarakan
oleh Ammatoa dan seluruh pemangku adatnya. Sebagaimana
umumnya masyarakat di Kabupaten Bulukumba, rumah
panggung merupakan rumah yang umum dijumpai pada
Masyarakat Adat Kajang. Rotan menjadi komponen penting
sebagai salah satu bahan bangunan terutama dalam membuat
atap yang dianyam dari jerami dan menjalin bilah bambu
dijadikan sebagai bahan pengikat bilah-bilah bambu untuk lantai
rumah (Dasere'), selain itu juga dijadikan sebagai pengikat bilah-
bilah Balok. Masyarakat Ipantarang Embayya juga menggunakan
rotan sebagai bahan pembuat keranjang, alat tenun dan berbagai
peralatan pertanian. Meskipun Rotan banyak terdapat di dalam
kawasan hutan, Pasang juga menegaskan untuk tidak memungut
Rotan di Ilalang Embayya. Mengambil Rotan merupakan
pelanggaran berat yang berujung Poko' Babbala'.
Untuk kebutuhan Rotan, masyarakat memperolehnya
dari pasar, baik di Tana Toa, Tupare maupun dari Pasar
Kalimporo. Ammatoa menegaskan bahwa Rotan (Uhe')
merupakan pengikat dan penyeimbang bumi, karena itu
terlarang untuk dimanfaatkan kecuali untuk keperluan upacara
adat.
Jika pohon dan rotan lestari maka mata air juga akan
tetap ada dan menunjang eksistensi sungai menjadi habitat bagi
udang kecil yang memegang peranan penting pada rantai
makanan di sungai sampai ke areal pesisir pantai di Tana Jaya.
Jadi keberadaan Doang merupakan faktor inti eksistensi ikan di
lautan. Karena itulah Doang juga sangat dipantangkan untuk
dikonsumsi kecuali untuk keperluan upacara adat.

38
Ammatoa dalam wawancara dengan peneliti menegaskan bahwa:
Jika masih ada daun di dalam hutan, maka selama itu pula
akan ada ikan di laut. Kondisi ini ditunjang oleh keberadaan
udang (doang) kecil yang banyak hidup di sungai (Kaloro')
Menyadari akan arti penting Borong Karamaka bagi
keberlangsungan kehidupan, Masyarakat Adat Kajang sejak dini
mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk memahami
Kasipalli (pantangan) untuk memasuki Borong Karamaka. Sejak
kecil anak-anak sudah diberitahu bahwa di dalam Borong
Karamaka terdapat makhluk halus yang bernama I Boek. Menurut
Puto Lekkong:

Sejak usia 5 tahun anak-anak pada Masyarakat Adat Kajang


sudah diajarkan beberapa pantangan untuk masuk kedalam
Borong Karamaka seperti intimidasi bahwa I Boek akan
menyembunyikan anak-anak yang masuk ke hutan dan tidak
bisa lagi bertemu dengan orang tuanya, demikian pula
ternak-ternak yang digembalakan dan kesasar masuk ke hutan
maka tidak akan bisa lagi diketemukan/hilang. Pelanggaran
lain yang disosialisasikan adalah pengambilan kayu atau
rotan yang digunakan sebagai cambuk/cemeti untuk
menggembala ternak.

Karena informasi ini sudah ditanamkan sejak dini,


anak-anak pada Masyarakat Adat Kajang sampai sekarang tidak
ada yang berani memasuki kawasan hutan. Pendapat lain
dikemukakan oleh Honteng:

Fungsi-fungsi hutan dan lokasi-lokasi hutan adat di Kajang


sudah mulai diajarkan pada saat anak-anak berusia 10 tahun
untuk setidaknya sampai anak tersebut berusia remaja atau
sekitar umur 15 tahun. Bentuk-bentuk pengajaran yang
dilakukan adalah dengan mengajak anak-anak untuk terlibat
langsung pada kegiatan pemanfaatan lahan baik bertani,
beternak maupun menggembalakan ternak, di saat istirahat
orang tua biasanya mengajarkan keharusan dan pantangan
dalam mengelola sumberdaya hutan. Lokasi Borong
Karamaka dan batas-batasnya secara bertahap juga

39
diperkenalkan orang tua kepada anaknya dengan istilah
Borongna I Amma atau hutannya Ammatoa, meskipun
Ammatoa menolak dikatakan sebagai pemilik kawasan hutan,
tetapi istilah tersebut dijadikan sebagai bahan intimidasi
kepada anak-anak untuk patuh kepada aturan pemanfaatan
kawasan hutan yang telah digariskan Tau rie' a'ra'na kepada
Ammatoa melalui Pasang.

Menerapkan aturan adat sangat penting untuk


memberlakukannya secara tegas tanpa pandang bulu. Aturan
yang diterapkanpun harus dilakukan mulai dari pemimpin
paling atas hingga masyarakatnya.
Igitte tau ca'dia ammuluku ri adahang suru'ki ri ajoha,
Nakimminahang rihajo-hajona pammarentata. Naiya
pammarentata iyamintu ammanta
Maknanya:Kita sebagai rakyat kecil harus mengikuti
keinginan pemerintah sebab pemerintah adalah orang tua kita.
Rakyat sebagai pemanfaat sumberdaya alam harus
mengikuti ketentuan, larangan dan sanksi yang ditetapkan oleh
Ammatoa. Tetapi Pemerintah/pemimpin yang menaungi
masyarakat harus memiliki syarat-syarat tertentu sehingga
masyarakat pun dengan patuh mengikuti segala ketentuan
tersebut. Pasang mengatur :
Lambusu'nuji nu karaeng. Gattannuji nu ada', Sa'bara'nuji
nu guru. A'pisonanuji nu sanro
Artinya:
Karena kejujuranmu maka engkau menjadi pemerintah
Karena ketegasanmu terhadap aturan engkau menjadi adat
Karena kesabaranmu engkau menjadi guru
Karena keikhlasanmu dan kepasrahanmu engkau menjadi
dukun.

Pasang ini menjadikan kejujuran, ketegasan, kesabaran


dan kepasrahan serta keikhlasan sebagai sifat dasar yang harus
dimiliki oleh pemimpin, supaya masyarakat juga patuh kepada
mereka. Sifat-sifat dasar ini menjadi pagar pengaman
masyarakat sehingga merasa tenteram dan damai hidup di
dalam kawasan Ilalang Embayya maupun Ipantarang Embayya.

40
5 ) Pengetahuan Tentang Keanekaragaman Hayati

Selain rotan dan udang, Borong Pa'rasangang Ilau juga


kaya akan berbagai flora dan fauna. Hasil wawancara yang
peneliti lakukan menunjukkan bahwa masyarakat mengenal
dengan baik kenaekaragaman flora yang ada di dalam kawasan
hutan seperti tercantum pada tabel berikut :
Tabel 3 Flora yang Terdapat Pada Borong Pa'rasangang Ilau

Nama
No Nama Lokal Nama Botanis Family
Indonesia
1 Anisi Helicia teysmanii Sleum Proteaceae
Castanopsis
2 Asa Saninten Fagaceae
acuminatassima A.Dc
3 Bakang Medang Litsea firma Hook.f. Lauraceae
Sukun
4 Bakara Artocarpus communii Moraceae
Hutan
Nephelium lappaceum
5 Balatung Rambutan Sapindaceae
L.
6 Bilalang Albizzia procera Benth Mimosaceae
7 Bissuhu
Xylicarpus moluccensis
8 Buli Meliaceae
Roem.
Pygeum parviflorum
9 Bunobampo Rosaceae
T.et B.
Disoxylum
10 Campaga Cempaga Meliaceae
densiflorumMiq
11 Cemara ri Callitris sp. Cupressaceae
12 Dande Balau Hopea dolosaV.Sl. Dipterocarpaceae
13 Dissappu Merbau Intsia bijugaO.K. Caesalpiniaceae
14 Garu Gaharu Aguilaria malaccensis Thymelaeaceae
15 Inru Aren Arrenga pinnata Palmae
Jambu
16 Jampu-jampu Crypteroniasp. Crypteroniaceae
hutan
17 Jate' Jati Tectona grandis L. Verbenaceae
18 Kalumpang Kepuh Sterculia foetida L. Sterculiaceae
Cananga odorata
19 Kalangiring Kenanga Annonaceae
Hook.f.et Th.
Canarium vulgare
20 Kanari Kenari Burseraceae
Leenh.
21 Kolaka Kolaka Parinari corymbosa Miq Rosaceae
22 Lalasang Jelatang Laportea sp. Urticaceae
Haplolobus celebicus
23 Langori Lengori Burseraceae
H.J.L.
Quercus menadoensis
24 Lanro Fagaceae
Kds.
Homonela javanemsis
25 Laru Myristicaceae
Muell.Arg
26 Lassa Langsat Aglaia sp. Meliaceae
27 Le'leng/Lotong Diospyros polita Bakh. Ebenaceae
28 Lemo-lemo Kandis Garcinia sp. Guttiferae

41
Nama
No Nama Lokal Nama Botanis Family
Indonesia
29 Mata alo Vitex quinata F.N.Will Verbenaceae
30 Na'nasa Gupasa Vitex cofassus Reinw Verbenaceae
Palaquium bataanense
31 Nato Nyatoh Merr. Sapotaceae
Alphitonia zizyphioides
32 Ole/Ola-ola Rhamnaceae
A.Gray
33 Pangi Pangi Pangium edule Reinw Flacourtiaceae
34 Parring Bambu Daemonorops sp. Palmae
35 Pondo Borong Medang Litseai sp. Lauraceae
Baringtonia acutangula
36 Poto/Puta Lecythidaceae
Gaertn.
37 Raja Tristania sp. Myrtaceae
Dracontomelon
38 Rao Dahu Anacardiaceae
mangiferum
39 Rappo Pinang Areca catechu Palmae
40 Rengngeng
41 Rita-rita Pulai Alstonia scholaris R.Br. Apocynaceae
42 Ropisi' Nemecylon sp. Melastomataceae
Sandoricum koetjape
43 Sattulu Kecapi Meliaceae
Merr.
44 Songeng
Turpinia sphaerocarpa
45 Sempaga Bangkong Staphyleaceae
Hassk.
46 Taipa Mangga Mangifera indica L. Anacardiaceae
Gomphandra
47 Tohaka Iccacinaceae
mappioides Val.
48 Uhe' Rotan Calamus sp. Palmae

Sedangkan untuk satwa yang hidup di kawasan hutan


adat Tana Toa menurut Masyarakat Adat Kajang antara lain
Babi hutan, Monyet, rusa, Kucing hutan, Ayam Hutan, berjenis-
jenis burung seperti Elang, Alo, Burung Kuning (cukudidi),
Gagak Hitam (Kua-kua), Jalak, Burung Kenari Hijau, Kenari
Pelatuk Panjang, Kenari Hitam Putih, Kenari Coklat, Burung
Gereja, Nuri Merah, Nuri Hijau, Burung Hantu Coklat, Burung
Hantu Putih, Burung Hantu Mata Lebar, Tekukur Kerbau,
Tekukur Emas, Burung Elang Kepala Putih, Kakatua Raja,
Pelatuk, Burung Hantu Mahkota, Merpati hutan Hitam Putih,
Merpati Hutan Coklat dan berbagai jenis burung lainnya, serta
berjenis-jenis lebah hutan (bani) dan ular (ulara’). Masyarakat
dapat mengetahui keberadaan satwa ini dengan cara melihat
langsung, melihat jejak, baik jejak kaki, kubangan maupun
kotoran, atau mendengar suara satwa tersebut.

42
Keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna
merupakan kekayaan hutan yang dapat memberikan manfaat
bagi Masyarakat Adat Kajang setidaknya dari empat aspek yakni
ekonomi, ekologi, kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Secara ekonomi hutan memberikan manfaat baik
langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Usaha
tani yang dilakukan masyarakat sangat tergantung kepada
integritas ekologi hutan yang ada dalam kawasan hutan adat,
meskipun usaha tani dilakukan di luar kawasan hutan adat,
tetapi eksistensi sumber air di kawasan hutan adat merupakan
faktor penentu keberadaan beberapa sungai yang ada di sekitar
kawasan hutan, Amir Tonna dan Pudding menuturkan:
Sungai-sungai disekitar areal persawahan dan perkebunan
nyaris tidak pernah mengalami kekeringan karena sumber air
di Borong Karamaka senantiasa terjaga keberadaannya dan
dilindungi oleh Pasang ri Kajang.

Pohon Bitti sebagai pohon sumber kayu Bitti


merupakan pohon penting bagi Masyarakat Adat Kajang karena
sangat diperlukan untuk pembangunan rumah dan pembuatan
perahu. Satu-satunya penyebar efektif dari biji-biji Bitti adalah
burung, karena itu keanekaragaman burung di dalam kawasan
hutan adat memegang peranan yang sangat penting. Ammatoa
menuturkan:
Burung ibarat wakil malaikat yang menyebarkan manfaat di
seluruh permukaan bumi. Burung memakan buah, tetapi
membawa kegunaan dengan menyebarkan biji-biji tumbuhan
ke seluruh penjuru negeri. Biji yang tumbuh dari biji yang
dimakan burung atau binatang lain akan tumbuh lebih baik
dibanding kalau jatuh dari pohonnya. Itulah sebabnya
mengapa pohon Na'nasa/Bitti, banyak terdapat di sekitar
Kajang.
Uraian-uraian pengelolaan hutan yang didasarkan pada
pengetahuan lokal sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
dapat disarikan sebagaimana tersaji pada tabel berikut :

43
Tabel 4. Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Adat
Kajang
Kegiatan
No Pengetahuan Lokal
Pengelolaan Hutan
Terbagi atas 2 kompleks
1 Tata Hutan (Pa'rasangang Iraja dan
Pa'rasangang Ilau)
Terbagi atas 3 Zona (Borong
Karamaka, Borong
2 Tata Guna Hutan
Batasayya/Tattakkang, Borong
Luarayya)
3 Status kawasan Hutan Lindung
4 Dasar Zonasi Berdasarkan Pasang
Panataan Batas Menggunakan batas alam
5
Kawasan Hutan (sungai/Kaloro)
Ta'bang kayu, Tuni Bani, Tette'
Uhe', Rao Doang. (Menebang
kayu, membakar lebah,
6 Pengamanan Hutan
menebang rotan, menangkap
udang) serta menggunakan alat
mekanis di Borong Batasayya
Pemanenan Hasil Sangat dibatasi/ada quota
7
Hutan berdasarkan Pasang
Penerapan Sanksi
8 Berdasarkan Pasang
Pelanggaran
Hutan mendatangkan hujan,
9 Hidrologi
berfungsi sebagai pengairan
Tanda-tanda alam untuk
menentukan iklim melalui
10 Klimatologi perlikau margasatwa, perilaku
serangga, burung, gejala-gejala
alam dan jenis-jenis hujan
Konservasi
11 Flora dan Fauna yang berguna.
Biodiversiti

44
6. Pengetahuan Pengelolaan Sawah

Masyarakat adat kajang memenuhi kebutuhan pangan


utamanya dari usaha sawah. Bahkan untuk urusan persawahan
ditetapkan beberapa sawah adat yang diperuntukkan untuk
Ammatoa dan keluarganya. Menurut Pasang:
Katallasanna tauwa kunne mae’ anjama galungki' .
Artinya:
(Disini (komunitas Ammatoa) mata pencahariannya adalah
bekerja di sawah.

Istilah-istilah yang digunakan untuk tanaman dan


palawija adalah: Pare’ (padi), Baddo’ (jagung), Loka (pisang),
Kaju (kayu) dan lain-lain. Khusus untuk sawah adat Ammatoa
terbagi atas beberapa bagian, yaitu: sawah adat Karaeng Kajang,
sawah adat Karaeng Moncongbulo’a, sawah adat Sulewatang, sawah
adat Galla Pantama, sawah adat Galla Lombo’, sawah adat Galla
Puto, sawah adat Galla Kajang, sawah adat Galla Anjuru’. Seiring
perjalanan waktu sawah adat yang eksis sampai saat ini adalah
sawah adat Ammatoa, sawah adat Galla Pantama, sawah adat Galla
Puto.
Padi (Pare) merupakan komoditi pokok yang
dibudidayakan pada sawah adat Ammatoa. Jenis Padi (pare) yang
dibudidayakan di sawah adat Ammatoa adalah Pare’ Langkasa’
yaitu: Pare’ Pulu’ Eja (beras ketan merah), Pare’ Pulu’ Pute (beras
ketan putih) dan Pare’ Pulu’ Le’leng (beras ketan hitam). Terdapat
padi lokal yang disebut Pare hattu, padi ini lebih tinggi dibanding
padi lainnya.
Menanam padi memiliki tahapan-tahapan yang harus
dipatuhi, masyarakat mengembangkan pengetahuan lokal untuk
menanam padi berdasarkan pewarisan transgenerasi. Tahapan-
tahapan tersebut adalah :
1. A’boja Tanra (Purung-purung, pohon Dande, A’borong Ada’)
2. A’nangkala (a’nangkasi galung, a’bingkung pitau)
3. A’tahuru bine (ni iri’, ammilei bine, a’tahuru)
4. A’rembo
5. Paenre'ere
6. A’tanang

45
7. A’passala Ango
8. A’katto/A’sangki (kelong pallele, a’tempa/akkaharrang, a’bokko)
9. A’nanro
10. A’dengka.

A’boja Tanra
A’boja Tanra merupakan sebuah proses untuk mencari
tanda-tanda alam untuk memulai pengelolaan sawah adat. Dua
hal yang dijadikan pegangan untuk melihat tanda-tanda itu
adalah Purung-purung dan pohon Dande’. Setelah melihat Purung-
purung dan memperhatikan pohon Dande’ maka biasanya
Masyarakat Adat Kajang akan melakukan a’borong ada’ (rapat
adat). Purung-purung merupakan serangga yang dijadikan
pertanda musim bagi masyarakat adat kajang. Pasang
mengajarkan:
Punna kalau’i purung-purung’a a’lamungki pare,
Punna rai’ki purung-purung’a a’lamungki baddo’
Artinya:
(Bila Purung-purung kesebelah barat saatnya untuk
menanam padi, bila Purung-purung kesebelah timur saatnya
untuk menanam jagung.)
Menurut Ammatoa Purung-purung merupakan
Turunanna To Manurung yang naik ke langit berbentuk bintang
dan akan mendatangkan/menurunkan hujan. Hal ini sesuai
dengan perjanjian Ada’ (adat) dengan Purung-purung (turunanna
to manurung) tersebut sebelum naik ke langit.
Pangkarua bulang lolo bulang appa kalau’I purung-purung’a,
Pangkarua bulang lolo bulang lima kalau’I manu’a,
Pangkarua bulang lolo bulang annang kalau’I aneang.
Anjo ngasengmo assare’ ere.
Artinya:
(Minggu kedua bulan empat purung-purung berada di Barat,
Minggu kedua bulan lima bintang manu berada di Barat, hari
kedelapan minggu pertama bulan enam bintang Aneang
berada di Barat. Ketiga bintang inilah yang memberi hujan).
Purung-purung (rasi bintang Orion/waluku) adalah sejenis
gugusan/rasi bintang yang dipercaya akan mendatangkan hujan.
Purung-purung ini terdiri dari beberapa bintang dan juga

46
dianggap keturunan dari To Manurung (orang yang pertama
turun ke bumi).

Gambar 1. Rasi Bintang Orion/Waluku

Kegiatan A’boja tanra hanya dapat dilakukan oleh


tokoh-tokoh adat yang menguasai ilmu perbintangan.
Pengetahuan lokal ini didapatkan juga dari pewarisan
transgenerasi. Waktu ideal untuk melihat purung-purung adalah
setelah matahari terbenam atau sekitar pukul 18.30 pada saat
langit cerah dan dilakukan di tempat ketinggian. Selain
memperhatikan Purung-purung, Aneang, Manu’ (Turunanna To
Manurung) di langit, masyarakat adat kajang juga melihat pohon
Dande’ yang merupakan pohon tertinggi yang ada di sekitar
kawasan adat Ammatoa. Pohon Dande adalah pohon legendaris
yang digunakan oleh masyarakat adat kajang untuk berbagai
keperluan. Nelayan-nelayan Kajang menjadikan pohon ini
sebagai petunjuk arah, jika pohon ini mulai berbunga
menandakan musim hujan telah tiba, jika gugur pertanda musim
kemarau dan waktunya untuk menanam jagung (ba'do').
Purung-purung (Rasi bintang Orion) dikenal di pelbagai
peradaban kuno. Bagi Masyarakat Adat Kajang, rasi bintang
Orion menyerupai pa’nangkala (alat bajak sawah). Orang Sumeria
melihatnya mirip domba, orang Mesir menganggapnya wujud
Osiris (Dewa Kematian) yang tengah membawa tongkat
komando. Dalam tradisi Masyarakat Adat Kajang , sebagian
bintang penyusun rasi Orion ini disebut Purung-purung, anenang
dan Manu’.

47
Ketika bintang Purung-purung muncul di ufuk timur,
Masyarakat Adat Kajang turun ke hutan-belukar. Mereka a’nanra
koko (menandai tanah huma-ladang). Tanah yang dipilih
dibersihkan agar dapat ditanami. Masa menanam padi
berlangsung ketika posisi bintang Purung-purung setinggi
matahari pukul delapan hingga sepuluh. Masa menuai saat
bintang Purung-purung di langit sebelah barat, setinggi matahari
pukul dua hingga empat sore. Bintang ini kelak hilang di ufuk
barat, kemudian muncul kembali di ufuk timur.
Satu siklus penampakan (peredaran) Purung-purung,
mulai dari terbit di ufuk timur hingga terbit kembali di ufuk
timur, berlangsung 12 kali bulan terang. Artinya, kurun waktu
satu siklus bintang ini berlangsung 12 bulan. Posisi Purung-
purung ditentukan berdasar posisi matahari. Menurut kearifan
lokal Masyarakat Adat Kajang, satu jam ‘waktu edar’ matahari
setara dengan satu bulan ‘waktu edar’ Purung-purung. Karena
matahari beredar dari timur ke barat selama 12 jam dalam sehari,
maka ‘kurun waktu jam’ posisi matahari identik dengan ‘kurun
waktu bulan’ posisi Pururng-purung. Menurut Ammatoa, Purung-
purung terbit di ufuk timur awal April, dan terbenam di ufuk
barat akhir Maret. Dengan demikian, kurun waktu satu siklus
peredaran Purung-purung relatif dapat dipadankan dengan
kurun waktu setahun kalender Masehi.
Sekitar awal April Purung-purung terbit di ufuk timur,
terlihat saat matahari terbenam. Dua bulan kemudian, bila
bintang ini berada pada posisi matahari pukul delapan (sekitar
Juni), orang mulai a’lamung pare (menanam padi). Diyakini,
periode terbaik menanam padi sampai Purung-purung berada
pada posisi matahari pukul sepuluh (sekitar Agustus).
Sementara periode terbaik a’katto (menuai) saat posisi Purung-
purung berada pada posisi matahari pukul dua hingga empat
sore, terlihat saat matahari terbit (sekitar Desember-Februari).
Tenggang waktu usai a’katto (musim menuai padi) hingga
terbenamnya Purung-purung di ufuk barat (sekitar Februari-
Maret) dipakai untuk annangkasa’ galung (pembersihan lahan).
Lahan itu kemudian dijadikan ladang ubi yang lazim digarap
oleh kaum wanita.

48
Itulah peran Purung-purung satu tahun kalender yang
terdiri dari 12 periode bulan. Kurun waktu satu periode (siklus)
bulan adalah jumlah dari 15 hari bulan terang dan 15 hari bulan
mati, sehingga satu bulan terdiri dari 30 hari. Artinya, kurun
waktu satu tahun kalender menurut perhitungan Masyarakat
Adat Kajang tidak tepat betul dibanding satu satu tahun
kalender Masehi. Kalender tahunan Masehi berlangsung rata-
rata 365,2425 hari.), sedang kalender tahunan tradisional
Masyarakat Adat Kajang adalah 360 hari.

Pohon Dande’

Selain memperhatikan posisi dari Purung, biasanya


Masyarakat Adat Kajang juga memperhatikan gejala yang terjadi
pada pohon dande’. Manakala pohon tersebut telah bersemi
daunnya, itu dianggap sebagai pertanda waktu menanam padi
sudah dekat. Maka masyarakat yang akan menanam padi mulai
mempersiapkan peralatan yang hendak dipakai dalam proses
penanaman tersebut. Selain daun dari pohon Dande’ yang
menjadi tanda, Masyarakat Adat Kajang juga memperhatikan
monyet-monyet yang keluar dari hutan dan bergelantungan
dipohon tersebut.

A’borong ada’

Setelah A’boja/angngitte Tanra (mencari/melihat tanda-


tanda alam) dilakukan, maka akan diadakan A’borong ada’ (rapat
adat) yang difasilitasi oleh Ammatoa. A’borong ada’ merupakan
prosesi yang dihadiri oleh segenap warga dan pemangku adat.
Kegiatan ini dilakukan manakala ada sesuatu hal penting yang
akan dibicarakan dan diputuskan secara musyawarah adat.
Sebagai pemandu rapat ialah Galla Pantama yang mempunyai
otorita dalam bidang pertanian. Galla Pantama akan
menguraikan waktu-waktu yang tepat untuk memulai prosesi
kegiatan pertanian. Penentuan waktu ini sangat penting karena
berkorelasi dengan hasil yang kelak akan dihasilkan. Karena
waktu tanam yang tepat akan mendatangkan hasil yang
berlimpah. Setelah penentuan waktu tanam, maka mulailah

49
Masyarakat Adat Kajang turun ke sawah menanam padi/jagung
(pare’/ba’do).

A’nangkala

Setelah a’boja tanra, proses pengelolaan sawah adat


selanjutnya adalah A’nangkala. A’nangkala merupakan proses
membajak sawah menggunakan sapi atau kerbau. Tujuannya
untuk membalik tanah agar tanah yang subur terbalik yang
tadinya berada pada bagian bawah.
Membajak (a’nangkala) berarti membalik tanah beserta
tumbuhan rumput, sisa tanaman sebelumnya (jerami), kotoran
lain hingga terbenam, sehingga akhirnya membusuk. Dengan
pembajakan (a’nangkala) ini pula, unsur-unsur yang ada
didalamnya kembali masuk ke tanah dan dapat menjadi hara bagi
tanaman berikutnya.
Tidak diperkenankan menggunakan peralatan moderen
dalam pengelolaan sawah adat Ammatoa (a’nangkala galunna
i’Amma), hanya sapi atau kerbau yang diperkenankan. Sebelum
dilakukan pembajakan dipanjatkan doa agar mendapat berkah
dari Turie’a’ra’na supaya hasilnya berlimpah/panen raya (a’katto
lompo).
Tempat untuk memulai turun sawah yaitu pada sudut
selatan barat daya. Hal ini dianggap berlawanan dengan hama
walang sangit (ango) dan penyakit lain pada tanaman padi. Pada
sudut ini, sapi atau kerbau yang digunakan untuk membajak
digiring berputar kekanan dengan alasan bahwa “onrong ballo’a
iamintu ri kanang” artinya tempat yang baik biasanya pada
sebelah kanan, dan diakhiri di tengah. Alat yang digunakan
untuk a’nangkala yaitu tedong/capi, karappu, dan sangko.
Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki dan merupakan syarat
mutlak yang harus dikuasai bagi laki-laki Masyarakat Adat
Kajang yang akan menikah, sedangkan perempuan harus mampu
menenun jika akan menikah.
Prosesi A’nangkala (Pengolahan tanah) terdiri dari dua
tahap yakni A’nangkasi galung (pembersihan sawah), a’bingkung
pitau (pencangkulan pematang).

50
A’nangkasi galung

A’nangkasi galung merupakan proses pembersihan


sawah. Kegiatan utamanya adalah membersihkan saluran air
agar dapat mengalirkan air dengan baik dan cukup. Tanah
sawah adat yang masih ada jeraminya perlu dibersihkan dengan
cara dibabat, kemudian dikumpulkan dilain tempat atau dibuat
pupuk kompos. Jerami tersebut juga dapat menjadi makanan
ternak atau dibakar. Rumput-rumput liar yang tumbuh harus
dibersihkan pula, agar bibit padi tidak mengalami persaingan
dalam mendapatkan hara.
Proses a’nangkasi ini dilakukan siang hari sampai
sebelum matahari terbenam. Hal ini dimaksudkan karena sesaat
sebelum matahari terbenam disitulah saat yang paling baik
untuk membersihkan/mensucikan diri segala sasuatu yang telah
dikerjakan pada hari tersebut.
Masyarakat Adat Kajang mengarjakan kegiatan ini
bersama-sama tanpa adanya imbalan. Gotong royong dan tolong-
menolong di Tana Kamase-mase’a merupakan pengikat
kebersamaan masyarakat, respek yang muncul dari kepercayaan
antar warga menyebabkan respek positif pada masyarakat
menjadi baik, hal inilah yang menyebabkan tidak adanya adopsi
teknologi dalam mengerjakan sawah.

A’bingkung pitau

Setelah dibersihkan, maka proses pengelolaan sawah


dilanjutkan dengan a’bingkung pitau (pencangkulan pematang).
Tahap ini dimulai dengan memperbaiki pematang (pitau) serta
mencangkul sudut-sudut petak sawah yang sukar dikerjakan
dengan bajak dan menutup lubang-lubang yang dibuat oleh
tikus (balaho bongolo’).

A’tahuru Bine

A’tahuru Bine merupakan proses pembenihan dengan


jalan menabur benih padi (pare) yang mereka usahakan sendiri.

51
Benih ini adalah padi Hattu (padi yang masih melekat pada
malainya) yang disimpan (ni nangro) di atas Para Bola (plafon
rumah). Beberapa rangkaian proses a’tahuru bine diantaranya: (1)
ni iri’; (2) ammilei bine; (3) a’tahuru;

Ni iri’

Benih yang selama ini disimpan (ni nanro) di para bola


diturunkan oleh kaum perempuan, selanjutnya benih yang
dalam keadaan nikaharrang ditempatkan pada sebuah alas plastik
kemudian kaum laki-laki akan memisahkan bulir padi dari
malainya dengan cara menginjak-injak. Penyimpanan benih
dengan tetap membiarkannya melekat pada malainya membuat
bulir gabah tetap utuh dan awet. Penyimpanan pada bagian atas
plafon rumah mengakibatkan suhu di sekitar padi menjadi
hangat/panas jika atap terkena matahari, karena itulah
kondisinya terjaga dari kelembaban.
Kegiatan ni iri’ yang telah dilaksanakan turun temurun
didahului dengan membaca doa-doa dan dilaksanakan pagi hari.
Masyarakat Adat Kajang percaya bahwa di pagi hari sang maha
memberi akan membagikan rejekinya pada seluruh semesta,
karena itulah mereka berharap rejeki itu datang di pagi hari.
Setelah padi berpisah dari malainya, maka jerami kemudian
disisihkan sementara pada tempat yang disediakan, kemudian
diambil lagi satu Kaharrang yang lain. Jerami yang telah berpisah
dengan bulir padinya tidak boleh dibakar karena akan membuat
hasil dari padi yang ditanam akan berdaun merah kuning.
Setelah padi ni iri’ maka ritual yang dilakukan adalah
meletakkan peralatan dapur di sekeliling benih yang akan
disemaikan. Hal ini mengandung makna bahwa harapan petani
nantinya setelah panen padi tersebut akan disentuh kembali oleh
peralatan dapur tadi yang berarti panen berhasil. Selain
peralatan dapur, diletakkan pula peralatan yang akan digunakan
dalam proses pengolahan tanah diantaranya cangkul, sabit,
sangko, parang, pakkatto dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan agar
benih yang akan dihambur akan tumbuh menjadi bibit dan padi
dengan hasil yang memuaskan tanpa ada rasa takut karena
memiliki senjata seperti peralatan yang digunakan. Hal ini juga

52
sebagai ritual yang dijalankan untuk “menakut-nakuti” rumput
dan hama yang akan mengganggu pertumbuhan tanaman padi.

Ammilei Bine

Ammilei bine berarti sebuah proses penyeleksian benih


padi (pare )yang akan dibudidayakan di sawah. Sebelum benih
ditebar (ni tahuru’) pada tempat pesemaian, terlebih dahulu
dilakukan seleksi benih. Seleksi benih (ammilei bine) ini dilakukan
untuk mencari benih-benih berkualitas baik yang akan
disemaikan di sawah. Karena hasil produksi padi sangat
bergantung pada kualitas benih yang ditanam.
Dewasa ini, dengan hadirnya teknologi-teknologi
pertanian yang sifatnya modern membuat para petani padi
sawah tidak lagi mengusahakan benih sendiri, karena benih
yang baik dengan produksi tinggi sudah banyak dijual
dipasaran. Namun khusus untuk Masyarakat Adat Kajang yang
menjunjung tinggi nilai Tallasa’ kamase-mase’a masih
melaksanakan pembenihan/pemilihan benih secara
konvensional.
Teknik pemilihan benih (ammilei bine) ini cukup
sederhana. Peralatan yang digunakan juga mudah didapat,
diantaranya: baskom/Katoang dan air. Cara penyeleksiannya
yaitu dengan merendam padi yang telah ni iri’ tadi ke dalam
baskom berisi air. Banyaknya padi yang dimasukkan ke dalam
baskom yaitu satu kaharrang. Selanjutnya diperhatikan padi yang
tenggelam dan padi yang terapung. padi yang terapung
menandakan tidak padatnya isi dari buah padi dan tidak baik
untuk dijadikan benih, ini ditandakan dengan adanya rongga
udara dalam bulir padi yang membuat padi terapung.
Sedangkan padi yang tenggelam merupakan benih yang baik
untuk disemaikan karena isi bulir padinya padat.
Padi yang telah diseleksi tadi kemudian direndam
selama 48 jam dengan air. Setelah direndam maka selanjutnya
benih padi tersebut ditiriskan dan disimpan selama 48 jam pula
sebelum benih berkecambah tersebut ditebar di persemaian.

53
A’tahuru

Setelah ada instruksi dari Galla Pantama sebagai


penanggung jawab bidang pertanian, maka akan dilakukan
penebaran (a’tahuru) benih untuk disemaikan secara serentak,
baik itu sawah adat Ammatoa maupun sawah yang dikelola oleh
Masyarakat Adat Kajang. Selang empat puluh hari setelah benih
dipesemaian ditabur maka sudah saatnya bibit padi tersebut ni
rembo’ (dipindahkan) ke sawah. Pekerjaan ini dilakukan oleh
kaum perempuan, menurut Pasang :
Bahine a’tahuru, bura’ne a’nangkala
Anjo sara’na nakajajiangki tinanang
Artinya:
“Perempuan yang menabur, laki-laki yang membajak, itulah
syarat agar pertanian berhasil”.

Perempuan memegang peranan dalam proses a’tahuru


bine. Penaburan benih dilakukan sekitar pukul 07.00 waktu
setempat dengan asumsi bahwa terik matahari belum terlalu
panas. Durasi waktu yang dibutuhkan untuk menabur benih
sekitar 60 menit. Pakaian yang dikenakan penabur benih adalah
baju pokko (semacam baju tanktop berwarna hitam). Cara
penaburan benih dilakukan dengan menggunakan tangan
kanan.
Ada dua macam pesemaian yaitu: (1) persemaian basah;
dan (2) ; persemaian kering. Persemaian basah dilakukan dengan
cara membuat bedengan tanah yang telah diolah sempurna.
Petani sudah biasa membuat persemaian basah. Sekalipun
demikian perlu diperhatikan agar bibit tidak tumbuh terlalu
rapat dan untuk itu benih ditebar pada areal persemaian cukup
luas agar benih tumbuh tegak. Sedangkan persemaian kering
adalah persemaian benih padi yang dilakukan pada lahan
kering.

A’rembo’

A’rembo dalam bahasa konjo berarti mencabut bibit dari


pesemaian untuk dipindahkan ke sawah. Syarat bibit yang

54
dicabut/dipindahkan adalah bibit yang telah berumur 30 hari
setelah ditebar. Bila bibit sudah lewat dari 30 hari, maka petani
menganggap pertumbuhannya akan kurus. Sedangkan bila
kurang dari 30 hari maka akan mudah terserang penyakit atau
dikenal anre’pa nasalai garring (belum terbebas dari penyakit).
Arah hadapan dalam permulaan A’rembo yaitu empat penjuru
sawah (appa kacucu galung). Proses ini dilakukan dengan tangan
agar bibit yang akan dipindahkan/dicabut mudah diikat. Untuk
sawah adat Ammatoa dibutuhkan sekitar 10 ikatan bibit.
Bibit yang telah dicabut, diusahakan untuk
diistirahatkan selama beberapa jam dengan harapan bahwa
batang padi akan kuat dan jumlah anakannya akan lebih
banyak. Petani percaya bahwa bila ia ingin tanamannya tumbuh
baik, maka ia harus mencabut bibit padi pada subuh hari dan
menanamnya pada pagi hari. Adapun pantangannya untuk padi
yang telah di rembo’ adalah bibit tidak boleh terpisah dari
bijinya karena akan mudah diserang hama dan juga tidak boleh
kekeringan karena daunnya akan mengalami kerusakan.
Pada waktu mencabut bibit seringkali ada tanah yang
masih melekat pada akar. Hal ini bisa dihilangkan dengan cara
mencuci akar tersebut atau mencelupkannya ke dalam air. Cara
menghilangkan tanah yang melekat pada bibit padi tadi
hendaknya tidak dengan dipukul-pukulkan pada suatu benda
atau betis untuk menghindarkan bibit dari kerusakan akar.

Paenre' ere

Paenre' ere merupakan bahasa konjo yang berarti


irigasi/pengairan. Sawah adat Ammatoa tidak memiliki pengairan
khusus, begitupun sawah non adat lainnya. Dalam pasang
dijelaskan bahwa:

Anjo boronga iya kontaki bosi’a,


nasaba kunne mae anre paenre' ere,
iya minjo boronga nikua paenre' ere nasaba ia nakabattui
bosi’a.

55
Artinya:
“Hutanlah yang menghubungkan bumi dengan hujan,
karena disini (tana kamase-mase’a) tidak terdapat
pengairan/irigasi, maka sesungguhnya hutanlah yang
menjadi irigasi/pengairan, karena dapat mendatangkan
hujan.

Berdasarkan Pasang di atas maka pengairan/irigasi


sawah Masyarakat Adat Kajang tidak memiliki irigasi atau
dengan kata lain sawah mereka adalah sawah tadah hujan.
Mereka sangat menjaga hutan karena mereka percaya bahwa
pengairan/irigasi alam yang diturunkan oleh Turie’a’ra’na adalah
hutan (borong) dan akan terus mendatangkan hujan setiap tahun.
Manakala curah hujan kurang maka jalan yang ditempuh adalah
dengan menenteng air dari sumur kemudian menyirami padi
yang membutuhkan air.

A’tanang

A’tanang merupakan bahasa konjo yang dalam bahasa


Indonesia berarti menanam. Hal ini bagi Masyarakat Adat
Kajang dilakukan oleh laki-laki. Waktu penanaman yang paling
ideal menurut Ammatoa dan Galla Pantama adalah diwaktu pagi
hari ketika matahari berada dikemiringan 30 derajat. Karena
pada saat ini Turie’a’ra’na akan menurunkan berkahnya kepada
seluruh alam.
Khusus untuk sawah adat Ammatoa pola tanam berbeda
dengan pola tanam sawah non adat, yakni bibit padi ditanam
secara berselang-seling. Hal ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi serangan hama tikus (balaho). Caranya
penanaman dimulai pada pertengahan sisi sawah yang
menghadap matahari membentuk pola menyilang dan berakhir
di pertengahan sisi sawah yang membelakangi matahari.
Sistem penentuan jarak tanam adalah dengan
menggunakan lengan tangan sebagai alat pengukur. Caranya
panjang lengan tersebut dibagi 3 yaitu: ujung tangan (telapak
tangan), pertengahan tangan dan pangkal lengan. Untuk terlihat
rapi maka dapat digunakan rotan untuk ma’bacci (meluruskan)
bibit padi yang ditanam. Tanaman padi dalam satu rumpun

56
padi yang tumbuh berasal dari dua bibit atau lebih akan
mengalami persaingan dalam menyerap unsur hara dari dalam
tanah. Persaingan dalam menyerap hara tidak terjadi kalau satu
rumpun padi berasal dari satu bibit.
Setelah ni bacci (diluruskan), maka dilakukan penanaman padi
secara serentak (a’lamung a’borong atau a’tanang a’borong) dengan
cara sebagai berikut:
• Segenggam bibit digenggam ditangan kiri, tangan kanan
mengambil 2-3 bibit dari tangan kiri dan berniat untuk si itte
pole ruampolu allo riboko’a (bertemu kembali dua puluh hari
kemudian).
• Setelah berniat dalam hati, maka bibit tersebut dimasukkan
ke dalam tanah sepanjang jari telunjuk, tidak boleh lebih
dan juga tidak boleh kurang dari ukuran jari telunjuk
• Posisi bibit tersebut (bine) harus tegak lurus
• Selama waktu penanaman berlangsung tidak boleh
memanggil orang lain dengan menyebut namanya
melainkan menyebut bantu’ untuk laki-laki dan hera’ untuk
perempuan.
• Apabila Purung-purung muncul pada siang hari, maka tidak
boleh dilakukan a’lamung karena dianggap waktu yang
keramat.
• Kedalaman bibit yang ditanam adalah 3-4 cm.
Bibit padi yang telah ditanam selalu diamati (dikontrol),
sebab tidak semua tanaman padi tersebut yang akan tumbuh
dengan baik, kadang-kadang ada beberapa tanaman yang mati
atau terhambat pertumbuhannya, kurang normal dan kerdil
(ca’di).
Untuk sawah adat dan non adat untuk mengantisipasi hal
tersebut diatas juga melakukan proses penyulaman dengan
ketentuan:
• Bibit yang digunakan harus jenis yang sama
• Bibit yang digunakan adalah sisa dari proses A’tahuru bine
terdahulu (bibit cadangan)
• Penyulaman tidak boleh melampaui 10 hari setelah tanam.

57
A’passala Ango

Dalam rangka memelihara tanaman padi, hama walang


sangit seringkali datang melanda. Gangguan itu dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Pengaruh itu dapat
berupa kerusakan daun padi, sehingga mengganggu proses
fotosintesis. Untuk mengatasi hal tersebut Masyarakat Adat
Kajang melakukan penanganan dengan cara a’sala ango. Dengan
demikian pertumbuhan padi tidak akan terganggu dan
produksinya tidak menurun.
A’passala ango berarti menjauhkan hama walang sangit
pada tanaman padi (pare). Hal ini telah dilakukan secara turun
temurun oleh Masyarakat Adat Kajang. Adapun pelaksanaannya
terbagi atas dua cara yaitu: 1) membaca doa-doa; 2) melakukan
penyemprotan racun. Namun khusus untuk sawah adat
Ammatoa sama sekali tidak dibolehkan penyemprotan racun
karena dianggap membunuh sesama makhluk yang diciptakan
oleh Turie’a’ra’na.
Ammatoa adalah komunitas adat yang identik dengan
doa-doa (doti’). Doa-doa (doti) tersebut tidak hanya yang baik,
namun yang jelek juga ada mantranya. Kepercayaan mereka
terhadap mantra-mantra itu sangat tinggi. Dalam proses
pengelolaan sawahpun mereka memakai sistem mantra-mantra.
Ketika Ango (walang sangit) datang mengganggu, maka
Ammatoa dan orang yang dianggap kompeten akan membacakan
doa-doa agar hama tersebut tidak datang lagi. Kunyit, daun
sirih, minyak kelapa dan Leko paccing merupakan bahan yang
dipergunakan dalam prosesi a’passala ango tersebut. Caranya,
ketiga bahan tersebut dicampur dalam sebuah wadah yang telah
disediakan. Setelah ramuan itu tercampur, maka selanjutnya
ramuan tersebut dipercik-percikkan pada padi (pare) yang
diserang walang sangit dengan Leko paccing sambil membaca
doa-doa. Doa-doa tersebut tidak dapat disebutkan karena
merupakan sesuatu yang keramat untuk diberitahukan apalagi
untuk ditulis.
Appa sulapa’ galung na nikammi-kammi ango’a (empat
sudut sawah) yang pertama kali dipercikkan. Karena menurut
Galla Pantama, walang sangit (ango) menyerang tanaman padi

58
melalui sudut sawah. Dari sudut inilah kemudian walang sangit
menyebar keseluruh penjuru sawah dan akhirnya merusak
tanaman padi (pare). Kegiatan ini merupakan pekerjaan yang
dilakukan oleh kaum wanita.

A’katto/a’sangki

Panen merupakan tahap akhir penanaman padi di


sawah. Bila hasil yang diharapkan telah menjadi kenyataan,
berarti buah padi sudah cukup masak dan siap untuk
dipanen/dipetik. Namun pemanenan padi harus dilakukan pada
waktu yang tepat, sebab ketepatan waktu memanen
berpengaruh terhadap jumlah dan mutu gabah dan berasnya.
Pada Masyarakat Adat Kajang panen dikenal dengan
sebutan a’katto/a’sangki. Disebut A’katto apabila padi yang akan
dipanen adalah varietas beras ketan (pare pulu) dan beras merah
sedangkan disebut a’sangki apabila padi yang akan dipanen
beras biasa. Alat yang digunakanpun berbeda. Saat a’katto alat
yang digunakan adalah pakkatto (ani-ani) dan pada saat a’sangki
alat yang digunakan adalah sabit (passangki). Ketika a’sangki,
bagian padi yang dipotong adalah pangkal batang, sedangkan
a’katto bagian padi yang dipotong adalah ujung malai padinya.
Pada sawah adat Ammatoa karena yang ditanam adalah pare pulu’
(beras ketan), maka panen yang dilakukan adalah a’katto.
Adapun kegiatan dalam proses a’katto ini terbagi atas tiga
bagian, yakni: (1) kelong pallele; (2) A’tempa, Akkaharrang, A’bokko;
dan (3) Allembara’, A’teke’

Kelong Pallele

A’katto ini dilakukan secara bersama-sama oleh kaum


perempuan dan laki-laki mengambil padi yang telah nikatto
sambil menyanyikan lagu kelong pallele dengan dohong (topi
jerami) di atas kepala. Sepenggal bait dari kelong pallele:
“oh teteng ri limanta, kisappeangma raunna.
Teteng kairi laku parikanansai.”

59
Jadi dalam prose a’katto ini dilakukan oleh kaum perempuan dan
kaum laki-laki berada dibelakang perempuan mengambil padi
yang telah ni katto dengan sebutan mallele.

A’tempa, Akkaharrang, A’bokko

Setelah akkatto, selanjutnya padi tersebut akan dibuat ni


tempa (ikatan kecil). Ukuran padi yang ni tempa adalah sebesar
lingkaran ibu jari dan jari telunjuk. setelah empat kumpulan padi
yang telah ni tempa, maka padi tersebut akan ni kaharrang. Ni
kaharrang adalah perkumpulan padi yang telah ni tempa sebesar
satu genggaman tangan. Setelah nikaharrang maka dapat ni bokko.
Nibokko biasanya hanya satu bokko tiap hektar karena
merupakan syarat. Tiap bokko terdiri atas empat kaharrang.
Setelah proses a’katto selesai, maka padi dipisahkan lalu
nilembara atau niteke’ menuju rumah.

Allembara’, A’teke’

Allembara’ berarti memikul padi yang telah dipanen


(nikatto) menuju rumah. Sedangkan a’teke’ berarti membawa padi
yang telah dipanen dengan menggunakan kuda. Kedua proses
ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kelebihan dari proses allembara’ yaitu dapat meminimalisasi
terjadinya kehilangan hasil selama perjalanan menuju rumah
dan kekurangannya adalah dibutuhkan tenaga untuk memikul
padi tersebut menuju rumah dan jumlah padi yang dapat
dibawa dalam sekali jalan sedikit. Sedangkan bila a’teke’
kelebihannya dapat meminimalisasi tenaga yang dikeluarkan
dan jumlah padi yang dapat dibawa juga banyak. Namun
kekurangan dalam proses a’teke’ adalah besarnya jumlah
kehilangan hasil dalam perjalanan karena jatuh akibat kerasnya
guncangan yang ditimbulkan oleh gerakan kuda.

A’nanro

A’nanro berarti menyimpan. Dalam hal ini diartikan


proses penyimpanan padi yang telah dipanen dan dikeluarkan

60
manakala dibutuhkan sebagai bahan pangan konsumsi maupun
bahan dasar dalam upacara pa’nganro. Setelah padi diikat (ni
kaharrang), maka selanjutnya padi tersebut akan dibawa kerumah
dengan cara ni teke’ atau ni lembara’. Perbedaan antara keduanya
adalah alat yang digunakan, kalau ni teke’ dengan menggunakan
kuda, sedangkan bila ni lembara’ diangkat sendiri oleh laki-laki
menuju rumah. Sesampai dirumah maka padi yang telah
dipanen tersebut akan didoakan (nipa’baca doang) sebelum
dinaikkan ni nanro di para bola (loteng).
Padi yang akan disimpan (ni nanro) di para bola ini
dilakukan oleh kaum perempuan. Karena mereka yakin bahwa
perempuan lebih bijak dalam menyimpan sesuatu dibandingkan
laki-laki. Tapi manakala perempuan tidak kuat, maka bisa laki-
laki yang menaikkannya dengan syarat harus orang yang tinggal
dirumah tersebut. Padi yang ni nanro ini dapat disimpan lama
bahkan sampai sepuluh tahun lamanya.
Para Bola (loteng) merupakan tempat menyimpan padi
karena Masyarakat Adat Kajang berasumsi bahwa padi itu harus
dimuliakan dan ditinggikan serta menghindari agar tidak ada
hewan yang lewat diatas padi tersebut. Apabila dibutuhkan
maka padi yang ni nanro tadi akan diturunkan dan ni alloi
(dijemur) satu hari, setelah itu ni dengka/ni ludda. A’dengka
dilakukan oleh kaum perempuan secara bersama-sama diatas
sebuah lesung dengan jumlah padi yang ditumbuk sebanyak 4
kaharrang, sedangkan a’ludda tidak terbatas karena dilakukan
diatas sebuah terpal plastik.
Padi yang ni nanro ini bisa sampai berumur 10 tahun.
Umur padi yang sudah lama ini biasanya terjadi karena padi
lama yang tertumpuk oleh padi yang baru dipanen, begitu
seterusnya hingga tidak sempat dikonsumsi. Masyarakat Adat
Kajang menyebutnya dengan istilah indung pare.
Indung pare ini sengaja dibiarkan terus ditumpukan
bagian bawah dan tidak boleh dimakan selagi masih ada padi
baru dipanen yang terletak diatasnya. A’nanro pare (menyimpan
padi) di parabola mengindikasikan bahwa setiap keluarga
diharuskan mempunyai tabungan atau cadangan padi (pangan),
baik dalam setiap musim panen maupun ketika musim paceklik.
Selain itu, melalui penyimpanan ini dapat meningkatkan inisiatif

61
Masyarakat Adat Kajang agar selalu mempunyai ketersediaan
pangan yang berkelanjutan.
Sekarang dikawasan adat Ammatoa telah terjadi
perubahan cara pandang dimana padi yang sudah lama atau tua
tadi boleh digunakan untuk konsumsi pada waktu-waktu
tertentu, misalnya hajatan dan ritual. Tetapi sebagai makanan
pokok sehari-hari tetap jarang digunakan karena kualitasnya
telah menurun, rasanya sudah pahit, rasanya tidak enak dan
warnanyapun sudah berubah.
Padi yang disimpan diperbolehkan untuk dikonsumsi
manakala telah berada di parabola selama 40 hari lamanya.
Intensitas pengambilannyapun dibatasi hanya satu kali dalam
seminggu beberapa kaharrang dan dalam hitungan ganjil. Hal ini
menunjukkan bahwa Masyarakat Adat Kajang sudah punya
kesadaran untuk berhemat dan memiliki standar pangan yang
cukup untuk keluarga dalam satu minggu sampai dengan
musim panen berikutnya. Dengan demikian, berapa jumlah
ketersediaan yang diperlukan selama satu musim, penghematan
yang harus dibuat senantiasa diketahui oleh Masyarakat Adat
Kajang. Sistem a’nanro inilah yang masih bertahan sampai
sekarang. Masyarakat Adat Kajang tidak pernah kekurangan
padi atau pangan. Saat panen mereka menabung padi di parabola
dan saat paceklik mereka akan menggunakan tabungan tersebut.
Sehingga ketahanan pangan senantiasa terjaga sepanjang waktu.

A’dengka

A’dengka merupakan proses menumbuk padi untuk


merontokkan bulir dari malainya atau proses pengupasan kulit
padi menjadi beras. Tradisi masyarakat tani tradisional ini
dikenal diseluruh wilayah Indonesia. Tradisi itu sudah berjalan
turun temurun. Suara benturan antara kayu penumbuk, yang
disebut alu, dan lesung ini biasanya terdengar nyaring.
Membentuk irama ketukan yang khas rancak bertalu-talu.
kegiatan semacam a’dengka bukan hanya dikenal di kawasan
adat Ammatoa Kajang. Di sejumlah tempat yang penduduknya
bergantung dari hasil usaha bertani umumnya. Di Makassar dan
sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti

62
adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda.
A’dengka/A’ludda dilakukan sampai padi terpisah dari malainya.
Setelah itu maka padi akan ni tapi untuk membersihkan sisa-sisa
malainya.

B. Pengetahuan Lokal dalam Pemanfaatan Hasil Hutan

1. Pengetahuan Lokal Pemanfaatan Hasil Hutan untuk


Ramuan Rumah

Rumah masyarakat adat Kajang sekilas mirip dengan


rumah masyarakat suku Bugis dan Makassar, yakni berbentuk
rumah panggung yang ditunjang oleh tiang dan kerangka kayu.
Rumah merupakan salah satu unsur pada prinsip hidup Kamase
masea (hidup sederhana/bersahaja) bagi Masyarakat Adat
Kajang, sesuai dengan pasang:
Angnganre na rie'. care-care na rie'. Pammalli juku na rie', tana,
koko, galung na rie, bola situju-tuju.
Artinya: Makanan ada, pembeli ikan ada, lahan, kebun, sawah
ada, rumah seadanya.
Pasang ini mengungkapkan makna bahwa ketika
kebutuhan dasar terpenuhi, maka masyarakat tidak perlu lagi
memikirkan hal-hal yang konsumtif. Hidup sederhana lebih
mengutamakan memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi
keinginan. Sebab kebutuhan hanya mensyaratkan subsisten
(sandang, pangan, lahan, papan) sementara memenuhi
keinginan memerlukan keanekaragaman materi yang
memungkinkan ditinggalkannya Tallasa Kamase masea (hidup
sederhana) sebagaimana amanah pasang untuk mematuhi
Ammatoa dan menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Turie'
A'ra'na sebab:
Anne linoa pammari-marianji. Ahera' pammantangang
karakkang
Artinya:
Dunia ini hanya persinggahan saja akhiratlah kehidupan yang
kekal abadi

63
Pola pemukiman masyarakat Ammatoa adalah
berkelompok (cluster). Kelompok-kelompok perumahan ini pada
umumnya merupakan kelompok yang masih kerabat dekat.
Setiap kelompok pada umumnya dibatasi oleh pagar yaitu pagar
hidup (benteng tinanang) dan pagar batu (benteng batu). Setiap
kelompok di dalam pagar terdiri dari tiga rumah atau lebih.
Biasanya rumah yang terletak paling depan agak ke kanan
ditempati oleh kerabat tertua atau orang tua dari kelompok.
Kelompok rumah Masyarakat Adat Kajang menghadap
ke arah Barat atau menghadap Gunung Bawakaraeng dan
Lompobattang, Jadi agak berbeda dengan masyarakat Tana
Toraja dan Mamasa yang menghadap ke utara, karena mereka
menganggap bahwa kepala dunia atau ulunna langi' berada di
sebelah utara, selain itu mereka juga meyakini bahwa Puang
Matua atau sang pencipta dunia bersemayam di sebelah utara.
Sementara orang Bugis Makassar menghadapkan rumah mereka
ke arah selatan atau ke arah barat.
Bila rumah dipinggiran sungai maka dibangun
membelakangi sungai. Arah rumah menghadap orang Bugis
Makassar tidaklah mutlak tetapi sangat jarang yang membangun
rumah yang menghadap ke Timur atau menghadap ke utara.
Masyarakat Bugis makassar selalu berusaha agar kepala rumah
atau ulu Balla tidak berada di sebelah Timur dengan maksud
agar bagian belakang rumah atau Uri' Balla atau kaki orang
yang tidur di rumah tersebut tidak mengarah ke kiblat (Barat).
Rumah orang Bugis Makassar juga dianjurkan tidak
menghadap ke utara karena tidak dibenarkan seseorang tidur
searah dengan arah tidur orang mati atau siuju' yang kepalanya
menghadap ke utara. Bahkan diusahakan agar rumah tidak
menghadap ke Utara atau Selatan karena ada anggapan bahwa
arah rumah seperti itu terpotong poros matahari (napolo mata
esso).
Menurut Azis Tambi, posisi rumah Masyarakat Adat
Kajang yang umumnya menghadap ke Barat berhubungan erat
dengan kepercayaan masyarakat (patuntung). Tempat
persemayaman Patuntung tersebut diyakini berada di antara 2
gunung besar yakni Gunung Bawakaraeng dan Gunung
Lompobattang yang terletak di sebelah Barat. Arah menghadap

64
rumah (Paddallekang balla') ke Barat juga terkait dengan
keberadaan hutan adat. Ammatoa pertama (Bohe Amma') diyakini
turun ke bumi di Hutan adat Tanatoa yang diberi nama
Pa'rasangang Iraja atau Borong Iraja (Hutan di sebelah Barat)
sebagai kebalikan dari Pa'rasangang Ilau' atau Borong Ilau',
karena posisi tempat tersebut berada pada bagian Barat pusat
perkampungan, yaitu Benteng. Berdasarkan pengamatan
penulis, arah menghadap rumah (Pa'dallekang Balla) Masyarakat
Adat Kajang cenderung menyamping dari arah hutan keramat
atau Borong Karama'. Menurut Ammatoa Puto Palasa, arah rumah
yang menyamping dari Borong Karama’ dimaksudkan agar
masyarakat tidak selalu melihat kawasan tersebut dan tergiur
dengan nilai ekonomi dan potensi yang ada di dalam Borong
Karama' seperti kayu, Rotan, sarang Lebah Madu, Udang, dan
hasil hutan ikutan lainnya.
Salah satu kekhawatiran Ammatoa Puto Palasa saat ini
adalah tingginya permintaan kayu Bitti baik untuk pembuatan
rumah maupun pembuatan perahu yang berasal dari masyarakat
di luar Kajang. Ammatoa mengakui bahwa Kayu Bitti merupakan
kayu adat yang harus ada pada pembuatan rumah maupun
perahu, tetapi beliau mengharapkan agar bukan Kayu Bitti di
dalam kawasan adat terlebih Borong Karama' yang dijadikan
sebagai sasaran penebangan.
Pola pemukiman masyarakat di Tana Kuasayya (Kajang
Luar) berbeda dengan masyarakat di Kajang dalam (Tana
Kamase masea). Kawasan Kajang luar membentuk pola
memanjang atau berjejer di sepanjang jalan atau mengapit jalan
raya. Tidak ada kelompok rumah yang khusus menghadap ke
arah Barat.
Untuk membangun rumah, Masyarakat Adat Kajang
hanya memerlukan tiga balok panjang sebagai pasak atau sulur
(Paddongko') yang melintang dari depan ke belakang. Kayu balok
atau sulur belok (Lilikang), melintang dari sisi kiri ke sisi kanan
rumah. Untuk mengikat kesatuan tiang dalam satu jejeran (Latta)
pada bagian atas rumah diletakkan balok besar yang melintang
dari sisi kiri ke sisi kanan. Untuk membuat rumah kokoh berdiri,
tiang-tiang penyangga ditanam di tanah dengan kedalaman

65
sekitar setengah depa (Sihalirappa) atau paling dangkal satu siku
(Sisingkulu').
Menurut Puto Udding, penanaman tiang rumah ini
selain dimaksudkan untuk memperkokoh berdirinya rumah juga
mengandung makna bahwa rumah yang dibangun adalah
penghubung antara dunia atas atau Boting langi' dengan dunia
bawah atau Buri' Liu. Sebuah rumah tidak hanya sebagai tempat
bermukim tetapi juga merupakan personifikasi dari alam, karena
rumah mempunyai 3 bagian yaitu bagian bawah (siring), bagian
tengah atau Kale balla dan bagian atap atau Coppo
bola/pammakkang/para balla. Tiang rumah terdiri atas 16 tiang, 4
jejeran tiang dari sisi kiri ke kanan dan 4 jejeran tiang dari depan
ke belakang.
Angka empat bermakna simbolis terkait dengan empat
unsur dunia/alam semesta yaitu: api/pepe', air/ere', udara/anging,
dan tanah/butta. Warna api disimbolisasikan dengan warna
merah, air dengan warna putih, udara/angin dengan warna
kuning dan tanah dengan warna hitam. Warna-warna ini biasa
diwujudkan dalam bentuk 4 warna Songkolo (nasi ketan) yang
biasa disajikan pada upacara memasuki rumah baru. Menurut
Puto Lekkong (wawancara di Sapiri, 4-2-2012) keempat warna
tersebut juga merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia.
Seseorang yang emosional dilambangkan dengan warna
merah (api), orang yang tidak konsisten dilambangkan dengan
warna kuning (udara/angin), orang yang suka menjilat dan
berkuasa atas sesamanya dilambangkan dengan warna putih
(air) dan yang paling baik adalah orang yang sabar,
dilambangkan dengan warna hitam (tanah). Warna hitam
merupakan simbol kebaikan, karena itulah Masyarakat Adat
Kajang selalu berpakaian hitam. Warna hitam bagi
Masyarakat Adat Kajang memiliki arti simbolis, menurut Abd.
Kahar Muslim, warna hitam memiliki makna :
1) Sebagai kumpulan/himpunan segala warna yang
melambangkan persatuan dan kesatuan serta bertekad
menghadapi segala tantangan hidup. Bila seluruh
warna dicampur, maka akan menghasilkan warna
hitam.

66
2) Sebagai warna yang tua (dituakan) melambangkan
kedewasaan berpikir dan bertindak
3) Sebagai warna sederhana (Kamase masea), bermakna
kesederhanaan
4) Sebagai warna yang melambangkan makna keyakinan
5) Sebagai warna asli yang tidak mudah luntur
Ammatoa menuturkan bahwa warna hitam adalah
warna hakiki, sejak kita masih didalam kandungan ibu, hanya
warna hitamlah yang kita lihat, setelah lahir maka terbitlah
warna terang yang berwarna putih, setelah itu kita kembali ke
liang lahat untuk memasuki dunia yang gelap (hitam). Sambil
memperagakan telapak tangannya menutup mata, coba
perhatikan, kalau mata kita tertutup maka yang terlihat hanyalah
warna hitam, itulah warna yang hakiki.
Dari ke enam belas tiang yang menopang rumah dua
tiang yang merupakan pusat rumah (Benteng Tangnga). Kedua
tiang ini dianggap sebagai tiang penyangga yang rohnya mampu
menembus dunia (Boting Langi') atas dan dunia bawah
(Buri'Liu). Masyarakat Adat Kajang umumnya memiliki
pemahaman bahwa sebuah rumah memiliki Sumanga atau
kekuatan yang juga terdapat dalam diri manusia, rumah atau
objek-objek lainnya.
Kedua tiang tengah ini diperlakukan secara khusus
dengan dibungkus kain putih (kain kafan). Bentuk tiang ini agak
lurus, terkadang diberi ukiran atau alur-alur khusus. Kasipalli'
atau pantangan tiang ini adalah tidak boleh dipahat untuk
dilubangi, tidak boleh dipaku tidak boleh disentuh atau
disandari. Bentuk penghormatan lain pada tiang tengah ini
adalah pada saat mendirikan rumah, kedua tiang ini yang
terlebih dahulu didirikan, kemudian diikuti oleh tiang-tiang
lainnya.
Menurut Ammatoa Puto Palasa, bahan baku kedua tiang
utama ini harus diambil dari kayu-kayu pilihan. Ukurannya
harus lebih besar dari empat belas tiang yang lain. Sudut-sudut
yang terbentuk pada tiang tersebut haruslah segi delapan
(Benteng Tepu), karena tiang-tiang tersebut mempersonifikasikan
Ammatoa ri Kajang (poko' balla) dan kemutlakan kehadiran
Anrongta ri Pangi dan Anrongta di Bongkina (Benteng tangnga)

67
untuk mendampingi Ammatoa sebagai pimpinan Masyarakat
Adat Kajang. Bahan baku tiang tengah tidak boleh memiliki
bakal cabang/ranting (Akkampacu) atau mata kayu. Karena
dianggap memiliki cacat atau noda dalam pertumbuhannya.
Mata kayu dianggap mendatangkan petaka dan mengurangi
rejeki pemilik rumah. Karena mata kayu dianggap dapat
mempengaruhi perilaku pemilik rumah menjadi iri hati dan
dengki. Selain itu kayu yang digunakan tidak boleh bercabang
dua (rua pucu'na) karena dikhawatirkan pemilik rumah
mempunyai sifat mendua atau tidak tetap pendiriannya dan
tidak ada ketetapan hati, tidak boleh juga bengkok karena salah
satu pasang menyebutkan harus Lambusu' atau lurus dalam
mengarungi hidupnya.
Secara umum bentuk rumah masyarakat Ammatoa,
hampir sama dengan rumah orang Makassar yaitu bentuk
rumah panggung dan setiap rumah terdiri atas tiga tingkatan.
1. Bagian atas (Pammakkang/para balla) rumah berfungsi
sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan seperti
padi dan jagung sebagai makanan pokok. Karena letaknya
persis di bawah atap rumah, maka suhu udara di siang hari
pada ruangan ini cukup hangat dan menghindarkannya
dari kelembaban, serta secara alami menghambat
pertumbuhan jamur dan organisme perusak bahan
makanan yang disimpan.
2. Bagian tengah rumah adalah badan rumah (kale balla)
berfungsi sebagai tempat tinggal kepala keluarga dan
anggota keluarga.
3. Bagian bawah rumah (siring) berfungsi sebagai tempat
menyimpan peralatan pertanian dan juga untuk
menumbuk padi, menenun serta untuk kandang ternak.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

68
Bagian Atas
Disebut Para Balla

Bagian Tengah
Disebut Kale Balla

Bagian Bawah
Disebut Siring

Gambar 2. Bagian-bagian Rumah Adat Kajang

Pembagian susunan bagian rumah ini terkait dengan


hutan yang dilambangkan dengan pohon. Bagian atas rumah
(Para Balla') terkait dengan bagian atas pohon (Raung Kaju) yang
menghasilkan buah-buahan dan juga sebagai media untuk
mendatangkan hujan (Anggontaki bosi), bagian tengah (Kale balla)
terkait dengan bagian tengah pohon (Poko' kaju) sebagai tempat
satwa (burung, monyet dan reptil pohon) serta bagian bawah
(Siring) dikaitkan dengan (Aka' kaju) sebagai tempat hidup
satwa-satwa di lantai hutan (babi, kerbau liar dan satwa lainnya),
sekaligus sebagai elemen yang menjaga ketersediaan mata air
(Appakalompo tumbusu').
Pembagian susunan bagian rumah ini juga merupakan
representasi atau simbol dari tiga bagian dunia berdasarkan
kepercayaan Masyarakat Adat Kajang yaitu: Boting langi'(langit),
Lino (dunia) dan Paratihi (pertiwi/tanah). Bagian atas rumah (Para
balla') dianggap sebagai tempat yang khusus dan sangat pribadi,
bahkan dianggap sebagai tempat yang sakral sebagaimana
anggapan mereka bahwa dunia atas (Boting langi') merupakan
tempat bersemayam Tu Rie' A'ra'na, Sangiasserri atau dewa
kehidupan. Para balla' ini juga dipakai sebagai tempat untuk
menyimpan benda-benda pusaka seperti keris dan benda-benda
peninggalan nenek moyang mereka. Hanya orang-orang tertentu
yang bisa masuk ke ruangan ini kecuali dalam hal-hal tertentu

69
seperti menaikkan padi (appanai' ripara'a). Sejak kecil secara
psikologis anak-anak mereka sudah diajarkan dan ditegaskan
bahwa di tempat tersebut terdapat seorang nenek yang
badannya besar dan memakan manusia yang memasuki ruangan
itu (Nene' pakande).
Bagian tengah (Para balla') berfungsi sebagaimana
halnya kehidupan di bumi yang sarat dengan interaksi sosial.
Sedangkan bagian bawah (Siring) umumnya ditempatkan
peralatan pertanian serta binatang peliharaan seperti Kuda,
Kerbau, Sapi, Kambing maupun ayam. Pada bagian bawah
rumah yang terdiri dari tiang-tiang penopang, terdapat tiang
khusus yang dijadikan sebagai pusar rumah (Benteng tangnga)`.
Tiang tengah ini dianggap sebagai media yang mampu untuk
menghubungkan antara dunia atas dengan dunia bawah sehinga
secara keseluruhan upacara adat (A'nganro atau Appanganro
Kacucu Balla') yang dilakukan di atas rumah, tiang tengah ini
selalu dijadikan sebagai pusat kegiatan atau tempat untuk
meletakkan peralatan atau sesajian.
Tiang tengah ini juga diukir dan dibungkus dengan
kain hitam/putih serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah
disinggung sebelumnya. Beberapa bukti juga telah dialami
masyarakat. Salah seorang informan (Puto Japo, wawancara di
Malleleng,15-1-2012) menuturkan bahwa pernah ada masyarakat
yang mengganti tiang rumahnya setelah berkonsultasi dengan
Sanro akibat kematian beruntun keluarganya dan kegagalan
panen jagung yang dialaminya. Tiang rumah memiliki mata
kayu (Kampacu). Setelah penggantian tiang serta keyakinan yang
mendalam yang melahirkan sugesti akhirnya panen jagungnya
kembali membaik dan tidak lagi mengalami peristiwa tragis
(kematian beruntun).
Semua rumah dalam kawasan adat Ammatoa itu sama
bentuk, ukurannya serta mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Kaleballa terdiri dari tiga bagian atau tiga Latta'
a. Pappamuntulang atau Latta' riolo (tempat untuk tamu).
Pappamuntulang mempunyai makna simbolis yaitu sesuatu
mempunyai batas-batas, tidak terkecuali perbuatan
manusia. Adalah pelanggaran bagi tamu yang melewati

70
Pappamuntulang jika sedang bertamu, kecuali seizin dengan
tuan rumah.
b. Latta tangnga (tempat untuk menerima tamu)
c. Latta ri boko/Tala-tala (tempat tidur kaum wanita)
khususnya bagi wanita yang baru kawin, tala-tala
dibuatkan tiga susun genggaman tuan rumah atau sekitar
30 cm lebih tinggi dari kedua bagian rumah dan dibuat
kamar khusus (bili’) : berdinding papan, berlantai bambu
yang diikat satu dengan yang lain disebut dasere’. Latta
riboko ini berbentuk seperti ruang kemudi atau palka pada
perahu Pinisi yang biasa dibuat lebih tinggi dari ruang
lainnya. Filosofi hidup Masyarakat Adat Kajang memang
meyakini bahwa rumah mereka diibaratkan sebagai sebuah
perahu yang sedang berlayar menuju hari akhirat (Allo
Riboko)

Gambar 3. Tala-tala Rumah Adat Kajang

71
Tala-
tala

Gambar 4: Profil Tala-tala Pada Rumah Adat Kajang.

Pembagian ruang di atas terkait dengan filosofi


Masyarakat Adat Kajang yang membagi kawasan
hutannya menjadi 3 zona yaitu: Latta riolo berkaitan
dengan Borong Luarayya yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah Bulukumba sebagai hutan produksi. Latta tangnga
berkaitan dengan Borong Batasayya yang merupakan
hutan adat yang dapat dimanfaatkan dengan ijin dan
pengawasan yang ketat dari para Galla dan Ammatoa,
sedangkan Latta ri boko berkaitan dengan Borong karama'
yang sangat terlarang dimasuki kecuali ada upacara dan
izin khusus dari Ammatoa.
2. Tiang-tiang rumah ditanam kedalam tanah kurang lebih
30 cm dan tiangnya dari kayu bitti (na’nasa) sehingga
dapat bertahan sampai 10 tahun. Tinggi tiang hingga
mencapai lantai kurang lebih 2 meter dan tidak melebihi
dari 3 petak, serta alat yang digunakan untuk memotong
kayu adalah parang. Makna simbolis dari tiang yang
ditanam manusia selalu berhubungan (menyatu) dengan
tanah yang menjadi sumber hidup dan kehidupan serta
merupakan Anrongta (ibu kita). Baik tiang untuk baris
maupun lajur (Suluru) rumah berjumlah 4 tiang.

72
Maknanya bahwa orang yang sudah berkeluarga diapit
oleh 4 orang tua yaitu bapak, ibu, dan kedua mertua.
3. Tiang rumah tidak dilubangi, makna simbolnya untuk
menghindari bahaya, seperti penikaman atau kekerasan
lainnya yang dapat menyebabkan ”lubang” pada
manusia.
4. Dinding rumah, ada yang terbuat dari papan dan juga
bambu, yang dipasang melintang (horisontal), tidak boleh
tegak. Makna simbolisnya adalah ”jangan
menghidupkan sesuatu yang sudah mati” artinya pohon
yang sudah dibuat jadi papan dianggap sudah mati,
sehingga posisinya tidak boleh vertikal seperti pada
waktu kita masih hidup dan pantang bertindak yang
tidak sesuai kenyataan.
5. Bangunan rumah tidak dicat, maknanya memperlihatkan
keasliannya yang hidup secara sederhana.
6. Atap rumah terbuat dari daun rumbia dan dirajut pada
bilah-bilah bambu (pananra) dan diikat dengan tali rotan
(paninting). Sebagai hiasan rumah pada bagian atap depan
dan belakang dipasang tanda ekor ayam (anjong), yang
maknanya berarti posisi belakang dari Kajang dalam
hubungannya dengan kerajaan Gowa.
7. Jendela rumah sangat kecil, ukurannya relatif ada 40 x 30
cm dan ada juga 40 x 25 cm.
8. Ruang depan adalah ruang dapur yang bersambung
dengan ruang tengah. Makna dapur di depan, agar
tamu mengetahui persiapan tuan rumah. Apabila
dinyalakan itu pertanda akan dijamu dan tamu
diharapkan tidak cepat pulang. Makna lain agar tamu
melihat apa yang akan dimakan oleh pemilik rumah, itu
juga dimakan oleh tamu, tidak perlu ada yang
disembunyikan. Ruang tengah berfungsi sebagai ruang
makan, tempat menerima tamu dan sekaligus tempat
tidur keluarga. Maknanya agar anggota keluarga lebih
bebas berkomunikasi dan mendengarkan serta melihat
sekaligus semua kegiatan yang dilakukan disekelilingnya.
Tempat cuci kaki dan buang air kecil juga berada pada
bagian depan sebelah kiri, maknanya agar setiap anggota

73
keluarga yang masuk ke rumah harus membersihkan kaki
terlebih dahulu agar rumah tetap terjaga kebersihannya.
Ruang belakang adalah ruang untuk kepala keluarga
yang dibatasi oleh papan atau bambu.
9. Tangga rumah berada di tengah, dan bangunan rumah
tidak mempunya teras (lego-lego) sebagaimana rumah
masyarakat Bugis Makassar yang selalu mempunyai
teras, tempat keluarga biasa berkumpul.
10. Perabot dalam rumah, tidak dijumpai seperti: tempat
tidur (ranjang), kursi dan meja, mesin jahit, TV, radio,
kasur, lampu listrik, lemari dan barang-barang moderen
lainnya. Hanya dijumpai alat penerang yang terbuat dari
kemiri dan juga ditemui tanduk kerbau yang dipasang
pada tiang dalam bagian depan rumah, seperti yang
peneliti temui di rumah Puto Palasa.

Menurut Puto Palasa, pada zaman dahulu, pola


pemukiman berada pada daerah ketinggian, sebagaimana
pasang mengatakan :
”Addalle mae ri bulu’a
Anre’na haji punna dalle mae ri alluka”
Artinya
Rumah menghadap ke gunung
Tidak baik bila berhadapan dengan lembah.

Memilih penempatan rumah pada ketinggian bermakna


bahwa rezki berasal dari Turie’ A’ra’na (yang maha berkehendak)
dapat diterima secara langsung tanpa ”singgah di tempat lain”
yang dapat menyebabkan rezki itu tidak murni lagi. Pola
pemukimam ini sudah mulai tidak terlihat lagi, kecuali di daerah
inti Ammatoa yaitu di dusun Benteng, tempat berdiamnya
Ammatoa.
Menurut Puto Palasa,bubungan rumah atau Timba Laja
sebagaimana umumnya rumah-rumah pada masyarakat Bugis
Makassar, agak berbeda bentuknya pada Masyarakat Adat
Kajang. Bagi masyarakat Bugis Makassar, bubungan rumah
merupakan simbol status bagi pemiliknya. Jika berlapis tujuh,
maka pemilik rumah adalah raja penuh, lima lapis dipakai oleh

74
bawahan raja atau kalangan Arung, tiga lapis untuk anak raja
atau Ana'arung dan dua lapis untuk orang biasa/Tu maradeka.
Bubungan rumah bagi Masyarakat Adat Kajang tidak memiliki
arti dalam stratifikasi sosial.
Menurut Gising (2007) makna yang terkandung pada
bubungan atap rumah Masyarakat Adat Kajang adalah
simbolisasi dari dewan adat di Kajang yaitu Ammatoa ri Kajang
(hanya satu orang), Karaeng Tallua (tiga orang) dan Ada' limayya
ri tana loheya dan Ada' limayya ri tana kekeya (masing-masing lima
orang).
Rajutan pilahan bambu sebagai bingkai bubungan,
selain berfungsi untuk menindih atau bubungan rumah yang
terbuat dari daun nipa, juga melambangkan struktur dewan
adat. Tiga pilahan bambu sejajar melambangkan Karaeng tallua
yaitu Labbiriya (Camat Kajang), Sulehatang (Wakil Camat Kajang)
dan Moncombuloa (Kepala Desa Tambangan). Sedangkan lima
pilahan bambu dalam posisi berdiri diantara tiga pilahan bambu
melambangkan Ada' limayya. Kedua rajutan pilahan bambu
tersebut mengarah pada satu titik yaitu anjungan rumah (Anjong
bola), yang melambangkan kebersamaan dan identitas kesatuan
Masyarakat Adat Kajang (Assikajaneng) yang mempercayai Tu
Rie'A'ra'na sebagai satu-satunya yang harus disembah.
Pilahan bambu tunggal yang berada di pinggir segitiga
sama kaki bubungan rumah tersebut melambangkan tiga peran
dan status utama Ammatoa ri Kajang sebagai Sanro (menguasai
mantera-mantera), Guru (menguasai isi pasang) dan
Pangngadakkang (menjalankan tatakrama dan kepala dewan
adat). Ketiga rajutan bambu tersebut juga melambangkan tipe
kepemimpinan Ammatoa yaitu : Tallumintu nikua' akkulle lanialle
pangullei ri ada'a iyamintu nipantarangi nannuntungi, ditanggai
nasiraka'raka', ribokoangngi nangngampiri (hanya tiga yang dapat
dijadikan sebagai pimpinan yaitu di depan ia menuntun
rakyatnya, ditengah ia bersama-sama dengan rakyatnya dan di
belakang ia menjaga dan membela hak dan kepentingan seluruh
rakyat.
Silangan-silangan bambu yang menghubungkan empat
sudut kehidupan keduniaan menyimbolkan sifat kebersamaan
dan persatuan Masyarakat Adat Kajang. Empat sudut dunia

75
(Sulapa' appa'na linoa) dan empat unsur kejadian alam dan
manusia (air, udara, tanah dan api) dihubungkan menjadi satu
titik temu yaitu kehidupan (Katallassang) yang penuh dengan
kesederhanaan dan keseimbangan (Kamase-masea).
Masyarakat Adat Kajang masih bertahan pada
pemanfaatan teknologi sederhana, meskipun beberapa peralatan
moderen sudah dipakai oleh mereka, beberapa alat-alat kerja
yang lain masih diproduksi sendiri, misalnya pakaian yang
mereka pakai (warna hitam) benang dibuat sendiri dan
ditenun sendiri, demikian pula tempurung kelapa sebagai
alat untuk dipakai minum dan piring dari daun lontara, serta
tempat air dari buah maja (bahasa Makassar disebut Bila) dan
penerangan (lampu) dibuat dari kemiri (Kanjoli), pemanfaatan
sumberdaya lingkungan yang ada di kawasan hutan tersebut
dalam menunjang kehidupannya adalah salah satu ciri dari
masyarakat Ammatoa dan mereka konsisten dalam pola
kehidupan sederhana (kamase-masea), ini terlihat pula dalam
teknologi tempat rumah tinggal mereka.

2. Pengetahuan Lokal Pemanfaatan Hasil Hutan untuk


Pembuatan Sandang

Menenun adalah pengetahuan dasar yang harus


dikuasai oleh semua perempuan di kawasan adat. Bahkan
kepandaian menenun merupakan syarat mutlak yang tidak bisa
ditawar jika seorang perempuan hendak menikah, tidak tahu
menenun berarti bakal menjadi perawan tua.
Pakaian sehari-hari Masyarakat Adat Kajang sangat
sederhana, hanya berwarna biru kehitaman atau putih. Laki-laki
mengenakan baju dan sarung yang senada, jika memakai celana
pendek, harus berwarna hitam atau putih, demikian pula
perempuan, mengenakan pakaian yang senada. Pengikat kepala
(passapu) berwarna hitam hanya dikenakan oleh laki-laki.
Tope'Le'leng atau sarung hitam adalah sarung khas
Kajang yang dibuat dengan proses alamiah dan ditenun dari
tangan-tangan terampil perempuan Kajang. Sarung hitam
menjadi pelengkap diselenggarakannya upacara-upacara adat.
Motif kain yang ditenun pada umumnya ada 3 yakni
ratu pute, ratu gahu dan ratu eja, semacam garis geometris yang

76
membelah sarung. Bahan baku yang digunakan (benang)
biasanya dibuat sendiri, tetapi akhir-akhir ini mereka langsung
membeli benang yang didatangkan dari Bulukumba atau
Makassar.
Pembuatan sarung dimulai dari penyiapan benang
putih, setelah itu tanaman Tarung dikumpulkan, daun tamanan
ini mirip daun asam. Daun Tarung kemudian dicampur dengan
kapur dan air yang dicampur dengan abu dapur sampai
berwarna hitam kebiruan. Setelah bewang berwarna hitam
kebiruan, keudian dijemur dan diangin-anginkan sampai kering.
Benang-benang yang sudah kering kemudian dimasukkan ke
alat tenun untuk ditenun menjadi kain. Dibutuhkan waktu
setidaknya 10 hari untuk membuat selembar kain yang dibentuk
menjadi sarung.
Sentuhan akhir untuk membuat sarung menjadi
mengkilat adalah dengan menggosoknya memakai kerang/Bole
yang permukaannya licin. Kain yang sudah jadi kemudian dicuci
tanpa menggunakan deterjen.

3. Pengetahuan Lokal tentang Obat-obatan


Masyarakan Kajang mengenal tumbuhan yang
berkhasiat obat dari pengalaman-pengalaman empiris yang
mereka dapatkan disepanjang perjalanan waktu. Bahkan ada
anggota masyarakat adat yang disebut Sanro Kajang/dukun yang
diserahi tugas oleh Ammatoa secara khusus untuk mengobati
masyarakat. Sanro Kajang senantiasa mengembangkan
kemampuan dan mencari tamanan-tanaman yang berkhasiat
obat, karena dialah yang bertanggung jawab terhadap kesehatan
masyarakat.
Secara umum Sanro Kajang membagi dua jenis penyakit
yakni penyakit "medis" dan "non medis". Penyakit medis dalam
hal ini adalah penyakit yang diidap oleh masyarakat disebabkan
faktor alam (bakteri, virus, dll) sedangkan penyakit non medis
disebabkan oleh hal-hal mistik.
Penyakit medis yang biasa melanda masyarakat adalah
penyakit kulit, penyakit pencernaan, gangguan ginjal,
penglihatan, gangguan pernafasan, gangguan persendian.

77
Gangguan lain adalah kecelakaan atau cedera yang
menghasilkan luka atau patah tulang.
Sediaan yang disiapkan oleh masyarakat ataupun Sanro
Kajang biasanya dalam bantuk ramuan yang direbus terlebih
dahulu baru diminum, ataupun dalam bentuk minyak yang
terdiri dari aneka dedaunan, rempah, maupun akar akaran yang
dicampur dengan minyak kelapa, minyar sereh ataupun minyak
kayu putih. Tumbuhan yang berkhasiat obat disajikan pada tabel
berikut:

Tabel.5.Tumbuhan obat yang digunakan oleh Masyarakat Adat


Kajang
Bagian yang
No Nama lokal Nama ilmiah Kegunaan
digunakan
Batuk dan gangguan
1 Riku-riku Daun
tenggorokan
Karobuto Batuk yang tidak
2 Daun
kalong berdahak
Sumingi Benjolan bernanah
3 Akar
Karaeng (bisul)
Benjolan bernanah
4 Tambara' Daun
(bisul)
Benjolan bernanah
5 Rappo Areca catechu Biji
(bisul)
Dinging- Benjolan bernanah
6 Kalanchoe pinnata Daun
dinging (bisul)
Bisul, mimisan,
7 Leko Piper betle Linn Daun
gangguan mata

8 Bangkasa Vitex trifolia Daun Demam disertai bersin

9 Tinappasa Justicia gendarussa Daun Demam

10 Mali-mali Daun Demam

11 Passassang lahu Daun Demam

12 Pe'ru beka Daun Demam

13 Baddo-baddo Daun Demam

14 Tambara Pai' Brucea javanica Daun Demam

15 Kaliki Carica papaya Daun Demam


Graptophylum
16 Le'leng banua Daun Herpes
pictum Griff

17 Ubi Kayu Manihot utilissima Umbi Herpes

18 Salasih Occimum basilicum Daun Influensa

78
Bagian yang
No Nama lokal Nama ilmiah Kegunaan
digunakan

19 Kaju Rampe Loranthus sp. Daun Infeksi tenggorokan

Jerawat dan gangguan


20 Rappo-Rappo Daun
kulit lainnya
Terkilir/keseleo/radang
21 Pojo-pojo Daun
sendi

22 Tahasa nangka Daun Luka teriris

Stachytarpheta
23 Tahasa Palukka Daun Luka tertusuk
jamaisensis

24 Ganjeng Lohe Daun Luka teriris


Eupatorium
25 Lahuna Daun Luka Teriris
odoratum

26 Kuma-kuma Kulit Batang Luka Baru, mencret


Gangguan Lambung,
27 Komba-komba Batang
perut terasa penuh
Supaya Mudah
28 Baru Hibiscus tilaceus Daun
Melahirkan
Kahu-kahu Mempermudah
29 Daun
borong persalianan

30 Lasuna Eja Allium cepa Umbi Diare

31 Kariango Acorus calamus Rimpang Diare

32 Kunyi' Le'leng Rimpang Diare

Mencret, tidak enak


33 Kayu Bae' Daun
badan, Sakit Perut

34 Takkura Batang, Akar Meningkatkan Vitalitas

35 Paku Lompo Daun Penambah nafsu makan

36 Kaddoro buku Daun Radang Sendi

37 Tobo-tobo Ficus septica Daun Pusing

38 La'lupang Daun Sakit mata

39 Tarung Akar Sakit Perut

40 Ruku buru' Daun Sakit Perut

41 Rampu-rampu Daun Serampa

Carthamus
42 Ralle Bunga Serampa
tinctorius

43 Bainang Sulapa Overrhoa carambola Daun Serampa

44 Kaca-kaca Abrus pectorius Daun Serampa

45 Jambu Bo'dong Psidium guajava Daun Sariawan

Melastoma
46 Biccoro Daun Gangguan Pernafasan
candidum

79
Bagian yang
No Nama lokal Nama ilmiah Kegunaan
digunakan
Sesak nafas, Demam,
47 Cikkong Daun, Akar
Bisul
Barrung-
48 Daun Tidak enak badan
barrung

51 Biruppa Daun Tidak enak badan

52 Poraccang Daun Tidak enak badan

Tanging-
53 Jatropa curcas Daun Tidak enak badan
tanging

54 Liserekaja Annona squamosa Daun Tidak enak badan

55 Bera'-berasa Daun Tidak enak badan

56 Sarru-sarru Lantana camara Daun Tidak enak badan

Sauropus Tidak enak badan,


57 Manya-manya Daun
androginus Sariawan,

58 Cambarinono Daun, Akar Benjolan bukan bisul

C. Upaya Pelestarian Pengetahuan Lokal

Tidak seperti masyarakat Bugis Makassar yang


memiliki aksara dan menuliskan menuliskan aneka peristiwa,
pengetahuan dan pranata sosialnya. Masyarakat Adat Kajang
bertradisi lisan. Tradisi lisan pada Masyarakat Adat Kajang
diwariskan transgenerasi. Terdapat dua kemungkinan ujung
nasib dari tradisi lisan yakni akan bertambah ataukah punah
seiring dengan wafatnya penutur atau terjadinya migrasi. Pasang
ri Kajang sebagai falsafah hidup harus dijaga kemurniannya,
tidak boleh ditambah ataupun dikurangi karena Pasang
menegaskan:
Anre' nakulle ni pinra-pinra
Punna anu le'ba'
Artinya
Tidak boleh dirubah
Sesuatu yang sudah ditetapkan

Upaya pelestarian yang dapat ditempuh adalah dengan


melakukan identifikasi dan inventarisasi pengetahuan lokal
dengan lebih mendalam dan menjangkau aspek-aspek lain pada

80
Masyarakat Adat Kajang. Kebenaran dari sebuah pengetahuan
lokal dapat ditetapkan melalui teknik triangulasi sederhana dari
tokoh-tokoh masyarakat.
Generasi muda Masyarakat Adat Kajang melalui
mekanisme pewarisan Pasang haruslah selalu berupaya untuk
menjaga dan mempertahankan/mewaris kan pengetahuan lokal
tersebut. Upaya ekternal adalah diwujudkannya aneka tulisan
tentang Masyarakat Adat Kajang dari berbagai aspek agar
budaya dan Masyarakat Adat Kajang dapat dikenali oleh orang
luar dan menjadi khasanah berharga bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam pemanfaatan hutan dan hasil
hutan.

81
A. Kesimpulan

Terdapat dua kelompok utama pengetahuan lokal


Masyarakat Adat Kajang yakni pengetahuan lokal dalam
memanfaatkan kawasan hutan berupa: pengetahuan zonasi
kawasan hutan, hidrologi, gejala-gela alam, iklim dan bercocok
tanam, pengetahuan tentang pantangan-pantangan dan
keanekaragaman hayati. Sedangkan pengetahuan lokal dalam
memanfaatkan hasil hutan berupa pengetahuan tentang
pemanfaatan hasil hutan untuk ramuan rumah, obat-obatan,
pembuatan sandang dan pengetahuan lokal tentang pangan.

B. Saran

Diperlukan upaya pelestarian pengetahuan lokal dalam


bentuk tertulis agar khasanah pengetahuan lokal yang berharga
pada Masyarakat Adat Kajang dapat dilestarikan, dipelajari, dan
dipakai oleh generasi mendatang.

82
DAFTAR PUSTAKA

Cense, A. A. 1931. De patoentoengs in het bergland van Kadjang.


Creswell, J. 1992. Data analysis and representation. Qualitative inquiry and
research design. Choosing among five traditions, 139-218.
Dala, T., & Jaya, A. 2002. Pranata Hutan Rakyat. Pustaka Kehutanan Masyarakat,
Debut, Yogyakarta.
Geertz, Cliffeord. 1983. Agama Jawa,Abangan, santri, priyayi. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya.
Karizal, E. D. 2002. Pengelolaan Repong Damar Krui-Lampung Barat. In Forum
komunikasi Kehutanan masyarakat (FKKM). Bandar Lampung. uelnH.
Katu, M. A. 1980. Hubungan Pasang dengan Ammatowa di Kajang.
Katu, M. A. 2005. Tasawuf Kajang. Cet; I, Makassar: Pustaka Refleksi.
Katu, S. 2000. Pasang ri Kajang: kajian tentang akomodasi Islam dengan budaya
lokal di Sulawesi Selatan. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, IAIN
Alauddin.
Lureng, Abd., Gaffar. 1980. Pasang ri Kajang: Suatu Pendekatan dari Segi
Antropologi (skripsi). Ujung Pandang: Fakultas Sastra Unhas.
Mahbub, Asar Said. 2013. Dialektika Pengetahuan Lokal dan Non Lokal (Studi
Kasus Pasang ri Kajang dalam Pengelolaan Hutan Adat
Ammatoa.Disertasi Program Studi Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mattulada, 1964. Ammatoa: Salah Satu Manifestasi Kebudayaan di Indonesia.
Ujungpandang: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Sallatang, 1965. Penjasadan Pasang dalam Masyarakat Kajang (Skripsi).


Makassar: Fakultas Sastra Unhas.

Sinohadji, E. 2004. Kearifan masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan:


Studi kasus desa Tanatoa Kajang kabupaten Bulukumba Sulawesi
Selatan. Unpublished MA thesis). Universitas Hasanuddin, Makassar.
Syam & Andi Sri. 2004. Ekawati Pranata Sosial Pengelolaan Hutan pada
Masyarakat adat Kajang (Studi Kasus Komunitas Adat Ammotoa Di Desa
Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba). Makassar: Fakultas
Pertanian Unhas
Usop, KMA, M. 1978. Pasang ri Kajang, Kajian Sistem Nilai di Benteng Hitam
Ammatoa. Ujungpandang: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial.

83
Zoraya, A. F. 2009. Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Desa Tana Toa Kecamatan
Kajang, Kabupaten Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan.

84
INDEKS

Adaptif, 2 Penarikan kesimpulan, 13


Analisis kualitatif, 13 Pendekatan kualitatif, 8
Asumsi, 8 Pengetahuan lokal, 1
Bakututua, 21 Penyajian data, 13
Bani, 36 Perilaku Margasatwa, 23
Bintoeng, 31 Pohon Bitti, 43
Borong, 22 Purung-purung, 46
Borong Batasayya, 20 Ramuan Rum, 63
Borong karam, 16 Rao Doang, 35
Borong Luarayya, 20 Reduksi data, 13
Borong Pa'rasangan Ilau, 18 Studi kasus, 8
Borong Pa'rasangan Iraja, 18 Ta'bang kaj, 35
Bosi, 33 Tallasa kamase masea, 21
Boting langi', 66 Tana Kamase masea, 65
Dagempa, 21 Tana Kuasayya, 65
Dakodo, 21 Tatta Kulu-ku, 29
Dalonjo, 21 Teknik observasi, yaitu
Damangassalang, 21 pengamatan langsung pada
Desa Tana Toa, 9 kegiatan pemanfaatan, 10
Ilalangembaya, 9 Teori fungsi, 8
Indigenous, 6 Teori fungsional, 8
Informan, 10 Tette' Uhe', 35
Ipantarang Embaya, 9 Timutung, 21
Kaloro, 37 Tradisi lisan, 3
Kasipalli, 34 Triangulasi, 10
Kearifan lokal, 2 Tumpang ngoang, 25
Kepala dunia, 64 Tunu Bani, 35
Lokasi kajian, 15 Ulu Balla, 64
Masyarakat Adat Kajang, 2 Uri' Balla, 64
Patuntung, 64

85
Pemagaran areal tumbuhan bambu, untuk mencegah serangan
Babi Hutan pada rebung bambu

Salah satu sungai yang menjadi batas alam kawasan adat


kajang

86
Bunga Pohon Flamboyan, pertanda musim hujan sudah tiba

Pewarnaan benang menggunakan daun Tarung

87
Proses pembuatan sarung kajang

Proses pewarnaan sarung kajang

86
Semut hitam yang bermigrasi ke tempat lebih tinggi menandakan
musim hujan sudah tiba

Adanya kecebong (anak katak) pada genangan air,


menandakan musim hujan sudah tiba

87
Daun myana, bisa dipakai masyarakat untuk obat batuk dan
gangguan tenggorokan

Rappo-rappo (Juwet)/anggoro romang, digunakan


untuk mengobati penyakit kulit

88
Kunyit hitam (kunyi' le'leng) untuk mengobati diare

89
ASRIANNY
NURHIKMAH
TAMZIL IBRAHIM
M.ASAR SAID MAHBUB
Hasil riset sederhana ini dimaksudkan

DALAM MEMANFAATKAN HUTAN DAN HASIL HUTAN


PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAJANG
untuk menyelamatkan khasanah berharga
Masyarakat Adat Kajang yang bermukim di
Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba.
Pengetahuan lokal empiris yang
dikembangkan masyarakat dalam
memanfaatkan hutan dan hasil hutan
secara transgenerasi dapat dijadikan
sebagai masukan berharga untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.
Pengetahuan Lokal yang bertradisi lisan
sangat rentan untuk punah seiring dengan
wafatnya penutur atau terjadinya migrasi
penuturnya.
Karena itulah identifikasi dan inventarisasi
pengetahuan lokal tersebut sangat penting
dilakukan dan diabadikan dalam bentuk
buku seperti yang terangkum dalam buku
kecil ini.

Makassar, Desember 2018


Tim Penulis
ISBN: 978-602-97683-6-7
90
2018

Anda mungkin juga menyukai