Anda di halaman 1dari 10

OPTIMALISASI PEMAHAMAN KETAHANAN KELUARGA

PADA PERNIKAHAN DINI DI KALANGAN ANAK MUDA


NPP : 1000
A. PENDAHULUAN
Keluarga adalah satu kesatuan dalam suatu sistem berkehidupan sosial
yang berada di masyarakat, sebagai unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat
yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Keluarga mempunyai peranan
penting untuk terciptanya negara yang berkualitas
Ketahanan keluarga merupakan alat untuk mengukur pencapaian keluarga
dalam melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan
kesejahteraan anggota. Melalui kemampuan dalam mengelola masalah yang
dihadapi berdasarkan sumber daya yang dimiliki guna memenuhi kebutuhan
keluarga. Tingkat ketahanan keluarga salah satunya juga ditentukan oleh perilaku
individu dan masyarakat, terutama bagi yang memiliki pengetahuan dan
pemahaman. Mereka cenderung memiliki ketahanan keluarga yang baik, kuat, dan
mampu bertahan dengan perubahan struktur, fungsi dan teknologi informasi dan
komunikasi.
Pada pernikahan muda di lihat dari tiga aspek : Petama, aspek ketahanan
fisik dimana pada aspek ini pasangan pernikahan usia muda mampu memenuhi
kebutuhan hidup mereka dengan cara bekerja menjadi agar kebutuhan sandang,
pangan, dan papan terpenuhi. Kedua, aspek ketahanan psikologis, dilihat dari cara
mereka menanggulangi masalah keluarga dengan menenangkan diri terlebih
dahulu kemudian secepat mungkin menyelesaikan masalah dengan mencari solusi
bersama agar masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Ketiga, aspek
ketahanan sosial yang dapat dilihat dari cara mereka menanamkan nilai-nilai
agama di dalam keluarga. Dalam hal ini pasangan pernikahan muda masih terus
berusaha memperbaiki diri, terus berproses dan mengubah kebiasaan buruk
menjadi kebiasaan yang lebih positif, dan terus berusaha memperdalam ilmu
keagamaan untuk diajarkan kepada anak-anaknya.
Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk membahas dan
memperdalam untuk menuangkan dalam karya ilmiah ini dengan judul
“Optimalisasi Pemahaman Ketahanan Keluarga Pada Pernikahan Dini Di
Kalangan Anak Muda”.

B. PEMBAHASAN
1. Makna Ketahanan Keluarga
Keluarga dalam arti luas meliputi seluruh subjek yang memiliki anggota
keluarga, lebih jelasnya keluarga mencakup orang tua dan anak-anaknya.
Keluarga juga merupakan sekelompok orang yang terikat dalam perkawinan,
keturunan atau adopsi yg tinggal pada rumah tangga yang sama. Keluarga
memiliki korelasi yang erat untuk mencapai suatu tujuan bersama1.
Istilah ketahanan berarti kuat, kokoh, serta tangguh. menjadi kata sifat,
ketahanan memberikan kemampuan untuk berpegang pada prinsip serta aturan
dasar yang mendasari perilaku serta pemikiran pada melakukan tindakan tersebut
meskipun kondisi lingkungan kurang lebih sudah mulai berubah. Ketahanan
keluarga adalah kondisi kecukupan dan kesinambungan akses pendapatan dan
sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar, antara lain: pangan, air
minum, pelayanan kesehatan, peluang integrasi sosial2.
Setiap keluarga dituntut untuk memperkuat ketahanan keluarganya.

Adapun firman Allah yang menekankan hal ini pada (QS. At Tahrim ayat 6)

berikut ini :

‫ٰٓي َاُّي َه ا اَّلِذ ْي َن ٰا َم ُنْو ا ُقْٓو ا َاْنُفَس ُك ْم َو َاْه ِلْي ُك ْم َن اًر ا َّو ُقْو ُد َه ا الَّن اُس َو اْلِحَج اَر ُة َع َلْي َه ا َم ٰۤل ِٕىَك ٌة‬

‫۝‬٦َ ‫ِغ اَل ٌظ ِش َداٌد اَّل َي ْع ُصْو َن َهّٰللا َم ٓا َاَمَر ُه ْم َو َي ْف َع ُلْو َن َم ا ُيْؤ َم ُرْو َن‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak
durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada

1
W.D. Suhendi, Pengantar Studi Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Hal. 123
2
A. Darahim, Membina Keharmonisan Dan Ketahanan Keluarga, (Jakarta Timur: IPGH,
2015). Hal 34
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At
Tahrim ayat 6)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar
menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan
batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah. Mereka juga
diperintahkan untuk mengajarkan kepada keluarganya agar taat dan patuh kepada
perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Keluarga
merupakan amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baik jasmani maupun
rohani.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan
salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah:

‫َو ْأُمْر َاْه َلَك ِبالَّص ٰل وِة َو اْص َط ِبْر َع َلْي َه ا‬


Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam
mengerjakannya.(Q.S Taha/20: 132)

‫َو َاْن ِذ ْر َع ِش ْي َر َت َك اَاْلْق َر ِبْي َن‬


Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang
terdekat. (Q.S Asy-Syu’ara/26: 214)
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun, Umar berkata, “Wahai
Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga
kami?” Rasulullah saw menjawab, “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu
dilarang mengerjakannya dan perintahkan mereka melakukan apa yang
diperintahkan Allah kepadamu. Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari
api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang
pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat. Mereka diberi kewenangan
mengadakan penyiksaan di dalam neraka. Mereka adalah para malaikat yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan-Nya.
Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa dalam menjalankan kehidupan
rumah tangga, keutuhan rumah tangga harus dijaga dan nilai-nilai agama
ditanamkan dalam keluarga guna memperkokoh rumah tangga yang dibangun
bersama dan agar keluarga dapat menghindari bahaya yang akan menyebabkan
pertengkaran. Ketahanan keluarga dalam perspektif agama islam sesuai pada ayat
diatas dimaksudkan kepada keluarga muslim yang notabenenya sebagai umat
islam diharapkan mampu memelihara diri dan keluarganya dengan sikap, nilai-
nilai yang sesuai dengan kaidah keluarga muslim.
Maka untuk itu diharapkan sebagai umat islam sejatinya menjaga nama
atau citra baik keluarga sangatlah penting, maka ketahanan keluarga mempunyai
persepsi yang sangat tinggi dalam menjalankan rumah tangga yang baik dan
mampu untuk memperlancar

2. Pernikahan Dini Dalam Persfektif Psikologi


Pernikahan di usia muda merupakan keadaan dimana seseorang dituntut
untuk memainkan peran (sebagai orang tua) yang belum siap untuk dijalankan,
sehingga hal ini menimbulkan celah, misalnya kecemburuan menjadi kendala
penyesuaian diri di lingkungan. Namun, tidak banyak pasangan muda yang
menikah mampu beradaptasi dengan sumber daya eksternal dalam sistem keluarga
baru, Pernikahan dini bukan saja dipandang dari sisi usianya yang masih belia
yang barometernya lebih berpijak pada perkembangan fisiologis / biologis, tetapi
juga sangat terkait erat dengan faktor emosi seseorang sebagai wujud dari
perkembangan psikologinya.
Dengan demikian pernikahan dini dapat dikatakan sebagai akad atau
perikatan antara laki laki dan perempuan yang belum memiliki kesiapan baik
secara fisiologis maupun psikologis dalam rangka membentuk keluarga. Memang
terdapat banyak versi dalam pemaknaan pernikahan dini. Sebagian memaknai dari
sisi usia, dan sebagian yang lain memaknai dari sisi psikologis. Bagi yang
memandang dari sisi usia, mengatakan bahwa pernikahan dini biasanya
berlangsung dalam kisaran waktu usia remaja (adolescence) antara usia 16 - 27
tahun3

3
E.B. Hurlock. Psikologi Perkembangan ; Buatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupnn. terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo. (Jakarta : Erlangga, 1999), Hal. 206.
3. Pernikahan Dini Dalam Persfektif Islam
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi
manusia baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Hukum Islam
bersifat luas dan luwes, humanis, dan selalu membawa rahmat bagi seluruh
manusia di alam ini.12 Termasuk dalam ranah pemikiran tentang hal ini adalah
ayat-ayat dan hadis – hadis Nabi yang mengupas masalah pernikahan, karena pada
prinsipnya semua perbuatan orang muslim yang sudah akil baligh tidak bisa
terlepas dari hukum syara’ sebagaimana terumuskan dalam kaidah syara’ al ashlu
fii al ‘af’aal attaqayyudi bi al-hukmi al-syar’iyy. 4 Pada mulanya hukum menikah
adalah sunnah sesuai dengan (Q.S An-Nisa’ ayat 3)

‫ِّم َن الِّن َس ۤا ِء َم ْثٰن ى َو ُثٰل َث‬ ‫َااَّل ُتْق ِس ُط ْو ا ِفى اْلَي ٰت ٰم ى َفاْن ِك ُحْو ا َم ا َط اَب َلُك ْم‬ ‫َو ِاْن ِخْفُتْم‬
‫ٰذ ِلَك َاْد ٰٓن ى َااَّل َت ُعْو ُلْو ا‬ ‫ِخ ْفُتْم َااَّل َت ْع ِد ُلْو ا َفَو اِحَد ًة َاْو َم ا َم َلَكْت َاْي َم اُنُك ْم‬ ‫َو ُر ٰب َع َفِاْن‬
Artinya : “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau
hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih
dekat untuk tidak berbuat zalim”
Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak
dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya,
maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya,
melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilihlah perempuan lain
yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu
memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu
bermalam (giliran), nafkah, perumahan serta hal-hal yang berbentuk materi
lainnya. Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi pada
dasarnya satu istri lebih baik, seperti dalam lanjutan ayat itu. Sebelum turun ayat
ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi
Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang.
4
Imam Syathibi, Al-Muwafaqat. (Beirut, Libanon: Darul Kutub Ilmiah). Hal. 220
Memang benar, rumah tangga yang baik dan harmonis dapat diwujudkan
oleh pernikahan monogami. Adanya poligami dalam rumah tangga dapat
menimbulkan banyak hal yang dapat mengganggu ketenteraman rumah tangga.

Manusia dengan fitrah kejadiannya memerlukan hal-hal yang dapat


menyimpangkannya dari monogami. Hal tersebut bukanlah karena dorongan seks
semata, tetapi justru untuk mencapai kemaslahatan mereka sendiri yang karenanya
Allah membolehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum keringanan (rukhsah
menurut ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan poligami (beristri lebih
dari satu).

Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai


berikut:

1. Apabila dalam satu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan


sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul,
padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka
poligami merupakan jalan keluar yang paling baik.
2. Bagi kaum perempuan, masa berhenti haid (monopouse) lebih cepat
datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur tua,
dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan hasrat
seksualnya. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina?
Maka di sinilah dirasakan hikmah dibolehkanya poligami tersebut.
3. Sebagai akibat dari peperangan umpamanya jumlah kaum perempuan lebih
banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal
negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami.
Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah
lelaki saat ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan.

Sekalipun dikatakan bahwa pernikahan dini hukum asalnya diperbolehkan


menurut syariat Islam, tetapi tidak berarti ia di bolehkan secara mutlak bagi semua
perempuan dalam semua keadaan. Sebab pada sebagian perempuan terdapat
beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa lebih baik ia tidak menikah pada usia
dini. terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam sebuah
pernikahan dini agar tidak mengakibatkan efek negatif sebagaimana dilansir oleh
banyak kalangan yang mayoritas berpandangan bahwa pernikahan dini selalu
berkonotasi tidak baik

4. Sisi Positif Pernikahan Dini


Apa yang telah dikemukakan di atas lebih melihat pada sisi negatif dari
pernikahan dini. Nuansa positif dari pernikahan dini. bahwa betapa bahagia ketika
pernikahan yang dilakukan lebih dini.5
Pada pernikahan dini, kehldupan seksual lebih teratur dan memperoleh
legitimasi yang kuat, terdapat lahan untuk mengekspresikan perasaan dan luapan
dalam mengungkapkan emosi-emosinya, sehingga pernikahan yang paling
bahagia adalah pasangan usia 20-an. Keteraturan dan legitimasi terhadap
kehidupan seksual mereka menjadikan dorongan seksual lebih stabil. Selanjutnya,
terjadi rutinisasi perilaku seksual dan pada sisi lain, mereka dapat menikmati
kehidupan seksual yang lebih bervariasi. Pada gilirannya, stabilnya dorongan
seksual dalam pernikahan menurunkan erotisisme, dan lebih mampu
menundukkan pandangan.
Adapun sisi positif dari adanya pernikahan dini yaitu :
1. Pada pernikahan perempuan yang masih sangat belia, lebih utama kalau
dia dan calon suaminya tidak terpaut jauh usianya, kecuali untuk maksud
yang dibenarkan.
2. Memiliki tingkat kemungkinan hamil yang tinggi. Kehamilan bagi
perempuan yang menikah pada usia muda akan lebih tinggi
kemungkinannya dibandingkan dengan pernikahan yang dilakukan di
usia yang “sangat matang.”
3. Meningkatkan jumlah populasi umat Islam. Karena rentang masa
produktifnya yang sedemikian panjang memungkinkan menghasilkan
keturunan yang jauh lebih banyak. Diharapkan bukan hanya jumlah
populasi secara kuantitas yang semakin banyak tetapi populasi calon
penerus genarasi yang banyak secara kuantitas dantinggi secara kualitas.
5
Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini. (Jakarta : Gema Insani Press. 2002). Hal 78
4. Meringankan beban para orang tua yang terlalu fakir, dan menyalurkan
hasrat sang suami secara syar’i.
5. kemandirian sepasang suami istri untuk memikul tanggung jawabnya
sendiri tanpa menjadi tanggungan orang lain.

5. Sisi Negatif Pernikahan Dini

Selain dampak positif pernikahan dini yang diuraikan di atas berikut ini
akan dipaparkan pula efek negatif pernikahan dini diantaranya:

1. Wanita hamil beresiko tinggi bagi mereka yang kehamilan pertama


dialami pada usia tertentu yang terus menunda pernikahan sehingga akan
membahayakan baik bagi ibu hamil maupun bagi bayi yang
dikandungnya;
2. Mengakibatkan keengganan atau lemahnya semangat para pemuda untuk
menikah sehingga fenomena hidup melajang menjadi salah satu pilihan
atau gaya hidup karena sudah merasa mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri tanpa perlu ada orang yang mendampingi hidupnya sebagai
pasangan hidup.
3. Semakin mundur usia nikah akan semakin menurun semangat orang
untuk menikah dan ini banyak terjadi di Negara-negara Barat, sehingga
banyak perempuan yang melahirkan anak tanpa proses pernikahan.
Mereka lebih memilih hamil dengan cara inseminasi buatan dengan sel
sperma yang mereka bisa dapatkan di Bank – bank sperma.
4. Kanker payudara dan rahim lebih kecil prosentasenya bagi wanita yang
pernah hamil di usia muda dari pada mereka yang hamil pada usia yang
sangat matang.
5. Kehamilan di luar rahim bagi wanita berusia sangat matang
kemungkinannya lebih besar daripada pada wanita yang berusia antara
15-24 tahun
6. Operasi caesar, kelahiran prematur, cacat fisik, kematian janin di dalam
rahim sebelum lahir, akan lebih besar kemungkinannya ketika usia ibu
hamil semakin banyak bertambah.6

C. Kesimpulan

Pernikahan di usia dini akan menghambat studi atau rentan konflik yang
berujung pada perceraian, akibat kekurangsiapan mental dari kedua pasangan
yang belum dewasa. Namun sebetulnya kekhawatiran dan kecemasan timbulnya
persoalan – persoalan psikis dan sosial, pernikahan di usia remaja dan masih
duduk di bangku sekolah bukan penghalang untuk meraih prestasi yang lebih
baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan
kedewasaan seseorang untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang.

Disamping itu, salah satu faktor dominan yang sering membuat keraguan
dalam melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar, tapi
bukankah Allah telah menjanjikan bagi hambanya dengan limpahan karunia-Nya.
Tuhan pasti menjamin rejeki hambanya yang menikah sebagaimana tersirat dalam
(QS An-Nur ayat 32)

‫َو َاْن ِكُحوا اَاْلَي اٰم ى ِم ْنُك ْم َو الّٰص ِلِح ْي َن ِم ْن ِع َباِد ُك ْم َو ِاَم ۤا ِٕىُك ْۗم ِاْن َّي ُك ْو ُنْو ا ُفَقَر ۤا َء ُيْغ ِنِه ُم ُهّٰللا‬
‫ِم ْن َفْض ِلٖۗه َو ُهّٰللا َو اِس ٌع َع ِلْي ٌم‬

Artinya : “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan


juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu,
baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Daftar Pustaka
6
Al-fadlil Abu Ammar Ali Al-Hudzaifi. “Hikmah dan Ketentuan Pernikahan Dini”.
Dalam Jurnal Salfiyyun http://fadhlihsan.wordpress.com
Al-fadlil Abu Ammar Ali Al-Hudzaifi. “Hikmah dan Ketentuan Pernikahan
Dini”. Dalam Jurnal Salfiyyun http://fadhlihsan.wordpress.com
Darahim, A. 2015. Membina Keharmonisan Dan Ketahanan Keluarga. Jakarta
Timur: IPGH
E.B. Hurlock. 1999. Psikologi Perkembangan ; Buatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupnn. terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta : Erlangga,
Fauzil Adhim. 2002. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta : Gema Insani Press
Imam Syathibi. Al-Muwafaqat. Beirut, Libanon: Darul Kutub Ilmiah
Suhendi, W.D. 2000. Pengantar Studi Keluarga. Bandung: Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai