Perilaku dan
Proses Mental
Psychological Disorder
13 (A21616AA)
Abstract Kompetensi
Penjelasan tentang gangguan Mahasiswa dapat menjelaskan dan
kepribadian mengkomunikasikan tentang pengertian
gangguan kepribadian, dan jenis
gangguan kepribadian .
Psychological Disorder
Gangguan Kepribadian adalah istilah umum untuk suatu jenis penyakit mental di mana cara
berpikir, memahami situasi, dan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi. Ada
banyak jenis spesifik gangguan kepribadian. Secara umum, memiliki gangguan kepribadian
berarti memiliki kaku dan berpotensi merusak diri sendiri atau merendahkan diri-pola berpikir
dan berperilaku tidak peduli pada situasinya. Hal ini menyebabkan stress dalam hidup atau
gangguan dari kemampuan untuk beraktivitas rutin di tempat kerja, sekolah atau situasi
sosial lain.
Gangguan-gangguan dalam kategori ini bersumber dari perkembangan kepribadian yang
tidak masak dan menyimpang. Kerena mengalami proses perkembangan yang tidak
semestinya, individu-individu tertentu memiliki cara pandang, cara pikir dan berhubungan
dengan dunia sekelilingnya secara maladaptif. Akibatnya, mereka tidak berfungsi
sebagaimana mestinya dan dalam kasus-kasus tertentu mereka menjadi menderita.
Dalam beberapa kasus, kemungkinan penderita tidak menyadari bahwa mereka memiliki
gangguan kepribadian karena cara berpikir dan berperilaku tampak alami bagi si penderita,
dan penderita mungkin menyalahkan orang lain atas keadaannya.
Kepribadian adalah kombinasi dari pikiran, emosi dan perilaku yang membuat seseorang
unik, berbeda satu sama lain. Ini cara melihat, memahami dan berhubungan dengan dunia
luar, dan juga bagaimana seseorang melihat diri sendiri. Bentuk kepribadian selama masa
kanak-kanak, dibentuk melalui interaksi dari dua faktor:
1) Warisan kecenderungan atau gen. Ini adalah aspek kepribadian yang diturunkan kepada
seseorag dari oleh orang tua, seperti rasa malu atau pandangan terhadap kebahagiaan.
Hal ini kadang-kadang disebut temperamen bersifat "alami" dan merupakan bagian dari
pola asuh dan "konflik".
2) Lingkungan, atau situasi kehidupan. Lingkungan tempat seseorang dibesarkan,
hubungan dengan anggota keluarga dan orang lain juga turut berpengaruh dalam
pembentukan kepribadian. Ini mencakup beberapa hal seperti jenis pola pengasuhan
yang dialami seseorangapakah itu dengan penuh cinta atau kekerasan.
1. Hubungan pribadinya dengan orang lain terganggu, dalam arti sikap dan perilakunya
cenderung merugikan orang lain.
2. Memandang bahwa kesulitannya disebabkan oleh nasib buruk atau perbuatan jahat
orang lain. Dengan kata lain, penderita gangguan ini tidak pernah merasa bersalah.
3. tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap orang lain: bersikap manipulatif atau senang
mengakali, mementingkan diri sendiri, tidak punya rasa bersalah, dan tidak mengenal
rasa sesal bila mencalakakan orang lain.
4. Celakanya, orang ini tidak pernah dapat melepaskan diri dari pola tingkah lakunya yang
maladaptif itu.
5. Selalu menghindari tanggung jawab atas masalah-masalah yang mereka timbulkan.
Selain itu, gangguan ini lebih merupakan gangguan terhadapa nama baik si penderita
(disorders of reputation). Artinya, masalahnya lebih berupa akibat tidak menyenangkan dari
tindakan sipenderitan terhadap orang lain, bukan berupa penderitaan yang harus
ditanggung oleh yang bersangkutan, seperti misalnya pada kasus neurosis. Dalam kasus
neurosis, yang menderita dan merasa tidak bahagia adalah penderita itu sendiri. Sebaliknya
dalam gangguan kepribadian ini yang menjadi korban perbuatan tidak bertanggung jawab
dari si penderita. Penderita sendiri hanya mengalami reputasi yang buruk, yang bagi
penderita gangguan ini sama sekali bukan soal.
Beberapa jenis gangguan kepribadian yang cukup menonjol adalah kepribadian paranoid-
skizoid-skizotipe, kepribadian histrionik-narcisistik-antisosial, dan kepribadian aviodan-
tergantung-kompulsif-agresif pasif.
Penderita ketiga jenis gangguan ini berperilaku eksentrik, ditambah beberapa kekhususan
sebagai berikut:
1. Kepribadian Paranoid memiliki ciri-ciri tambahan: serba curiga; hipersensitif atau sangat
perasa; rigid atau kaku; mudah iri; sangat egois; argumentatif atau suka menentang;
suka menyalahkan orang lain; suka menuduh orang lain jahat.
2. Kepribadian Skizoid memiliki ciri-ciri khas: tidak mampu dan menghindari menjalin
hunbungan sosial; terkesan dingin dan tidak akrab atau tidak ramah; tidak terampil
bergaul dan suka menyendiri.
Penderita ketiga jenis gangguan ini memiliki ciri umum berperilaku dramatik atau penuh
aksi serba menonjolkan diri, emosional, dan eratik atau aneh-aneh, di samping beberapa
ciri khusus sebagai berikut:
1) Kepribadian Histrionik: tidak matang; emosinya labil; haus akan hal-hal yang serba
menggairahkan (excitement); senang mendramatisasi diri secara berlebihan untuk
mencari perhatian; penyesuaian seksual dan hubungan pribadinya kacau; tergantung,
tak berdaya, dan mudah ditipu; egois, congkak, sangat haus akan pengukuhan orang
lain; sangat reaktif; dangkal atau picik, dan tudal tulus.
2) Kepribadian Narcisistik: merasa diri penting dan haus akan perhatian dari orang lain;
selalu menuntut perhatian dan perlakuan istimewa dari orang lain; sangat peka pada
pandangan orang lain terhadap dirinya (harga dirinya rapuh); bersikap exploitatif:
memikirkan kepentingannya sendir, mangabaikan hak dan perasaan orang lain.
3) Kepribadian Antisosial: selalu melanggar hak orang lain lewat perilaku agresif, antisosial,
dan tanpa rasa sesal; tidak sedikit diantara penderita cukup cerdas dan pandai
menampilkna diri secara meyakinkan untuk menjadi penipu ulung.
c. Gangguan Kepribadian Avoidan, Tergantung, Kompulsif, dan Agrasif Pasif
Penderita dalam kategori ini memiliki ciri umum diliputi kecemasan dan rasa takut, sehingga
kadang-kadang susah dibedakan dari penderita neurosis, ditambah ciri-ciri khusus sebagai
berikut:
1) Kepribadian Avoidan tau menghindar: sangat peka terhadap penolakan atau hinaan
orang lain; cenderung mudah mempersepsikan olok-olokan atau pelecehan yang belum
tentu benar; pergaulan sempit dan segan emnjalin pergaulau; takut bergaul dengan
orang lain disebabkan takut untuk dikritik atau ditolak, kendati sering merasa butuh
afeksi dari orang lain dan merasa sepi; merasa sedih karena tidak punya teman, dan
ketidakmampuan bergaul tersebut menjadi sumber kesusahan dan penyebab harga
dirinya yang rendah.
2) Kepribadian Tergantung: sangat tergantung pada orang lain dan merasa tidak berdaya,
kendati sesungguhnya tidak demikian; dapat berfungsi baik sepanjang tidak dituntut
melakukan sesuatu seorang diri.
Gangguan-gangguan ini diduga dapat disebabkan oleh faktor bawaan (masih hipotesis);
faktor psikososial, seperti pola hubungan keluarga yang patogenik; dan faktor sosiokultural,
seperti munculnya sistem nilai dan pola perilaku tertentu yang jauh berbeda dari yang lazim
berlaku di masyarakat akibat kondisi kemiskinan. Misalnya, dalam bentuk standar yang
sangat longgar tentang kejujuran, tanggung jawab sosial, dan sebagainya. Penderita aneka
jenis gangguan ini biasanya sulit ditangani untuk ditolong. Mereka harus dipaksa. Usaha
memberikan pertolongan biasanya lebih efektif bila dilakukan dalam lingkungan tertentu
yang membatasi runga gerak penderita, misalnya di penjara atau pusat rehabilitasi lainnya.
Penanganan di luar jarang berhasil.
Individu yang mengalami gangguan kepribadian paranoid biasanya ditandai dengan adanya
kecurigaan dan ketidakpercayaan yang kuat terhadap orang lain. Mereka juga diliputi
keraguan yang tidak beralasan terhadap kesetiaan orang lain atau bahwa orang lain
tersebut dapat dipercaya. Orang-orang yang mengalami gangguan ini merasa dirinya
diperlakukan secara salah dan dieksploitasi oleh orang lain sehingga berperilaku selalu
waspada terhadap orang lain.Mereka sering kali kasar dan mudah marah terhadap apa yang
mereka anggap sebagai penghinaan. Individu semacam ini enggan mempercayai orang lain
dan cenderung menyalahkan mereka serta menyimpan dendam meskipun bila ia sendiri
juga salah. Mereka sangat pencemburu dan tanpa alasan dapat mempertanyakan kesetiaan
pasangannya. Individu dengan gangguan ini tidak mampu terlibat secara emosional dan
menjaga jarak dengan orang lain, mereka tidak hangat. Gangguan kepribadian paranoid
paling banyak terjadi pada kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Gangguan ini
banyak dialami bersamaan dengan gangguan kepribadian schizotipal, borderline, dan
avoidant. Prevalensi pada gangguan ini adalah berkisar 2 persen dari populasi pada
umumnya. Gangguan paranoid memiliki perbedaan diagnosis dengan skizofrenia, karena
pada gangguan paranoid tidak muncul simtom halusinasi dan delusi. Perbedaannya dengan
gangguan borderline adalah gangguan paranoid lebih sulit untuk menjalin hubungan dengan
orang lain. Sedangkan perbedaannya dengan gangguan antisosial adalah paranoid tidak
memiliki sejarah antisosial. Perbedaannya dengan schizoid adalah gangguan ini tidak
memiliki ide-ide paranoid atau tidak memiliki kecurigaan.
Individu yang mengalami gangguan ini tidak menginginkan atau menikmati hubungan sosial
dan biasanya tidak memiliki teman akrab. Mereka tampak tumpul, datar, dan menyendiri
serta tidak memiliki perasaan yang hangat dan tulus terhadap orang lain. Mereka jarang
memiliki emosi kuat, tidak tertarik pada hubungan seks, serta bersikap masa bodoh
terhadap pujian, kritik, dan perasaan orang lain. Individu yang mengalami gangguan ini
adalah seorang penyendiri dan menyukai kegiatan yang dilakukan sendirian. Individu
dengan gangguan kepribadian skizoid menampilkan perilaku menarik diri, mereka merasa
tidak nyaman bila berinteraksi dengan orang lain, cenderung introvert. Mereka terlihat
sebagai individu yang eksentrik, terkucil, dingin, dan penyendiri. Dalam kesehariannya,
individu lebih menyenangi kegiatan yang tidak melibatkan orang lain dan berhasil pada
bidang-bidang yang tidak melibatkan orang lain. Prevalensi gangguan skizoid diperkirakan
Individu dengan gangguan kepribadian skizotipal biasanya memiliki kepercayaan yang aneh.
Mereka memiliki pemikiran yang ajaib/aneh (magical), ide-ide yang ganjil, ilusi, dan
derealisasi yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Individu dengan gangguan
ini memiliki masalah dalam berpikir dan berkomunikasi. Dalam pembicaraan, mereka dapat
menggunakan kata-kata dengan cara yang tidak umum dan tidak jelas sehingga hanya diri
mereka saja yang mengerti artinya. Dari perilaku dan penampilan, mereka juga tampak
eksentrik. Sebagai contoh, mereka berbicara kapada diri sendiri dan memakai pakaian yang
kotor serta kusut. Ciri yang umum terjadi adalah ideas of reference (keyakinan bahwa
berbagai kejadian memiliki makna khusus dan tidak biasa bagi orang yang bersangkutan),
kecurigaan, dan pikiran paranoid. Mereka pun memiliki kemampuan yang rendah dalam
berinteraksi dengan orang lain dan kadang kala bertingkah laku aneh sehingga akhirnya
mereka sering kali terkucil dan tidak memiliki banyak teman. Prevelensi gangguan ini
diperkirakan kurang dari 1 persen. Gangguan kepribadian skizotipal lebih banyak muncul
pada keluarga yang memiliki penderita skizofrenia. Gangguan kepribadian skizotipal adalah
titik awal dari skizofrenia. Walaupun sama-sama muncul simtom halusinasi, namun
perbedaan gangguan ini dengan gangguan skizofrenia adalah halusinasi pada skizotipal
biasanya berlangsung dalam waktu singkat.
Etiologi Kelompok A
Berbagai studi tentang keluarga memberikan beberapa bukti bahwa gangguan kepribadian
kelompok A berhubungan dengan skizofrenia. Pada gangguan skizotipal, pasien mengalami
kelemahan kognitif dan kurangnya fungsi neuropsikologis yang sama dengan terjadinya
skizofrenia. Selain itu, pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal memiliki rongga otak
yang lebih besar dan lebih sedikit bagian abu-abu di lobus temporalis.
Penyebab terjadinya gangguan kepribadian borderline antara lain dapat dijelaskan oleh
kedua pandangan berikut:
a) Faktor biologis
Faktor-faktor biologis antara lain disebabkan oleh faktor genetis. Gangguan kepribadian
borderline dialami oleh lebih dari satu anggota dalam satu keluarga. Beberapa data
menunjukkan adanya kelemahan fungsi lobus frontalis, yang sering diduga berperan dalam
perilaku impulsif. Individu dengan gangguan borderline mengalami peningkatan aktivasi
amigdala, suatu struktur dalam otak yang dianggap sangat penting dalam pengaturan
emosi.
Individu dengan gangguan ini adalah individu yang memiliki ketakutan yang besar akan
kemungkinan adanya kritik, penolakan atau ketidaksetujuan, sehingga merasa enggan untuk
menjalin hubungan, kecuali ia yakin bahwa ia akan diterima.
Individu tersebut bahkan terkadang menghindari pekerjaan yang banyak memerlukan kontak
interpersonal. Dalam situasi sosial, ia sangat mengendalikan diri (kaku) karena sangat amat
takut mengatakan sesuatu yang bodoh atau dipermalukan atau tanda-tanda lain dari
kecemasan. Ia merasa yakin bahwa dirinya tidak kompeten dan inferior, serta tidak berani
mengambil risiko atau mencoba hal-hal baru. Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria dari avoidant
personality disorder adalah sebagai berikut:
Prevalensi dari gangguan ini sekitar 5 persen dan sering muncul bersamaan dengan
gangguan kepribadian dependen dan borderline. Avoidant personality disorder juga sering
bercampur dengan diagnosis Axis I depresi dan generalized social phobia. Gangguan ini
memiliki gejala yang serupa dengan generalized social phobia, tetapi gangguan ini
sebenarnya merupakan jenis generalized social phobia yang lebih kronik. Baik avoidant
personality disorder atau social phobia berhubungan dengan gejala yang muncul di Jepang,
yang disebut dengan taijin kyoufu. ”Taijin” berarti interpersonal dan ”kyoufu” berarti takut.
Seperti pada avoidant personality disorder dan social phobia, individu yang mengalami taijin
kyoufu sangat sensitif dan menghindari kontak interpersonal. Namun, hal yang ditakuti
berbeda dengan hal-hal yang umumnya ditakuti pada diagnosis DSM. Individu dengan taijin
kyoufu cenderung cemas atau malu tentang bagaimana ia mempengaruhi atau tampak di
depan orang lain, misalnya takut bahwa mereka tampak jelek atau bau.
Ciri utama dari gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya rasa percaya diri dan
otonomi. Individu dengan gangguan kepribadian ini memandang dirinya lemah dan orang
lain lebih kuat. Ia juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk diperhatikan atau dijaga oleh
orang lain yang sering kali menyebabkan munculnya perasaan tidak nyaman ketika
sendirian. Ia mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk meyakinkan bahwa ia tidak
merusak hubungan yang telah terjalin dengan orang lain. Ketika hubungan dekat berakhir,
individu yang mengalami gangguan ini segera berusaha menjalin hubungan lain untuk
menggantikan hubungan yang telah berakhir tersebut. Kriteria dalam DSM pada umumnya
mendeskripsikan individu yang mengalami gangguan kepribadian dependen sebagai orang
yang sangat pasif, misalnya memiliki kesulitan dalam memulai sesuatu atau mengerjakan
sesuatu sendiri, tidak mampu menolak, dan meminta orang lain mengambil keputusan untuk
dirinya. Bagaimanapun juga, penelitian mengindikasikan bahwa sifat-sifat pasif tersebut
tidak mencegah individu melakukan hal-hal penting untuk menjaga hubungan dekat,
misalnya menjadi sangat penurut dan pasif, tetapi dapat juga mengambil langkah aktif untuk
menjaga hubungan.
a) Kesulitan dalam mengambil keputusan tanpa nasihat dan dukungan yang berlebihan dari
orang lain.
b) Kebutuhan terhadap orang lain untuk memikul tanggung jawab dalam hidupnya.
c) Kesulitan dalam mengatakan atau melakukan penolakan terhadap orang lain karena takut
kehilangan dukungan dari orang lain.
d) Kesulitan dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu sendiri karena kurang percaya
diri.
e) Melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan baginya sebagai cara untuk memperoleh
penerimaan dan dukungan dari orang lain.
f) Perasaan tidak berdaya ketika sendiri karena kurang percaya pada kemampuan diri dalam
menyelesaikan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
g) Segera mencari hubungan baru ketika hubungan yang sedang terjalin telah berakhir.
h) Sangat ketakutan untuk mengurus atau menjaga diri sendiri.
Prevalensi dari gangguan ini adalah sekitar 1,5 persen, lebih banyak ditemukan di India dan
Jepang. Hal itu kemungkinan dikarenakan lingkungan di kedua negara tersebut yang
memicu perilaku dependen. Gangguan kepribadian ini muncul lebih banyak pada wanita
daripada pria, kemungkinan karena perbedaan pengalaman sosialisasi pada masa kanak-
kanak antara wanita dan pria. Gangguan kepribadian dependen sering kali muncul
a. Sangat perhatian terhadap aturan dan detail secara berlebihan sehingga poin penting dari
aktivitas hilang.
b. Perfeksionisme yang ekstrem pada tingkat di mana pekerjaan jarang terselesaikan.
c. Ketaatan yang berlebihan terhadap pekerjaan sehingga mengesampingkan waktu
senggang dan persahabatan.
d. Kekakuan dalam hal moral.
e. Kesulitan dalam membuang barang-barang yang tidak berguna.
f. Tidak ingin mendelegasikan pekerjaan kecuali orang lain megacu pada satu standar yang
sama dengannya.
g. Kikir atau pelit.
h. Kaku dan keras kepala.
Etiologi Kelompok C
Tidak banyak data yang menjelaskan penyebab dari gangguan kepribadian kelompok
anxoius/fearful. Salah satu penyebab yang memungkinkan adalah hubungan antara orang
tua dan anak. Sebagai contoh, gangguan kepribadian dependen disebabkan oleh pola asuh
yang overprotektif dan authoritarian, sehingga menghambat berkembangnya self-efficacy. Di
samping itu, gangguan kepribadian dependen juga dapat disebabkan oleh masalah
attachment. Pada masa kanak-kanak, anak mengembangkan attachment terhadap orang
dewasa dan menggunakan orang dewasa tersebut sebagai dasar yang aman untuk
mengeksplorasi dan mengejar tujuan lain. Perpisahan dari orang dewasa dapat
menimbulkan kemarahan dan distress. Seiring dengan proses perkembangan, anak tersebut
kemudian menjadi tidak terlalu dependen pada figur attachment. Pada attachment yang
tidak normal, perilaku yang dapat dilihat pada individu yang mengalami gangguan
kepribadian dependen merefleksikan kegagalan dalam proses perkembangan yang
biasanya, yang muncul dari gangguan pada hubungan awal antara orang tua dan anak yang
disebabkan oleh kematian, pengabaian, penolakan, atau pengasuhan yang overprotektif.
yang mengalami gangguan ini menggunakan berbagai cara untuk menjaga hubungan
dengan orang tua atau orang lain, misalnya dengan selalu menuruti mereka. Sedangkan
gangguan kepribadian avoidant kemungkinan merefleksikan pengaruh lingkungan, di mana
anak diajarkan untuk takut pada orang dan situasi yang pada umumnya dianggap tidak
berbahaya. Misalnya ayah atau ibu memiliki ketakutan yang sama, yang kemudian
diturunkan pada anak melalui modeling. Kenyataan bahwa gangguan ini terjadi di keluarga,
dapat mengindikasikan adanya peran faktor genetik.
Terapi psikodinamik bertujuan untuk mengubah pandangan individu saat ini tentang
masalah-masalah pada masa kanak-kanak yang diasumsikan menjadi penyebab dari
gangguan kepribadian, misalnya terapis membimbing individu yang mengalami gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif pada kenyataan bahwa pencarian kasih sayang dari orang tua
pada masa kanak-kanak dengan cara menjadi sempurna tidak perlu dilakukan pada masa
dewasa. Ia tidak harus menjadi sempurna untuk memperoleh penerimaan dari orang lain,
sehingga ia berani mengambil risiko dan membuat kesalahan. Terapis behavioral dan
kognitif lebih menekankan perhatian pada faktor situasi daripada sifat. Terapis behavioral
dan kognitif cenderung menganalisa masalah individu yang merefleksikan gangguan
kepribadian. Sebagai contoh, individu yang didiagnosa memiliki kepribadian paranoid atau
avoidant bersifat sangat sensitif terhadap kritik. Sensitivitas tersebut dapat dikurangi dengan
behavioral rehearsal (social skills training), systematic desentizitation, atau rational-emotive
behavior therapy. Contoh lain dapat dilihat pada individu dengan kepribadian paranoid yang
bersifat hostile dan argumentatif ketika menyatakan ketidaksetujuan atau penolakan
terhadap orang lain. Dalam hal ini, terapis behavior dapat membantu individu paranoid
belajar untuk mengutarakan ketidaksetujuan dalam cara yang lebih baik. Bagi mereka
dengan kepribadian avoidant, social-skills training dalam suatu kelompok dapat membantu
mereka untuk lebih asertif terhadap orang lain. Pada terapi kognitif, gangguan dianalisa
dalam hubungannya dengan logical errors dan dysfunctional schemata. Misalnya, pada
terapi kognitif bagi individu yang mengalami gangguan kepribadian obsesif-kompulsif,
pertama-tama dibantu untuk menerima konsep bahwa perasaan dan tingkah laku
merupakan fungsi dari pikiran. Kesalahan berpikir (errors in logic) kemudian dieksplorasi,
misalnya saat individu menyimpulkan bahwa ia tidak mampu melakukan semua hal dengan
benar hanya karena kegagalan dalam satu hal saja (melakukan overgeneralisasi). Selain itu,
terapis juga mencari asumsi atau skema dysfunctional yang mungkin mendasari pikiran dan
perasaan individu tersebut, misalnya keyakinan individu bahwa setiap keputusan harus
selalu benar.
Pada individu dengan kepribadian borderline, rasa percaya sulit diciptakan dan dijaga,
sehingga mempengaruhi huubungan terapeutik. Individu cenderung mengidealkan dan
menjelek-jelekkan terapis, meminta perhatian khusus pada satu waktu, memohon
pengertian dan dukungan, tetapi tidak mau membahas topik-topik tertentu. Apabila tingkah
laku individu sudah tidak dapat dikendalikan atau ketika ancaman bunuh diri tidak dapat
diatasi lagi, maka sering kali individu tersebut perlu dirawat di rumah sakit.
a) Object-Relations Psychoterapy
Terapi yang dilakukan bertujuan untuk memperkuat ego yang lemah, sehingga individu tidak
lagi melakukan dikotomi. Selain itu, individu juga diberi saran konkret untuk bertingkah laku
adaptif dan merawat individu di rumah sakit jika tingkah lakunya membahayakan diri sendiri
maupun orang lain.
1. Mengajari individu untuk mengatur dan mengendalikan tingkah laku dan emosi yang
ekstrem.
2. Mengajari individu untuk menoleransi perasaan distress.
3. Mengajari individu belajar untuk mempercayai pikiran dan emosinya sendiri.
Istilah ”dialectic” mengacu pada sikap yang berlawanan, yaitu di mana terapis harus
menerima individu borderline apa adanya sekaligus membantu individu tersebut untuk
berubah. Istilah ”dialectic” juga mengacu pada kenyataan bahwa individu borderline tidak
perlu membagi dunia secara dikotomi, tetapi dapat mencapai suatu sintetsis. Dengan kata
lain, salah satu tujuan DBT adalah mengajari individu untuk memandang dunia secara
dialektik, suatu pemahaman bahwa hidup terus berubah dan suatu hal tidak semuanya
buruk atau semuanya baik. Sedangkan aspek kognitif-behavioral dari DBT, baik yang
dilakukan secara individual atau dalam kelompok, terdiri dari membantu individu belajar
menyelesaikan masalah, membantu untuk memperoleh penyelesaian masalah yang lebih
efektif dan dapat diterima secara sosial dan mengendalikan emosi, meningkatkan
kemampuan interpersonal, dan mengendalikan amarah dan kecemasan.
Daftar Pustaka
Atkinson & Hilgard’s, 2009, Introduction to Psychology, Cengage Learning, UK
Robert E. Slavin, Psikologi pendidikan teori dan praktik, (Jakarta:PT Indeks, 2011)
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan, edisi keenam, jilid 1, (Jakarta:Penerbit Erlangga,
2008)