Anda di halaman 1dari 8

Barat dan Timur di Antara Kebudayaan Nasional

Hampir sepanjang sejarah, kontak antara Timur dengan Barat lebih berwujud konflik,
disharmoni, persaingan, atau perang dibanding konsensus nilai atau saling mengerti. Meskipun
teknologi dan komunikasi sudah demikian modern dan canggihnya, tetap saja ketidaktahuan di
antara Barat dan Timur menyelimuti pengetahuan kebudayaan dan nilai spiritual yang dimiliki.
Demikian pula adanya orientalisme (ilmu ketimuran atau ilmu tentang dunia Timur) tidak
membantu terjadinya harmoni antara Barat dan Timur. Justru sebaliknya, banyak orientalis (ahli
Barat yang mempelajari Timur) tidak memberikan gambaran objektif, bahkan banyak penelitian
orientalis yang digunakan dalam rangka memperkuat penetrasi politik Barat. Khusus umat Islam
Indonesia dengan orientalis Snouck Hurgronje merupakan contoh yang jelas tentang adanya
disharmoni di antara Barat dan Timur.
Terjadinya disharmoni di antara Barat dan Timur disebabkan oleh pikiran Barat tentang
Timur yang penuh dengan bayangan negatif yang stereotipe dan prasangka. Akibat demikian,
alam pikiran barat dengan Timur tidak pernah bertemu. Dalam pikiran Timur, Barat
digambarkan sebagai materialisme kapitalisme, rasionalisme, dinamisme, saintisme, positivisme,
sekularisme, dan lain-lain. Sebaliknya pikiran Barat membayangkan Timur sebagai kemiskinan,
kobodohan, statis, fatalis, kontemplasi, dan lain-lain. Tebtu saja kalau bayangan pikiran Barat
dan Timur digambarkan demikian, maka Barat dan Timur terdapat sikap yang berlawanan, yang
pada gilirannya akan terwujud konflik, disharmoni, persaingan, atau perang.
Untuk membuktikan apakah betul bahwa antara Barat dan Timur terjadi sikap yang
berlawanan, kita perlu menelusuri masing-masing watak dan pemikiran tersebut.
1. Nilai Budaya Barat
Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga hasil
pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Firasat Barat telah dipusatkan
kepada wujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan mempunyai dasar empiris yang kuat.
Demikian pula dalam tradisi agama Barat, dunia empiris memiliki arti (Harold, Merylin, dan
Richard, 1979). Pada zaman sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional di dunia
Barat unggul, sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan
mundur.
Barat dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup
sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan makna hidup. Barat
hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional dan pemahaman agama muncul
sebagai suatu sistemik ide-ide abstrak tanpa hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup.
Akibatnya, pengaruhnya atas dasar hidup dan pikiran orang semakin berkurang karena Barat
mengunggulkan cara berpikir analitis rasional, yakni filsafat positivism, maka mereka
menganggap pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai suatu yang subjektif
dan tidak bermutu. Apa yang tidak rasional diserahkan pada daya pembayangan para sastrawan,
sehingga karya sastra bukan saja pantulan hidup, melainkan juga merupakan norma kehidupan
(Theo Huijbers, 1986). Kalau begitu, apa yang menjadi dasar nilai-nilai di Barat? Menutut To
Thi Anh (1975) ada tiga nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat, yakni martabat
manusia, kebebasan, dan teknologi.
Dalam tradisi humanistik ditekankan bahwa setiap manusia harus memilih untuk dirinya
tentang kebenaran dan kebaikan. Akibatnya gerakan sekularisme pemikiran semakin
berkembang dan diperluas ke bidang estetika, moral, dan agama. Agama yang dikalangan Timur
merupakan sumber nilai, di Barat dicampakan. Barat menganggap kebajikan agama tidak ada
bedanya dengan kebajikan kodrati manusia. Barat ingin membangun agama baru yang tidak
bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebab agama (di Barat) mengalami kemunduran melalui
tekanan mentalitas ilmiah. Di Barat kepuasan diperoleh melalui usaha-usaha atau perhatian
terhadap benda, kenikmatan dan keselarasan di dunia. Usha-usaha ini dengan sendirinya dapat
menimbulkan kondisi kehidupan yang penuh dengan persaingan masyarakat dalam mencapai
kehidupan, terkadang dapat menimbulkan kekacauan.
Tentang kebebasan di Barat cukup menarik untuk diamati. Semua orang Timur
menganggap bahwa Barat itu negara kebebasan, segala sesuatunya serba mungkin terjadi. Hal ini
mulai dari sosialisasi anak, yang dibiarkan untuk membentuk dirinya sendiri dan
mengembangkan bakatnya sendiri. Spontanitas lebih dihargai dan individu bebas dari tekanan
dan campur tangan orang lain. Akhirnya kebebasan itu diwujudkan dalam berbagai bidang
kehidupan sosial, politik, kebudayan, dan ekonomi. Tradisi kebebasan ini menimbulkan rasa
percaya diri dan kemampuan serta menghilangkan perbedaan status sosial.
Teknologi Barat membikin kagum dan iri bangsa Timur. Tidak sedikit negara Timur yang
menjadi korban “penjajahan” teknologi Barat karena rasa kagum ini. Filsafat berdiri di atas kaki
sendiri tidak tahan terhadap godaan dan tantangan teknologi Barat sehingga tunduk kepada
teknologi. Hasil teknologi Barat melebihi kebutuhan manusia, bahkan mengganggu kepentingan
manusia karena terlalu cepat sampai ke depan (Alfin Topler menyebutnya future shock).
Cepatnya teknologi di Barat sulit diikuti imajinasi sehingga banyak benda yang cepat
dimusiumkan. Di Barat tidak sedikit manusia yang dikuasai oleh perubahan teknologi sehingga
menimbulkan dampak kehilangan arah, hilang kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadap nilai-
nilai dan iman. Timbul kecemasan, tekanan hidup, acuh tak acuh, dan terganggu kesehatan
mental. Akibatnya, teknologi yang tadinya meningkatkan nilai eksistenssi manusia, secara
serempak juga merendahkan martabat manusia. Yang menjadi ukuran dalam budaya teknologi
sekarang adalah teknologi kultur orang, kuantitas (produksi yang melimpah), kultur buatan
(artificial), control menyeluruh (kemahakuasaan sistem).
Di Barat lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains dan
teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkembang dalam pengetahuan deskriptif dan
spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu
menyebabkan perkembangan yang pesat dalam filsafat profesi pengonsepan evolusi kreatif serta
kemajuan. Dengan demikian, waktu mempunyai peran dalam keselamatan manusia. Manusia
dengan alam menurut konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi.
Hal ini tertulis dalam kat-kata: menaklukan luar Angkasa, menaklukan alam dan hutan rimba.
Kata-kata tersebut dibuktikan oleh problema yang dihadapi Barat seperti polusi udara dan air.
Pendek kata, Barat memiliki persepsi yang berbeda terhadap pengetahuan, keinginan, watak,
proses waktu, dan sikap terhadap alam.
2. Nilai Budaya Tmur
Nilai budaya Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia
Timur. Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh
eksistensinya. Berpikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk
menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia Timur lebih menyukai intuisi daripada
akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya.
Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan.
Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.
Nilai budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan
Timur bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir
kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih
menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai
sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin
mengendalikan diri, sederhana, dan tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari
dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan
memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencari kesenangan bagi dirinya. Aka tetapi,
yang baik itu diperoleh melalui pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya.
Di Timur dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberikan kehidupan, member
makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh hikmah atau
kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia, bagi dunia Timur cukup
kuat. Ide keselamatan ini besar pengaruhnya dalam membentuk mentalitas, teori, dan praktek
bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui
melalui meditasi, tirakat (ascetic), dan mistik.
Dalam hal menegakan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide
abstrak atau simbolik pun dapat terwujud konkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu
tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan.
Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan, intuisi,
pemikiran yang konkret, simbolik, dan kebijaksanaan.
Sikap orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri
dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmonisasi dengan alam karena alam
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kalu alam binasa, maka
manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang harmonis terkadang muncul ekspresi
konkret dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang
tertinggi datang dari alam, seperti “nrimo” kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi
kesenangan, belajar dari pengalaman, menyatukan diri,. Terkadang nilai spiritual yang dalam itu
membuat sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, mengdindar untuk membangun dunia,
hisup sederhana dan dekat dengan kehidupan alamiah. Ringkasnya, Dunia Timur menginginkan
kakayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenag tentram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas, dan
menarik diri.
3. Reaksi dan Sikap Budaya Timur
Pribadi dalam dunia Timur keadaan partisipasi yang tidak individual. Martabat pribadi
dibentuk dalam proses kompromi sosial, tidak dibiarkan seseorang “mengurus dirinya sendiri”.
Pembentukan pribadi pola Barat adalah sebaliknya dari pola Timur, yaitu ketidakbergantungan,
individualisme, mengasingkan diri, sehingga sering timbul segi negatifnya, yaitu kesepian dan
rasa tertekan.
Dalam realitas perkembangan kemanusiaan dan kemasyarakatan di Timur yang dirasakan
sekarang, tersembunyi suatu krisis dan guncangan kebudayaan yang hebat. Hal ini sudah
demikian mengeras sifatnya dan tak terelakan sehingga bangsa Timur ingin memperlihatkan cirri
khas budayanya dan sekaligus member corak pergaulan dunia, sebab kebudayaan nilai tidak
menghendaki adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan
pengembangan penalaran yang disertai dengan wajah angkuh, bengis, dan kejam. Oleh karena
itu, adanya krisis ini menimbulkan kesadaran untuk mempertahankan kembali relevensi nilai-
nilai yang terkandung dalam kebudayaan Timur. Menurut Alfian (1985: 36) ada tiga pola atau
corak reaksi dalam menghadapi tantangan kebudayaan Barat, yaitu:
a. Corak reaksi yang menerima dan merangkul bulat-bulat kebudayaan Barat. Corak ini
menganggap kebudayaan Timur (sendiri) sudah tidak relevan lagi untuk menhadapi kondisi
sekarang, hanya kebudayaan Barat yang unggul dan mampu melahirkan manusia yang
berkualitas.
b. Corak reaksi yang sama sekali anti kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan Barat
hanya melahirkan manusia buas dan kejam, dan kebudayaan Timur yang lebih unggul.
c. Corak reaksi yang berusaha melihat pembenturan kebudayaan Timur dengan Barat secara realitis
dan kritis. Krisis yang mengguncangkan tidak menyebabkan hilangnya keseimbangan atau hanya
memilih salah satu kebudayaan seperti digambarkan dalam pola reaksinya. Corak reaksi ini
berusaha mengambil jarak dan menilai secara jujur keunggulan kebudayaan Barat dan
kelemahan kebudayaan Timur, sekaligus mempertahankan relevansi nilai-nilai kebudayaannya.
Melihat kenyataan yang dihadapi bangsa Timur, yang menjadi strategi kebudayaan
nasional mungkin hanya corak reaksi ketiga, yaitu usaha mengadakan sintesis antara nilai budaya
Barat dan nilai budaya Timur, atau perpaduan keduanya secara selektif.
4. Rumusan Tentang Kebudayaan Nasional Indonesia
Kita menyadari bahwa kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudaan dan bahasa
sehingga, demi integrasi nasional, kita mempunyai rumusan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya
Bhinna = pecah, Ika = itu, dan Tunggal = satu, sehingga Bhinna Ika Tunggal Ika artinya
“terpecah itu satu”.
Kita bangga dengan rumusan tersebut, tetapi kita prihatin dengan aneka warna masalah
yang timbul akibat aneka warna bangsa kita. Dan yang paling pokok dalam pembicaraan ini
adalah masalah kebudayaan nasional Indonesia. Selain perbedaan di dalam pengertian
kebudayaan nasionalnya sendiri, juga hal ini menyangkut masalah cita-cita suatu bangsa yang
akan menentukan masa depannya.
Tidak jarang sifat ke-bhinneka-an bangsa kita sampai pada konflik tingkat nasional yang
menyebabkan terganggunya integrasi nasional sebagai cita-cita bangsa. Demikian pula masalah
kebudayaan menyangkut kepribadian nasional dan langsung mengenai identitas suatu bangsa.
Dan logikanya proses pembangunan manusia dan masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari
unsure kebudayaan. Manusia dan masyarakat tidak akan berhasil dalam pembangunan dirinya
kalau selalu sadar terhadap pengaruh kebudayaan yang tak mungkin dapat ditolaknya.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, kita perlu menelusuri kebudayaan nasional
Indonesia. Pembicaraan kebudayaan nasional dimulai sejak tahun 1936 ketika diselenggarakan
polemik kebudayaan antara Sultan Takdir Alisjahbana c.s. di satu pihak (sebagai wakil Golongan
Indonesia Moeda) dan Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, serta Dr. Sutomo dipihak lain. Polemic
ini lengkapnya ada dalam buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Poestaka pada
tahun 1948.
Rumusan tentang kebudayaan nasional itu dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran,
yaitu:
1. Ke-Indonesiaan sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, mulai dari adat, seni, dan lain-lain.
Yang belum ada ialah nasion Indonesia. Jadi, yang perlu diusahakan oleh bangsa Indonesia
dalam membangun kebudayaan nasionalnya ialah bagaimana memperbaharui kebudayaan
sehingga sesuai dengan kebangsaan Indonesia. Jalan yang harus ditempuh ialah perluasan dasar
kebudayaan Indonesia dengan cara memesrakan (menyerapkan, memadukan) materialisme,
intelektualisme, dan individualisme (Barat) dengan spritualisme, perasaan, dan kolektivisme
(Timur). Aliran pertama ini dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara c.s.
2. Aliran yang dipelopori oleh SSultan Takdir Alisjahbana menghendaki penciptaan kebudayaan
nasional Indonesia banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Barat yang dinamis. Kebudyaan
nasional yang baru itu dengan sendirinya mencerminkan pula watak dan kepribadian bangsa
Indonesia yang berbeda dengan watak dan kepribadian sebelumnya (masyarakat dan kebudayaan
pra-Indonesia).
Kalau diperhatikan dengan seksama, sebenarnya kedua aliran tersebut menghendaki
adanya peranan kebudayaan Barat dalam kebudayaan nasional, hanya dalam hal peranannya
yang berbeda. Aliran pertama – Ki Hajar Dewantara c.s.- menghendaki perluasan dasar asas
Barat. Bukan perubahan, melainkan perluasan dengan asas Barat. Kebudayaan nasional
Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus mementingkan kerokhanian, perasaan, gotong
royong, bertentangan dengan kebudayaan Barat yang mementingkan materi, intelektualisme, dan
individualism. Orang Indonesia tidak boleh melupakan sejarah dan kebudayaannya, sebab
dengan mempelajari sejarah dan kebudayaan di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan
yang baru. Kebudayaan Indonesia harus berakar pada kebudayaan pra-Indonesia.
Aliran kedua Sultan Takdir Alisjahbana c.s. menghendaki semangat Barat yang kreatif
dalam segala lapangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, semangat menundukan
alam untuk kepentingan manusia. Semangat Barat yang dinamis pada hakikatnya bersaudara
dengan semangat Indonesia. Jadi, diperlukan perubahan mental dari yang statis kepada yang
dinamis untuk membangun kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional menurut
Sultan Takdir Alisjahbana baru muncul pada permulaan abad ke-20 oleh generasi muda
Indonesia yang berjiwa dan bersemangatan ke-Indonesiaan. Kebudayaan Indonesia merupakan
suatu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur
dari kebudayaan Barat yang universal. Unsur kebudayaan Barat tersebut adalah teknologi,
orientasi ekonomi, keterampilan berorganisasi secara luas, dan ilmu pengetahuan. Orang
Indonesia harus mempertajam akalnya dan mengambil alih dinamisme dari Barat.
Pendapat lain yang tidak mengikutsertakan unsur Barat adalah pendapat Harsya Bachtiar.
Harsya mengatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia di dalam masyarakat Indonesia yang
merdeka haruslah suatu kebudayaan “yang baru sama sekali”, bersih dari kebudayaan feodalis
dan atau sisa-sisanya, maupun dari ciri-ciri arkais sekuisme atau macam-macam etnosentrisme
lainnya.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu
berorientasi ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga
ke zaman yang sekarang karena kebudayaan perlu member kemampuan bangsa Indonesia untuk
menghadapi peradaban dunia masa kini. Konsep Koentjaraningrat tentang kebudayaan nasional
bersifat operasional, yaitu berorientasi pada warisan nenek moyang dari zama kejayaan dan pada
zaman sekarang, yaitu zaman modern (Barat). Dalam pemikiran ini tercermin adanya sintesis
antara Barat dan Timur, warisan dari zaman keemasan nenek moyang artinya sealiran dengan
pemikiran Ki Hajar Dewantara c.s.
Karena Indonesia mempunyai landasan Ideologi Pancasila, maka ditinjau dari perspektif
fungsional, pancasila akan diuji karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan
menentukan orientasi tujuan sosio-politik serta serta kebudayaan pada tingkat makro, akan
menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan nasional. Pancasila dalam hal ini
tidak hanya menjadi determinasi bagi kehidupan moral bangsa, tetapi memiliki fungsi teologis
(teori) akan memberikan paying ideologis bagi berbagai unsur masyarakat.
Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang meliputi eksistensi
manusia Indonesia, dapat berfungsi sebagai etos kebudayaan nasional. Pancasila sebagai etos
kebudayaan Indonesia harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, pancasila
berfungsi sebagai kebudayaan normatif yang akan menjelma berupa personalisasi. Personalisasi
tersebut merupakan kebudayaan nasional yang meliputi konsep kepribadian nasional dan
identitas nasional.

nurkholifahhh17.blogspot.com

25 Des 2016

Anda mungkin juga menyukai