Penerbit:
Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin
i
Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kajang dalam
Memanfaatkan Hutan dan Hasil Hutan
Penulis
M. Asar Said Mahbub; Tamzil Ibrahim; Nurhikmah; Asrianny
Editor
M. Asar Said Mahbub
Penerbit
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
ISBN: 978-602-97683-6-7
ii
KATA PENGANTAR
Tim Penulis
iii
HALAMAN SAMPUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. iii
ISI BUKU ................................................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. vi
DAFTAR PUSTAKA......………………………………………. 83
INDEKS ………………………………………………………… 85
v
UCAPAN TERIMA KASIH
vi
A. Latar Belakang Penelitian
1
yang biasa disebut dengan kearifan lokal pada umumnya hadir dan
berkembang pada masyarakat adat baik yang bermukim di dalam
maupun di sekitar hutan. Kearifan (wisdom) adalah buah dari
pengetahuan (knowledge) dan pengetahuan dihasilkan dari persepsi
manusia tentang dunianya melalui penangkapannya dengan
menggunakan indera ataupun intuisi (Geertz, 1983).
Pengetahuan lokal merupakan kekayaan nasional yang
sangat berharga. Pengetahuan ini memberikan informasi yang
detail mengenai keadaan suatu daerah/wilayah. Pengguna
pengetahuan lokal dapat membantu dalam pembuatan peta
wilayah beserta potensinya yang merupakan informasi berharga
bagi perencana pembangunan dan yang paling utama pengetahuan
lokal bersifat adaptif terhadap lingkungan.
Secara umum kearifan lokal di beberapa tempat di
Indonesia masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat dan
masih bertahan hingga saat ini, beberapa alasan yang mendasarinya
adalah mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai
kemampuan mengendalikan, serta mampu memberi arah dan
perkembangan budaya.
Universitas Hasanuddin memposisikan dirinya menjadi
pusat rujukan dan unggulan pengetahuan utamanya pengetahuan
benua maritim. Posisi yang penting dan strategis tersebut
memerlukan berbagai masukan melalui berbagai kajian dalam rangka
menemukan dan mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan lo kal
yang bersifat adaptif merupakan salah satu elemen penting dalam
mengemban misi UNHAS sebagai perguruan tinggi yang
mengedepankan kearifan lokal.
Salah satu daerah yang masih mempertahankan aturan –
aturan adat dalam mengelola hutan adalah Masyarakat Adat Kajang
yang terdapat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka
mengembangkan aturan-aturan adat yang mengatur pemanfaatan
hutan dengan sistem sentralistik yang berpusat di bawah
kepemimpinan ketua adat yang disebut Ammatoa.
Secara umum penelitian-penelitian yang telah dilakukan
terhadap Masyarakat Adat Kajang adalah mengungkap berbagai
2
kasus tradisionalitas masyarakatnya dan menjaga kelestarian
lingkungan hidupnya dengan memberikan penekanan pada aspek-
aspek tertentu sesuai disiplin ilmu atau sudut pandang penulisnya
masing-masing.
Cense pada tahun 1931, melakukan penelitian dengan
menekankan perhatian pada konsep-konsep keagamaan dan
kepercayaan komunitas Ammatoa dan berbagai upacara-upacara
yang dilakukan pada masa lampau, sejarah awal mula Ammatoa
dan silsilahnya serta adat istiadatnya. Lain halnya yang
dikemukakan oleh Mattulada, meneliti pada tahun 1964 yang
menekankan pada aspek kultural Masyarakat Adat Kajang.
Menurutnya nilai-nilai kultural yang ada dan dianut oleh
Masyarakat Adat Kajang tercermin dalam pola-pola pengetahuan,
sikap dan perilaku warga masyarakat yang diwariskan turun
temurun ke dalam Pasang. Pasang ini berfungsi sebagai tiang
penyangga yang mengatur, mengikat dan menuntun tata kehidupan
masyarakat Ammatoa. Selanjutnya Sallatang pada tahun 1965,
memberi penekanan pada implementasi Pasang dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat, menurutnya Pasang tidak hanya diyakini
sebagai warisan leluhur yang harus dipegang teguh tetapi lebih dari
itu, untuk mengarahkan sikap dan perilaku masyarakat dalam
melakukan hubungan dengan Tuhan (Turie'a A'ra'na), sesama
manusia dan alam.
Masyarakat Adat Kajang menganut tradisi lisan dalam
penyampaian berbagai kebijakan, pengetahuan dan aturan-aturan
kehidupan yang tercakup di dalam Pasang ri Kajang (pesan-pesan
leluhur yang harus dipatuhi masyarakat). Pengetahuan lokal yang
diwariskan transgenerasi memiliki kelemahan yakni dapat
hilang/musnah seiring dengan wafatnya penutur atau terjadi
migrasi. Jika pewarisan tradisi lisan transgenerasi ini terputus maka
khasanah pengetahuan lokal yang berharga ini dapat hilang. Karena
itulah diperlukan adanya kajian pengetahuan lokal ini untuk
kemudian dilestarikan dalam bentuk kumpulan tulisan yang dapat
dijadikan acuan berharga bagi para pihak.
3
b. Luaran dan Dampak Penelitian
4
BAB II
5
menginventarisasi sejumlah Pasang ri Kajang dari penuturan
berbagai tokoh dan warga komunitas Ammatoa. Selanjutnya
berbagai paper, serta studi-studi penelitian lain silih berganti untuk
mengkaji Masyarakat Adat Kajang, diantaranya adalah: Abd. Gaffar
Lureng (1980) yang mengkaji Pasang ri Kajang dari sudut pandang
Antropologi, Padulung (1982) yang mengkaji upaya-upaya
pelestarian upacara tradisional masyarakat Kajang, Mas Alim Katu
(1980) yang mengkaji dari sudut pandang sosial budaya serta
Tasawuf Kajang (2005), Samiang Katu (2000) dengan Kajian tentang
akomodasi Islam dengan budaya lokal di Sulawesi selatan, serta
Danang Wahyu Utomo (2005) yang mengkaji tentang pengaruh
religi dan lingkungan terhadap pola pemukiman Masyarakat Adat
Kajang.
Penelitian dari disiplin ilmu kehutanan juga telah beberapa kali
dilakukan diantaranya: Zoraya (2002) menekankan penelitian
pada sistem pengelolaan hutan adat dan Syam (2004) yang
menekankan penelitian pada pranata sosial pengelolaan hutan adat,
sedangkan Sinohaji (2004) menekankan penelitian pada kearifan
Masyarakat Adat Kajang dalam pengelolaan hutan, sedangkan
Mahbub (2013) mengkaji dialektika pengetahuan lokal dan non lokal
Masyarakat Adat Kajang, namun penelitian ini masih terbatas pada
pengungkapan beberapa pengetahuan lokal yang sifatnya umum,
belum menyentuh kepada tatanan pengetahuan lokal secara
mendalam dalam memanfaatkan kawasan hutan dan hasil hutan.
Saleh (1993) menguraikan bahwa sistem pengetahuan indigenous
(SPI) mempunyai potensi yang besar untuk berperan lebih banyak
dalam proses pembangunan, namun terdapat beberapa kendala
yakni: sikap negatif dari orang luar, belum adanya penghargaan
terhadap pengetahuan tersebut, belum dibukanya secara luas
pengetahuan lokal ini. Karena itu diperlukan beberapa srategi
yakni: dukungan kelembagaan, meningkatkan keterkaitan
akademis, mengikutsertakan SPI dalam kurikulum perguruan
tinggi, memperluas interaksi antara birokrasi dengan sistem
indigenous, menutup gap antara ahli pengetahuan moderen dengan
pengetahuan indigenous, serta beberapa upaya lainnya. Diperlukan
kajian-kajian untuk menginventarisasi pengetahuan-pengetahuan
6
lokal di beberapa tempat utamanya pada masyarakat adat, sebagian
besar dari komunitas adat ini berdiam di dalam dan di sekitar hutan.
Road Map penelitian pada Laboratorium Kebijakan dan
Kewirausahaan Kehutanan Fakultas Kehutanan UNHAS khususnya
pada minat Sosial Kehutanan mencantumkan kajian pengetahuan
lokal masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk dilakukan
pada tahun 2017. Karena itulah penelitian ini akan memperkaya
khasanah pengetahuan lokal khususnya pengetahuan lokal dalam
memanfaatkan kawasan hutan dan hasil hutan.
7
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
8
digunakan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa perilaku
kehidupan manusia harus dipelajari dan dipahami dari perspektif
individu dan masyarakat yang terlibat dalam kehidupan itu.
9
D. Penentuan Informan dan Sampel Penelitian
11
Tabel 1. Keterkaitan Permasalahan Dengan Metode Penelitian
Konsep
Utama Informasi Atau Teknik
Topik Sumber
Tujuan Hipotesis Hubungan Data Yang Pengumpulan
Permasalahan Data
Antar dikumpulkan Data
Konsep
Menganalisis
Masyarakat a. Penelusura
sejarah a. Sejarah lokal
Kajang n dokumen
pembentukan perkembangan
berkembang atau catatan
dan kawasan hutan a. Dokumen
sebagai respon sejarah
Pengetahuan pengembangan a. Pengetahuan b. Sejarah penelitian
antara sistem pengelolaan
lokal dalam Pengetahuan lokal pengembangan sebelum
sosial kawasan
pemanfaatan lokal, mengkaji b. Pengalaman Pengetahuan nya
masyarakat empiris
hutan
kawasan hutan sejarah lokal lokal b. Tokoh
dengan b. Dialog
dan hasil hutan masyarakat c. Makna dan masyara
ekosistem. informan
Kajang dalam bentuk kat
Timbullah kunci,
memanfaatkan Pengetahuan
pengetahuan perorangan
kawasan hutan lokal
lokal. kelompok
dan hasil hutan
12
F. Metode Analisis
13
G. Tim Peneliti dan Manajemen Penelitian
14
H. Modalitas Pendukung Penelitian
15
B AB IV
16
Passamajang (tempat memohon restu), tempat appa'dongko'
pangnganro atau apparuntu' panganro (meletakkan persembahan
kepada Turie' A'ra'na) dan tempat Ammula nia' (menetapkan niat).
17
Secara umum Hutan (Borong) pada Masyarakat Adat
Kajang terbagi atas 2 kompleks hutan yaitu Borong Pa'rasangan
Iraja dan Borong Pa'rasangan Ilau. Borong Pa'rasangan Iraja (tana
Toa I) terbagi lagi atas beberapa kompleks hutan yaitu :
Pa'kombengan, Pa'lengkerang uhea, Parukku' dan Tupalo
(Balambina). Sedangkan Borong Pa'rasangan Ilau terbagi lagi atas :
Borong Karanjang (Tanatoa II), Borong Tombolo (Tana Toa III) dan
Borong To'de (Tanatoa IV).
Borong Pa'rasangan Iraja dikelilingi oleh beberapa kampung yang
merupakan pusat pemukiman Masyarakat Adat Kajang yaitu:
Lajaya, Tuboga, Luraya, Kajapoa, Sobbu, Balambina, Benteng
dan Sapiri.
Borong Pa'rasangan Ilau merupakan hutan yang dianggap suci
dan sakral oleh Masyarakat Adat Kajang. Pertama, pada hutan
inilah terdapat tempat suci yang dinamakan Makkah oleh
masyarakat. Menurut penuturan Ammatoa :
Se’re ji intu nikuayya se’re, iyamintu Tau Ri’e A’ra’na,
mingka iyanjo maraenga rie’ ngase’ intu uranna iyareka
pasanganna. Punna rie’ poko’ rie’ intu nikuayya cappa’. Jari
iyanjo nikuayya cappa’na Makkayya, iyaminjo ri tana Arab a.
Mingka iyanjo nikuayya poko’na makkayya kunnimintu
tampa’na.
Artinya:
(Hanya ada satu yang esa itulah Sang Maha Berhendak,
tetapi yang lain ada semua temannya atau Pasangannnya.
Jadi yang disebut ujung dari Mekkah adalah yang ada di
tanah Arab, sedangkan yang dinamakan pokoknya Mekkah di
sinilah tempatnya).
18
dijadikan pengikat komponen-komponen bangunan (panggung-
panggung) untuk upacara adat. Lokasi pengambilan rotan ini
disebut Pa'lengkerang uhea. Mengingat banyaknya upacara adat
yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Adat Kajang, maka
pembatasan quota ini juga merupakan langkah bijak untuk
mempertahankan jumlah populasi.
Menurut Ammatoa Puto Palasa dan Puto Lekkong:
19
keseluruhan unsur-unsur yang ada di dalam semesta
sebagaimana Pasang berikut :
Jagai linoa lollong bonena, Kammaya tompa langika. Siagang
rupa tauwa. Siagang boronga
Artinya:
Peliharalah bumi beserta isinya. Demikian pula langit.
Demikian pula manusia. Demikian pula hutan
20
Meskipun kebun dan hasil sawah mencukupi masyarakat Kajang
tetap mempertahankan prinsip tallasa kamase masea yang
terungkap dalam Pasang:
21
Pembahasan di atas menggambarkan bahwa
Masyarakat Adat Kajang tumbuh dan berkembang dengan
Pasang sebagai preskripsi tindakan mereka.
22
Hutanlah yang mendatangkan air hujan. Sebab disini tidak
ada pengairan. Hutanlah yang menjadi pengairan, Karena ia
didatangi oleh hujan
a) Perilaku Margasatwa
23
semua satwa domestik yang ada hanya kucing dan Kerbau yang
dianggap memiliki keistimewaan.
Kucing dianggap sebagai penjelmaan Dewa Padi
(Sangiasserri) dan bisa mendatangkan rejeki sehingga harus
dihormati, dipelihara dan sangat terlarang untuk dibunuh.
Menurut Sanro Bateng :
Kucing itu penjelmaan, dari penguasa padi, jadi harus
diperlakukan dengan baik jika kucing terbunuh dengan sengaja,
misalnya tertabrak kendaraan.
Penuturan lain dikemukakan oleh Amir Tonna :
24
inilah yang kemudian menjadi pertanda terjadinya Tsunami di
Aceh. Beberapa gempa kecil pernah terjadi di Kajang dan
sebelum getarannya benar-benar keras, tikus-tikus bermunculan
dari sarangnya. Perilaku tikus inilah yang kemudian dijadikan
dasar akan adanya gempa.
Selain Tikus, Katak juga merupakan detektor yang
memberi informasi tentang datangnya musim hujan. Katak
berkembang biak pada saat awal musim hujan, karena pada saat
itu akan banyak genangan yang dapat digunakan oleh katak
untuk meletakkan telur-telur nya dan membiakkan kecebong.
Sehingga kehadiran suara Katak apalagi Katak kerbau atau
Tumpang ngoang merupakan pertanda akan datangnya musim
hujan. Menurut Puto Palasa:
Katak selalu dijadikan pertanda datangnya musim hujan.
Selain itu Katak selalu saya jadikan pegangan kalau ada
gangguan pada air sungai. Hilangnya Katak menjadi
pertanda bahwa ada masyarakat yang menggunakan aliran
sungai dengan cara-cara yang tidak bijaksana dan
menggunakan racun (pestisida) yang menyebabkan rusak dan
hilangnya telur-telur Katak dan hilangnya Katak.
25
daerah yang rendah dan berpotensi menjadi genangan karena
Katak akan berkumpul di situ.
b) Perilaku Serangga
27
Biasanya pada saat akan hujan suhu udara meningkat,
masyarakat memastikan hujan akan turun. Pada saat suhu udara
sering meningkat, maka populasi nyamuk juga makin meningkat
karena telur-telur yang ada pada genangan air akan segera
menetas menjadi nyamuk.
Pada saat musim hujan terjadi, populasi nyamuk akan
menurun drastis karena sangat jarang terjadi penggenangan air.
Menurut Puto Palasa, daerah-daerah di ketinggian seperti di
Balagana, Sobbu, Benteng, Sapiri, Balambina tidak banyak
ditemui nyamuk, masyarakat tidak perlu memakai kelambu,
selain daerah tersebut banyak terdapat nyamuk. Hal ini sesuai
laporan Usop (1978) yang melaporkan keadaan yang sama
dengan penuturan Puto Palasa. Selanjutnya Puto Palasa
menuturkan bahwa jarang terdapat nyamuk pada musim hujan
karena tidak ada air tergenang, semuanya mengalir karena curah
hujan yang tinggi. Pada saat populasi nyamuk sudah mulai
meningkat kembali pertanda musim hujan akan segera berakhir.
Populasi yang meningkat pada Capung (Pedo’) dan
ngengat putih (beka’-beka’/pucang-pucang) juga merupakan
pertanda tibanya musim hujan. Pertanda ini kemudian dijadikan
dasar bagi masyarakat untuk mulai mempersiapkan musim
tanam dari berbagai komoditi yang dikembangkannya. Menurut
Azis Tambi:
c) Perilaku Burung
Selain satwa darat dan serangga, burung-burung juga
merupakan penanda akan datangnya musim tertentu. Terdapat 4
jenis burung utama yang dijadikan Masyarakat Adat Kajang
sebagai pertanda. Menurut Puto Lekkong dan Jamal Tambi:
Burung-burung penanda musim adalah Burung Kuau (Tatta kulu-
kulu), Burung Elang (Patokong), Burung Angin (Ganrang angin), dan
Burung Seriti (Bemputu).
29
Perilaku Burung Kullu-kullu yang lain adalah jika
berbunyi parau dan terbang berlalu lalang di sekitar
perkampungan. Menurut Puto Lekkong:
Perilaku ini menandakan adanya kematian tidak wajar di
perkampungan baik karena pembunuhan, meninggal karena
melahirkan, meninggal karena terkena ilmu hitam atau
meninggal secara wajar. Burung ini pernah terbang lalu
lalang diperkampungan dan sangat sering terdengar.
Masyarakat pun cemas bakal ada kejadian besar yang
menimpa Kajang. Setelah beberapa minggu kejadian ini
berlangsung Ammatoa Puto Bekkong Wafat.
30
demikian masyarakat menjadikan burung ini sebagai pertanda
akan datangnya musim kemarau. Perilakunya yang sering
terbang secara berkelompok dan sambil menukik tajam
merupakan pertanda akan tibanya musim kemarau. Selain
Burung Elang, perilaku Burung Seriti atau biasa juga disebut
Burung Walet merupakan penanda tibanya musim kemarau,
perilakunya mirip dengan Burung Elang, tetapi jika Burung
Seriti terbang berkelompok pada senja hari, pertanda musim
hujan akan tiba.
Burung lain yang dijadikan sebagai indikator iklim
adalah Burung Angin (Ganrang Anging), dinamakan demikian
karena burung ini biasanya terbang secara statis dan
membiarkan angin menerpanya, kehadiran burung dengan
perilakunya yang terbang statis merupakan pertanda datangnya
musim kemarau yang panjang.
d) Gejala-gejala Alam
31
Kajang sangat menghindari pemanenan komoditi usaha taninya
bertepatan dengan kehadiran bintang ini.
Kecepatan angin yang meninggi dan membahayakan
aktifitas masyarakat, baik ketika berada di dalam hutan maupun
sedang melaut mencari ikan, selalu dipantau melalui kehadiran
Bintoeng Tanrayya, bintang ini menurut Puto Lekkong:
Jumlah Bintoeng Tanrayya ada tiga bintang, jika bintang ini
terbit, maka akan datang angin kencang yang sekaligus
merupakan pertanda akan segera terjadi pergantian musim
atau pancaroba dan terjadinya perubahan arah angin dari
Timur ke Barat atau angin yang tidak tentu arahnya. Jika
musim pancaroba tiba dan menuju ke musim kemarau maka
Bintoeng Tanrayya akan segera diiringi oleh Bintoeng
Pattampayya atau biasa juga disebut sebagai bintang ayam
karena jumlahnya yang enam bintang berbetuk seperti ayam.
Bintang lain yang dijadikan indikator musim kemarau adalah
Bintoeng Borong-boronga yang berjumlah tujuh bintang dan
terbit di ufuk timur, bintang ini kemudian akan bergeser ke
arah barat dan menjadi penanda tibanya musim hujan.
32
garis lurus dari utara ke selatan demikian pula dengan Bintoeng
Tanrayya.
e) Jenis-jenis Hujan
33
ayam. Bosi Pattampayya terbagi atas tiga bagian yakni: Bosi
Pitto'nai, dihubungkan dengan perilaku ayam yang sedang
mematuk makanannya, karena hujan ini turunnya rintik-rintik
yang kalau mengenai atap rumah bunyinya seperti ayam yang
mematuk makanan. Hujan ini kerap pula terjadi pada saat
matahari bersinar terik. Masyarakat Adat Kajang mempercayai
bahwa hujan pada saat matahari terik akan mendatangkan
penyakit, buah dan bunga tanaman menjadi layu, seperti
dipatuk ayam.
Bosi Paninnai, adalah hujan yang dihubungkan dengan
bunyi yang dikeluarkan oleh ayam yang sedang mengepakkan
sayapnya. Hujan seperti ini biasanya akan turun sehari semalam.
Menurut kepercayaan Masyarakat Adat Kajang, hujan ini akan
membuat hampa buah kemiri, pangi dan rambutan. Kepakan
sayap kanan ayam melemparkan biji kemiri ke Bantaeng
sedangkan sayap kirinya menerbangkan ke Kabupaten Bone.
Karena itulah kedua Kabupaten ini merupakan tempat yang
banyak ditumbuhi oleh komoditi tersebut.
Jika hujan turun dengan bergelombang disertai dengan
angin yang deras menerpa serta petir yang bersahutan,
Masyarakat Adat Kajang menamakannya Bosi Bangkenna karena
hujan ini mirip dengan suara alunan langkah ayam yang sedang
berlari. Padi serta tumbuhan lain yang sedang berbuah
kebanyakan akan rebah (tumbang). Jika hujan ini berlangsung
dari pagi hingga malam, dinamakan Bosi Bangkenna. Tetapi jika
hujannya hanya turun berupa gerimis, hujan tersebut dinamakan
Bosi Ikko'nai yang biasa juga disebut Bosi Tokuttu karena biasanya
kalau hujan ini turun, masyarakat akan malas melakukan
aktifitas.
34
pelanggaran terhadap Kasipalli akan mengakibatkan ganjaran
atau kutukan. Tingkatan pantangan tersebut dimulai dari
Kasipalli (pantang), Karrasa' (keramat) dan Talama'ring (tidak
boleh/larangan keras). Kepercayaan masyarakat terhadap Kasipalli
selalu dipegang teguh. Fungsi utamanya adalah sebagai
pegangan untuk membentuk pribadi luhur dan media
pendidikan budi pekerti.
Pantangan-pantangan dalam pemanfaatan kawasan
hutan secara umum meliputi pantangan mengeksploitasi dan
memanen hasil-hasil hutan tertentu baik berupa kayu maupun
non kayu termasuk beberapa margasatwa yang hidup di dalam
hutan.
Menangkap udang (Rao doang) merupakan salah satu
pantangan (Kasipalli) yang sangat ditekankan oleh Pasang dan
merupakan pelanggaran berat apabila dilakukan. Tetapi khusus
untuk upacara adat Rao doang diperkenankan untuk diambil
tetapi dalam jumlah terbatas, biasanya hanya dibatasi sampai 5
ekor saja. Uhe'atau rotan sangat dilarang untuk diambil kecuali
untuk keperluan upacara, jumlahnya pun sangat dibatasi.
Menurut penuturan Ammatoa jumlah rotan yang bisa diambil
untuk keperluan upacara adat maksimal hanya 3 batang.
Pembatasan kuota pengambilan udang dan rotan ini
dimaksudkan sebagai bentuk sosialisasi pada masyarakat bahwa
Ammatoa sendiri tidak mengambil udang dan rotan untuk
kepentingan sendiri, tetapi hanya untuk keperluan upacara adat,
itupun dengan jumlah yang sangat terbatas.
Secara khusus ada 4 organisme yang sangat
dipantangkan untuk dieksploitasi sebagaimana Pasang berikut :
Ta'bang kaju. Tunu Bani. Rao Doang. Tette' Uhe'
Artinya: Menebang Kayu (pohon). Membakar Lebah. Menangkap
Udang dan Menebang Rotan
Jika ada pohon yang tumbang atau dahannya patah
maka biarkan saja lapuk dimakan rayap, tidak boleh diambil
untuk keperluan apapun meski harga kayunya mahal. Kondisi
inilah yang dijaga oleh Ammatoa turun temurun sejak Ammatoa
pertama hingga kini, karena itulah kehidupan Masyarakat Adat
Kajang terus berlangsung dan rakyatnya senantiasa hidup sesuai
dengan prinsip Tallasa Kamase mase.
35
Keterjagaan hutan demikian, mengisyaratkan tidak adanya
campur tangan manusia dalam hutan sebagaimana penggarisan
Ammatoa:
Jika manusia sudah masuk untuk mengelola hutan, maka hutan tidak
akan berdaya menghadapinya, apalagi kalau manusia serakah yang mau
menjadikan hutan sebagai sumber pendapatannya dan dijadikan sarana
untuk mendapatkan kayu yang bisa dijual.
Gambaran tentang keadaan hutan yang dikelola tidak
dengan prinsip-prinsip kelestarian serta ketegasan tentang akibat
yang ditimbulkannya jelas memperlihatkan kuatnya preskripsi
Pasang mendefenisikan keharusan dalam melakukan tindakan
untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan.
Jika ada sebatang pohon yang tumbang apalagi kayu
Bitti yang berdiameter besar, sangat menggiurkan untuk digarap
menjadi kayu gergajian apalagi dikalangan para Panrita Lopi
(pengrajin perahu) yang memang mencari kayu Bitti dengan
diameter besar untuk dibuat lunas perahu atau dinding perahu.
Menurut masyarakat, kayu yang tumbang itu akan sangat jauh
lebih bermanfaat untuk dimanfaatkan dari pada sekedar
dibiarkan lapuk di dalam hutan. Kalau kayu dibiarkan lapuk
hanya akan memberi manfaat pada organisme di dalam tanah,
tetapi kalau dimanfaatkan, akan membawa banyak manfaat bagi
masyarakat. Tetapi Masyarakat Adat Kajang terlarang untuk
memanfaatkan kayu yang tumbang, Ammatoa menyarankan
untuk dibiarkan saja karena kelak pohon tersebut akan menjadi
humus bagi pertumbuhan anakan pohon yang tumbuh
disekitarnya.
Lebah madu merupakan serangga yang multiguna.
Selain sebagai "penghulu" bunga yang mengawinkan atau
mempertemukan antara serbuk sari dengan kepala putik sebagai
cikal bakal terjadinya pembuahan, lebah madu juga
menyediakan manfaat yang sangat banyak dari produk-produk
yang dihasilkannya. Lebah madu mempunyai produk utama
berupa madu, serbuk sari bunga (bee pollen), lilin lebah, propolis
dan susu ratu (Royal Jelly).
Bagi Ammatoa, lebah (Bani) merupakan makhluk hidup
yang harus dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan kecuali
untuk kepentingan upacara adat, karena telah diatur dalam
36
Pasang. Sejarah Masyarakat Adat Kajang juga tidak luput dari
peranan Lebah Madu sebagai pasukan yang mengusir penjajah
dari kawasan adat Kajang. Karena itulah untuk menghormati
Pasang dan balas jasa terhadap Lebah Madu, Masyarakat Adat
Kajang tidak memanfaatkan Lebah Madu yang hidup di dalam
kawasan adat, meskipun potensinya untuk menjaga kesehatan
masyarakat tinggi.
Udang sebagai salah satu organisme yang hidup di
sungai sebenarnya merupakan sumber protein bagi keluarga,
tetapi Ammatoa melarang udang ditangkap dan dijadikan sebagai
bahan makanan, demikian pula dengan rotan yang mesti
memiliki banyak kegunaan dipantangkan untuk dipanen,
kecuali untuk keperluan upacara adat.
Air sebagai komponen inti kehidupan mendapatkan
tempat yang istimewa bagi Masyarakat Adat Kajang. Hidup
mereka sangat tergantung pada sungai (kaloro) yang membatasi
wilayah adat Kajang dengan dunia luar. Sungai Doro, Tuli,
Limba dan Sangkala merupakan sumber air untuk mengairi
sawah dan kebun. Selain itu mata air yang terdapat pada
kawasan adat Kajang merupakan sumber air utama untuk
kepentingan memasak, air minum, mencuci dan kebutuhan lain.
Masyarakat Ipantarang Embayya menggali sumur di rumah
masing-masing agar sumber air dekat dan mudah dijangkau.
Namun Masyarakat Adat Kajang pantang untuk menggali
sumur karena sama dengan menyakiti bumi (Paratihi) yang
dipantangkan oleh Pasang.
Air bagi Masyarakat Adat Kajang tidak bisa dipisahkan
dengan keberadaan hutan karena Pasang menegaskan bahwa
akar pohonlah yang menyebabkan timbulnya mata air dan
kemudian menjadi sungai, menghidupkan organisme air yang
mempunyai peranan penting dalam rantai makanan. Karena
itulah menebang pohon (Ta'bang Kaju) merupakan pelanggaran
berat yang berujung hukuman Poko'Babbala' dengan denda 12
Juta Rupiah.
Menurut Puto Lateng sanksi dan denda yang tegas
sangat kental dan nyata terjadi pada saat Puto Cacong
memagang jabatan Ammatoa, segala yang berbau moderen sangat
dipantangkan masuk kedalam kawasan adat. Masyarakat yang
37
menebang pohon akan spontan menjadi lumpuh atau terkena
penyakit tertentu. Setelah Puto Cacong wafat, maka
pelanggaran-pelanggaran yang mendapat hukuman spontan
sudah nyaris hilang dan masyarakat juga sudah semakin berani
untuk menebang pohon utamanya pada kawasan Borong A'nisiya
yang berbatasan dengan Borong Pa'rasangan Iraja.
Pengambilan kayu di Borong Batasayya hanya
diperuntukkan untuk kepentingan sosial dan perbaikan rumah
adat di tiga tempat, yakni Bola Toa ri Tombolo, Bola Toa ri Benteng
(Tonrolia) dan Bola Toa ri Daulu. Ketiga rumah ini menjadi penting
peranannya karena pada ketiga rumah inilah Pasang dibicarakan
oleh Ammatoa dan seluruh pemangku adatnya. Sebagaimana
umumnya masyarakat di Kabupaten Bulukumba, rumah
panggung merupakan rumah yang umum dijumpai pada
Masyarakat Adat Kajang. Rotan menjadi komponen penting
sebagai salah satu bahan bangunan terutama dalam membuat
atap yang dianyam dari jerami dan menjalin bilah bambu
dijadikan sebagai bahan pengikat bilah-bilah bambu untuk lantai
rumah (Dasere'), selain itu juga dijadikan sebagai pengikat bilah-
bilah Balok. Masyarakat Ipantarang Embayya juga menggunakan
rotan sebagai bahan pembuat keranjang, alat tenun dan berbagai
peralatan pertanian. Meskipun Rotan banyak terdapat di dalam
kawasan hutan, Pasang juga menegaskan untuk tidak memungut
Rotan di Ilalang Embayya. Mengambil Rotan merupakan
pelanggaran berat yang berujung Poko' Babbala'.
Untuk kebutuhan Rotan, masyarakat memperolehnya
dari pasar, baik di Tana Toa, Tupare maupun dari Pasar
Kalimporo. Ammatoa menegaskan bahwa Rotan (Uhe')
merupakan pengikat dan penyeimbang bumi, karena itu
terlarang untuk dimanfaatkan kecuali untuk keperluan upacara
adat.
Jika pohon dan rotan lestari maka mata air juga akan
tetap ada dan menunjang eksistensi sungai menjadi habitat bagi
udang kecil yang memegang peranan penting pada rantai
makanan di sungai sampai ke areal pesisir pantai di Tana Jaya.
Jadi keberadaan Doang merupakan faktor inti eksistensi ikan di
lautan. Karena itulah Doang juga sangat dipantangkan untuk
dikonsumsi kecuali untuk keperluan upacara adat.
38
Ammatoa dalam wawancara dengan peneliti menegaskan bahwa:
Jika masih ada daun di dalam hutan, maka selama itu pula
akan ada ikan di laut. Kondisi ini ditunjang oleh keberadaan
udang (doang) kecil yang banyak hidup di sungai (Kaloro')
Menyadari akan arti penting Borong Karamaka bagi
keberlangsungan kehidupan, Masyarakat Adat Kajang sejak dini
mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk memahami
Kasipalli (pantangan) untuk memasuki Borong Karamaka. Sejak
kecil anak-anak sudah diberitahu bahwa di dalam Borong
Karamaka terdapat makhluk halus yang bernama I Boek. Menurut
Puto Lekkong:
39
diperkenalkan orang tua kepada anaknya dengan istilah
Borongna I Amma atau hutannya Ammatoa, meskipun
Ammatoa menolak dikatakan sebagai pemilik kawasan hutan,
tetapi istilah tersebut dijadikan sebagai bahan intimidasi
kepada anak-anak untuk patuh kepada aturan pemanfaatan
kawasan hutan yang telah digariskan Tau rie' a'ra'na kepada
Ammatoa melalui Pasang.
40
5 ) Pengetahuan Tentang Keanekaragaman Hayati
Nama
No Nama Lokal Nama Botanis Family
Indonesia
1 Anisi Helicia teysmanii Sleum Proteaceae
Castanopsis
2 Asa Saninten Fagaceae
acuminatassima A.Dc
3 Bakang Medang Litsea firma Hook.f. Lauraceae
Sukun
4 Bakara Artocarpus communii Moraceae
Hutan
Nephelium lappaceum
5 Balatung Rambutan Sapindaceae
L.
6 Bilalang Albizzia procera Benth Mimosaceae
7 Bissuhu
Xylicarpus moluccensis
8 Buli Meliaceae
Roem.
Pygeum parviflorum
9 Bunobampo Rosaceae
T.et B.
Disoxylum
10 Campaga Cempaga Meliaceae
densiflorumMiq
11 Cemara ri Callitris sp. Cupressaceae
12 Dande Balau Hopea dolosaV.Sl. Dipterocarpaceae
13 Dissappu Merbau Intsia bijugaO.K. Caesalpiniaceae
14 Garu Gaharu Aguilaria malaccensis Thymelaeaceae
15 Inru Aren Arrenga pinnata Palmae
Jambu
16 Jampu-jampu Crypteroniasp. Crypteroniaceae
hutan
17 Jate' Jati Tectona grandis L. Verbenaceae
18 Kalumpang Kepuh Sterculia foetida L. Sterculiaceae
Cananga odorata
19 Kalangiring Kenanga Annonaceae
Hook.f.et Th.
Canarium vulgare
20 Kanari Kenari Burseraceae
Leenh.
21 Kolaka Kolaka Parinari corymbosa Miq Rosaceae
22 Lalasang Jelatang Laportea sp. Urticaceae
Haplolobus celebicus
23 Langori Lengori Burseraceae
H.J.L.
Quercus menadoensis
24 Lanro Fagaceae
Kds.
Homonela javanemsis
25 Laru Myristicaceae
Muell.Arg
26 Lassa Langsat Aglaia sp. Meliaceae
27 Le'leng/Lotong Diospyros polita Bakh. Ebenaceae
28 Lemo-lemo Kandis Garcinia sp. Guttiferae
41
Nama
No Nama Lokal Nama Botanis Family
Indonesia
29 Mata alo Vitex quinata F.N.Will Verbenaceae
30 Na'nasa Gupasa Vitex cofassus Reinw Verbenaceae
Palaquium bataanense
31 Nato Nyatoh Merr. Sapotaceae
Alphitonia zizyphioides
32 Ole/Ola-ola Rhamnaceae
A.Gray
33 Pangi Pangi Pangium edule Reinw Flacourtiaceae
34 Parring Bambu Daemonorops sp. Palmae
35 Pondo Borong Medang Litseai sp. Lauraceae
Baringtonia acutangula
36 Poto/Puta Lecythidaceae
Gaertn.
37 Raja Tristania sp. Myrtaceae
Dracontomelon
38 Rao Dahu Anacardiaceae
mangiferum
39 Rappo Pinang Areca catechu Palmae
40 Rengngeng
41 Rita-rita Pulai Alstonia scholaris R.Br. Apocynaceae
42 Ropisi' Nemecylon sp. Melastomataceae
Sandoricum koetjape
43 Sattulu Kecapi Meliaceae
Merr.
44 Songeng
Turpinia sphaerocarpa
45 Sempaga Bangkong Staphyleaceae
Hassk.
46 Taipa Mangga Mangifera indica L. Anacardiaceae
Gomphandra
47 Tohaka Iccacinaceae
mappioides Val.
48 Uhe' Rotan Calamus sp. Palmae
42
Keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna
merupakan kekayaan hutan yang dapat memberikan manfaat
bagi Masyarakat Adat Kajang setidaknya dari empat aspek yakni
ekonomi, ekologi, kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Secara ekonomi hutan memberikan manfaat baik
langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Usaha
tani yang dilakukan masyarakat sangat tergantung kepada
integritas ekologi hutan yang ada dalam kawasan hutan adat,
meskipun usaha tani dilakukan di luar kawasan hutan adat,
tetapi eksistensi sumber air di kawasan hutan adat merupakan
faktor penentu keberadaan beberapa sungai yang ada di sekitar
kawasan hutan, Amir Tonna dan Pudding menuturkan:
Sungai-sungai disekitar areal persawahan dan perkebunan
nyaris tidak pernah mengalami kekeringan karena sumber air
di Borong Karamaka senantiasa terjaga keberadaannya dan
dilindungi oleh Pasang ri Kajang.
43
Tabel 4. Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Adat
Kajang
Kegiatan
No Pengetahuan Lokal
Pengelolaan Hutan
Terbagi atas 2 kompleks
1 Tata Hutan (Pa'rasangang Iraja dan
Pa'rasangang Ilau)
Terbagi atas 3 Zona (Borong
Karamaka, Borong
2 Tata Guna Hutan
Batasayya/Tattakkang, Borong
Luarayya)
3 Status kawasan Hutan Lindung
4 Dasar Zonasi Berdasarkan Pasang
Panataan Batas Menggunakan batas alam
5
Kawasan Hutan (sungai/Kaloro)
Ta'bang kayu, Tuni Bani, Tette'
Uhe', Rao Doang. (Menebang
kayu, membakar lebah,
6 Pengamanan Hutan
menebang rotan, menangkap
udang) serta menggunakan alat
mekanis di Borong Batasayya
Pemanenan Hasil Sangat dibatasi/ada quota
7
Hutan berdasarkan Pasang
Penerapan Sanksi
8 Berdasarkan Pasang
Pelanggaran
Hutan mendatangkan hujan,
9 Hidrologi
berfungsi sebagai pengairan
Tanda-tanda alam untuk
menentukan iklim melalui
10 Klimatologi perlikau margasatwa, perilaku
serangga, burung, gejala-gejala
alam dan jenis-jenis hujan
Konservasi
11 Flora dan Fauna yang berguna.
Biodiversiti
44
6. Pengetahuan Pengelolaan Sawah
45
7. A’passala Ango
8. A’katto/A’sangki (kelong pallele, a’tempa/akkaharrang, a’bokko)
9. A’nanro
10. A’dengka.
A’boja Tanra
A’boja Tanra merupakan sebuah proses untuk mencari
tanda-tanda alam untuk memulai pengelolaan sawah adat. Dua
hal yang dijadikan pegangan untuk melihat tanda-tanda itu
adalah Purung-purung dan pohon Dande’. Setelah melihat Purung-
purung dan memperhatikan pohon Dande’ maka biasanya
Masyarakat Adat Kajang akan melakukan a’borong ada’ (rapat
adat). Purung-purung merupakan serangga yang dijadikan
pertanda musim bagi masyarakat adat kajang. Pasang
mengajarkan:
Punna kalau’i purung-purung’a a’lamungki pare,
Punna rai’ki purung-purung’a a’lamungki baddo’
Artinya:
(Bila Purung-purung kesebelah barat saatnya untuk
menanam padi, bila Purung-purung kesebelah timur saatnya
untuk menanam jagung.)
Menurut Ammatoa Purung-purung merupakan
Turunanna To Manurung yang naik ke langit berbentuk bintang
dan akan mendatangkan/menurunkan hujan. Hal ini sesuai
dengan perjanjian Ada’ (adat) dengan Purung-purung (turunanna
to manurung) tersebut sebelum naik ke langit.
Pangkarua bulang lolo bulang appa kalau’I purung-purung’a,
Pangkarua bulang lolo bulang lima kalau’I manu’a,
Pangkarua bulang lolo bulang annang kalau’I aneang.
Anjo ngasengmo assare’ ere.
Artinya:
(Minggu kedua bulan empat purung-purung berada di Barat,
Minggu kedua bulan lima bintang manu berada di Barat, hari
kedelapan minggu pertama bulan enam bintang Aneang
berada di Barat. Ketiga bintang inilah yang memberi hujan).
Purung-purung (rasi bintang Orion/waluku) adalah sejenis
gugusan/rasi bintang yang dipercaya akan mendatangkan hujan.
Purung-purung ini terdiri dari beberapa bintang dan juga
46
dianggap keturunan dari To Manurung (orang yang pertama
turun ke bumi).
47
Ketika bintang Purung-purung muncul di ufuk timur,
Masyarakat Adat Kajang turun ke hutan-belukar. Mereka a’nanra
koko (menandai tanah huma-ladang). Tanah yang dipilih
dibersihkan agar dapat ditanami. Masa menanam padi
berlangsung ketika posisi bintang Purung-purung setinggi
matahari pukul delapan hingga sepuluh. Masa menuai saat
bintang Purung-purung di langit sebelah barat, setinggi matahari
pukul dua hingga empat sore. Bintang ini kelak hilang di ufuk
barat, kemudian muncul kembali di ufuk timur.
Satu siklus penampakan (peredaran) Purung-purung,
mulai dari terbit di ufuk timur hingga terbit kembali di ufuk
timur, berlangsung 12 kali bulan terang. Artinya, kurun waktu
satu siklus bintang ini berlangsung 12 bulan. Posisi Purung-
purung ditentukan berdasar posisi matahari. Menurut kearifan
lokal Masyarakat Adat Kajang, satu jam ‘waktu edar’ matahari
setara dengan satu bulan ‘waktu edar’ Purung-purung. Karena
matahari beredar dari timur ke barat selama 12 jam dalam sehari,
maka ‘kurun waktu jam’ posisi matahari identik dengan ‘kurun
waktu bulan’ posisi Pururng-purung. Menurut Ammatoa, Purung-
purung terbit di ufuk timur awal April, dan terbenam di ufuk
barat akhir Maret. Dengan demikian, kurun waktu satu siklus
peredaran Purung-purung relatif dapat dipadankan dengan
kurun waktu setahun kalender Masehi.
Sekitar awal April Purung-purung terbit di ufuk timur,
terlihat saat matahari terbenam. Dua bulan kemudian, bila
bintang ini berada pada posisi matahari pukul delapan (sekitar
Juni), orang mulai a’lamung pare (menanam padi). Diyakini,
periode terbaik menanam padi sampai Purung-purung berada
pada posisi matahari pukul sepuluh (sekitar Agustus).
Sementara periode terbaik a’katto (menuai) saat posisi Purung-
purung berada pada posisi matahari pukul dua hingga empat
sore, terlihat saat matahari terbit (sekitar Desember-Februari).
Tenggang waktu usai a’katto (musim menuai padi) hingga
terbenamnya Purung-purung di ufuk barat (sekitar Februari-
Maret) dipakai untuk annangkasa’ galung (pembersihan lahan).
Lahan itu kemudian dijadikan ladang ubi yang lazim digarap
oleh kaum wanita.
48
Itulah peran Purung-purung satu tahun kalender yang
terdiri dari 12 periode bulan. Kurun waktu satu periode (siklus)
bulan adalah jumlah dari 15 hari bulan terang dan 15 hari bulan
mati, sehingga satu bulan terdiri dari 30 hari. Artinya, kurun
waktu satu tahun kalender menurut perhitungan Masyarakat
Adat Kajang tidak tepat betul dibanding satu satu tahun
kalender Masehi. Kalender tahunan Masehi berlangsung rata-
rata 365,2425 hari.), sedang kalender tahunan tradisional
Masyarakat Adat Kajang adalah 360 hari.
Pohon Dande’
A’borong ada’
49
Masyarakat Adat Kajang turun ke sawah menanam padi/jagung
(pare’/ba’do).
A’nangkala
50
A’nangkasi galung
A’bingkung pitau
A’tahuru Bine
51
Benih ini adalah padi Hattu (padi yang masih melekat pada
malainya) yang disimpan (ni nangro) di atas Para Bola (plafon
rumah). Beberapa rangkaian proses a’tahuru bine diantaranya: (1)
ni iri’; (2) ammilei bine; (3) a’tahuru;
Ni iri’
52
sebagai ritual yang dijalankan untuk “menakut-nakuti” rumput
dan hama yang akan mengganggu pertumbuhan tanaman padi.
Ammilei Bine
53
A’tahuru
A’rembo’
54
dicabut/dipindahkan adalah bibit yang telah berumur 30 hari
setelah ditebar. Bila bibit sudah lewat dari 30 hari, maka petani
menganggap pertumbuhannya akan kurus. Sedangkan bila
kurang dari 30 hari maka akan mudah terserang penyakit atau
dikenal anre’pa nasalai garring (belum terbebas dari penyakit).
Arah hadapan dalam permulaan A’rembo yaitu empat penjuru
sawah (appa kacucu galung). Proses ini dilakukan dengan tangan
agar bibit yang akan dipindahkan/dicabut mudah diikat. Untuk
sawah adat Ammatoa dibutuhkan sekitar 10 ikatan bibit.
Bibit yang telah dicabut, diusahakan untuk
diistirahatkan selama beberapa jam dengan harapan bahwa
batang padi akan kuat dan jumlah anakannya akan lebih
banyak. Petani percaya bahwa bila ia ingin tanamannya tumbuh
baik, maka ia harus mencabut bibit padi pada subuh hari dan
menanamnya pada pagi hari. Adapun pantangannya untuk padi
yang telah di rembo’ adalah bibit tidak boleh terpisah dari
bijinya karena akan mudah diserang hama dan juga tidak boleh
kekeringan karena daunnya akan mengalami kerusakan.
Pada waktu mencabut bibit seringkali ada tanah yang
masih melekat pada akar. Hal ini bisa dihilangkan dengan cara
mencuci akar tersebut atau mencelupkannya ke dalam air. Cara
menghilangkan tanah yang melekat pada bibit padi tadi
hendaknya tidak dengan dipukul-pukulkan pada suatu benda
atau betis untuk menghindarkan bibit dari kerusakan akar.
Paenre' ere
55
Artinya:
“Hutanlah yang menghubungkan bumi dengan hujan,
karena disini (tana kamase-mase’a) tidak terdapat
pengairan/irigasi, maka sesungguhnya hutanlah yang
menjadi irigasi/pengairan, karena dapat mendatangkan
hujan.
A’tanang
56
padi yang tumbuh berasal dari dua bibit atau lebih akan
mengalami persaingan dalam menyerap unsur hara dari dalam
tanah. Persaingan dalam menyerap hara tidak terjadi kalau satu
rumpun padi berasal dari satu bibit.
Setelah ni bacci (diluruskan), maka dilakukan penanaman padi
secara serentak (a’lamung a’borong atau a’tanang a’borong) dengan
cara sebagai berikut:
• Segenggam bibit digenggam ditangan kiri, tangan kanan
mengambil 2-3 bibit dari tangan kiri dan berniat untuk si itte
pole ruampolu allo riboko’a (bertemu kembali dua puluh hari
kemudian).
• Setelah berniat dalam hati, maka bibit tersebut dimasukkan
ke dalam tanah sepanjang jari telunjuk, tidak boleh lebih
dan juga tidak boleh kurang dari ukuran jari telunjuk
• Posisi bibit tersebut (bine) harus tegak lurus
• Selama waktu penanaman berlangsung tidak boleh
memanggil orang lain dengan menyebut namanya
melainkan menyebut bantu’ untuk laki-laki dan hera’ untuk
perempuan.
• Apabila Purung-purung muncul pada siang hari, maka tidak
boleh dilakukan a’lamung karena dianggap waktu yang
keramat.
• Kedalaman bibit yang ditanam adalah 3-4 cm.
Bibit padi yang telah ditanam selalu diamati (dikontrol),
sebab tidak semua tanaman padi tersebut yang akan tumbuh
dengan baik, kadang-kadang ada beberapa tanaman yang mati
atau terhambat pertumbuhannya, kurang normal dan kerdil
(ca’di).
Untuk sawah adat dan non adat untuk mengantisipasi hal
tersebut diatas juga melakukan proses penyulaman dengan
ketentuan:
• Bibit yang digunakan harus jenis yang sama
• Bibit yang digunakan adalah sisa dari proses A’tahuru bine
terdahulu (bibit cadangan)
• Penyulaman tidak boleh melampaui 10 hari setelah tanam.
57
A’passala Ango
58
melalui sudut sawah. Dari sudut inilah kemudian walang sangit
menyebar keseluruh penjuru sawah dan akhirnya merusak
tanaman padi (pare). Kegiatan ini merupakan pekerjaan yang
dilakukan oleh kaum wanita.
A’katto/a’sangki
Kelong Pallele
59
Jadi dalam prose a’katto ini dilakukan oleh kaum perempuan dan
kaum laki-laki berada dibelakang perempuan mengambil padi
yang telah ni katto dengan sebutan mallele.
Allembara’, A’teke’
A’nanro
60
manakala dibutuhkan sebagai bahan pangan konsumsi maupun
bahan dasar dalam upacara pa’nganro. Setelah padi diikat (ni
kaharrang), maka selanjutnya padi tersebut akan dibawa kerumah
dengan cara ni teke’ atau ni lembara’. Perbedaan antara keduanya
adalah alat yang digunakan, kalau ni teke’ dengan menggunakan
kuda, sedangkan bila ni lembara’ diangkat sendiri oleh laki-laki
menuju rumah. Sesampai dirumah maka padi yang telah
dipanen tersebut akan didoakan (nipa’baca doang) sebelum
dinaikkan ni nanro di para bola (loteng).
Padi yang akan disimpan (ni nanro) di para bola ini
dilakukan oleh kaum perempuan. Karena mereka yakin bahwa
perempuan lebih bijak dalam menyimpan sesuatu dibandingkan
laki-laki. Tapi manakala perempuan tidak kuat, maka bisa laki-
laki yang menaikkannya dengan syarat harus orang yang tinggal
dirumah tersebut. Padi yang ni nanro ini dapat disimpan lama
bahkan sampai sepuluh tahun lamanya.
Para Bola (loteng) merupakan tempat menyimpan padi
karena Masyarakat Adat Kajang berasumsi bahwa padi itu harus
dimuliakan dan ditinggikan serta menghindari agar tidak ada
hewan yang lewat diatas padi tersebut. Apabila dibutuhkan
maka padi yang ni nanro tadi akan diturunkan dan ni alloi
(dijemur) satu hari, setelah itu ni dengka/ni ludda. A’dengka
dilakukan oleh kaum perempuan secara bersama-sama diatas
sebuah lesung dengan jumlah padi yang ditumbuk sebanyak 4
kaharrang, sedangkan a’ludda tidak terbatas karena dilakukan
diatas sebuah terpal plastik.
Padi yang ni nanro ini bisa sampai berumur 10 tahun.
Umur padi yang sudah lama ini biasanya terjadi karena padi
lama yang tertumpuk oleh padi yang baru dipanen, begitu
seterusnya hingga tidak sempat dikonsumsi. Masyarakat Adat
Kajang menyebutnya dengan istilah indung pare.
Indung pare ini sengaja dibiarkan terus ditumpukan
bagian bawah dan tidak boleh dimakan selagi masih ada padi
baru dipanen yang terletak diatasnya. A’nanro pare (menyimpan
padi) di parabola mengindikasikan bahwa setiap keluarga
diharuskan mempunyai tabungan atau cadangan padi (pangan),
baik dalam setiap musim panen maupun ketika musim paceklik.
Selain itu, melalui penyimpanan ini dapat meningkatkan inisiatif
61
Masyarakat Adat Kajang agar selalu mempunyai ketersediaan
pangan yang berkelanjutan.
Sekarang dikawasan adat Ammatoa telah terjadi
perubahan cara pandang dimana padi yang sudah lama atau tua
tadi boleh digunakan untuk konsumsi pada waktu-waktu
tertentu, misalnya hajatan dan ritual. Tetapi sebagai makanan
pokok sehari-hari tetap jarang digunakan karena kualitasnya
telah menurun, rasanya sudah pahit, rasanya tidak enak dan
warnanyapun sudah berubah.
Padi yang disimpan diperbolehkan untuk dikonsumsi
manakala telah berada di parabola selama 40 hari lamanya.
Intensitas pengambilannyapun dibatasi hanya satu kali dalam
seminggu beberapa kaharrang dan dalam hitungan ganjil. Hal ini
menunjukkan bahwa Masyarakat Adat Kajang sudah punya
kesadaran untuk berhemat dan memiliki standar pangan yang
cukup untuk keluarga dalam satu minggu sampai dengan
musim panen berikutnya. Dengan demikian, berapa jumlah
ketersediaan yang diperlukan selama satu musim, penghematan
yang harus dibuat senantiasa diketahui oleh Masyarakat Adat
Kajang. Sistem a’nanro inilah yang masih bertahan sampai
sekarang. Masyarakat Adat Kajang tidak pernah kekurangan
padi atau pangan. Saat panen mereka menabung padi di parabola
dan saat paceklik mereka akan menggunakan tabungan tersebut.
Sehingga ketahanan pangan senantiasa terjaga sepanjang waktu.
A’dengka
62
adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda.
A’dengka/A’ludda dilakukan sampai padi terpisah dari malainya.
Setelah itu maka padi akan ni tapi untuk membersihkan sisa-sisa
malainya.
63
Pola pemukiman masyarakat Ammatoa adalah
berkelompok (cluster). Kelompok-kelompok perumahan ini pada
umumnya merupakan kelompok yang masih kerabat dekat.
Setiap kelompok pada umumnya dibatasi oleh pagar yaitu pagar
hidup (benteng tinanang) dan pagar batu (benteng batu). Setiap
kelompok di dalam pagar terdiri dari tiga rumah atau lebih.
Biasanya rumah yang terletak paling depan agak ke kanan
ditempati oleh kerabat tertua atau orang tua dari kelompok.
Kelompok rumah Masyarakat Adat Kajang menghadap
ke arah Barat atau menghadap Gunung Bawakaraeng dan
Lompobattang, Jadi agak berbeda dengan masyarakat Tana
Toraja dan Mamasa yang menghadap ke utara, karena mereka
menganggap bahwa kepala dunia atau ulunna langi' berada di
sebelah utara, selain itu mereka juga meyakini bahwa Puang
Matua atau sang pencipta dunia bersemayam di sebelah utara.
Sementara orang Bugis Makassar menghadapkan rumah mereka
ke arah selatan atau ke arah barat.
Bila rumah dipinggiran sungai maka dibangun
membelakangi sungai. Arah rumah menghadap orang Bugis
Makassar tidaklah mutlak tetapi sangat jarang yang membangun
rumah yang menghadap ke Timur atau menghadap ke utara.
Masyarakat Bugis makassar selalu berusaha agar kepala rumah
atau ulu Balla tidak berada di sebelah Timur dengan maksud
agar bagian belakang rumah atau Uri' Balla atau kaki orang
yang tidur di rumah tersebut tidak mengarah ke kiblat (Barat).
Rumah orang Bugis Makassar juga dianjurkan tidak
menghadap ke utara karena tidak dibenarkan seseorang tidur
searah dengan arah tidur orang mati atau siuju' yang kepalanya
menghadap ke utara. Bahkan diusahakan agar rumah tidak
menghadap ke Utara atau Selatan karena ada anggapan bahwa
arah rumah seperti itu terpotong poros matahari (napolo mata
esso).
Menurut Azis Tambi, posisi rumah Masyarakat Adat
Kajang yang umumnya menghadap ke Barat berhubungan erat
dengan kepercayaan masyarakat (patuntung). Tempat
persemayaman Patuntung tersebut diyakini berada di antara 2
gunung besar yakni Gunung Bawakaraeng dan Gunung
Lompobattang yang terletak di sebelah Barat. Arah menghadap
64
rumah (Paddallekang balla') ke Barat juga terkait dengan
keberadaan hutan adat. Ammatoa pertama (Bohe Amma') diyakini
turun ke bumi di Hutan adat Tanatoa yang diberi nama
Pa'rasangang Iraja atau Borong Iraja (Hutan di sebelah Barat)
sebagai kebalikan dari Pa'rasangang Ilau' atau Borong Ilau',
karena posisi tempat tersebut berada pada bagian Barat pusat
perkampungan, yaitu Benteng. Berdasarkan pengamatan
penulis, arah menghadap rumah (Pa'dallekang Balla) Masyarakat
Adat Kajang cenderung menyamping dari arah hutan keramat
atau Borong Karama'. Menurut Ammatoa Puto Palasa, arah rumah
yang menyamping dari Borong Karama’ dimaksudkan agar
masyarakat tidak selalu melihat kawasan tersebut dan tergiur
dengan nilai ekonomi dan potensi yang ada di dalam Borong
Karama' seperti kayu, Rotan, sarang Lebah Madu, Udang, dan
hasil hutan ikutan lainnya.
Salah satu kekhawatiran Ammatoa Puto Palasa saat ini
adalah tingginya permintaan kayu Bitti baik untuk pembuatan
rumah maupun pembuatan perahu yang berasal dari masyarakat
di luar Kajang. Ammatoa mengakui bahwa Kayu Bitti merupakan
kayu adat yang harus ada pada pembuatan rumah maupun
perahu, tetapi beliau mengharapkan agar bukan Kayu Bitti di
dalam kawasan adat terlebih Borong Karama' yang dijadikan
sebagai sasaran penebangan.
Pola pemukiman masyarakat di Tana Kuasayya (Kajang
Luar) berbeda dengan masyarakat di Kajang dalam (Tana
Kamase masea). Kawasan Kajang luar membentuk pola
memanjang atau berjejer di sepanjang jalan atau mengapit jalan
raya. Tidak ada kelompok rumah yang khusus menghadap ke
arah Barat.
Untuk membangun rumah, Masyarakat Adat Kajang
hanya memerlukan tiga balok panjang sebagai pasak atau sulur
(Paddongko') yang melintang dari depan ke belakang. Kayu balok
atau sulur belok (Lilikang), melintang dari sisi kiri ke sisi kanan
rumah. Untuk mengikat kesatuan tiang dalam satu jejeran (Latta)
pada bagian atas rumah diletakkan balok besar yang melintang
dari sisi kiri ke sisi kanan. Untuk membuat rumah kokoh berdiri,
tiang-tiang penyangga ditanam di tanah dengan kedalaman
65
sekitar setengah depa (Sihalirappa) atau paling dangkal satu siku
(Sisingkulu').
Menurut Puto Udding, penanaman tiang rumah ini
selain dimaksudkan untuk memperkokoh berdirinya rumah juga
mengandung makna bahwa rumah yang dibangun adalah
penghubung antara dunia atas atau Boting langi' dengan dunia
bawah atau Buri' Liu. Sebuah rumah tidak hanya sebagai tempat
bermukim tetapi juga merupakan personifikasi dari alam, karena
rumah mempunyai 3 bagian yaitu bagian bawah (siring), bagian
tengah atau Kale balla dan bagian atap atau Coppo
bola/pammakkang/para balla. Tiang rumah terdiri atas 16 tiang, 4
jejeran tiang dari sisi kiri ke kanan dan 4 jejeran tiang dari depan
ke belakang.
Angka empat bermakna simbolis terkait dengan empat
unsur dunia/alam semesta yaitu: api/pepe', air/ere', udara/anging,
dan tanah/butta. Warna api disimbolisasikan dengan warna
merah, air dengan warna putih, udara/angin dengan warna
kuning dan tanah dengan warna hitam. Warna-warna ini biasa
diwujudkan dalam bentuk 4 warna Songkolo (nasi ketan) yang
biasa disajikan pada upacara memasuki rumah baru. Menurut
Puto Lekkong (wawancara di Sapiri, 4-2-2012) keempat warna
tersebut juga merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia.
Seseorang yang emosional dilambangkan dengan warna
merah (api), orang yang tidak konsisten dilambangkan dengan
warna kuning (udara/angin), orang yang suka menjilat dan
berkuasa atas sesamanya dilambangkan dengan warna putih
(air) dan yang paling baik adalah orang yang sabar,
dilambangkan dengan warna hitam (tanah). Warna hitam
merupakan simbol kebaikan, karena itulah Masyarakat Adat
Kajang selalu berpakaian hitam. Warna hitam bagi
Masyarakat Adat Kajang memiliki arti simbolis, menurut Abd.
Kahar Muslim, warna hitam memiliki makna :
1) Sebagai kumpulan/himpunan segala warna yang
melambangkan persatuan dan kesatuan serta bertekad
menghadapi segala tantangan hidup. Bila seluruh
warna dicampur, maka akan menghasilkan warna
hitam.
66
2) Sebagai warna yang tua (dituakan) melambangkan
kedewasaan berpikir dan bertindak
3) Sebagai warna sederhana (Kamase masea), bermakna
kesederhanaan
4) Sebagai warna yang melambangkan makna keyakinan
5) Sebagai warna asli yang tidak mudah luntur
Ammatoa menuturkan bahwa warna hitam adalah
warna hakiki, sejak kita masih didalam kandungan ibu, hanya
warna hitamlah yang kita lihat, setelah lahir maka terbitlah
warna terang yang berwarna putih, setelah itu kita kembali ke
liang lahat untuk memasuki dunia yang gelap (hitam). Sambil
memperagakan telapak tangannya menutup mata, coba
perhatikan, kalau mata kita tertutup maka yang terlihat hanyalah
warna hitam, itulah warna yang hakiki.
Dari ke enam belas tiang yang menopang rumah dua
tiang yang merupakan pusat rumah (Benteng Tangnga). Kedua
tiang ini dianggap sebagai tiang penyangga yang rohnya mampu
menembus dunia (Boting Langi') atas dan dunia bawah
(Buri'Liu). Masyarakat Adat Kajang umumnya memiliki
pemahaman bahwa sebuah rumah memiliki Sumanga atau
kekuatan yang juga terdapat dalam diri manusia, rumah atau
objek-objek lainnya.
Kedua tiang tengah ini diperlakukan secara khusus
dengan dibungkus kain putih (kain kafan). Bentuk tiang ini agak
lurus, terkadang diberi ukiran atau alur-alur khusus. Kasipalli'
atau pantangan tiang ini adalah tidak boleh dipahat untuk
dilubangi, tidak boleh dipaku tidak boleh disentuh atau
disandari. Bentuk penghormatan lain pada tiang tengah ini
adalah pada saat mendirikan rumah, kedua tiang ini yang
terlebih dahulu didirikan, kemudian diikuti oleh tiang-tiang
lainnya.
Menurut Ammatoa Puto Palasa, bahan baku kedua tiang
utama ini harus diambil dari kayu-kayu pilihan. Ukurannya
harus lebih besar dari empat belas tiang yang lain. Sudut-sudut
yang terbentuk pada tiang tersebut haruslah segi delapan
(Benteng Tepu), karena tiang-tiang tersebut mempersonifikasikan
Ammatoa ri Kajang (poko' balla) dan kemutlakan kehadiran
Anrongta ri Pangi dan Anrongta di Bongkina (Benteng tangnga)
67
untuk mendampingi Ammatoa sebagai pimpinan Masyarakat
Adat Kajang. Bahan baku tiang tengah tidak boleh memiliki
bakal cabang/ranting (Akkampacu) atau mata kayu. Karena
dianggap memiliki cacat atau noda dalam pertumbuhannya.
Mata kayu dianggap mendatangkan petaka dan mengurangi
rejeki pemilik rumah. Karena mata kayu dianggap dapat
mempengaruhi perilaku pemilik rumah menjadi iri hati dan
dengki. Selain itu kayu yang digunakan tidak boleh bercabang
dua (rua pucu'na) karena dikhawatirkan pemilik rumah
mempunyai sifat mendua atau tidak tetap pendiriannya dan
tidak ada ketetapan hati, tidak boleh juga bengkok karena salah
satu pasang menyebutkan harus Lambusu' atau lurus dalam
mengarungi hidupnya.
Secara umum bentuk rumah masyarakat Ammatoa,
hampir sama dengan rumah orang Makassar yaitu bentuk
rumah panggung dan setiap rumah terdiri atas tiga tingkatan.
1. Bagian atas (Pammakkang/para balla) rumah berfungsi
sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan seperti
padi dan jagung sebagai makanan pokok. Karena letaknya
persis di bawah atap rumah, maka suhu udara di siang hari
pada ruangan ini cukup hangat dan menghindarkannya
dari kelembaban, serta secara alami menghambat
pertumbuhan jamur dan organisme perusak bahan
makanan yang disimpan.
2. Bagian tengah rumah adalah badan rumah (kale balla)
berfungsi sebagai tempat tinggal kepala keluarga dan
anggota keluarga.
3. Bagian bawah rumah (siring) berfungsi sebagai tempat
menyimpan peralatan pertanian dan juga untuk
menumbuk padi, menenun serta untuk kandang ternak.
68
Bagian Atas
Disebut Para Balla
Bagian Tengah
Disebut Kale Balla
Bagian Bawah
Disebut Siring
69
seperti menaikkan padi (appanai' ripara'a). Sejak kecil secara
psikologis anak-anak mereka sudah diajarkan dan ditegaskan
bahwa di tempat tersebut terdapat seorang nenek yang
badannya besar dan memakan manusia yang memasuki ruangan
itu (Nene' pakande).
Bagian tengah (Para balla') berfungsi sebagaimana
halnya kehidupan di bumi yang sarat dengan interaksi sosial.
Sedangkan bagian bawah (Siring) umumnya ditempatkan
peralatan pertanian serta binatang peliharaan seperti Kuda,
Kerbau, Sapi, Kambing maupun ayam. Pada bagian bawah
rumah yang terdiri dari tiang-tiang penopang, terdapat tiang
khusus yang dijadikan sebagai pusar rumah (Benteng tangnga)`.
Tiang tengah ini dianggap sebagai media yang mampu untuk
menghubungkan antara dunia atas dengan dunia bawah sehinga
secara keseluruhan upacara adat (A'nganro atau Appanganro
Kacucu Balla') yang dilakukan di atas rumah, tiang tengah ini
selalu dijadikan sebagai pusat kegiatan atau tempat untuk
meletakkan peralatan atau sesajian.
Tiang tengah ini juga diukir dan dibungkus dengan
kain hitam/putih serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah
disinggung sebelumnya. Beberapa bukti juga telah dialami
masyarakat. Salah seorang informan (Puto Japo, wawancara di
Malleleng,15-1-2012) menuturkan bahwa pernah ada masyarakat
yang mengganti tiang rumahnya setelah berkonsultasi dengan
Sanro akibat kematian beruntun keluarganya dan kegagalan
panen jagung yang dialaminya. Tiang rumah memiliki mata
kayu (Kampacu). Setelah penggantian tiang serta keyakinan yang
mendalam yang melahirkan sugesti akhirnya panen jagungnya
kembali membaik dan tidak lagi mengalami peristiwa tragis
(kematian beruntun).
Semua rumah dalam kawasan adat Ammatoa itu sama
bentuk, ukurannya serta mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Kaleballa terdiri dari tiga bagian atau tiga Latta'
a. Pappamuntulang atau Latta' riolo (tempat untuk tamu).
Pappamuntulang mempunyai makna simbolis yaitu sesuatu
mempunyai batas-batas, tidak terkecuali perbuatan
manusia. Adalah pelanggaran bagi tamu yang melewati
70
Pappamuntulang jika sedang bertamu, kecuali seizin dengan
tuan rumah.
b. Latta tangnga (tempat untuk menerima tamu)
c. Latta ri boko/Tala-tala (tempat tidur kaum wanita)
khususnya bagi wanita yang baru kawin, tala-tala
dibuatkan tiga susun genggaman tuan rumah atau sekitar
30 cm lebih tinggi dari kedua bagian rumah dan dibuat
kamar khusus (bili’) : berdinding papan, berlantai bambu
yang diikat satu dengan yang lain disebut dasere’. Latta
riboko ini berbentuk seperti ruang kemudi atau palka pada
perahu Pinisi yang biasa dibuat lebih tinggi dari ruang
lainnya. Filosofi hidup Masyarakat Adat Kajang memang
meyakini bahwa rumah mereka diibaratkan sebagai sebuah
perahu yang sedang berlayar menuju hari akhirat (Allo
Riboko)
71
Tala-
tala
72
Maknanya bahwa orang yang sudah berkeluarga diapit
oleh 4 orang tua yaitu bapak, ibu, dan kedua mertua.
3. Tiang rumah tidak dilubangi, makna simbolnya untuk
menghindari bahaya, seperti penikaman atau kekerasan
lainnya yang dapat menyebabkan ”lubang” pada
manusia.
4. Dinding rumah, ada yang terbuat dari papan dan juga
bambu, yang dipasang melintang (horisontal), tidak boleh
tegak. Makna simbolisnya adalah ”jangan
menghidupkan sesuatu yang sudah mati” artinya pohon
yang sudah dibuat jadi papan dianggap sudah mati,
sehingga posisinya tidak boleh vertikal seperti pada
waktu kita masih hidup dan pantang bertindak yang
tidak sesuai kenyataan.
5. Bangunan rumah tidak dicat, maknanya memperlihatkan
keasliannya yang hidup secara sederhana.
6. Atap rumah terbuat dari daun rumbia dan dirajut pada
bilah-bilah bambu (pananra) dan diikat dengan tali rotan
(paninting). Sebagai hiasan rumah pada bagian atap depan
dan belakang dipasang tanda ekor ayam (anjong), yang
maknanya berarti posisi belakang dari Kajang dalam
hubungannya dengan kerajaan Gowa.
7. Jendela rumah sangat kecil, ukurannya relatif ada 40 x 30
cm dan ada juga 40 x 25 cm.
8. Ruang depan adalah ruang dapur yang bersambung
dengan ruang tengah. Makna dapur di depan, agar
tamu mengetahui persiapan tuan rumah. Apabila
dinyalakan itu pertanda akan dijamu dan tamu
diharapkan tidak cepat pulang. Makna lain agar tamu
melihat apa yang akan dimakan oleh pemilik rumah, itu
juga dimakan oleh tamu, tidak perlu ada yang
disembunyikan. Ruang tengah berfungsi sebagai ruang
makan, tempat menerima tamu dan sekaligus tempat
tidur keluarga. Maknanya agar anggota keluarga lebih
bebas berkomunikasi dan mendengarkan serta melihat
sekaligus semua kegiatan yang dilakukan disekelilingnya.
Tempat cuci kaki dan buang air kecil juga berada pada
bagian depan sebelah kiri, maknanya agar setiap anggota
73
keluarga yang masuk ke rumah harus membersihkan kaki
terlebih dahulu agar rumah tetap terjaga kebersihannya.
Ruang belakang adalah ruang untuk kepala keluarga
yang dibatasi oleh papan atau bambu.
9. Tangga rumah berada di tengah, dan bangunan rumah
tidak mempunya teras (lego-lego) sebagaimana rumah
masyarakat Bugis Makassar yang selalu mempunyai
teras, tempat keluarga biasa berkumpul.
10. Perabot dalam rumah, tidak dijumpai seperti: tempat
tidur (ranjang), kursi dan meja, mesin jahit, TV, radio,
kasur, lampu listrik, lemari dan barang-barang moderen
lainnya. Hanya dijumpai alat penerang yang terbuat dari
kemiri dan juga ditemui tanduk kerbau yang dipasang
pada tiang dalam bagian depan rumah, seperti yang
peneliti temui di rumah Puto Palasa.
74
bawahan raja atau kalangan Arung, tiga lapis untuk anak raja
atau Ana'arung dan dua lapis untuk orang biasa/Tu maradeka.
Bubungan rumah bagi Masyarakat Adat Kajang tidak memiliki
arti dalam stratifikasi sosial.
Menurut Gising (2007) makna yang terkandung pada
bubungan atap rumah Masyarakat Adat Kajang adalah
simbolisasi dari dewan adat di Kajang yaitu Ammatoa ri Kajang
(hanya satu orang), Karaeng Tallua (tiga orang) dan Ada' limayya
ri tana loheya dan Ada' limayya ri tana kekeya (masing-masing lima
orang).
Rajutan pilahan bambu sebagai bingkai bubungan,
selain berfungsi untuk menindih atau bubungan rumah yang
terbuat dari daun nipa, juga melambangkan struktur dewan
adat. Tiga pilahan bambu sejajar melambangkan Karaeng tallua
yaitu Labbiriya (Camat Kajang), Sulehatang (Wakil Camat Kajang)
dan Moncombuloa (Kepala Desa Tambangan). Sedangkan lima
pilahan bambu dalam posisi berdiri diantara tiga pilahan bambu
melambangkan Ada' limayya. Kedua rajutan pilahan bambu
tersebut mengarah pada satu titik yaitu anjungan rumah (Anjong
bola), yang melambangkan kebersamaan dan identitas kesatuan
Masyarakat Adat Kajang (Assikajaneng) yang mempercayai Tu
Rie'A'ra'na sebagai satu-satunya yang harus disembah.
Pilahan bambu tunggal yang berada di pinggir segitiga
sama kaki bubungan rumah tersebut melambangkan tiga peran
dan status utama Ammatoa ri Kajang sebagai Sanro (menguasai
mantera-mantera), Guru (menguasai isi pasang) dan
Pangngadakkang (menjalankan tatakrama dan kepala dewan
adat). Ketiga rajutan bambu tersebut juga melambangkan tipe
kepemimpinan Ammatoa yaitu : Tallumintu nikua' akkulle lanialle
pangullei ri ada'a iyamintu nipantarangi nannuntungi, ditanggai
nasiraka'raka', ribokoangngi nangngampiri (hanya tiga yang dapat
dijadikan sebagai pimpinan yaitu di depan ia menuntun
rakyatnya, ditengah ia bersama-sama dengan rakyatnya dan di
belakang ia menjaga dan membela hak dan kepentingan seluruh
rakyat.
Silangan-silangan bambu yang menghubungkan empat
sudut kehidupan keduniaan menyimbolkan sifat kebersamaan
dan persatuan Masyarakat Adat Kajang. Empat sudut dunia
75
(Sulapa' appa'na linoa) dan empat unsur kejadian alam dan
manusia (air, udara, tanah dan api) dihubungkan menjadi satu
titik temu yaitu kehidupan (Katallassang) yang penuh dengan
kesederhanaan dan keseimbangan (Kamase-masea).
Masyarakat Adat Kajang masih bertahan pada
pemanfaatan teknologi sederhana, meskipun beberapa peralatan
moderen sudah dipakai oleh mereka, beberapa alat-alat kerja
yang lain masih diproduksi sendiri, misalnya pakaian yang
mereka pakai (warna hitam) benang dibuat sendiri dan
ditenun sendiri, demikian pula tempurung kelapa sebagai
alat untuk dipakai minum dan piring dari daun lontara, serta
tempat air dari buah maja (bahasa Makassar disebut Bila) dan
penerangan (lampu) dibuat dari kemiri (Kanjoli), pemanfaatan
sumberdaya lingkungan yang ada di kawasan hutan tersebut
dalam menunjang kehidupannya adalah salah satu ciri dari
masyarakat Ammatoa dan mereka konsisten dalam pola
kehidupan sederhana (kamase-masea), ini terlihat pula dalam
teknologi tempat rumah tinggal mereka.
76
membelah sarung. Bahan baku yang digunakan (benang)
biasanya dibuat sendiri, tetapi akhir-akhir ini mereka langsung
membeli benang yang didatangkan dari Bulukumba atau
Makassar.
Pembuatan sarung dimulai dari penyiapan benang
putih, setelah itu tanaman Tarung dikumpulkan, daun tamanan
ini mirip daun asam. Daun Tarung kemudian dicampur dengan
kapur dan air yang dicampur dengan abu dapur sampai
berwarna hitam kebiruan. Setelah bewang berwarna hitam
kebiruan, keudian dijemur dan diangin-anginkan sampai kering.
Benang-benang yang sudah kering kemudian dimasukkan ke
alat tenun untuk ditenun menjadi kain. Dibutuhkan waktu
setidaknya 10 hari untuk membuat selembar kain yang dibentuk
menjadi sarung.
Sentuhan akhir untuk membuat sarung menjadi
mengkilat adalah dengan menggosoknya memakai kerang/Bole
yang permukaannya licin. Kain yang sudah jadi kemudian dicuci
tanpa menggunakan deterjen.
77
Gangguan lain adalah kecelakaan atau cedera yang
menghasilkan luka atau patah tulang.
Sediaan yang disiapkan oleh masyarakat ataupun Sanro
Kajang biasanya dalam bantuk ramuan yang direbus terlebih
dahulu baru diminum, ataupun dalam bentuk minyak yang
terdiri dari aneka dedaunan, rempah, maupun akar akaran yang
dicampur dengan minyak kelapa, minyar sereh ataupun minyak
kayu putih. Tumbuhan yang berkhasiat obat disajikan pada tabel
berikut:
78
Bagian yang
No Nama lokal Nama ilmiah Kegunaan
digunakan
Stachytarpheta
23 Tahasa Palukka Daun Luka tertusuk
jamaisensis
Carthamus
42 Ralle Bunga Serampa
tinctorius
Melastoma
46 Biccoro Daun Gangguan Pernafasan
candidum
79
Bagian yang
No Nama lokal Nama ilmiah Kegunaan
digunakan
Sesak nafas, Demam,
47 Cikkong Daun, Akar
Bisul
Barrung-
48 Daun Tidak enak badan
barrung
Tanging-
53 Jatropa curcas Daun Tidak enak badan
tanging
80
Masyarakat Adat Kajang. Kebenaran dari sebuah pengetahuan
lokal dapat ditetapkan melalui teknik triangulasi sederhana dari
tokoh-tokoh masyarakat.
Generasi muda Masyarakat Adat Kajang melalui
mekanisme pewarisan Pasang haruslah selalu berupaya untuk
menjaga dan mempertahankan/mewaris kan pengetahuan lokal
tersebut. Upaya ekternal adalah diwujudkannya aneka tulisan
tentang Masyarakat Adat Kajang dari berbagai aspek agar
budaya dan Masyarakat Adat Kajang dapat dikenali oleh orang
luar dan menjadi khasanah berharga bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam pemanfaatan hutan dan hasil
hutan.
81
A. Kesimpulan
B. Saran
82
DAFTAR PUSTAKA
83
Zoraya, A. F. 2009. Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Desa Tana Toa Kecamatan
Kajang, Kabupaten Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan.
84
INDEKS
85
Pemagaran areal tumbuhan bambu, untuk mencegah serangan
Babi Hutan pada rebung bambu
86
Bunga Pohon Flamboyan, pertanda musim hujan sudah tiba
87
Proses pembuatan sarung kajang
86
Semut hitam yang bermigrasi ke tempat lebih tinggi menandakan
musim hujan sudah tiba
87
Daun myana, bisa dipakai masyarakat untuk obat batuk dan
gangguan tenggorokan
88
Kunyit hitam (kunyi' le'leng) untuk mengobati diare
89
ASRIANNY
NURHIKMAH
TAMZIL IBRAHIM
M.ASAR SAID MAHBUB
Hasil riset sederhana ini dimaksudkan